Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM BIOMOLEKULER

PEMERIKSAAN DNA PARASIT TOXOPLASMA GONDII


METODE PCR (Polymerase Chain Reaction) PADA SAMPEL DARAH EDTA

Oleh:

Ni Made Nirmala Sari P27834118075


Krisna Apsari P27834118076
Ni Kadek Arika Putri P27834118078
Febrina Celica P27834118081
Muhammad Rafli Afandi P27834118101

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN ANALIS KESEHATAN SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, penyakit yang disebabkan oleh parasit masih menjadi permasalahan kesehatan yang
serius, salah satunya adalah toksoplasmosis. Toksoplasmosis merupakan salah satu penyakit zoonosis
yang cukup banyak ditemukan pada manusia dan hewan di seluruh dunia. Toksoplasmosis ini
disebabkan oleh Toxoplasma gondii (Subekti & Arrasyid, 2006).
Prevalensi toxoplasmosis di Indonesia cukup tinggi. Pohan (2014) mengemukakan bahwa
seroprevalensi toxsoplasmosis pada manusia di Indonesia berkisar antara 2%-63% dengan angka yang
bervariasi di masing – masing daerah. Lima daerah yang memiliki prevalensi kejadian toksoplasmosis
pada manusia tertinggi di Indonesia dari urutan pertama yaitu Lampung (88,23%), Kalimantan Timur
(81,25%), DKI Jakarta (76,92%), Sulawesi Tengah (76,47%) dan Sumatera Utara (68,96% (Subekti et
al., 2005).
Infeksi Toxoplasma gondii umumnya tidak menimbulkan gejala atau subklinis. Gejala klinis T.
gondii utama adalah limfadenopati. Manifestasi berat toxsoplasmosis antara lain ensefalitis, sindroma
sepsis atau syok, miokarditis dan hepatitis, namun gejala tersebut jarang dijumpai pada manusia yang
mempunyai daya tahan tubuh yang baik (Tenter et al., 2000). Toxsoplasmosis pada wanita hamil dapat
mengakibatkan abortus, bayi lahir mati, dan kelainan pada janin, serta ensefalomilitis.
Pemeriksaan yang terbanyak dilakukan pada saat ini adalah pemeriksaan dengan enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi zat anti IgG dan IgM terhadap T.gondii di dalam
serum. Pemeriksaan serologi ini memberikan hasil yang memuaskan pada penderita imunokompeten
dengan infeksi primer atau reaktivasi akut, namun pada penderita imunokompromais yang kemampuan
membentuk antibodi berkurang, hasilnya kurang memuaskan (Liesenfeld et al., 1994). Selain itu, IgM
spesifik terhadap T.gondii kadang-kadang dapat menetap bertahun-tahun dan pada bayi terlambat
terbentuk sehingga menimbulkan kesulitan dalam menentukan waktu terjadinya infeksi (Skinner et al.,
1989).
Teknik diagnosis mutakhir seperti reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) telah
digunakan untuk mendiagnosis toksoplasmosis akut (Weiss et al., 1991). PCR adalah suatu teknik in
vitro untuk memperbanyak DNA (amplifikasi) secara enzimatis melalui proses sintesis DNA baru
secara berulang. Diagnosis toxsoplasmosis dengan teknik PCR ini dapat mendeteksi 10 organisme atau
kurang dalam 105 leukosit manusia, dan bersifat spesifik (Filice et al, 1993).
Berdsarkan penjelasan di atas tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui adanya DNA parasit
Toxoplasma gondii pada sampel darah manusia dengan metode pemeriksaan PCR (Polymerase Chain
Reaction) di Laboratorium Human Genetic Institut of Tropical Diseases (ITD) Universitas Airlangga
Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana teknik pemeriksaan DNA parasit Toxoplasma gondii metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) pada sampel darah EDTA ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui adanya DNA parasit Toxoplasma gondii pada sampel darah EDTA
2. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan DNA parasit Toxoplasma gondii metode PCR (Polymerase
Chain Reaction) pada sampel darah EDTA
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Definisi
Toksoplasmosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit protozoa Toxoplama
gondii. Toxoplama gondii berasal dari bahasa latin toxon yang artinya adalah busur dan plasma yang
berarti bentuk, atau dapat diartikan sebagai bentuk yang serupa dengan busur. Penemu dari
Toxoplama gondii adalah Nicolle dan Manceaux pada tahun 1908 yang menemukan keberadaan
protozoa tersebut pada limpa dan hati hewan pengerat, yaitu Ctenodactylus gundi yang sedang diamati
(Chahaya, 2010).
Pada tahun 1973 parasit ini ditemukan pada neonatus dengan ensefalitis. Walaupun transmisi
intrauterin secara transplasental sudah diketahui, tetapi baru pada tahun 1970 daur hidup parasit ini
menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya pada kucing. Setelah dikembangkan tes serologi yang
sensitif oleh Sabin dan Feldman (1948), zat anti Toxoplasma gondii ditemukan kosmopolit, terutama
di daerah dengan iklim panas dan lembab (Pohan, 2014).
2.2 Morfologi Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondii di dalam klasifikasi termasuk ke dalam kelas Sporozoasida, karena
bereproduksi secara seksual dan aseksual secara bergantian. Menurut Levine (1990), klasifikasi
Toxoplasma gondii sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Protozoa
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Sub Kelas : coccidiasina
Ordo : Eucoccidiorida
Sub Ordo : Eimeriorina
Famili : Sarcocystidae
Genus : Toxoplasma
Spesies : Toxoplasma gondii
2.3 Siklus Hidup Toxsoplasma gondii
Kucing merupakan hospes definitif dari Toxoplasma gondii. Di dalam usus kecil kucing, sporozoit
akan menembus sel epitel dan tumbuh menjadi trofozoit. Kemudian, inti trofozoit membelah menjadi
banyak membentuk skizon. Skizon yang matang akan pecah menghasilkan banyak merozoit (skizogoni).
Siklus ini merupakan daur aseksual yang akan dilanjutkan dengan daur seksual. Merozoit akan masuk
ke dalam sel epitel dan selanjutkan membentuk makrogametosit dan mikrogametosit yang akan
berkembang menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi pembuahan akan
terbentuk ookista, yang kemudian akan dikeluarkan bersama tinja kucing. Di luar tubuh kucing, ookista
tersebut akan matang membentuk dua sporokista yang setiap sporokistanya mengandung empat
sporozoit (sporogoni).
Bila kucing sebagai hospes definitif memakan hospes perantara yang terinfeksi toksoplasmosis,
maka berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus muda akan terbentuk lagi. Jika hospes perantara
yang dimakan kucing mengandung kista Toxoplasma gondii, maka masa prepatennya adalah dua
sampai tiga hari. Tetapi bila ookista tertelan langsung oleh kucing, maka masa prepatennya 20 sampai
24 hari. Dengan demikian kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista dibandingkan dengan ookista
(Levine, 1990).

Gambar 1. Siklus hidup Toxoplasma gondii (Dubey, 2010)

2.4 Mekanisme Penularan


Penularan toxoplasmosis pada manusia dapat terjadi melalui 3 cara. Pertama dari hasil potong
hewan untuk konsumsi manusia yang mengandung kista atau pseudokista yang tidak dimasak dengan
sempurna. Cara ini disinyalir oleh WHO merupakan sumber penularan terbesar pada manusia. Kedua
yaitu secara kongenital, pada wanita hamil yang mengalami infeksi akut primer pada trimester pertama
kehamilan dengan akibat keguguran, lahir hidup kemudian mati atau lahir cacat. Ketiga, infeksi
toxoplasmosis yang terjadi oleh ookista yang dikeluarkan bersama sama tinja kucing yaitu infeksi
langsung ookista atau melalui pencemaran makanan dan minuman yang terkontaminasi ookista tersebut
(Hartono, 1989).
Toksoplasmosis juga dapat ditularkan dari hewan kepada manusia melalui perantara arthropoda,
infeksi melalui tetesan saat menangani hewan yang terinfeksi Toxoplasma gondii, makanan yang
tercemar sekresi atau eksresi hewan penderita akut toksoplasmosis, dan makanan yang terkontaminasi
tinja kucing atau familinya yang menderita toksoplasmosis (Iskandar, 1999).
2.5 Gejala Klinis Toksoplasmosis
Pada umumnya manusia yang menderita toksoplasmosis tidak menunjukkan gejala klinis spesifik
dan sulit untuk dibedakan dengan penyakit lainnya. Toksoplasmosis jarang menimbulkan gejala klinis
yang nyata, tetapi bila diuji melalui serum darah menunjukkan prevalensi yang tinggi. Hal ini
diperkirakan berkaitan dengan virulensi parasit, kerentanan manusia terhadap infeksi, umur manusia,
dan kekebalan tubuh manusia. Gejala klinis yang pada umumnya dirasakan oleh penderita adalah
keluhan pada pencernaan seperti mual dan muntah, keluhan pernapasan berupa sesak nafas, sakit kepala,
lemas, nyeri pada otot, serta anemia. Infeksi toksoplasmosis pada individu dengan permasalahan
imunnodefi siensi akan mengakibatkan manifestasi penyakit dari stadium ringan hingga berat
bergantung pada imunodefisiensi yang dirasakan (Siregar, 2012; Chahaya, 2010; Gandahusada, 2008;
Robert & Janovy, 2001).
2.6 Diagnosis Toksoplasmosis
Diagnosis toksoplasmosis tidak dapat dilakukan bila hanya berdasar pada gejala klinis yang
dirasakan oleh penderita. Gejala toksoplasmosis tidak bersifat spesifik dan mirip dengan gejala klinis
dari penyakit lainnya. Sehingga diperlukan diagnosis laboratorium guna mengetahui keberadaan parasit
di dalam tubuh. Diagnosis laboratorium terhadap toksoplasmosis dilakukan melalui uji non serologi
(morfologi) ataupun serologi (Siregar, 2012; Subekti, 2004).
Diagnosis morfologis umumnya dilakukan untuk mengidentifikasi ookista, takizoit atau bahkan
kista yang berisi bradizoit. Teknik diagnosis morfologis umumnya bersifat subyektif, kualitatif, sampai
semi kuantitatif. Teknik diagnosis morfologis hanya berguna untuk identifikasi ada atau tidaknya parasit
dalam suatu sampel yang sangat kecil dan terbatas (Subekti, et al, 2010).
Beberapa teknik yang digunakan untuk diagnosis serologi toksoplasmosis diantaranya adalah Dye
test (Sabin – Feldman dye test), CFT (complement fixation test), MAT (modified agglutination test),
CAT (card agglutination test), DAT (direct agglutination test), IHA (indirect hemagglutination test)
dan LAT (latex agglutination test), IFA (indirect fluorescenassay) dan FA (fluorescenassay), ELISA
(enzyme linked immunosorben assay) dan immunoblotting, serta PCR (polymerase chain reaction). Di
Indonesia penggunaan teknik diagnosis pada hewan saat ini masih terbatas pada CAT dan LAT,
sebaliknya pada manusia menggunakan DAT, IHA dan ELISA.
2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi Polimerase Berantai atau dikenal sebagai Polymerase Chain Reaction (PCR), merupakan
suatu proses sintesis enzimatik untuk melipatgandakan suatu sekuens nukleotida tertentu secara in vitro.
Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Kary B. Mulis pada tahun 1985. Metode ini sekarang telah
banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetic.Pada awal perkembanganya
metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian dikembangkan
lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitas molekul
mRNA.
Menggunakan metode PCR dapat meningkatkan jumlah urutan DNA ribuan bahkan jutaan kali
dari jumlah semula, sekitar 106-107 kali. Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi
dua kali jumlahnya. Pada setiap siklus PCR akan diperoleh 2n kali banyaknya DNA target. Kunci
utama pengembangan PCR adalah menemukan bagaimana cara amplifikasi hanya pada urutan DNA
target dan meminimalkan amplifikasi urutan non-target. Metode PCR dapat dilakukan dengan
menggunakan komponen dalam jumlah yang sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan
hanya sekitar 5μg, oligonukliotida yang digunakan hanya sekitar 1 mM dan reaksi ini biasa dilakukan
dalam volume 50-100 μl. DNA cetakan yang digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih dahulu
sehingga metode PCR dapat digunakan untuk melipat gandakan suatu sekuens DNA dalam genom
bakteri, virus atau parasit patogen bagi manusia.
PCR adalah reaksi polimerase berantai, yaitu reaksi yang melibatkan enzim polimerase yang
dilakukan secara berulang-ulang. Yang diulang-ulang adalah proses pemisahan untai ganda DNA
menjadi untai tunggal, hibridisasi primer untuk mengawali replikasi DNA dilanjutkan dengan proses
penambahan basa pada cetakan DNA oleh enzim polimerase, untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan
tabung PCR yang bersifat reponsif dengan perubahan suhu dan mesin thermal cycler, suatu mesin yang
mampu menaikkan dan menurunkan suhu dengan cepat, dan bahan-bahan untuk membuat reaksi PCR.
PCR merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa
menggunakan organisme. Dengan teknik ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan waktu
relatif singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA. Teknik ini dirintis
oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel pada tahun 1994 berkat temuannya
tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif
murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang kecil. PCR (Polimerase Chain Reaction) atau reaksi
berantai polimerase adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk mensintesis sekuens tertentu
DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi pita yang berlawanan
dan mengapit dua target DNA. Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens
DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas penggunaannya. Konsep asli teknologi
PCR mensyaratkan bahwa bagian tertentu sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui
terlebih dahulu sebelum proses pelipatgandaan tersebut dapat dilakukan. Sekuen yang diketahui tersebut
penting untuk menyediakan primer, yaitu suatu sekuens oligonukleotida pendek yang berfungsi
mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polimerasi.
2.7.1. Tahapan-tahapan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Proses PCR terdiri dari tiga tahapan, yaitu denaturasi DNA templat, penempelan (annealing)
primer, dan polimerisasi (extension) rantai DNA. Denaturasi merupakan proses pemisahan utas ganda
DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (templat) sebagai tempat penempelan
primer dan tempat kerja DNA polimerase, dengan pemanasan singkat pada suhu 90-95°C selama
beberapa menit. Penjelasan ringkas tentang setiap siklus reaksi PCR adalah sebagai berikut:
1. Denaturasi
Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua untai tunggal. Hal ini
disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-
basa yang komplemen.Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi
pada siklus yang sebelumnya.Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90° C – 95° C.
2. Penempelan Primer
Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan menuju daerah yang spesifik yang
komplemen dengan urutan primer. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk antara
primer dengan urutan komplemen pada templat. Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 50° C – 60° C.
Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat
kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya misalnya pada
72°C.
3. Reaksi Polimerisasi (Extension)
Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 72° C. Primer yang
telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada sisi 3‟nya dengan penambahan dNTP yang
komplemen dengan templat oleh DNA polimerase. Jika siklus dilakukan berulang-ulang maka daerah
yang dibatasi oleh dua primer akan di amplifikasi secara eksponensial (disebut amplikon yang berupa
untai ganda), sehingga mencapai jumlah copy yang dapat dirumuskan dengan (2n)x. Dimana n adalah
jumlah siklus dan x adalah jumlah awal molekul DNA. Jadi, seandainya ada 1 copy DNA sebelum
siklus berlangsung, setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3
siklus akan menjadi 8 kopi dan seterusnya. Sehingga perubahan ini akan berlangsung secara
eksponensial. PCR dengan menggunakan enzim Taq DNA polimerase pada akhir dari setiap siklus
akan menyebabkan penambahan satu nukleotida A pada ujung 3‟ dari potongan DNA yang dihasilkan.
Sehingga nantinya produk PCR ini dapat di kloning dengan menggunakan vektor yang ditambahkan
nukleotida T pada ujung-ujung 5‟-nya.Proses PCR dilakukan menggunakan suatu alat yang disebut
thermocycler.
2.7.2 Komponen-Komponen PCR
Beberapa komponen-komponen PCR antara lain:
1. Enzim DNA Polymerase
Dalam sejarahnya, PCR dilakukan dengan menggunakan Klenow fragment DNA Polimerase I
selama reaksi polimerisasinya. Enzime ini ternyata tidak aktif secara termal selama proses denaturasi,
sehingga peneliti harus menambahkan enzim di setiap siklusnya. Selain itu, enzim ini hanya bisa dipakai
untuk perpanjangan 200 bp dan hasilnya menjadi kurang spesifik.Untuk mengatasi kekurangan tersebut,
dalam perkembangannya kemudian dipakai enzim Taq DNA polymerase yang memiliki keaktifan pada
suhu tinggi. Oleh karenanya, penambahan enzim tidak perlu dilakukan di setiap siklusnya, dan proses
PCR dapat dilakukan dalam satu mesin.
2. Primer
Primer merupakan oligonukleotida pendek rantai tunggal yang mempunyai urutan synthesizer.
komplemen dengan DNA templat yang akan diperbanyak. Panjang primer berkisar antara 20-30
basa.Untuk merancang urutan primer, perlu diketahui urutan nukleotida pada awal dan akhir DNA
target.Primer oligonukleotida disintesis menggunakan suatu alat yang disebut DNA.
3. Reagen lainnya
Selain enzim dan primer, terdapat juga komponen lain yang ikut menentukan keberhasilan reaksi
PCR. Komponen tersebut adalah dNTP untuk reaksi polimerisasi, dan buffer yang mengandung MgCl2.
Konsentrasi ion Mg2+dalam campuran reaksi merupakan hal yang sangat kritis. Konsentrasi ion Mg2+
ini sangat mempengaruhi proses primer annealing, denaturasi, spesifisitas produk, aktivitas enzim dan
fidelitas reaksi.
BAB III
METODE DAN LANGKAH KERJA
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Chahaya, I, 2010. Epidemiologi Toxoplasma gondii. Palembang: USU library.

Dubey J, 2010. Toxoplasmosis of Animals and Humans. 2nd edition. CRC Press.

Filice GA, Hitt JA, Mitchell CD, Blackstad M, Sorensen SW. Diagnosis of Toxoplasma Parasitemia in
Patients with AIDS by Gene Detection After Amplification with Polymerase Chain Reaction, J
Clin Microbiol 1993; 3: 2327– 2331

Gandahusada, S, 2008. Toksoplasmosis Epidemiologi, Patogenesis, dan Diagnostik. Jakarta: FK-UI.

Hartono T, 1989. Temuan Kista Toxoplasma gondii pada Babi di Rumah Potong Surabaya dan
Malang. Buletin Penelitian Kesehatan. 16(3): 37-42.

Iskandar T, 1999. Tinjauan Tentang Toksoplasmosis pada Hewan dan Manusia. Wartazoa. 8(2): 58-63.

Liesenfeld O, Roth A, Weinke T, Foss HD, Hahn H. A Case of Disseminated Toxoplasmosis Value of
PCR for Diagnosis, J Infect Dis 1994; 29: 133-138.

Levine ND, 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Pohan HT, 2014. Toksoplasmosis. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta Pusat: Interna
Publishing. Hlm. 624-31.

Robert, L. and J. Janovy Jr, 2001. Foundation of Parasitology. 6 ed. Philadelphia: W. B. Sauders,Co.

Siregar RY, Yuswandi, 2014. Prevalensi Toksoplasmosis pada Domba yang Dipotong di RPH
Ngampilan Yogyakarta dengan Metode CATT. Sain Veteriner. 32(1): 78-92.

Skinner LJ, Chatterton JMW, Joss AWL, Moir IL, Ho-Yen D. The Use of an IgM Immunosorbent
Agglutination Assay to Diagnose Congenital Toxoplasmosis, J Med Microbiol 1989; 28: 125 –
128.

Subekti DT, Artama WT, Iskandar T, 2005. Perkembangan Kasus dan Teknologi Diagnosis
Toksoplasmosis. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Hlm. 253-264

Subekti, T dan NK. Arrasyid, 2006. Imunopatogenesis Toxoplasma gondii Berdasarkan Galur. Balai
Penelitian Veteriner. WARTAZOA, Vol. 16 No. 3.

Tenter AM, Heckeroth AR, Weiss LM. Toxoplasma gondii: from animals to humans. Int J Parasitol.
2000; 30 (12-13): 1217-58.

Weiss LM, Udem SA, Salgo M, Tanowitz HB, Wittner M, Sensitive and Specific Detection of
Toxoplasma DNA in an Experimental Murine Model: Use of Toxoplasma gondii-Specific
cDNA and the Polymerase Chain Reaction, J Infect Dis 1991; 163: 180-186.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai