Oleh:
Putri Nur Kumalasari G99152031
Mega Elisa Hasyim G99162156
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, Sp. B, Sp. BP-RE (K)
A. ANAMNESIS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MA
Usia : 5 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Tangerang, Banten
Pekerjaan : Pelajar
No RM : 013862xx
Tanggal masuk : 21 Juli 2017
Tanggal periksa : 31 Juli 2017
2. KELUHAN UTAMA
Luka bakar air panas
6. RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien makhean sehari 3 kali, sekali makan porsi 1 piring, dengan nasi, sayur, dan lauk
pauk seperti tempe, tahu, ikan, atau ayam.
8. ANAMNESIS SISTEMIK
a. Kepala : sakit kepala (-), luka (+) lihat status lokalis
b. Mata : pandangan kabur (-), oedem palpebra (-) konjungtiva pucat
(-/-)
c. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
d. Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi (-)
e. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktifitas (-), nyeri dada (-), berdebar-
debar (-)
f. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), susah BAB (-), perut
sebah (-), kembung (-)
g. Sistem genitourinaria : air kencing berwarna merah (-), nyeri saat kencing (-), keluar
darah (-), kencing nanah (-)
h. Ekstremitas atas : luka (+/+), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-),
kesemutan (-/-), sakit sendi (-/-), nyeri (+/+)
i. Ekstremitas bawah : luka (+/+), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-),
kesemutan (-/-), sakit sendi (-/-), nyeri (+/+)
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : torakoabdominal, frekuensi pernafasan 22 x/menit
c. Circulation : nadi 94 x/menit
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm)
e. Exposure : suhu 36,7 ºC, jejas (+) lihat status lokalis
2. Secondary Survey
a. Kepala : bentuk mesocephal, luka (+) lihat status lokalis
b. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom periorbita (-/-),
diplopia (-/-)
c. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tragus
(-/-)
d. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), secret (-), keluar
darah (-)
e. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-), maloklusi (-)
f. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), JVP tidak
meningkat, jejas (+) lihat status lokalis
g. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), jejas (+) lihat
status lokalis
h. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising(-)
i. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri, nyeri tekan(-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defense muscular (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
k. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-)
l. Muskuloskletal : ROM bebas
m. Ekstremitas
Jejas (+) lihat status lokalis
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -
3. Status Lokalis
a. Regio kepala leher
Inspeksi : Bulla (+) Eritem (+) berair (+) 0.5%
Palpasi : Nyeri tekan (+)
b. Regio thorax anterior
Inspeksi : Bulla (+) Eritem (+) berair (+) 6.5%
Palpasi : Nyeri tekan (+)
c. Regio extremitas superior dextra
Inspeksi : Bulla (+) Eritem (+) berair (+) 2.5%
Palpasi : Nyeri tekan (+)
d. Regio extremitas superior sinistra
Inspeksi : Bulla (+) Eritem (+) berair (+) 4.5%
Palpasi : Nyeri tekan (+)
e. Regio extremitas inferior dextra et sinistra
Inspeksi : Bulla (+) Eritem 1%
Palpasi : Nyeri tekan (+)
Gambar Klinis
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 11.4 g/dl 12.1 – 17.6
Hct 36 % 33 – 45
AL 9.9 103/ L 4,5 – 11,0
AT 410 103 / L 150–450
AE 4.56 103/ L 4,50 – 5,90
HEMOSTASIS
PT 14.9 Detik 10,0 – 15,0
APTT 28.4 Detik 20,0 – 40,0
INR 1.250 -
ELEKTROLIT
Natrium darah 131 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.5 mmol/L 3.3 – 5.1
Chlorida darah 106 mmol/L 98 – 106
D. ASSESMENT I
Combutio air panas grade II 15%
E. PLANNING
1. Resusitasi cairan
% luas luka bakar x BB (kg) x 4cc
= 15 x 20 x 4
= 1200 cc
a. 8 jam pertama:
Infus NaCl 0,9% 600 cc
b. 16 jam berikutnya:
Infus NaCl 0,9% 600 cc
c. Maintenance
(1000 x 10) + (50 x 10)
= 1500 cc
Infus NaCl 0,9% 1500 cc
Pasang DC dan monitoring balance cairan
2. Analgesik
Injeksi metamizole 250 mg / 8 jam
3. Rawat luka dengan tulle + kassa lembab + kassa kering
4. Antibiotik profilaksis cefotaxim 250 mg
5. Konsultasi TS bedah plastik pro debridement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
LUKA BAKAR
A. DEFINISI
Luka bakar merupakan kerusakan jaringan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan sumber
panas ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi.
Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan
yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Luka
bakar dapat merusak jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang
mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem persarafan.
B. ETIOLOGI
Luka bakar dapat disebabkan oleh banyak hal:
1. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat.
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api ketubuh
(flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas
lainnya.
C. PATOFISIOLOGI
Secara umum berat ringannya luka bakar tergantung pada faktor, agent, lamanya terpapar,
area yang terkena, kedalamannya, bersamaan dengan trauma, usia dan kondisi penyakit
sebelumnya. Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh. Panas
tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar
dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi, atau luka bakar kimiawi. Kulit dengan luka bakar
akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor
penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar
akan mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel.
Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kapiler secara
massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular karena hilangnya atau rusaknya kapiler, yang
menyebabkan cairan akan lolos atau hilang dari compartment intravaskuler kedalam jaringan
interstisial. Eritrosit dan leukosit tetap dalam sirkulasi dan menyebabkan peningkatan hematokrit
dan leukosit. Darah dan cairan akan hilang melalui evaporasi sehingga terjadi kekurangan cairan.
Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh mengadakan respon dengan
menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang mana dapat terjadi ilius paralitik. Takikardia
dan takipnea merupakan kompensasi untuk menurunkan volume vaskuler dengan meningkatkan
kebutuhan oksigen terhadap injury jaringan dan perubahan sistem. Kemudian menurunkan perfusi
pada ginjal, dan terjadi vasokontriksi yang akan berakibat pada depresi filtrasi glomerulus dan
oliguri. Repon luka bakar akan meningkatkan aliran darah ke organ vital dan menurunkan aliran
darah ke perifer dan organ yang tidak vital.
Respon metabolik pada luka bakar adalah hipermetabolisme dimana terjadi peningkatan
temperatur dan metabolisme. Hiperglikemi karena meningkatnya pengeluaran glukosa untuk
kebutuhan metabolik, ketidakseimbangan nitrogen oleh karena status hipermetabolisme dan injury
jaringan.
Kerusakan pada sel daerah merah dan hemolisis menimbulkan anemia, yang kemudian akan
meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan perfusi. Pertumbuhan dapat terhambat oleh
depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada penyembuhan jaringan yang rusak.
Pembentukan edema karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan pada saat yang sama
terjadi vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler. Terjadi
pertukaran elektrolit yang abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus natrium
masuk kedalam sel dan kalium keluar dari dalam sel. Dengan demikian mengakibatkan
kekurangan sodium dalam intravaskuler.
Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak dan bayi karena luas
relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Oleh
karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 dari Lund dan Browder untuk
anak.
Lengan kanan
3 3 3 3 3
bawah
Lengan kiri bawah 3 3 3 3 3
Tangan kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Tangan kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Genetalia 1 1 1 1 1
Bokong kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Bokong kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Paha kanan 5,5 6,5 8 8,5 9
Paha kiri 5,5 6,5 8 8,5 9
Tungkai kanan 5 5 5,5 6 6,5
Tungkai kiri 5 5 5,5 6 6,5
Kaki kanan 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Kaki kiri 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:
1. Luka bakar derajat I: Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (surperfisial), kulit
hiperemik berupa eritem, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Luka bakar derajat II: Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi disertai proseseksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:
a) Derajat II dangkal/superficial (IIA): Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan
atas dari corium/dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebecea masih
banyak.Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara
spontandalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatrik.
b) Derajat II dalam / deep (IIB): Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan
sisa– sisa jaringanepitel tinggal sedikit. Organ – organ kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat, kelenjarsebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama
dandisertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu
bulan
3. Luka bakar derajat III: Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam
sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan, tidak ada
lagi sisaelemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih
pucatsampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis
yangdikenal sebagai esker. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung
sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.
Pembagian luka bakar:
1. Berat/ kritis
- Derajat II: lebih dari 25 %
- Derajat III: lebih dari 10% atau terdapat di muka, kaki tangan
- Luka bakar disertai trauma jalan nafas atau jaringan lunak luas, atau fraktura
- Luka bakar akibat listrik
2. Sedang
- Derajat II: 15-25%
- Derajat III: kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan
3. Ringan
- Derajat II: kurang dari 15 %
F. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada luka bakar dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut, subakut dan lanjut.
Penanggulangan terhadap shock, terutama syok hipovolemik yang merupakan suatu proses
yang terjadi pada luka bakar sedang sampai berat.
Hari Pertama :
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam
Kebutuhan faali :
Hari kedua :
Dewasa : ½ hari I
Kerusakan / kehilangan kulit/ jaringan karena cedera termis menimbulkan masalah yang dapat
dikelompokan dalam dua golongan, dan masing- masing saling berhubungan, yaitu memicu stress
metabolism dan memicu SIRS, sepsis dan SDOM.
Kulit sebagai organ yang memiliki fungsi mencegah penguapan, dengan sendirinya kerusakan
kulit menyebabkan penguapamn berlangsung tanpa kendali dan penguapan yang terjadi tidak
ahnya sekedar cairan namun juga melibatkan protein dan energy (evaporation heat loss). Kondisi
pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul dengan menurunnya kadar protein total,
khususnya albumin. Imbalans protein timbul sebagai akibat, namun segera disusul oleh imbalans
karbohidrat dan lemak disamping imbalans cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya.
1. Clothing: singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian yang
menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase cleaning.
2. Cooling: Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air mengalir
selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan
orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar – Kompres dengan
air dingin (air sering diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia
(penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi – Jangan pergunakan es karena es
menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan memperberat
derajat luka dan risiko hipotermia – Untuk luka bakar karena zat kimia dan luka bakar di daerah
mata, siram dengan air mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka
bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang mengalir.
3. Cleaning: Pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa sakit. Dengan
membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi
berkurang
4. Covering: penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat luka bakar.
Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang
dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat
hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau larutan
lainnya, menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.
5. Comforting dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk membantu pasien
mengatasi kegelisahan karena nyeri yang berat.
Perawatan terbuka ini memerlukan ketelatenan dan pengawasan yang ketat dan aktif. Keadaan
luka harus diamati beberapa kali dalam sehari. Cara ini baik untuk merawat LB yang dangkal.
Untuk LB III dengan eksudasi dan pembentukan pus harus dilakukan pembersihan luka berulang-
ulang untuk menjaga luka tetap kering. Penderita perlu dimandikan tiap hari, tubuh sebagian yang
luka dicuci dengan sabun atau antiseptik dan secara bertahap dilakukan eksisi eskar atau
debridement.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan untuk menutup luka
dari kemungkinan kontaminasi. Keuntungannya adalah luka tampak rapi, terlindung dan enak bagi
penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya yang lebih karena dipakainya banyak pembalut dan
antiseptik. Untuk menghindari kemungkinan kuman untuk berkembang biak, sedapat mungkin
luka ditutup kasa penyerap (tole) setelah dibubuhi dan dikompres dengan antispetik. Balutan
kompres diganti beberapa kali sehari. Pada waktu penggantian balut, eskar yang terkelupas dari
dasarnya akan terangkat, sehingga dilakukan debridement. Tetapi untuk LB luas debridement
harus lebih aktif dan dicuci yaitu dengan melakukan eksisi eskar.
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan lunak. Begitu juga
halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik,
seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau
luka akibat tindakan bedah. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika mengalami
proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase
maturasi. Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang,
jaringan luka semakin membaik. Tubuh secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses
peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan, panas,
nyeri dan kerusakan fungi. Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase yaitu:
a) Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama terjadi pada
fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat
vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin
(menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng)
juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka
oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel
membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya
mikroorganisme. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi
yang diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah
lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh
makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag
ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag
juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel
diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses
penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah
lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh
makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag
ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag
juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel
diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses
penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.
b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke – 21. Jaringan granulasi
terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru, fibronectin and
hyularonic acid. Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka
mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi
dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi
protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat
menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi
dan epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen
dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
c) Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus mensintesis
kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka
menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalka garis putih. Dalam fase ini terdapat
remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen
yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah
bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan. Terbentuk jaringan parut 50–80% sama
kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada
aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.
KONTRAKTUR
A. Definisi
Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses penyembuhan luka,
sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari suatu kontraksi.
Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik berlebihan dari proses
penyembuhan luka.
Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi akibat
suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular, penyakit
degenerasi, luka bakar, luka trauma yang luas, inflamasi, penyakit kongenital, ankilosis dan
nyeri.
Definisi kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi
secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong, otot dan
kulit.
Biasanya berlangsung mulai hari pertama luka sampai hari kelima. Fase ini bertujuan
menghilangkan mikroorganisme yang masuk kedalam luka, bendabenda asing dan
jaringan mati. Semakin hebat infamasi yang terjadi makin lama fase ini berlangsung,
karena terlebih dulu harus ada eksudasi yang diikuti penghancuran dan resorpsi sebelum
fase proliferasi dimulai.
a. Komponen vaskuler
Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubule
berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi dan retraksi ujung pembuluh
darah. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan scrotonin dan histamin yang
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel
radang disertai vasodilatasi lokal yang menyebabkan udem.
b. Komponen hemostatik
Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk ikut membekukan darah
yang keluar dari pembuluh darah.
c. Komponen selluler
Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga,
mempunyai 3 komponen, yaitu :
a. Komponen epitelisasi
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah
mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari
proses mitosis. Proses migrasi hanya dapat terjadi ke arah yang lebih rendah atau
datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh
permukaan luka.
Luka dipenuhi sel radang, fbroblast dan kolagen yang disertai dengan adanya
peningkatan vaskularisasi karena proses angiogenesis membentuk jaringan berwarna
kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi.
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan
yang berlebihan. Fase ini dimulai akhir minggu ketiga sampai berbulan bulan dan
dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Udem dan sel radang
diserap, sel mudah menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap, kolagen yang
berlebihan diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama
proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas serta mudah digerakkan
dari dasar. Pada akhir fase ini perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira
80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.
C. Klasifikasi Kontraktur
Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal tersebut dapat terjadi
karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya pada luka bakar yang dalam dan
luas, loss of skin/tissue dalam kecelakaan dan infeksi.
Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon. Dapat terjadi oleh
keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan atropi, misalnya pada penyakit
neuromuskular, luka bakar yang luas, trauma, penyakit degenerasi dan inflamasi.
3. Kontraktur Arthrogen .
Kontraktur yang terjadi karena proses didalam sendi-sendi, proses ini bahkan dapat
sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat immobilisasi yang lama dan
terus menerus, sehingga terjadi gangguan pemendekan kapsul dan ligamen sendi,
misalnya pada bursitis, tendinitis, penyakit kongenital dan nyeri.
D. Patofisiologi
Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek dalam jangka waktu
yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan memendek dan
menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dihertahan memendek dalam 5-7 hari akan
mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan kontraksi jaringan kolagen dan
pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini berlanjut sampai 3 minggu atau lebih,
jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan menebal dan menyebabkan kontraktur. (2,8)
E. Pencegahan Kontraktur
1. Mencegah infeksi
Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera perlu
diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan granulasi yang berlebihan
akan menimbulkan kontraktur.
Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup sedini mungkin, bila
perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.
3. Fisioterapi
c. Stretching
d. Splinting / bracing
e. Mobilisasi / ambulasi awal
F. Penanganan Kontraktur
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah pengembalian fungsi
dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan untuk ambulasi dan aktifitas lain.
Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik dalam hal ambulasi, posisi dan penggunaan
program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan, diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan
untuk mencegah kontraktur sendi yang rekuren. (1,2,6,8,10) Penanganan kontraktur dapat
dliakukan secara konservatif dan operatif :
1. Konservatif
a. Proper positioning
– Antebrakii : supinasi
a. Exercise
– Active assisted exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita sendiri tetapi
mendapat bantuan tenaga medis atau alat mekanik atau
anggota gerak penderita yang sehat.
– Resisted active exercise : latihan yang dilakukan oleh penderita dengan melawan
tahanan yang diberikan oleh tenaga medis atau alat
mekanik.
– Passive exercise : latihan yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap penderita.
b. Stretching
c. Splinting / bracing
Mengingat lingkup gerak sendi exercise dan positioning merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan pada luka bakar, untuk mempertahankan posisi yang baik
selama penderita tidur atau melawan kontraksi jaringan terutama penderita yang
mengalami kesakitan dan kebingungan.
d. Pemanasan
Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan oleh luka bakar,
ultrasound adalah pemanasan yang paling baik, pemberiannya selama 10 menit per
lapangan. Ultrasound merupakan modalitas pilihan untuk semua sendi yang tertutup
jaringan lunak, baik sendi kecil maupun sendi besar.
2. Operatif
Tindakan operatif adalah pilihan terakhir apabila pcncegahan kontraktur dan terapi
konservatif tidak memberikan hasil yang diharapkan, tindakan tersebut dapat dilakukan
dengan beberapa cara : (11)
Indikasi operasi ini apabila kontraktur bersama dengan adanya sayap dan dengan kulit
sekitar yang lunak. Kadang sayap sangat panjang sehingga memerlukan beberapa Z-
plasty.
b. Skin graft
Indikasi skin graft apabila didapat jaringan parut yang sangat lebar. Kontraktur
dilepaskan dengan insisi transversal pada seluruh lapisan parut, selanjutnya dilakukan
eksisi jaringan parut secukupnya. Sebaiknya dipilih split thickness graft untuk l
potongan, karena full thickness graft sulit. Jahitan harus berhati-hati pada ujung luka
dan akhirnya graft dijahitkan ke ujung-ujung luka yang lain, kemudian dilakukan
balut tekan. Balut diganti pada hari ke 10 dan dilanjutkan dengan latihan aktif pada
minggu ketiga post operasi.
c. Flap
Pada kasus kasus dengan kontraktur yang luas dimana jaringan parutnya terdiri dari
jaringan fibrous yang luas, diperlukan eksisi parsial dari parut dan mengeluarkan /
mengekspos pembuluh darah dan saraf tanpa ditutupi dengan jaringan lemak,
kemudian dilakukan transplantasi flap untuk menutupi defek tadi. Indikasi lain
pemakaian flap adalah apabila gagal dengan pemakaian cara graft bebas untuk
koreksi kontraktur sebelumnya. Flap dapat dirotasikan dari jaringan yang dekat ke
defek dalam 1 kali kerja.
SKIN GRAFT
A. Definisi
Skin graft (cangkok kulit) adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh tebalnya
kulit dari satu tempat ke tempat lain supaya hidup di tempat yang baru tersebut dan dibutuhkan
suplai darah baru (revaskularisasi) untuk menjamin kelangsungan hidup kulit yang dipindahkan
tersebut. Pembagian skin graft menurut ketebalannya terdiri dari split thickness skin graft (STSG)
dan full thickness skin graft (FTSG).
• Donor harus dijahit atau ditutup oleh split thickness skin graft bila luka donor agak luas
sehingga tidak dapat ditutup primer
a. Menempelkan skin graft pada daerah berepitel (sel basal epidermis) dipermukaannya
Kasus luka bakar merupakan suatu keadaan stres metabolisme yang melibatkan respon
neuroendokrin. Keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.
Reaksi pertama dari luka bakar dikenal dengan fase awal/fase akut/ fase syok yang
berlangsung singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah jantung, suhu
tubuh, dan konsumsi oksigen, serta hilangnya cairan dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya
hipovolemi, hipoperfusi dan asidosis laktat.
Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu atau lebih.
Pada fase ini terjadi kondisi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme.
Dibandingkan cedera lainnya, terdapat fase hipermetabolisme yang ditandai dengan
peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses penguapan
(evaporasi heat loss), peningkatan aktivitas saraf simpatis, (beta adrenergik, sebagai respon
neuroendokrin), peningkatan aktivitas selular, dan pelepasan peptida parakrin.
Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi beta adrenergik ini disebabkan oleh
beberapa hal:
- Jaringan yang mengalami kerusakan (dan atau kehilangan) tidak efektif sebagai sarana protektif.
- Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah tersebut
dan melalui proses evaporasi terjadi kehilangan cairan dan panas yang menyebabkan penurunan
suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses evaporasi kurang lebih 578 kcal/L air).
Dengan peningkatan aliran darah ke daerah lokal cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara
disproporsional yang memacu kerja jantung. Di sisi lain, peningkatan suhu pada daerah luka akibat
bertambahnya aliran ke daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses
penyembuhan. Namun pada kenyataannya kehilangan panas (energi) akan diakselerasi oleh
adanya febris.
Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karena perlu mempertimbangkan Insesible Water Loss
(IWL) lebih banyak dari biasanya.
Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:
IWL=(25 + %LB) x TBSA x 24 jam
Stimulasi beta adrenergik menyebabkan dilepaskannya hormon stres (katekolamin,
kortisol, glukagon) dan adanya resistensi insulin akan menyebabkan peningkatan laju metabolisme
disertai perubahan metabolisme berupa glikolisis, glikogenolisis, proteolisis, lipolisis, dan
glukoneogenesis, selain itu terjadi pula retensi natrium dan reabsorpsi air.
Pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF akan menyebabkan keadaan
hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan berlangsung lama, keadaan tersebut akan memperburuk
perjalanan penyakit pada luka bakar.
Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan, kelemahan,
gangguan fungsi organ vital dan balans energi negatif. Untuk menghadapi kondisi stres, diperlukan
kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada penderita dengan luas luka bakar lebih dari 40%
luas permukaan tubuh akan terjadi penurunan BB mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan
BB 10-40% akan dijumpai kondisi yang dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila
penurunan BB mencapai 40-50% akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen negatif
dengan kehilangan massa protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini terjadi akan berakibat fatal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Afife Ayla KABALAK, Ahmet Çınar YASTI. Management of inhalation injury and
respiratory complications in Burns Intensive Care Unit. Turkish Journal of Trauma &
Emergency Surgery (2012);18 (4):333-338
2. Alharbi Ziya, Platkowski, Rolf Dembinski, Swen, Reckort, Gerrit Grieb, Jens K, Norbert
Pallua. Treatment of burn in the first 24 hours: simple and practical guide by answering 10
questions in a step-by-step form. Wound Journal of Emergency Surgery (2012), 7:13.
3. Cameron AM, Ruzehaji N, Cowin AJ. Burn Wound Management: A Surgical Perspective.
Wound Practice and Research. 2010
4. Chamania S, Hemvani N, oshi S. Burn wound infection: current problem and unmet needs.
India Journal of Burns. 2012; 20: 18-22
5. Desanti L. Phatophisiology and management of burn injury. Wound care journal. 2005;
18:323-32
6. Dries DJ. Management of burn injuries – recent developments in resuscitation, infection
control and outcomes research. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and
Emergency Medicine . 2009. 17.
7. G Nambi, Beck B,Lahhmana A, Lamba S, Kingsly M, Gupta AK, Dhanraj P. Study of
superficial burns in adults and a cost effective method of managemen. India Journal of
Burns. 2009; 17: 21-25
8. Harbin KR, Norria TE. Anesthetic Management of Patients With Major Burn Injury. AANA
Journal. 2012. 80.
9. Heberal M, Abali ES, Karkayali H. Fluid management in major burn injuries. Indian Journal
of Plastic Surgery. 2010. 43
10. Jaim M, Yellinedi R, Nuwalla R. Tissue expansion for reconstruction of facial burns sequel .
India Journal of Burns. 2011; 19
11. Kamolz LP, Kitzinger HB, Frey M. The Surgical Treatment of Acute Burns. European
Surgery. 2006.
12. Karpelowsky, Rode H. Basic principles in the management of thermal injuries. SA Fam
Pract (2008) Vol 50 No 3.
13. Lahane V.Long term result of meek micrograft technique in the management of severe
burns. India Journal of Burns. 2010; 18: 30-33
14. M. Justin-Temu, G. Rimoy, Z. Premji, G. Matemu. Causes, magnitude and management of
burns in under-fives in district hospitals in dar es salaam, tanzania. East African Journal of
Public Health (2008) Volume 5 Number 1.
15. Melanie Stander and Lee Alan Wallis. The Emergency Management and Treatment of Severe
Burns. Emergency Medicine International Volume 2011, Article ID 161375.
16. Misra A, Thussu D, Agrawal K. Assessment of psychological status and quality of life in
patient with facial burn scars. India Journal of Burns. 2012. 20; 57-61
17. Morgan ED, Bledsoe SC, Barker J. Ambulatory management of Burns . American
associationof family Physician, 2000.5.
18. Papimi R. ABC of burns : Management of burn injuries of various depths. British Medical
Journal. 2004.
19. Pius Agbenorku, Setri Fugar, Joseph Akpaloo, Paa E Hoyte-Williams, Zainab Alhassan,
Fareeda Agyei. Management of severe burn injuries with topical heparin: the first evidence-
based study in Ghana. Int J Burn Trauma 2013;3(1):30-36.
20. R. Palao, I. Monge, M. Ruiz J.P. Barret Chemical burns: pathophysiology and treatment.
JBurns (2009).
21. Rice PL, Orgill DP. Emergency Care of Moderate and Severe Thermal Burns in Adult.
Walters Kluwer Health. 2014
22. Schwarz R. Management of postburn contractures of the upper extremity. Journal of burn
care and research. 2007; 28: 212-219
23. Shankar Gowri, Naik Vijaya A, Rajesh Powar, Ravindra Honnungar, Mallapur M D.
Epidemiology and Outcome of Burn Injuries. J Indian Acad Forensic Med.(2012), Vol. 34,
No. 4
24. Sterling P, Heimbach DM, Gibran NS. Management of the burn wound. ACS surgey:
principle and practice. 2010; 15: 89-96
25. Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. Burn injuries. The Journal of the American
Medical Association (2008).
26. Ullrich PM, Askay SW, Patterson DR. Pain, Depression, and Physical Functioning
Following Burn Injury. Rehabil Psychol, 2009. 5
27. Vyas K, Wagh S, RAwat APArhar S. Use of local skin as an islanded flap in coverage of
post burn contracture release. India Journal of Burns. 2011; 19
28. Ziadi N, Alam K, Maheswari v, Khan AH, Ahmad I. Clinico-pathological correlation and
assessment of burn wounds. India Journal of Burns. 2011; 19
29. Saleem S, Valbona C. Immobilization. In : Garrison S,I. Handbook oh physical medicine
and rehabilitation basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 188-189.
30. Halar EM, Bell KR. Contracture and other deletrious. In : DeLisa JA. Rehabilitation
medicine, principles and practices. Second ed. Philadelphia, Lippincott Co. 1993-, 681-689.
31. Irain K. Burns. In : Garrison SJ. Handbook of’ physical medicine and rehabilitation basics.
Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 95-97, 102-103.
32. Fisher SV. Rehabililation management of burns. In : Medical rehabilitation. Baltimore;
Williams and Wilkins 1984; 306-307.
33. Bowser BL, Solis IS. Pediatrics rehabilitation. In : Garrison SJ. Handbook of’ physical
medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. .113. Lippincott Co. 1995; 261-262, 267-
270.
34. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar bedah, 1997, 72-73, 1131, 1219-1221.
35. Dorland’s. Illustrated medical dictionary. 25th ed. WB Saunders 1980; 355-815.
36. Kottke FJ. Therapeutic exercise to maintain mobility. In : Krusen’s Handbook of physical
medicine and rehabilitation. Thieth ed. Philadelphia. WB Saunders Co. 1982; 398-401.
37. Powell M, Kershaw R. Principles of treatment of orthopaedic patients. In Orthopaedic
nursing and rehabilitation. 9th ed. Churcill Livingstone : English Language Book Society.
1986; 34-42.
38. Joynt RL, Findley TW. Therapeutic and exercise. In : DeLisa JA. Rehabilitation medicine;
principles and practices. Seconded. Philadelphia, Lippincott Co. 1993; 535.
39. Converse JM. Reconstructive plastic surgery. Second ed. WB Saunders, 1977; 1596-1635.