Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ensefalitis Toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi


oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya mencapai
30%-50%, sedangkan di Eropa mencapai 50%-70%. Berdasarkan penelitian di bagian
neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan,
baik dengan tomografi komputer (CT SCAN) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan histopatologi dari
biopsy dan ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit
dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi
otak fokal tunggal atau multiple yang menyangat bagian tepi menyerupai cincin, dengan
lokasi tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikuler dan corticomedullary
junction (subkotikal) disertai edema perifokal dan berdiameter 1 sampai ≤ 3 cm.

Sejak 2 dekade terakhir setelah ditemukannya AIDS, jumlah penderita AIDS secara
dramatis meningkat tajam. Sampai dengan tahun 1997, sekitar 30 juta orang terinfeksi HIV,
dimana kasus baru untuk tahun 1997 sebesar 6 juta. Sembilan puluh persen individu yang
terinfeksi ini tinggal di negara berkembang termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI jumlah terinfeksi HIV tahun 2002


diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar tersangka HIV ini merupakan
pengguna obat narkotika suntik ( Intravenous drug user).

Lebih dari 50% penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi kelainan
neurologis. Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV
adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP, meningitis criptococcal, CMV ensefalitis dan
progressive multifocal leukocephalopathy.
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

B. TOKSOPLASMOSIS
1. Definisi
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi oleh parasit yang di sebabkan oleh
Toxoplasma gondii yang dapat menimbulakan radang pada kulit, kelenjar
getah bening, jantung, paru, mata, otak dan selaput otak.
2. Klasifikasi
Terdapat 2 macam bentuk dari Toxoplasma yaitu bentuk intraseluler dan
bentuk ekstraseluler bulat atau lonjong, sedang bentuk ekstraseluler seperti
bulan sabit yang langsing, dengan ujung yang satu runcing sedang lainnya
tumpul. Ukuran parasit micron 4-6 mikron, dengan inti terletak di ujung yang
tumpul.
Jumlah parasit dalam darah akan menurun dengan terbentuknya antibodi
namun kista Toxoplasma yang ada dalam jaringan tetap masih hidup. Kista
jaringan ini akan reaktif jika terjadi penurunan kekebalan. Infeksi yang terjadi
pada orang dengan kekebalan rendah baik infeksi primer maupun infeksi
reaktivasi akan menyebabkan terjadinya Cerebritis, Chorioretinitis,
pneumonia, terserangnya seluruh jaringan otot, myocarditis, ruam
makulopapuler dan atau dengan kematian. Toxoplasmosis yang menyerang
otak sering terjadi pada penderita AIDS.
Infeksi primer yang terjadi pada awal kehamilan dapat menyebabkan
terjadinya infeksi pada bayi yang dapat menyebabkan kematian bayi atau
dapat menyebabkab Chorioretinis, kerusakan otak disertai dengan klasifikasi
intraserebral, hidrosefalus, mikrosefalus, demam, ikterus, ruam,
hepatosplenomegasli, Xanthochromic CSF, kejang beberapa saat setelah lahir.
3. Etiologi
Toxoplasmosis sendiri ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada tahun 1909
yang menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara. Selanjutnya setelah
diselidiki maka penyakit yang disebabkan oleh toxoplasmosis dianggap suatu
genus termasuk famili babesiidae.
3

Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-sel


endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk
bulat atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan
dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa,
sumsum tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.
4. Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, dan Ookista
a. Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua
sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan
selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis trofozoit dalam
jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit.
b. Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah
ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi aan paling
banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.
c. Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um.
Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan
dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus
aseksual atau schizogoni dan siklus atau gametogeni dan sporogoni. Yang
menghasilkan ookista dan clikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang
mengandung toxoplasma gondii dalam sekali exkresi akan mengeluarkan
jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti
manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan hospes
perantara akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah
secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi
dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang
mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus
halus kucing tersebut.
4

5. Cara Penularan
Infeksi dapat terjadi bila manusia makan daging mentah atau kurang matang
yang mengandung kista. Infeksi ookista dapat ditularkan dengan vektor lalat,
kecoa, tikus, dan melalui tangan yang tidak bersih. Transmisi toxoplasma ke
janin terjadi utero melalui plasenta ibu hamil yang terinfeksi penyakit ini.
Infeksi juga terjadi di laboratorium, pada peneliti yang bekerja dengan
menggunakan hewan percobaan yang terinfeksi dengan toxoplasmosis atau
melalui jarum suntik dan alat laboratorium lainnya yang terkontaminasi
dengan toxoplasma gondii.
Melihat cara penularan diatas maka kemungkinan paling besar untuk terkena
infeksi toxoplamosis gondii melalui makanan daging yang mengandung
ookista dan yang dimasak kurang matang. Kemungkinan ke dua adalah
melalui hewan peliharaan. Hal ini terbutki bahwa di negara Eropa yang
banyak memelihara hewan peliharaan yang suka makan daging mentah
mempunyai frekuensi toxoplasmosis lebih tinggi dibandingkan dengan negara
lain.
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang
terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan
5

jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang.


Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan
otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi
merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan
fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf,
yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
6. Patologi dan Gambaran Klinik
Pada manusia dewasa dengan daya tahan tubuh yang baik biasanya hanya
memberikan gejala minimal dan bahkan sering tidak menimbulkan gejala.
Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti : demam,
nyeri otot, sakit tenggorokan, kadang-kadang nyeri dan ada pembesaran
kelenjar limfe servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi
berat, meskipun jarang, dapat terjadi sakit kepala, muntah, depresi, nyeri otot,
pnemonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang.
Sesudah terjadi penularan, parasit dengan perantara aliran darah akan dapat
mencapai berbagai macam organ misalnya otak, sumsum tulang belakang,
mata, paru-paru, hati, limpa, sumsum ulang, kelenjar limfe dan otot jantung.
Gejala-gejala klinik pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan
kelainan patologi yang terjadi yang dapat digolongkan menjadi dua kelompok
yaitu gejala-gejala klinik pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis
didapat.

a) Gejala klinik toksoplasmosis kongenital


Kelainan yang terjadi pada janin pada umumnya sangat berat dan
bahkan biasa fatal oleh karena parasit tersebar di berbagai organ-organ
terutama pada system susunan sarafnya. Kelainan yang terjadi sangat
jelas terlihat dan yang patognomonik dan indikatif adalah kalsifikasi
serebral, korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus dan psikomotor.
Kalsifikasi serebral dan korioretinitis merupakan gejala yang paling
penting untuk menentukan diagnosis toksoplasmosis congenital.
b) Gejala klinik toksoplasmosis di dapat
Pada toksoplasmosis didapat, berbagai kelainan organ dan jaringan
dapat terjadi yaitu pada jaringan serebrospinal yang mengakibatkan
ensefalomielopati, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis,
6

kelainan limfatik berupa limfadenitis disertai dengan demam, kelainan


pada kulit yang berupa ruam kulit makulopapuler yang mirip ruam
kulit pada demam tifus, kelainan pada paru-paru yang berupa
pneumonia interstisial, pada jantung terjadi miokarditid dan terjadi
pula pembesaran hati dan limpa. Kelainan-kelainan pada jaringan
serebrospinal umumnya menyerang bayi dan anak-anak sedangkan
kelainan limfatik menyerang anak berumur antara 5-15 tahun.
7. Diagnosis
Diagnosis untuk Toxoplasmosis sendiri dibagi menjadi 2 yaitu :
a) Diagnosis Klinik
Toksoplasmosis hendaknya wajib dicurigai bila didapatkan klasifikasi
serebral pada ventikulogram dan korioretinitis ditemukan pada
pemeriksaan mata. Apalagi jika didapatkan kelainan-kelainan yang
berupa hidrosefalus, mikrosefalus, mikroptalmus, pneumonitis,
miokarditid, adenopati, hepatomegali atau splenomegali.
b) Diagnosis Spesifik
Diagnosis spesifik ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan
laboratorium untuk menemukan Toxoplasma gondii yang berasal dari
hasil biopsy aau pengambilan cairan dari organ dan jaringan penderita.
Inokulasi hewan-hewan percobaan (tikus, mamot atau hamster) dengan
hasil biopsy organ dan jaringan dapat meningkatkan hasil pemeriksaan.
8. Pencegahan
Tindakan yang perlu dilakukan dalam mencegah penyakit toxoplasmosis adalah
sebagai berikut :
a. Daging yang akan dikonsumsi hendaknya daging yang sudah diradiasi atau yang
sudah dimasak pada suhu 150°F (66°C), sedangkan pada daging yang dibekukan
mengurangi infektivitas parasit tetapi tidak membunuh parasit.
b. Ibu hamil yang belum diketahui telah mempunya antibodi terhadap toxoplasma
gondi, dianjurkan untuk tidak kontak dengan kucing dan tidak membersihkan
tempat sampah. Pakailah sarung tangan karet dan cucilah tangan selallu setelah
bekerja dan sebelum makan.
c. Apabila memelihara kucing, maka sebaiknya kucing diberikan makanan kering,
makanan kaleng atau makanan yang telah dimasak dengan baik dan jangan
biarkan membru makanan sendiri.
7

d. Cucilah tangan baik-bai sebelum makan dan sesudah menjamah dagin mentah
atau setelah memegang tanah yang terkontaminasi kotoran kucing.
e. Awasi kucing liar, jangan biarkan kucing tersebut membuang kotoran ditempat
bermain anak-anak.
9. Penatalaksanaan
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine dengan
trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan menghambat siklus
p-amino asam benzoat dan siklus asam foist.
 Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25-50 mg per hari
selama sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000-6.000 mg
sehari selama sebulan. efek samping obat tadi ialah leukopenia dan
trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan
yeast selama pengobatan. Trimetoprimn juga temyata efektif untuk
pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi
antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih
kalah efektifitasnya.
 Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif etapi
efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat
sebelumnya. Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari
yang di bagi dalam 2 atau 4 kali pemberian. Beberapa peneliti
menganjurkan pengobatan wanita hamil trimester pertama dengan
spiramycin 2-3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu kemudian
disusul 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan
terhadap bayi yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.

C. ENSEFALITIS TOXOPLASMOSIS
1. Definisi
Disebut juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10% pasien
AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang
tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang.
8

2. Etiologi
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung
dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing
dan kadang pada daging mentah atau kurang matang.
3. Patologi dan Daur Hidup
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir
dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing
merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada
pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau
oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau
sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,
organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit
ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini
dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak,
myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat
dirusak dengan pemanasan sampai 67oC, didinginkan sampai –20oC atau oleh iradiasi
gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing
yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst.
Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi
infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung
dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi
infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba
yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu
yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh
yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan
timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur
dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel
dan menyebabkan focus nekrosis.
9

Gambar 3 Definitif host dari T. gondii ialah kucing. Unsporulated oocysts


dikeluarkan di kotoran kucing . Walaupun oocysts biasanya dikeluarkan hanya
selama 1-2 minggu, jumlah yang banyak dapat dikeluarkan. Oocysts memerlukan
waktu 1-5 hari untuk sporulate dalam lingkungan sebelum menjadi infektif. Host di
lingkungan (termasuk burung dan tikus) menjadi terinfeksi setelah menelan tanah, air
atau tumbuh-tumbuhan yang terkontaminasi oleh oocysts . Oocysts berubah
menjadi tachyzoites setelah tertelan. Tachyzoites ini melekat pada jaringan neural dan
otot dan menjadi tissue cyst bradyzoites . Kucing menjadi terinfeksi setelah
menelan intermediate host yang membawa tissue cysts . Kucing juga dapat
terinfeksi secara langsung dengan menelan sporulated oocysts. Binatang yang
dipelihara untuk konsumsi manusia dan untuk permainan juga dapat terinfeksi oleh
tissue cysts setelah menelan sporulated oocysts dalam lingkungan . Manusia dapat
terinfeksi oleh berbagai cara:

 Memakan daging binatang yang membawa tissue cysts dan dimasak kurang
matang .
 Memakan makanan atau air yang terkontaminasi oleh kotoran kucing atau oleh
sample kontaminasi lingkungan (seperti tanah yang terkontaminasi kotoran
atau menukar kotak kotoran kucing peliharaan) .
 Transfusi darah atau transplantasi organ tubuh .
 Secara transplacental dari ibu ke janin .
10

Dalam host manusia, parasit dari tissue cysts, terutama dalam otot rangka,
miocadium, otak, dan mata; cysts ini menetap seumur hidup host tersebut. Diagnosis
biasanya dapat ditegakkan oleh serologi, walaupun tissue cysts dapat ditemukan
dalam spesimen biopsi yang diwarnai . Diagnosis dari infeksi kongenital dapat
ditegakkan dengan deteksi DNA T. gondii dalam air ketuban melalui cara PCR .
4. Tanda dan Gejala
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala
dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan
terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini
hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada
penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini.
Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
5. Diagnosa
a. Anamnesis
 Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.
 Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri
kepala, ensefalopati, kejang, & kesadaran menurun.
 Kejang bersifat umum atau fokal, dapat terjadi status epileptikus.
b. Pemeriksaan Penunjang
 Darah perifer lengkap, gula darah & elektrolit
 Pungsi lumbal: pemeriksaan CSS bisa normal atau menunjukkan
abnormalitas ringan sampai sedang :
 peningkatan jumlah sel 50-200/mm3
 hitung jenis didominasi sel limfosit
 protein meningkat tapi tidak melebihi 200 mg/dl
 glukosa normal
 Pemeriksaan Serologi
didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat
dilakukan denganindirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau
11

enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).Titer IgG mencapai puncak


dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
 Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
 Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
m endeteksi DNA T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada
cairan bronkoalveolar dancairan vitreus atau aquos humor dari penderita
toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCRyang positif pada
jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat
bertahanlama berada di otak setelah infeksi akut.
 CT Scan
menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple
disertai dan biasanyaditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan
homogen dan disertai edema vasogenik padajaringan sekitarnya. Ensefalitis
toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi
 Biopsy Otak
untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak.
6. Penatalaksanaan
a) Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
b) Toxoplasma Gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya.
c) Kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan
dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam.
d) Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi
pirimetamin 50-100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
e) Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi
sumsum tulang.
f) Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan
Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau
12

atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3
minggu setelah perbaikan gejala klinis.
g) Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang
terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala
(AIDS) atau limfosit total kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42,
sehingga diberikan ARV.
13

BAB III

KESIMPULAN

Ensefalitis Toksoplasmosis disebut juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang


lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati dan merupakan penyebab tersering lesi otak fokal
infeksi infeksi oportunistik yang serius.

Di Indonesia lebih dari 50% penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi
kelainan neurologis. Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi
HIV adalah ensefalitis toxoplasmosis, meningitis criptococcal.

Hal ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung
dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang
pada daging mentah atau kurang matang.

Cara penularan dari toxoplasmosis itu sendiri bila manusia makan daging babi atau
domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental,
transfusi darah, dan transplantasi organ.

Jika belum terinfeksi toksoplasmosis, dapat menghindari risiko terpajan infeksi


dengan tidak memakan daging atau ikan mentah, dan ambil kewaspadaan lebih lanjut jika
anda membersihkan kandang kucing.

Untuk pengobatannya sendiri Toxoplasma Gondii, membutuhkan vitamin B untuk


hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin
menghambat penggunaannya.
14

DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV.Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.

Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired


ImmunodeficiencySindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume
1. Edisi 6. Jakarta: EGC,2006.

Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006.

Profesor.dr.H.Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta:


PerhimpunanDokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.5.

Belman Anita L, Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and


AcquiredImmunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. 2003:955-
89.7

Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC. 2001

Anda mungkin juga menyukai