Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 TOKSOPLASMOSIS PADA IBU HAMIL


A. Definisi
Toksoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
toxoplasma gondii yang merupakan golongan protozoa yang sifatnya
parasite obligat intraseluler. Toksoplasmosis kongenital merupakan suatu
manifestasi infeksi toxoplasma gondii pada ibu hamil yang menyebar ke
janin melalui transmisi plasenta yang dapat menyebabkan abortus spontan
atau anak yang dilahirkan mengalami kelainan kongenital.1,3
Toksoplasma mulai dikenal sejak tahun 1908 ketika Charles
Nocholledan Manceaux menemukan parasit ini dalam sel mononukleus
limpa dan hati binatang pengerat Ctenodactilus gondii yang hidup di afrika
utara. Asstellani dari Ceylon melaporkan adanya toksoplasmosi pada
manusia. Janku adalah seorang ahli mata yang pertama kali melporkan
adanya toksoplasmosis disertai hidrochepalus kongenital dan
microchepalus dengan kolobona di makula. Penemuan pemeriksaan
serologi pertama kali dselidiki oleh Feldman.2

B. Epidemiologi
Toksoplasmosis tersebar hampir di seluruh dunia karena toksoplasma
pada hakekatnya mampu menginfeksi setiap sel pejamu yang berinti.
Sekitar 30% - 65% dari populasi dunia adalah diperkirakan mengalami
infeksi toksoplasma kronis, prevalensi bervariasi antara negara (dari 10
sampai 80%) dan sering dalam suatu negara tertentu atau antara komunitas
yang berbeda di wilayah yang sama, seroprevalences yang rendah (10
sampai 30%) telah ditemukan di amerika Utara, di Asia Tenggara, di
Eropa Utara, dan di negara-negara Sahelian di Afrika. Prevalensi sedang
(30 sampai 50%) telah ditemukan dinegara-negara Tengah dan Eropa

2
Selatan, dan prevalensi tinggi telah ditemukan di Amerika Latin dan
negara-negara Afrika tropis.1
Sekitar 85 persen wanita usia produktif di Amerika Serikat mengalami
infeksi akut parasit Toxoplasma gondii. Insiden toksoplasma kongenital
tergantung proporsi wanita hamil yang terinfeksi toksoplasma selama
kehamilan. Estimasi infeksi kongenital di Amerika Serikat berkisar antara
1 per 3000 sampai 1 per 10.000 kelahiran. Berdasarkan data studi regional,
400 sampai 4.000 kasus toksoplasmosis kongenital terjadi di Amerika
Serikat. Salah satu provinsi tersebar di indonesia yaitu provinsi Riau
terdapat kasus toksoplasmosis yang menurut data dari rekam medis RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau toksoplasmosis merupakan penyakit 9
tertinggi dari 15 penyakit terbesar dalam kehamilan.1,3

C. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang merupakan
parasit obligat intraseluller (protozoa) dari ordo Coccidia yang dapat
menimbulkan infeksi pada burung dan mamalia. Penyebab : toksoplasma
gondii. Habitat T.gondii anjing, kucing, tikus dan binatang lainnya,
penyakit ini dapat ditularkan kemanusia.4,5

D. Patofisiologi
Toxoplasma gondii memiliki 3 fase hidup, yaitu takizoit (bentuk
proliferatif), kista berisi bradizoit, dan ookista (berisi sporozoit). Bentuk
takizoit meyerupai bulan sabit dengan satu ujung runcing dan ujung lain
agak membulat. Takizoit ditemukan pada infeksi akut berbagai organ
tubuh, seperti otot termasuk otot jantung, hati, limpa, limfonodi, dan
sistem saraf pusat. Selanjutnya, kista dibentuk di dalam sel hospes bila
takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Kista dapat ditemukan
dalam tubuh hospes seumur terutama di otak, otot jantung jantung, dan
otot bergaris. Fase hidup ketiga T.gondii adalah sporozoit; pada fase
ditemukan ookista. Ookista berbentuk lonjong, mempunyai dinding, berisi

3
satu sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-
masing sporokista berisi 4 sporozoit berukuran 8x2 mikron dan sebuah
benda residu. Kucing merupakan hospes definif. T.gondii. Selama infeksi
akut, ookista yang keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif.
Setelah beberapa minggu, tergantung kondisi lingkungan, ookista akan
mengalami sporulasi dan menjadi bentuk infektif. Manusia dan hospes
perantara lain, seperti kambing dan domba, akan terinfeksi jika menelan
ookista tersebut. Kondisi cuaca panas dan tanah lembap dapat
mempertahankan ookista selama sekitar 1 tahun. Ookista tidak dapat
bertahan hidup ditanah gersang dan cuaca dingin.
Setelah terjadi infeksi T.gondii akan terjadi proses parasitemia,
dimana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri
dan menghancurkan sel inang. Pada toksoplasmosis kongenital infeksi
primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu yang mengandung
parasit kedalam plasenta, sehingga terjadi plasentitis. Hal ini ditandai
dengan gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua
kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi tali pusat jarang dijumpai.
Parasit akan menimbulkan keadaan patologik yang manifestasinya
tergantung usia kehamilan. Resiko toksoplasmosis kongenital sekitar 10-
25% apabila infeksi akut maternal terjadi pada trimester pertama
kehamilan dan meningkat hingga 60-90% apabila terjadi pada trimester
ketiga. Namun, manifestasi toksoplasmosis kongenital lebih parah jika
infeksi terjadi pada trimester pertama.3
Resiko dari penularan antara janin dan ibu serta abnormalitas yang
berhubungan dengan infeksi toksoplasmosis kongenital relatif tergantng
usia kehamilan. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : <13
minggu kehamilan : resiko penuluran ibu ke janin sebesar 25-40%, sebesar
15-25% beresiko terjanin kecatatan bila terinfeksi, trimester ke tiga
kehamilan : resiko penularan ibu ke janin sebesar 30-75%. Transmisi
melalui penyaluran transplasental setelah parasitemia pada ibu yang
mengidap infeksi setelah ingesti oosit infektif dari daging yang

4
terkontaminasi atau mentah. Wnaita hamil yang terinfeksi toksoplasma
gondii maka efek yang terjadi sangat bervariasi seperti abortus spontan
(4%), lahir mati (3%), toksoplasmosis bawaan (20%). Kejadian
toksoplasmosis bawaan seperti tersebut diatas bisa berupa keterbelakangan
mental, kerusakan mata/telinga, kejang-kejang, ensefalitis. Kerusakan
organ berat pada bayi terutama bila infeksi toxoplasmosis terjadi pada saat
kehamilan muda.(AR)

Gambar 1 : siklus hidup toksoplasma gondii


Transmisi toksoplasma kongenital hanya terjadi bila infeksi
toksoplasma akut terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu
selama kehamilan yang telah memiliki yang telah memiliki antibodi
antitoksoplasma karena sebelumnya telah terpapar, resiko bayi lahir
memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4-7/1.000 ibu hamil. Resiko
meningkat menjadi 50/1.000 ibu hamil bila ibu tidak mempunyai antibodi
spesifik. Keadaan parasetimia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal
menyebabkan parasit dapat mencapai plasenta. Selama invasi dan menetap
di plasenta parasit berkembang biak serta sebagaian yang lain berhasil
memperoleh akses ke sirkulasi janin. Telah diketahui adanya korelasi

5
antara isolasi toksoplasma di jaringan plasenta dan infeksi neonatus,
artinya bahwa hasil isolasi positif di jaringan plasenta menunjukan
terjadinya infeksi pada neonatus dan sebaliknya hasil isolasi negatif
menegaskan infeksi neonatus tidak ada. Berdasarkan hasil pemeriksaan
otopsi neonatus yang meninggal dengan toksoplasmosis kongenital ini
disusun suatu konsep bahwa infeksi yang diperoleh janin dalam uterus
terjadi melalaui aliran darah serta infeksi plasenta akibat toksoplasmosis
merupakan tahapan penting setelah fase infeksi maternal dan sebelum
terinfeksi janin, selanjutnya kosepsi ini berkembang lebih jauh dengan
hasil-hasil penelitian sebagai berikut.
 Frekuensi infeksi toksoplasma kongenital sama dengan frekuensi
infeksi plasenta.
 Tiap-tiap kasus bergantung pada usia kehamilan saat terjadinya
infeksi maternal serta apakah ibu memperoleh pengobatan selama
kehamilan.6

E. Manifestasi Klinis
Sebagian besar infeksi akut pada ibu dan neonatus bersifat subklinis
dan hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan penapisan serologis
pranatal atau neonatus. Pada sebagian kasus, gejala ibu mungkin beupa
lesu, demam, nyeri otot, dan kadang ruam makulopapular dan
limfadenopati serviks posterior. Pada orang dewasa imunokompeten,
infeksi awal memicu kekebalan, dan infeksi sebelum hamil hampir
mengeliminasi resiko penularan vertikal. Namun, infeksi pada wanita
dengan gangguan imunitas mungkin parah disertai reaktivasi yang
menyebabkan ensefalitis atau lesi massa. Gejala: nyeri pada kelenjar limfe
yang membesar dapat disertai pneumonia, polimiositis dan miokarditis
serta limfangitis, jalanya penyakit akut atau bertahun.5,7
Infeksi pada ibu berkaitan dengan peningkatan empat kali lipatan
angka persalinan kurang bulan sebelum 37 minggu. Meskipun demikia,
hambatan pertumbuhana tidak meningkat, yang utama, sebagian besar

6
janin yang terinfeksi lahir tanpa stigmata toksoplasmosis yang jelas pada
pemeriksan runtin. Neonatus yang memperlihatkan gejala klinis biasanya
mengalami penyakit genaralisata dengan berat lahir rendah,
hepatosplenomegali, ikterus, dan anemia. Sebagian mengalami kelainan
neurologis primer disertai kalsifakasi intrakranium seperti yang
diperlihatkan, serta hidrosefalus atau mikrosefalus. Banyak yang ahirnya
mengalami korioretinitis dan memperlihatkan gangguan belajar. Trias
klasik ini korioretinitis, kalsifikasi intrakanium, dan hidrosefalus sering
disertai kejang-kejang. Neonatus yang terinfeksi dan memperlihatkan
gejala klinis beresiko mengalami penyulit jangka panjang.7

F. Pengaruh Terhadap Kehamilan


Penyakit dapat menular kepada janin dengan akibat : abortus, partus
prematurus, dan kematian janin dalam rahim serta meningkatkan kematian
neonatal. Dapat terjadi cacat bawaan seperti hidrosefalus, mikrosefalus,
anensefalus, meningo-ensefalitis, dan kelainan pada mata. Bahkan bisa
menyebabkan hidrops.5

G. Diagnosis
Parasit jarang terdeteksi di jaringan atau cairan tubuh. IgG anti-
toksoplasma terbentuk dalam 1 sampai 2 minggu setelah infeksi,
memuncak pada 1 sampai 2 bulan, dan biasanya menetap seumur hidup
kadang dengan titer tinggi. Kini tersedia tes aviditas untuk antibodi IgG
toksoplasma yang digunakan dalam pemeriksaan serum ibu. Aviditas
fungsional antibodi IgG rendah pada infeksi primer dan meningkat daam
beberapa minggu dan bulan. Jika ditemukan IgG beraviditas tinggi maka
infeksi dalam 3 sampai 5 bulan sebelumnya dapat disingkirkan. Meskipun
antibodi IgM muncul dalam10 hari setelah infeksi dan biasanya menjadi
negatif dalam 3 sampai 4 bulan, antibodi ini dapat menetap hingga
bertahun-tahun. Antibodi IgM jangan digunakan secara tersendiri untuk
mendiagnosis toksoplasma akut. Antibodi IgA dan IgE juga bermamfaat

7
untuk mendiagnosis infeksi akut. Hasil terbaik diperoleh dengan
Toksoplasma Serologic Profile yang dilakukan di Palo Alto Medical
Foundation Research Institute. Panel ini mencakup uji pewarnaan Sabin
Feldman, double-sandwich IgM ELISA, ELISA IgA dan IgG, serta uji
aglutinasi diferensial.7
Diagnosis pranatal toksoplasmosis dilakukan dengan menggunakan
teknik amplifikasi PCR dan evaluasi sonografik. PCR cairan amnion atau
darah janin telah meningkat sensitivitas dibandingkan teknik isolasi baku.
IgM dan IgA spesifik toksoplasma mungkin terdapat dalam cairan amnion
tetapi ketiadaan keduanya tidak menyingkirkan infeksi. Bukti sonografik
kalsifikasi intrakranium, hidrosefalus, kalsifikasi hati, asites, penebalan
plasenta, usus hiperekoik, dan hambatan pertumbuhan dapat digunakan
untuk membantu menegakan diagnosis pranatal.7
Menyadari besarnya dampak toksoplasmosis kongenital pada janin,
bayi, serta anak-anak disertai kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin
pranatal pada ibu hamil, maka para klinisi/obstetrikus memperkenalkan
metode baru yang merupakan koreksi atas konsep dasar pengobatan
toksoplasmosis yang lampau. Konsep lama hanya bersifat empiris dan
berpodoman pada hasil uji serelogik ibu hail, saat ini pemamfaatan
tindakan kordosentesis dan amniositensis dengan panduan ultrasonografi
guna memperoleh darah janin atau cairan ketuban sebagai pendekatan
diagnostik merupakan ciri para obstetrikus pada dekade 90-an. Selanjutnya
segera dilakukan pemeriksaan spesifik dan rumit yang bersifat
biomolekular atas komponen janin tersebut (darah atau cairan ketuban)
dalam waktu yang relatif singkat dengan ketepatan yang tinggi. Hasil
sangat menentukan untuk pengobatan selanjutnya, upaya ini dikenal
dengan diagnostik pranatal. Bahkan diagnostik pranatal dipandang lebih
efektif untuk menghindari atau menekan resiko toksoplasmosis kongenital
karena upaya prevensi primer pada ibu hamil berupa nasihat mengindari
makanan/minuman yang kurang matang pada saat dimasak. Oleh karena
itu upaya diagnostik pranatal disebut sebagai prevensi sekunder.6

8
Diagnostik pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27
minggu (trimester II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai
berikut:
 Kordosentesi (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat)
ataupun amnionsintesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan
ultrasonografi.
 Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel
fibrolas, ataupun diinokulasi kedalam ruang peritoneum tikus
diikuti isolasi parasit, ditunjukan untuk mendeteksi adanya parasit.
Pemeriksaan dengan teknik P.C.R guna mendeteksi D.N.A
T.gondii pada darah janin atau cairan ketuban. Pemeriksaan dengan
teknik ELISA pada darah janin guna mendeteksi antibodi IgM
janin spesifik (antitoksoplasma).
 Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet,
leukosit (monosit dan eosinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4
dan CD8. Daffos et al.(1988) mengembangkan tindakan diagnosis
pranatal untuk toksoplasmosis kongenital dengan serial/berulang.
Dikatakan prosedur ini relatif aman bila mulai dilakukan pada
umur kehamilan 19 minggu dan seterusnya.6
Diagnosis toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan yang menunjukan adanya IgM janin spesifik
(antitoksoplasma) dari darah janin. Ditemukan parasit pada kultur
ataupun inokulasi tikus D.N.A dari T.gondii dengan P.C.R darah
janin ataupun cairan ketuban. Beberapa faktor yang harus
diperhatikan karena sangat menentukan agar upaya diagnostik
pranatal menjadi aman, terpercaya, dan efisien adalah sebagai
berikut.
 Didahului oleh skrining serologik maternal/ibu hamil,
hasilnya harus memenuhi kriteria tertentu sebelum
dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari

9
empat syarat dibawah ini terpenuhi, akan dilakukan
kordosentesis atau amniosintesis.
 Antibodi IgM +
 Serokonversi dengan interval waktu 2 sampai 3
minggu, perubahan dari seronegatif menjadi
seropositif IgM dan IgG.
 Titer IgG yang tinggi > 1/1024 (ELISA)
 Aviditas IgG < 200
 Ketrampilan klinisi melakukan kordosintesis atau
amniosintesis dengan tuntunan ultrasonografi.
 Kecermatan dan ketrampilan yang terlatih dalam
mengerjakan pekerjaan rumit dan khusus dilaboratorium
diantaranya meliputi kultur, inokulasi, teknik ELISA, dan
P.C.R. 6

H. Penatalaksanaan
a. Kehamilan dengan infeksi akut
 Spirasmisin
Spiramisin, suatu antibiotika macrolide dengan
spektrum antibakterial ; konsetrasi tertentu yang dibutuhkan
untuk menghambat pertumbuhan ataupun untuk membunuh
organisme belum diketahui. Di jaringan obat ini belum
ditemukan kadar/konsentrasi yang tinggi terutama pada
plasenta tanpa melewatinya serta aktif membunuh takizoit
sehingga menekan transmisi transpasental. Spiramisin pada
orang dewasa diberikan 2-4/hari per oral dibagi dalam 4
dosis untuk 3 minggu, diulangi setelah 2 minggu sampai
kehamilan aterm.

10
 Piremitamin

Piremitamin, adalah fenilpirimidin obat antimalaria,


terbukti juga sebagai pengobatan radikal pada hewan
eksperimental yang dikenakan infeksi toksoplasmosis. Obat
ini bertahan lama dalam darah dengan waktu paruh plasma
100 jam (4-5 hari). Guna mennghindari efek akumulatif pada
jaringan, pemberian obat dianjurkan setiap 3-4 hari.
Piremitamin dan sulfadiazin bekerja sinergik mengahsilkan
khasiat 8kali lebih besar terhadapt toksoplasma. Kedua obat
ini memblokir jalur metabolisme asam folat dan asam para
aminobenzoat parasit karena menghambat kerja enzim
dihidrofolat reduktase dengan akibat terganggunya
pertumbuhan stadium takizoit parasit. Kombinasi kedua obat
ini mengakibatkan efek toksisitas yang tinggi.

Sulfadiazin menimbulkan reaksi hematuria dan


hipersensitivitas. Piremitamin menyebabkan depresi sumsum
tulang secara gradual dan reversibel dengan akibat
penurunan platelet, leukopenia, dan anemia yang
menyebabkan tendensi pendarahan. Untuk mengantisipasi
hal ini perlu pemeriksaan sel darah tepi dan platelet 2 kali
seminggu serta penggunaan asam folinik dalam bentuk
kalsium leukovorin yang menghambat efek depresi sumsum
tulang dari piremetamin. Bersama asam folinik ditambahkan
pula ragi yang tidak akan merugikan pengobatan
toksoplasmosis. Dilaporkan pula piremetamin bersifat
teratogenik. Thalhammer dan Kraubig menganjurkan
pemakaian obat ini dimulai trimester II setelah umur
kehamilan 14 minggu guna menghindari efek teratogenik
pada janin. Kombinasi piremetamin, sulfadiazin, dan asam
folinik sebagai sebagai punggunaan simultan diberikan

11
selama 21 hari. Dosis piremitamin diberikan sebesar
1mg/kg/hari secara oral untuk 3-4 hari. Sulfadiazin 50-
100mg/kg/hari/oral dibagi 2 dosis serta asam folinik 2 kali 5
mg injeksi intramuskular tiap minggu selama pemakaian
piremetamin. Klindamisin cukup efektif terhadap takizoit,
tetapi dapat menyebabkan kolitis ulseratif.6

b. Toksoplasmosis kongenital

Sulfadiazin dengan dosis 50-100 mg/kg/hari dan


piremetamin 0,5-1 mg/kg diberikan setiap 2-4 hari selama 20 hari.
Disertakan juga injeksi intramuskular asam folinik 5 mg setiap 2-4
hari untuk mengatasi efek toksik piremitamin terhadap multiplikasi
sel. Pengobatan dihentikan ketika anak berumur 1 tahun karena
diharapkan imunitas selulernya telah memadai untuk melawan
penyakit pada masa tersebut.6

c. Terapi wanita hamil kemungkinan akan mengurangi, tetapi tidak


menghilangkan, resiko infeksi kongenital (American College of
Obstetrians and Gynecologist,2000). Spiramisin diperkirakan
mengurangi resiko infeksi kongenital, tetapi tidak digunakan untuk
mengobati infeksi janin yang sudah terjadi. Obat ini dapat
diperoleh dari Devision of Spesial Pathogen and Immunologic
Drug Products di Food and drug Administration. Untuk infeksi ibu
primer pada kehamilan tahap lanjut dengan hasil pemeriksaan
cairan amnion negatif diajurkan terapi presumtif dengan
primetamin dan sulfonamid. Jika dengan pemeriksaan prenatal
terdiagnosis adanya infeksi janin, digunakan premetamin,
sulfanamid, dan asam folinat untuk melenyapkan parasit diplaseta
dan janin. Efektivitas terapi prenatal masih diperdebatkan.7
d. Pencegahan

12
 Dianjurkan memakan semua sayur-sayuran dan daging
yang dimasak. Ookista mati dengan pemanasan 90oC
selama 30 detik 80oC untuk 1 menit dan 70oC untuk 2
menit. Makanan yang dibekukan bukan merupakan sumber
kontaminasi.
 Skrining serologik pramarital yang dilanjutkan skrinning
bulanan selama kehamilan bagi ibu hamil dengan
seronegatif. Keadaan toksoplasmosis disuatu daerah
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan makan
daging kurang matang, adanya kucing terutama yang
dipelihara sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan
burung sebagai hospes perantara yang merupaka bintang
buruan kucing, adanya sejumlah vektor seperti lipas atau
lalat yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing
kemakanan. Cacing tanah juga berperan untuk
memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan
tanah.
Walaupun makan daging kurang matang merupakan
cara transmisi yang penting untuk T.gondii, transmisi
melalui ookista tidak dapat diabaikan, seokor kuncing dapat
mengeluarkan sampai 10 juta butir ookista sehari selama 2
minggu. Ookista menjadi matang menjadi matang dalam
waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun ditanah
yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu 45oC-
55oC, juga mati bila dikeringkan atau dicampur formalin,
amonia atau larutan iodium. Transmisi melalui bentuk
ookista menunjukan infeksi T.gondii pada orang yang tidak
senang makan daging atau terjadi pada binatang herbivora.
Untuk mencegah infeksi T.gondii (terutama pada ibu hamil)
harus dihindari makan daging kurang matang yang
mungkiin mengandung kista jaringan dan menelan ookista

13
matang yang terdapat dalam tinja kucing. Kista jaringan
dalam daging tidak infeksi lagi bila sudah dipanaskan
sampai 66oC atau diasap. Setelah memegang daging mentah
(jagal, tukang masak), sebaiknya tangan di cuci bersih
dengan sabun. Makanan harus ditutup rapat supaya tidak
dijamaah lalat atau lipas. Sayur mayur sebagai lalap harus
di cuci bersih atau dimasak. Kucing peliharan sebaiknya
diberi makanan matang dan di cegah berburu tikus dan
burung.
Pada prinsipnya penggunaan vaksin belum dimulai
untuk tokso plasmosis pada manusia. Akan tetapi,
menyadari bahaya toksoplasama terhadap individu-
individu imuno devisiensi, ibu hamil, dan meningkat
kerugian ekonomis akibat tokso plasmosis pada hewan,
maka pengembangan vaksin mulai difikirkan. Aroujo
(1994) melaksanakan idenya dalam studi awal dengan
modal tikus untuk pengembangan vaksin.
Prinsipnya adalah menginduksi respon imun dalam
usus karena infeksi dengan T.gondii utama terjadi pada
kelenjar getah bening mesenterik. Disini tidak digunakan
adjuvan tetapi fungsingnya diganti oleh immuno
stimulating complexs (ISCOMS), yaitu suatu formulasi
protein dalam matriks yang terdiri atas lipid dn quikl a (
saponim yang dimurnikan) kemudian didalamnya
ditumpangkan membran antigen ( P30 dan P22)
Belum ada vaksin spesifik untuk toksoplasmosis,
tetapi infesi kongenital dapat dicegah dengan :
1. Memasak daging hingga suhu yang aman
2. Mengupas atau mencuci besih buah dan sayuran

14
3. Membersihkan permukaan dan alat memasak yang
mungkin mengandung daging metah, telur, makan
laut, atau buah dan syuran yaang belum dicuci
4. Menggunakan sarung tangan ketika membersihkan
kotoran kucing atau mendelegasikan tugas ini
5. Menghidai memberi kucinng makan daging mentah
atau setengah matang dan menjaga agar kucing
tidak masuk kedalam rumah, namun data yang
mendukung efektifitas langkah – langkah
pencegahan ini belum ada.7

15

Anda mungkin juga menyukai