Anda di halaman 1dari 31

KASUS UJIAN

SEORANG WANITA 29 TAHUN DENGAN FRACTURE


ZYGOMATICOMAXILLARY COMPLEX SINISTRA

Periode : 8-13 September 2014

Oleh:

Oleh:
Debora Marga Pangestika G 99141019

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar.,SpB.,SpBP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : Nn. ER
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan toko
Alamat : Gondangan Wetan, Nusukan, Surakarta
Tanggal Masuk : 9 Desember 2014
Tanggal Periksa : 10 Desember 2014
Status Pembayaran : BPJS

II. Keluhan Utama


Nyeri di daerah wajah setelah KLL

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri pada wajah bagian kiri. Kira-kira 8
jam SMRS pasien mengalami kecelakaan tunggal di mana pasien terjatuh dari
motor yang dikendarainya sewaktu melewati jalan berlubang pada saat hujan.
Pasien jatuh dengan posisi badan miring sebelah kiri. Nyeri terasa senut-senut
dan dirasakan terus menerus. Pasien juga merasa sulit untuk membuka mulut
dengan lebar. Pada wajah sebelah kiri terdapat luka lecet dan dirasakan sangat
perih.
Pasien saat berkendara tidak mengenakan helm. Pasien sempat tidak
sadarkan diri kemudian ditolong warga dan dibawa ke RS Brayat Minulya
Surakarta. Riwayat muntah dan kejang setelah kecelakaan (-). Di RS tersebut
pasien dibersihkan lukanya dan dilakukan medikasi. Pasien juga telah sadar
kembali. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi untuk mendapat
penanganan lebih lanjut.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : (+) kulih kemerahan dan gatal bila udara
dingin
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
Riwayat mondok sebelumnya : disangkal

V. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : spontan, frekuensi pernafasan 20 x/menit
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
c. Circulation : tekanan darah 90/70 mmHg, nadi 86/menit, CRT<2 detik
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/
3mm), lateralisasi (-/-)
e. Exposure : suhu 36,5C, Jejas (+) lihat status lokalis

II. Secondary Survey


a. Keadaan umum : compos mentis, pasien tampak kesakitan, gizi kesan
baik.
b. Kepala : mesocephal, jejas (+) di regio supraorbita sinistra,
infraorbita dextra, dan zygomatica sinistra.
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom
periorbita (-/+), diplopia (-/-).
d. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-),
nyeri tragus (-/+).
e. Hidung : bloody rhinorrhea (-/-)
f. Mulut : maloklusi (+) open late, gusi berdarah (-), lidah kotor
(-), jejas (-), gigi goyang (-), gigi tanggal (-)
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-),
nyeri tekan (-), JVP tidak meningkat.
h. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-).
i. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis teraba, tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising
(-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan tertinggal dari kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan kurang dari kiri, nyeri tekan
(-/-).
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)
l. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri
BAK (-).
m. Muskuloskletal : jejas (-), nyeri (-)
n. Ekstremitas
Akral dingin Oedema

- - - -

- - - -

Vulnus excoriatum 1 cm di bawah articulation genu sinistra ukuran 3 cm x


0,3 cm x 0,1 cm, dan di dorsum pedis sinistra ukuran 3,5 cm x 0,5 cm x 0,5
cm.

III. Status Lokalis


a. Regio Supraorbita sinistra
Inspeksi : oedem (+), tampak vulnus excoriatum ukuran 1 cm x 1 cm x
0,5 cm, hematom (+)
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-)
b. Regio Infraorbita sinistra
Inspeksi : oedem (+), tampak vulnus excoriatum ukuran 0,5 cm x 1 cm
x 0,5 cm, hematom (+)
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-), hipoesthesi (-)
c. Regio Zygomatica sinistra
Inspeksi : oedem (+/-), tampak vulnus excoriatum ukuran 3 cm x 3 cm x
0,5 cm
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (+), hipoesthesi (-)

C. ASSESMENT 1
Suspek fraktur zygomaticomaxillary complex sinistra

D. PLANNING 1
1. Pemeriksaan darah rutin.
2. Foto Waters
3. Foto Panoramic
4. O2 3 lpm
5. Pasang infus NaCl 0,9% 20tpm
6. Injeksi Ketorolac 30mg/8 jam.
7. Injeksi Ranitidine 50mg/8 jam.
8. Injeksi Ceftriaxone 2 gram/ 12 jam
9. Injeksi ATS 1500 IU

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (9 Desember 2014)
Hb : 14,0 g/dl
Hct : 40%
AE : 4,29 juta/uL
AL : 16,2 ribu/uL
AT : 365 ribu/uL
Gol Darah : O
PT : 12,6 detik
APTT : 25,9 detik
INR : 1.000
Na : 138 mmol/L
K : 4,1 mmo/L
Cl : 105 mmol/L

HbsAg : (-)

b. Hasil pemeriksaan Foto posisi Waters


Foto SPN Posisi Waters:
Sinus frontalis kanan kiri normal
Sinus maxillaris kanan kiri tertutup perselubungan
Sinus sphenoidalis kanan kiri normal
Mukosa cavum nasi dan conchae nasalis inferior dalam batas normal
Septum nasi di tengah
Tampak bayangan multiple radiopaque berbentuk bintang yang terproyeksi
di os frontal kanan kiri, region soft tissue zygomaticum kanan kiri
mengesankan corpal

Kesimpulan foto SPN Waters:


Hematosinus maxillaris bilateral dd sinusitis maxillaris bilateral

c. Foto Panoramic
Foto Panoramic:
Tampak garis fraktur dimos maxilla kanan kiri
Trabekulasi tulang di luar lesi normal
Condylus, ramus, angulus, dan corpus mandibular kanan kiri tak tampak
kelainan
Impacted 3.8, 4.8
Necrosis pulpa 4.6, 4.7
Sisa radix 3.7
Tak tampak unerupted, amalgam, missing
Tak tampak caries, cyste, granuloma
Tak tampak erosi/ destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass, swelling
Tak tampak bayangan radiopaque multiple berbentuk batang yang terproyeksi
di simfisis mandibular mengesankan korpal

Kesimpulan foto SPN Waters


Fraktur di os maxilla kanan kiri
Impacted 3.8, 4.8
Necrosis pulpa 4.6, 4.7
Sisa radix 3.7
Periodontitis 4.6
Sisa radix 3.7

F. ASSESMENT II
Fraktur Zigomaticomaxillary complex sinistra

G. PLANNING II
1. KUVS
2. Diet bubur 1900 kkal
3. Menjaga oral hygiene
4. Balance cairan
5. ORIF elektif

H. PROGNOSIS
a. Ad vitam : bonam
b. Ad sanam : bonam
c. Ad fungsionam : bonam
BAB II
JAWABAN UJIAN

1. ANAMNESIS
Anamnesis dapat dilakukan langsung dengan pasien (autoanamnesis) jika pasien
dalam keadaan sadar dan dapat diajak berkomunikasi atau dengan orang yang
melihat langsung kejadian yang dialami pasien. Dari anamnesis dapat ditanyakan
kronologis kejadian trauma, arah dan kekuatan dari trauma terhadap pasien
maupun saksi mata. Sifat, daya, dan arah hantaman cedera harus dicari tahu dari
pasien dan saksi-saksi yang ada. Dalam anamnesis pasien-pasien yang mengalami
trauma maksilofasial antara lain, yang harus ditanyakan antara lain:
a. Apakah penyebab pasien mengalami trauma?
Kecelakaan lalu lintas.
Trauma tumpul.
Trauma benda keras.
Kecelakaan olahraga.
Perkelahian.
Terjatuh
Dalam kasus ini pasien mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal.
b. Apabila terjatuh, bagaimana mekanisme injuri yang terjadi? Bagaimana posisi
pasien saat terjatuh ?
Dalam kasus ini pasien ketika jatuh miring ke posisi kiri. Sisi tubuh kiri
mengenai aspal. Terdapat vulnus excoriatum pada pergelangan kaki, lutut, dan
wajah sisi kiri.
c. Apakah pasien dalam keadaan mabuk saat mengendarai kendaraan ? Apakah
pasien memakai pelindung kepala saat mengalami trauma tersebut ?
Pasien tidak mengenakan helm.
d. Dimana kejadiannya? Sudah berapa lama pasien mengalami kejadian tersebut?
Kronologi kejadian sejak 8 jam SMRS di rel kereta api dekat stasiun Balapan.
e. Apakah setelah mengalami kecelakaan pasien tidak sadar? Jika tidak sadar,
berapa lama pasien mengalami penurunan kesadaran?
Pasien sempat tidak sadarkan diri pasca kecelakaan. Kemudian pasien dibawa
ke RS Brayat Minulya, ketika sampai di sana dan diberi pertolongan pertama,
pasien mulai sadarkan diri.
f. Apakah pasien muntah dan kejang setelah kejadian?
Tidak ada muntah dan kejang pasca kecelakaan
g. Pertolongan apa saja yang sudah diberikan kepada pasien?
Pada vulnus excoriatum pasien terlah dibersihkan dan dilakukan medikasi.
Pasien juga diberi oksigen 2 lpm via nasal kanul, infus NaCl 0,9% 20 tpm,
injeksi analgetik Ketorolac 30mg/8 jam, injeksi Ranitidine 50mg/8 jam, injeksi
Ceftriaxone 2 gram/ 12 jam, injeksi ATS 1500 IU

Pasien dengan fraktur kompleks zygomatik dapat mengeluh nyeri, odem


periorbital, dan ekimosis. Mungkin ada paresthesia atau anesthesia diatas pipi,
hidung lateral, bibir atas, dan gigi anterior maksila yang dihasilkan dari cedera
zygomaticotemporal atau nervus infraorbital.Hal ini terjadi pada 18 hingga 83%
dari seluruh pasien dengan trauma zygomatik. Ketika arcus bergeser kearah
medial, pasien mungkin mengeluh trismus. Epistaksis dan diplopia mungkin
dapat terjadi pada pasien dengan fraktur ZMC.
Pada pasien ini hanya ada keluhan nyeri senut-senut pada wajah kiri bagian
pipi. Epistaxis (-), diplopia (-), trismus (-).

2. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dari
arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan kesimetrisan dan
ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita
dan aspek lateral orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva,
abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala
yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya.

a. Inspeksi secara urut dari atas ke bawah:


Deformitas, memar, abrasi, laserasi, dan edema.
Luka tembus.
Daerah muka simetri atau tidak.
Adakah malar emminance.
Adanya maloklusi atau trismus, dan pertumbuhan gigi abnormal.
Ottorhea dan Rhinorrhea.
Telecanthus, Battles Sign, Racoons Sign, dan hematom periorbita.
Cedera kelopak mata.
Ecchymosis dan epitaksis.
Ekspresi wajah yang kesakitan atau cemas.
b. Palpasi untuk mengetahui kelainan pada tulang dan jaringan pada wajah.
Palpasi untuk kelainan tulang supraorbital dan tulang frontal.
Palpasi hidung untuk meraba adanya septum deviasi, pelebaran jembatan
hidung, meraba permukaan mukosa, dan krepitasi.
Palpasi zygoma sepanjang lengkung serta artikulasi dengan tulang frontal,
tulang temporal, dan tulang maksila.
Perkusi didaerah tragus untuk mengetahui adakah tragus pain.
Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan palatum kemudian
mendorongnya maju mundur dan naik turun. Nilai apakah terdapat
floating maksila atau hanya maksila goyang.
Palpasi gigi untuk meraba adakah gigi yang goyang.
Palpasi rahang bawah untuk memeriksa nyeri dan bengkak.
Palpasi sepanjang supraorbital dan infraorbital untuk melihat adakah
hyperesthesia atau anesthesia.

3. DIAGNOSIS DAN DIFFERENSIAL DIAGNOSIS


Diagnosis pada pasien di atas adalah suspect fraktur ZMC (D). Diagnosis
banding terdiri dari semua patah tulang wajah, lecet jaringan lunak, memar, dan
lecet. Pemeriksa harus berhati-hati untuk tidak berhenti pada evaluasi hanya
karena satu patah tulang atau cedera dicatat. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa sebanyak 30% dari pasien memiliki dua atau lebih patah tulang atau
cedera
a. Fraktur nasoethmoidal
Jika dicurigai fraktur nasal dan bukti-bukti menunjukan keterlibatan
tulang ethmoidal, seperti rhinorea CSF atau pelebaran jembatan hidung
dengan telechantus, pemeriksaan rontgen biasa jarang digunakan. CT
scan koronal tulang wajah adalah pemeriksaan terbaik untuk menentukan
tingkat fraktur. Sebuah rekonstuksi 3-D dapat diperlukan dalam
membantu konsultan dalam operasi.
b. Fraktur Le Fort
Fraktur Le fort I : menunjukan pelebaran fraktur ke horizontal di
mandibula inferior, kadang kadang termasuk fraktur dari dinding
lateral sinus, memanjang ke tulang palatine dan pterygoid.
Fraktur Le fort II : pemeriksaan radiologis menunjukan gangguan
dari pelek orbital inferior lateral saluran orbital dan patah tulang dari
dinding medial orbital dan tulang nasal. Fraktur memperluas
posterior kedalam piring pterygoid.
Fraktur Le fort III : pemeriksaan radiologis menunjukan patah tulang
pada sutura zygomaticofrontal, zygoma, dinding medial orbita, dan
tulang hidung meluas ke posterior melalui orbita di sutura
pterygomaksilaris ke fossa sphenopalatina

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN PENILAIAN HASIL


PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan laboratorium untuk
menganalisa jumlah sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit, dan hemoglobin),
hematokrit, protrombin time, partial tromboplastin time, ion (natrium, klorida),
kreatinin, ureum, glukosa sewaktu, albumin, dan golongan darah.
Angka rujukan normal untuk hasil pemeriksaan di atas adalah:
Hb : 12-15 g/dL Natrium : 135-145 mEq/L
AE : 4,2-6,2. 103/L Kalium : 3,1-4,3 mEq/L
AL : 4-11.103/L Klorida : 95-105 mEq/L
AT : 150-350.103/L Kreatinin : 0,5-1,5 mg/dL
Hct : 38-51% GDS : < 200 mg/dL
PT : 11-14 detik Albumin : 3-5,5 g/dL
APTT : 20-40 detik
b. Pemeriksaan Radiologi
Diagnosa fraktur zygomatikum biasanya dibuat dengan pemeriksaan
riwayat dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada bidang aksial dan
koronal, adalah standar untuk seluruh pasien dengan dugaan (suspect) fraktur
zygomatik. Radiografi membantu untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi
medikolegal dan untuk menentukan perluasan cedera tulang.
1. Tomografi Komputasi
CT adalah standar emas untuk evaluasi radiografi fraktur
zygomatik.Gambaran aksial dan koronal didapat untuk menentukan pola
fraktur, derajat pergeseran, dan serpihan dan untuk mengevaluasi
jaringan lunak orbital. Secara spesifik, pemindaian CT memberikan
visualisasi dan dasar-dasar dari tengkorak wajah tengah: dasar-dasar
nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris, infraorbital, zygomaticofrontal,
zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Pandangan koronal
khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita. Jendela
jaringan lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi otot-
otot ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita
kedalam sinus maksilaris.
2. Foto polos kepala
Pemindaian CT (CT scan) telah banyak dilakukan untuk
pemeriksaan penunjang utama pada fraktur zygomaticomaxillaris
complex. Meskipun demikian, sebuah pengetahuan kerja fundamental
pada teknik ini diperlukan. Pada banyak ruang emergensi dan rumah
sakit, masih dilakukan foto polos pada semua pasien trauma.
Kemampuan untuk membaca dan interpretasi film-film untuk
menegakkan diagnosa dan merawat pasien-pasien ini menjadi penting.
a. Waters View
Foto SPN yang digunakan untuk evaluasi fraktur kompleks
zygomatik adalah Waters view. Ia adalah sebuah proyeksi
posteroanterior dengan kepala yang terposisi pada sudut 27 terhadap
vertikal dan dagu berada pada kaset (cassette). Hal ini
memproyeksikan piramida petrosa jauh dari sinus maksilaris,
memberikan visualisasi sinus-sinus, orbita lateral, dan lingkaran
infraorbita. Ketika hal ini dikombinasikan dengan sebuah Waters
view yang terangkat, sebuah pandangan stereografi dari fraktur dapat
terlihat. Pada pasien yang tidak mampu mengira-ngira posisi wajah
kebawah, proyeksi Waters view terbalik memberikan informasi yang
sama (Andrew P et al. 2009).
b. Caldwells View
Caldwells view adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan
wajah pada sudut 15o terhadap cassette. Penelitian ini membantu
dalam evaluasi rotasi (disekitar aksis horisontal) (Andrew P et al.
2009).
c. Submentovertex View
Submentovertex (jug-handle) view diarahkan dari daerah
submandibula ke vertex tengkorak. Dengan submentovertex view
dapat membantu dalam evaluasi arcus zygomatik dan proyeksi malar
(Andrew P et al. 2009).

5. RENCANA PENATALAKSANAAN
Pasien dalam kasus ini berada pada kondisi compos mentis. Airway tidak
ada sumbatan, breathing dan circulation dalam kondisi normal. Apabila pasien
tidak sadar perlu penanganan segera pada airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure. Airway dipertahankan dengan chin lift dan jaw trust,
sebelum hal tersebut dilakukan pasang cervical collar terlebih dahulu. Pastikan
jalan nafas terbebas dari hambatan. Tinjau kembali saluran nafas, jika intubasi
dengan rute oral sulit dilakukan maka lakukan cricotiroidektomi. Bila saluran
nafas telah bebas lakukan penilaian untuk breathing dilanjutkan dengan
circulation jika breathing pasien spontan.
Pada circulation lakukan pemeriksaan nadi. Bila nadi tidak teraba perlu
dilakukan RJPO dengan sistem CAB. Setelah RJPO berasil dan nadi kembali
berdenyut, periksa kembali nafasnya. Bila pasien belum bernafas berikan bantuan
nafas atau bagging sesuai pola nafas pasien. Pasien semula tidak sadarkan diri,
namun ketika dibawa ke RS Brayat dan diberi pertolongan pasien kembali sadar.
Ketika sampai di RSUD Dr Moewardi GCS G4V5M6. Setelah survey primer
selesai dan pasien terbebas dari kegawatdaruratan maka dilakukan survey
sekunder.
Secondary survey dilakukan dengan pemeriksaan head to toe. Pemeriksa
mencari kelainan pada pemeriksaan fisik mulai dari mata sampai kaki dan
memberikan penjabaran pada status lokalis trauma. Evaluasi semua fraktur yang
terdapat di maksilofasial, pada epistaksis dapat dilakukan tampon anterior. Rujuk
pasien ke bedah THT jika terdapat fraktur di daerah THT, dan bedah saraf jika
dicurigai terdapat perdarahan intracranial, subdural, maupun epidural. Pada
pasien ini didapatkan pemeriksaan tragus pain (+) yang mengindikasikan adanya
trauma pada meatus acusticus externus. Pasien perlu dikonsulkan ke bagian THT.
Untuk penanganan pertama pasien diberikan O2 2 liter per menit melalui
nasal kanul untuk memperlancar aliran oksigen ke otak. Pasien diberian infus
NaCl 0,9% 20 tpm untuk resusitasi cairannya. Pasien juga diberikan injeksi
Ketorolac 30 mg/8 jam sebagai aanlgetik, Ranitidine 50 mg/8jam sebagai
penanganan pada stress ulcer, injeksi Ceftriaxone 2 gram/12 jam sebagai
antibiotik broad spectrum karena adanya infeksi dari vulnus. Pasien juga
diberikan ATS untuk profilaksis tetanus dikarenakan ada luka terbuka.
Penanganan fraktur maxilla dan nassal bergantung pada tingkat
pergeseran dan resultan estetik dan defisit fungsional.Perawatan oleh karena itu
merentang dari observasi sederhana untuk penyembuhan bengkak, disfungsi otot
ekstraokuler, dan paresthesi untuk reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur
multipel.
6. EDUKASI, PENYULUHAN, DAN PENCEGAHAN SEKUNDER
Edukasi, penyuluhan, dan pencegahan sekunder yang dapat dilakukan
adalah dengan menyarankan agar menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
fraktur zygomaxillary complex, yaitu :
a. Menggunakan pengaman selama mengendarai kendaraan seperti helm dan
seat belt.
b. Berhati-hati dalam berkendara terutama pada malam hari dan kondisi hujan.
Hindari mengendarai kendaraan dalam kondisi mabuk.
Selain itu edukasi selama dirawat di RS yang dapat diberikan antara lain:
a. Pasien melakukan diet makanan secara bertahap, mulai dari diet cair, bubur,
sampai kembali mengonsumsi nasi. Pada fraktur zygomaticomaxillaris
complex, pasien akan merasakan nyeri pada bagian rahang dan tidak dapat
membuka mulut maksimal.
b. Pasien diminta untuk tetap menjaga oral hygiene dengan menyikat gigi
(apabila memungkinkan) atau setidaknya berkumur dengan larutan
pembersih mulut.
c. Penjelasan mengenai rencana operasi ataupun prosedur yang akan dilakukan
kepada pasien baik yang bersifat invasif maupun konservatif juga perlu
dilakukan. Selain itu selama perawatan pasien juga perlu diedukasi untuk
tetap menjaga kebersihan oral/ oral higiene dan untuk sementara
mengonsumsi diet lunak.
d. Penatalaksanaan lanjutan seperi ORIF elekif akan dilakukan oleh ahli bedah
plastik.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Fraktur zygomaticomaxillary complex (ZMC) memegang peranan penting


dalam struktur, fungsi, dan keindahan penampilan pada rangka wajah. ZMC
membentuk kontur pipi normal dan memisahkan isi rongga orbita dari fossa
temporal dan sinus maxilaris, juga mempunyai peranan dalam penglihatan dan
pengunyahan. Zygomatic arch adalah tempat insersio otot masseter serta melindungi
otot temporalis dan processus coronoid (Ascani G, 2014, Satish M. 2014).

Fig. 1.-Anatomy of the zygoma. 1-5, Temporal, frontal, maxillary, orbital, and
infraorbital processes of zygoma; 6. frontal bone; 7, maxillary bone; 8, temporal
bone; 9, greater wing of sphenoid bone; 10, zygomatic process of temporal bone; 11,
zygomatic temporal suture; 12, zygomatic process of maxilla; 13, zygomatic
maxillary suture; 14, orbital surface of maxilla; 15, infraorbital foramen (Fujioka et
al. 2013, Satish M. 2014).
ZMC terdiri dari 4 struktur pendukung (buttress), yaitu :
1. Zygomaticomaxillary buttress
2. Frontozygomatic buttress
3. Infraorbital buttress
4. Zygomatic arch buttress (Parashar et al. 2014, Rana M. et al. 2012)
ZMC mempunyai 4 perlekatan pada tengkorak, yaitu :
1. Sutura zygomaticofrontal (perlekatan daerah superior pada os frontale)
2. Sutura zygomaticomaxillary (perlekatan daerah medial pada maksila)
3. Sutura Zygomaticotemporal (perlekatan daerah lateral pada os temporal)
4. Sutura Zygomaticosphenoidal (perlekatan pada sayap terbesar os sphenoid)
(Parashar et al. 2014, Rana M. et al. 2012)
Fraktur ZMC juga dikenal sebagai fraktur tetrapod dan merupakan
merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya insiden dari fraktur
ZMC berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih menonjol dan berstruktur
konveks. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan
perempuan dan memuncak pada usia 20-30 tahun (Ascani G, 2014).

Etiologi
Penyebab dari fraktur ZMC yang paling sering adalah akibat benturan atau
pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi dikarenakan
kecelakaan kendaraan bermotor, perkelahian, atau cidera olahraga (Kamath RAD et
al. 2012).

Patofisiologi
Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas nervus
alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura
zigomatikotemporal, dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura
zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral orbita, sedangkan dinding medial
orbita tetap utuh (Yamamoto K et al. 2013, Thangavelu K et al. 2013).
Fig. 2.-A. Impingement of temporalprocess of zygoma on coronoid process of
mandible as result of depressed zygomatic complex fracture. B and C. Downward
displacement of frontal process of zygoma and its attached lateral palpebral ligament
with separation of zygomaticofrontal suture. Lateral canthus of eyelid and eyeball
are depressed. On upward gaze. involved eyeball remains fixed due to incarceration
of inferior rectus and inferior oblique muscles between bony fracture fragments of
orbital floor. D, Fractures of infraorbital process, floor of orbit, and lateral maxillary
sinus involving infraorbital canal, infraorbital foramen, and nerve (Yamamoto K et
al. 2013, Thangavelu K et al. 2013).

Diagnosis
Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang. Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi
kemungkinan adanya fraktur pada kompleks zigomatikus selain tanda-tanda klinis.
Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit dilakukan karena adanya penurunan
kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien yang dapat mengaburkan
pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif terhadap adanya
fraktur zigoma (Miscusi et al. 2013).
Dari anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan
kekuatan dari trauma terhadap pasien maupun saksi mata. Trauma dari arah lateral
sering mengakibatkan fraktur arkus zigoma terisolasi atau fraktur zigoma komplek
yang terdislokasi inferomedial. Trauma dari arah frontal sering mengakibatkan
fraktur yang terdislokasi posterior maupun inferior (Miscusi et al. 2013).
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dari
arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan ketinggian pupil
yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita dan aspek lateral
orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva, abnormal sensitivitas
nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala yang khas efek pergeseran
tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya (Pau CY et al. 2010).
Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan
prominen pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang
normal pada daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus.
Deformitas pada tepi orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada
tepi orbital lateral dan infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk dibawah
margin infraorbita, sepanjang zigoma, menekan ke dalam jaringan yang oedem
untuk palpasi secara simultan dan mengurangi efek visual dari oedem saat
melakukan pemeriksaan ini (Pau CY et al. 2010).
Gejala klinis yang paling sering ditemui adalah:
Keliling mata kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan pada kelopak
mata
Perdarahan subkonjungtiva
Proptosis (eksophtalmus)
Mungkin terjadi diplopia (penglihatan ganda), karena fraktur lantai dasar
orbita dengan penggeseran bola mata dan luka atau terjepitnya otot
ekstraokuler inferior
Mati rasa pada kulit yang diinervasi oleh n.infraorbitalis (Loxha MP et al.
2013, Yamamoto K et al. 2013).

Gambar. Pergeseran bola mata ke arah postero inferior (tanda panah) yang terjadi
setelah fraktur ZMC yang melibatkan rima orbitalis dan dasar orbita (enophtalmos)
Pemeriksaan radiografis terlihat adanya kabut dan opasitas di dalam sinus
maksilaris yang terkena. Pengamatan yang lebih cermat pada dinding lateral antrum
pada regio pendukung (buttres) (basis os zygomaticum) sering menunjukkan
diskontinuitas atau step. Pergeseran yang umumnya terjadi adalah inferomedial yang
mengakibatkan masuknya corpus zygoma ke dalam sinus maksilaris dan
mengakibatkan berkurangnya penonjolan malar (Bali R. et al, 2013, Loxha MP et al.
2013, Regan et al. 2014).

Gambar.(kiri) pergeseran yang biasa terjadi pada fraktur ZMC adalah ke arah
inferomedial. (kanan) sesudah dilakukan reduksi, elemen fraktur distabilisasi dengan
kawat tunggal pada sutura zygomaticofrontalis (Joe T, KimJ. 2014, Ungari et al.
2012 ).
Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa,
mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan. CT scan pada
potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan
kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan
evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan
keadaan pilar dari midfasial: pilar nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital,
zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Penilaian
radiologis fraktur zigoma dari foto polos dapat menggunakan foto waters, caldwel,
submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi
orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region
frontozigomatikus dan arkus zigomatikus. Foto submentovertek menunjukkan arkus
zigomatikus (Bali R. et al. 2013, Ungari et al. 2012).

Klasifikasi fraktur ZMC adalah:


Fraktur stable after elevation:
(a) hanya arkus (pergeseran ke medial),
(b) rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral (Ramanathan M
dan Cherian MP. 2010).
Fraktur unstable after elevation:
(a) hanya arkus (pergeseran ke medial);
(b) rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral;
(c) dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral;
(d) comminuted fracture (Cheon et al. 2013).

Klasifikasi fraktur ZMC terbagi menjadi :


1. Type A
a. Relatif jarang terjadi
b. Luka terbatas pada 1 komponen dari struktur tetrapod, yaitu
i. zygomatic arch (type A1)
ii. dinding lateral orbital (type A2)
iii. tepi inferior orbital (type A3)
2. Type B
a. Mencakup seluruh 4 penopang ZMC (fraktur tetrapod klasik)
b. Terjadi sekitar 62% dari fraktur ZMC
3. Type C
a. Type C adalah fraktur komplek dengan patahnya os zygomatic itu
sendiri.
b. Biasanya fraktur terjadi pada zygomaticomaxillary dan
zygomaticotemporal (Cheon et al. 2013, Regan et al. 2014)

Penatalaksanaan fraktur ZMC


Fraktur ZMC biasanya memerlukan pengungkitan dan pergeseran lateral
pada waktu reduksi. Fraktur dengan pergeseran minimal dan sedang yang tidak
mengakibatkan gangguan penglihatan bisa direduksi secara pengangkatan, disertai
insersi pengait tulang atau trakeal melalui kulit (Akadiri OA, 2012, Ramanathan M
dan Cherian MP. 2010).
Apabila pergeseran tulang lebih parah, beberapa jalur lain bisa dipilih
misalnya metode Gilles (jalan masuk melalui kulit dengan melakukan diseksi
mengikuti fascia temporalis profundus ke aspek medial corpus zygomaticus dan
arcus zygomaticus), melalui insisi pada regio sutura zygomaticofrontalis dan
peroral, baik di sebelah lateral tuberositas atau melalui antrum (Akadiri OA, 2012).
Gillies approach to reduction of a zygomatic arch fracture
Reduksi yang memuaskan bisa disapatkan dengan cara apa saja, dan faktor
kritis adalah pengangkatan corpus zygomaticus yang mengalami pergeseran, harus
memadai dan dipertahankan. Mengisi antrum dengan menggunakan kasa yang
mengandung obat melalui jendela nasoantral, merupakan teknik yang umum
digunakan (Gandi et al. 2012, Subramanian et al. 2010).
Reduksi yang lebih akurat dengan stabilisasi segmen yang diangkat dengan
pengawatan sutural langsung atau penempatan pelat adaptasi (zygomaticofrontal)
kadang lebih disukai. Walaupun pelat memberikan fiksasi yang bersifat kaku,
jaringan lunak tipis yang menutupinya memungkinkan pelat menjadi menonjol dan
teraba sehingga nantinya harus dikeluarkan (Gandi et al. 2012).
Fraktur ZMC tertentu direduksi dengan insersi pengait (hook) tulang di
bawah corpus zygomaticus secara perkutan (Lee et al. 2014).

Intraoperative photograph of a titanium plating for rigid fixation of a zygomatic-


maxillary buttress fracture in a complex maxillary fracture (Andrades P et al, 2010,
Baek JE. et al, 2012).
Beberapa treatment untuk fraktur ZMC yang bisa dilakukan:
1. Gillies approach
2. Lateral eyebrow approach
3. Upper buccal sulcus approach
4. Fixation at the ZF suture only
5. Fixation at the ZM suture only
6. Fixation at the ZF and ZM sutures
7. No treatment due to financial constraints
8. Antral packing
9. Observation (Baek JE. et al, 2012, Lee et al. 2014)

Optimalnya fraktur ditangani sebelum oedem pada jaringan muncul, tetapi


pada praktek di lapangan hal ini sangat sulit. Keputusan untuk penanganan tidak
perlu dilakukan terburu-buru karena fraktur zigoma bukan merupakan keadaan yang
darurat. Penundaan dapat dilakukan beberapa hari sampai beberapa minggu sampai
oedem mereda dan penanganan fraktur dapat lebih mudah (Andrades P et al. 2010).
Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang,
segi estetika dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari tidak
ada intervensi dan observasi meredanya oedem, disfungsi otot ekstraokular dan
parestesi hingga reduksi terbuka dan fiksasi interna. Intervensi tidak selalu
diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau mengalami
pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan bahwa antara 9-50% dari fraktur
zigoma tidak membutuhkan perawatan operatif. Jika intervensi diperlukan,
perawatan yang tepat harus diberikan seperti fraktur lain yang mengalami
pergeseran yang membutuhkan reduksi dan alat fiksasi (Beogo R et al. 2014,
Yamamoto K. et al. 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Andrades P et al. 2010. Zygomaticomaxillary buttress reconstruction of midface


defects with the osteocutaneous radial forearm free flap. University of
Alabama.
Andrew P et al. 2009. Management of the Midface During Facial Rejuvenation.
Management of The Midface. 274-282.
Ascani G. 2014. Maxillofacial fractures in the province of pescara, italy: a
retrospective study. Hindawi Publishing Corporation.
Akadiri OA. 2012. Evolution and trends in reconstructive facial surgery: an update.
J Maxillofac Oral Surg 11(4):466472.
Baek JE. et al. 2012. Reduction of Zygomatic Fractures Using the Carroll-Girard T-
bar Screw. Archives of Plastic Surgery 39(5):556-560.
Bali R. et al. 2013. A comprehensive study on maxillofacial trauma conducted in
Yamunanagar, India. J Inc Violence Res 5(2):108-116.
Beogo R et al. 2014. Wire internal fixation: an obsolete, yet valuable method for
surgical management of facial fractures. Pan African Medical Journal.
Cheon et al. 2013. Clinical Follow-up on Sagittal Fracture at the Temporal Root of
the Zygomatic Arch:Does It Need Open Reduction? Archives of Plastic
Surgery 40(5):546-550.
Fujioka et al. 2013. Maxillary reconstruction using free rectus abdominis
myocutaneous flap combined with vascularized costal cartilages. Journal of
Cranio-Maxillary Diseases 2(1):70-74.
Gandi et al. 2012. Prospective blind comparative clinical study of two point fixation
of zygomatic complex fracture using wire and mini plates. Head and Face
Medicine 8(7):1-4.
Joe T, KimJ. 2014. An anthropometric and three dimensional computed
tomographic evaluation of two-point fixation of zygomatic complex
fractures. Arch Plast Surg 41: 493-499.
Kamath RAD et al. 2012. Maxillofacial Trauma in Central Karnataka, India: An
Outcome of 95 Cases in a Regional Trauma Care Centre. Craniomaxillofac
Trauma Reconstruction 5:197-204.
Kim et al. 2014. Evaluation of soft tissue asymmetry using cone-beam computed
tomography after open reduction and internal fixation of
zygomaticomaxillary complex fracture. J Korean Assoc Oral Maxillofac
Surg 40:103-110.
Lee et al. 2014. Optimizing the surgical management of zygomaticomaxillary
complex fractures. Seminars in Plastic Surgery 24(4): 289-296.
Loxha MP et al. 2013. Maxillofacial Fractures: Twenty Years of Study in the
Department of Maxillofacial Surgery in Kosovo. Mater Sociomed 25(3):
187-191
Miscusi et al. 2013. An unusual case of orbito-frontal rod fence stab injury with a
good outcome. BMC Surgery 13:31-34.
Motamedi. 2012. Comprehensive management of maxillofacial projectile injuries at
the first operation; picking up the pieces. Department of Oral and
Maxillofacial Surgery Iran.
Mukherjee CG, Mukherjee U. 2012. Maxillofacial Trauma in Children.
International Journal of Clinical Pediatric Dentistry 5(3):231-236.
Parashar et al. 2014. Rigid internal fixation of zygoma fractures: a comparison of
two point and three point fixation. Indian J Plast Surg 40(1):18-24
Pau CY et al. 2010. Three-dimensional analysis of zygomatic-maxillary complex
fracture patterns. Craniomaxillofacial trauma & reconstruction 3(3): 167-
176.
Ramanathan M dan Cherian MP. 2010. Isolated Bilateral Zygomatic Complex and
Arch Fracture: A Rare Case Report. Craniomaxillofacial Trauma &
Reconstruction 3(4):185-187.
Rana M. et al. 2012. Surgical treatment of zygomatic bone fracture using two points
fixation versus three point fixation-a randomised prospective clinical trial.
Trials 13(36):1-10.
Regan et al. 2014. Screw-wire osteo-traction: an adjunctive or alternative method of
anatomical reduction of multisegmentmidfacial fractures? A description of
technique and prospective study of 40 patients. Craniomaxillofac Trauma
Reconstruction 6:215-220.
Satish M. 2014. Use of Cortical Bone Screws in Maxillofacial Surgery - A
Prospective Study. Journal of International Oral Health 6(2):62-67
Srivastava A et al. 2012. Versatility of buccal sulcus approach for zygomatic
complex fractures. E Journal of Dentistry 2(3):206-211.
Subramanian et al. 2010. Comparison of various approaches for exposure of
infraorbital rim fractures of zygoma. J Maxillofac Oral Surg 8(2):99102
Thangavelu K et al. 2013. Evaluation of the lateral orbital approach in management
of zygomatic bone fractures. Journal of Natural Science, Biology and
Medicine 4(1):117-121.
Ungari et al. 2012. Etiology and incidence of zygomatic fracture: a retrospective
study related to a series of 642 patients. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences 1559-1562.
Yamamoto K et al. 2013. Maxillofacial Fractures of Pedestrians Injured in a Motor
Vehicle Accident. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction 6:3742.
Yamamoto K. et al. 2014. Clinical Analysis of Midfacial Fractures. Mater Sociomed
26(1): 21-25.

Anda mungkin juga menyukai