Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG WANITA USIA 54 TAHUN DENGAN KURANG DENGAR


KEDUA TELINGA

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji Kasus : dr.Dwi Marliyawati, Sp.THT-KL, M.Si.Med


Pembimbing : dr. Lusia
Dibacakan Oleh : Gabrina Selvi Y 22010118220015
Dayita Sukma Destanta 22010118220016
Dibacakan tanggal : 2 Mei 2019

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR KARIADI SEMARANG
2019

0
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus “Seorang Wanita Usia 54 Tahun dengan Kurang Dengar Kedua
Telinga”

Penguji Kasus : dr.Dwi Marliyawati, Sp.THT-K, M.Si.Med


Pembimbing : dr. Lusia
Dibacakan Oleh : Gabrina Selvi Y 22010118220015
Dayita Sukma Destanta 22010118220016
Dibacakan tanggal : 2 Mei 2019
Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, 2 Mei 2019


Mengetahui,

Penguji Pembimbing

dr.Dwi Marliyawati, Sp.THT-KL, M.Si.Med dr. Lusia

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan fungsi pendengaran berpengaruh pada kualitas hidup dan


produktivitas seseorang untuk mencapai kebahagiaan. Pendengaran pada
hakikatnya berfungsi penting dalam terjalinnya komunikasi dan pertukaran
informasi yang dibutuhkan bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Data WHO (2013) menunjukkan bahwa 5,2% penduduk dunia memiliki


gangguan kurang pendengaran, yang mana kejadian terbesar berada di negara
berkembang termasuk Indonesia. Hasil Riskesdas Indonesia 2013 menyebutkan
bahwa penduduk Indonesia usia 5 tahun ke atas 2,6% mengalami gangguan
pendengaran, 0,09% ketulian, 18,8% gangguan karena sumbatan serumen, dan
2,4% secret liang telinga. Prevalensi semakin meningkat pada populasi usia lanjut,
dimana di Indonesia sekitar 30-35% populasi usia 65-75 tahun mengalami
gangguan kurang pendengaran. Data tersebut menunjukan bahwa gangguan
pendengaran masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat.

Gangguan kurang pendengaran akan cukup sering ditemukan dalam praktik


klinis. Diagnosis kurang pendengaran dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik THT, dan pemeriksaan penunjang sederhana maupun dengan alat
yang lebih lanjut. Oleh karena itu, merupakan kompetensi bagi seorang dokter
umum untuk dapat mengenali, membedakan, dan mendiagnosis jenis serta derajat
gangguan kurang pendengaran.

Berdasarkan data diatas, dalam laporan ini penulis mengkaji dan membahas
mengenai kasus seorang wanita usia 54 tahun dengan keluhan kurang dengar pada
kedua telinga.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami jenis pengelompokkan kurang dengar
2. Untuk mengatahui dan memahami pemeriksaan pendengaran

2
3

3. Untuk mengetahui dan memahami alur tatalaksana serta rujukan terkait


kurang dengar sesuai dengan kompetensi dokter umum

1.3 Manfaat
1 Mengetahui dan memahami jenis pengelompokkan kurang dengar
2 Mengetahui dan memahami pemeriksaan pendengaran
3 Mengetahui dan memahami alur tatalaksana serta rujukan terkait kurang
dengar sesuai dengan kompetensi dokter umum
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. R
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kedung, Jepara
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SD
Datang ke poli : 23 April 2019
No. CM : C750808

MASALAH AKTIF MASALAH PASIF


1. Mixed hearing loss derajat berat telinga
kanan dan kiri
2. Hipertensi grade 2 terkontrol dengan
obat golongan ACE-Inhibitor dan Ca
antagonist

2.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien pada tanggal 23 April
2019 pukul 10.00 WIB di Poli THT RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keluhan utama : Kurang dengar kedua telinga
Perjalanan penyakit sekarang :
Pasien wanita usia 54 tahun datang ke Poliklinik THT RSUP dr. Kariadi
dengan keluhan kurang dengar pada kedua telinga. Keluhan sudah dirasakan selama
± 2 tahun pada telinga kanan dan kiri terasa sama beratnya. Kurang dengar
dikatakan muncul semakin berat secara bertahap dan dirasakan terus menerus. Rasa

4
5

kurang dengar semakin dirasa mengganggu semenjak ± 2 bulan. Pasien perlu


membesarkan volume suara TV ketika menonton TV. Keluarga pasien sering
mengulangi kalimat beberapa kali dengan lebih keras ketika berbicara dengan
pasien, terutama apabila pasien berada di tempat yang ramai. Pasien masih dapat
berkomunikasi dan berbicara dengan baik. Keluhan tidak membaik dengan
istirahat.
Tidak ada riwayat kepala terbentur, jatuh, telinga tertampar, sakit pada
wajah, infeksi selaput otak, dan sakit lainnya yang mendahului keluhan. Keluhan
telinga berdenging (-/-), telinga terasa penuh (-/-), riwayat keluar cairan dari lubang
telinga (-/-), nyeri pada telinga (-/-), dan pusing berputar (-). Keluhan lain seperti
bersin di pagi hari disangkal, batuk dan pilek disangkal. Pasien baru didiagnosis
dengan darah tinggi sejak ± 2 bulan, dan diberi obat captopril dan amlodipine,
diminum secara teratur. Pasien sudah tidak bekerja sejak 4 tahun yang lalu, dulunya
bekerja mengamplas kayu selama 2 tahun. Pasien tinggal dekat dengan rumah
produksi mebel kayu, sering mendengar suara bising setiap harinya.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat trauma kepala disangkal
- Riwayat darah tinggi (+) sejak 2 bulan, terkontrol
- Riwayat kencing manis disangkal
- Riwayat sakit telinga sebelumnya disangkal
- Riwayat alergi makanan disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat operasi pada kepala disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit serupa disangkal.
- Riwayat anggota keluarga menderita asma disangkal
- Riwayat anggota keluarga mengalami keganasan disangkal
6

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien tidak bekerja, dulunya bekerja mengamplas kayu selama ± 2 tahun –
bekerja selama 8 jam sehari. Saat ini tinggal bersama suami. Pasien tinggal di
lingkungan dekat dengan tempat pembuatan meubel, sering mendengar kegiatan
pekerjaan yang bising. Pasien menggunakan pembiayaan JKN non PBI, kesan
status ekonomi: kurang.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 April 2019 pukul 10.00 WIB di Poli
RSUP Dr. Kariadi Semarang.

2.3.1 Status generalis


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan normoweight
Tanda-tanda vital : TD : 150/90 mmHg
Suhu : 36.5°C
Nadi : 85 x/menit
RR : 20 x/menit
Kepala : Mesosefal
Kulit : Turgor cukup
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), ikterik (-/-)
Thorax : simetris, statis, dinamis, sela iga mendatar dan
melebar (-), sudut arcus costae < 90 derajat,
Paru Depan
Inspeksi : simetris statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
7

Paru Belakang
Inspeksi : simetris statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat (-), pulsasi
parasternal (-), pulsasi epigastrial (-), sternal lift (-)
Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : linea parasternalis dextra
Batas kiri : di SIC V LMCS
Pinggang jantung datar
Auskultasi : HR 85 x/menit reguler, Bising (-), Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar , venektasi (-), caput medusa (-),
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani pekak sisi (-), pekak alih (-), area traube timpani,
liver span 10 cm
Palpasi : supel, defans muscular (-), hepar dan lien tak teraba , nyeri
tekan (-)
8

Ekstremitas :

Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill <2” / <2” <2” / <2”
Ulkus -/- -/-
Lain-lain :-

2.3.2 Status Lokalis (THT)


2.3.2.1 Telinga
Gambar:

Bagian
Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid nyeri ketok (-), fistel(-), abses nyeri ketok (-), fistel(-), abses
(-) (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Pre–aurikula fistula (-), abses (-), fistula (-), abses (-),
nyeri tekan tragus (-) nyeri tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retro–
fistula fistula (-), abses (-), nyeri
aurikula
(-), abses (-), nyeri tekan (-) tekan (-)
Normotia, hiperemis (-), Normotia, hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Serumen (+), edema (-), Serumen (-), edema (-),
CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-), granulasi (-) discharge (-), granulasi (-)
9

Warna putih mengkilat,


Warna putih mengkilat,
Membran retraksi
retraksi (-), perforasi (-),
timpani (-), perforasi (-), reflek cahaya
reflek cahaya (+), granulasi(-)
(+), granulasi(-)

2.3.2.2 Hidung dan sinus paranasal


Gambar:

Pemeriksaan Luar
Inspeksi : Bentuk (N), simetris, deformitas (-), warna
kulit sama dengan sekitar
Hidung
Palpasi : os nasal : deformitas (-/-), krepitasi (-/-), nyeri
tekan (-/-), oedem (-/-)
Maxilla : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Sinus Ethmoid : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Frontalis : nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Discharge (-) (-)
Mukosa Licin, hiperemis (-) Licin, hiperemis (-)
Konka Inferior Hipertrofi (-), oedem (-) Hipertrofi (-), oedem (-)
Tumor Polip (-) Polip (-)
Septum nasi Deviasi (-)
Diafanoskopi tidak dilakukan.

2.3.2.3 Tenggorok
Gambar:
10

Orofaring Post nasal drip (-)


Palatum Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-), stomatitis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula di tengah, hiperemis (-)
Mukosa Hiperemis (-), granulasi (-), eksudat (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis (-),
edema (-), permukaan rata, edema (-), permukaan rata,
Tonsil
kripte melebar (-), detritus (-), kripte melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Hiperemis (-), edema (-). Abses (-)
Refleks
(+)
muntah
Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.
Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan.

2.3.2.4 Kepala dan leher


Kepala : Mesosefal
Wajah : Perot (-), simetris, deformitas (-)
Leher anterior : Pembesaran nnll (-)
Leher lateral : Pembesaran nnll (-)
Lain-lain : (-)

2.3.2.5 Gigi dan mulut


Gigi geligi : Gigi goyang (-)
Lidah : Simetris, deviasi (-), stomatitis (-)
Palatum : Simetris, bombans (-), hiperemis (-)
Pipi : Mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)
11

Lain-lain : (-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.4.1 Tes Bisik
Dilakukan pada jarak 1 m :
Kanan : Pasien dapat mendengar suara bicara keras
Kiri : Pasien dapat mendengar suara bicara keras

2.4.2 Tes Garpu Tala


- Weber : lateralisasi ke kiri
- Rinne
Kanan : Positif  AC pasien > BC pasien
Kiri : Positif  AC pasien > BC pasien
- Schwabach
Kanan : memendek  AC pasien < AC pemeriksa
Kiri : memendek  AC pasien < AC pemeriksa
Kesan : SNHL bilateral lebih berat telinga kanan
2.4.3 Tes Audiometri Nada Murni

AC :
12

𝐴𝐷 500𝐻𝑧+ 𝐴𝐷 1000𝐻𝑧 + 𝐴𝐷 2000𝐻𝑧 +𝐴𝐷 4000𝐻𝑧)


Kanan : 𝐴𝐷 (𝑑𝐵) = 4

(80 + 85 + 90 + 70)
𝐴𝐷 (𝑑𝐵) =
4
𝐴𝐷 (𝑑𝐵) = 81,25 𝑑𝐵
Kesimpulan : kurang dengar derajat berat
𝐴𝐷 500𝐻𝑧+ 𝐴𝐷 1000𝐻𝑧 + 𝐴𝐷 2000𝐻𝑧 +𝐴𝐷 4000𝐻𝑧)
Kiri : 𝐴𝐷 (𝑑𝐵) = 4

(70 + 80 + 75 + 80)
𝐴𝐷 (𝑑𝐵) =
4
𝐴𝐷 (𝑑𝐵) = 76,25 𝑑𝐵
Kesimpulan : kurang dengar derajat berat
BC :
Kanan : 𝐴𝐷 (𝑑𝐵) = 28,75 𝑑𝐵
Kiri : 𝐴𝐷 (𝑑𝐵) = 41,25 𝑑𝐵

Kesan : Mixed Hearing Loss derajat berat telinga kanan dan kiri

2.4.4 Tes Timpanometri

Compliance : NP (N 0.3-1.4 mmHo)


Pressure : NP (N = -100 - + 100 daPa)
Kesan : Gelombang B
13

2.4.5 Tes Audiometri Tutur

SDS :
Kanan : 80%
Kiri : 90%
SRT :
Kanan : 60 dB
Kiri : 55 dB
Rollover phenomenon : (-)

2.5 RINGKASAN
Seorang wanita usia 54 tahun datang dengan keluhan kurang dengar pada
kedua telinga, mulai dirasakan sejak ± 2 tahun yang lalu. Kurang dengar dirasakan
terus menerus sama berat antara kedua telinga, semakin lama memberat secara
bertahap. Pasien sulit menangkap kalimat yang dilontarkan lawan bicara, terutama
bila berada di kondisi keramaian. Keluhan telinga berdenging (-), pusing berputar
(-), keluar cairan dari lubang telinga (-/-), nyeri telinga (-/-). Pasien memiliki
riwayat dara tinggi (+) sejak ± 2 bulan yang lalu, meminum obat captopril dan
amlodipine. Pasien memiliki riwayat sering terpapar suara bising di lingkungan
rumah.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum dan status generalis
dalam batas normal, tekanan darah 150/90 mmHg, tanda vital lainnya dalam batas
normal. Pada pemeriksaan status lokalis THT, pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior ditemukan dalam batas normal, pemeriksaan tenggorok serta gigi dan
14

mulut dalam batas normal, pemeriksaan telinga CAE didapatkan adanya serumen
pada 1/3 anterior CAE dextra, membrane timpani intak serta reflex cahaya positif,
dan pemeriksaan kepala dan leher dalam batas normal. Pada pemeriksaan
penunjang pendengaran, didapat kesan kurang dengar derajat berat pada telinga
kanan dan kiri. pemeriksaan tes garpu tala didapat tes weber lateralisasi ke kiri, tes
schwabach memendek, tes rinne AC > BC kedua telinga; tes audiometri nada murni
memberikan kesan MHL dan kurang dengar derajat berat telinga kanan dan telinga
kiri. Serta pada audiometri tutur didapatkan gambaran SNHL dengan SDS Kanan
80%, Kiri 90% serta SRT Kanan 60 dB dan Kiri 55 dB. Serta pada timpanometri
ditemukan gambaran gelombang B.

2.5 DIAGNOSIS BANDING


Mixed hearing loss DD:

1. Presbikusis
2. Otosklerosis
3. Noise-induced hearing loss
4. Drug-induced hearing loss (ototixicity)

2.6 DIAGNOSIS SEMENTARA


Mixed hearing loss derajat berat telinga kanan dan kiri

2.7 RENCANA PENGELOLAAN


IpDx : S: -
O: otoendoskopi
IpTx :

- Medikamentosa : -
- Non-medikamentosa : Pemasangan ABD (alat bantu dengar)
Speech reading
- Operatif :-
15

Ip Mx : perburukan gejala , gejala tambahan seperti telinga berdengung atau telinga


gembrebeg.

2.8 EDUKASI

- Menjelaskan pada pasien mengenai diagnosis atau penyakit yang dialami pasien
berdasarkan audiogram nada murni yaitu adanya kurang dengar derajat berat
telinga kanan dan telinga kiri, berdasarkan hasil dari audiogram tutur
didapatkan hasil SNHL koklear pada kedua telinga.
- Menjelaskan rencana terapi pada pasien, yang dapat dilakukan pasien untuk
membantu pasien mendengar lebih baik yaitu dengan pemasangan alat bantu
dengar serta terapi lain seperti speech therapist, speech reading dan auditory
training.
- Menjelaskan pada pasien bahwa bila keluhan semakin memburuk dan adanya
keluhan tambahan seperti telingan berdenging maupun telinga gembrebeg dapat
datang kembali untuk kontrol.
- Menjelaskan bahwa pada pasien terdapat komorbid berupa hipertensi sehingga
control tekanan darah pasien harus dilakukan secara rutin dan pasien harus
selalu meminum obat.

2.9 PROGNOSIS :
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad malam
- Quo ad fungsionam : dubia ad malam
16

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Gangguan Pendengaran Pada Dewasa Dan Geriatri


Definisi gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau
total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. 1Gangguan
pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai yaitu tuli konduktif, tuli sensorineural,
tuli campuran, tuli akibat kebisingan serta terdapat gangguan pendengaran yang
khas pada geriatric yaitu presbikusis.

3.2 Macam-macam Kurang Dengar


3.2.1 SNHL (sensory neural hearing loss)
Sensory Neural Hearing Loss (SNHL) merupakan gangguan kurang
pendengaran yang disebabkan oleh kerusakan pada telinga dalam (koklea), saraf
kranial vestibulokoklearis (N.VIII), atau jalur persarafan dari telinga dalam ke otak.
Tuli sensorineural terbagi menjadi koklear dan retrokoklear. Tuli koklea,
yaitu apabila gangguan terdapat pada reseptor atau mekanisme penghantar pada
koklea. Tuli koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirintitis (bakteri/virus),
intoksikasi streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina, asetosal atau
alkohol, selain itu juga dapat disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness),
trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan bising. Tuli retrokoklea disebabkan oleh
neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, myeloma multiple, cedera otak,
perdarahan otak dan kelainan otak lainnya.2

Diagnosis :

Pada anamnesis akan didapatkan pernyataan bahwa gangguan pendengaran


mungkin timbul secara bertahap atau tiba-tiba. Gangguan pendengaran mungkin
sangat ringan, mengakibatkan kesulitan kecil dalam berkomunikasi atau berat
seperti ketulian. Jika gangguan pendengaran terjadi secara mendadak, mungkin
disebabkan oleh trauma atau adanya gangguan dari sirkulasi darah. Sebuah onset
yang tejadi secara bertahap bisa dapat disebabkan oleh penuaan atau tumor. 2
17

Pada pemeriksaan dengan garpu tala menggunakan weber test, pada keadaan
normal pasien mendengar suara di tengah atau tidak dapat membedakan telinga
mana yang mendengar lebih keras. Bila pasien mendengar lebih keras pada telinga
yang sehat (lateralisasi ke telinga yang sehat) berarti telinga yang sakit menderita
tuli sensorineural. 2

Gambar 1. Pemeriksaan schwabach


Pada pemeriksaan schwabach, penala digetarkan, tangkai penala diletakkan
pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala
segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
schwabach memendek, yang dapat ditemui pada SNHL, pemeriksaan diulang
dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus
pemeriksa lebih dulu. Sedangkan pada pemeriksaan rinne dengan kelainan SNHL
akan ditemui adanya rinne (+) yang berarti AC>BC.2,3
Pemeriksaan audiologi khusus juga digunakan untuk membedakan tuli koklea
dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan yang terdiri dari audiometri khusus,
audiometri objektif, pemeriksaan tuli anorganik, dan pemeriksaan audiometri anak.
Audiometri khusus digunakan untuk mengetahui adanya istilah rekrutmen yaitu
peningkatan sensitifitas pendengaran yang berlebihan di atas ambang dengar dan
kelelahan merupakan adaptasi abnormal yangmerupakan tanda khas tuli
retrokoklea. Kedua fenomena ini dapat dilacak dengan beberapa pemeriksaan
khusus, yaitu:
18

- Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index), Pemeriksaan ini


bertujuan untuk mengetahui apakah pasien dapat membedakan selisih
intensitas yang kecil (samapai 1 dB).
- Tes ABLB (Alternate Binaural Loudness Balance Test), diberikan
intensitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama pada kedua telinga
sampai kedua telinga mencapai persepsi yang sama.
- Tes Kelelahan (Tone Decay), telinga pasien dirangsang terus-menerus
dan terjadi kelelahan. Tandanya adalah tidak dapat mendengar dengan
telinga yang diperiksa.
- Audiometri Tutur (Speech Audiometri), tujuan pemeriksaan adalah
untuk menilai kemampuan pasien berbicara dan untuk menilai
pemberian alat bantu dengar (hearing aid).
-
Audiometri Bekesy tujuan pemeriksaan adalah menilai ambang
pendengaran seseorang dengan menggunakan grafik.2,3

Gambar 2. Audiogram nada murni pada SNHL


19

Gambar 3. Variasi audiogram nada tutur pada SNHL koklear dan retrokoklear
Pada audiogram nada tutur di atas terlihat dua jenis SNHL. Apabila SDS <
100% dapat digolongkan ke dalam SNHL. Kemudian harus dilihat apakah terdapat
rollover phenomena, bila positif maka dapat dikatakan adanya SNHL retrokoklear
dan bila negative dikatakan sebagai SNHL koklear.

3.2.2 CHL
Conductive Hearing Loss (CHL) merupakan kurang dengar oleh karena
terganggunya proses konduksi gelombang suara mencapai koklea, dapat berupa lesi
di ruang telinga luar maupun telinga tengah. Etiologi CHL diantaranya adalah:16
(1) Kongenital. Contoh: atresia meatal, kolesteatoma
(2) Didapat.
- Telinga luar.
Contoh : obstruksi oleh karena serumen, benda asing, massa,
penyempitan kanal telingan luar
- Telinga tengah.
Contoh : perforasi membrane timpani, cairan di ruang telingan tengah,
massa di telinga tengah, disrupsi kontinuitas tulnag-tulang
pendengaran, gangguan fungsi tuba eustachii.

Diagnosis :

Pada anamnesis, penderita kurang dengar tipe konduksi akan mengeluh


adanya rasa kurang dengar unilateral dan/atau bilateral telinga. Akan terjadi
fenomena Parakusis Willissi dimana penderita merasa medengar lebih baik pada
20

lingkungan yang ramai. Selain itu, penderita umumnya bersuara pelan karena
suaranya sendiri telah terdengar besar di telinganya.

Pada pemeriksaan dengan garpu tala menggunakan weber test, pasien akan
mengatakan ada lateralisasi suara ke arah telingan dengan gangguan konduksi
(lateralisasi ipsilateral). Temuan lain pada kasus CHL adalah hasil tes Rinne (-),
dimana hantaran tulang pasien lebih baik disbanding air conduction (BC > AC).

Pada pemeriksaan audiometri nada murni, CHL akan menghasilkan


gambaran pola grafik BC masih dalam batas normal namun terjadi penurunan
fungsi AC (grafik AC menurun), sehingga ada air bone gap lebih dari 15 dB.

3.2.3 MHL

Kurang dengar tipe campuran terjadi apabila terdapat komponen kurang


dengar tipe sensorineural yakni gangguan sistem saraf pendengaran dan tipe
konduksi dimana terdapat gangguan penghantaran bunyi. Komponen kurang dengar
konduksi pada tipe MHL dapat saja bersifat reversible dengan terapi
medikamentosa, namun komponen kurang dengar persepsi umumnya akan bersifat
irreversible. Pada awalnya kurang dengar tipe ini adalah tipe konduksi (pada kasus
otosklerosis) dan berkembang menjadi tipe sensorineural; dapat pula sebaiknya,
pada kasus presbikusis kurang dengar didahului tipe sensorineural dan apabila ada
faktor risiko lain seperti otitis media, maka akan diperparah dengan kurang dengar
tipe konduksi; atau kedua tipe kurang dengar terjadi bersama (pada kasus trauma
kepala).11
Diagnosis :
Pemeriksaan garpu tala tidak dapat digunakan untuk mendiferensiasikan
kurang dengar tipe campuran. Pada pemeriksaan penunjang audiometri nada
murni, klinisi dapat mendiagnosa adanya kurang dengar tipe campuran
berdasarkan pola grafik AC pasien. Grafik AC akan menunjukkan pola
gambaran:4

- AC dan BC sama-sama di bawah garis normal (intensitas 25 dB) dengan


kerusakan AC yang lebih besar dibanding BC (grafik AC dibawah BC)
21

- Peningkatan ambang dengar untuk BC


- Air bone gap lebih dari 15 dB

Gambar 4. Audiogram nada murni pada MHL


3.3 Presbikusis
Perubahan degeneratif pada pendengaran yang dialami oleh orangtua
utamanya pada usia 40 tahun ke atas dan 50% terjadi pada usia lebih dari 65 tahun,
dicirikan dengan adanya kemunduran kemampuan mendengar yang terjadi secara
progresif dan dapat mengalam tuli tipe konduktif, campuran namun kebanyakan
adalah sensorineural. Proses degeneratif menyebabkan perubahan struktur koklea
dan N. VIII. Pada koklea perubahan yang terjadi adalah adanya atrofi degenerasi
sel rambut penunjang organa corti serta adanya perubahan vaskular pada striae
vaskularis. Selain itu terdapat perubahan jumlah dan ukuran sel ganglion serta
saraf.3,4
Anamnesis :
Tulis sensorineural pada geriatri dapat disebut dengan presbikusis yang
ditandai adanya gejala berupa berkurangnya pendengaran yang bersifat progresif
dan simetris pada kedua telinga serta bila ditanyakan sejak kapan pasien cenderung
tidak mengerti sejak kapan gejala dimulai. Keluhan lainnya dapat ditemukan rasa
seperti telinga berdenging atau ada suara-suara aneh dalam telinga, pada beberapa
orang mengatakan bahwa seperti suara jangkrik. Bila pasien diajak berbicara di
tempat yang ramai pasien cenderung sulit memahami apa yang dibicarakan
(cocktail party defaness) namun bila volume ditingkatkan maka akan merasa sakit
pada telinga dan disebut kelelahan saraf (recruitment).4,5
22

Diagnosis :
Pada pemeriksaan dengan otoskop akan ditemukan membrana timpani
terlihat suram, mobilitasnya berkurang. Pada pemeriksaan dengan garpu tala dapat
ditemui adanya gambaran SNHL.4
Pada pemeriksaana penunjang dengan audiogram nada murni maka akan
ditemukan adanya gambaran penurunan tajam atau slopping setelah frekuensi
2000Hz. Gambaran ini telrihat khas pada presbikusis tipe sensori dan neural tahap
awal sedangkan pada tipe metabolik dan mekanik cenderung mendatar pada
gambaran kurvanya. Pada audiometri tutur akan ditemui diskriminasi wicara
(speech discrimination) yang akan terlihat pada presbikusis jenis neural dan
koklear. 5

Gambar 5. Audiogram nada murni pada presbikusis

Terapi :
Rehabilitasi dengan alat bantu dengar merupakan jalan yang dipilih pada
kondisi presbikusis, pemasangan ABD juga pelru dikombonasikan dengan speech
reading, auditory training dan speech therapist.4

3.4 Otosklerosis

Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami


spongiosis di daerah kaki stapes dan pada tahap selanjutnya mengeras menjadi
sklerotik. Sehingga stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan suara ke
23

labirin dengan baik kemudian terjadilah gangguan pendengaran. Otosklerosis


adalah salah satu dari bentuk hilangnya pendengaran pada orang dewasa yang
belum umum ditemukan, dengan prevalensi 0,3-0,4% pada Kaukasian.
Prevalensinya rendah pada orang kulit hitam, dan Asia. Perempuan terkena dua kali
lebih banyak daripada laki-laki. Penyakit ini ditandai dengan proses remodeling
tulang yang abnormal yaitu pada kapsul otik. Apabila lesi dari tulang yang
remodeling menginvasi sendi stapedio-vestibulo, dan menyebabkan gerakan stapes
terganggu sehingga menjadi tuli konduktif, namun 10% dari penderita mengalami
tuli sensorineural yang disebabkan karena obliterasi pada struktur sensorineural
antara koklea dan ligamentum spirale. Hal tersebut bisa juga disebabkan oleh
kerusakan outer hair cell yang disebabkan oleh pelepasan enzim hidrolitik pada lesi-
lesi spongiosis ke telinga dalam. Masuknya bahan metabolit ke telinga dalam,
menurunnya vaskularisasi dan penyebaran sklerosis secara langsung ke telinga
dalam yang menghasilkan perubahan kadar elektrolit dan perubahan biomekanik
dari membran basiler juga menjadi penyebab terjadinya tuli sensorineural.
Sehingga pada awal penyakit akan timbul tuli konduktif dan dapat menjadi tuli
campuran.5, 17, 18

PL. Dhingra mengklasifikasikan tipe otosklerosis sebagai berikut:16

1. Otosklerosis stapedial
Otosklerosis stapedial disebabkan karena fiksasi stapes dan tuli
konduktif umumnya banyak dijumpai. Lesi ini dimulai dari depan oval
window. Lokasi ini menjadi predileksi (fokus anterior). Lesi ini bisa juga
dimulai dari belakang oval window (fokus posterior), disekitar garis tepi
footplate stapes (circumferential). Kadang-kadang bisa menghilangkan
relung oval window secara lengkap (tipe obliteratif).
2. Otosklerosis koklear
Otosklerosis koklear melibatkan region sekitar oval window atau
area lain di dalam kapsul otik dan bisa menyebabkan tuli sensorineural.
kemungkinan disebabkan material toksik di dalam cairan telinga dalam.
3. Otosklerosis histologi
Tipe otosklerosis ini merupakan gejala sisa dan tidak dapat
menyebabkan tuli konduktif dan tuli sensorineural.
24

Diagnosis :

Seseorang dengan otosklerosis akan mengeluhkan gangguan kurang dengar


yang menurun secara progresif pada kedua telinga, namun bersifat asimetris.
Penderita biasanya datang dimana kurang dengar telah mencapai 30-40 dB (tuli
konduksi frekuensi rendah), dan riwayat infeksi telinga serta trauma akan
disangkal. Selanjutnya, akan ada fenomena Paracusis Wilisii dimana penderita
akan mendengar lebih baik pada lingkungan yang ramai oleh karena komponen tuli
konduksinya. 70% penderita otosklerosis akan mengeluhkan adanya tinnitus yang
berkembang progresif serta keluhan vertigo rungan yang tidak menetap.17, 18

Pada pemeriksaan otoskopi, ditemukan membrane timpani utuh, normal, atau


dalam batas normal. Tuba biasanya paten dan tidak terdapat riwayat penyakit
telinga atau trauma kepala / trauma telinga sebelumnya. Apabila sudah terjadi fase
hipervaskularisasi (proses spongiosis), terjadi aktivitas sel osteosit, osteoblast, dan
histiosit yang menyebabkan gambaran sponge. Osteosit akan meresorbsi jaringan
tulang sekitar pembuluh darah sehingga terjadi vasodilatasi, sehingga muncul
gambaran Schwartze’s sign pada pemeriksaan otoskopi, yakni pelebaran pembuluh
darah promontorium.5, 17

Pemeriksaan garpu tala akan mendukung diagnosis kurang dengar tipe


konduksi. Rinne test negatif yang menggambarkan hantaran tulang lebih baik dari
hantaran udara. Tes weber didapatkan lateralisasi ke sisi telinga yang lebih berat.
Pada kasus dengan kurang dengar tipe campuran mungkin sangat sulit untuk
dilakukan pemeriksaan garpu tala.

Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan air bone gap yang melebar
pada frekuensi rendah dan ada ciri khas dimana pada frekuensi 2000 Hz didapatkan
hantaran tulang lebih dari 20 dB yang dikenal dengan istilah Carhart Notch.
25

Gambar 6. Carhart’s Notch

Impedance audiometry juga didapatkan hasil yang pada umumnya normal


yaitu gambaran timpanometri tipe A atau kadang-kadang disertai dengan penurunan
compliance membran timpani (tipe As). Speech reception threshold dan speech
discrimination pada pemeriksaan audiometri tutur sering normal, kecuali pada
kasus dengan terlibatnya koklea

Gambar 7. Hasil timpanometri pasien dengan otosklerosis menunjukkan


gelombang As

Tatalaksana :

Pengobatan penyakit ini adalah operasi stapedektomi atau stapedotomy, yaitu


stapes diganti dengan bahan protesis. Pada kasus yang tidak bisa dioperasi, ABD
dapat sementara membantu pendengaran.5

3.5 NIHL (Noise Induced Hearing Loss)


NIHL merupakan gangguan pendengaran akibat terpapar bising di suatu
lingkungan kerjadalam jangka waktu yang lama dan terus menerus. NIHL
merupakan jenis tuli sensorineural dan umumnya terjadi pada kedua telinga.
26

Frekuensi yang sering menyebabkan kerusakan pada organ Corti di koklea adalah
bunyi dengan frekuensi 3000 Hz sampai dengan 8000 Hz, gejala timbul pertama
kali pada frekuensi 4000 Hz. Hearing loss biasanya tidak disadari pada percakapan
dengan frekuensi 500Hz, 1000Hz, 2000Hz dan 3000 Hz ˃25 dB. Apabila bising
dengan intensitas tinggi terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama akan
mengakibatkan ketulian.5,6

Gambar 8. Intensitas waktu dan waktu paparan yang dapat menyebabkan


NIHL

Gambar 9. Audiogram nada murni pada NIHL


27

Penatalaksanaan :
Penanganan NIHL harus dilakukan secara menyeluruh dimulai dari
pencegahan hingga tahap rehabilitatif. Bagi pekerja yang belum atau sudah
terpajan dengan kebisingan diberikan perlindungan menurut tata cara medis
berupa7:
- Monitoring paparan bising
a.Melakukan identifikasi sumber bising dengan ; Menilai intensitas
bising dan frekuensinya. Untuk pengukuran bising dipakai alat Sound
Level Meter. Ada yang dilengkapi dengan Octave Band Analyser;
Mencatat jangka waktu terkena bising.8
b.Pengurangan jumlah bising di sumber bising
c.Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya
dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising ataupun menggunakan
ear protector seperti ear plug/mold yaitu suatu alat yang dimasukkan
ke dalam telinga, alat ini dapat meredam suara bising sebesar 30-40
dB, Ear muff/valve, dapat menutup sendiri bila ada suara yang keras
dan membuka sendiri bila suara kurang keras, Helmet, suatu penutup
kepala yang melindungi kepala sekaligus sebagai pelindung telinga.
d.Menerapkan sistem komunikasi, informasi dan edukasi serta
menerapkan penggunaan APD (Alat Pelindung Diri)
e. Pemeriksaan pendengaran para pekerja dengan audiometri nada
murni, yaitu saat sebelum penerimaan dan tiap 6 bulan sekali.
- Bila hearing loss sudah mengganggu komunikasi dapat dicoba
dengan pemasangan alat bantu dengar. Jika dengan hearing aid masih
susah untuk berkomunikasi maka diperlukan psikoterapi agar dapat
menerima keadaanya, serta perlu latihan pendengaran (auditory
training), secara efisien dapat dibantu dengan membaca gerakan
ucapan bibir (lip reading), mimik dangerakan anggota badan serta
bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Pada penderita yang telah
mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan
implan koklea.7,8
28

3.6 Kurang Dengar Oleh Karena Faktor Ototoksik

Kerusakan akibat agen toksik pada telinga dalam dapat mempengaruhi fungsi
koklear dan vestibular. Agen causative yang bersifat ototoksik dapat berupa agen
endogenous ataupun eksogenous. Agen eksogenous yang bersifat ototoksik
diantara lain adalah obat-obat (yang memiliki efek ototoksisitas tinggi) dan bahan-
bahan industrial. Beberapa obat-obatan farmakologis memiliki efek samping
ototoksik. Toksin dari obat-obatan dapat mencapai telinga dalam melalui sistem
sirkulasi dan merusak sel rambut, dan menyebabkan kerusakan pada fungsi koklear
dan vestibular. Efek toksin dapat bersifat reversible maupun irreversible. Obat
dengan ototoksisitas tinggi diantaranya adalah golongan aminoglikosida, agen
sitostatik, loop diuretic, salisilat, dan kina.

Contoh agen endogenous yang dapat menyebabkan ototoksisitas antara lain


penyakit immunologis telinga dalam (sindroma cogan, granulomatosis Wegener,
SLE), dan penyakit metabolis seperti hipertensi, dislipidemia, dan uremia.4, 12

Diagnosis:

Efek ototoksik obat pada umumnya menyebabkan keluhan kurang dengar


dan atau tinnitus yang dirasakan simetris pada kedua telinga. Kerusakan fungsi
koklear umumnya disertai dengan tinnitus, yang dapat mendahului keluhan kurang
dengar. Derajat kurang dengar akan sama berat pada kedua telinga. Pada
pemeriksaan audiometri tutur, akan muncul gambaran fitur kurang dengar tipe
sensoriural koklear.
29

Tabel 1. Agen eksogenous ototoksik


BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien merupakan wanita usia 54 tahun datang dengan keluhan kurang


dengar pada kedua telinga, mulai dirasakan sejak ± 2 tahun yang lalu. Kurang
dengar dirasakan terus menerus sama berat antara kedua telinga, semakin lama
memberat secara bertahap. Pasien sulit menangkap kalimat yang dilontarkan lawan
bicara, terutama bila berada di kondisi keramaian. Keluhan telinga berdenging (-),
pusing berputar (-), keluar cairan dari lubang telinga (-/-), nyeri telinga (-/-). Pasien
memiliki riwayat dara tinggi (+) sejak ± 2 bulan yang lalu, meminum obat captopril
dan amlodipine. Pasien memiliki riwayat sering terpapar suara bising di lingkungan
rumah.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum dan status generalis
dalam batas normal, tekanan darah 150/90 mmHg, tanda vital lainnya dalam batas
normal. Pada pemeriksaan status lokalis THT, pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior ditemukan dalam batas normal, pemeriksaan tenggorok serta gigi dan
mulut dalam batas normal, pemeriksaan telinga CAE didapatkan adanya serumen
pada 1/3 anterior CAE dextra, membrane timpani intak serta reflex cahaya positif,
dan pemeriksaan kepala dan leher dalam batas normal. Pada pemeriksaan
penunjang pendengaran, didapat kesan kurang dengar derajat berat pada telinga
kanan dan kiri. pemeriksaan tes garpu tala didapat tes weber lateralisasi ke kiri, tes
swhabach memendek, tes rinne AC > BC kedua telinga; tes audiometri nada murni
memberikan kesan MHL dan kurang dengar derajat berat telinga kanan dan telinga
kiri. Serta pada audiometri tutur didapatkan gambaran SNHL dengan SDS Kanan
80%, Kiri 90% serta SRT Kanan 60 dB dan Kiri 55 dB. Serta pada timpanometri
ditemukan gambaran gelombang B.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien memiliki
komorbid berupa hipertensi grade 2 (penyakit sistemik), sesuai dengan teori Katz
menyatakan bahwa hipertensi dapat menyebabkan perubahan viskositas darah yang
menyebabkan penurunan aliran darah serta penurunan transport oksigen, perubahan
ion transfer pada organa corti dan adanya perdarahan telinga bagian dalam. 9, 13, 14,
15

30
31

perubahan viskositas darah

hipertensi

perdarahan telinga bagian gangguan transport ionik


dalam sel organa corti

Pada pasien diagnosis yang memungkinkan ialah adanya SNHL dengan


jenis presbikusis dan NIHL. Kecurigaan presbikusis didapat dari adanya proses
progresif dari kurang dengar, dirasakan di kedua telinga, tanpa ada gangguan
keseimbangan dan/atau gangguan telinga lainnya serta gangguan jalan nafas.

Hasil temuan pada pasien Temuan pasien dengan presbikusis


Pasien berusia 54 tahun Dimulai dari dekade 4
Kurang dengar sudah 2 tahun di Kurang dengar bersifat progresif dan
kedua telinga dan berangsur angsur bilateral
memburuk
Pemeriksaan weber menunjukkan Tipe kelainan SNHL
kelaian SNHL bilateral lebih buruk
telinga kanan
Audiogram nada murni menunjukkan Audiogram nada murni menunjukkan
tipe MHL SNHL
32

Pola kurva audiogram nada murni


Pola kurva audiogram nada murni
menunjukkan:
menunjukkan:
- Penurunan AC dan BC dibawah
- Penurunan AC dan BC dibawah garis
garis nilai ambang normal (25dB)
nilai ambang normal (25dB)
- Terdapat air-bone gap
- Penurunan cenderung dimulai pada
frekuensi tinggi
- Tidak ada air-bone gap antara AC
dan BC

Pasien juga memiliki riwayat sering terpapar suara bising di lingkungan


rumah. Gangguan pendengaran dapat terjadi akibat terpapar bising di suatu
lingkungan dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus. Biasanya terjadi
akibat paparan > 5tahun. NIHL merupakan jenis tuli sensorineural dan umumnya
terjadi pada kedua telinga. Frekuensi yang sering menyebabkan kerusakan pada
organ corti di koklea adalah bunyi dengan frekuensi 3000 Hz sampai dengan 8000
Hz, gejala timbul pertama kali pada frekuensi 4000 Hz. 6,7

Hasil temuan pada pasien Temuan pasien dengan NIHL


Keluhan bilateral Keluhan bilateral
Terdapat paparan bising >5 tahun Paparan bising >5 tahun
dengan tinggal di samping produsen
mebel
33

Tipe audiogram nada murni MHL Tipe audiogram nada murni SNHL
Terdapat penurunan BC pada Penurunan AC dan BC pada frekuensi
2000Hz tinggi di atas 4000Hz

- Tipe grafik SNHL


- Penurunan kurva grafik pada frekuensi
- Tipe grafik MHL tinggi (diatas 4000Hz)
- Penurunan kurva grafik pada
sebelum frekuensi 4000Hz

Di samping itu, etiologi SNHL lainnya adalah ototoksisitas yang merupakan


komplikasi penggunakan agen toxic terutama obat-obatan; sudden hearing loss
yang dapat disebabkan adanya iskemik sel maupun infeksi viral; NIHL; tumor
akustik maupun penyakit inflamasi lainnya seperti mumps, measles, dan infeksi lain
yang dapat mengganggu telinga tengah. Pada kasus ini, Ny. R memiliki riwayat
hipertensi grade 2 dengan konsumsi obat antihipertensi golongan ACE inhibitor
(captopril) dan CCB (amlodipine). Sebuah studi oleh Figueiredo (2016)
menyatakan bahwa terdapat hubungan penggunaan ACE inhibitor, diuretic tiazid,
diuretic hemat kalium, dan CCB dengan insidensi tinnitus pada kelompok penderita
hipertensi (44,4%) dibandingkan kelompok kontrol (31,4%) dengan nilai p =
0,024.14 Sebuah pedoman oleh European Review for Medical and Pharmacological
Sciences oleh G. Cianfrone (2011) menyatakan bahwa Captopril memiliki sifat
vertigo generating tanpa ada efek ototoksisitas, amlodipine memiliki sifat tinnitus
generating tanpa ada efek ototoksisitas. Namun, besarnya efek ototoksisitas dari
34

obat hipertensi golongan ACE inhibitor dan CCB serta besarnya efek samping
terhadap penurunan fungsi dengar masih belum banyak diteliti.
Kelainan MHL menunjukkan adanya komponen CHL serta SNHL pada
kedua telinga pasien. Gangguan pendengaran tipe MHL terjadi ketika kemampuan
telinga luar atau tengah seseorang untuk mentransmisikan suara dengan benar ke
telinga bagian dalam berkurang. Dampak dan tingkat gangguan pendengaran
campuran dapat berkisar dari ringan hingga berat, dan penyebab gangguan
pendengaran campuran sangat banyak dan beragam seperti penyebab terpisah dari
kehilangan sensorineural dan konduktif. Unsur CHL pada pasien dicurigai karena
adanya otosklerosis yang ditunjukkan dari gambaran audiogram nada murninya,

Hasil temuan pada pasien Temuan pasien dengan otosklerosis


Membrana timpani dalam batas Schwartz sign
normal (yakni hiperemis pada membrana
timpani akibat vasodilatasi pembuluh
darah di area promontorium)
Tes garpu tala menunjukkan tipe Gangguan pendengaran merupakan
SNHL CHL

Audiogram nada murni menunjukkan:


- Pola kurang dengar CHL.
- Carhart’s notch

Audiogram nada murni menunjukkan:


- Pola kurang dengar MHL
35

- Gambaran Carhart’s notch, yakni


penurunan BC di 2000Hz dan AC
berada di bawha 25dB
Gambaran timpanometri adalah Gambaran timpanometri
gelombang tipe B
Kanan :

Kiri:

Namun pada audiometri tutur didapatkan gambaran gelombang SNHL


dengan dikonfirmasi pula pada hasil SDS Kanan 80%, Kiri 90% dimana SDS
<100% dapat ditemui pada kondisi SNHL serta SRT Kanan 60 dB dan Kiri 55 dB.
Didapatkan kesan telinga kanan dan telinga kiri SNHL koklear.
Gelombang timpanogram tipe B adalah garis datar tanpa puncak yang
konsisten dengan patologi telinga tengah, seperti cairan atau infeksi di belakang
gendang telinga, dimana gelombang B menggambarkan elastisitas membrana
timpani adalah 0. Hasil timpanometri pasien Ny. R menunjukkan kompliansi: NP
(N 0.3-1.4 mmHo) dan Pressure : NP ( N = -100 - + 100 daPa).
36

Hasil gambaran timpanometri Ny. R ini tidak mendukung dugaan adanya


proses patologis otosklerosis, dimana pada otosklerosis gambaran timpanometri
yang akan muncul pada umumnya adalah gelombang As. Sedangkan, gelombang B
mengindikasikan tidak adanya pantulan gelombang yang ditiupkan ke dalam CAE
oleh memnran timpani. Kondisi-kondisi yang mungkin terjadi adalah oleh karena
adanya cairan di telinga tengah ataupun perforasi. Pada pemeriksaan fisik dengan
otoskopi, tidak terlihat tanda-tanda suspek perforasi pada membrane timpani kanan
dan kiri Ny R. Untuk membantu menegakkan kecurigaan ada tidaknya perforasi
yang terlewati dari pemeriksaan otoskopi, dapat dilakukan pemeriksaan manuver
valsava dan otoendoskopi.
Hasil temuan pada pasien Temuan pasien dengan hasil
timpanometri gelombang B
Pada pemeriksaan dengan otoskop Dimungkinkan karena adanya
tidak telrihat adanya perforasi perforasi membrana timpani
membrana timpani
Pemeriksaan dengan otoskop tidak Dimungkinkan adanya penimbunan
dapat melihat adanya cairan di cairan di telinga tengah
telinga tengah
Pemeriksaan dengan otoskop tidak Dimungkinkan adanya
terlihat adanya warna lebih putih timpanosklerosis
pada membrana timpani yang
menggambarkan adanya
timpanosklerosis
37

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien,


didapatkan adanya presbiakusis disertai dengan otosklerosis pada tahap awal.
Dimana pada anamnesis pasien mengeluh adanya kurang dengar sudah sejak 2
tahun belakangan yang terasa di kedua telinga (bilateral) serta semakin lama
semakin memburuk (progresif), pada pemeriksaan status lokalis dengan
menggunakan otoskopi tidak ditemui kelainan pada telinga luar serta membrana
timpani, pada pemeriksaan dengan garpu tala juga menggambarkan adanya
gambaran SNHL dengan telinga kanan lebih berat serta pada pemeriksaan
audiogram nada murni terlihat adanya penurunan kurva pada frekuensi 2000Hz
serta gambaran MHL derajat berat di kedua sisi telinga. Pada pemeriksaan dengan
audiogram nada tutur juga didapatkan adanya SNHL koklear pada kedua telinga.
Dari kesemua hasil tersebut pasien ini didapatkan adanya presbikusis dengan
otosklerosis tahap awal dengan tidak ditemui adanya schwarte’s sign yaitu
membrana timpani yang terlihat kemerahan karena pada pasien membrana timpani
tidak ditemui kelainan.
Kesimpulan : presbiakusis dengan otosklerosis tahap awal
38

DAFTAR PUSTAKA
1. Timothy C & Hain MD. Hearing Loss [internet]. Timothy C & Hain MD;
2015. [diperbaharui Juni 2015, disitasi April 2019] Website:
http://www.dizziness-and balance.com/disorders/hearing/hearing.html
2. Brookhouser PE. Sensorineural Hearing Loss. In: Head and Neck Surgery
Otolaryngology. 2006. Philadelphia: Bailey BJ, Lippincotty Williams &
Wilkins Company
3. Dhillon and C. R. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 1994.
East. Churchill Livingstone.
4. Rudolf Probst, Gerard G, Henrich I. Basic otorhinolaryngology A step by
step learning guideline. 2006. Thieme.
5. Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-. 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Lucente, Frank E. 2011.
6. Chadambuka A, Musosa F, Muteti S. Prevalence of Noise Induced Hearing
Loss Among Employees Mining Industry in Zimbabwe. African Health
Sciences. 2013;13(4): 899- 906.
7. Dickinson D dan Hansia MR. Hearing Protection Device Usage at a South
African Gold Mine. Occupational Medicine. 2009; 60(1):72-74
8. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Nomor
Per.08/Men/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri. 2010. Jakarta:
Kemenaketrans RI.
9. Katz J. Tratado de audiologia clínica. São Paulo: Manole; 1989.
10. Jen D, Common Types of Tympanograms. 2010.
(https://www.audiologyonline.com/ask-the-experts/common-types-of-
tympanograms-361
11. Bashiruddin J, Soetirto I. 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising
(Noise Induced Hearing Loss). In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. p.49-56.
12. Zahnert, Thomas. 2011. The Differrential Diagnosis of Hearing Loss.
Deutsches Ärzteblatt International. Dtsch Arztebl Int 2011; 108(25)
39

13. Przewozny, Tomasz. 2015. Hypertension and Cochlear Hearing Loss. Gda
ń sk, Poland. Blood Pressure, 2015; 24: 199–205.
14. Figueiredo, Ricardo R. 2016. Positive Association Between Tinnitus and
Arterial Hypertension. Frontiers in Neurology. 7:171. doi:
10.3389/fneur.2016.00171
15. Brain M. Lin. 2016. Hypertension, Diuretic Use, and Risk of Hearing Loss.
The American Journal of Medicine. 129:4.
http://dx.doi.org/10.1016/j.amjmed.2015.11.014
16. PL Dhingra, Shruti Dhingra. 2014. Diseases of Ear, Nose, and Throat &
Head and Neck Surgery. 6th Edition. India. Elsevier
17. Irawati. 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Otosklerosis. Departemen
Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
18. Salima, Jeanna. 2016. Tuli Konduktif e.c. Suspek Otosklerosis Auris
Sinistra. JPM Ruwa Jurai, 2:1. FK Universitas Lampung.

Anda mungkin juga menyukai