Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

TINDAKAN FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY (FESS)

Oleh :

HASMI

R014182051

Preseptor Lahan Preseptor Institusi

( ) ( )

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

1. Definisi
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic
Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi invasif minimal yang dilakukan pada
sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan
“mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan
daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi
sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.
Tindakan ini hampir menggantikan semua jenis bedah sinus terdahulu karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal [
CITATION AlM09 \l 1033 ].
Operasi FESS ini dapat dimasukkan dalam kategori operasi Minimal Invasif, yaitu
operasi yang seminimal mungkin merusak jaringan sehat untuk eradikasi penyakitnya
dan mempertahankan fungsi organ yang dioperasi semaksimal mungkin [ CITATION
AlM09 \l 1033 ].
Keuntungan yang didapat bagi pasien adalah waktu rawat yang lebih singkat,
bahkan hanya perlu rawat sehari saja, perdarahan yang terjadi sangat minimal, rasa
nyeri juga lebih ringan, dan pasien masih dapat melakukan aktivitas rutin yang
ringan tanpa terganggu [ CITATION AlM09 \l 1033 ].

2. Tujuan
FESS adalah singkatan dari Functional Endoskopic Sinus Surgery, atau Bedah
Endoskopi Sinus Fungsional, adalah bedah sinus yang dilakukan dengan penggunaan
alat endoskopi dengan tujuan melakukan eradikasi penyakit, memperbaiki
pengudaraan (aerasi) dan drainase sinus dengan prinsip mempertahan fungsi sinus
secara fisiologis. Penggunaan endoskopi tujuannya adalah untuk mendapatkan
pandangan yang jelas dan akurat organ sinus paranasal sehingga ahli THT-KL akan
dapat bekerja lebih akurat, jelas dan dapat mengangkat kelainan sinus saja tanpa
merusak jarungan yang sehat dan masih perlu dipertahankan secara fungsional
[ CITATION AlM09 \l 1033 ].

3. Indikasi
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) umumnya dilakukan untuk
penyakit inflamasi dan infeksi di sinus. Walaupun BSEF secara mayoritas dilakukan
untuk mengatasi masalah rinosinusitis kronik yang tidak mengalami perbaikan setelah
diberi terapi obat yang optimal, tetapi bedah ini juga efektif pada penyakit yang lain
seperti sinusitis akut berulang, seringkali disertai adanya poliposis di daerah meatus
media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga hidung. Indikasi lain BSEF
termasuk mukokel sinus, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang
invasif dan neoplasia. BSEF juga dilakukan untuk mengangkat tumor hidung dan
sinus paranasal, menambal kebocoran cairan serebrospinal, tumor hipofisa,
dekompresi orbita, kelainan kongenital (atresia koana), mengontrol epitaksis dan
untuk mengeluarkan benda asing.
Selain itu, BSEF juga dilakukan untuk mengangkat tumor pituitari karena
berkembangnya teknik dan penggunaan instrumen yang lebih canggih. Adakalanya,
bedah ini juga dilakukan pada angiofibroma nasofaring yang juvenil. Secara umum,
indikasi untuk BSEF dibahgikan kepada dua yaitu absolut dan relatif. Absolut berarti
operasi BSEF pasti dilakukan pada penderita manakala relatif berarti bahwa ahli
bedah dan penderita harus mempertimbangkan potensi resiko dan keuntungannya,
tetapi operasi BSEF dapat dianggap sebagai pilihan kepada penderita setelah
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik [ CITATION AlM09 \l 1033 ].

4. Kontraindikasi
1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester
2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi)
3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostasis
yang tidak terkontrol [ CITATION AlM09 \l 1033 ].

5. Persiapan Praoperasi
a. CT Scan
Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator
saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT scan tersebut, operator dapat
mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut
atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi.
b. Naso-endoskopi prabedah

Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan
variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi septum,
konka media bulosa, polip meatus media, dan lainnya. Sehingga operator bisa
memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya
komplikasi saat operasi.
c. Persiapan kondisi pasien. Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau edema, harus dihilangkan dahulu,
demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu
(polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat
antikoagulansia juga harus diperhatikan. Sebelum dilakukan operasi, pasien harus
diberi injeksi anestasi lokal yaitu lidocaine 1% dan epinefrin dengan perbandingan
1:100 000. Ini dapat menstabilkan tekanan darah pasien dan meminimalkan
pendarahan ketika operasi.
d. Instrumen Bedah Sebelum dilakukan pembedahan, maka alat-alat perlu
dipersiapkan. Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Teleskop 4 mm 00
2. Teleskop 4 mm 300
3. Sumber cahaya
4. Cable light
5. Sistem kamera + CCTV
6. Monitor
7. Teleskop 2,7 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas kearah frontal,
maksila dan sfenoid)
8. Teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)
Instrumen operasi yang diperlukan adalah seperti berikut:
1. Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8mm, Luer-lock)
2. Pisau Sabit (Sickle Knife 19cm)
3. Respatorium (MASING Elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt, 21.5cm) 4
4. Suction lurus
5. Suction Bengkok
6. Cunam Blakesley lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps)
7. Cunam Blakesley upturned (BLAKESLEY-WILDE Nasal Forceps
8. Cunam Cutting-through lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Straight)
9. Cunam Cutting-through upturned (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting
Upturned)
10. Cunam Backbiting ("Backbiter" Antrum Punch)
11. Ostium seeker
12. Trokar sinus maksila
13. J Curette (Antrum Curette Oval)
14. Kuhn Curette (Sinus Frontal Curette Oblong)
15. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)
16. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm) 1
17. Cunam Jamur (Stammberger Punch) [ CITATION Azi06 \l 1033 ]

6. Tahapan operasi
Sewaktu melakukan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF), pasien
dibaringkan dalam posisi supine di atas meja operasi. Ahli bedah yang bertugas akan
berada di sebelah kanan pasien dalam posisi duduk ataupun berdiri. Teknik operasi
BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi,
BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas
penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi. Berikut ini
dijelaskan tahapan operasi [ CITATION Azi06 \l 1033 ]:
a. Infundibulektomi
Pertama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi septum,
konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap
deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau
dianggap akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan
koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa masuk. Tahap awal operasi adalah
membuka rongga infundibulum yang sempit dengan cara mengangkat prosesus
uncinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium
dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan
membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi
sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa
melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap
awal operasi ini sudah cukup. Tahap operasi semacam ini disebut sebagai Mini
FESS atau BSEF Mini. Prosesus uncinatus harus diangkat secara lengkap supaya
tidak mengganggu visualisasi pada tahap seterusnya. Jika tidak, ini akan dapat
menyebabkan operasi ini gagal. Selain itu, harus berhati-hati supaya tidak terjadi
penetrasi ke dinding orbita media ketika mengangkat prosesus uncinatus.
b. Eksenterasi sinus maksila
Setelah mengangkat prosesus uncianatus, ostium sinus maksila harus
diidentifikasi dan dipotong dengan menggunakan cunam cutting. Pengangkatan
kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista besar dan jamur
masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium
sinus maksila yang telah diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan
cunam melalui meatus inferior jika cara diatas gagal. Ketika melakukan teknik ini
harus berhati-hati supaya tidak penetrasi ke lamina papiracea.
c. Etmoidektomi retrograde
Seterusnya, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan
termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika disertai
sinusitis frontal. Setelah tahap awal tadi (BSEF Mini), sebaiknya mempergunakan
teleskop 00, dinding anterior bula etmoid diidentifikasi dan diangkat sampai
tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid
anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina basalis akan berada
dibelakang sinus lateralis ini. Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00
dan tampak tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk
membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya selsel etmoid posterior diobservasi
dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang
merupakan dasar otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid
posterior sangat penting mencegah penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel
etmoid selanjutnya. Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas diseksi, maka
diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan partisi sel-sel
etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras
dasar otak (fossa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papiracea dan batas
medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau 300. Cara
membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih aman dibandingkan
cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi
intrakranial lebih besar.
d. Sfenoidektomi
Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang. Perhatikan letak n.optikus,
a.karotis dan apakah ujung septum intersfenoid melekat pada a.karotis sehingga
jika diangkat dapat menyebabkan ruptur arteri yang fatal. Setelah ostium sinus
sfenoid diidentifikasi, harus diperlebarkan dengan menggunakan cunam jamur.
Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati karena n.optikus dan
a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian medial
dan inferior saja. Menurut Stammberger (2004), pada 25% kasus ditemukan
dehisence di kanal tulang a.karotis. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid,
harus yakin bahwa ujung septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau
n.optikus.
e. Sinus frontal Secara umum, teknik ini tidak dilakukan jika tidak ada kelainan pada
sinus frontal. Akan tetapi jika ada kelainan, maka teknik ini ditangani dengan
penuh perhatian supaya meminimalkan cedera pada mukosa. Apabila diindikasi
untuk operasi sinus frontal, teleskop 45° ataupun 70° sangat bermanfaat. Beberapa
penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem, polip/popipoid,
sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel agger
nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital
sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini
dibersihkan dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J
dipandu endoskop 300 dan 700, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada
gambar CT, serta mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka
ostium sinus frontal dapat dihindari. Kista atau polip di sinus frontal dapat
dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat dicapai dengan cunam
jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Polip yang berada di ujung
lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat
dicapai dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal.
Jaringan parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF.
Pada keadaan ini operasi trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi
merupakan pilihan. Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka
jalan ke sinus frontal dan maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih
dan kelainan patologik di kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam
beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan didalamnya.
f. “Nasal packing” Sebelum dilakukan terminasi, semua sinus harus diperiksa
kembali dan memastikan bahwa pendarahan telah dikontrol. Packing harus
dilakukan di meatus medialis agar dapt mencegah terjadinya lateralisasi pada
konka tengah

7. Paska Operasi
Perawatan paska operasi sangat penting dimana pembersihan paska operasi
dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan
devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan
fibrotik, sinekia, dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator
karena operator yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Terapi
steroid dan antibioktik diberikan kepada pasien yang dilakukan BSEF dengan indikasi
inflamasi ataupun polip. Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan paska
operasi dilakukan seawal mungkin setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan
selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari secara teratur. Durasi follow-up tergantung pada
indikasi BSEF. Umumnya, kontrol endoskopi pertama akan menentukan apakah
pasien memerlukan follow up yang durasi intervalnya pendek atau 4 hingga 5 minggu
sekali. Fungsi normal sinus paranasal akan kembali selepas 6 minggu ataupun 6 bulan
tergantung pada gambaran patologi penyakit pasien [ CITATION Azi06 \l 1033 ].

8. Komplikasi operasi
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) telah terbukti efektif bagi
mengatasi rhinosinusitis kronik. Namun, seperti operasi yang lain, BSEF juga
menyebabkan bebepapa komplikasi yang dapat terjadi setelah atau selama prosedur
operasi. Komplikasi ini boleh dibahgikan kepada dua kategori yaitu komlikasi mayor
dan minor. Komplikasi minor yang sering timbul setelah operasi adalah sinekia yang
disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling berdekatan, umumnya
permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Disfungsi penciuman dapat
terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media dengan septum.
Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka perlekatan superior dan inferior
dari konka media harus dipertahankan. Komplikasi mayor adalah termasuk
perdarahan, hilang penglihatan, dan trauma intrakranial. Komplikasi minor lebih
banyak timbul pada penderita berbanding dengan komplikasi mayor yaitu sebanyak
6.9% komplikasi yang terjadi adalah komplikasi minor dan 0.85% adalah komplikasi
mayor. Pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi
yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus akan
mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Pada masa sekarang, banyak
penelitian dilakukan tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan
mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya [ CITATION
Leo12 \l 1033 ].

9. Diagnosa Keperawatan, Intervensi dan Rasional


1. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Cemas b.d prosedur operasi, perubahan konsep diri.
2) Nyeri b.d proses penyakit (penekanan/kompresi) jaringan pada organ ruang
abdomen
3) Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah
intake yang tidak adekuat.
4) Gangguan harga diri b.d masalah tentang ketidaknyamanan mempunyai anak,
perubahan feminimitas dan efek hubungan seksual.
5) Disfungsi seksual, resiko tinggi terhadap kemungkinan pola respon seksual
6) Eliminasi urinarius, perubahan / retensi b.d adanya edema pada jaringan lokal
7) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d
kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi.

b. Post operasi
1) Nyeri b.d prosedur pembedahan, trauma jaringan
2) Risiko infeksi b.d invasi kuman sekunder terhadap pembedahan
3) Kerusakan integritas kulit b.d pengangakatan bedah kulit.( jaringan, perubahan
sirkulasi).
4) Kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskuler, nyeri /
ketidaknyamanan, pembentukan edema.
5) Resiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan berlebih.
6) Gangguan harga diri b.d biofisikal prosedur bedah yang mengubah gambaran
tubuh, psikososial, masalah tentang ketertarikan social.

2. Intervensi dan Rasional


a. Pre Operasi
Dx 1 : cemas b.d prosedur operasi perubahan konsep diri.
Intervensi;
1) Yakinkan informasi klien tenteng diagnosis, harapan, intervensi pembedahan
dan terapi yang akan datang.
2) Jelaskan tujuan dan persipan untuk tes diagnostic
3) Berikan lingkungan perhatian, kterbukaan dan penerimaan juga privasi untuk
pasien / orang terdekat.
4) Dorong pertanyaan dan berikan waktu untuk mengekspresikan takut.
5) Kaji tersedianya dukungan pada pasien.
6) Diskusikan / jelaskan peran rehabilitasi setelah pembedahan.

Dx 2 : Nyeri berhubungan dengan prases penyakit (penekanan/kompresi) jaringan


pada organ ruang abdomen
Intervensi
1) Identifikasi karakteristik nyeri dan tindakan penghilang nyeri
2) Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung), hiburan dan
lingkungan.
3) Ajarkan teknik relaksasi
4) Kembangkan rencana manajemen nyeri antara pasien dan dokter
5) Berikan analgesic sesuai resep.

b. Post Operasi
Dx 1 : Nyeri b.d prosedur pembedahan, trauma jaringan
Intervensi:
1) Kaji keluhan nyeri, perhataikan lokasi, lama dan intensitas (skala 0-10),
perhatikan petunjuk verbal dan nonverbal
2) Bantu pasien menemukan posisi nyaman
3) Berikan tindakan kenyamanan dasar
4) Berikan obat nyeri yang tepat pada jadwal terakhir
5) Kolaborasi : berikan / analgetik sesuai indikasi

Dx 2 : Resiko infeksi b.d invasi kuman sekunder terhadap pembedahan


Intervensi :
1) Kaji tanda-tanda infeksi dan monitor TTV
2) Gunakan tehnik antiseptik dalam merawat pasien
3) Isolasikan dan instruksikan individu dan keluarga untuk mencuci tangan
sebelum mendekati pasien
4) Tingkatkan asupan makanan yang bergizi
5) Berikan terapi antibiotik sesuai program dokter
Dx 3 : kerusakan integritas kulit b.d pengangkatan bedah kulit / jaringan,
perubahan sirkulasi.
Intervensi:
1) Kaji balutan / untuk karakteristik drainase, kemerahan dan nyeri pada insisi
dan lengan.
2) Tempatkan pada posisi semi fowler pada punggung / sisi yang tidak sakit
dengan lengan tinggi dan disokong dengan bantal.
3) Jangan melakukan pengukaran TD, menginjeksikan obat / memasukan IV pada
lengan yang sakit.
4) Inspeksi donor/ sisi donor ( bila dilakukan ) terhadap warna, pembentukan
lepuh perhatikan drinase dan sisi donor
5) Kosongkan drain luka, secara periodic( catat jumlah dan karakeristik drainase)
6) Dorong klien untuk menggunakan pakaian yang tidak sempit / ketat.
7) Kolaborasi: berikan antibiotic sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mujaini, A. (2009). Functional Endoscopic Sinus Surgery: Indications and Complications


in the Opthalmic Field. Journal OMJ.

Azis. (2006). Fungsional Endoscopic Sinus Surgery. Bahrain Medical Bulletin.

Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia: Elseviers
Herdman, T.H & Kamitsuru, S. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: EGC.
Leong, M., & Philips, L. G. (2012). Wound healing in Sabiston Textbook of Surgery.
Singapore: Elsevier Saunders.

Moorhead, S., Jhonson , M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai