Anda di halaman 1dari 15

Gejala Klinis Epitaksis, Diagnosis Banding dan

Penatalaksanaanya

Maria Angelika Irena Triwijayanti


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
maria.irena95@yahoo.co.id

Pendahuluan

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang
tidak menguntungkan.

Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya
pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh
darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak
cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu
dari epitaksis, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi
untuk mengobati epistaksis secara efektif.. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat
mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong

Perdarahan ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik dan sumber
perdarahan yang paling sering adalah dari pleksus Kiessel-bachs. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti
sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai
pada musim dingin dan kering.

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang


jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung
atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan
pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan

1
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan
atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit
dan berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter.
Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali. Pengobatan yang tepat pada kasus
epistaksis adalah dilakukan penekanan pada pembuluh darah yang berdarah. Hampir 90%
kasus epistaksis anterior dapat diatasi dengan tekanan yang kuat dan terus menerus pada
kedua sisi hidung tepat diatas kartilago ala nasi. Bila hal ini tidak berhasil maka diperlukan
tindakan-tindakan lain yang perlu dan dapat dilakukan. Sangat penting penatalaksanaan yang
tepat pada kasus epistaksis agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan kematian. Karena itu
akan kita bahas mengenai epistaksis pada makalah ini.

Anamnesis

Menanyakan riwayat penyakit disebut Anamnesa. Anamnesa berarti tahu lagi,


kenangan. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta
bantuan dan pemberi bantuan. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan
yang berkaitan dengan penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis.1

Tujuan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik adalah mengembangkan


pemahaman mengenai masalah medis pasien dan membuat diagnosis banding. Selain itu,
proses ini juga memungkinkan dokter untuk mengenal pasiennya, juga sebaliknya, serta
memahami masalah medis dalam konteks kepribadian dan latar belakang sosial pasien.1

Anamnesis terbagi menjadi dua jenis, yaitu autoanamnesis dan alloanamnesis.


Autoanamnesis, yaitu wawancara yang dilakukan antara dokter dan pasiennya secara
langsung, dimana pasien sendirilah yang menjawab semua pertanyaan dokter dan
menceritakan permasalahannya. Ini adalah cara anamnesis terbaik karena pasien sendirilah
yang paling tepat untuk menceritakan apa yang sesungguhnya dia rasakan. Alloanamnesis,
yaitu wawancara yang dilakukan antara dokter dan orang yang mempunyai hubungan dekat
dengan pasien, seperti keluarga, pembantu, atau babysitter, dikarenakan pasien yang tidak
sadar, sangat lemah atau sangat sakit untuk menjawab pertanyaan, atau pada pasien anak-
anak, sehingga perlu orang lain untuk menceritakan permasalahnnya.2

Anamnesa yang baik akan terdiri dari identitas (mencakup nama, alamat, pekerjaan,
keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan), keluhan utama, riwayat penyakit

2
sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit dalam keluarga.1 Anamnesa yang
dapat dilakukan pada pasien di skenario adalah sebagai berikut:
1. Identitas pasien Keluhan utama : keluhan utama yang dirasakan pasien ialah
perdarahan yang terjadi pada rongga hidung
2. Keluhan penyerta : ditanyakan apakah ada keluhan lain selain keluhan yang diderita
saat itu. Seperti apakah kepala terasa pusing dan juga terasa nyeri pada bagian wajah
3. Riwayat penyakit sekarang: Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang
kronologis, terinci dan jelas keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhatan utama
sampai pasien datang berobat.
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat pengobatan : apakah pasien sebelumnya pernah berobat untuk penyakit yang
diderita sekarang ini.
6. Riwayat keluarga

Selama anamnesis dilakukan secara terperinci, sehingga sebagai dokter sudah dapat
memikirkan penyakit-penyakit apa yang diderita pasien dan pemeriksaan fisik atau penunjang
jika diperlukan yang harus dilakukan.2

Pemeriksaan Fisik

Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung
dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.3
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi
atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.3
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah
10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.3

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa:3

3
a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma

c) Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI


Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.


f) Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan.

g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan
(underline desease) yang mendasari epistaksis.

Epitaksis

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung
atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang
sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi
untuk mengobati epistaksis secara efektif.3

Anatomi

4
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah: pangkal
hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, lubang
hidung (nares anterior).4

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila
dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum.4

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4

Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulangnya adalah lamina prependikularis, vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela.4

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini
biasanya rudimenter.4

Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.4

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari
sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior terletak diantara

5
konka superior dan konka media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid.4

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.4

Vaskularisasi Hidung

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior,
arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina. Arteri
etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung.
Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri
sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral
hidung dan arteri septi posterior yang menyebar pada septum nasi.3

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.3

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina
mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area) yang letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.4

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior
yang berhubungan dengan sinus kavernosus.3

Innervasi Hidung

6
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris
dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.3

Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan


persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus profundus. Gangglion
sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung posterior konka media.3

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.3

Fisiologi

Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang canggih
untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi penyaringan partikel-
partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel bertingkat torak semu bersilia
(pseudostratified ciliated columnar epithelium). Lapisan hidung, terutama pada konka inferior
dan media mengandung lamia propia bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka berjalan
melewati tulang konka dan dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat
memblok aliran balik vena, yang akhirnya menyebabkan kongesti mukosal.4

1. Fungsi Respirasi

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan
oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama
udara akan disaring di hidung oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia,
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.

2. Fungsi Penghidu

7
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap
adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.

3. Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,sehingga
terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta
yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut.
Yang paling sering terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat
sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang
menyumbat.

4. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran


cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex
bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung, dan pancreas.

Etiologi

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach
(area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
sering kali timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya. Epistaksis dapat ditimbulkan
oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. Secara Umum penyebab epistaksis
dibagi dua yaitu :5

1) Lokal

a) Trauma

8
Epistaksis yang berhubungan dengan tauma biasanya mengeluarkan sekret dengan
kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain
itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga
menyebabkan epistaksis.

b) Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti
lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.

c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma,
karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease).

e) Sebab-sebab lain termasuk benda asing , deviasi septum dan perforasi septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi
perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau
perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan
sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari
menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi
membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.

f) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering
terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh
dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang
bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah..

2) Sistemik5

a) Kelainan darah
Misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.

9
b) Penyakit kardiovaskuler,
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik,
sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis
akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.

1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG
dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada
tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh
penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus
menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.

2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan
vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah.

3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor
V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-
protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu
sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada
penderita sirosis hepatis.

4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati
dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel
endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal
sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal
ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding
pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi
perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.

c) Infeksi sistemik akut


Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam tifoid.

d) Gangguan endokrin / hormonal

10
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk
di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya
terjadinya epistaksis.

e) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan
pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis

Patofisiologi

Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai bagian
superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan
cabang-cabang utamanya.3

Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan
bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui
beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum
kartilaginosa menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau
pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan
objek trauma fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang
tersering.3

Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar


ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan
posterior.3,5

1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber


perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid
anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan
tindakan sederhana
2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat

11
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular
Penatalaksanaan

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan perdarahan,


mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu
kedaan umum pasien.3,5

1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali
bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
2. Menghentikan perdarahan
a. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan
dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke
arah septum selama beberapa menit (metode Trotter).
b. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah
dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat penghisap
untuk membersihkan bekuan darah.
c. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat
10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal
terlebih dahulu.
d. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin
yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang
dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm, diletakkan
berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang
dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama
1-2 hari.
e. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon
Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3
buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya.
Tampon harus menutup koana (nares posterior)
Untuk memasang tampon Bellocq:3

Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian
ditarik ke luar melalui mulut.

12
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon
Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung.
Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan
yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring.
Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior,
kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga
tampon posterior terfiksasi.
Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh
terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus
dirawat.
f. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon.
Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. Teknik sama
dengan pemasangan tampon Bellocq.
g. Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan
tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.
h. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi
dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah
sakit.
Komplikasi

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat),
air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis
media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang
dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.3

Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard
dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah
Pencegahan

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain :5

13
1. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada
kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat
mencampur 1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu
biarkan sampai hangat kuku.
2. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
3. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan
cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.
4. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
5. Bersin melalui mulut.
6. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
7. Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin
atau ibuprofen.
8. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
9. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.

Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk

Kesimpulan

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suat penyakit, yang
disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat
ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun
dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan
menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam
memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang
memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.

Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah


komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi,
skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien.

14
Daftar Pustaka

1. Nelson WE, Behrman ER, Kliegman R, Arvin MA. Nelson ilmu kesehatan anak.Volume 2.
Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2012. h.1658-63.

2. Gleadle J. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Surabaya: EMS; 2005. h.116, 164-
5,175.

3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & leher. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2012. h.3-5, 131-5.

4. Nagel P, Gurkov R. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012. h.34-7.

5. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Buku ajar penyakit THT, Edisi Keenam,
Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta: EGC;
1997.

15

Anda mungkin juga menyukai