Oleh:
Oleh:
Debora Marga Pangestika G 99141019
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar.,SpB.,SpBP
A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : Nn. ER
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan toko
Alamat : Gondangan Wetan, Nusukan, Surakarta
Tanggal Masuk : 9 Desember 2014
Tanggal Periksa : 10 Desember 2014
Status Pembayaran : BPJS
B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : spontan, frekuensi pernafasan 20 x/menit
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
c. Circulation : tekanan darah 90/70 mmHg, nadi 86/menit, CRT<2 detik
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/
3mm), lateralisasi (-/-)
e. Exposure : suhu 36,5C, Jejas (+) lihat status lokalis
- - - -
- - - -
C. ASSESMENT 1
Suspek fraktur zygomaticomaxillary complex sinistra
D. PLANNING 1
1. Pemeriksaan darah rutin.
2. Foto Waters
3. Foto Panoramic
4. O2 3 lpm
5. Pasang infus NaCl 0,9% 20tpm
6. Injeksi Ketorolac 30mg/8 jam.
7. Injeksi Ranitidine 50mg/8 jam.
8. Injeksi Ceftriaxone 2 gram/ 12 jam
9. Injeksi ATS 1500 IU
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (9 Desember 2014)
Hb : 14,0 g/dl
Hct : 40%
AE : 4,29 juta/uL
AL : 16,2 ribu/uL
AT : 365 ribu/uL
Gol Darah : O
PT : 12,6 detik
APTT : 25,9 detik
INR : 1.000
Na : 138 mmol/L
K : 4,1 mmo/L
Cl : 105 mmol/L
HbsAg : (-)
c. Foto Panoramic
Foto Panoramic:
Tampak garis fraktur dimos maxilla kanan kiri
Trabekulasi tulang di luar lesi normal
Condylus, ramus, angulus, dan corpus mandibular kanan kiri tak tampak
kelainan
Impacted 3.8, 4.8
Necrosis pulpa 4.6, 4.7
Sisa radix 3.7
Tak tampak unerupted, amalgam, missing
Tak tampak caries, cyste, granuloma
Tak tampak erosi/ destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass, swelling
Tak tampak bayangan radiopaque multiple berbentuk batang yang terproyeksi
di simfisis mandibular mengesankan korpal
F. ASSESMENT II
Fraktur Zigomaticomaxillary complex sinistra
G. PLANNING II
1. KUVS
2. Diet bubur 1900 kkal
3. Menjaga oral hygiene
4. Balance cairan
5. ORIF elektif
H. PROGNOSIS
a. Ad vitam : bonam
b. Ad sanam : bonam
c. Ad fungsionam : bonam
BAB II
JAWABAN UJIAN
1. ANAMNESIS
Anamnesis dapat dilakukan langsung dengan pasien (autoanamnesis) jika pasien
dalam keadaan sadar dan dapat diajak berkomunikasi atau dengan orang yang
melihat langsung kejadian yang dialami pasien. Dari anamnesis dapat ditanyakan
kronologis kejadian trauma, arah dan kekuatan dari trauma terhadap pasien
maupun saksi mata. Sifat, daya, dan arah hantaman cedera harus dicari tahu dari
pasien dan saksi-saksi yang ada. Dalam anamnesis pasien-pasien yang mengalami
trauma maksilofasial antara lain, yang harus ditanyakan antara lain:
a. Apakah penyebab pasien mengalami trauma?
Kecelakaan lalu lintas.
Trauma tumpul.
Trauma benda keras.
Kecelakaan olahraga.
Perkelahian.
Terjatuh
Dalam kasus ini pasien mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal.
b. Apabila terjatuh, bagaimana mekanisme injuri yang terjadi? Bagaimana posisi
pasien saat terjatuh ?
Dalam kasus ini pasien ketika jatuh miring ke posisi kiri. Sisi tubuh kiri
mengenai aspal. Terdapat vulnus excoriatum pada pergelangan kaki, lutut, dan
wajah sisi kiri.
c. Apakah pasien dalam keadaan mabuk saat mengendarai kendaraan ? Apakah
pasien memakai pelindung kepala saat mengalami trauma tersebut ?
Pasien tidak mengenakan helm.
d. Dimana kejadiannya? Sudah berapa lama pasien mengalami kejadian tersebut?
Kronologi kejadian sejak 8 jam SMRS di rel kereta api dekat stasiun Balapan.
e. Apakah setelah mengalami kecelakaan pasien tidak sadar? Jika tidak sadar,
berapa lama pasien mengalami penurunan kesadaran?
Pasien sempat tidak sadarkan diri pasca kecelakaan. Kemudian pasien dibawa
ke RS Brayat Minulya, ketika sampai di sana dan diberi pertolongan pertama,
pasien mulai sadarkan diri.
f. Apakah pasien muntah dan kejang setelah kejadian?
Tidak ada muntah dan kejang pasca kecelakaan
g. Pertolongan apa saja yang sudah diberikan kepada pasien?
Pada vulnus excoriatum pasien terlah dibersihkan dan dilakukan medikasi.
Pasien juga diberi oksigen 2 lpm via nasal kanul, infus NaCl 0,9% 20 tpm,
injeksi analgetik Ketorolac 30mg/8 jam, injeksi Ranitidine 50mg/8 jam, injeksi
Ceftriaxone 2 gram/ 12 jam, injeksi ATS 1500 IU
2. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dari
arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan kesimetrisan dan
ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita
dan aspek lateral orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva,
abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala
yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya.
5. RENCANA PENATALAKSANAAN
Pasien dalam kasus ini berada pada kondisi compos mentis. Airway tidak
ada sumbatan, breathing dan circulation dalam kondisi normal. Apabila pasien
tidak sadar perlu penanganan segera pada airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure. Airway dipertahankan dengan chin lift dan jaw trust,
sebelum hal tersebut dilakukan pasang cervical collar terlebih dahulu. Pastikan
jalan nafas terbebas dari hambatan. Tinjau kembali saluran nafas, jika intubasi
dengan rute oral sulit dilakukan maka lakukan cricotiroidektomi. Bila saluran
nafas telah bebas lakukan penilaian untuk breathing dilanjutkan dengan
circulation jika breathing pasien spontan.
Pada circulation lakukan pemeriksaan nadi. Bila nadi tidak teraba perlu
dilakukan RJPO dengan sistem CAB. Setelah RJPO berasil dan nadi kembali
berdenyut, periksa kembali nafasnya. Bila pasien belum bernafas berikan bantuan
nafas atau bagging sesuai pola nafas pasien. Pasien semula tidak sadarkan diri,
namun ketika dibawa ke RS Brayat dan diberi pertolongan pasien kembali sadar.
Ketika sampai di RSUD Dr Moewardi GCS G4V5M6. Setelah survey primer
selesai dan pasien terbebas dari kegawatdaruratan maka dilakukan survey
sekunder.
Secondary survey dilakukan dengan pemeriksaan head to toe. Pemeriksa
mencari kelainan pada pemeriksaan fisik mulai dari mata sampai kaki dan
memberikan penjabaran pada status lokalis trauma. Evaluasi semua fraktur yang
terdapat di maksilofasial, pada epistaksis dapat dilakukan tampon anterior. Rujuk
pasien ke bedah THT jika terdapat fraktur di daerah THT, dan bedah saraf jika
dicurigai terdapat perdarahan intracranial, subdural, maupun epidural. Pada
pasien ini didapatkan pemeriksaan tragus pain (+) yang mengindikasikan adanya
trauma pada meatus acusticus externus. Pasien perlu dikonsulkan ke bagian THT.
Untuk penanganan pertama pasien diberikan O2 2 liter per menit melalui
nasal kanul untuk memperlancar aliran oksigen ke otak. Pasien diberian infus
NaCl 0,9% 20 tpm untuk resusitasi cairannya. Pasien juga diberikan injeksi
Ketorolac 30 mg/8 jam sebagai aanlgetik, Ranitidine 50 mg/8jam sebagai
penanganan pada stress ulcer, injeksi Ceftriaxone 2 gram/12 jam sebagai
antibiotik broad spectrum karena adanya infeksi dari vulnus. Pasien juga
diberikan ATS untuk profilaksis tetanus dikarenakan ada luka terbuka.
Penanganan fraktur maxilla dan nassal bergantung pada tingkat
pergeseran dan resultan estetik dan defisit fungsional.Perawatan oleh karena itu
merentang dari observasi sederhana untuk penyembuhan bengkak, disfungsi otot
ekstraokuler, dan paresthesi untuk reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur
multipel.
6. EDUKASI, PENYULUHAN, DAN PENCEGAHAN SEKUNDER
Edukasi, penyuluhan, dan pencegahan sekunder yang dapat dilakukan
adalah dengan menyarankan agar menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
fraktur zygomaxillary complex, yaitu :
a. Menggunakan pengaman selama mengendarai kendaraan seperti helm dan
seat belt.
b. Berhati-hati dalam berkendara terutama pada malam hari dan kondisi hujan.
Hindari mengendarai kendaraan dalam kondisi mabuk.
Selain itu edukasi selama dirawat di RS yang dapat diberikan antara lain:
a. Pasien melakukan diet makanan secara bertahap, mulai dari diet cair, bubur,
sampai kembali mengonsumsi nasi. Pada fraktur zygomaticomaxillaris
complex, pasien akan merasakan nyeri pada bagian rahang dan tidak dapat
membuka mulut maksimal.
b. Pasien diminta untuk tetap menjaga oral hygiene dengan menyikat gigi
(apabila memungkinkan) atau setidaknya berkumur dengan larutan
pembersih mulut.
c. Penjelasan mengenai rencana operasi ataupun prosedur yang akan dilakukan
kepada pasien baik yang bersifat invasif maupun konservatif juga perlu
dilakukan. Selain itu selama perawatan pasien juga perlu diedukasi untuk
tetap menjaga kebersihan oral/ oral higiene dan untuk sementara
mengonsumsi diet lunak.
d. Penatalaksanaan lanjutan seperi ORIF elekif akan dilakukan oleh ahli bedah
plastik.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Fig. 1.-Anatomy of the zygoma. 1-5, Temporal, frontal, maxillary, orbital, and
infraorbital processes of zygoma; 6. frontal bone; 7, maxillary bone; 8, temporal
bone; 9, greater wing of sphenoid bone; 10, zygomatic process of temporal bone; 11,
zygomatic temporal suture; 12, zygomatic process of maxilla; 13, zygomatic
maxillary suture; 14, orbital surface of maxilla; 15, infraorbital foramen (Fujioka et
al. 2013, Satish M. 2014).
ZMC terdiri dari 4 struktur pendukung (buttress), yaitu :
1. Zygomaticomaxillary buttress
2. Frontozygomatic buttress
3. Infraorbital buttress
4. Zygomatic arch buttress (Parashar et al. 2014, Rana M. et al. 2012)
ZMC mempunyai 4 perlekatan pada tengkorak, yaitu :
1. Sutura zygomaticofrontal (perlekatan daerah superior pada os frontale)
2. Sutura zygomaticomaxillary (perlekatan daerah medial pada maksila)
3. Sutura Zygomaticotemporal (perlekatan daerah lateral pada os temporal)
4. Sutura Zygomaticosphenoidal (perlekatan pada sayap terbesar os sphenoid)
(Parashar et al. 2014, Rana M. et al. 2012)
Fraktur ZMC juga dikenal sebagai fraktur tetrapod dan merupakan
merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya insiden dari fraktur
ZMC berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih menonjol dan berstruktur
konveks. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan
perempuan dan memuncak pada usia 20-30 tahun (Ascani G, 2014).
Etiologi
Penyebab dari fraktur ZMC yang paling sering adalah akibat benturan atau
pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi dikarenakan
kecelakaan kendaraan bermotor, perkelahian, atau cidera olahraga (Kamath RAD et
al. 2012).
Patofisiologi
Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas nervus
alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura
zigomatikotemporal, dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura
zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral orbita, sedangkan dinding medial
orbita tetap utuh (Yamamoto K et al. 2013, Thangavelu K et al. 2013).
Fig. 2.-A. Impingement of temporalprocess of zygoma on coronoid process of
mandible as result of depressed zygomatic complex fracture. B and C. Downward
displacement of frontal process of zygoma and its attached lateral palpebral ligament
with separation of zygomaticofrontal suture. Lateral canthus of eyelid and eyeball
are depressed. On upward gaze. involved eyeball remains fixed due to incarceration
of inferior rectus and inferior oblique muscles between bony fracture fragments of
orbital floor. D, Fractures of infraorbital process, floor of orbit, and lateral maxillary
sinus involving infraorbital canal, infraorbital foramen, and nerve (Yamamoto K et
al. 2013, Thangavelu K et al. 2013).
Diagnosis
Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang. Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi
kemungkinan adanya fraktur pada kompleks zigomatikus selain tanda-tanda klinis.
Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit dilakukan karena adanya penurunan
kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien yang dapat mengaburkan
pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif terhadap adanya
fraktur zigoma (Miscusi et al. 2013).
Dari anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan
kekuatan dari trauma terhadap pasien maupun saksi mata. Trauma dari arah lateral
sering mengakibatkan fraktur arkus zigoma terisolasi atau fraktur zigoma komplek
yang terdislokasi inferomedial. Trauma dari arah frontal sering mengakibatkan
fraktur yang terdislokasi posterior maupun inferior (Miscusi et al. 2013).
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dari
arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan ketinggian pupil
yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita dan aspek lateral
orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva, abnormal sensitivitas
nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala yang khas efek pergeseran
tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya (Pau CY et al. 2010).
Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan
prominen pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang
normal pada daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus.
Deformitas pada tepi orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada
tepi orbital lateral dan infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk dibawah
margin infraorbita, sepanjang zigoma, menekan ke dalam jaringan yang oedem
untuk palpasi secara simultan dan mengurangi efek visual dari oedem saat
melakukan pemeriksaan ini (Pau CY et al. 2010).
Gejala klinis yang paling sering ditemui adalah:
Keliling mata kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan pada kelopak
mata
Perdarahan subkonjungtiva
Proptosis (eksophtalmus)
Mungkin terjadi diplopia (penglihatan ganda), karena fraktur lantai dasar
orbita dengan penggeseran bola mata dan luka atau terjepitnya otot
ekstraokuler inferior
Mati rasa pada kulit yang diinervasi oleh n.infraorbitalis (Loxha MP et al.
2013, Yamamoto K et al. 2013).
Gambar. Pergeseran bola mata ke arah postero inferior (tanda panah) yang terjadi
setelah fraktur ZMC yang melibatkan rima orbitalis dan dasar orbita (enophtalmos)
Pemeriksaan radiografis terlihat adanya kabut dan opasitas di dalam sinus
maksilaris yang terkena. Pengamatan yang lebih cermat pada dinding lateral antrum
pada regio pendukung (buttres) (basis os zygomaticum) sering menunjukkan
diskontinuitas atau step. Pergeseran yang umumnya terjadi adalah inferomedial yang
mengakibatkan masuknya corpus zygoma ke dalam sinus maksilaris dan
mengakibatkan berkurangnya penonjolan malar (Bali R. et al, 2013, Loxha MP et al.
2013, Regan et al. 2014).
Gambar.(kiri) pergeseran yang biasa terjadi pada fraktur ZMC adalah ke arah
inferomedial. (kanan) sesudah dilakukan reduksi, elemen fraktur distabilisasi dengan
kawat tunggal pada sutura zygomaticofrontalis (Joe T, KimJ. 2014, Ungari et al.
2012 ).
Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa,
mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan. CT scan pada
potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan
kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan
evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan
keadaan pilar dari midfasial: pilar nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital,
zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Penilaian
radiologis fraktur zigoma dari foto polos dapat menggunakan foto waters, caldwel,
submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi
orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region
frontozigomatikus dan arkus zigomatikus. Foto submentovertek menunjukkan arkus
zigomatikus (Bali R. et al. 2013, Ungari et al. 2012).