Disusun Oleh :
Intan Gabriella Situmorang
(G1A110034)
(G1A110036)
Ahmad Rafiul
(G1A110037)
(G1A110051)
(G1A109089)
Alzi Kardiansyah
(G1A109099)
(G1A109104)
Pembimbing :
dr. Tudung Hidayat Sp. KK
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan refrat , yang berjudul Chancroid . Refrat ini di tulis untuk melengkapi
kegiatan kuliah Blok VII pada semester ganjil ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada dr.
Tudung Hidayat, Sp.KK selaku dosen pengampu penulis yang telah memberikan dukungan
dan bantuan agar penulis dapat menyelesaikan refrat ini.
Penulis menyusun refrat ini dengan seluruh kemampuan penulis untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Penulis menyadari refrat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan refrat ini.
Penulis memohon maaf bila ada kata-kata yang tidak berkenan di hati para pembaca.
Penulis mengharapkan agar refrat ini dapat berguna bagi para pembacanya.
Penulis
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
BAB II
ISI
sarana kesehatan yang kurang misalnya di Afrika, Asia, dan Karibia. Di Afrika bagian
selatan dan timur, dimana yang melakukan sirkumsisi agak rendah dan prevalensi HIV
yang tinggi, menyebabkan daerah ini endemik terhadap ulkus mole. Daerah dimana
kejadian ini masih kurang, yaitu di Afrika Barat,. Di Kenya,ulkus mole menular melalui
penderita HIV mulai muncul sejak tahun 1980-an, diduga dari pekerja seks komersial dan
pasien yang terkena penyakit infeksi menular seksual. Dilaporkan, sejak terjadi
peningkatan penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial maka kejadian dari ulkus
genitalia mulai menurun.
2.3 Etiologi Chancroid
Ulkus mole merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh basil gram
negatif Haemophilus ducrey. Bassereau memisahkan ulkus mole dan sifilis tahun 1852.
Mix chancre dimana ulkus mole dan sifilis terjadi bersamaan dijelaskan pertama kali
oleh Rollet tahun 1859. Ducreyi mengidentifikasi bakteri H. ducreyi tahun 1889. H.
ducreyi merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerob dan membutuhkan hemin
(faktor X) untuk bertumbuh. Organisme ini berukuran kecil, tidak memiliki motil, dan
tidak membentuk spora.
2.4 Patogenesis Chancroid
H. ducreyi menghasilkan toksin sitoletal, faktor virulensi penting pada patogenesis
ulkus mole. Diduga toksin ini yang meyebabkan prognosis ulkus pada genitalia sulit
untuk sembuh.
Penyebaran ulkus mole melalui virus yang menyerang sistem imun manusia yang
menurun. Reseptor berupa simokin CCR5 dan CXCR4 yang termasuk kelas 7
transmembran G-protein-reseptor, dan ikatan alami yang menyerang sel imun pada satu
tempat dan terbentuk inflamasi. CCR5 dan 2 co-reseptor penting, esensial keluar menjadi
HIV. Makrofag dalam lesi dari cancroid berpeluang besar meningkatkan ekspresi dari
CCR5 dan CXCR4 bersama dengan sel darah perifer, sel CD4 T berpeluang menurunkan
regulasi dari CCR5. Beta-simokin RANTES (mengaktifkan regulasi, sel T normal dan
sekretnya) dalam ikatan yang penting untuk CCR5.
RANTES menimbukan papul dan pustul dari infeksi ulkus mole tetapi tidak
menyebabkan infeksi pada kulit. Bersama dengan mukosa dan barier kulit, muncul sel
dengan regulasi yang menurun dari HIV-1 co-reseptor dalam lesi infeksi H ducreyi
dengan lingkungan yang fasilitasnya buruk dan menyebabkan infeksi HIV-1. Pengobatan
yang mudah dan efektif dari ulserasi genital, dan ulkus mole dari partikuler, bagian yang
penting dari beberapa strategi untuk mengontrol perkembangan dari infeksi HIV di
negara-negara tropis.
Pada pemeriksaan biopsi dari ulkus mole dikalsifikasikan menjadi 3 daerah
inflamasi dibawah ulkus. Daerah pertama terdiri dari daerah yang nekrotik, fibrin, dan
neutropil. Daerah tengah adalah daerah dengan jaringan granulasi dan zona yang paling
bawah terdiri dari limfosit dan plasma sel. Gram-negatif dari basil hanya daapt ditemukan
dengan menggunakan pewarnaan Gram atau Giemsa dan dapat dilhat baik dengan
Smears.
Awalnya, mikroorganisme melakukan penetrasi pada defek pertahanan epidermis.
Bakteri yang masuk memberi rangsangan inflamasi sehingga terjadi infiltrasi limfosit,
makrofag, granulosit dengan mediator utama TH-1 sebagai respon imun dan inflamasi
pyogenik. Perkembangan ulkus mole disertai juga limfadenitis akibat inflamasi pyogenik.
serta jaringan limpa dapat juga membengkak. Meskipun tidak khas untuk menandai
gambaran klinisnya,
Jika pemeriksaan kultur tidak dapat atau sulit dilakukan, diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan eliminasi mikroorganisme lain penyebab ulkus genitalia,
seperti sifilis atau herpes genitalia. Juga dari data epidemiologi dan respon terhadap
terapi.
2.10
Prognosis Chancroid
Prognosis ulkus mole adalah baik jika penyakit diterapi dengan tepat dan tidak
ditemukan infeksi HIV. Pasien sebaiknya disarankan untuk tidak melakukan aktivitas
seksual sampai lesi sembuh sempurna. Kontak seksual sebaiknya diperiksa dan
diterapi. Tetapi, tanpa pengobatan, ulkus genital dan abses inguinal dilaporkan
kadang-kadang menetap.
2.11
Penatalaksanaan Chancroid
Fimosis, balanopostitis, dan ruptur bubo dengan formasi fistula dan jaringan
parut dilaporkan pernah terjadi sebagai komplikasi ulkus mole.
BAB III
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
Ulkus mole adalah penyakit menular seksual dalam bentuk ulkus genitalia
disamping sifilis dan herpes genitalia. Prostitusi merupakan media penularan penyakit ini.
Secara epidemiologi, insiden ulkus mole banyak terjadi di negara-negara berkembang dan
menular melalui kontak kulit serta mukosa pada saat melakukan aktivitas seksual. Pria
lebih banyak daripada wanita terkena dengan perbandingan 10:1. Karakteristik penyakit
ini adalah ulkus yang nyeri dan pembentukan bubo. Ulkus yang muncul sifatnya multipel,
mudah berdarah, dan mengandung pus. Ulkus mole disebabkan oleh bakteri gram negatif
Haemophilus ducreyi. Diagnosis ditegakkan melalui gambaran klinis dan pemeriksaan
kultur laboratorium.
Bakteri ini membutuhkan keterampilan khusus ketika dikultur karena tanpa
metode dan media yang tepat, sangat sulit bagi bakteri ini untuk bertumbuh. Pengobatan
yang dilakukan berupa antimikroba dan terapi lokal dengan jalan mengompres kelenjar
getah bening ingunal untuk mengurangi edema. Terapi yang diberikan bervariasi, terdiri
dari regimen WHO dan regimen CDC. Umumnya terapi yang digunakan adalah
azitromisin 1 g oral dosis tunggal, seftriakson 250 mg intramuskular dosis tunggal,
siprofolksasin 500 mg 2 x 1 selama 3 hari, dan eritromisin 500 mg 4 x 1 selama 7 hari.
Prognosis ulkus mole adalah baik dan disarankan pasien dan pasangannya diobati
bersama-sama dan tidak melakukan aktivitas seksual sampai lesi sembuh sempurna.
3.2 Saran
Penyakit ini sangat jarang di temukan di Indonesia tetapi bukan berarti tidak ada,
kita sebagai seorang dokter harus melakukan penatalaksanaan yang ade kuat dan
melakukan menjauhi semua cara penularan chancroid tersebut