Anda di halaman 1dari 36

Presentasi Kasus Bedah Plastik

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 5 TAHUN DENGAN


COMBUSTIO AIR PANAS GRADE II 15%

Periode: 31 Juli – 5 Agustus 2017

Oleh:
Putri Nur Kumalasari G99152031
Mega Elisa Hasyim G99162156

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, Sp. B, Sp. BP-RE (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MA
Usia : 5 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Tangerang, Banten
Pekerjaan : Pelajar
No RM : 013862xx
Tanggal masuk : 21 Juli 2017
Tanggal periksa : 31 Juli 2017

2. KELUHAN UTAMA
Luka bakar air panas

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Seorang anak laki-laki usia 5 tahun datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi diantar
oleh keluarganya. Pasien datang dengan keluhan utama luka bakar karena tersiram air
panas di bagian leher, dada, kedua tangan dan kedua kaki. Pasin terkena air panas 2 jam
SMRS. Saat bermain di dalam rumah, tidak sengaja pasien menyenggol termos pemanas
air hingga air panas tumpah dan mengenai tubuh pasien. Setelah kejadian pasien sadar,
pingsan (-), sesak (-), muntah (-). Oleh kelurga, pasien segera dibawa ke RSUD Dr.
Moewardi.
4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat alergi/asma : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat trauma : disangkal

5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat alergi : disangkal
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal

6. RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien makhean sehari 3 kali, sekali makan porsi 1 piring, dengan nasi, sayur, dan lauk
pauk seperti tempe, tahu, ikan, atau ayam.

7. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien berobat dengan pembiayaan BPJS

8. ANAMNESIS SISTEMIK
a. Kepala : sakit kepala (-), luka (+) lihat status lokalis
b. Mata : pandangan kabur (-), oedem palpebra (-) konjungtiva pucat
(-/-)
c. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
d. Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi (-)
e. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktifitas (-), nyeri dada (-), berdebar-
debar (-)
f. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), susah BAB (-), perut
sebah (-), kembung (-)
g. Sistem genitourinaria : air kencing berwarna merah (-), nyeri saat kencing (-), keluar
darah (-), kencing nanah (-)
h. Ekstremitas atas : luka (+/+), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-),
kesemutan (-/-), sakit sendi (-/-), nyeri (+/+)
i. Ekstremitas bawah : luka (+/+), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-),
kesemutan (-/-), sakit sendi (-/-), nyeri (+/+)

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : torakoabdominal, frekuensi pernafasan 22 x/menit
c. Circulation : nadi 94 x/menit
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm)
e. Exposure : suhu 36,7 ºC, jejas (+) lihat status lokalis

2. Secondary Survey
a. Kepala : bentuk mesocephal, luka (+) lihat status lokalis
b. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom periorbita (-/-),
diplopia (-/-)
c. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tragus
(-/-)
d. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), secret (-), keluar
darah (-)
e. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-), maloklusi (-)
f. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), JVP tidak
meningkat, jejas (+) lihat status lokalis
g. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), jejas (+) lihat
status lokalis
h. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising(-)
i. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri, nyeri tekan(-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defense muscular (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
k. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-)
l. Muskuloskletal : ROM bebas
m. Ekstremitas
Jejas (+) lihat status lokalis
Akral dingin Oedema

- - - -
- - - -

3. Status Lokalis
a. Regio kepala leher
Inspeksi : Bulla (+) Eritem (+) berair (+) 0.5%
Palpasi : Nyeri tekan (+)
b. Regio thorax anterior
Inspeksi : Bulla (+) Eritem (+) berair (+) 6.5%
Palpasi : Nyeri tekan (+)
c. Regio extremitas superior dextra
Inspeksi : Bulla (+) Eritem (+) berair (+) 2.5%
Palpasi : Nyeri tekan (+)
d. Regio extremitas superior sinistra
Inspeksi : Bulla (+) Eritem (+) berair (+) 4.5%
Palpasi : Nyeri tekan (+)
e. Regio extremitas inferior dextra et sinistra
Inspeksi : Bulla (+) Eritem 1%
Palpasi : Nyeri tekan (+)

Gambar Klinis
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 11.4 g/dl 12.1 – 17.6
Hct 36 % 33 – 45
AL 9.9 103/  L 4,5 – 11,0
AT 410 103 /  L 150–450
AE 4.56 103/  L 4,50 – 5,90
HEMOSTASIS
PT 14.9 Detik 10,0 – 15,0
APTT 28.4 Detik 20,0 – 40,0
INR 1.250 -
ELEKTROLIT
Natrium darah 131 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.5 mmol/L 3.3 – 5.1
Chlorida darah 106 mmol/L 98 – 106
D. ASSESMENT I
Combutio air panas grade II 15%

E. PLANNING
1. Resusitasi cairan
% luas luka bakar x BB (kg) x 4cc
= 15 x 20 x 4
= 1200 cc
a. 8 jam pertama:
Infus NaCl 0,9% 600 cc
b. 16 jam berikutnya:
Infus NaCl 0,9% 600 cc
c. Maintenance
(1000 x 10) + (50 x 10)
= 1500 cc
Infus NaCl 0,9% 1500 cc
Pasang DC dan monitoring balance cairan
2. Analgesik
Injeksi metamizole 250 mg / 8 jam
3. Rawat luka dengan tulle + kassa lembab + kassa kering
4. Antibiotik profilaksis cefotaxim 250 mg
5. Konsultasi TS bedah plastik pro debridement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

LUKA BAKAR

A. DEFINISI
Luka bakar merupakan kerusakan jaringan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan sumber
panas ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi.
Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan
yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Luka
bakar dapat merusak jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang
mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem persarafan.

B. ETIOLOGI
Luka bakar dapat disebabkan oleh banyak hal:

1. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat.
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api ketubuh
(flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas
lainnya.

2. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)


Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa digunakan dalam
bidang industri militer ataupu bahan pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah
tangga.

3. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)


Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran listrik
menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah. Kerusakan terutama
pada pembuluh darah, khususnya tunika intima,sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke
distal. Sering kali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus
maupun grown.

4. Luka bakar radiasi


Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injury ini
sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran
dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar
radiasi.

C. PATOFISIOLOGI
Secara umum berat ringannya luka bakar tergantung pada faktor, agent, lamanya terpapar,
area yang terkena, kedalamannya, bersamaan dengan trauma, usia dan kondisi penyakit
sebelumnya. Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh. Panas
tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar
dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi, atau luka bakar kimiawi. Kulit dengan luka bakar
akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor
penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar
akan mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel.

Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kapiler secara
massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular karena hilangnya atau rusaknya kapiler, yang
menyebabkan cairan akan lolos atau hilang dari compartment intravaskuler kedalam jaringan
interstisial. Eritrosit dan leukosit tetap dalam sirkulasi dan menyebabkan peningkatan hematokrit
dan leukosit. Darah dan cairan akan hilang melalui evaporasi sehingga terjadi kekurangan cairan.

Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh mengadakan respon dengan
menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang mana dapat terjadi ilius paralitik. Takikardia
dan takipnea merupakan kompensasi untuk menurunkan volume vaskuler dengan meningkatkan
kebutuhan oksigen terhadap injury jaringan dan perubahan sistem. Kemudian menurunkan perfusi
pada ginjal, dan terjadi vasokontriksi yang akan berakibat pada depresi filtrasi glomerulus dan
oliguri. Repon luka bakar akan meningkatkan aliran darah ke organ vital dan menurunkan aliran
darah ke perifer dan organ yang tidak vital.

Respon metabolik pada luka bakar adalah hipermetabolisme dimana terjadi peningkatan
temperatur dan metabolisme. Hiperglikemi karena meningkatnya pengeluaran glukosa untuk
kebutuhan metabolik, ketidakseimbangan nitrogen oleh karena status hipermetabolisme dan injury
jaringan.
Kerusakan pada sel daerah merah dan hemolisis menimbulkan anemia, yang kemudian akan
meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan perfusi. Pertumbuhan dapat terhambat oleh
depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada penyembuhan jaringan yang rusak.
Pembentukan edema karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan pada saat yang sama
terjadi vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler. Terjadi
pertukaran elektrolit yang abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus natrium
masuk kedalam sel dan kalium keluar dari dalam sel. Dengan demikian mengakibatkan
kekurangan sodium dalam intravaskuler.

D. LUAS LUKA BAKAR


Wallace membagi tubuh atas 9 % atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule of nine
atau rule of Wallace. Telapak tangan penderita dianggap luas 1%. Bila ditemukan luas luka bakar
yang luasnya tidak sampai seluas telapak tangan penderita dilaporkan sebagai luas 1%.

1. Kepala dan leher 9%


2. Lengan kiri 9%
3. Lengan kanan 9%
4. Perut 9%
5. Bokong/pinggang 9%
6. Dada 9%
7. Punggung 9%
8. Tungkai atas kiri 9%
9. Tungkai atas kanan 9%
10. Tungkai bawah kiri 9%
11. Tungkai bawah kanan 9%
12. Genitalia 1%

Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak dan bayi karena luas
relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Oleh
karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 dari Lund dan Browder untuk
anak.

Luas luka bakar menurut Lund dan Browder :


Area luka bakar 0-1 1-4 5-9 10-14 15
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
Kepala 19 17 13 11 9
Leher 2 2 2 2 2
Dada 13 13 13 13 13
Punggung 13 13 13 13 13
Lengan kanan atas 4 4 4 4 4
Lengan kiri atas 4 4 4 4 4

Lengan kanan
3 3 3 3 3
bawah
Lengan kiri bawah 3 3 3 3 3
Tangan kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Tangan kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5

Genetalia 1 1 1 1 1
Bokong kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Bokong kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Paha kanan 5,5 6,5 8 8,5 9
Paha kiri 5,5 6,5 8 8,5 9
Tungkai kanan 5 5 5,5 6 6,5
Tungkai kiri 5 5 5,5 6 6,5
Kaki kanan 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Kaki kiri 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5

Tabel 1. Luas luka bakar menurut umur

Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:

1. Persentasi area (luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh


2. Kedalaman luka bakar
3. Anatomi/lokasi luka bakar
4. Umur penderita
5. Riwayat pengobatan yang lalu
6. Trauma yang menyertai atau bersama

E. DERAJAT LUKA BAKAR


Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas, sumber,
penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita.

1. Luka bakar derajat I: Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (surperfisial), kulit
hiperemik berupa eritem, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Luka bakar derajat II: Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi disertai proseseksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:
a) Derajat II dangkal/superficial (IIA): Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan
atas dari corium/dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebecea masih
banyak.Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara
spontandalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatrik.
b) Derajat II dalam / deep (IIB): Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan
sisa– sisa jaringanepitel tinggal sedikit. Organ – organ kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat, kelenjarsebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama
dandisertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu
bulan
3. Luka bakar derajat III: Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam
sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan, tidak ada
lagi sisaelemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih
pucatsampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis
yangdikenal sebagai esker. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung
sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.
Pembagian luka bakar:
1. Berat/ kritis
- Derajat II: lebih dari 25 %
- Derajat III: lebih dari 10% atau terdapat di muka, kaki tangan
- Luka bakar disertai trauma jalan nafas atau jaringan lunak luas, atau fraktura
- Luka bakar akibat listrik
2. Sedang
- Derajat II: 15-25%
- Derajat III: kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan
3. Ringan
- Derajat II: kurang dari 15 %

F. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada luka bakar dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut, subakut dan lanjut.

1. Pada Fase Akut / Awal :


Cedera inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki korelasi dengan angka
mortalitas. Kematian akibat cedera inhalasi terjadi dalam waktu singkat, dalam 8 sampai 24 jam
pertama pasca cedera. Pemasangan pipa endotrakeal dan atau krikotirotomi merupakan suatu
tindakan mandatorik pada kasus dengan kecurigaan adanya cedera inhalasi. Sementara
penatalaksanaan lanjutan setelah tindakan penyelamatan tersebut ( terapi inhalasi, pembebasan
saluran nafas dari produk secret mukosa, pengaturan posisi penderita dan fisioterapi seawal
mungkin). Masing- masing turut berperan dalam keberhasilan terapi awal. Penderita yang bertahan
hidup setelah ancaman cedera inhalasi dalam waktu 8- 24 jam pertama ini, masih dihadapkan pada
komplikasi saluran pernafasan yang biasanya terjadi dalam 3-5 hari pasca trauma. Komplikasi dari
cedera inhalasi, dikenal sebagai kondisi ARDS, yang juga memiliki prognosis sangat buruk.

Penanggulangan terhadap shock, terutama syok hipovolemik yang merupakan suatu proses
yang terjadi pada luka bakar sedang sampai berat.

Menurut BAXTER formula

Hari Pertama :

Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam

Anak : Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3


2 cc x berat badan x % luas luka + kebutuhan faali.

Kebutuhan faali :

Umur < 1 Tahun : berat badan x 100 cc

1 – 3 Tahun : berat badan x 75 cc

3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc

½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.

½ diberikan 16 jam berikutnya.

Hari kedua :

Dewasa : ½ hari I

Anak : diberi sesuai kebutuhan faali

2. Pada fase subakut atau lanjutan:

Kerusakan / kehilangan kulit/ jaringan karena cedera termis menimbulkan masalah yang dapat
dikelompokan dalam dua golongan, dan masing- masing saling berhubungan, yaitu memicu stress
metabolism dan memicu SIRS, sepsis dan SDOM.
Kulit sebagai organ yang memiliki fungsi mencegah penguapan, dengan sendirinya kerusakan
kulit menyebabkan penguapamn berlangsung tanpa kendali dan penguapan yang terjadi tidak
ahnya sekedar cairan namun juga melibatkan protein dan energy (evaporation heat loss). Kondisi
pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul dengan menurunnya kadar protein total,
khususnya albumin. Imbalans protein timbul sebagai akibat, namun segera disusul oleh imbalans
karbohidrat dan lemak disamping imbalans cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya.

Penatalaksanaan secara sistematik dapat dilakukan :

1. Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian yang
menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase cleaning.
2. Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air mengalir
selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan
orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar – Kompres dengan
air dingin (air sering diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia
(penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi – Jangan pergunakan es karena es
menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan memperberat
derajat luka dan risiko hipotermia – Untuk luka bakar karena zat kimia dan luka bakar di daerah
mata, siram dengan air mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka
bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang mengalir.
3. Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa sakit. Dengan
membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi
berkurang
4. Covering: penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat luka bakar.
Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang
dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat
hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau larutan
lainnya, menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.
5. Comforting dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk membantu pasien
mengatasi kegelisahan karena nyeri yang berat.

Dikenal dua cara merawat luka :

1. Perawatan terbuka (exposure method)


2. Perawatan tertutup (occlusive dressing method)
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka yang selalu terbuka
menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang. Kerugiannya bila digunakan obat
tertentu, misalnya mitras-argenti, alas tidur menjadi kotor. Penderita dan keluargapun merasa
kurang enak karena melihat luka yang tampak kotor.

Perawatan terbuka ini memerlukan ketelatenan dan pengawasan yang ketat dan aktif. Keadaan
luka harus diamati beberapa kali dalam sehari. Cara ini baik untuk merawat LB yang dangkal.
Untuk LB III dengan eksudasi dan pembentukan pus harus dilakukan pembersihan luka berulang-
ulang untuk menjaga luka tetap kering. Penderita perlu dimandikan tiap hari, tubuh sebagian yang
luka dicuci dengan sabun atau antiseptik dan secara bertahap dilakukan eksisi eskar atau
debridement.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan untuk menutup luka
dari kemungkinan kontaminasi. Keuntungannya adalah luka tampak rapi, terlindung dan enak bagi
penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya yang lebih karena dipakainya banyak pembalut dan
antiseptik. Untuk menghindari kemungkinan kuman untuk berkembang biak, sedapat mungkin
luka ditutup kasa penyerap (tole) setelah dibubuhi dan dikompres dengan antispetik. Balutan
kompres diganti beberapa kali sehari. Pada waktu penggantian balut, eskar yang terkelupas dari
dasarnya akan terangkat, sehingga dilakukan debridement. Tetapi untuk LB luas debridement
harus lebih aktif dan dicuci yaitu dengan melakukan eksisi eskar.

Indikasi rawat inap pasien luka bakar yaitu :

1. Derajat II (dewasa > 30 %, anak > 20 %).


2. Derajat III > 10%
3. Luka bakar dengan komplikasi pada saluran nafas, fraktur, trauma jaringan lunak yang
hebat.
4. Luka bakar akibat sengatan listrik
5. Derajat III yang mengenai bagian tubuh yang kritis seperti muka, tangan, kaki, mata,
telinga, dan anogenital.
6. Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10% pada anak atau > 15% pada
orang dewasa.
7. Terancam edema laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat.
8. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti pada wajah, mata,
tangan, kaki atau perineum
9. Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki
10. Penderita akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik dan benar
di rumah
11. Penderita berumur kurang dari 2 tahun atau lebih dari 70 tahun
12. Terjadi luka bakar pada organ dalam.

G. PROSES PENYEMBUHAN LUKA BAKAR


Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut dan
kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2–3 minggu.
Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda- -tanda untuk sembuh dalam
jangka lebih dari 4-6 minggu.

Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan lunak. Begitu juga
halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik,
seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau
luka akibat tindakan bedah. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika mengalami
proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase
maturasi. Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang,
jaringan luka semakin membaik. Tubuh secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses
peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan, panas,
nyeri dan kerusakan fungi. Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase yaitu:

a) Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama terjadi pada
fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat
vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin
(menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng)
juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka
oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel
membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya
mikroorganisme. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi
yang diperlukan pada proses penyembuhan.

Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah
lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh
makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag
ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag
juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel
diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses
penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah
lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh
makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag
ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag
juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel
diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses
penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.

b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke – 21. Jaringan granulasi
terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru, fibronectin and
hyularonic acid. Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka
mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi
dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi
protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat
menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi
dan epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen
dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.

c) Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus mensintesis
kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka
menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalka garis putih. Dalam fase ini terdapat
remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen
yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah
bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan. Terbentuk jaringan parut 50–80% sama
kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada
aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.
KONTRAKTUR

A. Definisi

Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses penyembuhan luka,
sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari suatu kontraksi.
Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik berlebihan dari proses
penyembuhan luka.

Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi akibat
suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular, penyakit
degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit kongenital, ankilosis dan
nyeri.

Definisi kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi
secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong, otot dan
kulit.

Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan kurangnya


disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi dan kurangnya
pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pengegahan, seperti perawatan luka,
pencegahan infeksi, proper positioning dan mencegah immobilisasi yang lama. Efek
kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan mobilisasi dan gangguan
aktifitas kehidupan sehari-hari. (2,8)

B. Proses Penyembuhan Luka


Proses penyembuhan luka sangat mempengaruhi terjadinya sikatrik dan jaringan yang
menyebabkan kontraktur, untuk itu perlu diingat kembali fase-fase penyembuhan luka. (6)

1. Fase Inflamasi / fase substrat / fase eksudasi / lag phase

Biasanya berlangsung mulai hari pertama luka sampai hari kelima. Fase ini bertujuan
menghilangkan mikroorganisme yang masuk kedalam luka, bendabenda asing dan
jaringan mati. Semakin hebat infamasi yang terjadi makin lama fase ini berlangsung,
karena terlebih dulu harus ada eksudasi yang diikuti penghancuran dan resorpsi sebelum
fase proliferasi dimulai.

Fase ini mempunyai 3 komponen, yaitu :

a. Komponen vaskuler

Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubule
berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi dan retraksi ujung pembuluh
darah. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan scrotonin dan histamin yang
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel
radang disertai vasodilatasi lokal yang menyebabkan udem.

b. Komponen hemostatik

Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk ikut membekukan darah
yang keluar dari pembuluh darah.

c. Komponen selluler

Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding


pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit
mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka.
Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut memakan dan menghancurkan
kotoran luka dan bakteri.
2. Fase proliferasi / fase fibroplasi / fase jaringan ikat

Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga,
mempunyai 3 komponen, yaitu :

a. Komponen epitelisasi

Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah
mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari
proses mitosis. Proses migrasi hanya dapat terjadi ke arah yang lebih rendah atau
datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh
permukaan luka.

b. Komponen kontraksi luka

Kontraksi luka disebut juga pertumbuhan intussuseptif, tujuan utama adalah


penutupan luka atau memperkecil permukaan luka. Proses terjadinya kontraksi luka
ini berhubungan erat dengan proses fibroplastik. Fibroblast berasal dari sel mesenkim
yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin dan
prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan luka.
Serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan
pada luka yang cenderung mengkerut. Sifat ini bersamaan dengan sitat kontraktil
miofibroblast menyebabkan tarikan pada tepi luka.

c. Reparasi jaringan ikat

Luka dipenuhi sel radang, fbroblast dan kolagen yang disertai dengan adanya
peningkatan vaskularisasi karena proses angiogenesis membentuk jaringan berwarna
kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi.

3. Fase remodeling/fase resorpsi/fase maturasi/fase diferensiasi/penyudahan

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan
yang berlebihan. Fase ini dimulai akhir minggu ketiga sampai berbulan bulan dan
dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Udem dan sel radang
diserap, sel mudah menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap, kolagen yang
berlebihan diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama
proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas serta mudah digerakkan
dari dasar. Pada akhir fase ini perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira
80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.

C. Klasifikasi Kontraktur

Berdasarkan lokasi dari jaringan yang menyebabkan ketegangan, maka kontraktur


dapat diklasifikasikan menjadi : (2,3,4,5,6)

1. Kontraktur Dermatogen atau Dermogen

Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal tersebut dapat terjadi
karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya pada luka bakar yang dalam dan
luas, loss of skin/tissue dalam kecelakaan dan infeksi.

2. Kontraktur Tendogen atau Myogen

Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon. Dapat terjadi oleh
keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan atropi, misalnya pada penyakit
neuromuskular, luka bakar yang luas, trauma, penyakit degenerasi dan inflamasi.

3. Kontraktur Arthrogen .

Kontraktur yang terjadi karena proses didalam sendi-sendi, proses ini bahkan dapat
sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat immobilisasi yang lama dan
terus menerus, sehingga terjadi gangguan pemendekan kapsul dan ligamen sendi,
misalnya pada bursitis, tendinitis, penyakit kongenital dan nyeri.

D. Patofisiologi
Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek dalam jangka waktu
yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan memendek dan
menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dihertahan memendek dalam 5-7 hari akan
mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan kontraksi jaringan kolagen dan
pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini berlanjut sampai 3 minggu atau lebih,
jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan menebal dan menyebabkan kontraktur. (2,8)

E. Pencegahan Kontraktur

Pencegahan kontraktur lebih baik dan efektif daripada pengobatan. Program


pencegahan kontraktur meliputi : (1,2,3,6,9,10)

1. Mencegah infeksi

Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera perlu
diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan granulasi yang berlebihan
akan menimbulkan kontraktur.

2. Skin graft atau Skin flap

Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup sedini mungkin, bila
perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.

3. Fisioterapi

Tindakan fisioterapi harus dilaksanakan segera mungkin meliputi ;

a. Proper positioning (posisi penderita)

b. Exercise (gerakan-gerakan sendi sesuai dengan fungsi)

c. Stretching

d. Splinting / bracing
e. Mobilisasi / ambulasi awal

F. Penanganan Kontraktur

Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah pengembalian fungsi
dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan untuk ambulasi dan aktifitas lain.
Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik dalam hal ambulasi, posisi dan penggunaan
program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan, diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan
untuk mencegah kontraktur sendi yang rekuren. (1,2,6,8,10) Penanganan kontraktur dapat
dliakukan secara konservatif dan operatif :

1. Konservatif

Seperti halnya pada pencegahan kontraktur, tindakan konservatif ini lebih


mengoptimalkan penanganan fisioterapi terhadap penderita, meliputi :

a. Proper positioning

Positioning penderita yang tepat dapat mencegah terjadinya kontraktur dan


keadaan ini harus dipertahankan sepanjang waktu selama penderita dirawat di tempat
tidur. (3,4) Posisi yang nyaman merupakan posisi kontraktur. Program positioning
antikontraktur adalah penting dan dapat mengurangi udem, pemeliharaan fungsi dan
mencegah kontraktur.(1,24,10)

Proper positioning pada penderita luka bakar adalah sebagai berikut :

– Leher : ekstensi / hiperekstensi

– bahu : abduksi, rolasi eksterna

– Antebrakii : supinasi

– Trunkus : alignment yang lurus

– Lutut : lurus, jlarak antara lutut kanan dan kiri 20”


– Sendi panggul tidak ada fleksi dan rolasi eksterna

– Pergelangan kaki : dorsofleksi

Proper positioning untuk penderita luka bakar

a. Exercise

Tujuan tujuan exercise untuk mengurangi udem, memelihara lingkup gerak


sendi dan mencegah kontraktur. Exercise yang teratur dan terus-menerus pada seluruh
persendian baik yang terkena luka bakar maupun yang tidak terkena, merupakan
tindakan untuk mencegah kontraktur. (2,8,10) Adapun macam-macam exercise adalah :

– Free active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri.


– Isometric exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri dengan kontraksi
otot tanpa gerakan sendi.

– Active assisted exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri tetapi
mendapat bantuan tenaga medis atau alat mekanik atau
anggota gerak penderita yang sehat.

– Resisted active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita dengan melawan
tahanan yang diberikan oleh tenaga medis atau alat
mekanik.

– Passive exercise : latihan yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap penderita.

b. Stretching

Kontraktur ringan dilakukan strectching 20-30 menit, sedangkan kontraktur


berat dilakukan stretching selama 30 menit atau lebih dikombinasi dengan proper
positioning. Berdiri adalah stretching yang paling baik, berdiri tegak efektif untuk
stretching panggul depan dan lutut bagian belakang. (2,10)

c. Splinting / bracing

Mengingat lingkup gerak sendi exercise dan positioning merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan pada luka bakar, untuk mempertahankan posisi yang baik
selama penderita tidur atau melawan kontraksi jaringan terutama penderita yang
mengalami kesakitan dan kebingungan.

d. Pemanasan

Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan oleh luka bakar,
ultrasound adalah pemanasan yang paling baik, pemberiannya selama 10 menit per
lapangan. Ultrasound merupakan modalitas pilihan untuk semua sendi yang tertutup
jaringan lunak, baik sendi kecil maupun sendi besar.
2. Operatif

Tindakan operatif adalah pilihan terakhir apabila pcncegahan kontraktur dan terapi
konservatif tidak memberikan hasil yang diharapkan, tindakan tersebut dapat dilakukan
dengan beberapa cara : (11)

a. Z – plasty atau S – plasty

Indikasi operasi ini apabila kontraktur bersama dengan adanya sayap dan dengan kulit
sekitar yang lunak. Kadang sayap sangat panjang sehingga memerlukan beberapa Z-
plasty.

b. Skin graft

Indikasi skin graft apabila didapat jaringan parut yang sangat lebar. Kontraktur
dilepaskan dengan insisi transversal pada seluruh lapisan parut, selanjutnya dilakukan
eksisi jaringan parut secukupnya. Sebaiknya dipilih split thickness graft untuk l
potongan, karena full thickness graft sulit. Jahitan harus berhati-hati pada ujung luka
dan akhirnya graft dijahitkan ke ujung-ujung luka yang lain, kemudian dilakukan
balut tekan. Balut diganti pada hari ke 10 dan dilanjutkan dengan latihan aktif pada
minggu ketiga post operasi.

c. Flap

Pada kasus kasus dengan kontraktur yang luas dimana jaringan parutnya terdiri dari
jaringan fibrous yang luas, diperlukan eksisi parsial dari parut dan mengeluarkan /
mengekspos pembuluh darah dan saraf tanpa ditutupi dengan jaringan lemak,
kemudian dilakukan transplantasi flap untuk menutupi defek tadi. Indikasi lain
pemakaian flap adalah apabila gagal dengan pemakaian cara graft bebas untuk
koreksi kontraktur sebelumnya. Flap dapat dirotasikan dari jaringan yang dekat ke
defek dalam 1 kali kerja.
SKIN GRAFT

A. Definisi
Skin graft (cangkok kulit) adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh tebalnya
kulit dari satu tempat ke tempat lain supaya hidup di tempat yang baru tersebut dan dibutuhkan
suplai darah baru (revaskularisasi) untuk menjamin kelangsungan hidup kulit yang dipindahkan
tersebut. Pembagian skin graft menurut ketebalannya terdiri dari split thickness skin graft (STSG)
dan full thickness skin graft (FTSG).

B. Split Thickness Skin Graft


Split Thickness Skin Graft (STSG) terdiri dari lapisan atas kulit (epidermis dan dermis).
Cangkok ditempatkan di atas luka terbuka untuk menyediakan cakupan dan proses
penyembuhan. Letak donor STSG pada dasarnya adalah luka bakar tingkat dua karena hanya
bagian dari dermis termasuk dalam cangkok. Letak donor akan sembuh dengan sendirinya
karena beberapa elemen dermal tetap. STSG dikategorikan lebih tipis (0,005-0,012 in), sedang
(0,012-0,018 in), atau tebal (0,018-0,030 in), berdasarkan ketebalan harvested graft.
Pilihan antara FTSG (Full Thickness Skin Grafting) dan STSG tergantung pada kondisi
luka, lokasi, ketebalan, ukuran, dan estetika. STSG digunakan untuk melapisi luka yang besar,
rongga baris, muncul kembali defisit mukosa, letak donor tutup dekat, dan muncul kembali flaps
otot. Hal ini juga diindikasikan untuk luka yang relatif besar (>5-6 cm diameter) yang akan
memerlukan beberapa minggu untuk menyembuhkan sekunder.
Namun, STSG memiliki kelemahan yang signifikan yang harus diperhatikan. STSG lebih
rentan, terutama ketika ditempatkan di daerah dengan sedikit dukungan jaringan lunak, dan
biasanya tidak tahan terapi radiasi berikutnya. Lokasi STSG dapat berkontraksi secara signifikan
selama penyembuhan. Kulit cenderung hipo atau hiperpigmentasi, terutama pada individu berkulit
gelap. Ketipisan STSG, pigmentasi abnormal, dan sering kekurangan tekstur halus dan
pertumbuhan rambut membuat STSG lebih fungsional dari kosmetik. Ketika digunakan untuk
melapisi luka bakar besar wajah, STSG dapat menghasilkan penampilan yang tidak diinginkan.
Meskipun kedua FTSG dan letak donor STSG meninggalkan luka kedua, reepitelisasi letak donor
STSG sering menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan dan memiliki kebutuhan perawatan
luka berlangsung sampai sembuh. Namun, letak ini dapat tumbuh setelah penyembuhan selesai.
Cangkok kulit memberikan cakupan yang lebih stabil untuk luka besar daripada bekas luka
yang dihasilkan dari penutupan sekunder. Luka dengan luas yang besar juga lebih cepat sembuh
dengan cangkok kulit dibandingkan dengan penyembuhan sendiri. Luka harus bersih. Semua
jaringan nekrotik harus dilepaskan sebelum pencangkokan kulit, dan tidak boleh ada tanda-tanda
infeksi pada jaringan sekitarnya. Graft take pada hari ke 14 karena epitelisasi sudah terbentuk.
Split Thickness Skin Graft (STSG) dapat diambil dari setiap permukaan tubuh. Lokasi
umum meliputi anterior atas dan paha lateral. Bokong dapat digunakan sebagai lokasi donor, tetapi
pasien mungkin mengalami nyeri pasca operasi yang signifikan dan akan memerlukan bantuan
dalam merawat luka.
Pencangkokan kulit mungkin tidak berhasil untuk berbagai alasan.Alasan paling umum
untuk kegagalan skin graft adalah hematoma di bawah graft. Demikian pula, pembentukan seroma
dapat mencegah graft take ke dasar luka yang mendasarinya, mencegah nutrisi yang diperlukan,
seperti yang dijelaskan di atas. Gerakan pada lokasi graft menyebabkan kegagalan. Hal ini sering
terjadi ketika graft ditempatkan di atas sebuah fleksor atau ekstensor permukaan atau di atas
selubung tendon mobile. Sumber lain yang umum dari kegagalan adalah lokasi penerima yang
buruk. Luka mungkin memiliki vaskularisasi yang buruk, atau kontaminasi permukaan mungkin
terlalu besar untuk memungkinkan kelangsungan hidup graft. Bakteri dan respon inflamasi
terhadap bakteri merangsang pelepasan enzim dan zat berbahaya lainnya yang mengganggu fibrin
graft. Kesalahan teknis juga dapat menghasilkan kegagalan graft.

C.Full Thickness Skin Graft (FTSG)


Digunakan untuk menutup defek pada wajah, leher, ketiak, volar manus atau menutup daerah
yang diinginkan secara estetik tidak terlalu jelek.
Keuntungan dari FTSG :
• Kecenderungan untuk terjadi kontraksi lebih kecil

• Kecenderungan untuk berubah warna lebih kecil

• Kecenderungan permukaan kulit mengkilat lebih kecil

• Secara estetika lebih baik dari split thickness skin graft


Kerugian:
• Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan split thickness skin graft

• Hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas

• Donor harus dijahit atau ditutup oleh split thickness skin graft bila luka donor agak luas
sehingga tidak dapat ditutup primer

• Donor terbatas pada tempat-tempat tertentu seperti inguinal, supraklavikular, retroaurikular


Indikasi:
• Kehilangan jaringan yang tidak begitu luas
Kontraindikasi:
• Tidak terdapatnya suplai darah

D.Sebab-Sebab Kegagalan Tindakan Skin Graft


Penyebab kegagalan skin graft yaitu:
1.Hematoma dibawah skin graft
Hematoma atau perdarahan merupakan penyebab kegagalan skin graft yang paling penting.
Bekuan darah dan seroma akan menghalangi kontak dan proses revaskularisasi, sehingga tindakan
hemostasis yang baik harus dilakukan sebelum penempelan skin graft
2.Pergeseran skin graft
Pergeseran akan menghalangi/merusak jalinan hubungan (revaskularisasi) dengan resipien.
Harus diusahakan terhindarnya daerah operasi dari geseran dengan cara fiksasi dan imobilisasi
yang baik
3.Daerah resipien yang kurang vital
Suplai darah yang kurang baik pada daerah resipien, misalnya daerah bekas crush injury,
akan mengurangi kemungkinan take, kecuali telah dilakukan debridement yang adekuat.
Penempelan skin graft pada daerah yang avaskulaer seperti tulang, tendon, syaraf, membuat
tindakan skin graft gagal
4. Infeksi
Merupakan penyebab kegagalan yang sebenarnya tidak sering. Infeksi luka ditentukan oleh
keseimbangan antara daya tahan luka dan jumlah mikroorganisme. Bila jumlah mikroorganisme
lebih dari 104/gram jaringan kemungkinan terjadinya infeksi yaitu 89%, sedangkan bila jumlah
mikroorganisma dibawah 104/gram jaringan kemungkinan terjadi infeksi yaitu 6%. Pada luka-luka
dengan jumlah mikroorganisma lebih dari 105/gram hampir dipastikan akan selalu gagal.
5.Teknik yang salah

a. Menempelkan skin graft pada daerah berepitel (sel basal epidermis) dipermukaannya

b. Penempelan skin graft terbalik

c. Skin graft teralu tebal

PERUBAHAN METABOLISME PADA LUKA BAKAR

Kasus luka bakar merupakan suatu keadaan stres metabolisme yang melibatkan respon
neuroendokrin. Keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.
Reaksi pertama dari luka bakar dikenal dengan fase awal/fase akut/ fase syok yang
berlangsung singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah jantung, suhu
tubuh, dan konsumsi oksigen, serta hilangnya cairan dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya
hipovolemi, hipoperfusi dan asidosis laktat.
Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu atau lebih.
Pada fase ini terjadi kondisi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme.
Dibandingkan cedera lainnya, terdapat fase hipermetabolisme yang ditandai dengan
peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses penguapan
(evaporasi heat loss), peningkatan aktivitas saraf simpatis, (beta adrenergik, sebagai respon
neuroendokrin), peningkatan aktivitas selular, dan pelepasan peptida parakrin.
Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi beta adrenergik ini disebabkan oleh
beberapa hal:
- Jaringan yang mengalami kerusakan (dan atau kehilangan) tidak efektif sebagai sarana protektif.
- Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah tersebut
dan melalui proses evaporasi terjadi kehilangan cairan dan panas yang menyebabkan penurunan
suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses evaporasi kurang lebih 578 kcal/L air).
Dengan peningkatan aliran darah ke daerah lokal cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara
disproporsional yang memacu kerja jantung. Di sisi lain, peningkatan suhu pada daerah luka akibat
bertambahnya aliran ke daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses
penyembuhan. Namun pada kenyataannya kehilangan panas (energi) akan diakselerasi oleh
adanya febris.
Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karena perlu mempertimbangkan Insesible Water Loss
(IWL) lebih banyak dari biasanya.
Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:
IWL=(25 + %LB) x TBSA x 24 jam
Stimulasi beta adrenergik menyebabkan dilepaskannya hormon stres (katekolamin,
kortisol, glukagon) dan adanya resistensi insulin akan menyebabkan peningkatan laju metabolisme
disertai perubahan metabolisme berupa glikolisis, glikogenolisis, proteolisis, lipolisis, dan
glukoneogenesis, selain itu terjadi pula retensi natrium dan reabsorpsi air.
Pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF akan menyebabkan keadaan
hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan berlangsung lama, keadaan tersebut akan memperburuk
perjalanan penyakit pada luka bakar.
Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan, kelemahan,
gangguan fungsi organ vital dan balans energi negatif. Untuk menghadapi kondisi stres, diperlukan
kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada penderita dengan luas luka bakar lebih dari 40%
luas permukaan tubuh akan terjadi penurunan BB mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan
BB 10-40% akan dijumpai kondisi yang dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila
penurunan BB mencapai 40-50% akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen negatif
dengan kehilangan massa protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini terjadi akan berakibat fatal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Afife Ayla KABALAK, Ahmet Çınar YASTI. Management of inhalation injury and
respiratory complications in Burns Intensive Care Unit. Turkish Journal of Trauma &
Emergency Surgery (2012);18 (4):333-338
2. Alharbi Ziya, Platkowski, Rolf Dembinski, Swen, Reckort, Gerrit Grieb, Jens K, Norbert
Pallua. Treatment of burn in the first 24 hours: simple and practical guide by answering 10
questions in a step-by-step form. Wound Journal of Emergency Surgery (2012), 7:13.
3. Cameron AM, Ruzehaji N, Cowin AJ. Burn Wound Management: A Surgical Perspective.
Wound Practice and Research. 2010
4. Chamania S, Hemvani N, oshi S. Burn wound infection: current problem and unmet needs.
India Journal of Burns. 2012; 20: 18-22
5. Desanti L. Phatophisiology and management of burn injury. Wound care journal. 2005;
18:323-32
6. Dries DJ. Management of burn injuries – recent developments in resuscitation, infection
control and outcomes research. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and
Emergency Medicine . 2009. 17.
7. G Nambi, Beck B,Lahhmana A, Lamba S, Kingsly M, Gupta AK, Dhanraj P. Study of
superficial burns in adults and a cost effective method of managemen. India Journal of
Burns. 2009; 17: 21-25
8. Harbin KR, Norria TE. Anesthetic Management of Patients With Major Burn Injury. AANA
Journal. 2012. 80.
9. Heberal M, Abali ES, Karkayali H. Fluid management in major burn injuries. Indian Journal
of Plastic Surgery. 2010. 43
10. Jaim M, Yellinedi R, Nuwalla R. Tissue expansion for reconstruction of facial burns sequel .
India Journal of Burns. 2011; 19
11. Kamolz LP, Kitzinger HB, Frey M. The Surgical Treatment of Acute Burns. European
Surgery. 2006.
12. Karpelowsky, Rode H. Basic principles in the management of thermal injuries. SA Fam
Pract (2008) Vol 50 No 3.
13. Lahane V.Long term result of meek micrograft technique in the management of severe
burns. India Journal of Burns. 2010; 18: 30-33
14. M. Justin-Temu, G. Rimoy, Z. Premji, G. Matemu. Causes, magnitude and management of
burns in under-fives in district hospitals in dar es salaam, tanzania. East African Journal of
Public Health (2008) Volume 5 Number 1.
15. Melanie Stander and Lee Alan Wallis. The Emergency Management and Treatment of Severe
Burns. Emergency Medicine International Volume 2011, Article ID 161375.
16. Misra A, Thussu D, Agrawal K. Assessment of psychological status and quality of life in
patient with facial burn scars. India Journal of Burns. 2012. 20; 57-61
17. Morgan ED, Bledsoe SC, Barker J. Ambulatory management of Burns . American
associationof family Physician, 2000.5.
18. Papimi R. ABC of burns : Management of burn injuries of various depths. British Medical
Journal. 2004.
19. Pius Agbenorku, Setri Fugar, Joseph Akpaloo, Paa E Hoyte-Williams, Zainab Alhassan,
Fareeda Agyei. Management of severe burn injuries with topical heparin: the first evidence-
based study in Ghana. Int J Burn Trauma 2013;3(1):30-36.
20. R. Palao, I. Monge, M. Ruiz J.P. Barret Chemical burns: pathophysiology and treatment.
JBurns (2009).
21. Rice PL, Orgill DP. Emergency Care of Moderate and Severe Thermal Burns in Adult.
Walters Kluwer Health. 2014
22. Schwarz R. Management of postburn contractures of the upper extremity. Journal of burn
care and research. 2007; 28: 212-219
23. Shankar Gowri, Naik Vijaya A, Rajesh Powar, Ravindra Honnungar, Mallapur M D.
Epidemiology and Outcome of Burn Injuries. J Indian Acad Forensic Med.(2012), Vol. 34,
No. 4
24. Sterling P, Heimbach DM, Gibran NS. Management of the burn wound. ACS surgey:
principle and practice. 2010; 15: 89-96
25. Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. Burn injuries. The Journal of the American
Medical Association (2008).
26. Ullrich PM, Askay SW, Patterson DR. Pain, Depression, and Physical Functioning
Following Burn Injury. Rehabil Psychol, 2009. 5
27. Vyas K, Wagh S, RAwat APArhar S. Use of local skin as an islanded flap in coverage of
post burn contracture release. India Journal of Burns. 2011; 19
28. Ziadi N, Alam K, Maheswari v, Khan AH, Ahmad I. Clinico-pathological correlation and
assessment of burn wounds. India Journal of Burns. 2011; 19
29. Saleem S, Valbona C. Immobilization. In : Garrison S,I. Handbook oh physical medicine
and rehabilitation basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 188-189.
30. Halar EM, Bell KR. Contracture and other deletrious. In : DeLisa JA. Rehabilitation
medicine, principles and practices. Second ed. Philadelphia, Lippincott Co. 1993-, 681-689.
31. Irain K. Burns. In : Garrison SJ. Handbook of’ physical medicine and rehabilitation basics.
Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 95-97, 102-103.
32. Fisher SV. Rehabililation management of burns. In : Medical rehabilitation. Baltimore;
Williams and Wilkins 1984; 306-307.
33. Bowser BL, Solis IS. Pediatrics rehabilitation. In : Garrison SJ. Handbook of’ physical
medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. .113. Lippincott Co. 1995; 261-262, 267-
270.
34. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar bedah, 1997, 72-73, 1131, 1219-1221.
35. Dorland’s. Illustrated medical dictionary. 25th ed. WB Saunders 1980; 355-815.
36. Kottke FJ. Therapeutic exercise to maintain mobility. In : Krusen’s Handbook of physical
medicine and rehabilitation. Thieth ed. Philadelphia. WB Saunders Co. 1982; 398-401.
37. Powell M, Kershaw R. Principles of treatment of orthopaedic patients. In Orthopaedic
nursing and rehabilitation. 9th ed. Churcill Livingstone : English Language Book Society.
1986; 34-42.
38. Joynt RL, Findley TW. Therapeutic and exercise. In : DeLisa JA. Rehabilitation medicine;
principles and practices. Seconded. Philadelphia, Lippincott Co. 1993; 535.
39. Converse JM. Reconstructive plastic surgery. Second ed. WB Saunders, 1977; 1596-1635.

Anda mungkin juga menyukai