Anda di halaman 1dari 22

Toksoplasmosis Ensefalitis

Oleh
Meliani
110100159
Pembimbing:
dr. Iskandar Nst, Sp.S-FINS

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Toksoplasmosis Ensefalitis.
Makalah ini disusun sebagai rangkaian tugas kepanitraan klinik di departemen
Neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Iskandar Nst, Sp.S-FINS selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat
memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan makalah ini di kemudian hari.

Medan, November 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................
2.1 DEFINISI...............................................................................................................
2.2 EPIDEMIOLOGI...................................................................................................
2.3 ETIOLOGI.............................................................................................................
2.4 PATOGENESIS......................................................................................................
2.5 GAMBARAN KLINIS............................................................................................
2.6 PROSEDUR DIAGNOSTIK...................................................................................
2.7 NEUROIMAGING...............................................................................................10
2.8 DIAGNOSIS.........................................................................................................12
2.9 DIAGNOSIS BANDING......................................................................................12
2.10 PENATALAKSANAAN....................................................................................1
2.11 PENCEGAHAN.................................................................................................1
2.12 KOMPLIKASI....................................................................................................15
2.13 PROGNOSIS.......................................................................................................16
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................18

BAB 1
PENDAHULUAN
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia oleh organisme
protozoa Toxoplasma gondii (T.gondii).1 Hampir keseluruhan infeksi pada
toksoplasmosis ringan atau asimptomatik, walaupun patogen ini dapat
menyebabkan kecacatan atau kematian pada manusia dan hewan. 2 Toksoplasma
ini mempunyai hospes definitif pada kucing, penularan ke manusia dapat melalui
kontak langsung dengan tinja kucing atau kista yang tertelan bersama makanan
yang tidak dimasak dengan baik. Seringkali infeksi toksoplasma disebabkan oleh
reaktivasi dari penyakit yang telah ada sebelumnya. Pada umumnya menyerang
penderita dengan gangguan sistem imun yang menurun. Dengan makin
meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, maka jumlah kasus toksoplasmosis
ensefalitis ini juga makin meningkat.3
Saat ini toksoplasmosis ensefalitis ini merupakan penyebab tersering dari
infeksi pada sistem saraf pusat yang memberikan gambaran lesi massa pada
penderita HIV. Sekitar 3-40% dari penderita AIDS menderita toksoplasmosis, hal
ini bergantung pada daerah masing-masing. Infeksi ini sering kali merupakan
komplikasi pada penderita HIV stadium lanjut dan biasanya terjadi pada saat
kadar CD4 kurang dari 100/cmm, akan tetapi dapat juga terjadi pada saat kadar
CD4 sebanyak 200/cmm.3
Secara khas, toksoplasmosis ensefalitis (TE) memiliki onset subakut
dengan kelainan neurologis fokal.4,5,6 Diagnosa pasti adalah dengan ditemukannya
Toxoplasma gondii dalam darah, jaringan atau cairan tubuh. Pemeriksaan antibodi
terhadap keberadaan protozoa ini adalah pemeriksaan IgM. Pemeriksaan
radiologis yang dianjurkan adalah CT-scan dengan kontras atau MRI.
Pemeriksaan dengan MRI memberikan hasil yang lebih baik dan lebih sensitif
dibandingkan dengan CT-scan.4,5
Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

gejala

klinis,

tingkat

risiko,

pemeriksaan antibodi IgG terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan
radiologi yang menunjang.4,6

Toksoplasmosis adalah suatu penyakit yang disebabkan parasit berupa


protozoa obligat intraseluler yang bernama Toxoplasma gondii. Terminologi
diambil dari bentuk parasit yang berbentuk crescent shape (bulan sabit) atau
tokson yang dalam bahasa Yunani berarti busur/setengah lingkaran, sedangkan
gondii berasal dari kata yang diambil dari sejenis tikus yang hidup di Afrika
Utara.7,8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Toksoplasmosis ensefalitis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii dan mengenai jaringan otak.3,9,10
2.2. Epidemiologi
Insiden penyakit ini bervariasi dari satu tempat dengan tempat yang lain,
hal ini bergantung pada keberadaan parasit Toxoplasma sebagai penyebabnya dan
bergantung pada kebersihan daerah tersebut.3
Di Amerika Serikat dijumpai 3-675 penderita memiliki seropositif
terhadap antibodi T.gondii. Studi awal menunjukkan bahwa 24-47% penderita
AIDS

dengan

seropositif

T.gondii

akhirnya

mengalami

Toksoplasmosis

Ensefalitis. Di Austria, 47% penderita AIDS dengan seropositif T.gondii dijumpai


Toksoplasmosis Ensefalitis. Di Eropa dan Afrika, diperkirakan 25-50% penderita
AIDS dengan seropositif akan mengalami Toksoplasmosis Ensefalitis.3
2.3. Etiologi
Toksoplasmosis ensefalitis disebabkan oleh infeksi parasit Toxoplasma
gondii yang dibawa oleh kucing, burung, dan hewan lain yang dapat ditemukan
pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau
kurang matang. Parasit ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1908 oleh Nicole
dan Manceaux di Afrika Utara dan secara terpisah oleh Splendore di Brazil. 2
Toksoplasma berukuran kecil (sekitar 2x3 m), bentuk oval, pyriformis, bundar,
atau massa protoplasmik memanjang dengan nukleus sentral.11
Apabila seseorang dengan imunitas yang baik terinfeksi oleh parasit ini,
maka sistem kekebalan tubuh orang tersebut akan melakukan perlawanan terhadap
parasit tersebut sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit. Transmisi pada
manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah
yang mengandung ookis (bentuk infeksius dari T.gondii). Bisa juga dari sayur

yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat
pula terjadi transmisi transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ.
Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada
individu dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi
laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi
di otak.17
Gambar 1. Siklus Hidup Toxoplasma gondii

Terdapat dua macam siklus hidup dari Toxoplasma gondii ini, yaitu siklus
seksual yang terjadi pada hospes definitif (kucing) dan siklus aseksual yang

terjadi pada hospes sekunder (mamalia yang lain, termasuk manusia dan pada
beberapa jenis burung) dan terjadi ekstraintestinal.3
Siklus seksual terjadi di dalam traktus gastrointestinal kucing, yaitu
dengan termakannya ookis oleh kucing yang kemudian akan berkembang dan
mengeluarkan sporozoit di dalam usus halus. Sporozoit ini akan berkembang
menjadi takizoit yang selanjutnya akan berkembang lebih lanjut dan intinya akan
membelah (skizon) sehingga terbentuk merozoit, sebagian dari takizoit ini akan
menyebar masuk ke jaringan dan menjadi bradizoit yang merupakan bentuk yang
berada di jaringan. Bila skizon ini matang dan pecah, maka merozoit akan
memasuki sel lain dan tumbuh menjadi tropozoit dan mulai lagi proses
(skizogoni) ini sampai beberapa kali. Beberapa merozoit yang berada dalam usus
halus akan berkembang menjadi makrogametosit dan mikrogametosit. Setelah
makrogamet dibuahi oleh mikrogamet akan terbentuk zigot. Zigot ini akan
terbungkus dengan kapsul yang kaku dan membentuk ookis yang akan diekskresi
lewat feses. Ookis ini sangat kuat dan dapat bertahan serta masih infeksius sampai
sekitar 1 tahun pada kondisi ruangan yang sangat lembab.3,12
Pada kondisi yang menguntungkan, misalnya panas dan lembab, maka
terjadilah sporogoni di dalam ookis. Ookis yang mengalami sporulasi bersifat
menular dan bila termakan oleh rodensia (hewan pengerat), akan mengeluarkan
sporozoit di dalam usus halus, sporozoit ini akan berpenetrasi di dinding usus
melakukan replikasi dan menyebar secara hematogen pada hampir semua
jaringan. Sekali berada di dalam sel, maka sporozoit ini akan membelah sampai
sel inangnya robek dan melepaskan sporozoit yang akan menginfeksi sel-sel di
sekitarnya. Seiring dengan berjalannya waktu kista jaringan akan membelah
sangat perlahan. Kista di jaringan ini sangat tidak reaktif dan bias bertahan
bertahun-tahun tanpa menimbulkan respon inflamasi. Reaktivasi kista terjadi bila
imunitas penderita turun, seperti pada penderita kanker, transplantasi organ,
penggunaan kortikosteroid jangka panjang, dan penderita HIV/AIDS.3,13,14

2.4. Patogenesis
Toxoplasma gondii merupakan protozoa intraseluler. Toxoplasma gondii
masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasi tinja kucing yang
terinfeksi atau melalui ookis yang mengkontaminasi makanan karena terbawa oleh
kecoa atau lalat atau dapat pula disebabkan karena memakan daging (sapi,
kambing, atau babi) yang kurang masak17.
Sering juga terjadi penularan melalui plasenta. Sangat jarang terjadi
penularan melalui transplantasi organ atau transfusi darah. Setelah memasuki
usus, maka dinding kista akan dirusak oleh enzim pencernaan dan akan dilepaskan
sporozoit yang bentuknya lonjong dan kecil. Sporozoit ini akan membentuk
takizoit dan bradizoit (terdapat dalam jaringan dan berkembang lambat). Takizoit
ini akan menginduksi pembentukan IgA yang spesifik terhadap adanya parasit
(parasite specific secretory IgA response). Dari dalam usus parasit ini akan
menyebar ke berbagai organ, terutama ke jaringan limfe, otot skelet, miokard,
retina, plasenta, dan sistem saraf pusat. Parasit akan menginfeksi sel dan
bereplikasi yang akan mengakibatkan kematian dari sel, serta terjadinya nekrosis
fokal yang dikelilingi dengan inflamasi di sekitarnya.3,4,15
Pada penderita yang immunokompeten baik sistem imun seluler maupun
humoral akan mengontrol infeksi yang terjadi. Infeksi Toxoplasma gondii ini akan
merangsang dengan kuat pada Th-1 untuk memproduksi sitokin proinflamasi yaitu
IL-12, interferon , TNF-. Sitokin proinflamasi ini dan mekanisme imunologi
yang lain akan menghambat replikasi takizoit dan perubahan patologi yang lain.
Setelah masuk ke dalam enterosit, Toxoplasma gondii akan menginfeksi APC
(Antigen Presenting Cell) lamina propria usus dan menginduksi terjadinya respon
lokal Th-1.16
T limfosit CD4+ dan CD8+ yang tersensitasi bersifat sitotoksik terhadap
sel yang telah terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dan akan menghancurkan parasit
yang berada di ekstraseluler, serta yang terinfeksi. Setelah fase akut ini lewat,
maka akan terdapat bradizoit dalam jaringan, terutama di sistem saraf pusat dan

retina. Belum diketahui mekanisme bagaimana Toxoplasma gondii dapat bertahan


hidup dalam makrofag jaringan.16
Kerusakan pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii memberikan gambaran khas, yaitu lesi yang banyak/multipel dengan
nekrosis luas dan nodul mikroglia. Pada bayi (infant) adanya gambaran nekrosis
dan vaskulitis pada daerah periventrikuler dan periaquaductus merupakan ciri
khas infeksi ini. Area nekrotik ini dapat mengalami kalsifikasi dan memberikan
gambaran radiologis yang nyata, tetapi tidak khas untuk infeksi Toxoplasma
gondii. Apabila terjadi penyumbatan pada aquaductus sylvii atau foramen Monroe
dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus16.
2.5. Gambaran klinis
Gejala klinis infeksi Toxoplasma bergantung pada sistem imun penderita.
Delapan puluh persen kasus primer tanpa gejala (asimptomatis). Masa inkubasi
periode ini berlangsung sekitar 1-2 minggu, yang selanjutnya baik yang timbul
gejala maupun yang tanpa gejala akan berlanjut menjadi fase kronis. Biasanya
gejala klinis yang timbul tidak khas, gejala klinis yang paling sering adalah
limfadenopati servikal, kadang didapatkan sedikit peningkatan suhu tubuh, nyeri
otot,

nyeri

telan,

sakit

kepala,

urtika,

kemerahan

pada

kulit

dan

hepatosplenomegali sehingga memerlukan pemeriksaan lebih cermat.


Gejala klinis dari toksoplasmosis ensefalitis dapat berupa gangguan status
mental, panas badan yang dapat terus-menerus atau hilang timbul, sakit kepala,
defisit neurologis fokal, gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, kadang
didapatkan kejang, gangguan penglihatan, selain itu dapat pula didapatkan tanda
iritasi selaput otak. Terjadinya defisit neurologis fokal adalah akibat adanya lesi
massa intracranial, kadang juga didapatkan adanya gerakan involunter. Pada
beberapa penderita dapat timbul pneumonia dan miokarditis.
Secara umum manifestasi neurologis pada toksoplasmosis dapat berupa
salah satu bentuk berikut :

1. Gambaran ensefalopati subakut-kronik dengan kesadaran delirium,


kesadaran berkabut dan koma, kadang-kadang diikuti oleh kejang
2. Meningoensefalitis akut dengan nyeri kepala, kaku kuduk, seizure fokal
atau umum, dapat menjadi status epileptikus dan koma
3. Tanda-tanda fokal disebabkan oleh lesi massa tunggal atau multipel, ini
kemungkinan yang paling sering dijumpai dan cenderung bersifat kronik
2.6. Prosedur diagnostik
2.6.1. Identifikasi dan isolasi parasit
Diagnosis definitif membutuhkan pembuktian adanya parasit pada
spesimen. Walaupun jarang pada pasien dengan meningoensefalitis yang
disebabkan T.gondii, parasit tersebut dapat diisolasi pada cairan LCS (Liquor
Cerebro Spinal). Parasit dapat juga diisolasi dari kultur darah pasien, walaupun
dengan atau tanpa bukti adanya ensefalitis yang sedang berlangsung. Dulu isolasi
T.gondii yang didapatkan dari spesimen klinis memerlukan perlakuan intensif dan
hasil yang didapat setelah 6 minggu kemudian. Metode diagnostik lainnya yang
sedang diteliti adalah amplifikasi selektif dengan PCR (Polymerase Chain
Reaction) dari produksi khusus DNA spesimen klinik T.gondii. Karena
keuntungan klinis dari teknik pemeriksaan yang sangat sensitif ini untuk
mengidentifikasi parasit pada LCS (pada infeksi yang predominan ensefalitis
dibandingkan meningitis) pemeriksaan ini tetap perlu dilakukan.13
2.6.2. Test serologis
Test terhadap IgM digunakan untuk menentukan apakah suatu pasien telah
terkena infeksi baru-baru ini atau di waktu yang lalu. Oleh karena ada
kemungkinan dalam salah menafsir hasil positif IgM dari hasil percobaan,
pengujian untuk konfirmasi harus dilakukan.
a. Toxoplasma Serological Profile (TSP)
Toxoplasma Serological Profile telah secara klinis sangat menolong dalam
mendiagnosis

toxoplasmik

limfadenitis,

miokarditis,

polimiositis,

chorioretinitis dan selama kehamilan. Karena pemeriksaan TSP dengan


hasil

positif

pada

IgG

dan

IgM

dapat

membedakan

antara

infeksi/peradangan kronis atau infeksi yang didapat dan lebih baik


daripada pemeriksaan serologikal tunggal manapun.14
b. Dye test
Antibodi IgG diukur terutama menggunakan sabin-feldman dye test (DT).
Pemeriksaan ini merupakan tes netralisasi sensitif dan sangat spesifik,
dimana

organisme

dilisiskan

kemudian

dipresentasikan

dengan

komplemen dan IgG antibodi spesifik T.gondii. IgG biasanya timbul dalam
1-2 minggu infeksi, puncaknya dalam 1-2 bulan, kemudian turun dengan
rata-rata penurunan bervariasi dan biasanya tetap ada selama

hidup.

Tingginya titer tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit.14


Dye test positif menyatakan bahwa pasien pernah terpapar oleh parasit,
sebaliknya

DT

yang

negatif

mempunyai

arti

penting

dalam

mengesampingkan kemungkinan terpapar T.gondii. pada sebagian kecil


pasien antibodi IgG mungkin saja tidak terdeteksi dalam 2-3 minggu
setelah awal paparan terhadap parasit.
c. Test Differential Agglutination (AC/HS)
Test differential agglutination menggunakan dua preparat antigen yang
dapat menggambarkan antigen penentu yang ditemukan pada awal infeksi
akut (antigen AC) atau antigen pada tahap akhir infeksi (HS). Rasio titer
menggunakan antigen AC dibandingkan dengan antigen HS dapat
menginterpretasikan sebagai akut.
d. Avidity
Test avidity digunakan sebagai test konfirmasi diagnostik tambahan pada
TSP untuk pasien dengan IgM positif atau equivocal atau hasil test AC/HS
yang akut atau equivocal. Hasil antibodi avidity IgG rendah atau equivocal
jangan diinterpretasikan sebagai diagnostik infeksi yang didapat sekarang.
e. Antibodi IgM
Antibodi IgM diukur dengan menggunakan metode double sandwich atau
immune capture IgM-ELISA. Metode ini menghindari kesalahan false
positif. Pada pasien dengan infeksi didapat saat ini, antibodi IgM T.gondii
9

dideteksi pada awal penyakit dan titer ini akan negatif dalam beberapa
bulan. IgM yang tetap persisten tidak menggambarkan relevansi klinis dan
pada pasiennya harus dipertimbangkan infeksi kronis.
f. Antibodi IgA
Antibodi IgA mungkin dapat ditemukan pada infeksi akut dalam serum
penderita

dewasa

dan

infant

yang

terinfeksi

secara

kongenital

menggunakan ELISA atau metode ISAGA. Antibodi IgA dapat tetap ada
untuk beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun. Berdasarkan hal ini,
pemeriksaan antibodi ini mempunyai peranan yang sedikit untuk
menegakkan infeksi akut pada orang dewasa, hal ini kontras dibandingkan
apabila ada peningkatan sensitifitas dengan hasil pemeriksaan IgA yang
melebihi IgM untuk mendiagnosis toksoplasmosis kongenital.13
g. Antibodi IgE
Antibodi IgE dideteksi dengan menggunakan ELISA pada serum penderita
dewasa dengan infeksi akut, neonatus yang terinfeksi secara kongenital,
anak-anak dengan chorioretinitis, toksoplasmosis kongenital. Durasi
seropositif IgE kurang dibandingkan antibodi IgM atau IgA.13
2.7. Neuroimaging
Pada gambaran CT-scan di otak menunjukkan gambaran lesi noduler
tunggal (30%) atau multipel. Lebih sering gambaran CT-scan menunjukkan lesi
kavitasi dengan dinding yang tipis dan diikuti adanya ring enhancement setelah
pemberian kontras. Gambaran edema di sekeliling white matter juga sering
didapatkan.15
Sekitar 75% nodul-nodul berlokasi di basal ganglia, tetapi dapat juga
tersebar sampai ke bagian serebral lain pada gray matter-white matter.
Toksoplasmosis mempunyai kecenderungan untuk melibatkan basal ganglia, lesi
juga dapat timbul di sepanjang serebellum, batang otak dan medulla spinalis.
Perdarahan dan kalsifikasi dapat timbul selama pengobatan dan dikatakan
kalsifikasi berupa cincin tergambar pada awal dilakukan CT-scan sebagai
diagnosis pertama, walaupun dikatakan bahwa kalsifikasi berupa cincin jarang
terjadi pada penyakit yang didapat dibandingkan dengan kelainan congenital.15
10

Tanda karakteristik dari toksoplasmosis di sistem saraf pusat adalah target


yang asimetris yang dapat dideteksi baik dengan CT-scan maupun dengan MRI,
dengan MRI lebih sensitif dibandingkan CT-scan. Target asimetris yang timbul
berupa abses ring enhancement yang mengandung nodul eksentris pada kavitas
absesnya.

Tanda

target

asimetris

ini

sebenarnya

patognomonik

untuk

Toxoplasmosis SSP tetapi hanya terlihat pada 30% penderita.16


MRI lebih sensitif dibandingkan CT-scan pada awal infeksi. MRI dapat
mendeteksi lesi pada penderita Toksoplasmosis aktif yang pada CT-scan
didapatkan hasil yang normal. Dengan demikian MRI direkomendasikan pada
penderita yang dijumpai gejala neurologis dan antibodi toxoplasma dengan
gambaran CT-scan normal. Toxoplasmosis memperlihatkan area hipointens ringan
pada T1W1 dan hiperintense T2W1. Kadang lesi dapat menunjukkan sedikit
isointense sampai hipointense pada T2W1, dikelilingi oleh edema dengan
intensitas lebih tinggi. Pada CECT dan CEMR, ring-like dan nodular
enhancement dikelilingi edema white matter dengan berbagai tingkatan. Nodul
atau ring enhancement fokal dijumpai sekitar 70% penderita setelah pemberian
gadolinium.16

Gambar 2. Gambaran MRI Toksoplasmosis Cerebri

11

Axial T1W MR
shows a ring
"target
lentiform nucleus
surrounding
midline shift in

image post contrast


enhancing mass with
appearance" in the left
with
marked
edema, resulting in
an AIDS patient.

2.8. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, tingkat resiko, pemeriksaan
antibodi IgG terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan radiologi
yang menunjang selain itu dugaan diagnosis dapat pula didasarkan adanya respon
klinis pengobatan terhadap Toxoplasma.3,6,8
2.9. Diagnosis banding
Diagnosis banding untuk lesi bentuk cincin (ring-enhancing lesions) di otak pada
pasien dengan HIV ialah seperti berikut3,10 :

Toksoplasmosis ensefalitis akut


Primary central nervous system lymphoma (PCNSL)
Tumor otak primer
Metastase otak
Penyakit demyelinasi (misal : multiple sclerosis)
Infeksi (misal : tuberkuloma)
Infark multifokal
Malformasi vena-arteri
Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah

berat (CD4 T sel < 50 sel/L) termasuklah toksoplasmosis ensefalitis (19% dari
semua pasien dengan gejala lesi di otak), PCNSL (4%-7%), leukoensefalopati
multifocal progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis citomegalovirus. Infeksi-

12

infeksi dari etiologi lain ialah tuberculosis, stafilokokkus, streptokokkus,


salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis dan meningovaskuler syphilis10.
Tabel 1. Diagnosis banding toksoplasmosis ensefalitis dengan PCNSL3
Toksoplasmosis
PCNSL
Basal ganglia, perbatasan Periventricular

Lokasi

white matter-gray matter


Jumlah lesi
Banyak (multipel)
Gambaran enhancement
Cincin
Edema
Sedang sampai berat
T2
weighted
image Hiperintense

Tunggal > multipel


Heterogen atau homogen
Bervariasi
Isointense
sampai

(lesion relative to white

hipointense

matter)
Diffusion

Seringkali hiperintense

weighted Biasanya hipointense

image
MR perfusion
MR spectroscopy
Lain-lain

Menurun
Meningkat
Kadar laktat meningkat
Kadar choline meningkat
Antibodi
IgG EBV DNA amplified by
Toxoplasma positif (90% PCR in CSF (hampir

penderita)
seluruh penderita)
Dikutip dari : Sugianto P. Infeksi Toksoplasmosis pada Sistem Saraf Pusat. Dalam
: Infeksi pada Sistem Saraf Pusat, Editor : Sudewi, Sugianto, Ritarwan K.
Kelompok Studi Neuro Infeksi. Airlangga University Press.2011
2.10. Penatalaksanaan
Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dan dibagi menjadi
dua bagian, yaitu terapi fase akut yang diberikan selama sekitar 4 sampai 6
minggu, yang kemudian dilanjutkan dengan fase perawatan.3
Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk mengatasi
edema, akan tetapi apabila toksoplasmosis ini terjadi karena adanya infeksi
opportunistik, maka harus dipertimbangkan pemberian kortikosteroid ini. Pada
kasus ini sebaiknya hanya diberikan untuk jangka pendek, agar tidak mengurangi
immunitas penderita.3

13

Terapi empiris Toxoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV dengan


CD4 yang kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses otak dengan
seropositif dari Toxoplasma.3
Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine dengan dosis awal 200 mg
peroral yang kemudian dilanjutkan dengan dosis 75-100 mg/hari ditambah dengan
sulfadiazine 1-1,5 gr yang diberikan setiap 6 jam atau 100 mg/kg/hari (maksimum
dosis 8 gr/hari) dan ditambah pula dengan asam folat 10-20 mg/hari. Pada
penderita yang mempunyai alergi terhadap sulfa, maka preparat sulfa ini dapat
digantikan dengan clindamycin dengan dosis 600-1200 mg yang diberikan setiap
6 jam sekali selain ini dapat pula diberikan preparat lain sebagai alternatif, yaitu
trimethoprim (900-1200 mg/hari), clarithromycin 1000 mg diberikan peroral
setiap 12 jam atau atovaquone 1,5 mg per oral setiap 12 jam, minocyclin 150-200
mg diberikan setiap 12 jam atau doksisiklin diberikan 300-400 mg/hari.
Kombinasi pemberian pyrimethamin dengan sulfadiazine dibandingkan kombinasi
pyrimethamine dengan clindamycin tidak memberikan hasil yang berbeda.3
Terapi fase perawatan dapat diberikan pyrimethamine 25-50 mg/hari
ditambah dengan sulfadiazine 500-1000 mg/hari diberikan sebanyak empat kali
perhari dan juga diberikan asam folat bersama-sama. Apabila pasien tidak tahan
atau alergi terhadap sulfadiazine dapat diganti dengan clindamycin 1200 mg
diberikan 3 kali perhari. Pada penderita yang mendapat terapi HAART terapi
perawatan dapat diberikan apabila kadar CD4 lebih dari 200/dl selama 3 bulan
pada pencegahan primer dan selama 6 bulan pada pencegahan sekunder.3
2.11. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan cara menghindari makanan yang tidak
dimasak atau memakan daging yang kurang masak (untuk daging kambing, sapi
dan babi) sebaiknya dimasak pada suhu 165-170F (74-77C), mencuci sayuran
dan buah-buahan yang akan dimakan. Bila memiliki kucing di rumah, maka
tempat kotoran untuk kucing harus dicuci dan dibersihkan setiap hari dan harus
mencuci tangan setelah membersihkannya.3

14

Pencegahan primer diberikan pada penderita HIV dengan seropositif


Toxoplasma gondii dan kadar CD4+ < 100/dl. Untuk pencegahan primer ini dapat
diberikan pyrimethamine dengan sulfadiazine dan apabila penderita mengalami
alergi terhadap sulfadiazine, maka dapat digunakan pyrimethamine dengan
clindamycin. Pilihan kedua dapat menggunakan trimethoprim sulfamethoxazole
atau dapat juga menggunakan pyrimethamine dengan dapsone. Pilihan yang lain
adalah pyrimethamine dengan atovaquone.3
Profilaksis monoterapi dengan menggunakan pyrimethamine atau dapsone
atau azithromycin tidak dianjurkan karena penggunaan profilaksis monoterapi
tidak akan memberikan hasil yang memadai untuk pencegahannya.3
Pencegahan primer dihentikan apabila penderita telah memberikan respon
terhadap antiretroviral dan kadar CD4+ > 200/dl selama 3 bulan. Pencegahan
sekunder dihentikan apabila penderita sudah tidak menampakkan gejala dan kadar
CD4+ > 200/dl selama 6 bulan setelah pemberian antiretroviral.3
2.12. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa kejang, defisit neurologis fokal dan
penurunan kesadaran. Penderita yang menderita toksoplasmosis okuler dapat
timbul kebutaan total atau sebagian. Pada toksoplasmosis congenital dapat terjadi
banyak komplikasi, antara lain retardasi mental, kejang, tuli dan kebutaan.3
2.13. Prognosis
Pada umumnya toksoplasmosis ensefalitis dapat diterapi dengan baik,
sehingga prognosisnya baik. Angka kematian berkisar 1-25% pada penderita yang
mendapat penanganan dengan baik. Pada penderita dengan defisiensi imun,
terdapat kemungkinan terjadinya kekambuhan apabila pengobatan profilaksis
dihentikan.3,7,16

15

BAB 3
KESIMPULAN
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia oleh organisme protozoa
Toxoplasma gondii (T.gondii).. Toksoplasma ini mempunyai hospes definitif pada
kucing, penularan ke manusia dapat melalui kontak langsung dengan tinja kucing
atau kista yang tertelan bersama makanan yang tidak dimasak dengan baik.
Seringkali infeksi toksoplasma disebabkan oleh reaktivasi dari penyakit yang
telah ada sebelumnya. Pada umumnya menyerang penderita dengan gangguan
sistem imun yang menurun. Dengan makin meningkatnya jumlah penderita
HIV/AIDS, maka jumlah kasus toksoplasmosis ensefalitis ini juga makin
meningkat.
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, tingkat resiko, pemeriksaan
antibodi IgG terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan radiologi
yang menunjang, selain itu dugaan diagnosis dapat pula didasarkan adanya respon
klinis pengobatan terhadap Toxoplasma.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Jubelt B. Miller JR. Parasitic Infections. In : Rowland LP, editor. Merrits


Neurology.10th ed. Philadelphia : Lippincot William & wilkins; 2000.p.192202.
2. Luft BJ, Sidavas R. Toxoplasmosis. In : Scheldt WM, Whitley RJ, Marra CM,
editors. Infections of the Nervous System 3rd ed. Philadelphia: Lippincot
William & Wilkins; 2004.p.755-756
3. Sugianto P. Infeksi Toksoplasmosis Pada Sistem Saraf Pusat, dalam: Infeksi
Pada Sistem saraf Pusat, Editor: Sudewi, Sugianto, Ritarwan K. Kelompok
Studi Neuro Infeksi. Airlangga University Press.2011.
4. Subauste CS. Toxoplasmosis and HIV. HIV InSite Knowledge Base Chapter.
Maret 2006. Available from : www.hivinsite.org/Insite?page=kb-05-04
5. Yunihastuti E, djauzi s, Djoerban Z. Infeksi Oppurtunistik pada AIDS. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2005.
6. Cardona N, Basto N, Parra B. Detection of Toxoplasma DNA in the Peripheral
blood of HIV-Positive Patients with Neuro-opportunistics Infections by a Real
Time PCR Assay. Journal of Neuroparasitology. 20011; 2; 1-6.
7. Gilroy J.Infectious Diseases.Basic Neurology.3rded. New York: Mc-Graw Hill;
2005. p. 447-49
17

8. Trucksis M.Toxoplasmosis CNS. In : Shakir RA, Newman PK, Poser CM,


editors. Tropical Neurology. London. WB Saunders Company Ltd; 1996. p
183-93
9. Victor M, Ropper AH. Adams and Victors Principles of Neurology. 7 th
edition. New York : McGraw-Hill.2006. p.1271-73
10. Jayawerdana S, Singh S, Burzyyantseva. Cerebral toxoplasmosis in Adult
Patients with HIV infection. Journal Hospital Physician;2008;7;17-24.
11. Colebunderes R. Evaluation of serological marker for the Immunodiagnosis of
Acute Acquired Toxoplasmosis. J Med Microbiol 2007;50:62-70
12. Billicer S. HIV-1 Associated Oppurtunistic Infections:CNS Toxoplasmosis.
2007: Available : : http://www.emedicine.com/neuro/topic452.htm
13. Hahn BM, Schrell V, Sauer R, Fahlbusch R. Laboratory test for the Diagnosis
of Toxoplasmosis : results of a pilot study. J Micro 2005 ; 74 : 157 65.
14. Loven D, Hardoff R, Sever ZB, Steinmetz AP. Treatment of Toxoplasmosis the
HIV patient. J Neuro-Oncology 2004 ; 1 : 221 225.
15. Naqi R, Azeemuddin M, ahsan H. Cerebral Toxoplasmosis in a patient with
AIDS. J Pak Med Assoc;2010;60;316-18.
16. Ministry of Health & Family Welfare Government of India.Guidelines and
Management of Common Opportunistics Infections of Malignancies among
HIV infected Adult and Adolescent. 2007.
17.

Advisory Committee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile

in relation to Toxoplasma in the food chain.

18

Anda mungkin juga menyukai