Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

DOKTER INTERNSIP

PPOK Eksaserbasi Akut

Disusun Oleh :
Nama : dr. Nyimas Inas Mellanisa
Wahana : RS Ar Bunda Lubuk Linggau
Periode : 1 Juni 2018 – 31 Mei 2019

Dokter Pendamping :
dr. Ganty Oktapariani
dr. Ibrahim

RUMAH SAKIT AR BUNDA LUBUKLINGGAU


KOTA LUBUKLINGGAU
2018
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 26 Juli 2016 di Wahana RS Ar Bunda Lubuklinggau telah
dipresentasikan portofolio oleh :
Nama : dr. Nyimas Inas Mellanisa
Kasus : PPOK Eksaserbasi Akut
Topik : Ilmu Penyakit Dalam
Nama Pendamping : dr. Ganty Oktapariani, dr. Ibrahim
Nama Wahana : RS Ar Bunda Lubuklinggau
No Nama Peserta Tanda tangan

1 1.

2 2.

3 3.

4 4.

5 5.

6 6.

7 7.

8 8.

9 9.

10 10.

11 11.

12 12.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Mengetahui,
Dokter Internsip Dokter Pendamping Dokter Pendamping

dr. Nyimas Inas Mellanisa dr. Ganty Oktapariani dr. Ibrahim

Nama Peserta : dr. Nyimas Inas Mellanisa

2
Nama Wahana : RS Ar Bunda Lubuklinggau
Topik : Ilmu Penyakit Dalam
Tanggal (kasus) : 11 Juni 2018
Nama Pasien : Tn. S (Laki-laki) No. RM : 18009800
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :
dr. Ganty Oktapariani, dr. Ibrahim
Tempat Presentasi : RS Ar Bunda Lubuklinggau
Objektif Presentasi :

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka


v
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi :
Seorang laki-laki, 66 tahun datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari yang lalu.
Tujuan :
 Untuk menegakkan diagnosis
 Manajemen penatalaksanaan
Bahan bahasan Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi & diskusi Email Pos

Data Pasien: Nama: Tn. S, laki-laki, Nomor Registrasi: 18009800


66 tahun
Nama RS: RS Ar Bunda Telp: 082374246664 Terdaftar sejak :11 Juni 2018
Lubuklinggau
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/Gambaran Klinis
Seorang laki-laki, 66 tahun, datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari yang lalu,
sesak dipengaruhi aktivitas dan cuaca disangkal, nafas bunyi mengi disangkal, batuk
berdahak warna hijau ada sejak 3 hari yang lalu, demam ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Pasien mengaku sebelumnya telah didiagnosa menderita Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) sejak 1 tahun yang lalu dan diberi obat inhalasi namun
lupa namanya. Di rumah os sudah menggunakan obat inhalasi tersebut namun keluhan
sesak napas tidak membaik.
Os mengaku merokok sejak sekitar 30 tahun lalu sebanyak 2 bungkus per hari.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat PPOK ada sejak 1 tahun yang lalu
Riwayat asma disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal

3
3. Riwayat Keluarga
Riwayat asma disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
4. Riwayat pekerjaan dan pendidikan
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta. Pendidikan terakhir pasien adalah SD. Biaya
pengobatan ditanggung oleh BPJS. Kesan ekonomi menengah ke bawah.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: sakit sedang
b. Kesadaran: compos mentis
c. Tanda vital:
 Tekanan darah: 120/80 mmHg
 Nadi: 98 x/menit
 Respirasi: 26x/menit
 Suhu : 37,30C
d. Kepala: Normosefali, pursed lip breathing (+)
e. Mata: Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
f. Leher: Kelenjar getah bening dan tiroid tidak membesar
g. Paru: Barrel chest (+), suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (+/
+) minimal
h. Jantung: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop(-)
i. Abdomen: Datar, bising usus (+) dalam batas normal, supel, hepar dan lien
tidak teraba membesar
j. Ekstremitas: Edema (-), akral hangat, capillary refill <2”
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium :
Darah rutin :
Leukosit : 11.100 (N: 4.400-11.300)
Eritrosit : 4,6x106 (N: 4,5-5,9 x106)
Hemoglobin : 12,4 (N: 13-18 g/dl)
Hematokrit : 37 (N: 50-52%)
Diff count : 0/2/0/60/31/7
Trombosit : 212.000 (N: 150.000-450.000)
LED : 11 (1-15 mm/jam)
GDS : 71 (74-139 mg/dl)
b. Radiologi : Ro Thorax
Hasil : pleural reaction sinistra
c. EKG
Hasil : sinus rhythm
7. Follow up
4
Tanggal Follow up Terapi
11-6-2018 S : sesak napas, batuk Oksigen 2-4L/m via nasal kanul
O : KU : lemah Nebulisasi farbivent 2x
TD : 120/80 mmHg IVFD RL gtt xx/menit
HR : 98x/menit Inj. Dexametason 2x1 amp
RR : 26x/menit Inj. Ranitidin 2x1 amp
T : 37,30C Inj. Solvinex 3x1 amp
PF: barrel chest (+), ronkhi (-), Inj. Cefixime 2x100mg
wheezing (-)
A : PPOK eksaserbasi akut
12-6-2018 S : batuk IVFD RL gtt xx/menit (makro)
O : KU : baik
Inj. Dexametason 2x1 amp
TD : 120/80 mmHg
HR : 86x/menit Inj. Ranitidin 2x1 amp
RR : 22x/menit
Inj. Solvinex 3x1 amp
T : 36,50C
PF: barrel chest (+), ronkhi (-), Inj. Cefixime 2x100mg
wheezing (-)
A : PPOK eksaserbasi akut
perbaikan
13-6-2018 S : batuk IVFD RL gtt xx/menit (makro)
O : KU : baik
Inj. Dexametason 2x1 amp
TD : 110/70 mmHg
HR : 84x/menit Inj. Ranitidin 2x1 amp
RR : 22x/menit
Inj. Solvinex 3x1 amp
T : 36,50C
PF: barrel chest (+), ronkhi (-), Inj. Cefixime 2x100mg
wheezing (-)
A : PPOK eksaserbasi akut Boleh pulang
Obat pulang :
perbaikan
Metilprednisolon 1 x 8mg
Berotec Inhaler (K/P)
Symbicort Turbuhaler (K/P)
Daftar Pustaka:
1. Global Initiative for Chronic Obstrukctive Lung Disease. 2017. Pocket Guide to
COPD Diagnosis, Management, and Prevention: A guide for Health Care
Prefoessionals 2017 Edition.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Penyakit paru obstruktif kronis:
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra
Grafika; 2011.
3. WHO. Global status report on noncommunicable diseases 2010: Description of the
global burden of NCDs, their risk factors and determinants. 2011.
4. Kementerian Kesehatan RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
5. Foronjy R, D’Armiento J. The effect of cigarette smoke-derived oxidants on the

5
inflammatory response of the lung. Clin Appl Immunol Rev. 2006;6:3.
6. Supari SF. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik menteri kesehatan
Republik Indonesia. 2008. p 4-5.

Hasil Pembelajaran :
a. Definisi PPOK
b. Faktor Risiko PPOK
c. Patogenesis PPOK
d. Penegakan Diagnosis PPOK
e. Klasifikasi PPOK
f. Diagnosis Banding PPOK
g. Penatalaksanaan PPOK
h. Pencegahan PPOK

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio:


1. Subyektif
Seorang laki-laki, 66 tahun datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari yang lalu,
sesak dipengaruhi aktivitas dan cuaca disangkal, nafas bunyi mengi disangkal, batuk
berdahak warna hijau ada sejak 3 hari yang lalu, demam ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
2. Obyektif
Pemeriksaan fisik didapatkan :
keadaan umum : sakit sedang
Tekanan darah: 120/80 mmHg Respirasi: 26x/menit
Nadi: 98 x/menit Suhu : 37,30C
Paru: barrel chest (+), ronkhi (+/+), wheezing (+/+) minimal
3. Assessment
Pasien Tn S, 66 tahun datang dengan keluhan utama sesak napas sejak 1 hari SMRS.
Berdasarkan anamnesis, didapatkan bahwa sekitar 3 hari SMRS pasien batuk berdahak
warna hijau dan demam. Sekitar 1 hari SMRS pasien mengeluh sesak napas. Sesak napas
dirasakan terus menerus dan memberat ketika beraktivitas ringan. Pasien sudah
menggunakan obat inhalasi namun sesak napas tidak berkurang. Riwayat asma dan sakit
jantung disangkal. Pasien mengaku didiagnosis menderita PPOK sejak sekitar 1 tahun yang
lalu. Sejak sekitar 30 tahun yang lalu pasien sering merokok dan menghabiskan 2 bungkus
rokok setiap hari.
Diagnosis PPOK eksaserbasi akut pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis
dimana terdapat gejala sesak napas dan batuk purulen, serta riwayat didiagnosa PPOK.
Namun derajat PPOK pada pasien ini tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan
pemeriksaan spirometri. Pasien menyangkal adanya riwayat asma. Faktor risiko yang
6
ditemukan pada pasien ini adalah riwayat merokok sejak 30 tahun yang lalu sekitar 2
bungkus per hari. Merokok menyebabkan inflamasi di saluran napas dan paru kronis yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan parenkim paru dan mengganggu mekanisme
pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis ini
menyebabkan udara terperangkap dan terjadi hambatan aliran udara progresif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80mmHg, nadi 98 kali per menit,
laju pernapasan 26 kali per menit, dan suhu 37,3ºC. Pada pemeriksaan khusus didapatkan
pursed lip breathing, barrel chest, ronkhi basah serta wheezing minimal pada kedua lapangan
paru. Adanya keterbatasan aliran udara pada pasien PPOK menyebabkan paru-paru dalam
keadaan hiperekspansi kronik untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Barrel chest terjadi akibat
hilangnya elastisitas paru akibat kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk
mengembang. Pursed lip breathing merupakan teknik bernapas dimana ekspirasi dilakukan
melalui mulut dalam posisi seperti mecucu dan inspirasi melalui hidung dengan mulut
tertutup. Cara bernapas seperti ini merupakan mekanisme kompensasi tubuh untuk
meringankan gejala sesak napas yang dialami.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai leukosit 11.100/mm 3, nilai ini cukup
tinggi namun masih dalam rentang nilai normal. Pada pemeriksaan radiologis rontgen toraks
didapatkan hasil adanya kesan pleural reaction sinistra. Pleural reaction merupakan
penebalan dari pleura atau gambaran bayangan di pleura pada foto toraks. Gambaran ini bisa
timbul akibat adanya inflamasi pada pleura.
Eksaserbasi PPOK merupakan poin penting dalam tatalaksana PPOK karena dapat
menurunkan status kesehatan dan meningkatkan progresi penyakit. Eksaserbasi PPOK
merupakan kejadian kompleks yang berhubungan dengan inflamasi saluran napas,
peningkatan produksi mukus, dan marked gas trapping. Perubahan ini menyebabkan
peningkatan sesak napas/dispneu yang merupakan gejala utama eksaserbasi, seperti yang
terjadi pada pasien ini.
Penyebab paling umum dari suatu eksaserbasi adalah infeksi trakeobronkial dan polusi
udara. Pada kasus ini sesak napas didahului dengan gejala batuk berdahak warna hijau dan
demam yang menunjukkan adanya infeksi bakteri pada saluran napas. Pada pemeriksaan fisik
juga ditemukan ronkhi basah di kedua lapangan paru yang menunjukkan adanya proses
infeksi. Eksaserbasi PPOK pada kasus ini diklasifikasikan menjadi eksaserbasi akut tipe 2
dimana hanya terdapat 2 gejala eksaserbasi yaitu sesak bertambah dan produksi sputum
meningkat.

7
Prognosis vitam pasien bonam, functionam dubia, dan sanationam dubia. PPOK
merupakan penyakit ireversibel dan tatalaksananya ditekankan pada pencegahan eksaserbasi.
Kepatuhan pasien untuk mengobah pola hidupnya (khususnya berhenti merokok) dan
menjalankan terapi yang adekuat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.

4. Plan
Penanganan eksaserbasi akut pada PPOK bertujuan untuk meminimalisir gejala dan
mencegah progesi penyakit lebih lanjut. Tatalaksana dapat dilaksanakan di rumah untuk
eksaserbasi ringan, atau di rumah sakit untuk eksaserbasi sedang dan berat. Sebelum ke rumah
sakit, pasien telah mencoba menggunakan obat inhalasi untuk meredakan sesak napas di
rumah, namun tidak ada perbaikan dan sesak napas bertambah berat sehingga pasien datang ke
IGD rumah sakit.
Penanganan utama eksaserbasi di rumah sakit adalah pemberian terapi oksigen untuk
memperbaiki kondisi hipoksemia melalui nasal kanul sebanyak 2-4L/m. Selanjutnya diberikan
terapi farmakologis berupa bronkodilator dengan cara nebulisasi. Farbivent merupakan
bronkodilator kombinasi Ipratropium Bromida (SAMA) dan Salbutamol (SABA) yang
bertujuan untuk meredakan gejala sesak napas pada pasien. Nebulisasi diberikan maksimal 3x
dengan jarak 20 menit. Pada pasien ini, wheezing menghilang setelah nebulisasi sebanyak 2
kali.
Pada pasien ini eksaserbasi diduga terjadi akibat adanya infeksi saluran napas, ditandai
dengan adanya gejala batuk berdahak purulen. Sehingga pasien diberi obat mukolitik untuk
mengencerkan dahak yaitu Solvinex yang mengandung Bromhexin HCL. Selain itu pada
pasien juga diberikan antibiotik Cefixime sebagai terapi infeksi bakteri pada saluran napas.
Setelah 2 hari perawatan, pasien merasa sesak napas dan batuk berkurang sehingga dianjurkan
untuk melanjutkan terapi rawat jalan dengan pemberian bronkodilator inhaler berupa
Symbicort inhaler dan Berotec inhaler.

Edukasi : diberikan pemahaman pada pasien dan keluarganya bahwa pasien harus berhenti
merokok, menggunakan obat-obatan rutin, dapat mendeteksi dan menghindari pencetus
eksaserbasi seperti merokok dan polusi udara, serta menyesuaikan kebiasaan hidup dengan
keterbatasan aktivitas.
Konsultasi : -
Rujukan : -
8
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi PPOK
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun
2017 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sebagai penyakit yang sering
ditemukan, dapat dicegah dan diobati, yang dikarakteristikkan dengan adanya gejala respirasi
peristen dan hambatan aliran udara akibat adanya abnormalitas jalan napas dan/atau alveolar
yang biasanya disebabkan oleh paparan signifikan oleh partikel atau gas berbahaya.
Hambatan aliran udara kronis yang merupakan karakteristik PPOK disebabkan oleh
campuran antara penyakit saluran napas kecil (misal bronkiolitis obstruktif) dan destruksi
parenkim (emfisema), yang kontribusi masing-masing penyakit dapat bervariasi pada tiap
individu. (GOLD 2017)
PPOK merupakan salah satu penyakit yang memilki beban kesehatan tertinggi. World
Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-communicable Diseases tahun
2010 mengkategorikan PPOK ke dalam empat besar penyakit tidak menular yang memiliki
angka kematian yang tinggi setelah penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes. Lebih
dari 3 juta manusia meninggal akibat PPOK pada tahun 2012, dimana jumlah tersebut
merupakan 6% dari seluruh kematian secara global.

Faktor Risiko
Faktor risiko yang paling sering ditemukan pada PPOK adalah merokok. Polusi di
luar ruangan, polusi di dalam ruangan, dan pekerjaan juga merupakan faktor risiko utama
PPOK. PPOK merupakan hasil dari pengaruh kompleks paparan kumulatif jangka panjang
dari gas dan partikel berbahaya, bergabung dengan faktor host yang beragam antara lain
genetik, hiperresponsif saluran napas dan pertumbuhan paru yang kurang baik selama masa
kanak-kanak. Sehingga orang bukan perokok pun dapat mengalami PPOK.
Risiko mengalami PPOK berhubungan dengan faktor-faktor berikut.
 Merokok

9
 Polusi udara dalam ruangan – dari bahan bakar biomass yang digunakan untuk
memasak di dalam ruangan yang ventilasinya kurang baik. Faktor risiko ini
memengaruhi wanita.
 Paparan pekerjaan – termasuk debu organik dan anorganik, agen kimia, dan asap.
 Polusi udara luar ruangan – juga berkontribusi terhadap beban total paru terhadap
partikel terinhalasi, meskipun efeknya relatif kecil.
 Faktor genetik – misal defisiensi herediter berat alfa-1 antitripsin (AATD)
 Usia dan jenis kelamin – bertambahnya usia dan jenis kelamin perempuan
meningkatkan risiko PPOK
 Pertumbuhan dan perkembangan paru – faktor yang memengaruhi pertumbuhan paru
selama masa gestasi dan kanak-kanan (berat badan lahir rendah, infeksi saluran napas,
dll) memiliki potensi yang meningkatkan risiko individu mengalami PPOK.
 Status sosioekonomi – terdapat bukti kuat bahwa risiko mengalami PPOK
berhubungan dengan status sosioekonomi. Namun belum diketahui secara pasti
apakah paparan terhadap polusi udara di dalam dan luar ruangan, kepadatan
penduduk, nutrisi buruk, dan infeksi memiliki hubungan dengan status sosioekonomi
rendah.
 Asma dan hiperaktivitas saluran napas – asma dapat menjadi faktor risiko terjadinya
hambatan aliran udara dan PPOK
 Bronkhitis kronik – dapat meningkatkan frekuensi eksaserbasi total dan berat.
 Infeksi – riwayat infeksi saluran napas berat saat kanak-kanak telah dihubungkan
dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan gejala pernasapan saat dewasa.

Patogenesis
Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi
di saluran napas dan paru seperti yang terlihat pada pasien PPOK. Respon inflamasi
abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema,
dan mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil.
Perubahan patologis menyebabkan udara perangkap dan keterbatasan aliran udara
progresif.
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon inflamasi
normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi ini belum
dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Beberapa pasien menderita PPOK
tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat
oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada
karakteristik perubahan patologis PPOK.

10
Gambar 1. Patogenesis PPOK (Dikutip dari Gold 2010)

Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan neutrofil,
makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi
dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim paru-paru.
Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi dalam saluran
napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau oleh polusi lingkungan.
Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum
diketahui. Dalam eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil, beberapa
studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam dahak dan dinding saluran napas. Hal ini
berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-, LTB4 dan IL-
8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif.
Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian
menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran nafas dan peningkatan ekspresi
kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya
udara, dengan aliran ekspirasi berkurang, sehingga terjadi sesak napas yang
meningkat. Terdapat juga memburuknya abnormalitas VA / Q yang mengakibatkan
hipoksemia berat.

11
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
Sesak bertambah
Produksi sputum meningkat
Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline,
atau frekuensi nadi > 20% baseline
Penyebab paling umum dari suatu eksaserbasi adalah infeksi trakeobronkial dan
polusi udara, 1/3 penyebab dari eksaserbasi berat tidak dapat diidentifikasi (Bukti
B). Peran infeksi bakteri masih kontroversial, tetapi baru-baru ini penelitian
menggunakan teknik baru telah memberikan informasi penting, yaitu penelitian
dengan bronkoskopi yang menunjukkan bahwa sekitar 50% dari pasien
eksaserbasi terdapat bakteri dalam konsentrasi tinggi pada saluran napas bawah,
hal ini menunjukkan bukti kolonisasi bakteri.

Penegakan Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat.
Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas dan
tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci
diterangkan pada tabel berikut:
Tabel 1. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK
Gejala Keterangan

12
Progresif (sesak bertambah berat seiring
Sesak yaitu: berjalannya waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persistent (menetap sepanjang hari)
Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai
"Perlu usaha untuk bernapas,"
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk Kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.

Batuk kronik berdahak: Setiap batuk kronik berdahak dapat


mengindikasikan PPOK.

Riwayat terpajan factor Asap rokok.


resiko, terutama Debu dan bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur

Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indikator ini ada pada
individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnostik pasti, tetapi
keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK.
Spirometri diperlukan untuk memastikan diagnosis PPOK.
Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut:
Gambaran Klinis
1. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup /mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga

13
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed-lips breathing

Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulutmencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yangterjadi pada gagal napas kronik.

Pemeriksaan rutin
1. Faal Paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan
atau VEP1/KVP (%).
- Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%

14
- VEP1 % merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

Tabel 2. Pemeriksaan spirometri


Persiapan
Spirometer perlu di kalibrasi secara teratur.
Spirometer harus menghasilkan hard copy /rekaman secara
otomatis untuk mendeteksi kesalahan teknis atau untuk
mengidentifikasi apakah uji sudah memenuhi syarat.
Petugas yang melakukan uji spirometri perlu pelatihan
untuk mendapatkan hasil yang efektif .
Usaha maksimal dari pasien diperlukan dalam melaksanakan
uji ini guna menghindari kesalahan diagnosis maupun
manajemen.

Kinerja
Spirometri harus dilakukan menggunakan teknik yang
memenuhi standar
Volume ekspirasi dilakukan dengan benar
Rekaman harus dilakukan cukup waktu untuk mencatat suatu
kurva volume/waktu yang dicapai, mungkin memerlukan waktu
lebih dari 15 detik pada penyakit berat.
Baik KVP maupun VEP1 harus merupakan nilai terbesar
yang diperoleh dari salah satu 3 kurva dengan teknis yang benar,
nilai KVP dan nilai VEP1 dalam tiga kurva harus bervariasi
dengan perbedaan tidak lebih dari 5% atau 100 ml.
Rasio VEP1/KVP harus diambil dari kurva yang secara teknis
dapat diterima dengan nilai terbesar dari KVP maupun VEP1.

Evaluasi
Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan
hasil
pengukuran terhadap nilai acuan yang tepat berdasarkan usia,
tinggi badan, jenis kelamin dan ras
Nilai VEP1 pasca bronkodilator < 80% prediksi serta nilai
VEP1/KVP

15
<0,70 memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel

Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE <20% nilai awal dan <200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

Tabel 3. Uji bronkodilator pada PPOK


Persiapan
Uji harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari
infeksi pernapasan.
Pasien sebaiknya tidak menggunakan bronkodilator inhalasi kerja
cepat enam jam sebelum uji, bronkodilator kerja lama 12 jam sebelum
uji, atau teofilin lepas lambat 24 jam sebelum uji.
Spirometri
VEP1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator
Bronkodilator harus diberikan dengan inhaler dosis terukur melalui
perangkat spacer atau nebulizer untuk meyakinkan telah dihirup
Dosis bronkodilator harus ditentukan untuk mendapatkan kurva
tertinggi pada dosis tertentu
Protokol dosis yang memungkinkan adalah 400 g 2-agonis, hingga
160 g antikolinergik, atau gabungan keduanya. VEP1 harus diukur lagi
10-15 menit setelah diberikan bronkodilator kerja singkat atau 30-45
menit setelah diberikan bronkodilator kombinasi.
Kesimpulan:
Peningkatan VEP1 yang baik dan dianggap bermakna bila lebih besar dari
200 ml atau 12% di atas VEP1 sebelum pemberian bronkodilator. Hal ini
sangat membantu untuk melihat perubahan serta perbaikan klinis.

16
2. Laboratorium darah Hb, Ht, Tr,
Lekosit Analisis Gas Darah

3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :


Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

Klasifikasi PPOK
Klasifikasi keterbatasan aliran udara pada PPOK ditampilkan pada Tabel. Spirometri
sebaiknya dilakukan setelah pemberian bronkodilator inhalasi kerja-pendek dalam dosis
adekuat untuk meminimalisir variabilitas.
Tabel 4. Klasifikasi derajat beratnya keterbatasan aliran udara pada PPOK
(berdasarkan nilai FEV1 post-bronkodilator)
Pada pasien dengan FEV1/FVC <0.70:
GOLD 1 Ringan FEV1 ≥ 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤ FEV1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ FEV1 < 50% prediksi
GOLD 4 Sangat Berat FEV1 < 30% prediksi
Perlu diperhatikan bahwa hanya terdapat korelasi rendah antara nilai FEV1, gejala dan status
kesehatan pasien, sehingga tetap diperlukan pemeriksaan gejala pasien.

Asesmen Gejala
Dahulu PPOK dikarakteristikkan dengan gejala sesak napas. Pengukuran sederhana
terhadap sesak napas dengan menggunakan kuisioner Modified British Research Council
(mMRC) pada Tabel. dinilai cukup karena mMRC berelasi baik dengan pengukuran status
kesehatan dan prediksi risiko mortalitas pasien.

17
Tabel 5. Skala dispneu mMRC
mMRC Grade 0 Saya hanya mengalami sesak napas ketika olahraga berat
mMRC Grade 1 Saya sesak napas ketika tergesa-gesa menaiki tangga atau
jalan mendaki
mMRC Grade 2 Saya berjalan lebih lambat dari orang seusia ketika
menaiki tangga akibat sesak, atau harus berhenti sejenak
untuk mengambil napas ketika berjalan naik
mMRC Grade 3 Saya berhenti untuk mengambil napas setelah berjalan
kurang lebih 100 meter atau setelah beberapa menit
mendaki
mMRC Grade 4 Saya merasa terlalu sesak untuk pergi meninggalkan
rumah atau ketika melepaskan atau memakai pakaian

Namun sekarang diketahui bahwa PPOK tidak hanya menyebabkan pasien mengalami
sesak napas saja. Sehingga dibuat asesmen gejala yang lebih komprehensif yaitu dengan
pengukuran menggunakan COPD Assessment Test (CAT) seperti pada Tabel.

Revised Combined COPD Assessment


Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK terhadap masing-
masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang dialami, klasifikasi
spirometri berdasarkan GOLD dan kejadian sakit akibat eksaserbasi. Alat asesmen “ABCD”
pada GOLD 2011 merupakan perkembangan besar sistem penilaian PPOK dari sistem
grading spirometri sederhana karena asesmen tersebut juga menilai outcome dan
menunjukkan pentingnya pencegahan eksaserbasi dalam penanganan PPOK. Namun terdapat
beberapa keterbatasan penting pada asesmen “ABCD”, antara lain asesmen tersebut tidak
lebih baik dari grading spirometri dalam memprediksi mortalitas atau outcome kesehatan
penting lainnya. Selain itu, outcome grup “D” dimodifikasi dengan 2 parameter: fungsi paru
dan/atau riwayat eksaserbasi, yang menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu dibuat revisi
asesmen “ABCD” yang memisahkan grade spirometri dari grup “ABCD”. Untuk
rekomendasi tatalaksana, grup ABCD dilihat dari gejala dan riwayat eksaserbasi pasien.
Spirometri bersama gejala dan riwayat eksaserbasi pasien tetap menjadi poin utama untuk
diagnostik, prognostik dan pertimbangan tatatalaksana. Pendekatan baru asesmen ini
diperlihatkan dalam Gambar.

18
Pada revisi skema asesmen, pasien harus melakukan spirometri terlebih dahulu untuk
menentukan derajat beratnya keterbatasan aliran udara. Kemudian dilakukan asesmen dispneu
menggunakan mMRC atau asesmen gejala menggunakan CAT. Terakhir, riwayat eksaserbasi
harus didapatkan (termasuk riwayat perawatan di rumah sakit).

Gambar 2. Asesmen CAT

Gambar 3. Alat asesmen ABCD revisi


Contoh: Pertimbangkan bila terdapat 2 pasien dengan FEV1 <30% dari prediksi, skor CAT 18
dan salah satu pasien tidak memiliki riwayat eksaserbasi, sedangkan pasien lain mengalami 3
kali eksaserbasi dalam 1 tahun terakhir. Keduanya akan diklasifikasikan dalam GOLD D
19
pada skema klasifikasi sebelumnya. Namun dengan skema baru ini, subyek dengan 3 kali
eksaserbasi akan diklasifikasikan dalam GOLD grade 4, grup D; sedangkan subyek tanpa
eksaserbasi akan diklasifikasikan dalam GOLD Grade 4, grup B.
Skema klasifikasi ini dapat memfasilitasi pertimbangan terapi individual (pencegahan
eksaserbasi versus pereda gejala seperti yang telah diperlihatkan pada contoh diatas) dan juga
membantu eskalasi dan de-eskalasi strategi terapi untuk pasien spesifik.

Kelompok A – Rendah Risiko, Sedikit Gejala


Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak
1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat
eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1
Kelompok B – Rendah Risiko, Banyak Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam
setahun dan tidak pernah mengalami perawatan di rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil
penilaian CAT score≥10 atau mMRC grade ≥2.
Kelompok C – Tinggi Risiko, Sedikit Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali
per tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil
penilaian CAT score <10 atau mMRC grade 0-1.
Kelompok D – Tinggi Risiko, Banyak Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali
per tahun akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.

Diagnosis Banding
Tabel 6. Diagnosis Banding PPOK
Diagnosis Gejala
PPOK Onset pada usia pertengahan.
Gejala progresif lambat.
Lamanya riwayat merokok.
Sesak saat aktivitas
Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel.

Asma Onset awal sering pada anak.


Gejala bervariasi dari hari ke hari.
Gejala pada malam / menjelang pagi.
Disertai alergi, rinitis atau eksim
Riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel

20
Gagal Jantung Auskultasi,terdengar ronkhi halus di bagian basal. Foto
kongestif toraks tampak jantung membesar, edema paru.
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi.

Bronkiektasis Sputum produktif dan purulen.


Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar ronki kasar
Foto toraks /CT-scan toraks menunjukkan pelebaran dan
penebalan bronkus.

Tuberkulosis Onset segala usia


Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru.
Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis

Bronkiolitis Onset pada usia muda, bukan perokok.


obliterans Mungkin memiliki riwayat rheumatoid arthritis atau pajanan
asap.
CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah hypodense

Panbronkiolitis Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok.


diffusa Hampir semua menderita sinusitis kronis.
Foto toraks dan HRCT toraks menunjukkan nodul opak
menyebar kecil di centrilobular dan gambaran hiperinflasi

Gejala gejala diatas ini sesuai karakteristik penyakit masing-masing, tetapi tidak
terjadi pada setiap kasus. Misalnya, seseorang yang tidak pernah merokok dapat
menderita PPOK (terutama di negara berkembang di mana faktor risiko lain mungkin
lebih penting daripada merokok); asma dapat berkembang di usia dewasa dan
bahkan pasien lanjut usia.
Dikutip dari GOLD 2017

Penatalaksanaan
Secara umum, tujuan penatalaksanaan PPOK adalah sebagai berikut.
- Mengurangi gejala.
- Mencegah eksaserbasi berulang.
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru.
- Meningkatkan kualitas hidup penderita.

Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang irreversible dan progresif, inti edukasi adalah
penyesuaian keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
a. Pengetahuan dasar tentang PPOK.
b. Obat-obatan, manfaat, dan efek sampingnya.

21
c. Cara pencegahan perburukan penyakit.
d. Menghindari pencetus.
e. Penyesuaian aktivitas.
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilakukan, maka ditentukan skala
prioritas bahan edukasi :
a. Berhenti merokok.
b. Pemakaian obat-obatan.
c. Penggunaan oksigen.
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen.
e. Penilaian dini eksaserbasi akut.
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi.
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas.
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis pada PPOK bertujuan untuk emngurangi gejala, mengurangan frekuensi
dan derajat beratnya eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi aktivitas dan status kesehatan.
Belum ada bukti dari percobaan klinis bahwa tatalaksana PPOK memodifikasi penurunan
fungsi paru jangka-panjang.
a. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau mengubah variabel
spirometri lain. Bronkodilator diberikan secara teratur untuk mencegah atau mengurangi
gejala. Toksisitas berhubungan dengan dosis yang diberikan. Penggunaan bronkodilator
jangka pendek sehari-hari dalam basis reguler tidak direkomendasikan. Pemilihan bentuk
obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
 Golongan agonis beta-2.
Mekanisme utama agonis beta-2 adalah untuk merelaksasi otot polos saluran
napas dengan menstimulasi reseptor sdrenergik beta-2, yang meningkatkan AMP
siklik dan memproduksi sifat antagonis terhadap bronkokonstriksi. Terdapat 2 jenis
agonis beta-2 yaitu short-acting (SABA) dan long-acting (LABA).
Formoterol dan salmoterol merupakan LABA yang digunakan 2 kali-sehari yang
secara signifikan meningkatkan FEV1 dan volume paru, sesak napas, status
kesehatan, eksaserbasi dan jumlah perawatan rumah sakit, namun tidak memiliki efek
terhadap tingkat mortalitas dan penurunan fungsi paru.
Indacaterol merupakan LABA yang digunakan 1 kali sehari yang memperbaiki sesak
napas, status kesehatan, dan eksaserbasi.
Oladaterol dan vilanterol merupakan LABA yang digunakan 1 kali sehari lainnya
yang dapat memperbaiki fungsi paru dan gejala.
Efek samping. Stimulasi reseptor adrenergik beta-2 dapat memproduksi sinus
takikardi saat istirahat dan berpotensi memicu gangguan ritme jantung pada pasien

22
yang rentan. Tremor somatik berlebihan dapat dialami pasien usia tua yang
mendapatkan agonis beta-2 dosis tinggi.

 Antimuskarinik
Obat antimuskarinik memblok efek bronkokonstriktor dari asetilkolin pada reseptor
muskarinik M3 yang diekspresikan di otot polos saluran napas.
Antimuskarinik short acting (SAMA), yaitu ipratropium dan oxitropium, serta
antimuskarinik long acting (LAMA), seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium
bromide, dan umeclidinium beraksi pada reseptor dengan cara yang berbeda.
Review sistematik dari RCT menemukan bahwa penggunaan ipratropium saja
memberikan manfaat lebih sedikit dibandingkan penggunaan SABA dalam
memperbaiki fungsi paru, status kesehatan, dan perlu tambahan steroid oral.
Percobaan klinis menunjukkan adanya efek lebih besar pada penggunaan LAMA
terhadap kejadian eksaserbasi dibandingkan penggunaan LABA.
Efek samping. Antikolinergik inhalasi tidak diabsorbsi dengan baik sehingga efek
sistemiknya terbatas jika dibandingkan dengan atropin. Penggunaan agen ini dalam
dosis tinggi aman dilakukan. Efek samping utama yang dapat terjadi adalah mulut
kering.

 Metilxanthin
Terdapat kontroversi mengenai efek xanthin.
Teofilin merupakan golongan metilxanthin yang paling sering digunakan. Teofilin
dimetabolisme oleh sitokrom p450. Klirens obat ini menurun seiring bertambahnya
usia.
Penambahan teofilin pada pemberian salmeterol memproduksi perbaikan yang lebih
pada FEV1 dan sesak napas dibandingkan pemberian salmeterol saja.
Efek samping. Toksisitas bergantung pada besar dosis obat yang diberikan. Hal ini
merupakan masalah pada pemberian xanthin karena rasio terapetik nya kecil dan
manfaat obat didapatkan pada dosis yang hampir bersifat toksik.

Terapi kombinasi bronkodilator


Pemberian kombinasi bronkodilator yang memiliki mekanisme dan durasi aksi yang
berbeda dapat meningkatkan derajat bronkodilasi dengan risiko efek samping yang
lebih rendah dibandingkan dengan pemberian bronkodilator tunggal dosis tinggi.
Kombinasi SABA dan SAMA lebih baik dibandingkan pemberian tunggal dalam
meningkatkan FEV1 dan gejala.
Tatalaksana dengan formoterol dan tiotropium dalam inhaler berbeda memiliki efek
lebih besar pada FEV1 dibandingkan penggunaan tunggal obat tersebut.

23
Kombinasi LABA dan LAMA telah banyak tersedia dalam inhaler tunggal.
Penggunaan LABA/LAMA dalam dosis yang lebih rendah, sebanyak 2 kali sehari
juga terbukti memperbaiki gejala dan status kesehatan pasien PPOK.

a. Agen Antiinflamasi
Kortikosteroid Inhalasi (ICS)
Kombinasi ICS dan bronkodilator jangka-panjang. Pada pasien PPOK derajat sedang
hingga sangat berat dan eksaserbasi, terapi kombinasi ICS dan LABA lebih efetif
dibanding terapi tunggal.
Efek samping. Terdapat bukti kuat dari RCT bahwa penggunaan ICS berhubungan
dengan peningkatan prevalensi kandidiasis oral, suara serak, lebam di kulit, dan
pneumonia.
b. Triple Therapy
Tatalaksana step up menggunakan kombinasi LABA, LAMA dan ICS (triple therapy)
dapat digunakan dengan beragam pendekatan. Terapi ini dapat memperbaiki fungsi
paru.

c. Glukokortikoid Oral

24
Glukokortikoid oral memiliki banyak efek samping, antara lain miopati steroid yang
menyebabkan kelemahan otot, penurunan fungsi hingga kegagalan pernapasan pada
pasien dengan PPOK sangat berat. Glukokortikoid oral berperan dalam tatalaksana
akut eksaserbasi, namun tidak direkomendasikan untuk digunakan secara rutin.

d.

Fosfodiesterase-4 (PDE-4) inhibitor

25
Roflumilast menurunkan eksaserbasi sedang dan berat yang diterapi dengan
kortikosteroid sistemik pada pasien dengan bronkitis kronik, PPOK berat hingga
sangat berat, dan memiliki riwayat eksaserbasi.
Efek samping. PDE-4 inhibitor memiliki efek samping lebih banyak dibandingkan
terapi inhalasi lain. Paling sering antara lain mual, penurunan nafsu makan, penurunan
berat badan, nyeri perut, diare, gangguan tidur, dan nyeri kepala.
e. Antibiotik
Studi terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik makrolid secara reguler
dapat menurunkan tingkat eksaserbasi.
f. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan (NAC, karbosistein)
Pasien PPOK yang tidak menggunakan kortikosteroid inhalasi, dapat menggunakan
mukolitik seperti karbosistein dan N-asetilsistein sebagai terapi reguler untuk
menurunkan eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan.

Terapi non farmakologis lain


1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi
Terapi Lain
1. Terapi Oksigen
2. Ventilatory Support
3. Surgical Treatment ( Lung Volume Reduction Surgery (LVRS), Bronchoscopic Lung
Volume Reduction (BLVR), Lung Transplantation, Bullectomy

Algoritma Terapi Farmakologis


Algoritma terapi untuk inisiasi, eskalasi dan/atau de-eskalasi terapi farmakologis
PPOK berdasarkan hasil asesmen individu terhadap gejala dan risiko eksaserbasi ditunjukkan
dalam Gambar.
Dalam GOLD report sebelumnya, rekomendasi hanya diberikan untuk terapi inisial.
Namun banyak pasien PPOK yang telah mendapat terapi kembali dengan gejala persisten
atau justru membaik sehingga terapi perlu diturunkan. Dengan demikian, direkomendasikan
strategi eskalasi dan de-eskalasi.

26
Gambar 4. Algoritma terapi farmakologis berdasarkan grade GOLD

Tabel 7. Terapi non farmakologis PPOK berdasarkan grup

Pada kasus eksaserbasi, terapi disesuaikan dengan klasifikasi eksaserbasi, yaitu sebagai
berikut.
- Ringan (terapi dengan bronkodilator kerja pendek saja)
- Sedang (terapi dengan bronkodilator kerja pendek ditambah antibiotik dan.atau
kortikosteroid oral) atau
- Berat (pasien perlu mendapat perawatan di rumah sakit). Eksaserbasi berat dapat
berhubungan dengan kejadian gagal napas akut.
Prognosis

27
Untuk pasien PPOK prognosis bergantung pada keparahan obstruksi aliran udara. Pasien
dengan FEV1 < 0,8 L mempunyai mortalitas tahunan ~25%. Pasien dengan kor pulmonal,
hiperkapnia, kebiasaan merokok, dan penurunan berat badan memiliki prognosis buruk.
Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal napas akut, embolus paru dan aritmia jantung.
Pada eksaserbasi akut, prognosis baik dengan terapi.

Komplikasi
- Infeksi berulang
- Pneumotoraks spontan
- Eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik
- Gagal napas
- Kor pulmonale

Pencegahan
1. Agar keadaan pasien tidak semakin memburuk maka pasien harus berhenti
2. merokok
3. Hindari terpapar polusi udara
4. Vaksinasi melawan influenza dan pneumococcus dan penyakit lain
5. Gunakan masker saat berada di tempat yang polusi udaranya tinggi

28
LAMPIRAN

Rontgen Thorax

EKG

29

Anda mungkin juga menyukai