Anda di halaman 1dari 15

80 Eklampsia

Konfirmasi diagnosis1,2

Terapi inisial saat timbul kejang3


Menjaga vital sign ibu dan proteksi jalan napas
Pantau kondisi janin
√Pemeriksaan darah lengkap, T&S, faktor koagulasi
Pertimbangkan konsultasi dengan MFM, NICU, anestesi
Evaluasi gejala lain dari preeklampsia dengan gejala berat 4
Rujuk ke bagian Obgyn

Kondisi janin tidak baik Kondisi janin dipastikan baik


Resusitasi janin in utero Pantau kondisi janin secara kontinu
√Ultrasound untuk memastikan Kondisi janin membaik √Ultrasound untuk memastikan usia gestasi, dan
viabilitas janin, usia gestasi, dan menyingkirkan abrupsio plasenta
menyingkirkan abrupsio plasenta Cegah kejang rekuren5
Pemberian kortikosteroid antenatal jika <34
0/7 minggu
Pemberian kemoprofilaksis GBS, sesuai indikasi
Kontrol tekanan darah7
Kondisi janin tidak membaik Pertimbangkan pemeriksaan imaging kepala8

Pertimbangkan persalinan sectio


sesarea emergensi

Evaluasi untuk persalinan segera tanpa


mempertimbangkan usia gestasi9

1. Eklampsia didefinisikan sebagai serangan baru kejang grand mal pada wanita

preeklamsia tanpa ditemukan gangguan neurologis lain. Eklampsia merupakan

manifestasi berat dari preeklamsia (lihat Bab 12, Preeklampsia). Gejala yang

dapat memprediksi terjadinya impending eclampsia antara lain adanya sakit

kepala persisten di bagian oksipital atau frontal, pandangan kabur, fotofobia, nyeri

epigastrik atau kuadran kanan atas, dan perubahan status mental. Eklampsia

merupakan emergensi obstetrik. Janin dan ibu berada dalam risiko kematian

ataupun mengalami cacat neurologis seumur hidup. Komplikasi maternal utama

antara lain abrupsio/solusio plasenta (10%), sindrom HELLP (10%), DIC (5%),

deficit neurologis dan pneumonia aspirasi (5-10%), edema pulmoner (5%), henti
jantung paru (105%), gagal ginjal akut (105%), dan kematian ibu (1%). Di negara

berkembang, insidensi eklampsia yang dilaporkan berkisar antara 1 dari 2000

hingga 1 dari 3500 kehamilan.

2. Eklampsia dapat timbul selama masa antepartum, intrapartum, atau

postpartum. Mayoritas kasus (>90%) terjadi pada kehamilan usia 28 minggu atau

lebih. Kebanyakan kasus eklampsia postpartum terjadi dalam 48 jam pertama

setelah melahirkan; namun, eklampsia postpartum lambat juga dapat terjadi

hingga 4 minggu setelah melahirkan.

3. Tatalaksana segera kejang eklampsik harus dilakukan meliputi memelihara

fungsi vital ibu, kontrol kejang dan tekanan darah, mencegah berulangnya kejang,

dan evaluasi proses kelahiran. Saat terjadi kejang, sang ibu harus dibaringkan ke

arah kiri dan tongue spatel diletakkan di dalam mulut untuk menjaga patensi jalan

napas dan mencegah aspirasi, hal tersebut merupakan manajemen pertama yang

harus dilakukan. Bedside rails harus dinaikkan dan pengendalian fisik mungkin

diperlukan. Selama episode kejang, hipoventilasi dan asidosis respiratorik sering

terjadi sehingga penting untuk memberikan tambahan oksigen 8-10L/menit via

sungkup.

4. Manifestasi lain dari preeklampsia dengan gejala berat dapat terjadi bersamaan

dengan eklampsia, antara lain sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver

enzymes dan Low Platelet), disseminated intravascular coagulopathy (DIC), gagal

ginjal, kerusakan hepatoselular, ruptur hepar, gagal jantung kongestif, dan edema

pulmoner.
5. Setelah stabilisasi ibu, langkah selanjutnya dalam manajemen eklampsia

adalah untuk mencegah kejang rekuren. Sekitar 10% wanita dengan eklampsia

akan mengalami kejang kedua jika tidak diberikan profilaksis kejang. Magnesium

sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah kejang berikutnya pada wanita

dengan eklampsia. Pemberiannya dilakukan melalui infus IV kontinu: 4-6 g IV

selama 15-20 menit diikuti dengan infus 2 g/jam. Infusi hanya diberikan jika

refleks patella positif, respirasi >12 kali per menit, dan output urin >100mL

selama 4 jam. Monitoring kadar serum magnesium diperlukan jika terdapat

disfungsi ginjal dan/atau tidak ditemukan refleks. Pemberian dapat dilanjutkan

setiap 6 jam dengan dosis dipertahankan sebesar 4.8-8.4 mg/dL. Pemberian

profilaksis kejang harus dilanjutkan selama persalinan dan 24-48 jam postpartum

(atau 24 jam setelah kejang terakhir). Wanita yang mengalami kejang selama

pemberian magnesium harus diberikan tambahan magnesium sufat IV bolus 2g

selama 3-5 menit. Pada wanita yang tidak memiliki akses IV, magnesium sulfat

dapat diberikan secara intramuskular: 10g dari 50% solutio IM (5g pada tiap

bokong). Jika kejang menetap pada pemberian bolus magnesium sulfat, agen

antikonvulsan lain dapat diberikan dengan dosis tunggal: (i) Midazolam (Versed)

1-2mg IV; (ii) Diazepam (Valium) 1-10mg IV; (iii) Lorazepam (Ativan) 2-4mg

IV atau (iv) Sodium amobarbital. Jika tindakan tersebut gagal, anestesia umum

mungkin diperlukan untuk menghentikan aktivitas kejang.

6. Bradikardia transien pada janin yang berlangsung selama 3-5 menit sering

ditemukan setelah terjadinya kejang dan tidak memerlukan tindakan persalinan

segera. Akhir dari aktivitas kejang ibu biasanya ditandai dengan timbulnya
takikardia kompensasi pada janin dan bahkan timbulnya penurunan denyut

jantung janin yang bersifat transien. Perubahan ini biasanya menghilang secara

spontan dalam 3-10 menit setelah terminasi kejang dan koreksi hipoksemia ibu.

Setiap usaha harus dilakukan untuk menjaga stabilisasi ibu dan resusitasi janin in

utero sebelum mengambil keputusan mengenai tindakan persalinan. Namin, jika

bradikardia atau deselerasi denyut rekuren menetap selama 5-10 menit meskipun

telah dilakukan resusitasi, maka pertimbangkan diagnosis abrupsio plasenta.

7. Besaran elevasi tekanan darah dapat menjadi prediktor terjadinya

cerebrovascular accident (stroke), namun tidak dengan eklampsia (kejang).

Derajat hipertensi sistolik (berlawanan dengan hipertensi diastolik atau

peningkatan relatif atau peningkatan mean arterial pressure dari baseline) dapat

merupakan prediktor paling penting dari cedera otak dan infark hemoragik. Onset

akut hipertensi sistolik berat (>160mmHg) dan/atau hipertensi diastolik berat

(>110mmHg) harus ditatalaksana dengan terapi antihipertensi dengan target

tekanan darah 140-150/90-100mHg. Terapi lini pertama untuk hipertensi berat

akut antara lain labetalol IV, hidralazine IV, atau nifedipin oral. Hidralazine

diberikan 5 mg IV push diikuti dengan 5-10mg bolus setiap 20 menit sesuai

kebutuhan. Dosis inisial labetalol 10-20mg IV push diikuti dosis berulang tiap 10-

20 menit dengan doubling doses tidak melebihi 80mg tiap pemberian untuk

maksimum dosis kumulatif total 300mg. Dosis inisial nifedipin 10mg per oral

diikuti 20mg per oral tiap 20 menit, tidak melebihi dosis kumulatif 50mg dalam 1

jam.
8. Eklampsia sulit dibedakan secara klinis maupun dengan EEG dari penyebab

lain kejang umum tonik klonik. Tidak semua wanita yang mengalami eklampsia

memerlukan pemeriksaan imaging kepala. Namun bila kejang berlangsung >10

menit, rekuren, terjadi pada masa postpartum atau dalam pemberian profilaksis

kejang, atau jika tampak gejala neurologis lokal, pemeriksaan imaging kepala

dapat diindikasikan. Diagnosis banding eklampsia antara lain cerebrovascular

accident (perdarahan intraserebral, trombosis vena serebral), ensefalopati

hipertensi, space-occupying lesions (tumor otak, abses), gangguan metabolik

(hipoglikemia, uremia, gangguan sekresi hormon antidiuretik yang

mengakibatkan intoksikasi air), infeksi (meningitis, ensefalitis), trombotik

trombositopenia purpura (TTP), dan epilepsi idiopatik.

9. Eklampsia merupakan kontraindikasi absolut untuk pemberian tatalaksana

kontinu pada preeklampsia dengan gejala berat. Persalinan segera diindikasikan

tanpa mempertimbangkan usia gestasi. Namun, persalinan segera bukan berarti

bedah sesar. Induksi persalinan dan persalinan per vaginam dapat menjadi pilihan,

namun induksi yang berlangsung lama harus dihindari. Pilihan mekanisme

persalinan harus didasarkan pada beberapa faktor seperti paritas, usia gestasional,

pemeriksaan serviks (skor Bishop), serta status dan presentasi janin. Anestesi

regional lebih dipilih digunakan pada wanita dengan eklampsia selama dilakukan

pemantauan ketat terhadap ekspansi volume dan teknik anestesi, dan tidak ada

trombositopenia. Eklampsia selalu membaik setelah persalinan meskipun

memerlukan waktu beberapa hari hingga minggu. Diuresis (>4L/hari) merupakan

indikator klinis paling akurat dari preeklampsia yang membaik.


81 Distosis Bahu1
M A
K
n
a
on ti
n
aj si
fir
p
e
m a
si
e
asi
d
n
di
Ais
w t
ag
alo
no
P si
aa
sis
nb
ga5
gi h
lu
b2
aA
n
ta
um
an
ne
!si
Cs
d
at
a
at
wn
ap
ke
tm
ue
6ri

Ck
s
ip
a
ta
ka
an
nfi
rsi
uk
aC
nat
gat7
Lp
ae
kr
K
TiukMTiP
Pe
Ti
Ti Ti
Ti
onkiran
er
rti
1.
nd
nd
nd
su nd
auv ti Distosia bahu merupakan impaksi bahu anterior janin di belakang simfisis
nd
nd
m
lta
na er
m
ba
ak
ak
ak ak
ak
ak
simnSe b
ng
pubis
an
an
pe an
abku
an ana
an
ka setelah kepala dilahirkan. Distosia bahu sering diartikan sebagai persalinan
di
ben
beendnn
ga
ga
ber ga
at rer
yang
u lag memerlukan manuver obstetrik tambahan mengikuti gagalnya traksi bawah
rh
rh
ha
rivatga
ga
9
k
ga
ku
kebM
asi
asi lall
ka
sil
pada
unraelnn kepala janin untuk melahirkan bahu. Distosia bahu juga dapat terjadi akibat
lM
tu m
dlah
m
Mm
ul
kcairkan
en
en
a
en
mR nangn
enojaga
ba
ga
mga
u
yibnhuve
an
tas
tas
tas
ngeipouvr
nste
kirt i“ii
er
rksIrioS
ini
di
di
di
an drsia
al
denange
os
os
os
uv
ti
rate ”1
orkfiia
eria
ia
0

toakWPa
ba
ba
ba
penaoo
ta
hu
d
diasihu
hu
hk
atnfco
an
ausark
kl
neuksc
av
urptre
ik
olrowul
ogarMa
impaksi
isp an
riSi bahu posterior janin pada promontorium sakrum. Hal ini merupakan
(tu uv
sim
er ker
bi fis
emergensi obstetrik yang berkaitan dengan trauma lahir (cedera neurologis;
utkoRio
adub to
mfraktur
in
ism tulang humerus, tengkorak, klavikula) pada 40% kasus. Distosia bahu
ati
ce oM
merupakan
de sian komplikasi yang terjadi pada 0,6-1,4% persalinan per vaginam.
raauv
pl ber
Identifikasi segera dan intervensi yang tepat dapat mencegah terjadinya trauma
ek aZ
su hav
slahir
uan dan ensefalopati hipoksik iskemik pada beberapa kasus.
br3ell
aki
2.
hi P Meskipun beberapa faktor risiko terjadinya distosia bahu telah teridentifikasi
alia
s) d1
(lihat di bawah), kebanyakan kasus terjadi pada wanita yang tidak memiliki faktor
1a

Dp
risiko.
ok a Sehingga tidak semua kasus distosia bahu dapat diprediksi secara akurat.
usi
me
Pelayanan
en n obstetrik harus dipersiapkan untuk menghadapi distosia bahu pada
tar
si e
setiap persalinan per vaginam.
tisi
nd k
3.
ak o Faktor risiko untuk distosia bahu antara lain riwayat distosia bahu, janin
an ti
12n
makrosomia,
g riwayat melahirkan janin makrosomia, diabetes mellitus (termasuk
g
i,
diabetes gestasional), obesitas, mutiparitas, kehamilan post-term, induksi
a
m
persalinan,
b anestesia epidural, dan persalinan per vaginam operatif. Meskipun
il
la
faktor
n risiko dapat diidentifikasi, nilai prediktifnya tidak cukup tinggi secara
g
k
klinis. Belum ditemukan kurva persalinan yang berguna sebagai prediktor distosia
a
h
bahu.
u
n
t
4.u Meskipun diagnosis janin makrosomia (perkiraan berat janin >4500 gram)
k
m
kurang tepat, persalinan seksio sesaria dapat dipertimbangkan untuk mengurangi
e
n
risiko
c cedera pleksus brakhial permanen pada janin makrosomia dengan perkiraan
e
g
berat
a >5000 gram pada wanita non-diabetik dan >4500 gram pada wanita diabetik.
h
d
Induksi persalinan yang diindikasikan hanya pada suspek makrosomia tidak tepat
is
t
o
si
a
b
a
h
u
4
karena tidak menurunkan kejadian distosia bahu maupun angka persalinan sesar.

Pemilihan rute persalinan pada wanita dengan risiko distosia bahu harus

dipertimbangkan secara individual. Akan lebih bijaksana jika terdapat satu atau

lebih klinisi yang berpengalaman. Persalinan dengan forceps harus dihindari

untuk midpelvic arrest pada janin yang suspek makrosomia.

5. Kegagalan persalinan bahu setelah kepala dilahirkan harus segera

diidentifikasi terutama jika kepala tertarik ke dalam jalan lahir (‘turtle sign’).

6. Persalinan janin dalam waktu sekitar 10 menit meminimalisir risiko cedera

hipoksik iskemik. Setelah kepala dilahirkan, kompresi terhadap umbilikus di jalan

lahir dapat terjadi seiring dengan ketidakmampuan janin untuk bernapas spontan,

sehingga terjadi penurunan pH sebesar 0,04 unit per menit setelah lahirnya kepala.

7. Jika persalinan bahu belum terjadi, segera singkirkan bagian bawah bed,

kosongkan kandung kemih pasien, dan pertimbangkan episiotomi (menyediakan

ruang lebih untuk manipulasi posterior).

8. Manuver McRoberts merupakan hiperfleksi paha pasien ke arah abdomen.

Manuver ini tidak meningkatkan dimensi panggul, namun rotasi simfisis pubis ke

arah kepala ibu menyebabkan penurunan inklinasi panggul, yang akan

membebaskan bahu depan yang terhimpit. Penekanan oblik suprapubik (bukan

fundal) dapat dilakukan pada sudut 45 derajat untuk membantu membebaskan

bahu yang terhimpit. Kedua hal tersebut merupakan manuver primer yang

direkomendasikan pada kejadian distosia bahu dan berhasil pada 24-62% kasus.

9. Jika kombinasi antara manuver McRoberts dan penekanan suprapubik tidak

berhasil, beberapa manuver lain dapat digunakan, antara lain: (i) Manuver Wood
corkscrew dimana bahu posterior dirotasikan 180o secara corkscrew untuk

membebaskan bahu anterior; (ii) Manuver Rubin dimana dilakukan penekanan

secara lateral pada bahu janin yang paling mudah dijangkau ke arah depan dada

janin untuk menurunkan diameter bisakromial (bahu-ke-bahu) dan membebaskan

bahu yang terhimpit; dan (iii) melahirkan bahu belakang dimana lengan posterior

janin disusuri kemudian memfleksikan siku secara manual ke arah depan dada,

dan melahirkan lengan posterior dengan menarik pergelangan tangan janin.

Manuver ini dapat menyebabkan fraktur humerus, meskipun biasanya fraktur

tersebut dapat sembuh tanpa komplikasi. Jika lengan posterior tidak dapat

dijangkau (misalnya, lengan dalam keadaan ekstensi penuh atau jika janin

berbaring di lengan posteriornya), terdapat teknik modifikasi lain yang melahirkan

bahu posterior sebelum melahirkan lengan posterior dengan cara menemparkan

dua jari tengah ke dalam aksila posterior dan melakukan traksi ke arah luar dan

bawah pada bahu posterior mengikuti kurva sakrum. Ketika bahu telah keluar dari

pelvis, lengan posterior dapat dilahirkan. Pada lain kasus, bahu tidak dapat

dilahirkan terlebih dahulu namun dapat diposisikan cukup bawah di pelvis

sehingga lengan posterior dapat digapai dan dilahirkan. Bukti terbaru

menunjukkan bahwa melahirkan bahu posterior memiliki angka keberhasilan

tertinggi (84%) dibandingkan dengan manuver lain, dan dipertimbangkan menjadi

manuver pertama jika manuver McRoberts dan penekanan suprapubik gagal untuk

melahirkan bahu anterior. Tidak satupun manuver menunjukan hilangnya efikasi

dan seiring digunakannya manuver McRoberts dan penekanan suprapubik


menjadi lebih efektif. Sehingga pada manajemen akut distosia bahu tidak ada

satupun manuver yang benar-benar ditinggalkan.

10. Jika manuver kedua gagal, “salvage” manuver dapat dilakukan, antara lain: (i)

pematahan klavikula anterior secara manual dengan melakukan penekanan

klavikula ke arah luar melawan ramus pubis ibu. Klavikula tidak boleh dipatahkan

dengan menekan ke dalam ke arah dada janin karena dapat menyebabkan

pneumothoraks janin, cedera vaskular subklavia, atau cedera pleksus brakhial.

Tanpa adanya cedera neurologis, fraktur dapat sembuh dengan cepat tanpa

komplikasi; (ii) simfisiotomi yaitu pemisahan rami pubis ibu dengan transeksi

kartilago simfisis pubis. Cara ini sangat efektif untuk melebarkan jalan lahir

namun sulit dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh klinisi yang tidak

berpengalaman. Cara ini dapat menyebabkan non-union jangka panjang dan nyeri

kronis berat pada ibu, sehingga cara ini jarang dilakukan; (iii) manuver Zavanelli,

yaitu fleksi manual dan mengembalika kepala janin ke dalam uterus diikuti

dengan persalinan sesar. Angka keberhasilan yang dilaporkan bervariasi; (iv)

abdominal rescue dipertimbangkan jika manuver Zavanelli gagal dilakukan. Low

transverse hysterectomy dilakukan untuk membantu melahirkan bahu janin di

bawah simfisis pubis ibu, diikuti dengan persalinan per vaginam.

11. Komplikasi cedera pleksus brakhialis terjadi pada 11,8-16,8% kasus distosia

bahu. Kejadian tersebut dilaporkan terjadi akibat traksi lateral “berlebihan” pada

kepala dan leher saat persalinan sehingga timbul cedera pada pleksus brakhialis,

biasanya mengenai radiks saraf leher C5/C6 (Erb/Duchenne palsy). Pada

pemeriksaan, tangan tampak menggantung pada sisi tubuh dengan lengan bawah
ekstensi dan rotasi internal, membentuk deformitas klasik “waiter’s tip”. Biasanya

fungsi jari-jari dipertahankan. Pleksus brakhialis bawah (C8/T1) juga dapat

cedera, menyebabkan paralisis tangan, namun cedera pleksus bawah yang

terisolasi (Klumpke palsy) jarang terjadi. Kurang dari 10% kasus distosia bahu

menyebabkan cedera pleksus brakhialis persisten. Mayoritas kasus membaik

dalam 6 bulan pertama dan sembuh dalam 18 bulan. Persalinan sesar elektif

mencegah kejadian cedera pleksus brakhialis (tidak semua pada semua kasus).

Namun kesulitan dalam memprediksi dan mencegah distosia bahu membuat

persalinan sesar tidak direkomendasikan pada semua wanita yang memiliki faktor

risiko yang telah teridentifikasi.

12. The American College of Obstetricians and Gynecologists Patient Safety

Checklist on Documenting Shoulder Dystocia dapat digunakan sebagai acuan

dalam mendokumentasikan persalinan.

82 Krisis Tiroid

1. Krisis tiroid (krisis tirotoksis) merupakan emergensi medis yang

dikarakteristikkan dengan eksaserbasi akut berat dari tanda dan gejala

hipertiroidisme. Krisis tiroid merupakan komplikasi jarang, terjadi pada sekitar

1% pasien hamil dengan hipertiroid, namun signifikan terhadap mortalitas dan

morbiditas ibu dan perinatal.

2. Sebagian besar wanita yang mengalami krisis tiroid memiliki riwayat

hipertiroidisme. Hipertiroidisme mengacu pada keadaan klinis yang diakibatkan

oleh produksi dan paparan berlebihan dari hormon tiroid. Penyebab paling sering
adalah penyakit Graves, yaitu 95% dari semua kasus hipertiroid dalam kehamilan

dan disebabkan oleh autoantibodi thyroid-stimulating dalam sirkulasi.

Ko
Ini Ta Ko
Kr
P
Se nfi
sia nfi
tal isi
ro
tel rm
rm ak
si s
pi
ah asi
ter asi
sa Ti
lti
pa dia
di roi
api
sie ona gn
ag
obse d
urn osi
ger no
at (k
sta as s
ris
ant
bil ilsis
a6
kri
Ta
itir is
(P ,
tal
oid sis tir
lan T
ak tir
7 ot
jut U
sa oi ok
)ka
na d sik
60n
di )1
0-
ob
Ru
IC 80
ser
juk
U 0va
ke
de msi Id
ru
ng g
ket ent
ma
an pe
at8 ifi
hpe r
sa
ma ka
or
kit
nta si
al,
se
ua wa
la
ger
nnj nit
avit a
ut
Pa
al ya
15
sti
sig ng
0-
ka
n20 be
ntia ris
0
usi
pm ik
a15 o
g
ge
me me
pe
sta
nit ng
r ala
si
,or
Pa
E mi
al
nta
K kri
tia
uG, sis
p
ko
ok tir
4-
ndi
sig oi
6
si
en d2
ja
jan
ta La
m
in
mb ku
.
Si
ah ka
Ji
ng
an n
ka
kir
4- an
pe
ka
6L am
m
n/m ne
be
ke
eni sis
ri
mu
tan da
Di
Per n
ag ng
su
pe
lak pe
no kin
ng
rOftalmopati (eksoftalmus, lid lag, lid retraction) dan dermopati (edema pretibial)
uk me
sis an
ku
or
an rik
tid inf
pal
seb sa
ak
ag timerupakan gejala klinis spesifik penyakit Graves. Penyebab lain hipertiroid dalam
ek
Pe
si
ma an
da
ai da
se
nta fis
pa
pas kkehamilan antara lain inflamasi (tiroiditis), goiter multinodular toksik, nodul tiroid
ba
ua ik
ien bi
t
gai
nsa len
di
ra gk
ko pe
jan
di
wa ap3
nfi ny
in
la
t Pe
rm eb
ko
ku
jal ri
asi ab:
nti
ka
an ks
per
nu
n,
da a
Per ti
jik
be
n fu
mb
a
gk
an si
ngol tir
kaan
gem
ket oi
per
sta
nat eti
iks
si d
dia
term
a>2 (T
gn
ha az
kul
4ol F
osi
da T)
stur
mi
su
p 4
laidar
ng
pp
hip
ah,
gu
os
nerti5
kul Pa
Pa
roiit da
stitur
or
dis pas
ka uri
isoliter toksik, hiperemesis gravidarum/neoplasia trofoblastik gestasional,
me ien
nn, pe res
usida
r iko
anre konsumsi hormon tiroid eksogen, dan adenoma pituitari sekresi TSH. Untuk tin
gesx-
kt ggi
ray ,
tas al
i da meminimalisir komplikasi (termasuk krisis tiroid), hipertiroidisme sebaiknya
1-
am
da bil
Pa 2 lan
nta ja
didiagnosis dan diterapi sebelum kehamilan. Kondisi yang memicu (misal infeksi, gk
um ah
ko se unt
ndi hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, tromboemboli vena, operasi, dan/atau
tel uk
me
siah
nce
jan ko
inns persalinan) dapat diidentifikasi pada banyak kasus krisis tiroid. ga
h
u dis
m3. Krisis tiroid didiagnosis dari gejala dan tanda pasien dengan tirotoksikosis, tos
si ia
P ba
Tyaitu demam, takikardia yang tidak selaras dengan demam >140-160 kali/menit, hu4
U,
be
riperubahan status mental (misal kelelahan, gugup, bingung, atau kejang), diare,
ka
nmuntah, dan aritmia jantung. Namun diagnosis sulit ditegakkan secara klinis.
sa
tu
4. Jika suspek krisis tiroid, harus segera lakukan pemeriksaan fungsi serum tiroid
ra
te
d
(serum thyroid function tests/TFTs). Temuan biokimia yang dapat mendukung
so
lu
tipenegakan diagnosis antara lain penekanan kadar thyroid-binding globulin (<0,05
o
n
mU/mL) dan peningkatan kadar levotiroksin bebas (T4) dan L-triioditironin (T3)
of
po
ta
dalam sirkulasi darah ibu. Meskipun kebanyakan wanita dengan penyakit Graves
ss
iu
mmemiliki reseptor anti-TSH, antimikrosomal, dan/atau autoantibodi antitiroid
io
di
peroksidase, pengukuran kadar antibodi tersebut tidak direkomendasikan dalam
de
(S
S
Kpenegakan diagnosis. Kadar antibodi tidak berkorelasi baik dengan kondisi ibu
I)
2-
dan janin.
5
tet
5. Diagnosis banding krisis tiroid antara lain gangguan cemas, intoksikasi
es
pe
r
dan/atau withdrawal obat, dan pheokromositoma.
or
al
tia
6. Krisis tiroid berkaitan dengan mortalitas dan morbiditas ibu dan perinatal yang
p
8
signifikan, antara lain terjadinya syok, stupor, koma, dan kematian. Jika indeks
ja
m
.
S
u
m
be
r
io
di
n
er
na
tif
an
ta
ra
lai
n
so
di
u
m
klinis suspek krisis tiroid tinggi, terapi harus segera dimulai dan tidak boleh
io
di
da
ditunda sambil menunggu hasil pemeriksaan biokimia.
(0
,5
-7. Tujuan terapi krisis tiroid antara lain: (i) menurunkan sintesis dan pelepasan
1,
0g
Ihormon dari kelenjar tiroid menggunakan tioamid (seperti propiltiourasil (PTU)
V
tia
patau metimazol), suplemen iodida, dan/atau glukokortikoid; (ii) untuk memblok
8
ja
aksi perifer hormon tiroid dengan menggunakan glukokortikoid, PTU, dan/atau β-
m
)
bloker; (iii) untuk menangani komplikasi dan mendukung fungsi fisiologis
at
au
so
(tatalaksana di ICU, asetaminofen, selimut pendingin, oksigen tambahan,
lu
si
opengganti cairan dan kalori); dan (iv) untuk mengidentifikasi dan menangani
L
ug
kondisi pemicu (misal hipoglikemia, tromboemboli, dan ketoasisdosis diabetik).
ol
(8
tet
Sama seperti penyakit akut pada kehamilan lainnya, kondisi janin harus dievaluasi
es
tia
pdan dipertimbangkan untuk terminasi jika memungkinkan. Takikardia janin (>160
6
ja
mkali/menit) merupakan indeks sensitif dari hipertiroidisme janin. Hanya 1-5%
)
at
neonatus yang lahir dari wanita yang memiliki tirotoksikosis tak terkontrol akan
au
lit
iu
mengalami hipertiroidisme transien atau penyakit Graves neonatal yang
m
ka
disebabkan oleh antibodi antitiroid ibu masuk ke dalam tubuh bayi melalui
rb
on
at
transplasental.
(3
00
m8. Setelah kondisi stabil, hal penting yang harus dilakukan antara lain: (i)
g
pe
rmemantau elektrolit serum (terutama potasium) dan analisa gas darah arteri setiap
or
al
2-4 jam, sesuai indikasi; (ii) memasang kateter pada pasien yang tidak sadar atau
tia
p
6tidak bisa kencing; (iii) dekompresi lambung jika pasien tidak sadar; dan (iv)
ja
m
)memantau kondisi janin. Pada wanita yang tidak merespon terhadap terapi inisial,
D
ex 131
apilihan terapi lain terbatas. Pemberian radioaktif iodin ( I) untuk mengablasi
m
et
as
o
n
2
m
g
I
V
au
I
M
tia
p
6
ja
m
da
la
m
4
kelenjar tiroid merupakan kontraindikasi absolut pada kehamilan karena dapat
do
si
smerusak tiroid janin secara permanen. Tindakan operasi sebaiknya dihindari,
P
ro
pnamun dapat menjadi opsi terapi.
a
n
ol
ol
20
-
80
m
g
pe
r
or
al
tia
p
4-
6
ja
m
at
au
1-
2
m
g
I
V
tia
p
5
m
en
it
hi
ng
ga
to
tal
do
si
s
6
m
g,
la
nj
ut
1-
10
m
g
I
V
tia
p
4
ja
m
.
Ji
ka
pa
si
en

Anda mungkin juga menyukai