Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KASUS

TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

dr. Desi Gloria Damanik


Intership RSUD Kefamenanu, TTU
Periode November 2018-2019
KASUS BEDAH

Nama Peserta : dr. Desi Gloria Damanik

Nama Wahana : RSUD Kefamenanu NTT

Topik : Trauma Tumpul Abdomen


Tanggal kasus : 6 September 2019
Presenter : dr. Desi Gloria Damanik
Pendamping : dr. B. Theresia A. J.
Tanggal Presentasi : 28 September 2019
Mulowato
Tempat Presentasi : Aula RSUD Kefamenanu
Obyek Presentasi : Anggota Komite Medik, Petugas Kesehatan & Dokter Internsip RSUD
Kefamenanu
◊ Keilmuan ◊ Ketrampilan ◊ Penyegaran ◊ Tinjauan Pustaka
◊ Diagnostik◊ Manajemen ◊ Masalah ◊ Istimewa
◊ Neonatus ◊ Bayi ◊ Anak ◊ Remaja ◊ Dewasa ◊ Lansia ◊ Bumil
◊ Deskripsi :
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sebelah kiri sekitar 30 menit SMRS.
Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda motor hendak pergi mengantarkan
saudara ke sekolah, namun tidak sengaja menabrak anjing kemudian pasien terjatuh
dengan posisi perut sebelah kiri membentur dinding got. Pasien juga mengeluh
terdapat luka lecet di sekitar bekas benturan dan terasa nyeri. Riwayat kepala
terbentur tidak dijumpai. Riwayat pingsan setelah kejadian tidak dijumpai. Riwayat
mual dan muntah tidak dijumpai. Pasien mengeluh BAK berwarna merah setelah
kejadian. Keluhan lain disangkal.
◊ Tujuan :
Mengetahui definisi, penyebab, manifestasi klinis, kriteria diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, serta prognosis trauma tumpul abdomen
Bahan Bahasan ◊ Tinjauan Pustaka ◊ Riset ◊ Kasus ◊ Audit
Cara Membahas ◊ Diskusi ◊ Presentasi & Diskusi ◊ E-mail ◊ Pos
Data Pasien ◊ Nama : Tn. R.N. ◊ 19 tahun
Nama RS : RSUD
Telp. : - Terdaftar sejak :
Kefamenanu
Data Utama Untuk Bahasan Diskusi :
1. Mekanisme of Injury: pasien sedang mengendarai sepeda motor hendak pergi
mengantarkan saudara ke sekolah, namun tidak sengaja menabrak anjing
kemudian pasien terjatuh dengan posisi perut sebelah kiri membentur dinding
got.
2. Allergy : disangkal
3. Medication : disangkal
4. Pertinent medical history (riwayat medis penyakit pasien) : disangkal
5. Last meal : 07:00 wita
6. Lain – lain :
Hb :14.2 gr/dl
Hematokrit :42.4 %
Trombosit :124.000/mm3
Leukosit : 17.700/mm3
Daftar Pustaka :
Adelgais, K.M, Kupperman, N., Kooistra, J., Garcia, M., Monroe, D. J., Mahajan, P.,
Menaker, J., Ehrlich, P., Atabaki, S., Page, K., Kwok, M., Holmes, J. F. 2014.
Accuracy of the abdominal examination for identifiying children with blunt intra-
abdominal injuries. The Journal of Pediatrics, 165(6), 1230-1235

Afifi, R. Y. 2008. Blunt abdominal trauma: Back to clinical judgement in the era of modern
technology. International Journal of Surgery, 6:91-95.

Avini, P. E., Nejad, N. H., Chardoli, M., & Movaghar, V. R. 2011. Evaluating clinical
abdominal scoring system in predicting of necessity of laparotomy in blunt
abdominal trauma. Chinese Journal of Traumatology, 13:156-160.

Boffard, K. 2012. Torso Trauma. In N. S. Williams, C. J. Bulstrode, & P. R. O'Connel,


Bailey & Love's Short Practice of Surgery 26th ed. London: CRC Press. p. 351-363

Boutros, S. M., Nassef, M. A., & Ghany, A. F. 2015. Blunt abdominal trauma: The role of
focused abdominal sonography in assessment of organ injury and reducing the need
for CT. Alexandria Journal of Medicine, 52, 35-41.

Demetriades, D., Karaikakis, M., Toutouzas, K., Alo, K., Velmahos, G., Chan, L., 2002.
Pelvic Fractures: Epidemiology and Predictors of Associated Abdominal Injuries and
Outcomes. Journal of American College of Surgeon, 195, 1-10

Guillon, F. 2011. Epidemiology of Abdominal Trauma. CT of the Acute Abdomen, Medical


Radiology. Diagnostic Imaging. Berlin: Springer-Verlag p.15-26
Legome, E. L., & Geibel, J. 2016. Blunt Abdominal Trauma. Medscape. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview. January 12, 2016.

Mehta, N., Babu, S., Venugopal, K. 2014. An experience with blunt abdominal trauma:
evaluation, management and outcome. Clinics and Practice. 599(4), p.34-39

Radwan,M.M., Zidan,F.M.A. 2006. Focused Assessment Sonography Trauma (FAST) and


CT scan in blunt abdominal trauma: surgeon‟s perspective. African Health Sciences,
6(3): 187- 190

Richard, J. R., Acosta, J. A., & Wilson, W. C. 2007. Abdominal Trauma. In W. C. Wilson,
C. M. Grande, & D. B. Hoyt, Trauma. New York: Informa Healthcare. p. 517-531

Sugrue,M. 2000. Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. In D. Demetriades, & J.A.


Asensio, Trauma Management. Texas: Landes Bioscience, p.281-292

Shojaee,M., Faridaalaee,G., Yousefifard,M., Yaseri,M., Dolatabadi,A.A., Sabzghabaei,A.,


Malekirastekenari,A. 2014. New Scoring System for Intra-abdominal Injury
Diagnosis After Blunt Trauma. Chinese Journal of Traumatology, 17(1):19-24

Hasil Pembelajaran :
1. Definisi, mekanisme trauma tumpul abdomen
2. Kriteria diagnosis trauma tumpul abdomen
3. Tatalaksana pasien dengan trauma tumpul abdomen

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


1. Subyektif:
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sebelah kiri sekitar 30 menit SMRS.
Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda motor hendak pergi mengantarkan
saudara ke sekolah, namun tidak sengaja menabrak anjing kemudian pasien terjatuh
dengan posisi perut sebelah kiri membentur dinding got. Pasien juga mengeluh
terdapat luka lecet di sekitar bekas benturan dan terasa nyeri. Riwayat kepala
terbentur tidak dijumpai. Riwayat pingsan setelah kejadian tidak dijumpai. Riwayat
mual dan muntah tidak dijumpai. Pasien mengeluh BAK berwarna merah setelah
kejadian. Keluhan lain disangkal.
2. Obyektif:
1.a. Primary Survey:
 Airway :
Clear, pasien berbicara spontan, snoring (-), gargling (-), crowing (-), c-
spine stabil
 Breathing :
Nafas spontan, gerak dinding dada simetris, tidak ada ketinggalan
bernapas, pernafasan torakal, RR 20x/m, SpO2 95%, pasang O2 3-4 lpm
NC
 Circulation :
Radialis teraba kuat angkat, TD 136/81mmHg, HR 89x/m, akral hangat,
CRT<2dtk, pasang IV line RL 20 tpm makro
 Dissability :
Alert (AVPU), pupil isokor, RC +/+ 3mm/3mm
 Exposure :
Jejas (+) a/r left lumbar regio abdomen, fraktur (-)
1.b. Secondary Survey:
 Keadaan umum :
Tampak kesakitan, VAS 7
 Kesadaran :
Compos Mentis, GCS : E4V5M6
 Tanda Vital :
Tekanan Darah : 123/75,
Nadi : 88x/i,
Respirasi : 20x/I,
Suhu : 36.8
SpO2 : 95% free air

 Status Generalisata :
 Kepala:
Simetris Muka : Simetris
Deformitas : (-)
Rambut : Hitam, lurus, sulit dicabut
 Mata:
Eksoptalmus/ Enoptalmus: (-)
Gerakan : Ke segala arah
Tekanan Bola Mata : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelopak Mata : Edema palpebral (-), ptosis (-)
Konjungtiva ODS : Anemis (+)
Sklera ODS : Ikterus (-)
Kornea ODS : Jernih, reflex kornea (+)
Pupil ODS : Bulat, isokor 3mm; RCL +; RCTL +
 Telinga:
Bentuk : Simetris
Pendengaran : Dalam batas normal
Sekret : (-)
 Hidung:
Deviasi septum : (-)
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Hiperemis : (-)
 Mulut:
Bibir : Kering (+), stomatitis (-)
Gigi Geligi : Karies (-)
Gusi : Candidiasis oral (-), perdarahan (-)
Farings : Hiperemis (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Lidah : Kotor (-)
 Leher:
Kel. Getah Bening : Tidak teraba, nyeri tekan (-)
Kel. Gondok : Tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-)
Kaku Kuduk : (-)
Tumor : (-)
 Dada:
- Inspeksi : Simetris hemithoraks kiri dan kanan
- Bentuk : Normothoraks
- Buah Dada : Tidak ada kelainan
- Sela Iga : Tidak ada pelebaran
- Lain-lain : Barrel chest (-), massa tumor (-)
 Paru:
o Inspeksi :bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi
Intercostals (-), irama nafas regular
o Palpasi:
 Fremitus Raba : Kiri = Kanan
 Nyeri Tekan : (-)
o Perkusi:
 Paru Kiri : Sonor
 Paru Kanan : Sonor
 Batas Paru Hepar : ICS VI anterior dextra
 Batas Paru Belakang Kanan :Vertebra thorakal IX
 Batas Paru Belakang Kiri :Vertebra thorakal X
o Auskultasi:
 Bunyi Pernapasan : Vesikuler
 Bunyi Tambahan : Ronkhi - / - Wheezing - / -
 Cor:
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
o Perkusi :Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung kanan:linea
parasternalis dextra, batas jantung kiri: linea midclavicularis sinistra)
o Auskultasi :
 BJ I/II : Murni reguler
 Bunyi Tambahan : Bising (-)

 Abdomen:
o Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, caput medusa (-), jejas (+)
o Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (+)
 Hati : Tidak teraba
 Limpa : Tidak teraba
 Ginjal : Ballotement (-)
o Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
o Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Genitalia : Tidak ada kelainan
 Anus dan Rektum : Tidak ada kelainan
 Skin : Tidak ada kelainan
 Punggung : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
o Palpasi : Gibbus (-)
o Nyeri Ketok : (-)
o Auskultasi : Rh -/- Wh -/-
 Ekstremitas
- Bentuk : Simetris, refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-)
- Akral : Hangat, sianosis perifer (-),bintik pendarahan (-)
- Kuku dan jari : Lengkap, normal
- Capillary refil test : < 2’’
 Status Lokalisata :
Abdomen: Jejas (+) regio left lumbar abdomen, diameter 20 cm, nyeri
tekan (+), perdarahan aktif (-)
3. Assesment:
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis pasien ini mengarah pada trauma tumpul abdomen.Pasien datang dengan
keluhan nyeri perut sebelah kiri sekitar 30 menit SMRS. Awalnya pasien sedang
mengendarai sepeda motor hendak pergi mengantarkan saudara ke sekolah, namun
tidak sengaja menabrak anjing kemudian pasien terjatuh dengan posisi perut sebelah
kiri membentur dinding got. Pasien juga mengeluh terdapat luka lecet di sekitar bekas
benturan dan terasa nyeri. Riwayat kepala terbentur tidak dijumpai. Riwayat pingsan
setelah kejadian tidak dijumpai. Riwayat mual dan muntah tidak dijumpai. Pasien
mengeluh BAK berwarna merah setelah kejadian. Keluhan lain disangkal.
Trauma abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara diafragma
pada bagian atas dan pelvis pada bagian bawah. Trauma abdomen dibagi menjadi dua
tipe yaitu trauma tumpul abdomen dan trauma tembus abdomen. Trauma tumpul
kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh, tetapi dapat
mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar, cedera perlambatan
(deselerasi), cedera kompresi, peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya viskus
berongga, kontusi atau laserasi jaringan maupun organ dibawahnya.
Pada trauma tumpul abdomen, cedera pada organ intraabdomen bergantung
pada mekanisme cedera dan organ yang terlibat. Organ yang terlibat contohnya organ
berhubungan dengan lokasi anatomis, organ padat atau organ berongga, terfiksir atau
mobile. Berbagai macam mekanisme cedera dapat dikaitkan dengan trauma tumpul,
tetapi sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan jatuh (Guillion,
2009). Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat
menyebabkan cedera organ intraabdomen, yaitu :
 Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding abdomen
anterior dan posterior (Demetrios, 2011).
 Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan
kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi
deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi
peregangan pada struktur-struktur organ yang terfiksir seperti pedikel dan
ligament yang dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik (Guillion, 2009).
 Terjadinya closed bowel loop pada disertai dengan peningkatan tekanan
intraluminal yang dapat menyebabkan rupture organ berongga (Demetrios,2011).
 Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis,
fraktur costa) (Demetrios, 2011).
 Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan
ruptur diafragma bahkan ruptur kardiak (Demetrios,2011).

Patofisiologi cedera intra-abdomen pada trauma tumpul abdomen


berhubungan dengan mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang mengalami trauma
dengan energi yang tinggi akan mengalami goncangan fisik yang berat sehingga
menyebabkan cedera organ. (Mehta, Babu and Venugopal, 2014). Ada beberapa
mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat menyebabkan cedera
organ intra-abdomen, yaitu :
1. Benturan langsung terhadap organ intra-abdomen diantara dinding abdomen
anterior dan paskaerior
2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan
kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi deselerasi
horizontal dan deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi peregangan pada
struktur-struktur organ yang terfiksir seperti pedikel dan ligamen yang dapat
menyebabkan perdarahan atau iskemik (Guillion, 2009).
3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen
yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan cedera organ
berongga. Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ
yang terkena cedera
4. Laserasi organ intra-abdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis,
fraktur tulang iga)
5. Peningkatan tekanan intra-abdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan
cedera diafragma bahkan cedera kardiak.

Trauma langsung abdomen atau deselerasi cepat menyebabkan rusaknya organ


intra-abdomen yang tidak mempunyai kelenturan (noncomplient organ) seperti hati,
limpa, ginjal dan pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul abdomen sering
disebabkan karena kecelakaan antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabrak
kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan pemukulan dengan benda tumpul.
Trauma tumpul abdomen terjadi karena kompresi langsung abdomen dengan objek
padat yang mengakibatkan robeknya subscapular organ padat seperti hati atau limpa.
Bisa juga karena gaya deselerasi yang menyebabkan robeknya organ dan pembuluh
darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hati atau arteri renalis). Atau bisa
karena kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan intraluminal yang
menyebabkan cedera organ berongga (usus halus). Trauma tumpul abdomen yang
mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar 40% - 55%, hati 35% - 45% dan usus
halus 5%-10% (Avini et al., 2011)

4. Diagnosis
Anamnesis
Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, anamnesis yang detil dan akurat
sangat diperlukan untuk memastikan kemungkinan terjadinya cedera organ
intraabdomen akibat trauma tumpul abdomen (Sugrue, 2000). Informasi diperoleh
dari paramedis, polisi atau yang mendampingi pasien saat transportasi dan juga dari
pasien sendiri jika pasien sadar baik (Richard et al, 2007). Saat melakukan anamnesis,
digunakan sistem MIST, yaitu :
 Mekanisme cedera
 Injury (cedera yang didapat)
 Signs (tanda atau gejala yang dialami)
 Treatment (penanganan yang telah diberikan) (Sugrue, 2000).
Pemeriksaan Fisik
Tindakan pertama yang dilakukan saat berhadapan dengan pasien trauma
dengan sebab apapun adalah melakukan primary survey untuk menyelamatkan pasien
dari ancaman kematian. Semua tindakan pemeriksaan dilakukan secepat mungkin
dalam memastikan kondisi airway, breathing, dan circulation. Tanda vital yang
diperiksa saat pasien trauma datang ke ruang gawat darurat menjadi petunjuk tingkat
cedera yang terjadi (Mehta, Babu and Venugopal, 2014).

Penilaian klinis terhadap pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen


terkadang sulit dilakukan dan tidak akurat, dan dapat ditemukan pada sekitar 50%
pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen (Legome dan Geibel, 2016; Sugrue,
2000). Selain penurunan kesadaran, efek hemoperitoneum dan variasi cedera dari
berbagai variasi gejala cedera organ padat atau berongga membuat interpretasi yang
sulit dilakukan. Adanya cedera lainnya pada pasien multi trauma memberikan
tantangan tambahan (Sugrue, 2000).
Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien yang sadar baik yaitu :
 Nyeri perut
 Nyeri tekan pada abdomen
 Perdarahan gastrointestinal
 Hipovolemik
 Tanda-tanda peritonitis (Legome dan Geibel, 2016)
Bagaimanapun, akumulasi darah dalam jumlah yang banyak di
intraperitoneum dan rongga pelvis dapat memberikan perubahan pemeriksaan fisik
yang tidak signifikan. (Legome, Geibel. 2016) Keluhan nyeri perut maupun nyeri
tekan pada abdomen memiliki sensitifitas yang baik untuk mengidentifikasi cedera
organ intraabdomen, tetapi sensitifitas tersebut dapat menurun bila didapatkan
penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS) (Adelgais, 2014).
Evaluasi terhadap cedera penyerta yang berhubungan sangat diperlukan pada
pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen (Sugrue, 2000). Pada pemeriksaan
fisis, ada beberapa tanda yang dapat membantu untuk memprediksi kemungkinan
cedera organ intraabdomen, yaitu :
 Lap belt marks : berhubungan dengan ruptur usus halus
 Kontusio dengan steering wheel shaped
 Ekimosis pada daerah panggul (Grey Turner sign) atau umbilicus (Cullen
sign) : mengindikasikan perdarahan retroperitoneal tetapi biasanya timbul
setelah beberapa jam sampai beberapa hari
 Distensi abdomen
 Terdengar bising usus pada daerah thorak : mengindikasikan cedera pada
diafragma
 Bruit pada abdomen : mengindikasikan adanya penyakit vaskuler yang
mendasari atau adanya fistel arteriovenous fistula.
 Nyeri tekan lokal atau difus, disertai rigiditas : kemungkinan cedera
peritoneum
 Krepitasi atau thoracic cage yang tidak stabil mengindikasikan kemungkinan
cedera lien atau hepar (Legome dan Geibel, 2016).

Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan trauma tumpul abdomen yang berat, organ intra-abdomen harus
dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif dibandingkan hanya
dengan pemeriksaan fisis sendiri bila didapatkan nyeri yang signifikan dan disertai
dengan penurunan kesadaran. Pemeriksaan yang umum digunakan untuk evaluasi
abdomen adalah :

1. Computed Tomography (CT) abdomen


Computed Tomography abdomen merupakan baku emas untuk diagnostik
cedera organ intra-abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan ini
menggunakan kontras intravena, sehingga pemeriksaan ini sensitif terhadap darah dan
dapat mengevaluasi masing-masing organ, termasuk struktur organ retroperitoneal
(Boffard, 2012). Helical CT Scan sagital dan koronal rekonstruksi berguna untuk
mendeteksi cedera diafragma. Selain itu, juga dapat meningkatkan diagnosis cedera
gastrointestinal (Radwan dan Zidan, 2006).
Computed Tomography abdomen memiliki akurasi yang tinggi, mencapai 95%
dan memiliki negative predictive value yang sangat tinggi yaitu hamper 100%. Tetapi
pasien dengan kecurigaan trauma tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit
selama paling sedikit 24 jam untuk observasi meskipun hasil CT abdomen negatif.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menentukan derajat cedera organ padat dan
menjadi penuntun untuk penatalaksanaan non-operatif dan juga keputusan untuk
dilakukan tindakan pembedahan (Radwan dan Zidan, 2006).
Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki batasan yaitu diperlukan petugas
yang ahli untuk melakukannya dan dokter spesialis radiologi untuk membuat
interpretasi hasil. Pemeriksaan CT abdomen walaupun sangat sensitif terhadap organ
padat, tetapi tidak menunjukkan adanya robekan pada mesenterium, cedera pada usus
terutama robekan yang kecil, cedera diafragma bila rekonstruksi sagital dan coronal
tidak dilakukan, dan cedera pankreas bila dilakukan segera setelah trauma. Adanya
cairan bebas intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera pada organ padat dapat
menyebabkan keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus tidak terdeteksi.
Sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan Diagnostic Peritoneal Lavage
(DPL) bila disepakati untuk tatalaksana konservatif (Radwan dan Zidan, 2006).
Kerugian CT abdomen yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan,
bahaya radiasi yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi
yang baik bila kesakitan atau dengan penurunan kesadaran. Gagal ginjal atau riwayat
syok anafilaktik sebelumnya dapat menghalangi penggunaan CT abdomen.
Pemeriksaan tanpa menggunakan kontras dapat menurunkan sensitifitas CT abdomen
dalam mendiagnosis cedera organ padat. (Boutros, Nassef, Ghany, 2015)
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada saat melakukan
pemeriksaan CT abdomen, yaitu :
 Tidak boleh dilakukan pada pasien dengan status hemodinamik tidak stabil
 Jika dari mekanisme cedera dicurigai cedera pada duodenum, maka pemberian
kontras peroral dapat membantu diagnosis.
 Jika dicurigai cedera pada rektum dan kolon distal dengan adanya darah pada
pemeriksaan rektum, pemberian kontras melalui rektum dapat membantu
(Boffard, 2002).

2. Focused Assessment Sonography for Trauma (FAST)


Focus Assesment Sonography for Trauma awalnya dilakukan di Eropa dan
Jepang pada tahun 80-an yang kemudian diadopsi oleh Amerika Utara pada tahun 90-
an, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia. Kuwait merupakan salah satu
negara di Timur Tengah yang pertama kali menggunakan FAST di unit gawat darurat
(Radwan, Zidan, 2006).
Focus Assesment Sonography for Trauma merupakan suatu pemeriksaan yang
mendeteksi ada tidaknya cairan intraperitoeneal. Pemeriksaan ini merupakan alat
diagnosis yang aman dan cepat serta dapat dengan mudah untuk dipelajari.
Pemeriksaan FAST juga sangat berguna bagi pasien dengan hemodinamik tidak stabil
dan tidak dapat dibawa ke ruang CT abdomen, bahkan dapat dilakukan disamping
pasien selama dilakukan resusitasi tanpa harus dipindahkan dari ruangan resusitasi
(Radwan, Zidan, 2006). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan
ini memiliki sensitifitas 79 – 100% dan spesifitas 95 – 100%, terutama pada pasien
dengan hemodinamik tidak stabil (Boutros, Nassef, Ghany, 2015). Pada pemeriksaan
FAST difokuskan pada 6 area, yaitu perikardium, hepatorenal, splenorenal, parakolik
gutter kanan dan kiri, dan rongga pertioneaum di daerah pelvis (Boffard, 2002). Pada
evaluasi trauma tumpul abdomen, FAST menurunkan angka penggunaan CT Scan
dari 56% menjadi 26% tanpa meningkatkan resiko kepada pasien. (Branney dkk.,
1997).
Pemeriksaan ini akurat untuk mendeteksi darah sebanyak >100 mililiter,
namun hasil pemeriksaan sangat bergantung pada operator yang mengerjakan dan
akan terutama pada pasien obesitas atau usus-usus terisi udara. Cedera organ
berongga sangat sulit untuk didiagnosis dan memiliki sensitivitas yang rendah sekitar
29–35% pada cedera organ tanpa hemoperitoneum (Boffard, 2002)
Keterbatasan ultrasound harus dipahami ketika menggunakan FAST.
Ultrasound tidak akurat pada pasien obesitas akibat kurangnya kemampuan penetrasi
gelombang sonografi. Selanjutnya, akan sulit juga untuk memvisualisasi struktur
organ intra-abdomen pada keadaan ileus atau elfisema subkutis. USG sangat akurat
untuk mendeteksi cairan intraperitoneal tetapi tidak dapat membedakan antara darah,
urin, cairan empedu atau ascites. Organ retroperitoneal juga sulit untuk dievaluasi
(Radwan dan Zidan, 2006).
Pemeriksaan FAST ini dapat dipertimbangkan sebagai modalitas awal pada
evaluasi trauma tumpul abdomen, tidak invasive, tersedia dengan mudah, dan
membutuhkan waktu persiapan yang singkat. Ultrasonografi berulang pada pasien
trauma tumpul abdomen yang mendapat observasi ketat meningkakan sensitifitas dan
spesifisitas mendekati 100% (Boutros, Nassef, Ghany, 2015).
3. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Diagnostic Peritoneal Lavage adalah suatu pemeriksaan yang digunakan
untuk menilai adanya darah di dalam abdomen. Gastric tube dipasang untuk
mengosongkan lambung dan pemasangan kateter urin untuk pengosongan kandung
kemih. Sebuah kanul dimasukkan di bawah umbilicus, diarahkan ke kaudal dan
posterior. Jika saat aspirasi didapatkan darah (>10ml dianggap positif) dan
selanjutnya dimasukkan cairan ringer laktat (RL) hangat sebanyak 1000 mililiter (ml)
dan kemudian dialirkan keluar. Jika didapatkan sel darah merah >100.000
sel/mikroliter(μL) atau leukosit >500 sel/μL maka pemeriksaan tersebut dianggap
positif. Jika terdapat keterbatasan laboratorium, dapat menggunakan urine dipstick.
Jika didapatkan drainage cairan lavage melalui chest tube mengindikasikan penetrasi
diafragma (Boffard, 2002).
Bila hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan FAST dan CT abdomen.
Apabila dengan hemodinamik tidak stabil, dilakukan pemeriksaan FAST atau DPL
(Richard et al., 2007). FAST sangat berguna sebagai alat diagnostic untuk mendeteksi
cairan intra-abdomen, sehingga indikasi DPL menjadi lebih terbatas. Ketiga modalitas
diagnostic ini saling melengkapi dan tidak kompetitif. Kegunaan masing-masing
dapat dimaksimalkan ketika digunakan secara tepat (Radwan, Zidan, 2006)

4. Laparotomi eksplorasi
Laparotomi eksplorasi merupakan modalitas diagnostik paling akhir. Indikasi
dilakukan laparotomi eksplorasi adalah :
- Hipotensi atau syok yang tidak jelas sumbernya
- Perdarahan tidak terkontrol
- Tanda – tanda peritonitis
- Luka tembak pada abdomen
- Ruptur diafragma
- Pneumoperitoneum
- Eviserasi usus atau omentum.
- Indikasi tambahan : perdarahan signifikan dari naso-gastric tube (NGT) atau
rectum, perdarahan dari sumber yang tidak jelas, luka tusuk dengan cedera
vascular, bilier, dan usus (Richard dkk., 2007).

Prioritas pembedahan pada saat laparotomi adalah :


- Menemukan dan mengontrol perdarahan
- Menemukan cedera usus untuk mengontrol kontaminasi feses
- Identifikasi cedera ogan abdomen dan struktur lainnya
- Memperbaiki kerusakan organ dan strukturnya (Richard dkk., 2007)

Penggunaan Skor Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) pada Pasien
Trauma Tumpul Abdomen (Shojaee dkk., 2014)
Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) adalah suatu sistem
skoring yang digunakan untuk mendeteksi pasien yang dicurigai mengalami cedera
organ intra-abdomen akibat trauma tumpul abdomen. Dimana sistem skoring ini dapat
menghemat waktu, mengurangi penggunaan CT abdomen yang tidak perlu, paparan
radiasi, dan biaya yang digunakan untuk menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaannya. Hal-hal yang dinilai dalam BATTS antara lain :
o Nyeri abdomen, nilai skor 2
o Nyeri tekan abdomen, nilai skor 3
o Jejas pada dinding dada, nilai skor 1
o Fraktur pelvis, nilai skor 5
o Focus Assesment Sonography for Trauma, nilai skor 8
o Tekanan darah sistolik <100 mmHg, nilai skor 4
o Denyut Nadi >100 kali/menit, nilai skor 1

Berdasarkan sistem skoring BATSS, pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu


resiko rendah yaitu jika jumlah skor BATSS kurang dari 8, resiko sedang jumlah skor
BATSS 8-12, resiko tinggi jumlah skor BATSS lebih dari 12. Pada kelompok pasien
dengan risiko sedang diperlukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menegakkan diagnosis yang tepat.
Sistem skoring yang ada saat ini yaitu Clinical Abdominal Scoring System
(CASS) sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan perlunya tindakan
laparotomi segera, dan juga meminimalisir penggunaan pemeriksaan lanjutan pada
pasien trauma tumpul abdomen. Selain itu mengurangi waktu dan biaya yang tidak
perlu (Afifi, 2008). Hal ini juga didukung oleh Avini et al, dimana skoring tersebut
memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang baik dalam penentuan laparotomi
(Avini, Nejad, Chardoli, & Movaghar, 2011).
Sistem skoring CASS ini disusun dengan menggunakan sampel dengan
rentang usia yang luas termasuk anak usia 2 tahun pada penelitian Afifi et al. Dimana
angka hipotensi pada rentang usia anak dan dewasa berbeda. Pemeriksaan fisik atau
ultrasound sendiri tidak dapat menggambarkan kondisi pasien. Tetapi kombinasi
gambaran klinis dan hasil Focus Assesment with Sonography in Trauma (FAST),
memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang sama dengan CT scan untuk
mendiagnosis cedera organ intra-abdomen (Shojaee et al, 2014).
Blunt Abdominal Trauma Scoring System memberikan sistem skor dengan
akurasi tinggi dalam mendiagnosis cedera organ intra-abdomen pada pasien trauma
tumpul abdomen berdasarkan gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan
fisik dan FAST. Diagnosis yang ditegakkan berdasarkan sistem skoring ini sangat
mirip dengan hasil yang didapatkan dari CT scan.

5. Tatalaksana
Rumah sakit pusat trauma menggunakan beberapa algoritme dalam
manajemen pasien trauma tumpul abdomen. Penggunaan algoritme ini bertujuan
untuk mempermudah dalam manajemen trauma tumpul, mencakup manajemen awal,
cara diagnostik dan tatalaksana. Mattox, dkk. Dalam buku Trauma edisi ke – 7
membuat algoritme sederhana dalam menajemen trauma tumpul abdomen. dalam
algoritme ini dijelaskan bahwa penggunaan CT scan abdomen berdasarkan stabil atau
tidaknya hemodinamik pasien. Algoritme ini juga digunakan di RSUP Sanglah dalam
manajemen pasien trauma tumpul.
Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien trauma tumpul abdomen
dengan hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan CT scan untuk menilai apakah
ada cedera organ intra-abdomen. Pada protokol ini tidak terlihat bahwa penggunaan
CT scan berdasarkan indikasi yang selektif. Manajemen trauma tumpul seperti ini
juga digunakan di RSUP Sanglah saat ini.
Beberapa senter trauma yang lain menggunakan algoritme yang berbeda
dalam manajemen trauma tumpul abdomen. American collage of surgeon juga
mengeluarkan algoritme dalam manajemen trauma tumpul abdomen. Perbedaanya
adalah, penggunaan CT scan untuk evaluasi pasien trauma tumpul abdoemn dengan
hemodinamik stabil, atas dasar tinggi atau rendahnya risiko terjadinya cedera intra-
abdomen.
Gejala Klinis Yang Berhubungan Dengan Lesi Intra-abdomen Pada Trauma
Tumpul Abdomen
Frekuensi Nadi dan Tekanan Darah Sistolik
Perdarahan merupakan komplikasi terbesar pada pasien trauma. Perdarahan
yang menimbulkan gangguan sirkulasi secara klinis dikenal dengan syok. Perdarahan
berat adalah perdarahan yang mengakibatkan kehilangan darah sebanyak 30% atau
lebih dari estimate blood volume. Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting
pada sistem sirkulasi. Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi
homeostasis di dalam tubuh. Tekanan darah selalu diperlukan untuk daya dorong
mengalirnya darah di dalam arteri, arteriola, kapiler dan sistem vena, sehingga
terbentuklah suatu aliran darah yang menetap. Tekanan darah diatur melalui beberapa
mekanisme fisiologis untuk menjamin aliran darah ke jaringan yang memadai.
Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung (cardiac output) dan resistensi
pembuluh darah terhadap darah. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa
melalui jantung per menit, yaitu isi sekuncup (stroke volume) x laju denyut jantung
(heart rate) (Hasler et al., 2011).
Tekanan darah sistolik adalah tekanan yang dihasilkan otot jantung saat
mendorong darah dari ventrikel kiri ke aorta (tekanan pada saat otot ventrikel jantung
kontraksi). Tekanan darah diastolik adalah tekanan pada dinding arteri dan pembuluh
darah akibat mengendurnya otot ventrikel jantung (tekanan pada saat otot atrium
jantung kontraksidan darah menuju ventrikel). Tekanan darah biasanya digambarkan
sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik. Pemeriksaan tekanan darah
yang akurat adalah bagian integral dari perawatan pasien trauma. Tekanan darah awal
digunakan dalam menilai skor trauma dan menilai adanya syok yang tidak
terkompensasi. Pengukuran tekanan darah dalam Advanced Trauma Life Support
sebagai bagian dari penilaian awal pasien trauma dan pengukuran dilakukan berulang-
ulang untuk menilai respons terhadap upaya resusitasi. Tekanan darah sistolik 90
mmHg telah digunakan sebagai cut-off point untuk menentukan pasien syok.
Hipotensi dini (tekanan darah sistolik 90 mmHg atau kurang) akibat perdarahan yang
ditemukan pada evaluasi awal pasien trauma berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas pasien trauma. Dengan demikian, penilaian status hemodinamik pasien
sangat penting dalam survey primer pasien trauma (Prachalias and Kontis, 2014).
Penurunan tekanan darah terjadi pada pasien dengan syok karena perdarahan
pada pasien trauma. Secara patofisiologis, syok merupakan gangguan hemodinamik
yang menyebabkan tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan.
Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik
terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel dan
sangat kecilnya curah jantung. Gangguan faktor-faktor tersebut disbabkan oleh
bermacam-macam proses baik primer pada sistim kardiovaskuler, neurologis ataupun
imunologis. Diantara berbagai penyebab syok tersebut, penurunan hebat volume
plasma intravaskuler merupakan faktor penyebab utama. Terjadinya penurunan hebat
volume intravaskuler dapat terjadi akibat perdarahan intra-abdomen maupun perdarah
di tempat lain seperti, rongga toraks, pelvis, dan ekstremitas. Kejadian ini
menyebabkan darah yang balik ke jantung berkurang dan curah jantungpun menurun.
Penurunan hebat curah jantung menyebabkan hantaran oksigen dan perfusi jaringan
tidak optimal dan akhirnya menyebabkan syok. Pada tahap awal dengan perdarahan
kurang dari 10%, gejala klinis dapat belum terlihat karena adanya mekanisme
kompensasi sisitim kardiovaskuler dan saraf otonom. Baru pada kehilangan darah
mulai 15% gejala dan tanda klinis mulai terlihat berupa peningkatan frekuensi nafas,
jantung atau nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, penurunan tekanan nadi,
kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler yang lambat dan produksi urin berkurang.
Berdasarkan perjalanan klinis syok seiring dengan jumlah kehilangan darah terlihat
bahwa penurunan pengisian kapiler, tekanan nadi dan produksi urin lebih dulu terjadi
dari pada penurunan tekanan darah sistolik. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang
seksama sangat penting dilakukan, jika hanya berdasarkan perubahan tekanan darah
sitolik dan frekuensi nadi dapat meyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa
dan penatalaksanaan (Schurink G, 1997).
Frekuensi nadi merupakan indikator lain yang digunakan untuk menilai status
hemodinamik pasien trauma. Frekuensi nadi yang tinggi bisa disebabkan karena
adanya perdarahan dan juga karena nyeri atau pasien dalam keadaan cemas.
Perubahan nadi pada pasien trauma merupakan tanda penting dalam menentukan
manajemen pasien. Syok merupakan hal utama yang harus dipikirkan ketika
berhadapan dengan pasien trauma dengan frekuensi nadi yang tinggi. Disamping itu
juga harus menilai tanda tanda syok yang lain. Berdasarkan klasifikasi syok dari
American College of Surgeons Committee on Trauma, tahun 2008, menyatakan
bahwa syok kelas I dengan perkiraan perdarahan kurang dari 750 cc, frekuensi nadi
masih berada dibawah 100 kali per menit. Ini diakibatkan karna beberapa kompensasi
dari tubuh. Sedangkan pada perdarahan lebih dari 750 cc, yaitu syok kelas II,
frekuensi nadi akan mulai mengalami peningkatan lebih dari 100 kali per menit
(Brasel et al., 2007).
Kehilangan darah pada pasien trauma sering disebabkan oleh perdarahan
organ intra-abdomen. Sehingga penting untuk mengevaluasi secara klinis apakah ada
cedera intra-abdomen ketika menemukan pasien trauma dengan penurunana tekanan
darah dan peningkatan frekuensi nadi. Perdarahan juga bisa disebabkan karena cedera
di rongga toraks, cedera pelvis, dan cedera pada ekstremitas. Dari pemeriksaan nadi
dan tekanan darah, bisa memprediksi seberapa banyak kehilangan darah pasien yang
mengalami trauma (Sugrue et al., 2007).
Sebuah penelitian di Inggris menyatakan bahwa frekuensi nadi saja tidak
cukup untuk menentukan kebutuhan resusitasi untuk penanganan pasien pendarahan.
Meskipun frekuensi nadi yang cepat pada pasien paska trauma menunjukan suatu
tanda syok yang perlu intervensi, tetapi jika tidak ditemukan adanya nadi yang cepat,
tidak menutup kemungkinan bahwa pasien juga perlu intervensi berdasarkan tanda
klinis yang lain (Brasel et al., 2007).
Penelitian di Switzerland mengidentifikasi sebuah cut off untuk definisi
hipotensi yaitu tekanan darah sistolik 100 mmHg. Tingkat kematian dua kali lipat
pada tekanan darah sistolik < 100 mmHg, tiga kali lipat pada tekanan darah sistolik <
90 mmHg dan meningkat 5 sampai 6 kali lipat pada tekanan sistolik < 70 mmHg.
Oleh karena itu direkomendasikan pada semua pasien trauma tumpul dengan tekanan
darah sistolik < 100 mmHg harus dirawat di area resusitasi dalam pusat trauma untuk
pemantauan ketat dan manajemen klinis yang optimal (Hasler et al., 2011).

Jejas di Regio Abdomen


Adanya perlukaan atau jejas pada regio abdomen dapat memprediksi adanya
cedera organ dibawahnya. Pada trauma abdomen biasanya ditemukan kontusio,
abrasi, laserasi dan ekimosis. Ekimosis merupakan indikasi adanya perdarahan di
intra-abdomen. Terdapat Ekimosis pada daerah umbilikal biasa kita sebut Cullen’s
Sign sedangkan ekimosis yang ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai
Turner’s Sign. Jejas atau perlukaan yang ditemukan pada pasien trauma tumpul
abdomen merupakan faktor prediktor yang penting dalam menilai apakah perlukaan
tersebut juga menimbulakan cedera organ dibawahnya. Pasien dengan trauma tumpul
abdomen sering kali kita melihat adanya jejas pada regio abdomen tersebut, tetapi ada
juga yang tanpa adanya jejas. Adanya jejas membuat kita lebih berfikir untuk
melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk membuktikan apakah ada cedera organ di
dalamnya atau tidak. Sedangkan jika tidak ada jejas, tetap juga diperhatikan apakah
pasien mengalami cedera intra-abdomen atau tidak dengan menilai gejala klinis yang
lain. Sebab mekanisme cedera intra-abdomen bisa juga karena proses deselerasi, tidak
hanya karena trauma secara langsung. Penilaian jejas dapat memprediksi organ apa
yang terkena dibawahnya sesuai dengan lokasi anatomi abdomen, dan disesuaikan
dengan gejala klinis yang lain (Neeki et al., 2017).
Salah satu tipe jejas yang sering ditemukan adalah jejas yang menyerupai
sabuk pengaman (Seat Belt Sign). Sebuah penelitian di Amerika menyebutkan bahwa
pasien dengan Seat Belt Sign setelah kecelakaan lalu lintas cenderung terjadi cedera
intra-abdomen daripada pasien tanpa Seat Belt Sign. Pasien dengan SBS tapi tanpa
disertai nyeri perut memiliki risiko lebih rendah untuk terjadinya cedera organ intra-
abdomen (Sokolove, 2000). Penelitian lainya juga mendukung bahwa pasien dengan
tanda sabuk pengaman (Seat beat sign) setelah kecelakaan kendaraan bermotor
memiliki risiko cedera intra-abdomen yang lebih besar daripada mereka yang tidak
memiliki tanda Seat Belt Sign. Meskipun demikian, pada beberapa kasus cedera intra-
abdomen sering tidak disertai jejas dan tidak ada keluhan awal nyeri perut pada
pemeriksaan. Risiko cedera intra-abdomen selalu ada sebelum terbukti tidak terjadi,
terutama yang disebabkan oleh proses deselerasi. Evaluasi dengan observasi,
pemeriksaan laboratorium, dan computed tomography umumnya diperlukan (José
Gustavo Parreira and Juliano Mangini Dias Malpaga, 2015).

Nyeri Abdomen
Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri
juga dapat bersifat spontan tanpa dilakukan palpasi. Lokasi nyeri sangat penting untuk
mengetahui kemungkinan organ yang terkena. Nyeri abdomen secara menyeluruh
merupakan tanda yang penting kemungkinan peritonitis akbat iritasi peritoneum, baik
oleh darah maupun isi usus. Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen
(voluntary guarding) dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans
muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum.
Palpasi menentukan adanya nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri
lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba - tiba,
dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus
yang mengiritasi peritonium (Rostas et al., 2015). Adanya darah atau cairan usus
dalam rongga peritoneum akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum
berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding abdomen.
Kekakuan dinding abdomen dapat pula diakibatkan oleh hematomaa pada dinding
abdomen. Adanya darah dalam rongga abdomen dapat ditentukan dengan shifting
dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau
menghilang. Trauma abdomen disertai ranggsangan peritoneum dapat memberikan
gejala berupa nyeri pada daerah bahu terutama yang sebelah kiri. Gejala ini dikenal
sebagai referred pain yang dapat membantu menegakkan diagnosis (Gallagher et al.,
2004)
Terdapat 4 alat Unidimentional Pain Rating Scale (UPRS) utama yang
digunakan dalam praktek klinis untuk menilai nyeri. Terdiri dari Numeric Rating
Scale (NRS), Verbal Rating Scale (VRS), Faces Pain Scale (FPS) dan Visual
Analogue Scale (VAS). Visual Analogue Scale (VAS) merupakan salah satu cara
cepat yang digunakan di unit gawat darurat untuk menilai derajat nyeri pasien trauma.
Syarat utama dari pemeriksaan ini adalah pasien harus sadar baik. Pemeriksaan bisa
langsung dilakukan tanpa melakukan intervensi atau dengan melakukan palpasi pada
abdomen. VAS merupakan teknik sederhana untuk mengukur pengalaman subjektif
pasien terhadap rasa nyeri. VAS telah ditetapkan secara valid dan dapat diandalkan
berbagai aplikasi klinis dan penelitian, walaupun ada juga bukti adanya peningkatan
kesalahan dan penurunan sensitivitas saat digunakan pada beberapa kelompok subjek.
VAS telah digunakan sangat luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini dalam
penelitian terkait dengan nyeri dengan hasil yang handal, valid dan konsisten.VAS
adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan
menggunakan sebuah tabel garis 10 cm dengan interpretasi sebagai berikut : 0 (tidak
nyeri), 1-2 (nyeri ringan), 3-6 (nyeri sedang), 7-8 (nyeri berat), 9-10 (nyeri sangat
berat). Cara penilaiannya adalah penderita menandai sendiri dengan pensil pada nilai
skala yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan
dari pemeriksa tentang makna dari setiap skala tersebut. Penentuan skor VAS
dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung garis yang menunjukkan tidak nyeri
hingga ke titik yang ditunjukkan pasien (Laeseke and Gayer, 2012).
Nyeri abdomen merupakan tanda yang spesifik untuk menilai adanya cedera
intra-abdomen pada pasien trauma, mulai dari nyeri sedang, dengan VAS 3 sampai
dengan nyeri yang sangat berat Sehingga pemeriksaan ini sangat penting dilakukan
untuk manajemen pasien lebih lanjut. Dalam penelitianya Neeki, dkk menyebutkan
bahwa nyeri perut yang ringan pada trauma tumpul abdomen dikaitkan dengan
rendahnya angka splenektomi. Pasien trauma tumpul abdomen dengan nyeri perut
yang ringan memerlukan jangka waktu yang lebih panjang untuk melakukan tindakan
diagnosis seperti pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan abdomen untuk
menyingkirkan adanya cedera intraabdoemen (Neeki et al., 2017). Penelitian lainya
mengungkapkan bahwa nyeri perut pada trauma tumpul abdomen berhubungan
dengan tindakan laparotomi, dimana tidak adanya nyeri perut pada trauma abdomen
mengurangi angka intervensi bedah yang dilakukan untuk penyelamatan pasien (Zago
et al., 2012).
Keterlambatan dalam mengenali tanda adanya cedera intra-abdomen termasuk
nyeri abdomen sangat membahayakan keselamatan pasien dan meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas pasien trauma tumpul abdomen. Secara keseluruhan pasien
dengan trauma tumpul abdomen menunjukan banyak gejala klinis yang sulit untuk
mengidentifikasi. Sehingga diperlukan kecermatan para dokter di unit gawat darurat
untuk menilainya. Disamping nyeri abdomen perlu juga dilihat tanda tanda lain yang
berhubungan dengan adanya cedera intra-abdomen sehingga diagnosis dan
manajemen pasienya lebih baik (Farrath et al., 2012).
Gross Hematuria
Hematuria didefinisikan sebagai adanya sel darah merah dalam urin. Disebut
hematuria makroskopis (Gross Hematuria) jika dapat terlihat secara kasat mata,
sedangkan hematuria mikroskopik dapat dideteksi menggunakan uji dipstick atau
pemeriksaan sedimen urin. Meskipun masih terdapat kontroversi, American
Urological Association (AUA) mendefinisikan hematuria sebagai ditemukannya sel
darah merah = 3/LPB pada spesimen sedimen urin yang diambil dari dua sampel urin
tengah (midstream) (Dalton, Dehmer and Shah, 2015).
Hematuria memainkan peran penting dalam mengambil keputusan apakah
pasien dengan trauma abdomen tumpul perlu tindakan diagnostik lain seperti CT scan
abdomen atau tidak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tidak adanya
hematuria, hemodinamik yang stabil, dan kecurigaan rendah adanya cedera intra-
abdomen mayor, pemeriksaan radiologi seperti CT scan mungkin tidak perlu.
Sebaliknya, disarankan agar pemeriksaan radiologi seperti CT scan pada pasien
diperlukan jika ditemukan adanya hematuria makroskopis dengan ketidakstabilan
hemodinamik, indeks kecurigaan yang tinggi untuk cedera perut, atau adanya cedera
deselerasi yang signifikan (Dalton, Dehmer and Shah, 2015).
Gross hematuria pada trauma berhubungan dengan cedera organ urogenital,
termasuk ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Biasanya sering disertai dengan
fraktur pelvis. Tanda kardinal dari trauma ginjal adalah hematuria, yang dapat bersifat
massif atau sedikit, tetapi besarnya trauma tidak dapat diukur dengan volume
hematuria. Sebagian besar trauma (ruptur) ginjal muncul dengan gejala hematuria
(95%), yang dapat menjadi besar pada beberapa trauma ginjal yang berat. Akan tetapi,
trauma vaskuler ureteropelvic (UPJ), hematuria kemungkinan tidak tampak (Lynch,
Martı and Tu, 2005).
Hematuria baik mikroskopik maupun gross/makroskopik sering ditemukan
pada kondisi trauma ginjal, namun tidak sensitif ataupun spesifik untuk membedakan
trauma minor atau mayor. Trauma renal mayor seperti trauma pedikel ginjal,
trombosis arteri segmental dapat muncul tanpa hematuria. Derajat hematuria tidak
berbanding dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu diperhatikan bila tidak ada
hematutia, kemungkinan cedera berat seperti putusnya pedikel dari ginjal atau ureter
dari pelvis ginjal (Brewer et al., 2007).
Hematuria bisa mengindikasikan adanya cedera uretra tetapi tidak spesifik.
Jumlah perdarahan dari uretra tidak berhubungan dengan tingkat keparahan cedera,
dan total transeksi uretra dapat menyebabkan sedikit perdarahan atau tidak ada
hematuria sama sekali.. Selain itu, rasa sakit saat buang air kecil atau
ketidakmampuan untuk berkemih menunjukkan gangguan pada uretra. Prostat letak
tinggi merupakan temuan yang relatif tidak dapat diandalkan pada fase akut, karena
hematomaa pelvis yang terkait dengan fraktur panggul sering menghalangi palpasi
prostat yang kecil, terutama pada pria yang lebih muda. Pada wanita, didapatkan lebih
dari 80% pasien dengan fraktur pelvis disertai cedera uretra, dengan gejala klinis
gross hematuria (Lynch, Martı and Tu, 2005). Penelitian terdahulu menyebutkan
bahwa pasien trauma tumpul abdomen dengan gross hematuria tanpa disertai dengan
syok hipovolemik, setelah dilihat dengan pemeriksaaan radiografi sebagian besar
ditemukan adanya kontusio pada ginjal, dan sebagian kecil ditemukan cedera ginjal
yang lebih berat. Keadaan ini akan tidak terdeteksi jika pasien trauma tumpul
abdomen dengan gross hematuria tidak dilakukan pemeriksaan radiografi seperti CT
scan (Smith, 1986).

Fraktur Pelvis
Fraktur pelvis merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan cedera
intra-abdomen. Tile mengklasifikasikan fraktur pelvis berdasarkan stabil dan tidaknya
cincin pelvis. Fraktur pelvis yang tidak stabil biasanya terjadi akibat cedera dengan
energi yang tinggi. Biasanya disertai dengan cedera organ lainya, seperti : cedera
kepala, toraks, dan abdomen. 60-80% pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi
memiliki hubungan lain dengan cedera abdomen dan muskuloskeletal, 12%
berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan dengan cedera pleksus
lumbosacralis. Kejadian keseluruhan cedera genitourinaria yang berhubungan dengan
patah tulang pelvis adalah sebesar 12%, yang paling sering adalah cedera kandung
kemih (Demetriades et al., 2002).
Fraktur pelvis dapat menimbulkan cedera yang berat dan sering terjadi terkait
dengan cedera intraabdominal mayor dan pendarahan dari lokasi fraktur. Pasien
dengan fraktur pelvis memiliki insidensi yang tinggi terjadinya cedera abdomen.
Cedera organ intra-abdomen berbanding lurus dengan tingkat keparahan fraktur
pelvis. Cedera kandung kemih dan uretra sering terjadi sesuai tingkat keparahan
fraktur pelvis (Demetriades et al., 2002).
Pria dan wanita sama-sama cenderung mengalami cedera pada kandung kemih
tapi kerusakan pada uretra pria lebih sering terjadi dibandingkan wanita. Patah tulang
ekstremitas dan tulang belakang juga bisa terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis.
Perdarahan dapat menyertai fraktur pelvis terutama akibat patah tulang terbuka,
cedera pada jaringan lunak, dan perdarahan vena lokal. Gangguan cincin pelvis yang
tidak stabil akibat translasi dan rotasi menyebabkan deformitas, nyeri, dan kecacatan
yang signifikan. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien
dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur
pelvis berkekuatan-tinggi. Evaluasi pasien secara lengkap sangat penting pada pasien
dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi karena sering berhubungan dengan cedera
yang lain (Corwin et al., 2014).
Fraktur pelvis yang disertai dengan gross hematuria pada pasien trauma
merupakan indikasi untuk dilakukan sistografi, untuk menilai adanya cedera kandung
kemih atau uretra. Adanya fraktur pelvis dan tanda klinis yang lain seperti jejas
suprapubis, nyeri, dan gross hematuria, merupakan faktor risiko yang sangat tinggi
terjadinya cedera kandung kemih. Sedangkan fraktur pelvis yang stabil dan tidak
adanya gross hematuria berhubungan dengan rendahnya angka cedera saluran kemih.
Penelitian lainya menyebutkan bahwa pasien dengan fraktur pelvis meningkatkan
risiko terjadinya cedera organ urogenital. Cedera urogenital tersendiri bukan
merupakan prediktor utama terjadinya mortalitas pasien, tetapi fraktur pelvis dengan
cedera urogenital sering disertai dengan cedera multipel lainya, sehingga terjadi
peningkatan angka kematian secara menyeluruh akibat multitrauma yang dialami
pasien (White, Hsu and Holcomb, 2009).
1. Plan
Diagnosis
Trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil

Diagnosis Sekunder
Gross hematuria es susp ruptur minor ginjal

Pengobatan
Pada pasien ini diberikan tata laksana awal:
O2 3-4 lpm nasal canule
IVFD RL 20 tpm makro
Inj Ketorolac 30 mg IV
Cek DL
Rontgen pelvic AP

Pendidikan
Kita menjelaskan prognosis dari penyakit tersebut, serta komplikasi yang
mungkin terjadi

Konsultasi
Konsultasi dengan spesialis bedah untuk penanganan lebih lanjut.

Rujukan
-

Peserta, Pendamping,

dr. Desi Gloria Damanik dr. B. Theresia A. J. Mulowato

Anda mungkin juga menyukai