Konfirmasi diagnosis1,2
1. Eklampsia didefinisikan sebagai serangan baru kejang grand mal pada wanita
manifestasi berat dari preeklamsia (lihat Bab 12, Preeklampsia). Gejala yang
kepala persisten di bagian oksipital atau frontal, pandangan kabur, fotofobia, nyeri
epigastrik atau kuadran kanan atas, dan perubahan status mental. Eklampsia
merupakan emergensi obstetrik. Janin dan ibu berada dalam risiko kematian
antara lain abrupsio/solusio plasenta (10%), sindrom HELLP (10%), DIC (5%),
deficit neurologis dan pneumonia aspirasi (5-10%), edema pulmoner (5%), henti
jantung paru (105%), gagal ginjal akut (105%), dan kematian ibu (1%). Di negara
postpartum. Mayoritas kasus (>90%) terjadi pada kehamilan usia 28 minggu atau
fungsi vital ibu, kontrol kejang dan tekanan darah, mencegah berulangnya kejang,
dan evaluasi proses kelahiran. Saat terjadi kejang, sang ibu harus dibaringkan ke
arah kiri dan tongue spatel diletakkan di dalam mulut untuk menjaga patensi jalan
napas dan mencegah aspirasi, hal tersebut merupakan manajemen pertama yang
harus dilakukan. Bedside rails harus dinaikkan dan pengendalian fisik mungkin
sungkup.
4. Manifestasi lain dari preeklampsia dengan gejala berat dapat terjadi bersamaan
ginjal, kerusakan hepatoselular, ruptur hepar, gagal jantung kongestif, dan edema
pulmoner.
5. Setelah stabilisasi ibu, langkah selanjutnya dalam manajemen eklampsia
adalah untuk mencegah kejang rekuren. Sekitar 10% wanita dengan eklampsia
akan mengalami kejang kedua jika tidak diberikan profilaksis kejang. Magnesium
sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah kejang berikutnya pada wanita
selama 15-20 menit diikuti dengan infus 2 g/jam. Infusi hanya diberikan jika
refleks patella positif, respirasi >12 kali per menit, dan output urin >100mL
profilaksis kejang harus dilanjutkan selama persalinan dan 24-48 jam postpartum
(atau 24 jam setelah kejang terakhir). Wanita yang mengalami kejang selama
selama 3-5 menit. Pada wanita yang tidak memiliki akses IV, magnesium sulfat
dapat diberikan secara intramuskular: 10g dari 50% solutio IM (5g pada tiap
bokong). Jika kejang menetap pada pemberian bolus magnesium sulfat, agen
antikonvulsan lain dapat diberikan dengan dosis tunggal: (i) Midazolam (Versed)
1-2mg IV; (ii) Diazepam (Valium) 1-10mg IV; (iii) Lorazepam (Ativan) 2-4mg
IV atau (iv) Sodium amobarbital. Jika tindakan tersebut gagal, anestesia umum
6. Bradikardia transien pada janin yang berlangsung selama 3-5 menit sering
segera. Akhir dari aktivitas kejang ibu biasanya ditandai dengan timbulnya
takikardia kompensasi pada janin dan bahkan timbulnya penurunan denyut
jantung janin yang bersifat transien. Perubahan ini biasanya menghilang secara
spontan dalam 3-10 menit setelah terminasi kejang dan koreksi hipoksemia ibu.
Setiap usaha harus dilakukan untuk menjaga stabilisasi ibu dan resusitasi janin in
bradikardia atau deselerasi denyut rekuren menetap selama 5-10 menit meskipun
peningkatan relatif atau peningkatan mean arterial pressure dari baseline) dapat
merupakan prediktor paling penting dari cedera otak dan infark hemoragik. Onset
akut antara lain labetalol IV, hidralazine IV, atau nifedipin oral. Hidralazine
kebutuhan. Dosis inisial labetalol 10-20mg IV push diikuti dosis berulang tiap 10-
20 menit dengan doubling doses tidak melebihi 80mg tiap pemberian untuk
maksimum dosis kumulatif total 300mg. Dosis inisial nifedipin 10mg per oral
diikuti 20mg per oral tiap 20 menit, tidak melebihi dosis kumulatif 50mg dalam 1
jam.
8. Eklampsia sulit dibedakan secara klinis maupun dengan EEG dari penyebab
lain kejang umum tonik klonik. Tidak semua wanita yang mengalami eklampsia
menit, rekuren, terjadi pada masa postpartum atau dalam pemberian profilaksis
kejang, atau jika tampak gejala neurologis lokal, pemeriksaan imaging kepala
bedah sesar. Induksi persalinan dan persalinan per vaginam dapat menjadi pilihan,
persalinan harus didasarkan pada beberapa faktor seperti paritas, usia gestasional,
pemeriksaan serviks (skor Bishop), serta status dan presentasi janin. Anestesi
regional lebih dipilih digunakan pada wanita dengan eklampsia selama dilakukan
pemantauan ketat terhadap ekspansi volume dan teknik anestesi, dan tidak ada
Ck
s
ip
a
ta
ka
an
nfi
rsi
uk
aC
nat
gat7
Lp
ae
kr
K
TiukMTiP
Pe
Ti
Ti Ti
Ti
onkiran
er
rti
1.
nd
nd
nd
su nd
auv ti Distosia bahu merupakan impaksi bahu anterior janin di belakang simfisis
nd
nd
m
lta
na er
m
ba
ak
ak
ak ak
ak
ak
simnSe b
ng
pubis
an
an
pe an
abku
an ana
an
ka setelah kepala dilahirkan. Distosia bahu sering diartikan sebagai persalinan
di
ben
beendnn
ga
ga
ber ga
at rer
yang
u lag memerlukan manuver obstetrik tambahan mengikuti gagalnya traksi bawah
rh
rh
ha
rivatga
ga
9
k
ga
ku
kebM
asi
asi lall
ka
sil
pada
unraelnn kepala janin untuk melahirkan bahu. Distosia bahu juga dapat terjadi akibat
lM
tu m
dlah
m
Mm
ul
kcairkan
en
en
a
en
mR nangn
enojaga
ba
ga
mga
u
yibnhuve
an
tas
tas
tas
ngeipouvr
nste
kirt i“ii
er
rksIrioS
ini
di
di
di
an drsia
al
denange
os
os
os
uv
ti
rate ”1
orkfiia
eria
ia
0
toakWPa
ba
ba
ba
penaoo
ta
hu
d
diasihu
hu
hk
atnfco
an
ausark
kl
neuksc
av
urptre
ik
olrowul
ogarMa
impaksi
isp an
riSi bahu posterior janin pada promontorium sakrum. Hal ini merupakan
(tu uv
sim
er ker
bi fis
emergensi obstetrik yang berkaitan dengan trauma lahir (cedera neurologis;
utkoRio
adub to
mfraktur
in
ism tulang humerus, tengkorak, klavikula) pada 40% kasus. Distosia bahu
ati
ce oM
merupakan
de sian komplikasi yang terjadi pada 0,6-1,4% persalinan per vaginam.
raauv
pl ber
Identifikasi segera dan intervensi yang tepat dapat mencegah terjadinya trauma
ek aZ
su hav
slahir
uan dan ensefalopati hipoksik iskemik pada beberapa kasus.
br3ell
aki
2.
hi P Meskipun beberapa faktor risiko terjadinya distosia bahu telah teridentifikasi
alia
s) d1
(lihat di bawah), kebanyakan kasus terjadi pada wanita yang tidak memiliki faktor
1a
Dp
risiko.
ok a Sehingga tidak semua kasus distosia bahu dapat diprediksi secara akurat.
usi
me
Pelayanan
en n obstetrik harus dipersiapkan untuk menghadapi distosia bahu pada
tar
si e
setiap persalinan per vaginam.
tisi
nd k
3.
ak o Faktor risiko untuk distosia bahu antara lain riwayat distosia bahu, janin
an ti
12n
makrosomia,
g riwayat melahirkan janin makrosomia, diabetes mellitus (termasuk
g
i,
diabetes gestasional), obesitas, mutiparitas, kehamilan post-term, induksi
a
m
persalinan,
b anestesia epidural, dan persalinan per vaginam operatif. Meskipun
il
la
faktor
n risiko dapat diidentifikasi, nilai prediktifnya tidak cukup tinggi secara
g
k
klinis. Belum ditemukan kurva persalinan yang berguna sebagai prediktor distosia
a
h
bahu.
u
n
t
4.u Meskipun diagnosis janin makrosomia (perkiraan berat janin >4500 gram)
k
m
kurang tepat, persalinan seksio sesaria dapat dipertimbangkan untuk mengurangi
e
n
risiko
c cedera pleksus brakhial permanen pada janin makrosomia dengan perkiraan
e
g
berat
a >5000 gram pada wanita non-diabetik dan >4500 gram pada wanita diabetik.
h
d
Induksi persalinan yang diindikasikan hanya pada suspek makrosomia tidak tepat
is
t
o
si
a
b
a
h
u
4
karena tidak menurunkan kejadian distosia bahu maupun angka persalinan sesar.
Pemilihan rute persalinan pada wanita dengan risiko distosia bahu harus
dipertimbangkan secara individual. Akan lebih bijaksana jika terdapat satu atau
diidentifikasi terutama jika kepala tertarik ke dalam jalan lahir (‘turtle sign’).
lahir dapat terjadi seiring dengan ketidakmampuan janin untuk bernapas spontan,
sehingga terjadi penurunan pH sebesar 0,04 unit per menit setelah lahirnya kepala.
7. Jika persalinan bahu belum terjadi, segera singkirkan bagian bawah bed,
Manuver ini tidak meningkatkan dimensi panggul, namun rotasi simfisis pubis ke
bahu yang terhimpit. Kedua hal tersebut merupakan manuver primer yang
direkomendasikan pada kejadian distosia bahu dan berhasil pada 24-62% kasus.
berhasil, beberapa manuver lain dapat digunakan, antara lain: (i) Manuver Wood
corkscrew dimana bahu posterior dirotasikan 180o secara corkscrew untuk
secara lateral pada bahu janin yang paling mudah dijangkau ke arah depan dada
bahu yang terhimpit; dan (iii) melahirkan bahu belakang dimana lengan posterior
janin disusuri kemudian memfleksikan siku secara manual ke arah depan dada,
tersebut dapat sembuh tanpa komplikasi. Jika lengan posterior tidak dapat
dijangkau (misalnya, lengan dalam keadaan ekstensi penuh atau jika janin
dua jari tengah ke dalam aksila posterior dan melakukan traksi ke arah luar dan
bawah pada bahu posterior mengikuti kurva sakrum. Ketika bahu telah keluar dari
pelvis, lengan posterior dapat dilahirkan. Pada lain kasus, bahu tidak dapat
manuver pertama jika manuver McRoberts dan penekanan suprapubik gagal untuk
10. Jika manuver kedua gagal, “salvage” manuver dapat dilakukan, antara lain: (i)
klavikula ke arah luar melawan ramus pubis ibu. Klavikula tidak boleh dipatahkan
Tanpa adanya cedera neurologis, fraktur dapat sembuh dengan cepat tanpa
komplikasi; (ii) simfisiotomi yaitu pemisahan rami pubis ibu dengan transeksi
kartilago simfisis pubis. Cara ini sangat efektif untuk melebarkan jalan lahir
namun sulit dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh klinisi yang tidak
berpengalaman. Cara ini dapat menyebabkan non-union jangka panjang dan nyeri
kronis berat pada ibu, sehingga cara ini jarang dilakukan; (iii) manuver Zavanelli,
yaitu fleksi manual dan mengembalika kepala janin ke dalam uterus diikuti
11. Komplikasi cedera pleksus brakhialis terjadi pada 11,8-16,8% kasus distosia
bahu. Kejadian tersebut dilaporkan terjadi akibat traksi lateral “berlebihan” pada
kepala dan leher saat persalinan sehingga timbul cedera pada pleksus brakhialis,
pemeriksaan, tangan tampak menggantung pada sisi tubuh dengan lengan bawah
ekstensi dan rotasi internal, membentuk deformitas klasik “waiter’s tip”. Biasanya
terisolasi (Klumpke palsy) jarang terjadi. Kurang dari 10% kasus distosia bahu
dalam 6 bulan pertama dan sembuh dalam 18 bulan. Persalinan sesar elektif
mencegah kejadian cedera pleksus brakhialis (tidak semua pada semua kasus).
persalinan sesar tidak direkomendasikan pada semua wanita yang memiliki faktor
82 Krisis Tiroid
oleh produksi dan paparan berlebihan dari hormon tiroid. Penyebab paling sering
adalah penyakit Graves, yaitu 95% dari semua kasus hipertiroid dalam kehamilan
Ko
Ini Ta Ko
Kr
P
Se nfi
sia nfi
tal isi
ro
tel rm
rm ak
si s
pi
ah asi
ter asi
sa Ti
lti
pa dia
di roi
api
sie ona gn
ag
obse d
urn osi
ger no
at (k
sta as s
ris
ant
bil ilsis
a6
kri
Ta
itir is
(P ,
tal
oid sis tir
lan T
ak tir
7 ot
jut U
sa oi ok
)ka
na d sik
60n
di )1
0-
ob
Ru
IC 80
ser
juk
U 0va
ke
de msi Id
ru
ng g
ket ent
ma
an pe
at8 ifi
hpe r
sa
ma ka
or
kit
nta si
al,
se
ua wa
la
ger
nnj nit
avit a
ut
Pa
al ya
15
sti
sig ng
0-
ka
n20 be
ntia ris
0
usi
pm ik
a15 o
g
ge
me me
pe
sta
nit ng
r ala
si
,or
Pa
E mi
al
nta
K kri
tia
uG, sis
p
ko
ok tir
4-
ndi
sig oi
6
si
en d2
ja
jan
ta La
m
in
mb ku
.
Si
ah ka
Ji
ng
an n
ka
kir
4- an
pe
ka
6L am
m
n/m ne
be
ke
eni sis
ri
mu
tan da
Di
Per n
ag ng
su
pe
lak pe
no kin
ng
rOftalmopati (eksoftalmus, lid lag, lid retraction) dan dermopati (edema pretibial)
uk me
sis an
ku
or
an rik
tid inf
pal
seb sa
ak
ag timerupakan gejala klinis spesifik penyakit Graves. Penyebab lain hipertiroid dalam
ek
Pe
si
ma an
da
ai da
se
nta fis
pa
pas kkehamilan antara lain inflamasi (tiroiditis), goiter multinodular toksik, nodul tiroid
ba
ua ik
ien bi
t
gai
nsa len
di
ra gk
ko pe
jan
di
wa ap3
nfi ny
in
la
t Pe
rm eb
ko
ku
jal ri
asi ab:
nti
ka
an ks
per
nu
n,
da a
Per ti
jik
be
n fu
mb
a
gk
an si
ngol tir
kaan
gem
ket oi
per
sta
nat eti
iks
si d
dia
term
a>2 (T
gn
ha az
kul
4ol F
osi
da T)
stur
mi
su
p 4
laidar
ng
pp
hip
ah,
gu
os
nerti5
kul Pa
Pa
roiit da
stitur
or
dis pas
ka uri
isoliter toksik, hiperemesis gravidarum/neoplasia trofoblastik gestasional,
me ien
nn, pe res
usida
r iko
anre konsumsi hormon tiroid eksogen, dan adenoma pituitari sekresi TSH. Untuk tin
gesx-
kt ggi
ray ,
tas al
i da meminimalisir komplikasi (termasuk krisis tiroid), hipertiroidisme sebaiknya
1-
am
da bil
Pa 2 lan
nta ja
didiagnosis dan diterapi sebelum kehamilan. Kondisi yang memicu (misal infeksi, gk
um ah
ko se unt
ndi hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, tromboemboli vena, operasi, dan/atau
tel uk
me
siah
nce
jan ko
inns persalinan) dapat diidentifikasi pada banyak kasus krisis tiroid. ga
h
u dis
m3. Krisis tiroid didiagnosis dari gejala dan tanda pasien dengan tirotoksikosis, tos
si ia
P ba
Tyaitu demam, takikardia yang tidak selaras dengan demam >140-160 kali/menit, hu4
U,
be
riperubahan status mental (misal kelelahan, gugup, bingung, atau kejang), diare,
ka
nmuntah, dan aritmia jantung. Namun diagnosis sulit ditegakkan secara klinis.
sa
tu
4. Jika suspek krisis tiroid, harus segera lakukan pemeriksaan fungsi serum tiroid
ra
te
d
(serum thyroid function tests/TFTs). Temuan biokimia yang dapat mendukung
so
lu
tipenegakan diagnosis antara lain penekanan kadar thyroid-binding globulin (<0,05
o
n
mU/mL) dan peningkatan kadar levotiroksin bebas (T4) dan L-triioditironin (T3)
of
po
ta
dalam sirkulasi darah ibu. Meskipun kebanyakan wanita dengan penyakit Graves
ss
iu
mmemiliki reseptor anti-TSH, antimikrosomal, dan/atau autoantibodi antitiroid
io
di
peroksidase, pengukuran kadar antibodi tersebut tidak direkomendasikan dalam
de
(S
S
Kpenegakan diagnosis. Kadar antibodi tidak berkorelasi baik dengan kondisi ibu
I)
2-
dan janin.
5
tet
5. Diagnosis banding krisis tiroid antara lain gangguan cemas, intoksikasi
es
pe
r
dan/atau withdrawal obat, dan pheokromositoma.
or
al
tia
6. Krisis tiroid berkaitan dengan mortalitas dan morbiditas ibu dan perinatal yang
p
8
signifikan, antara lain terjadinya syok, stupor, koma, dan kematian. Jika indeks
ja
m
.
S
u
m
be
r
io
di
n
er
na
tif
an
ta
ra
lai
n
so
di
u
m
klinis suspek krisis tiroid tinggi, terapi harus segera dimulai dan tidak boleh
io
di
da
ditunda sambil menunggu hasil pemeriksaan biokimia.
(0
,5
-7. Tujuan terapi krisis tiroid antara lain: (i) menurunkan sintesis dan pelepasan
1,
0g
Ihormon dari kelenjar tiroid menggunakan tioamid (seperti propiltiourasil (PTU)
V
tia
patau metimazol), suplemen iodida, dan/atau glukokortikoid; (ii) untuk memblok
8
ja
aksi perifer hormon tiroid dengan menggunakan glukokortikoid, PTU, dan/atau β-
m
)
bloker; (iii) untuk menangani komplikasi dan mendukung fungsi fisiologis
at
au
so
(tatalaksana di ICU, asetaminofen, selimut pendingin, oksigen tambahan,
lu
si
opengganti cairan dan kalori); dan (iv) untuk mengidentifikasi dan menangani
L
ug
kondisi pemicu (misal hipoglikemia, tromboemboli, dan ketoasisdosis diabetik).
ol
(8
tet
Sama seperti penyakit akut pada kehamilan lainnya, kondisi janin harus dievaluasi
es
tia
pdan dipertimbangkan untuk terminasi jika memungkinkan. Takikardia janin (>160
6
ja
mkali/menit) merupakan indeks sensitif dari hipertiroidisme janin. Hanya 1-5%
)
at
neonatus yang lahir dari wanita yang memiliki tirotoksikosis tak terkontrol akan
au
lit
iu
mengalami hipertiroidisme transien atau penyakit Graves neonatal yang
m
ka
disebabkan oleh antibodi antitiroid ibu masuk ke dalam tubuh bayi melalui
rb
on
at
transplasental.
(3
00
m8. Setelah kondisi stabil, hal penting yang harus dilakukan antara lain: (i)
g
pe
rmemantau elektrolit serum (terutama potasium) dan analisa gas darah arteri setiap
or
al
2-4 jam, sesuai indikasi; (ii) memasang kateter pada pasien yang tidak sadar atau
tia
p
6tidak bisa kencing; (iii) dekompresi lambung jika pasien tidak sadar; dan (iv)
ja
m
)memantau kondisi janin. Pada wanita yang tidak merespon terhadap terapi inisial,
D
ex 131
apilihan terapi lain terbatas. Pemberian radioaktif iodin ( I) untuk mengablasi
m
et
as
o
n
2
m
g
I
V
au
I
M
tia
p
6
ja
m
da
la
m
4
kelenjar tiroid merupakan kontraindikasi absolut pada kehamilan karena dapat
do
si
smerusak tiroid janin secara permanen. Tindakan operasi sebaiknya dihindari,
P
ro
pnamun dapat menjadi opsi terapi.
a
n
ol
ol
20
-
80
m
g
pe
r
or
al
tia
p
4-
6
ja
m
at
au
1-
2
m
g
I
V
tia
p
5
m
en
it
hi
ng
ga
to
tal
do
si
s
6
m
g,
la
nj
ut
1-
10
m
g
I
V
tia
p
4
ja
m
.
Ji
ka
pa
si
en