Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

FRAKTUR COSTAE 5, 6, 7 PASCA TRAUMA

Oleh :
Armiko Bantara, S. Ked
NIM: 71 2019 002

Pembimbing
dr. H. Gunawan Tohir, Sp.B., MM.

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
I. Identitas Pasien
Nama : Ny.Aisyah Bin Zulherman
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Talang Buruk, Kota Palembang
Status : Menikah
Agama : Islam
No RM : 500251
MRS : 20 Januari 2021
Tanggal pemeriksaan : 20 Januari 2021

II. Anamnesa
Keluhan utama : Nyeri dada sebelah kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke unit gawat darurat RSUD Bari, dalam keadaan bisa
berjalan sendiri. Mengeluh nyeri dada sebelah kiri dirasakan setelah jatuh
dari tempat tidur pada hari jum’at pukul 04.00. Saat itu pasien sedang tidur
dan tiba-tiba terjatuh dari tempat tidur. Pasien terjatuh dalam posisi miring
ke kiri dan lantai membentur bagian dada sebelah kiri.
Setelah itu, pasien mengeluh nyeri terutama ketika bernafas dalam,
bergerak dan batuk, namun pasien tidak mengeluhkan adanya sesak.
Untuk mengurangi nyeri nya pasien minum obat anti nyeri dan nyeri nya
bisa berkurang. 1 hari kemudian nyeri nya semakin bertambah berat,
beberapa saat setelah pasien bersin keras dan terdengar suara “krek” pada
dinding dada sebelah kiri, namun nyeri yang dirasakan tidak sampai
mengganggu pernafasan pasien, pasien masih bisa bernafas seperti biasa.
Tidak ada luka pada dada sebelah kiri, hanya luka memar saja. Tidak ada
benturan di kepala maupun di bagian tubuh yang lain, riwayat pingsan (-),
mual (-), muntah (-), kejang (-). Batuk darah (-).
BAB lancar, 1 kali sehari, konsistensi lunak, lendir (-), darah (-), BAK
lancar, 3-4 kali sehari, warna kuning jernih, darah (-), nyeri saat BAK (-),
kencing berpasir (-), kencing malam hari 1-2 kali sehari.

Riwayat penyakit dahulu :


Pasien tidak pernah memiliki riwayat trauma, riwayat operasi, dan
riwayat alergi sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga :


Keluarga pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini, riwayat
asma (-), riwayat diabetes militus (-), riwayat operasi (-).

Riwayat pengobatan :
Pasien hanya minum obat anti nyeri yang dibeli sendiri dan belum
pernah berobat ke tempat lain.

Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya alergi terhadap makanan atau obat-obatan
tertentu.

III. PemeriksaanFisik
A. Primary Survey
Airway
- Jalan napas tidak ada sumbatan
- Snoring (-), gargling (-)

Breathing
- Spontan
- RR: 18x/menit, stridor (-)
- Pergerakan dinding dada asimetris
- Sonor pada kedua lapang paru
- Vesikuler +/+, suara napas tambahan -/-
Circulation
- Nadi: 84 x/menit, teraba kuat, reguler
- TD : 120/80 mmHg
- CRT <3 detik

Disability
- GCS 15 (E4M6V5)
- Pemeriksaan mata: Pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+
- Tanda lateralisasi (-)

Exposure
- Tampak lebam pada dada sebelah kiri.

B. Secondary Survey
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis (E4 M6 V5)
Tanda vital
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 84 kali/menit, teraba kuat, reguler
- Pernapasan : 18 kali/menit
- Suhu tubuh : 36,5oC

Status Gizi : BB: 54 kg, TB: 165 cm, IMT : 19,83 kg/m2

Skala Nyeri :5

Nyeri berdasarkan SOCRATES


Site (Lokasi) : Nyeri pada dada sebelah kiri
Onset (Mulai timbul) : ± 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Character (Sifat) : Nyeri Tajam
Radiation (Penjalaran) : Nyeri tidak menjalar
Association (Hubungan) : Sesak tidak dirasakan
Timing (Saat terjadinya) : Timbul setelah kejadian terjatuh
Exacerbating and relieving factor : Nyeri apabila bernapas dalam
Severity (Tingkat keparahan) : 5
Keadaan Spesifik
Kulit : Warna sawo matang, turgor baik
Kepala : Normochepali, jejas (-)
Rambut : Warna hitam, distribusi merata
Wajah : Simetris
Mata : Pupil bulat isokor, konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia, sekret -/-
Hidung : Sekret -/-, hiperemis -/-
Leher : Trakea lurus di tengah, KGB tidak membesar
Thoraks : Status Lokalis
Paru : Suara napas vesikuler di kedua lapang paru, rhonkii -/-,
wheezing -/-
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Masa (-), nyeri tekan (-),bising Usus (+),
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <3 detik, edema +/-, sianosis -/-

Status Lokalis
Thoraks
Inspeksi : Bentuk dan ukuran dada normal, gerakan dada simetris,
iktus kordis tidak tampak, Memar (+), Pelebaran sela iga
(-), Gerakan paradoksal (-)
Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, iktus kordis teraba di ICS
V linea mid klavikula sinistra, nyeri tekan (+) di
midclavicula line sampai anterior axilari line, krepitasi
tulang (-), empisema subkutis (-).
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru. Batas jantung kanan :
parasternal kanan ICS II, kiri : ICS V midklavikula.
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

IV. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (20 Januari 2021)

HB : 12,7 gr/dl
Hct : 41,7 %
MCV : 97,3 fl
MCH : 29,6 pg
MCHC : 30,5 g/dl
PLT : 171 . 10
WBC : 7,5 . 10^3

Pemeriksaan Radiologis
- Tampak Foto posisi AP
- Inspirasi cukup
- A (airway)
o Trakea : Terlihat trakea, terletak di tengah
o Mediastinum : tidak ada pergeseran mediastinum
- B (bone)
o Tampak fraktur costae V-VII
o Tidak tampak adanya udara subkutis dan benda asing
- C (cardiac) : ukuran jantung normal
- D (diafragma) : normal kiri kanan
- E (efusi) : sudut costofrenikus tajam
- F (field/lung field) : pulmo dalam batas normal
- G (gastric air bubble) : udara pada lambung terdapat di sebelah kiri
dan tidak tampak adanya udara bebas subdiafragma
- Kesan : Fraktur Costae V-VII

V. Diagnosis Kerja Pra Operasi: close fraktur costae V-VII Pasca Trauma

VI. Diagnosis Banding :


- Flail chest
- Contusio paru

VII. Usulan Pemeriksaan


- Pulse oxymetri
- Darah lengkap
- EKG
- Rontgen thoraks

VIII. Rencana terapi


 O2 2 lpm
 IVFD RL 20 tpm
 Inj cefotaxim 1 gr/12 jam
 Inj.ketorolac 3 % 1 amp/8 jam
 Observasi keluhan dan TTV

IX. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Toraks


Toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, pada bagian
bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih
panjang dari pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru-paru dan
mediatinum. Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua
paru-paru, di dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya
yaitu; sistem pernapasan dan peredaran darah.

Organ yang terletak dalam rongga dada, yaitu esophagus, paru, hati,
jantung, pembuluh darah dan saluran limfe. Kerangka toraks meruncing
pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, dua belas
pasang iga (costae), sepuluh pasang iga yang berakhir dianterior dalam
segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang.

Tulang iga berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti


jantung, paru-paru, hati dan lien. Rangka toraks terluas adalah iga-iga
(costae) yang merupakan tulang jenis osseokartilaginosa. Memiliki
penampang berbentuk konus, dengan diameter penampang yang lebih kecil
pada iga teratas dan makin melebar di iga sebelah bawah. Di bagian
posterior lebih petak dan makin ke anterior penampang lebih memipih.

Penampang corpus costae adalah tipis dan rata dengan 2 permukaan


(eksternal dan internal), serta 2 tepi (superior dan inferior). Permukaan
eksternal cembung (convex) dan halus; permukaan internal cekung
(concave) dengan sudut mengarah ke superior. Diantara batas inferior dan
permukaan internal terdapat costal groove, tempat berjalannya arteri-vena-
nervus interkostal. Iga pertama merupakan iga yang penting oleh karena
menjadi tempat melintasnya plexus brachialis, arteri dan vena subklavia.
M.scalenus anterior melekat di bagian anterior permukaan internal iga I
(tuberculum scalenus), dan merupakan pemisah antara plexus brachialis di
sebelah lateral dan avn subklavia di sebelah medial dari otot tersebut.. Lebih
dalam dari m. intercostalis internus terdapat fascia transversalis, dan
kemudian pleura parietalis dan rongga pleura. Pembuluh darah dan vena di
bagian dorsal berjalan di tengah iga (lokasi untuk melakukan anestesi blok),
kemudian ke anterior makin tertutup oleh iga.
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan musculus utama
dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus,
dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior
dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor
membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.

Struktur dan Komposisi Interkosta

Bagian dan Struktur Dalam Rongga Thoraks

2.2 Fraktur Costae


2.3 Defenisi
Fraktur costae adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang /
tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada
tulang iga. Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat
trauma tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih jarang
mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit,
sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga sering terjadi pada
iga IV-X dan sering menyebabkan kerusakan pada organ intra toraks dan
intra abdomen.

2.4 Epidemiologi

Prevalensi dari fraktur costae berhubungan dengan prevalensi


penyebab dari trauma. Fraktur iga di dunia lebih banyak terjadi karena
kecelakaan lalulintas. Angka kejadian berhubungan dengan derajat dari
cedera yang didapat. Insiden fraktur kosta di Amerika serikat banyak
dilaporkan dengan lebih dari 2 juta trauma tumpul terjadi yang biasanya
karena kecelakaan kendaraan bermotor, dengan insiden dari trauma toraks
antara 67 dan 70%. Suatu studi pada pasien dengan fraktur kosta, angka
kematian mencapai 12%; dengan 94% berhubungan dengan trauma itu
sendiri dan 32% didapatkan dengan hemothorax atau pneumothorax.1,2

Lebih dari setengah dari semua pasien memerlukan tindakan operasi


atau penanganan ICU. Suatu penelitian retrospective dari 99 pasien lanjut
usia, 16 % dari pasien dengan confidence interval 95%, sedangkan 9.5-
24.9% mengalami perburukan termasuk dua orang meninggal. Perburukan
yang terjadi karena acute respiratory distress syndrome (ARDS),
pneumonia, intubasi yang tidak terantisipasi, transfer ke ICU dengan
hipoksemia atau meninggal.3

Pada anak anak lebih banyak terjadi trauma pada bagian bawah
toraks dan bagian perut sehingga bila terjadi fraktur iga dapat menjadi tanda
adanya kemungkinan cedera dengan tenaga yang lebih besar. Pada anak
yang lebih muda dari 2 tahun dengan fraktur iga mempunyai prevalensi
karena kekerasan pada anak sekitar 83%. Pada anak-anak jarang terjadi
fraktur iga karena tulang iga anak anak lebih elastis dibandingkan orang
dewasa.2

2.5 Patofisiologi Fraktur Costae

Dinding toraks melindungi dan mengelilingi bagian organ


didalamnya dengan tulang padat seperti tulang iga, clavikula, sternum dan
scapula. Pada pernafasan normal dibutuhkan sebuah dinding toraks yang
normal. Fraktur iga mengganggu proses ventilasi dengan berbagai
mekanisme. Nyeri dari fraktur iga dapat disebabkan karena penekanan
respirasi yang menghasilkan atelectasis dan pneumonia. Fraktur iga yang
berdekatan seperti flail chest mengganggu sudut costovertebral normal dan
otot diaphragma, menyebabkan penurunan ventilasi. Fragmen tulang dari
iga yang patah dapat menusuk bagian paru yang menimbulkan hemothorax
atau pneumothorax.3

Fraktur costae merupakan cedera yang paling sering terjadi pada


trauma tumpul toraks lanjut usia. Posisi dari patahan fraktur iga membantu
untuk mengidentifikasi kemungkinan cedera pada organ dibawahnya.
Fraktur pada iga pertama menggambarkan trauma serius pada spinal atau
pembuluh darah. Fraktur pada iga pertama dapat menjadi prediksi terjadinya
cedera serius. Tulang iga pertama dilindungi dengan baik oleh bahu, otot
leher bagian belakang dan clavikula sehingga bila terjadi patah pada tulang
ini, memerlukan energi lebih dibandingkan dengan patah pada tulang iga
lainnya. Angka kematian sekitar 36% sudah dilaporkan pada fraktur tulang
iga pertama berhubungan dengan cedera pada paru, aorta asenden, arteri
subklavia dan plexus brachialis. Tulang iga biasanya mengalami patah pada
bagian posterior karena secara struktural bagian ini merupakan yang paling
lemah. Iga ke 4 sampai 9 lebih sering terjadi cedera. Mekanisme terjadinya
cedera tulang kosta pertama pada kecelakaan lalu lintas terjadi karena
kontraksi otot akibat gerakan tiba-tiba dari kepala dan leher.3,4

2.6 Manifestasi Klinis


Pasien dengan patah tulang kosta biasanya dengan nyeri berat
khususnya saat inspirasi atau ketika bergerak. Tanda dan gejala lainnya
termasuk tenderness dan kesulitan dalam pernafasan. Ketidaksimetrisan dari
pergerakan dinding toraks (flail chest). Pasien juga biasanya ditemukan
tanda adanya kecemasan, kelemahan, keluhan nyeri kepala dan
mengantuk.1,3,6

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan fisik dilakukan setelah dilakukan anamnesis untuk


mengetahui mekanisme kejadian kemudian perlu dilakukan pemeriksaan
untuk menunjang diagnosis. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
dilakukan meliputi:

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak begitu berguna untuk


mengevaluasi pada kasus isolated rib fractures. Pemeriksaan urinalisis pada
kasus patah tulang iga bagian bawah diindikasikan pada trauma ginjal. Tes
fungsi paru seperti analisa gas darah digunakan untuk mengetahui adanya
kontusio paru tetapi bukan pemeriksaan untuk patah tulang toraks itu
sendiri.3

b. Foto Polos Toraks

Pemeriksaan pertama pada pasien dengan trauma toraks adalah foto


polos toraks. X-ray hanya membutuhkan sedikit waktu sesudah terjadinya
cedera. Deteksi dini adanya kontusio paru, hematoma, laserasi sangat
penting untuk mengetahui kelainan patologis dan perencanaan perawatan.
Angka kematian dapat

diturunkan dengan kerjasama antara radiologis dengan dokter emergensi.1


Fraktur costae multipel kanan dan kiri,

Pemeriksaan foto polos toraks sangat berguna untuk mengetahui


cedera lainnya seperti adanya hemothorax, pneumothorax, kontusio paru,
atelectasis, pneumonia dan cedera pembuluh darah. Adanya patah tulang
sternum dan scapula dapat menjadi kecurigaan adanya patah iga. Cedera
aorta tampak ada pelebaran > 8 cm dari mediastinum pada bagian atas
kanan dari hasil foto polos

Toraks.

c. Ultrasonography (USG)

Pemeriksaan USG memberikan diagnosa yang cepat tanpa radiasi.


Pemeriksaan Ultrasonography juga dapat mendeteksi kartilago iga dan
costochondral junction. Proses penyembuhan dengan callous formation juga
dapat dideteksi dengan USG. Ultrasonography dilaporkan mempunyai
sensitivitas yang bisa diterima dengan hasil sensitivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan radiografi (0.92 vs. 0.44) tetapi hasil ini sangat
tergantung pada operator alat dan alat yang digunakan.3

d. CT Scan Toraks4

CT scan toraks lebih sensitif daripada foto polos toraks untuk


mengetahui fraktur tulang iga. Jika dicurigai adanya komplikasi dari fraktur
kosta pada pemeriksaan foto polos toraks, CT scan toraks dapat dilakukan
untuk mengetahui cedera yang spesifik sehingga dapat membantu
penanganan selanjutnya. Foto polos toraks dapat menjadi tidak efektif pada
beberapa kondisi sehingga diperlukan CT scan toraks yang dapat mencegah
dari kondisi yang serius. Computed tomography (CT) sangat sensitive untuk

mendiagnosa kontusio paru dengan ukuran 3 dimensi. CT scan dapat


membedakan area dari kontusio paru terjadi atelectasis atau aspirasi.

Fraktur costae Multipel

e. Pemeriksaan Angiography

Fraktur iga pertama dan kedua biasanya berhubungan dengan cedera


pembuluh darah maka dokter di unit gawat darurat dapat melakukan
angiography khususnya pada pasien dengan tanda dan gejala gangguan
neurovascular. Hal ini penting khususnya pada fraktur kosta tulang kedua
dengan kemungkinan hasil abnormal yang lebih tinggi ditemukan daripada
patah iga yang lain.

f. MRI

MRI digunakan untuk mengetahui angulasi fraktur bagian posterior


lateral meskipun MRI tidak digunakan untuk diagnosis pertama pada fraktur
iga.

2.8 Penatalaksanaan Fraktur Costae

a. Penatalaksanaan Prehospital
Penatalaksanaan prehospital harus fokus dalam mempertahankan jalan
nafas dan dengan bantuan oksigenasi.
b. Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat

Tujuan utama dari penatalaksanaan di unit gawat darurat adalah untuk


menstabilkan kondisi pasien trauma dan evaluasi dari multi trauma.
Manajemen dan kontrol nyeri mutlak pada penatalaksanaan fraktur iga.
Manajemen nyeri dapat dimulai dengan pemberian analgetik NSAID bila
tidak ada kontraindikasi. Dilanjutkan dengan golongan narkotik bila
hasilnya tidak memuaskan. Pilihan lain adalah narkotik parenteral untuk
mencegah depresi pernafasan. Beberapa penelitian merekomendasikan
rawat inap untuk pasien dengan 3 atau lebih fraktur iga dan perawatan ICU
untuk pasien lanjut usia dengan 6 atau lebih patah tulang kosta karena ada
hubungan yang signifikan dari patah tulang tersebut dengan adanya cedera
serius pada organ dalam seperti pneumothorax dan kontusio paru.3

Kontrol nyeri perlu dipertahankan selama perawatan kontrol nyeri


merupakan dasar dari kualitas perawatan pasien untuk menjamin
kenyamanan pasien. Pasien dengan fraktur iga akan mengalami nyeri berat
ketika bernafas, berbicara, batuk maupun ketika menggerakkan tubuh.
Sehingga kontrol nyeri merupakan prioritas untuk menurunkan risiko paru
dan efek sistemik dari fraktur seperti penurunan fungsi pernafasan yang
memicu terjadinya hypoxia, atelectasis, dan pneumonia6

Penggunaan fiksasi patah tulang kosta meningkat untuk penanganan


flail chest karena peningkatan jumlah publikasi tentang peningkatan
outcome pasien. Belum ada publiksasi tentang keunggulan dari fiksasi patah
tulang kosta tetapi ada perbedaan dari teknik muscle sparing dan tradisional
untuk penanganan toraks dan pembedahan spinal. Fiksasi patah tulang
melalui pembedahan/Surgical Rib fixation (SRF) merupakan suatu
penanganan pada flail chest untuk menjaga stabilitas dinding toraks.4,7
Sumber Harborview Medical Center rib fracture management protocol. ICU, intensive care unit; IS,
incentive spirometry; IV, intravenous; PIC, Pain, Inspiratory capacity, and Cough; PCA, patient-controlled
analgesia.

2.9 Komplikasi Fraktur Costae

a. Kegagalan fungsi respirasi


Nyeri pada dinding toraks karena fraktur iga meningkatkan kerja dari
pernafasan dan resiko terjadi kelemahan pada paru-paru. Kegagalan
respirasi dapat terjadi karena trauma pada dinding toraks dan lebih sering
terjadi kontusio paru atau terjadinya pneumonia nosokomial.3
b. Hipoksia
Fraktur iga mengganggu proses ventilasi dengan berbagai mekanisme.
Ketidaksesuaian perfusi/ventilasi menurunkan pertukaran gas dan
penurunan compliance paru sehingga secara klinis muncul gejala seperti
hipoksia. Kegagalan pernafasan terjadi ketika pertukaran O2 dengan CO2
tidak adekuat sesuai kebutuhan metabolisme sehingga menyebabkan
hypoxaemia.
c. Atelektasis
Nyeri dari fraktur iga dapat disebabkan karena penekanan respirasi
yang menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Hipoksemia berhubungan
dengan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi karena penurunan ventilasi
sehingga meningkatkan FiO2. Bila atelectasis muncul, positive end
expiratory pressure (PEEP) akan meningkatkan PaO2.
d. Pneumonia
Pneumonia merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi
pada fraktur iga. Pneumonia dapat bervariasi tergantung pada fraktur iga
dan umur pasien. Insiden terjadinya pneumonia pada semua pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan satu atau lebih patah tulang kosta sekitar 6
%.
e. Kerusakan Organ Viseral
Fraktur iga bagian bawah biasanya berhubungan dengan trauma pada
organ abdomen dibandingkan dengan parenkim paru. Fraktur pada bagian
bawah kiri berhubungan dengan trauma lien dan fraktur pada bagian bawah
kanan berhubungan trauma liver dengan fraktur iga 11 dan 12 biasanya
berhubungan dengan cedera ginjal.3
f. Pneumotoraks
Adanya akumulasi udara dalam rongga pleura yang menekan paru-
paru

dapat dilihat pada pemeriksaan diagnostik foto polos toraks. Pneumotoraks


adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di rongga pleura
akibat robeknya pleura visceral, dapat terjadi spontan atau karena trauma,
yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan negatif intrapleura
sehingga mengganggu proses pengembangan paru. Pneumotoraks terjadi
karena trauma tumpul atau tembus torak. Dapat pula terjadi karena robekan
pleura viseral yang disebut dengan barotrauma, atau robekan pleura
mediastinal yang disebut dengan trauma trakheobronkhial.3

g. Hemotoraks
Hemotoraks berhubungan dengan adanya darah/bekuan darah pada
rongga toraks dan memerlukan tindakan segera thoracostomy drainage.
Risiko empyema meningkat pada pasien dengan hemotoraks.
Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau
tembus pada toraks. Sumber perdarahan umumnya berasal dari arteri
interkostalis atau arteri mamaria interna. Perlu diingat bahwa rongga
hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks
dapat terjadi syok hipovolemik berat yang mengakibatkan terjadinya
kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata oleh karena
perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di dalam rongga toraks.3
h. Kontusio paru
Trauma tumpul toraks menyebabkan kontusio paru merupakan kasus
yang sering terjadi dengan 10%-17% dari semua pasien yang masuk rumah
sakit dengan angka kematian 10% - 25%. Fraktur iga selalu berhubungan
dengan kontusio paru. Fraktur iga multipel ditemukan menjadi predisposisi
terjadinya penurunan fungsi paru dan compromised ventilation.1,2
DAFTAR PUSTAKA

1. Prasenohadi, Sunartomo T,. Pelaksanaan Pasien Trauma dengan Fraktur Iga


Mulipel. Majalah Kedokteran Terapi Intensif Vol. 2(3) Juli 2012 : 166-174
2. Lafferty, et al. Operative treatment of chest wall injuries: indication,
technique, and outcomes. J Bone Joint Surg Am. 2011;93:97-110
3. Melendez, et al. Rib Fracture : Practice Essentials, Pathophysiology,
Epidemiology. Emedicine Medscape. 13 Juni 2017
4. Jong, et al. Surgical Management Of Rib Fractures: Strategies And
Literature Review. Scandinavian Journal of Surgery 103: 120 –125, 2014
5. Kent, et al. Fatality Risk and the Presence of Rib Fractures. 52nd AAAM.
Annual Conference Annals of Advances in Automotive Medicine.
October 2008 
6. Witt CE, Bulgeer EM. Comprehensive approach to the management of the
patient with multiple rib fractures: a review and introduction of a bundled rib
fracture management protocol. Trauma Surg Acute Care Open 2017;2:1–7
7. Sirmali, et al. A comprehensive analysis of traumatic rib fractures: morbidity,
mortality and management. ELSEVIER: European Journal of Cardio-thoracic
Surgery 24 (2003) 133–138

Anda mungkin juga menyukai