Nama
: Ny. Masniati
Umur
: 63 tahun
: 051970
Pekerjaan
: Pensiunan PNS
Keluhan Utama
Anamnesis Khusus
Status Generalis
N: 80x/m
R: 20x/m
Status Lokalis :
ADS
: - Preaurikula: kelainan kongenital -/peradangan -/trauma -/- tragal sign -/- Aurikula: kelainan kongenital -/peradangan -/trauma -/- Retroaurikula: Edema -/Hiperemis -/Nyeri tekan -/Skiatris -/Fistula -/Fluktuasi -,- CAE: Kelainan kongenital -/mukosa hiperemis -/Sekret -/Serumen -/Edema -/Jaringan granulasi -/Massa -/-
S: 36,6oC
Tes
Suara
Tes
Rinne
Tes
Webbe
r
Tes
Swaba
ch
Kesan
AD
Mende
ngar
suara
keras
+
AS
Mende
ngar
suara
keras
+
Tidak
ada
laterali
sasi
memen
dek
Tidak
ada
laterali
sasi
memen
dek
CN
Mulut
Orofaring
: Tonsil
Faring
- Mukosa: tenang (+)
- Granula (-)
- Post-nasal drip (-)
Gambar Orofaring
Rhinoskopi Posterior
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Laringoskopi Indirek
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Epiglottis tenang, massa Kartilago Aritenoid: tenang +/+, massa -/Plica ariepiglotica: tenang +/+, massa -/Plica vocalis tenang +/+, massa -/-, gerak simetris
Plica vestibularis tenang +/+, massa -/-, gerak simetris
Rima glotis terbuka
Trakea di tengah
Leher
Maxillofacial
: - Bentuk: Simetris
- Parese nervus cranialis: tidak ada
RESUME
Seorang wanita berusia 63 tahun datang dengan keluhan penurunan
pendengaran pada kedua telinga sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan dirasakan
semakin lama semakin memberat. Keluhan disertai sulit memahami pembicaraan
dan telinga terasa berdenging. Keluhan tidak disertai nyeri telinga, keluar cairan
dari telinga, terasa penuh ditelinga, batuk, pilek maupun demam. Riwayat trauma
oada telinga disangkal. Riwayat penyakit lain tidak ada,
Status Generalis
Status Lokalis
ADS
- CAE
CN
Orofaring
Faring
Maxillofacial
Diagnosis Banding
: Presbikusis, NIHL
Diagnosis Kerja
: Presbikusis
Therapi
1. Umum
2. Khusus
Prognosis
Quo Ad Vitam
: Ad bonam
Quo Ad functionam
: dubia ad malam
MIND MAP
Anatomi Telinga Dalam
Letak,inervasi,vaskularisasi
Histologi TelingaDalam
Etiologi
1.Faktor Herediter
2.Arterosklerosis
3. pola makanan
4. Metabolisme
5. Infeksi
6. Bising
Faktor Risiko
Usia
Penatalaksanaan
Alat bantu dengar
Komplikasi
Depresi, kecemasan
Prognosis
Quo ad vitam: ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad malam.
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
-gatal di liang telinga
-telinga terasa penuh
-riwayat trauma
Penatalaksanaan
Non farmakologis:
Tanda dan Gejala
1
Tidak mengorek lubang telinga menggunakan
-nyeri telinga
benda-benda yang tajam contohnya peniti
Komplikasi
-rasa penuh pada
Pem.fisik
2
Menjaga suhu dan kelembaban liang telinga
telinga
-otoskopi
CAE dan serumen
Farmakologis
Pemeriksaan
Diagnosis
Bioetika dan
-edema danBanding
laserasi
serta
membran
timpani
1
Analgetika
Penunjang
Humaniora
pada
serumen
Diagnosis Kerja
-tragal sign (-)
2
Antibiotik profilaksis
-hiperemis pada CAE
Prognosis
Dubia ad bonam
PRESBIKUSIS
1.
Anatomi Telinga
Telinga (Auris) dibedakan atas bagian luar, tengah dan dalam. Auris berfungsi
Pada 1/3 luar luar kulit liang telinga terdapat glandulae serumenosa dan
glandulae sebasea membentuk serumen. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh
kulit liang telinga. Pada 2/3 bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar
serumen.
ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang
berjalan secara radier di bagian luar dan sikuler pada bagian dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran tympani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah
bawah, yaitu pada pukul 7 untuk membran tympani kiri dan pukul 5 untuk
membran tympani kanan. Refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah ialah
cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membarn tympani
terdapat dua macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan
timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu. Secara klinis refleks cahaya ini
dinilai, misalnya bila letak refleks cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan
pada tuba eustachius.
terdapat di bagian atas dan di bagian bawah berukuran 4 mm. Karenanya cavum
tympani menjadi 3 bagian ruangan, antara lain:
Epitympanum atau atic space atau rongga atap.
Mesotympanum atau cavum tympani yang terdapat setinggi pars tensa.
Hypotympanum rongga-rongga terdapat di bawah batas bawah pars tensa.
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
Batas luar
: Membran tympani
Batas depan
: Tuba eustachius
Batas bawah
: Vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
Batas atas
: Tegmen tympani (meningen/otak)
Batas dalam
: Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium.
ostium tympanica lebih tinggi dari ostium pharyngeal nya, pada dewasa kira-kira
2- 2,5 cm bedanya, sedangkan pada anak-anak biasanya hampir sama tinggi. Arah
tuba ini dari ostium tympanica mengarah kedepan, medial dan bawah. Pada
dewasa biasanya berbentuk huruf S , dengan diameter lebih sempit dari pada
pada anak dan panjang nya pada dewasa bervariasi antara 31- 38 mm. Pada anak
disamping tuba lurus juga mempunyai diameter lebih luas sehingga memberikan
drainage cavum tympani yang baik. Tuba dibagi dalam dua bagian:
1.
Tuba eustachii pars osseous : terdapat di bagian lateral, mempunyai
ukuran panjang setengahnya dari bagian cartilagenous. Tuba ini selalu
terbuka dan makin dekat ke perbatasannya (isthmus) diameternya makin
sempit.
2.
Tuba eustachii pars cartilagenous : terdapat di bagian medial, mempunyai
dinding dari tulang rawan yang terbuka di bagian lateraldan diisi jaringan ikat
yang disebut lamina membranacea. Hal ini mengakibatkan tertutup
(merupakan rongga gepeng) pada saat istirahat, sedangkan pada saat
mengunyah, menelan, menguap dapt terbuka. Ostium pharyngeal tuba
terdapat pada suatu tonjolan tulang rawan accesorius yang disebut torus
tobarius. Di belakangnya terdapat suatu parit yang disebut fossa rossenmuller.
Di mana terdapat kadang-kadang kelenjar lymphoid, yang disebut Gerlach
tubal tonsil. Di atasnya tuba terdapat semikanal m.tensor tympani dan di
bagian medial inferiornya terdapat canalis caroticus. 1
Tuba eustachii mendapat vaskularisasi dari pembuluh-pembuluh cabang :
- a. maxilaris interna
- a. maxilaris externa / palatina ascenden
- a. pharyngeal descenden
Pembuluh darah balik/vena sejajar arterinya menuju ke pleksus venosus
pterygoideus.
Pembuluh
lymphenya
mengalir
ke
lymphonoduli
ostium
pharyngeal
sphenopalatina, N.V.
50%
diurus
serabut-serabut
ganglion
Gambar 6. Koklea
mempunyai
hubungan
dengan
faktor-faktor
herediter,
metabolisme,
arterosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor. Faktor resiko
yang dapat memperberat penurunan pendengaran pada presbikusis antara lain :
a) Usia dan jenis kelamin
Presbikusis rata-rata terjadi pada usia 60-65 tahun keatas. Pengaruh usia
terhadap gangguan pendengaran berbeda antara laki-laki dan perempuan. Lakilaki lebih banyak mengalami penurunan pendengaran pada frekuensi tinggi dan
hanya sedikit penurunan pada frekuensi rendah bila dibandingkan dengan
perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada ambang dengar frekuensi tinggi ini
disebabkan laki-laki umumnya lebih sering terpapar bising di tempat kerja
dibandingkan perempuan.
Sunghee et al. menyatakan bahwa perbedaan pengaruh jenis kelamin pada
presbikusis tidak seluruhnya disebabkan perubahan di koklea. Perempuan
memiliki bentuk daun dan liang telinga yang lebih kecil sehingga dapat
menimbulkan efek masking noise pada frekuensi rendah.
b) Hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat memperberat resistensi vaskuler
yang mengakibatkan disfungsi sel endotel pembuluh darah disertai peningkatan
viskositas darah, penurunan aliran darah kapiler dan transpor oksigen. Hal
tersebut mengakibatkan kerusakan sel-sel auditori sehingga proses transmisi
sinyal mengalami gangguan yang menimbulkan gangguan komunikasi. Kurang
pendengaran sensori neural dapat terjadi akibat insufisiensi mikrosirkuler
pembuluh darah seperti emboli, perdarahan, atau vasospasme.
c) Diabetes Melitus
Pada pasien dengan diabetes melitus (DM), glukosa yang terikat pada protein
dalam proses glikosilasi akan membentuk advanced glicosilation end product
(AGEP) yang tertimbun dalam jaringan dan mengurangi elastisitas dinding
Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising
yang diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat. Hal tersebut
dikarenakan paparan terus menerus dapat merusak sel-sel rambut koklea.
4. Patofisiologi
Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur koklea dan Nervus
vestibulocochlearis ( VIII ). Pada koklea perubahan yang mencolok ialah atrofi
dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ korti. Proses atrofi disertai
dengan perubahan vaskuler juga terjadi pada stria vaskularis. Selain itu terdapat
pula perubahan, berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan
saraf. Hal yang sama terjadi juga pada myelin akson saraf.2,3
Banyak penelitian menyelidiki penyebab dari ketulian ini mengidentifikasi 4
lokasi penuaan koklea dan membagi presbikusis menjadi 4 tipe berdasarkan lokasi
tersebut. Perubahan histologik ini berhubungan dengan gejala yang timbul dan
hasil pemeriksaan auditorik. Adapun keempat tipe dari prebikusis adalah sebagai
berikut :
4.1 Presbikusis sensorik
Tipe ini menunjukkan atrofi dari epitel disertai hilangnya sel-sel rambut dan
sel penyokong Organ Corti. Prosesnya berasal dari bagian basal koklea dan
perlahan-lahan menjalar ke daerah apeks. Perubahan ini berhubungan dengan
penurunan ambang frekuensi tinggi, yang dimulai setelah usia pertengahan.
Secara histologi, atrofi dapat terbatas hanya beberapa millimeter awal dari basal
koklea. Proses berjalan dengan lambat. Beberapa teori mengatakan perubahan ini
terjadi akibat akumulasi dari granul pigmen lipofusin.
4.2 Presbikusis Neural
Tipe ini memperlihatkan atrofi dari sel-sel saraf di koklea dan jalur saraf
pusat. Schuknecht memperkirakan adanya 2100 neuron yang hilang setiap
dekadenya ( dari totalnya sebanyak 35000 ). Hilangnya neuron ini dimulai pada
awal kehidupan dan mungkin diturunkan secara genetik. Efeknya tidak disadari
sampai seseorang berumur lanjut sebab gejala tidak akan timbul sampai 90 %
neuron akhirnya hilang. Atrofi terjadi mulai dari koklea, dengan bagian basilarnya
sedikit lebih banyak terkena dibanding sisa dari bagian koklea lainnya. Tetapi,
tidak didapati adanya penurunan ambang terhadap frekuensi tinggi bunyi.
Keparahan tipe ini menyebabkan penurunan diskriminasi kata-kata yang secara
klinik berhubungan dengan presbikusis neural dan dapat dijumpai sebelum
terjadinya gangguan pendengaran.
4.3 Presbikusis Metabolik
Kondisi ini dihasilkan dari atrofi stria vaskularis. Stria vaskularis normalnya
berfungsi menjaga keseimbangan bioelektrik dan kimiawi dan juga keseimbangan
metaboliK dari koklea. Atrofi dari stria ini menyebabkan hilangnya pendengaran
yang direpresentasikan melalui kurva pendengaran yang mendatar ( flat ) sebab
seluruh koklea terpengaruh. Diskriminasi kata-kata dijumpai. Proses ini
berlangsung pada seseorang yang berusia 30-60 tahun. Berkembang dengan
lambat dan mungkin bersifat familial.
4.4 Presbikusis Mekanik ( presbikusis konduktif koklear )
Kondisi ini disebabkan oleh penebalan dan kekakuan sekunder dari membran
basilaris koklea. Terjadi perubahan gerakan mekanik dari duktus koklearis dan
5. Penegakan Diagnosis
Gejala gangguan pendengaran pada usia lanjut pertama kali adalah kesulitan
untuk mengerti percakapan. Lama-kelamaan kemampuan untuk menentukan jenis
dan arah suara akan berkurang. Kehilangan sensitivitas dimulai dari frekuensi
tinggi, sehingga menimbulkan kesulitan untuk mengerti percakapan pada
lingkungan bising (cocktail party deafness). Penurunan yang progresif terlihal
pada frekuensi 24 kHz. Frekuensi ini sangat penting untuk dapat mengerti vokal
konsonan. Kadang-kadang disertai dengan tinitus yaitu persepsi munculnya suara
baik di telinga atau di kepala.
Gejala penurunan ketajaman pendengaran pada usia lanjut, bersifat
sensorineural, simetris bilateral dan progresif lambat.
Pada pemeriksaan fisik pada penderita biasanya normal setelah pengambilan
serumen yang merupakan problem pada penderita usia lanjut dan penyebab
kurang pendengaran terbanyak.
a) Pada pemeriksaan otoskopi, tampak membran timpani normal atau bisa juga
suram, dengan mobilitas yang berkurang.
b) Tes penala
Uji Rinne
Uji rinne membandingkan hantaran tulang dan hantaran udara pendengaran
pasien. Rinne positif bila pasien masih mendengar penala melalui hantaran udara,
setelah penala tidak terdengar melalui hantaran tulang (HU>HT). Rinne negatif
bila pasien tidak dapat mendengar melalui hantaran udara setelah penala tidak lagi
terdengar melalui hantaran tulang (HU<HT). Interpretasi uji rinne :
as
ta
il
tu
us
ji
Ri
en
de
ne
n
ga
ra
n
N
Ti
os
or
da
iti
al
ad
at
au
at
ga
au
lo
us
ua
se
kl
ns
ea
or
ri
in
eu
ra
re
tr
o
k
o
kl
ea
ri
s
T
eg
an
el
at
in
if
ga
ua
lu
ar
<
at
au
te
ga
kt
if
Uji Weber
Interpretasi :
-
Jika nada terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih buruk, maka tuli konduktif
Status
Lokus
Uji
Pende
Schw
ngara
abach
Norm
n
Norm
Tidak
al
Mem
al
Tuli
ada
Teling
anjan
Kond
a luar
uktif
dan/at
au
tenga
Mem
Tuli
h
Kokle
ende
Senso
aris
rineur
dan/at
al
au
retrok
oklear
is
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Audiometri murni
Pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan adalah pemeriksaan
audiometri nada murni. Pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan
suatu tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan simetris. Pemeriksaan
audiometri nada murni ditemukan perurunan ambang dengar nada murni
yang menunjukkan gambaran tuli sensorineural. Pada tahap awal terdapat
penurunan yang tajam (sloping) setelah frekuensi 1000 Hz. Gambaran ini
khas pada gangguan pendengaran jenis sensorik dan neural. Kedua jenis
ini paling sering ditemukan.
Garis ambang dengar pada audiogram jenis metabolik dan mekanik
lebih mendatar, kemudian pada tahap berikutnya berangsur-angsur terjadi
penurunan. Semua jenis presbikusis tahap lanjut juga terjadi penurunan
pada frekuensi yang lebih rendah.
b. Audiometri tutur
Menunjukkan
adanya
gangguan
diskriminasi
wicara
(speech
discriminatin) dan biasanya keadaan ini jelas terlihat pada presbikusis jenis
neural dan koklear.
Pada pemeriksaan audiometri tutur pasien diminta untuk mengulang kata
yang didengar melalui kasettape recorder. Pada tuli persepti koklea, pasien
normal
75-90%
tuli ringan
60-75%
tuli sedang
50-60%
<50%
tuli berat
utama
dari
presbikusis
adalah
penurunan
pendengaran
bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu lama merupakan
penyebab terjadinya NIHL. Secara umum bising merupakan bunyi yang tidak
diinginkan. Secara audiologik bising adalah campuran bunyi nada murni dengan
berbagai frekuensi. Bising yang intensitasnya 85 dB dapat mengakibatkan
kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam.
Faktor Risiko
-
Patofisiologi
Pajanan bising dapat menimbulkan kerusakan di telinga dalam. Lesi yang
ditimbulkan bervariasi dari disosiasi organ Corti, ruptur membran, perubahan
stereosilia dan organel subseluler. Bising juga dapat menimbulkan efek pada sel
ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Akibat
pajanan bising tersebut kerusakan yang terjadi bersifat ireversibel sehingga dapat
menyebabkan gangguan pendengaran yang semakin lama semakin memberat dan
tidak dapat kembali menjadi normal.
Gejala Klinik
Gejala utama pada NIHL adalah gangguan pendengaran dapat disertai tinitus.
Apabila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan
kekerasan biasa dan sudah lebih berat percakapan yang keraspun sukar
dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat
menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara, dan
peningkatan ambang dengar menetap.
a. Reaksi adaptasi
Reaksi adaptasi merupakan respon kelelahan akibat rangsangan oleh
bunyi dengan intensitas 70 dB SPL . Keadaan ini merupakan
fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.
b. Peningkatan ambang dengar sementara
Peningkatan ambang dengar sementara merupakan
keadaan
Prognosis
Berdasarkan jenis gangguan pendengaran akibat terpapar bising adalah gangguan
dengar sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati
dengan obat maupun pembedahan maka prognosisnya kurang baik.
Pencegahan
Bising dengan intesitas 85 dB dalam waktu tertentu dapat mengakibatkan
gangguan pendengaran, oleh karena itu bising lingkungan kerja harus diusahakan
85 dB. Hal-hal yang dapat dilakukan dengan cara meredam sumber bunyi atau
menggunakan alat pelindung bising sepertu sumbat telinga, tutup telinga dan
pelindung kepala.
Biasanya pasien datang karena terdapat obstruksi atau infeksi fistula, sehingga
terjadi pyoderma atau selulitis fasial infeksi akut diatasi dengan pemberian
antibiotik dan bila sudah terbentuk abses, dilakukan insisi untuk drainase abses.
B. Mikrotia dan Atresia Liang Telinga
Pada mikrotia daun telinga bentuknya lebih kecil dan tidak sempurna. Kelainan
bentuk ini sering kali disertai dengan tidak terbentuknya (atresia) liang telinga
dan kelainan tulang pendengaran.
Namun kelainan ini jarang disertai dengan kelainan telinga dalam, karena
perkembangannya berbeda. Kejadian laki-laki lebih sering dibandingkan
perempuan. Angka kejadian 1 : 7000 kelahiran. Lebih sering terjadi pada
telinga kanan. Kejadian pada telinga banding unilateral ialah 3 : 1. Bila
ditemukan mikrotia yang bilateral, pikirkan kemungkinan adanya sindroma
kraniofasial (Sindroma Treacher Collins, Sindroma Nager)
Penyebab kelainan ini belum diketahui dengan jelas. Diduga faktor genetic,
indeksi visru, intoksikasi bahan kimia dan obat teratogenic pada kehamilan
muda adalah penyebabnya.
Diagnosis mikrotia dan atresia telinga kongenital dapat ditegakkan dengan
hanya elihat bentuk daun telinga yang tidak sempurna dan liang telinga yang
atresia. Biasanya semakin tudak sempurna bentuk daun telinga dapat menjadi
petunjuk buruknya keadaan di telinga tengah.
bilateral,
untuk
mencegah
terlambatnya
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat
terjadinya gangguan pendengaran yaitu paad masa prenatal, perinatal, dan
postnatal. Namun saat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai masa prenatal.
Pada masa prenatal, dapat disebabkan oleh kelainan genetic herediter dan non
genetic herediter. Pada kelainan non genetic seperti gangguan atau kelainan pada
masa kehamilan, kelainan struktur anatomic, dan kekurangan gizi (misalnya
defisiensi iodium)
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama,
sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat
menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil
seperti toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpers dan sifilis (TORCHS)
dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan.
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenic berpotensi mengganggu proses
organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin,
dihidrostrptomisin, gentamisin, barbiturate, thalidomide, dan lainnya. Selain itu
malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea
juga dapat menyebabkan ketulian.
TULI MENDADAK
Tuli mendadak (sudden deafness) ialah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis
ketuliannya sensorineural dan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui,
biasanya terjadi pada satu telinga.
Penyebab terjadinya tuli mendadak antara lain oleh iskemia koklea, infeksi virus,
trauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan tekanan atmosfir, autoimun,
obat ototoksik, penyakit meniere dan neuroma akustik.
Gejala timbulnya tuli pada iskemia koklea tidak jelas, kadang bersifat sementara
biasanya tidak berat dan tidak berlangsung lama. Tuli dapat unilateral atau
bilateral dapat disertai tinnitus dan vertigo. Pada infeksi virus, timbul tuli
mendadak biasanya pada satu telinga, dapat disertai pula tinitus dan vertigo. Pada
pemeriksaan klinis tidak terdapat kelainan telinga.
Pemeriksaan diagnostik untuk tuli mendadak;
1
2
3
4
5
OTOSKLEROSIS
Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami
spongiosis di daerah kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku dan tidak dapat
menghantarkan getaran suara ke labirin dengan baik. Manifestasi klinik baru
timbul bila penyakit sudah cukup luas mengenai ligamen anulus kaki stapes. Pada
awal penyakit akan timbul tuli konduktif dan dapat menjadi tuli campuran atau
tuli saraf bila penyakit telah menyebar ke koklea.
Etiologi
Penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan beberapa faktor ikut
sebagai penyebab seperti, faktor keturunan dan gangguan pendarahan pada stapes.
Epidemiologi
Insiden penyakit ini paling tinggi pada bangsa kulit putih, yaitu 8-10%.
Sedangkan pada bangsa Jepang 1% dan 1% pada bangsa kulit hitam. Angka
insiden di Indonesia belum pernah dilaporkan, tetapi telah dibuktikan penyakit ini
ada pada hampir semua suku bangsa di Indonesia, termasuk warga keturunan
Cina, India, dan Arab. Perempuan lebih banyak terkena daripada laki-laki. Umur
pasien antara 11-45 tahun.
Gejala dan tanda klinik
Pendengaran terasa berkurang secara progresif. Keluhan lain yang paling sering
adalah tinitus dan kadang vertigo. Penyakit ini lebih sering terjadi bilateral. Pasien
biasanya merasa pendengaran terdengar lebih baik dalam ruangan bising
Gejala
Gejala utama ototoksisitas, yaitu tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo.
Tinitus biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun, dan
sering kali mendahului serta lebih mengganggu dari pada tulinya sendiri. Tinitus
yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar
antara 4 kHz sampai 6 kHz. Pada kerusakan yang menetap, tinnitus lama
kelamaan tidak begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang.
Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa menit setelah
penyuntikan intravena. Tuli akut yang diakibatkan oleh loop diuretics dapat pulih
dengan menghentikan obat segera. Penggunaan salisilat dan kina dapat
menyebabkan tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel. Tuli ringan pernah
degenerative ini terjadi dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga
akhirnya sampai ke bagian apeks.
3. Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya
degenerasi dari sel epitel sensori.
Berikut mekanisme gangguan pendengaran berdasarkan jenis obat ototoksik:
1. Aminoglikosida
Tuli yang terjadi bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan
kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli
unilateral dan dapat disertai gangguan vestibular. Contoh obat golongan
aminoglikosida, yaitu streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin,
amikasin, sisomisin dan netilmisin. Netilmisin dan sisomisin memiliki efek
ototoksisitas yang lebih kecil dibanding dengan aminoglikosida lain. Sedangkan
penggunaan streptomisin memerlukan perhatian lebih, dikarenakan sampai saat ini
streptomisin masih digunakan sebagai terapi anti-tuberkulosis kategori II dan
diberikan pada jangka waktu tertentu dan tidak boleh terputus. Streptomisin dapat
menyebabkan tinitus atau rasa penuh pada telinga, dan gangguan keseimbangan.
2. Eritromisin
Gejala pemberian eritromisin intravena pada telinga adalah kurang
pendengaran, subjektif tinitus yang meniup, dan kadang-kadang disertai vertigo.
Pernah dilaporkan terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinnitus
setelah pemberian intravena dosis tinggi atau oral. Biasanya gangguan
pendengaran dapat pulih setelah pengobatan dihentikan.
Antibiotika seperti vankomisin, viomisin, capreomisin, dan minosiklin dapat
mengakibatkan ototoksisitas apabila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi
ginjalnya.
3. Loop diuretics
Loop diuretics atau diuretik kuat, seperti ethycrynic acid, furosemide, dan
bumetanide dapat menghambat reabsorpsi elektrolit-elektrolit dan air pada cabang
score.
Bila
tuli
ringan,
penghentian
pengobatan
dapat
Tuli akibat obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila waktu pemberian obatobat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam, maka penggunaan obat
tersebut harus segera dihentikan. Apabila tuli sudah terjadi dapat dicoba dengan
melakukan rehabilitasi, antara lain dengan alat bantu dengar (ABD), psikoterapi,
auditory training, termasuk cara menggunakan sisa pendengaran dengan alat
bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat.
Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implant
koklea (cochlear implant).
Pencegahan
Tuli akibat obat ototoksik tidak ada pengobatannya. Oleh karena itu dalam
pencegahan yang perlu dilakukan, seperti mempertimbangkan penggunaan obatobat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini
dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul, seperti
tinitus, kurang pendengaran, dan vertigo. Pasien yang menunjukkan gejala-gejala
tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatan.
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, lamanya
pengobatan, dan kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik,
malah mungkin buruk.
akan tereksitasi. Jika gerakan dalam arah yang berlawanan sehingga stereosilia
menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan terinhibisi.
Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada rotasi
sel-sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak lurus satu
dengan yang lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga terletak hampir
satu bidang yang sama dengan kanalis telinga satunya. Pada waktu rotasi, salah
satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi sementara yang satunya akan
terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan terdapat percepatan
dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan, maka serabut-serabut
aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi, sementara serabut-serabut
yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang vertikal misalnya rotasi
kedepan, maka kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi akan tereksitasi,
sementara kanalis posterior akan terinhibisi.
Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang hampir
horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal. Berbeda
dengan sel rambut kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut pada organ
otolit tidak semuanya sama. Pada makula utrikulus, kinosilium terletak di bagian
samping sel rambut yang terdekat dengan daerah sentral yaitu striola. Maka pada
saat kepala miring atau mengalami percepatan linier, sebagian serabut aferen akan
tereksitasi sementara yang lainnya terinhibisi. Dengan adanya polarisasi yang
berbeda dari tiap makula, maka SSP mendapat informasi tentang gerak linier
dalam tiga dimensi, walaupun sesungguhnya hanya ada dua makula.
Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit dari BPPV sangat bervariasi. Pada sebagian besar kasus
gangguan menghilang secara spontan dalam kurun waktu beberapa minggu,
namun dapat kambuh setelah beberapa waktu, bulan atau tahun kemudian. Ada
pula penderita yang hanya satu kali mengalaminya. Sesekali dijumpai penderita
yang kepekaannya terhadap vertigo posisional berlangsung lama.
Serangan vertigo umumnya berlangsung singkat, kurang dari 1 menit. Namun,
bila ditanyakan kepada penderita, mereka menaksirnya lebih lama sampai
beberapa menit. Bila serangan vertigo datang bertubi-tubi, hal ini mengakibatkan
penderitanya merasakan kepalanya menjadi terasa ringan, merasa tidak stabil, atau
rasa mengambang yang menetap selama beberapa jam atau hari.
BPPV sering dijumpai pada kelompok usia menengah yaitu pada usia 40-an dan
50-an tahun. Wanita agak lebih sering daripada pria. BPPV jarang dijumpai pada
anak atau orang yang sangat tua. Nistagmus kadang dapat disaksikan waktu
terjadinya BPPV dan biasanya bersifat torsional (rotatoar).
Patofisiologi
Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis semisirkularis
tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain. Pada pangkal
setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni ampula. Di
dalam ampula terdapat kupula, yakni alat untuk mendeteksi gerakan cairan dalam
kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala. Sebagai contoh, bila seseorang
menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka cairan dalam kanalis semisirkularis
kanan akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami defleksi ke arah ampula.
Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak sehingga timbul
sensasi kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam kanalis
semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi kupula ke
arah sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan
sinyal yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga timbul sensasi
berupa vertigo.
Otokonia adalah kristal kalsium karbonat yang merupakan bagian struktur dari
utrikulus. Apabila utrikulus mengalami kerusakan oleh trauma kepala, infeksi,
atau suatu proses degenerasi maka otokonia ini dapat terlepas kadalam kanalis
semi sirkularis posterior atau menempel pada kupula yang dapat menimbulkan
vertigo.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan patofisiologi BPPV, yakni teori kupulolitiasis
dan kanalolitiasis.
Teori Kupulolitiasis
Pada
tahun
1962,
untuk tetap dipertahankan pada posisi netral. Tiang tersebut akan lebih mengarah
ke sisi benda yang melekat. Oleh karena itu kupula sulit untuk kembali ke posisi
netral. Akibatnya timbul nistagmus dan pening (dizziness).
Teori Kanalitiasis
Teori ini dikemukakan olleh Epley pada tahun 1980. Menurutnya gejala BPPV
disebabkan oleh adanya partikel yang bebas bergerak (canalith) di dalam kanalis
semisirkularis. Misalnya terdapat kanalit pada kanalis semisirkularis posterior.
Bila kepala dalam posisi duduk tegak, maka kanalit terletak pada posisi terendah
dalam kanalis semisirkularis posterior. Ketika kepala direbahkan hingga posisi
supinasi, terjadi perubahan posisi sejauh 90. Setelah beberapa saat, gravitasi
menarik kanalit hingga posisi terendah. Hal ini menyebabkan endolimfa dalam
kanalis semisirkularis menjauhi ampula sehingga terjadi defleksi kupula. Defleksi
kupula ini menyebabkan terjadinya nistagmus. Bila posisi kepala dikembalikan ke
awal, maka terjadi gerakan sebaliknya dan timbul pula nistagmus pada arah yang
berlawanan.
Teori ini lebih menjelaskan adanya masa laten antara perubahan posisi kepala
dengan timbulnya nistagmus. Parnes dan McClure pada tahun 1991 memperkuat
teori ini dengan menemukan adanya partikel bebas dalam kanalis semisirkularis
poster. Saat melakukan operasi kanalis tersebut.
Bila terjadi trauma pada bagian kepala, misalnya, setelah benturan keras, otokonia
yang terdapat pda utikulus dan sakulus terlepas. Otokonia yang terlepas ini
kemudian memasuki kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Adanya kanalit
Merupakan pemeriksaan klinis standar untuk pasien BPPV. Perasat DixHallpike secara garis besar terdiri dari dua gerakan yaitu perasat Dix-Hallpike
kanan pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan dan perasat DixHallpike kiri pada bidang posterior kiri. Untuk melakukan perasat Dix-Hallpike
kanan, pasien duduk tegak pada meja pemeriksaan dengan kepala menoleh 45 0 ke
kanan. Dengan cepat pasien dibaringkan dengan kepala tetap miring 45 0 ke kanan
sampai kepala pasien menggantung 20-300 pada ujung meja pemeriksaan, tunggu
40 detik sampai respon abnormal timbul. Penilaian respon pada monitor dilakukan
selama 1 menit atau sampai respon menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan
ini dapat langsung dilanjutkan dengan canalith repositioning treatment (CRT).
Bila tidak ditemukan respon yang abnormal atau bila perasat tersebut tidak diikuti
dengan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukkan kembali. Lanjutkan
pemeriksaan dengan perasat Dix-Hallpike kiri dengan kepala pasien dihadapkan
450 ke kiri, tunggu maksimal 40 detik sampai respon abnormal hilang. Bila
ditemukan adanya respon abnormal, dapat dilanjutkan dengan CRT, bila tidak
ditemukan respon abnormal atau bila tidak dilanjutkan dengan tindakan CRT,
pasien secara perlahan-lahan didudukkan kembali.
2. Perasat Sidelying
Terdiri dari dua gerakan yaitu perasat sidelying kanan yang menempatkan
kepala pada posisi di mana kanalis anterior kiri/kanalis posterior kanan pada
bidang tegak lurus garis horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling
bawah, dan perasat sidelying kiri yang menempatkan kepala pada posisi dimana
kanalis anterior kanan dan kanalis posterior kiri pada bidang tegak lurus garis
horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah.
Pasien duduk pada meja pemeriksaan dengan kaki menggantung di tepi
meja , kepala ditegakkan ke sisi kanan, tunggu 40 detik sampai timbul respon
abnormal. Pasien kembali ke posisi duduk untuk untuk dilakukan perasat
sidelying kiri, pasien secara cepat dijatuhkan ke sisi kiri dengan kepala ditolehkan
450 ke kanan. Tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.
Respon Abnormal
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke
belakang, nmun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada
pasien VPPJ setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbul lambat, 40
detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari 1 menit jika penyebabnya
kanalitiasis, pada kupololitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari 1 menit,
biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.
Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat dengan mencatat arah
fase cepat nistagmus yang abnormal dengan mata pasien menatap lurus ke depan.
Fase cepat ke atas, berputar ke kiri menunjukkan VPPJ pada kanalis posterior
kiri
kepala menoleh 450 kekiri. Pertahankan penderita dalam posisi ini selama 1 menit
dan perlahan-lahan kembali keposisi duduk. Penopang leher kemudian dikenakan
dan diberi instruksi yang sama dengan pasien yang diterapi dengan CRT.
Bila kanal anterior kanan yang terlibat, perasat yang dilakukan sama , namun
kepala diputar menghadap kekanan. Bila kanal posterior kiri yang terlibat, perasat
liberatory kiri harus dilakukan (pertama pasien bergerak ke posisi sidelying kiri
kemudian posisi sidelying kanan) dengan kepala menghadap ke kanan. Bila kanal
anterior kiri yang terlibat, perasat liberatory kiri dilakukan dengan kepala diputar
menghadap ke kiri.
Latihan Brandt Daroff merupakan latihan yang dilakukan di rumah oleh pasien
sendiri tanpa bantuan terapis. Pasien melakukan gerakan-gerakan posisi duduk
dengan kepala menoleh 450 , lalu badan dibaringkan ke sisi yang berlawanan.
Posisi ini dipertahankan selama 30 detik. Selanjutnya pasien kembali ke posisi
duduk 30 detik. Setelah itu pasien menolehkan kepalanya 45 0 ke sisi yang lain,
lalu badan dibaringkan ke sisi yang berlawanan selama 30 detik. Latihan ini
dilakukan secara rutin 10-20 kali. 3 seri dalam sehari.
Tindakan bedah hanya dilakukan bila prosedur reposisi kanalit gagal dilakukan.
Terapi ini bukan terapi utama karena terdapat risiko besar terjadinya komplikasi
berupa gangguan pendengaran dan kerusakan nervus fasialis. Tindakan yang dapat
dilakukan berupa oklusi kanalis semisirkularis posterior, pemotongan nervus
vestibuler dan pemberian aminoglikosida transtimpanik.
Sea sickness
Car sickness
Simulation sickness
Air sickness
Space sickness
Gejala dan tanda orang yang terkena motion sickness antara lain:
Nausea / vomitus
Pucat
Keringat dingin
Dizziness
Sefalgia
Hipersalivasi
Kelelahan
Hindari membaca saat dalam perjalanan, dan tidak duduk di kursi yang
menghadap ke belakang.
Berada dalam posisi dimana mata selalu melihat gerakan yang sama
dengan yang dirasakan tubuh dan telinga.
Fokus pada objek yang jauh atau mata tertutup, bukan membaca atau
melihat sesuatu di dalam kendaraan; meminimalkan gerakan kepala, dan
jika perlu, tidur terlentang.
PENYAKIT MENIERE
Penyakit ini ditemukan oleh Meniere pada tahun 1861, dan dia yakin
bahwa penyakit ini berada dalam telinga, sedangkan pada waktu itu para ahli
banyak menduga bahwa penyakit itu berada pada otak. Pendapat Meniere
dibuktikan oleh Hallpike dan Cairn tahun 1938, dengan ditemukannya hidrops
endolimfa, setelah memeriksa tulang temporal pasien Meniere.
Patofisiologi
Gejala klinis penyakit Meniere disebabkan oleh adanya hidrops endolimfa
pada koklea dan vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan hilang timbul
diduga disebabkan oleh:
1.
2.
3.
4.
Meniere. Dalam hal yang meragukan kita dapat membuktikan adanya hidrops
dengan tes gliserin. Selain itu tes gliserin ini berguna untuk menentukan prognosis
tindakan operatif pada pembukaan shunt. Bila terdapat hidrops, maka operasi
diduga akan berhasil dengan baik.
Pengobatan
Pada saat datang biasanya diberikan obat-obat simtimatik, seperti sedatif,
dan bila diperlukan dapat diberikan anti muntah. Bila diagnosis telah ditemukan,
pengobatan yang paling baik adalah sesuai dengan penyebabnya.
Khusus untuk penyakit Meniere, diberikan obat-obat vasodilator perifer
untuk mengurangi tekanan hidrops endolimfa. Dapat pula tekanan endolimfa ini
disalurkan ke tempat lain dengan cara operasi, yaitu dengan membuat shunt.
Obat-obat antiskemia, dapat pula diberikan sebagai obat alternatif dan juga
diberikan obat neurotonik untuk menguatkan sarafnya.
Pengobatan yang khusus untuk nystagmus posisi paroksismal tipe jinak
(VPPJ) yang diduga penyebabnya adalah kotoran (debris), yaitu sisa-sisa utrikulus
yang terlepas dan menempel pada kupula kss posterior atau terapung dalam kanal.
Caranya ialah dengan menempelkan vibrator yang dapat menggetarkan kepala dan
menyebabkan kotoran itu terlepas dan hancur, sehingga tidak mengganggu lagi.
Pada pasien yang mempunyai vertigo disebabkan olehrangsangan
perputaran leher (vertigo servikal), ialah dengan traksi leher dan fisioterapi,
disamping latihan-latihan lain dalam rangka rehabilitasi.
pekerjaan
sehari-hari
misalnya
pilot,
pemain
sirkus
dan