Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toksoplasmosis merupakan penyakit zoonosis, yang disebabkan oleh parasit
Toxoplasma gondii, yang dikenal sejak tahun 1908. Infeksi akut pada manusia yang memiliki
imun yang baik (immunocompetent) biasanya tidak memiliki gejala (asymptommatic).
Sedangkan individu yang terinfeksi dalam jangka waktu yang lama dan memiliki gangguan
imunitas (AIDS) berisiko untuk mengalami infeksi laten, yang manifestasi utamanya ialah
toksoplasmosis ensefalitis atau dikenal juga dengan toxoplasmosis serebri. Penularan dapat
terjadi terjadi in utero melalui plasenta, transplantasi organ dari donor yang menderita
toksoplasmosis laten, transfusi darah lengkap, makan daging mentah atau kurang matang yang
mengandung kista jaringan atau takizoit Toxoplasma, pada orang yang tidak makan daging pun
dapat terjadi bila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan, dapat juga terjadi di
laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi T. gondii,
melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi dengan T. gondii.1
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) diartikan sebagai kumpulan gejala atau
penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV. Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang
mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun
heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfusi komponen darah dari ibu
yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu, kelompok risiko tinggi
terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya,
serta narapidana. Sekitar 36,7 juta orang di seluruh dunia yang hidup dengan HIV / AIDS pada
akhir tahun 2016. Dari jumlah tersebut, 2,1 juta adalah anak-anak (<15 tahun). 1 juta orang
meninggal akibat penyakit terkait AIDS pada tahun 2016, sehingga jumlah orang yang
meninggal akibat penyakit terkait AIDS sejak awal epidemi menjadi 35,0 juta.2
Pada laporan kasus ini, seorang laki – laki berumur 37 tahun datang ke RSPAD Gatot
Soebroto datang dengan keluhan kelemahan pada salah satu sisi tubuh sejak 1 hari SMRS.
Pasien merupakan penderita HIV/AIDS sejak 3 tahun SMRS namun belum terapi ARV. Pada
laporan ini akan dibahas mengenai pasien dengan Toksoplasmosis Ensefalitis pada kasus
terifeksi HIV/AIDS.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. H
Tanggal Lahir : 12 Desember 1981 (37 tahun)
Alamat : Kp. Rawa Selatan RT 01/04 Kel. Kampung Rawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai Swasta
No. RM : 904090
Masuk RS : 27 Agustus 2018
Dilakukan Pemeriksaan : 3 September 2018

2.2. ANAMNESA
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 3 September 2018, pukul 11.00 WIB
Keluhan utama: Kelemahan anggota tubuh sebelah kiri sejak 1 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan kelemahan pada anggota
tubuh sebelah kiri sejak 1 hari SMRS. Pasien merasakan lemas secara tiba-tiba saat beraktivitas
dan tidak dapat menggerakan tangan dan kaki kiri, bicara pelo, sakit kepala berdenyut terutama
di sebelah kanan dan muntah 1x berisi cairan, tidak ada darah. Pasien jika diajak berbicara
tidak nyambung dan sering merasa gelisah, tidak ada pingsan, tidak ada kejang, tidak ada
trauma kepala.
Pasien juga mengeluh demam sejak 2 hari SMRS, demam dirasakan hilang timbul,
tidak menentu waktu timbulnya demam, tidak dipengaruhi aktivitas, pasien tidak pernah
mengukur suhu tubuh saat di rumah, pasien sudah minum paracetamol namun tidak membaik.
Paien juga merasakan sakit kepala berdenyut pada seluruh kepala. Pasien tidak ada keluhan
mual, muntah, mengigil, nyeri perut, sesak, batuk berdahak, pilek, dan keringat malam. Pasien
tidak ada riwayat bepergian dari maupun ke luar kota, tidak ada bintik-bintik merah pada kulit
maupun perdarahan dari hidung dan gusi. Nafsu makan menurun, sehari makan 3x sebanyak
2-3 sendok makan. Pasien juga mengatakan terdapat penurunan berat badan ± 10 kg dalam 1
bulan terakhir. BAB normal, 1x sehari, berwarna kuning, tidak ada darah, tidak ada lendir.
BAK normal, 6-7x sehari berwarna kuning, tidak ada nyeri, dan tidak ada darah.
2
Sejak satu bulan SMRS pasien mengeluh lemas pada seluruh tubuh, tidak ada
kelemahan pada satu sisi tubuh, nafsu makan menurun, makan 3x sehari sebanyak hanya 3-5
sendok dan sering mengeluhkan nyeri kepala yang berdenyut namun tidak sampai menggangu
aktivitas.
Tiga tahun SMRS pasien melakukan pemeriksaan dan didiagnosis positif HIV setelah
istrinya terlebih dahulu didiagnosis HIV saat melakukan skrining selama kehamilan. Namun
pasien tidak melakukan pengobatan ARV dikarenakan pasien merasa tidak sakit. Keluarga
pasien mengatakan pasien pernah melakukan hubungan seksual dengan yang bukan
pasangannya, dan pasien tidak mempunyai riwayat penggunaan jarum suntik bersamaan.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat alergi, kencing manis, darah tinggi, asma, penyakit paru-paru, penyakit ginjal,
stroke, dan keganasan disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
 Istri dan anak pasien ada yang menderita HIV/AIDS.
 Di keluarga pasien tidak ada yang menderita kencing manis, darah tinggi, alergi, asma,
penyakit jantung, ginjal, dan keganasan.
Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien merupakan seorang wisraswasta. Pasien berobat dengan menggunakan BPJS
KJS. Pasien tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Pasien selalu menjaga kebersihan diri
dengan mandi dua kali sehari dan menjaga kebersihan mulut dengan menggosok gigi. Pasien
tidak merokok maupun minum alkohol.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik di ruangan pada tanggal 3 September 2018
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Status Gizi : BB : 55 kg
TB : 160 cm
BMI : 22 (Cukup)
Tanda vital : TD : 131/82 mmHg
Nadi : 69 x/menit
Suhu : 36,70C
Pernapasan : 20 x/menit

3
Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Pupil isokor, refleks cahaya +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : Sekret -/- , deviasi septum (–)
Telinga : Sekret -/- , liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (–)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Mulut : Mukosa lembab, sianosis (-), sariawan (+), lidah keputihan (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Kulit : Ikterik (-)
Thorax :
Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan Fisik Pada Pulmo.

Pulmo Depan Belakang


Inspeksi  Bentuk dada normal  Bentuk dada bagian belakang
 Pernapasan regular, tidak ada normal
dinding dada yang tertinggal  Bentuk scapula simetris
 Jenis pernapasan  Tidak ditemukan bekas luka
abdominothorakal ataupun benjolan
 Otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi  Vokal fremitus sama kuat di  Perbandingan gerakan nafas dan
kedua lapang paru stem fremitus sama kuat di kedua
 Gerakan nafas sama kuat di kedua lapang paru
paru
Perkusi  Perkusi terdengar sonor pada  Pada dada kanan dan kiri terdengar
kedua lapang paru sonor
 Batas paru-hepar pada ICS V
linea midclavicularis dekstra
Auskultasi  Suara nafas vesikuler  Suara nafas vesikuler
 Ronkhi - / -  Ronkhi - / -
 Wheezing - / -  Wheezing - / -

Kardiovascular
Inspeksi  Tidak terlihat pulsasi pada ictus cordis
Palpasi  Ictus cordis teraba pada ICS V 3 cm lateral dari linea midclavicularis sinistra

4
Perkusi  Batas kiri jantung terletak pada ICS IV linea aksilaris anterior sinistra
 Batas pinggang jantung terletak pada ICS III linea parasternalis sinistra
 Batas kanan jantung terletak pada ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi  Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur sistolik (+) di katup mitral,
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi  Perut datar, tidak terdapat striae, tidak terdapat tanda-tanda peradangan
Auskultasi  Bising usus (+) normal (7x/menit)
Palpasi  Supel, nyeri tekan (-), tidak teraba pembesaran hepar dan lien, kedua ginjal
tidak teraba, nyeri ketok CVA (-)
Perkusi  Bunyi timpani pada keempat kuadran abdomen
Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Ptechiae (-), CRT<2”, motorik 5/5
 Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Ptechiae (-), CRT < 2”, motorik 5/5

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tabel 2.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium 27 Agustus 2018.

IGD
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan
(27 Agustus 2018)
Hematologi
Hemoglobin 13.0 13.0-18.0 g/dL
Hematokrit 36 40-52%
Eritrosit 4.5 4.3-6.0 juta/uL
Leukosit 5650 4.800-10.800 /uL
Trombosit 216000 150.000-400.000 /uL
MCV 80 80-96 fL
MCH 29 27-32 pg
MCHC 36 32-36 g/dl
Koagulasi
Waktu Protrombin
 Kontrol 10.8 Detik
 Pasien 10.3 9.3-11.8 detik
APTT
 Kontrol 34.5 detik

5
 Pasien 33.7 31-47 detik
Kimia Klinik
SGOT (AST) 42 <35 U/L
SGPT (ALT) 37 <40 U/L
Ureum 23 20-50 mg/dL
Kreatinin 0.5 0.5-1.5 mg/dL
Glukosa darah sewaktu 222 70-140 mg/dL
Natrium (Na) 143 135-147 mmol/L
Kalium (K) 3.6 3.5-5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 103 95-105 mmol/L
Aseton -/Negatif -/Negatif

CT SCAN Kepala tanpa kontras (27 Agustus 2018)

6
Gambar 2.1 Hasil CT Scan Kepala Tanpa Kontras
Kesan
 Gambaran encephalitis dengan multiple infark di lobus frontal kanan dan cerebellum
sisi kanan.
 Lesi hipodens dengan komponen isodens didalamnya di lobus parietal kiri, suspek
abses.
 Sinusitis maksila kiri dan sphenoid kanan.
 Kista retensi di sinus maksilla kanan.
 Mastoiditis bilateral.
Rontgen Thorax AP (27 Agustus 2018)
Kesan:
 Kardiomegali dengan tanda awal bendungan paru.

Tabel 2.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 29 Agustus 2018.

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Imunoserologi
Anti HIV Penyaring
Metode -1 Reaktif Non Reaktif
Metode -2 Reaktif Non Reaktif
Metode -3 Reaktif Non Reaktif
Kesimpulan Reaktif
CD 4 54 410-590 Cell/uL
Kimia Klinik
Kolesterol Total 143 < 200 mg/dL
Trigliserida 130 < 160 mg/dL
Kolesterol HDL 18 > 35 mg/dL

7
Kolesterol LDL 99 < 100 mg/dL
Ureum 24 20 - 50 mg/dL
Kreatinin 0.69 0.5 - 1.5 mg/dL
Glukosa Darah (Puasa) 201 70-100 mg/dL
Glukosa Darah
199 70 - 140 mg/dL
(Sewaktu)
Normal : < 5.7%
HbA1C 10.1 Prediabetes : 5.7 –
6.4%

Tabel 2.4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 30 Agustus 2018.

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 14.1 13.0-18.0 g/dL
Hematokrit 39 40-52%
Eritrosit 4.9 4.3-6.0 juta/uL
Leukosit 6920 4.800-10.800 /uL
Trombosit 289000 150.000-400.000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 0 0-1%
Eosinofil 0 1-3%
Neutrofil 66 50-70%
Limfosit 25 20-40%
Monosit 9 2-8%
MCV 79 80-96 fL
MCH 29 27-32 pg
MCHC 36 32-36 g/dl
RDW 12.10 11.5-14.5%
Kimia Klinik
Glukosa Darah
274 70 – 140 mg/dL
(Sewaktu)

CT SCAN Kepala dengan kontras (31 Agustus 2018)

8
Gambar 2.2 Hasil CT Scan Kepala dengan Kontras
Kesan:
 Vasogenic edema pada lobus temporalis kiri, frontoparietalis kanan dan parietalis
posterior kiri dengan suspek abscess diantaranya pada lobus temporalis kiri dan
parietalis kiri.
 Tekanan intracranial meninggi.
 Sinusitis maksillaris bilateral dengan ostiomeatal compleks kanan kiri tertutup.
 Mastoiditis kanan.

2.5. RESUME
Pasien laki-laki berusia 37 tahun datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan
keluhan hemiparese sinistra sejak 1 hari SMRS disertai bicara pelo, nyeri kepala berdenyut
sebelah kanan, vomitus, gelisah, febris, nafsu makan menurun. Positif HIV sejak 3 tahun
SMRS namun belum terapi ARV.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, TD 131/82 mmHg, nadi 69 x/menit, suhu 36,70C, pernapasan 20 x/menit, kekuatan
ekstremitas 5/3/5/3.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anti HIV reaktif, CD4 54 Cell/uL, dan GDS
274 mg/dl. Pada CT Scan kepala non kontras didapatkan gambaran encephalitis dengan
multiple infark di lobus frontal kanan dan cerebellum sisi kanan dan lesi hipodens dengan
komponen isodens didalamnya di lobus parietal kiri, suspek abses. Pada CT Scan kepala
dengan kontras tampak multiple lesi hipodens fingerlike di lobus temporalis kiri,
frontoparietalis kanan dan parietalisposterior kiri. Pada lesi di lobus temporalis kiri dan
parietalis kiri curiga penyangatan rim diantara lesi.

9
2.6. DAFTAR MASALAH
1. Toxoplasma Encefalitis
2. HIV belum ARV
3. DM Tipe II

2.7 PENGKAJIAN MASALAH


1. Toxoplasma Encefalitis
Dipikirkan Toxoplasma Encefalitis berdasarkan gejala yang terjadi berupa gangguan
mental seperti tidak nyambung saat diajak berbicara, sering merasa gelisah, terdapat defisit
neurologis berupa kelemahan anggota gerak sebelah kiri disertai bicara pelo, nyeri kepala
dan demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum
gelisah, kekuatan ekstremitas 5/3/5/3. Pada pemeriksaan penunjang dengan CT Scan kepala
non kontras didapatkan gambaran encephalitis dengan multiple infark di lobus frontal
kanan dan cerebellum sisi kanan dan lesi hipodens dengan komponen isodens didalamnya
di lobus parietal kiri, suspek abses. Pada CT Scan Kepala dengan kontras didapatkan
vasogenic edema pada lobus temporalis kiri, frontoparietalis kanan dan parietalis posterior
kiri dengan suspek abscess diantaranya pada lobus temporalis kiri dan parietalis kiri.
Rencana diagnostik : tes serologi IgG Toxoplasma, PCR untuk deteksi DNA T. gondii
Rencana pengobatan : pirimetamin 3x25 mg, klindamisin 4x600 mg
Rencana monitoring : Keadaan umum, Kesadaran, GCS, TTV
Edukasi: menjelaskan tentang penyakit, perjalan dan komplikasi penyakit, penularan
penyakit, serta terapinya.

Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Qua ad sanationam : dubia ad malam

2. HIV/AIDS on ARV
Dipikirkan HIV/AIDS berdasarkan riwayat HIV positif sejak 3 tahun SMRS namun belum
terapi ARV. Penurunan berat badan dalam 1 bulan 10 kg. Pada pemeriksaan fisk didapatkan
lidah keputihan (+), pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anti HIV reaktif, dan CD4
54 sel/uL
Rencana diagnostik : tes viral load
10
Rencana pengobatan : ARV
Rencana monitoring : cek CD4 tiap 3 bulan
Edukasi: menjelaskan tentang penyakit, komplikasi penyakit dengan kondisi imunosupresif
dan perjalanan penyakit, penularan penyakit melalui cairan tubuh dan darah, serta terapi
ARV seumur hidup.
Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia
Qua ad sanationam : ad malam

3. DM Tipe II
Dipikirkan DM Tipe II berdasarkan pemeriksaan laboratorium tanggal 27 agustus
didapatkan GDS 222 mg/dl, tanggal 29 agustus didapatkan GDS 201 mg/dl, GDP 199
mg/dl, HbA1c 10,1%, dan tanggal 30 agustus didapatkan GDS 274 mg/dl.
Rencana pengobatan : Novorapid 3x6 unit
Rencana monitoring : GDS, GDP, HbA1c
Edukasi: menjelaskan tentang penyakit, perjalanan, komplikasi penyakit, serta terapi DM.
Prognosis :
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Qua ad sanationam : dubia

2.8 FOLLOW UP HARIAN

Tabel 2.5 Follow Up Harian

11
10.00 WIB S : Kelemahan anggota gerak sebelah P :
kiri, bicara pelo, demam, muntah,
27 Agustus
nyeri kepala, gelisah  IVFD Asering 2000cc/24
2018 O : Ks: Apatis, Ku: Tampak sakit berat jam
Hari ke 1 TD: 140/80 mmHg, N:80x/mnt,  Citicolin 2x500 mg IV
RR: 20x/mnt, T: 36,7ºC  Neurobion 5000 1x1 amp
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+,  PCT 2x1000 mg drip
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-  Miniaspi 80g 1x1 tab
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik
(+) katup mitral, gallop(-)
Abd : datar, bising usus normal, nyeri
tekan (-)
Ext: akral hangat, CRT<2”, kekuatan
5/1/5/1
A : Hemiparese sinistra ec Susp CVD
Infark dd Hemoragic

10.00 WIB S : Kelemahan anggota gerak sebelah P :


kiri, bicara pelo, nyeri kepala (+).
28 Agustus
demam (-), muntah (-), gelisah  IVFD Asering 24 tpm
2018 O : Ks: Apatis, Ku: Tampak sakit berat  Citicolin 2x500 mg IV
Hari ke 2 TD: 130/80 mmHg, N:104x/mnt,  Miniaspi 80g 1x1 tab
RR: 20x/mnt, T: 36 C  Cebactam 2x1
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+  Dexamethason 3x1 mg IV
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-  Ranitidin 2x1 mg IV
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik  Lasix ½ mg IV
(+) katup mitral, gallop(-)
R:
Abd : datar, bising usus normal, nyeri
tekan (-) Cek GDS,GDP, GD2PP,
Ext: akral hangat, CRT<2”, kekuatan Profil Lipid, HbA1c, Rapid
5/1/5/1
test, T.O.R.C.H, CD4, CT
A : Susp. Encephalitis
Susp. Abses Cerebri Scan + Kontras
Stroke Infark

12
10.00 WIB S : Kelemahan anggota gerak sebelah P :
kiri, bicara pelo, nyeri kepala (+),
29 Agustus
demam (-), muntah (-), gelisah  IVFD Asering 24 tpm
2018 O : Ks: Apatis, Ku: Tampak sakit berat  Citicolin 2x500 mg IV
Hari ke 3 TD : 120/70 mmHg, N : 80x/mnt,  Miniaspi 80g 1x1 tab
RR : 20x/mnt, T: 36 C  Dexamethason 3x1 mg IV
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+  Ranitidin 2x1 amp. IV
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-  Haldol 2x0,5 mg
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik  PCT 1000 drip/12 jam
(+) katup mitral, gallop(-)
 Clindamycin 4x60 mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri
tekan (-)  Pirimetamin loading dose
Ext: akral hangat, CRT<2”, kekuatan 1x50 mg
5/1/5/1
A : Susp. Encephalitis  Asam folat 2x5 mg
Susp. Abses Cerebri  Ceftriaxone 2x2 gr drip
Stroke Infark
NS 0,9% 100cc
 Slading Scale kelipatan 5
R:
 Toxoplasmosis, CMV,
HSV
 Pasang NGT dan Kateter
10.00 WIB S : Sakit kepala (+), cegukan, perut P :
begah, gelisah
30 Agustus  IVFD Asering 500cc/8
O : Ks: Apatis, Ku: Tampak sakit berat
2018 jam
TD : 130/82 mmHg, N : 73x/mnt,
Hari ke 4  Citicolin 2x500 mg IV
RR : 20x/mnt, T: 36,9 C
 Miniaspi 80g 1x1 tab
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-  Haldol 2x0,5 mg

Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik  PCT 1000 drip/12 jam


(+) katup mitral, gallop(-)  Clindamycin 4x60 mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri  Pirimetamin 3x25 gr
tekan (-)
 Omeprazole 2x40 mg IV
Ext : akral hangat, CRT<2”, kekuatan
5/3/5/3  Sucralfat 4x2 cc
A : Susp. Encephalitis  Transamin 3x500 mg IV
Susp. Abses Cerebri

13
Stroke Infark

10.00 WIB S : Sakit kepala (+), gelisah P:


31 Agustus O : Ks: Apatis, Ku: Tampak sakit berat  IVFD Asering 24 tpm
2018 TD : 120/70 mmHg, N : 80x/mnt,  Citicolin 2x500 mg
Hari ke 5 RR : 20x/mnt, T: 36 C  Miniaspi 80g 1x1 tab
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+
 Haldol 2x0,5 mg
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
 PCT 1000 drip/12 jam
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik
(+) katup mitral, gallop(-)  Clindamycin 4x60 mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri  Pirimetamin 3x25 gr
tekan (-)
 Omeprazole 2x40 mg IV
Ext : akral hangat, CRT<2”, kekuatan
5/3/5/3  Transamin 3x500 mg IV

A : Susp. Encephalitis R:
Susp. Abses Cerebri Cek PT, APTT
Stroke Infark

10.00 WIB S : Sakit kepala (+), gelisah P:


3 O : Ks: CM, Ku: Lemah  IVFD Asering 500cc/8
September TD : 131/82 mmHg, N : 69x/mnt, jam
2018 RR : 20x/mnt, T: 36,7ºC  Inj citicolin 2x500 mg
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+
Hari ke 8  Haldol 2x0,5 mg
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
 Clindamycin 4x60 mg
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik
(+) katup mitral, gallop(-)  Pirimetamin 3x25 gr
Abd : datar, bising usus normal, nyeri  Manitol 20% 4x75 cc
tekan (-)  Dexamethasone 3x1/2 mg
Ext : akral hangat, CRT<2”, kekuatan
IV
5/5/5/5
A : Toksoplasmosis Encephalitis  Ranitidin 2x1 amp IV

SIDA belum ARV  Kotrimoksasol 1x2 tab


DM tipe II  Novorapid 3x6 unit
 Ceftriaxone 2x2 g dalam
NS 100
 Omeprazole caps 2x20 mg

14
10.00 WIB S : bicara pelo, P:
4 O : Ks: CM, Ku: TSS  Asering 500cc/8 jam
September GCS E4M6V5  Kotrimoksasole 1x2 tab
2018 TD : 116/75 mmHg, N: 84x/mnt,  Pirimetamin 3x25 gr
RR :20x/mnt, T: 36 C
Hari ke 9  Clindamycin 4x60 gr
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+
 Asam folat 2x5 mg
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
 Novorapid 3x6 unit
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik
(+) katup mitral, gallop(-)  Omeprazole 2x20 mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri  Ceftriaxon 2x2gr dalam
tekan (-)
NS 100 ml
Ext : akral hangat, CRT<2”, kekuatan
5/5/5/5  Citicolin 2x500 mg

A : Encefalitis  Manitol 20% 3x75 cc


SIDA belum ARV  Dexamethason 3x1/2 mg
DM Tipe II IV
 Ranitidin 2x1 amp. IV
 Haldol 2x0,5 mg
13.00 WIB S: Komunikasi (+) P:
5 O : Ks: CM, Ku: TSS  Asering 500cc/8 jam
September GCS E4M6V5  Kotrimoksasole 1x2
2018 TD : 121/62 mmHg, N : 70x/mnt,  Pirimetamin 3x25 gr
0
RR :20x/mnt, T: 36 C
Hari ke 10  Clindamycin 4x60 gr
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+
 Asam folat 2x5
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
 Novorapid 3x6 unit
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik
(+) katup mitral, gallop(-)  Omeprazole 1x40mg IV
Abd : datar, bising usus normal, nyeri  Ceftriaxon 2x2gr dalam
tekan (-)
NS 100 ml
Ext : akral hangat, CRT<2”, kekuatan
5/5/5/5  Citicolin 2x500 mg

A : Encefalitis  Manitol 20% 3x75 cc tapp


SIDA belum ARV off
DM Tipe II  Dexamethason 3x 1/2 mg
IV
 Ranitidin 2x1 amp. IV

15
 Haldol 2x0,5 mg
 Syr. Laxadine 3xc
12.00 WIB S : komunikasi (+) P:
6 O : Ks: CM, Ku: TSS  Asering 500cc/8 jam
September GCS E4M6V5  Kotrimoksasol 1x2
2018 TD : 117/72mmHg, N : 69x/mnt,  Pirimetamin 3x25 gr
RR : 20x/mnt, T: 36,7 C
Hari ke 11  Clindamycin 4x60 gr
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+
 Asam folat 2x5 mg
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
 Novorapid 3x6 unit
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik
(+) katup mitral, gallop(-)  Omeprazole caps 2x20mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri  Ceftriaxon 2x2gr dalam
tekan (-)
NS 100 ml
Ext : akral hangat, CRT<2”, kekuatan
5/5/5/5  Manitol 20% 3x75 cc tapp

A : Encefalitis off
SIDA belum ARV  Dexamethason 3x1/2 amp
DM Tipe II  Citicolin 2x500 mg
 Inj Ranitidin 2x1 amp. IV
 Haldol 2x0,5 mg PO
 Syr. Laxadin 3xc
 Diet DM
13.00 WIB S : Pasien tidak ada keluhan P:
7 O : Ks: CM, Ku: TSS  IVFD Asering 20 tpm
September TD : 121/75 mmHg, N : 69 x/mnt,  Citicolin 2x500 mg PO
0
2018 RR : 20x/mnt, T: 36,7 C  Manitol 20% 1x75 cc
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+
Hari ke 12  Dexamethason 3x1/2 IV
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
 Ranitidin 2x1 amp. IV
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik
(+) katup mitral, gallop(-)  Haldol 2x0,5 mg
Abd : datar, bising usus normal, nyeri  Pirimetamin 3x25 gr
tekan (-)
 Clindamycin 4x60 gr
Ext: akral hangat, CRT<2”, kekuatan
Rencana rawat jalan bila
5/5/5/5
A : Encefalitis keadaan umum baik dan tidak

SIDA belum ARV ada keluhan.

16
DM Tipe II

13.00 WIB S :Pasien tidak ada keluhan P:


10 O : Ks: CM, Ku: TSR  Citicolin 2x500 mg
September GCS E4M6V5  Haldol 2x0,5 mg
2018 TD: 120/90 mmHg, N:69 x/mnt,  Pirimetamin 3x25 mg
0
RR: 20x/mnt, T: 36,7 C
Hari ke 15  Clindamycin 4x60 mg
Mata : KP -/-, SI -/-, pupil isokor +/+
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Cor : BJ I-II regular, murmur sistolik
(+) katup mitral, gallop(-)
Abd : datar, bising usus normal, nyeri
tekan (-)
Ext: akral hangat, CRT<2”, kekuatan
5/5/5/5
A : Encefalitis
SIDA belum ARV
DM Tipe II

Tabel 2.6. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 6 September 2018.

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Kimia Klinik
GDS 230 70-140 mg/dL

Tabel 2.7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 7 September 2018.


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 14.7 13.0-18.0 g/dL
Hematokrit 40 40-52%
Eritrosit 5.0 4.3-6.0 juta/uL
Leukosit 10270 4.800-10.800 /uL
Trombosit 323000 150.000-400.000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 0 0-1%
Eosinofil 0 1-3%
Batang 3 2-6%

17
Segmen 65 50-70%
Limfosit 24 20-40%
Monosit 8 2-8%
MCV 79 80-96 fL
MCH 29 27-32 pg
MCHC 37 32-36 g/dl
RDW 12.40 11.5 -14.5%
Kimia klinik
GDS 265 70-140 mg/Dl

18
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Toksoplasmosis Ensefalitis

Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii,


yang dikenal sejak tahun 1908. Infeksi akut yang didapat setelah lahir dapat bersifat
asimtomatik, namun lebih sering menghasilkan kista jaringan yang menetap kronik. Baik
toksoplasmosis akut maupun kronik menyebabkan gejala klinis termasuk limfadenopati,
ensefalitis, miokarditis, dan pneumonitis.1 Infeksi akut pada manusia yang memiliki imun yang
baik (immunocompetent) biasanya tidak memiliki gejala (asymptommatic). Sedangkan
individu yang terinfeksi dalam jangka waktu yang lama dan memiliki gangguan imunitas
(AIDS) berisiko untuk mengalami infeksi laten, yang manifestasi utamanya ialah
toksoplasmosis ensefalitis atau dikenal juga dengan toxoplasmosis serebri.2

3.1.1. Epidemiologi

Di Indonesia prevalensi zat anti T. gondii yang positif pada manusia berkisar antara 2%
dan 63%. Pada orang Eskimo prevalensinya 1% dan di El Salvador, Amerika Tengah 90%.
Prevalensi zat anti T. gondii pada binatang di Indonesia adalah sebagai berikut: pada kucing
35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%.
Pada umumnya prevalensi zat anti yang positif meningkat dengan umur, tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Di dataran tinggi prevalensi lebih rendah, sedangkan di daerah
tropik prevalensi lebih tinggi.1

Prevalensi toksoplasmosis kongenital di beberapa negara diperkirakan sebagai berikut:


pada kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing 75% dan pada ternak lain kuran
dari 10%. Pada umumnya prevalensi zat anti yang positif meningkat dengan umur, tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di dataran tinggi prevalensi lebih rendah,
sedangkan di daerah tropic prevalensi lebih tinggi. Prevalensi toksoplasmosis kongenital
dibeberapa negara diperkirakan sebagai berikut: Belanda 6,5 dari 1000 kelahiran hidup, New
York 1,3%, Paris 3% dan Vienna 6-7%.1

Keadaan toksoplasmosis disuatu daerah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti


kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang dipelihara sebagai binatang
kesayangan, tikus dan burung sebagai hospes perantara yang merupakan binatang buruan

19
kucing dan adanya vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memindahkan ookista dari tinja
kucing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan
dalam ke permukaan tanah.1

Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk
T. gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seeokor kucing dapat mengeluarkan
10 juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1-5 hari
dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu
45º-55ºc, juga mati bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, ammonia atau larutan
iodium. Transmisi melalui ookista menunjukan infeksi T. gondii pada orang yang tidak suka
makan daging atau terjadi pada binatang herbivora.1

Untuk mencegah infeksi T. gondii (terutama pada ibu hamil) harus menghindari makan
daging kurang matang yang mungkin mengandung kista jaringan dan menelan ookista matang
yang terdapat dalam tinja kucing.1

Kista jaringan dalam daging tidak infekif lagi bila sudah dipanaskan sampai 66ºC atau
diasap. Setelah memegang daging mentah (tukang jagal, tukang masak), sebaiknya tangan
dicuci bersih dengan sabun. Makanan harus ditutup untuk menghindari lalat alau lipas. Sayur
mayor sebagai lalap harus dicuci bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi
makanan matang dan dicegah berburu tikus dan burung.1

3.1.2. Morfologi dan Daur Hidup

T. gondii adalah spesies dari Coccidia yang mirip dengan Isospora. Dalam sel epitel
usus halus kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni,
sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersama tinja. Ookista bentuknya
lonjong dengan ukuran 12,5 mikron menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing
mengandung 4 sporozoit. Bila ookista tertelan oleh mamalia lain atau burung (hospes
perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk kelompok trofozoit yang
membelah secara aktif dan disebut takizoit (tachyzoit = bentuk yang membelah cepat).
Kecepatan takizoit Toxoplasma membelah berkurang secara berangsur dan terbentuklah kista
yang mengandung bradizot (bentuk yang membelah perlahan); masa ini adalah masa infeksi
klinis menahun yang biasanya merupakan infeksi laten. Pada hospes perantara tidak dibentuk
stadium seksual, tetapi dibentuk stadium istirahat, yaitu kista jaringan.1

20
Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi, maka
terbentuk lagi berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus halusnya. Bila hospes perantara
mengandung kista jaringan Toxoplasma, maka masa prapaten (sampai dikeluarkan ookista)
adalah 3-5 hari, sedangkan bila kucing makan tikus yang mengandung takizoit, masa prapaten
biasanya 5-10 hari. Bila ookista langsung tertelan kucing, maka masa prapaten adalah 20-24
hari. Kucing lebih mudah terinfeksi kista jaringan daripada oleh ookista.1

Diberbagai jaringan tubuh kucing juga ditemukan trofozoit dan kista jaringan. Pada
manusia takozoit ditemukan pada infeksi akut dan dapat memasuki tiap sel yang berinti. Bentuk
takizot menyerupai bulan sabit dengan satu ujung yang runcing dan ujung lain yang agak
membulat. Panjangnya 4-8 mikron dan mempunyai satu inti yang letaknya di tenfah. Takizoit
pada manusia adalah parasit obligat intraselular.1

Takizoit berkembang biak dalam sel secara endodiogeni. Bila sel penuh dengan
takizoit, maka sel menjadi pecah dan takizoit memasuki sel-sel di sekitarnya atau difagositosis
oleh sel makrofag. Kista jaringan dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah
telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda; ada kista kecil yang mengandung
beberapa organisme dan ada yang berukuran 200 mikron berisi ± 3000 organisme. Kista
jaringan dapat dtemukan di dalam hospes seumur hidup terutama di otak, otot jantung dan otot
bergaris. Di otak kista berbentuk lonjong atau bulat, sedangkan di otot kista mengikuti bentuk
sel otot.1

Cara infeksi :1

1. Pada toksoplasmosis kongenital transmisi Toxoplasma kepada janin terjadi in utero melalui
plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.
2. Pada toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi, bila makan daging mentah atau kurang
matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau takizoit
Toxoplasma. Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista
yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.
3. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang
percobaan yang diinfeksi T. gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang
terkontaminasi dengan T. gondii. Ibu hamil tidak dianjurkan bekerja dengan T. gondii yang
hidup. Infeksi dengan T. gondii juga pernah terjadi waktu mengerjakan autopsi.
4. Infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita toksoplasmosis
laten.

21
5. Transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.

3.1.3. Patogenesis

Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel berinti atau
difagositosis. Sebagian parasit mati setelah difagositosis, sebagian lain berkembang biak dalam
sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel sel hospes pecah dan menyerang
sel-sel lain. Dengan adanya parasite di dalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara
hematogen dan limfogen ke seluruh tubuh mudah terjadi. Parasitemia terjadi selama beberapa
minggu. T. gondii dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah
merah (tidak berinti).1,3

Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat
dan jaringan, mungkin untuk sumber hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh,
tergantung pada: 1. Umur, pada bayi kerusakan lebih berat dari pada dewasa, 2. Virulensi strain
toxoplasma, 3. Jumlah parasit, dan 4. Organ yang diserang.1,3

Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan permanen oleh karena
jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk regenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat
berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Pada toxoplasmosis kongenital, nekrosis pada
otak lebih sering di korteks, ganglia basal dan daerah periventricular. Penyumbatan akuaduktus
Sylvii atau foramen Monro oleh karena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi.1.3

Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan
infiltrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan
menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan korois, disertai pigmentasi. Di otot jantung
dan bergaris dapat ditemukan T. gondii tanpa menimbulkan peradangan. Di alat tubuh lainnya,
seperti linfa dan hati, parasit lebih jarang ditemukan.1,3

3.1.4. Gejala Klinis

Toksoplasmosis akuisita adalah infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui
oleh karena jarang menimbulkan gejala (asimtomatik). Bila seorang ibu hail mendapat infeksi
primer, maka ia dapat melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital. Manifestasi klinis
yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis akuisita akut adalah limfadenopati (servikal,
supraklavikula, axial, inguinal, oksipital), rasa lelah, demam, nyeri otot, dan rasa sakit kepala.
Gejalanya mirip mononukleosis infeksiosa. Sekali-sekali dapat dijumpai eksantem.

22
Retinokoroiditis jarang dijumpai pada toksoplasmosis akuisita. Retinokoroiditis pada pubertas
dan dewasa sebagai kelanjutan infeksi kongenital mungkin merupakan reaktvasi infeksi laten.
Toxoplasma menyebabkan infeksi opurtunistik yang disebabkan imunosupresi berhubungan
dengan transplantasi organ dan pengobatan keganasan. Pada tahun 1980-an ensefalitis
toksoplasmik muncul sebagai penyakit parasite yang paling sering dijumpai pada penderita
AIDS dan biasanya terjadi jika CD4+ <100 sel/mm. Kelainan susunan saraf pusat karena
Toxoplasma mungkin tampak sebagai manifestasi klinis pertama dan paling sering pada AIDS.
Mula-mula timbul sakit kepala, demam, letargi, perubahan mental dan berlanjut menjadi
kelainan neurologis dan kejang. Dengan CT-scan dan MRI tampak lesi tunggal atau multiple
ring-enhancing lession yang dikelilingi edema otak dengan predileksi pada ganglia basalis dan
cortico-medullaris junction. Lesi dapat juga terjadi pada serebelum atau thalamus. Lesi pada
ganglia basalis dapat mengganggu pergerakan seperti hemikorea, hemiballism, Parkinson atau
tremor. Pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih sensitive dari pada CT scan. Lesi
biasanya tetap di susunan saraf pusat dan tidak menyebar ke organ lain. Ini adalah reaktivasi
infeksi laten, sehingga tampak antibody IgG dari infeksi lampau. Manifestasi lainnya
korioretinitis dan yang agak jarang pneumonitis dan miokarditis. Toksoplsmosis paru pada
pasien imunidefisiensi dapat timbul sebgai pneumonitis interstitial, necrosing pneumonia,
konsolidasi dan efusi pleura.1,4

3.1.5. Diagnosis

Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit dalam biopsi
otak atau sumsum tulang, cairan serebrospinal dan ventrikel. Dengan cara pulasan biasa,
takizoit sukar ditemukan dalam spesimen.1,3

Isolasi parasit dapat dilakukan dengan inokulasi pada mencit, tetapi hal ini memerlukan
waktu lmaa. Isolasi parasit dari cairan badan menunjukan infeki akut, tetapi isolasi dari jaringan
hanya menunjukan kista dan tidak memastikan infeksi akut.1,3

Tes serologi dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis. IgG terhadap Toxoplasma


biasanya muncul 1-2 minggu setalah infeksi dan biasanya menetap seumur hidup. IgM pada
penderita imunokompromais biasanya tidak terdeteksi. Tes yang sering digunakan adalah
ELISA untuk deteksi antibodi IgG dan IgM.1,3

Adanya zat anti IgM pada neonates menunjukan bahwa zat anti dibuat oleh janin yang
terinfeksi dalam uterus, karena zat anti IgM dari ibu yang berukuran lebih besar tidak dapat

23
melalui plasenta, tidak seperti halnya zat anti IgG. Maka bila ditemukan zat anti IgM
Toxoplasma pada neonates, diagnosis toksoplasmosis kongenital sudah dapat dipastikan.1,3

Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis akuisita, tidak cukup bila hanya sekali
menentukan titer zat anti IgG T. gondii yamg tinggi, karena titer zat anti yang ditemukan
bertahun-tahun dalam tubuh seseorang. Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dibuat, bila titer
IgG meninggi secara bermakna pada pemeriksaan kedua kali dengan jangka waktu 3 minggu
atau lebih, atau bila ada konversi dari negatif ke positif.1,3

Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis kongenital pada neonatus perlu


ditemukan zat anti IgM, tetapi zat anti IgM tidak selalu dapat ditemukan. Zat anti IgM cepat
menghilang dari darah, walaupun kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan
bahkan sampai setahun atau lebih. Bila tidak dapat ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang
tersangka menderita toksoplasmosis kongenital harus di follow up. Zat anti IgG pada neonatus
yang secara pasif didapatkan dari ibunya melalui plasenta, berangsur-angsur bekurang dan
menghilang pada bayi yang tidak terinfeksi T. gondii. Pada bayi yang terinfeksi T. gondii, zat
anti IgG mulai dibentuk sendiri pada umur 2-3 bulan dan pada waktu ini titer zat anti IgG tetap
ada atau naik.1,3

Tes serologi tidak selalu dapat dipakai untuk mendapatkan diagnosis toksoplasmosis
akut dengan cepat dan tepat, karena IgM tidak selalu dapat ditemukan pada neonatus, atau
karena IgM dapat ditemukan selama berbulan-bulan bahkan sampai lebih dari setahun,
sedangkan pada penderita imunodefisiensi tidak dibentuk IgM dan tidak dapat ditemukan titer
IgG yang meningkat.1,3

Akhir-akhir ini dikembangkan PCR untuk deteksi DNA parasit pada cairan tubuh dan
jaringan. Dengan teknik ini dapat dibuat diagnosis dini yang cepat dan tepat untuk
toksoplasmosis kongenital prenatal dan postnatal serta infeksi toksoplasmosis akut pada ibu
hamil dan penderita imunikompromais.1,3

Diagnosis pasti ensefalitis toksoplasmosis ditetapkan dengan menemukan takizoit pada


jaringan, darah atau cairan tubuh lainnya dan PCR untuk deteksi DNA T. gondii dengan
menggunakan primer gen B1. Penggunaan PCR untuk deteksi DNA T. gondii pada cairan
serebrospinal cukup sensitif dan sangat spesifik untuk diagnosis ensefalitis toksoplasmik.
Cairan serebrospinal pada pasien ensefalitis dapat normal atau menunjukan pleositosis, kadar
protein meningkat. Respon terhadap terapi empiris dapat juga digunakan untuk diagnosis.

24
Hampir 90% pasien baik secara klinis maupun radiologis memberikan respon terhadap terapi
toksoplasmosis serebral pada hari ke-14 setelah pengobatan.1,3

3.1.7. Pengobatan

Obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh stadium takizoit T. gondii dan tidak
membasmi stadium kista, sehingga obat dapat memnberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat
menghilanagkan infeksi menahun, yang dapat menjadi aktif kembali.1,6

Pirimetamin dan sulfonamide bekerja secara sinergik, maka dipakai sebagai


kombinansi selama 3 minggu atau sebulan. Pirimetamin menekan hemopoiesis dan dapat
menyebakan trombositopenia dan leukopenia. Untuk mencegah efek samping, dapat
ditambahkan asam folat atau ragi. Pirimetamin bersifat tertogenik, maka obat ini tidak
dianjurkan untuk ibu hamil.1,6

Pirimetamin diberikan dengan dosis 50 mg sampai 75 mg sehari untuk dewasa selama


3 hari kemudian dikurangi menjadi 25 mg sehari (0,5-1 mg/kg BB/hari) selama beberapa
minggu pada penyakit berat. Karena waktu paruh adalah 4-5 hari, pirimetamin dapat diberikan
2 hari sekali atau 3-4 hari sekali. Asam folinat (leucovorin) diberikan 2-4 mg sehari atau dapat
diberikan ragi roti 5-10 g sehari, 2 kali seminggu.1,6

Sulfonamide dapat menyebabkan trombositopenia dan hematuria, diberikan dengan


dosis 50-100 mg/kg BB/ hari selama beberapa minggu atau bulan.1,6

Spiramisin adalah antibiotik macrolide, yang tidak menembus plasenta, tetapi


ditemukan dengan konsentrasi tinggi di plasenta. Spiramisin diberikan dengan dosis 100 mg/kg
BB/hari selama 30-45 hari. Obat ini dapat dibeikan sampai aterm atau sampai janin terbukti
terinfeksi Toxoplasma. Bila janin terbukti terinfeksi T. gondii maka pengobatan yang dberikan
adalah pirimetamin, sulfonamide dan asam folinat dan diberikan setalah kehamilan 12 minggu
atau 18 minggu.1,6

Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, tetapi dapat menyebabkan


kolitis psudomembranosa atau kolitis ulserativa, maka tidak dianjurkan untuk pengobatan rutin
pada bayi dan ibu hamil. Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi peradangan pada mata,
tetapi tidak dapat diberikan sebagai obat tunggal.1,5

Obat macrolide lain yang efektif terhadap T. gondii adalah klaritromisin dan
azitromisin yang diberikan bersama pirimetamin pada penderita AIDS dengan ensefalitis

25
toksoplasmik. Obat baru adalah hidroksinaftokuinon (atovaquone) yang bila dikombinasi
dengan sulfadiazin atau obat lain yang aktif terhadap T. gondii, dapat membunuh kista jaringan
pada mencit.1,6

Toksoplasmosis akuisita yang asimtomatik tidak perlu diberikan pengobatan. Seorang


ibu hamil dengan infeksi primer harus diberikan pengobtan profilaktik. Pada bayi dengan
toksoplasmosis kongenital diberikan pirimetamin dengan loading dose 2 mg/kg BB/hari
selama 2 hari kemudian 1 mg/kg BB/hari selama 2-6 bulan, kemudian diberikan 3 kali
seminggu. Sulfonamide 2 kali 50 mg sehari. Asam folinat 10 mg diberikan 3 kali seminggi.
Toksoplasmosis kongenital harus diberikan pengobatan selama sedikitnya 1 tahun.1,6

Penderita imunokompromais (AIDS, keganasan) yang terjangkit toksoplasmosis akut


harus diberikan pengobatan sebagai berikut :1,6

Terapi awal : diberikan selama 6 minggu

1. Pirimetamin 200 mg loading dose dilanjutkan 50-75 mg setiap 6 jam diberikan bersama
sulfadiazine 1000 (<60 kg) – 1500 mg (≥60 kg) setiap 6 jam dan asam folinat 10-20 mg/hari.

2. Alternatif

 Pirimetamin + asam folinat + klindamisin 600 mg iv atau per oral tiap 6 jam
 Trimetoprin + sulfametoksazol (trimetoptin 5 mg/kgBB dan sulfametoksazol 25 mg/kgBB)
iv atau peroral tiam 12 jam
 Primetamin + asam folinat + salah satu obat ini:
o Dapson 100 mg per oral setiap 6 jam
o Klaritromisin 500 mg per oral tiap 12 jam
o Azitromisin 900-1200 mg per oral tiap 6 jam
o Atovaquon 1500 mg per oral tiap 12 jam diberikan bersama makan atau suplemen
nutrisi
 Atovaquan + sulfadiazine
 Atovaquan saja bila ada itoleransi terhadap pirimetamin dan sulfadzin. Pemberian steroid
jika ada edema.

Terapi pemeliharaan (supresif, profilaksis sekunder): diberikan seumur hidup, jika rekonstitusi
imun tidak terjadi.

26
1. Pirimetamin 25-50 mg per oral tiap 6 jam + asam folinat 10-25 mg per oral tiap 6 jam +
sulfadiazine 500-1000 mg per oral tiap 6 jam.

2. Alternatif

 Klindamisin 300-450 mg tiap 6-8 jam + pirimetamin + asam folinat (per oral)
 Atovaquan 750 mg tiap 6-12 jam ± pirimetamin 25 mg per oral tiap 6 jam + asam folinat
10 mg per oral tiap 6 jam

3. Terapi supresi dapat dipertimbangkan untuk dihentikan jika: terapi diberikan sedikitnya
selama 6 minggu:

 Pasien tidak mempunyai gejala dan tanda klinis ensefalitis toksoplasmik


 CD4+ dipertahankan > 200 sel/mm3 selama ≥ 6 bulan pada terapi antiretroviral
 Profilaksis sekunder dimulai kembali jika CD4+ menurun sampai <200 sel/mm3

Profilaksis Primer1,6

1. Profilaksis primer terhadap ensefalitis toksoplasmik diberikan pada pasien yang seropositif
terhadap Toxoplasma dan mempunyai CD4+ <100 sel/mm3

 TMP-SMX 1 tablet forte per oral tiap 6 jam


 Dapson 50 mg tiap 6 jam + pirimetamin 50 mg 4 kali seminggu + asam folinat 25 mg 4 kali
seminggu (per oral)
 Dapson 200 mg + pirimetamin 75 mg 4 kali seminggu + asam folinat 25 mg 4 kali seminggu
(per oral)
 Atovaquam 1500 mg tiap 6 jam + asam folinat 10 mg tiap 6 jam (per oral)

2. Profilaksis primer dihentikan jika pasien respons terhadap terapi antiretroviral dengan
peningkatan hitung CD4+ menurun sampai <100-200 sel/mm3

3.1.6. Prognosis

Toksoplasmosis akut untuk pasien imunokompeten mempunyai prognosis yang baik,


toksoplasmosis pada bayi dan janin dapat berkembang menjadi retinokoroidits.
Toksoplasmosis kronik asimtomatik dengan titer antibodi yang persisten, umumnya
mempunyai prognosis yang baik dan berhubungan erat dengan imunitas seseorang.
Toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi mempunyai prognosis yang buruk. Gejala klinis

27
dapat dihilangkan dengan pengobatan adekuat. Parasit dalam kista jaringan tidak dapat dibasmi
dan dapat menyebabkan eksaserbasi akut bila kekebalan menurun. Pengobatan spesifik tidak
dapt menghilangkan gejala sisa, hanya mencegah kerusakan lebih lanjut.1,6

3.2. HIV/AIDS

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) diartikan sebagai kumpulan gejala atau


penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.6

3.2.1. Epidemiologi

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV
yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
penggunaan narkotika, transfusi komponen darah dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang
dilahirkannya. Oleh karena itu, kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna
narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta narapidana.6

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia,
sebagian besar berasal dari kelompok hemoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS
semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan terutama
akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan. Departemen kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk
Indonesia yang terinfeksi HIV adalah 90.000 sampai 300.000. Persentase kantung darah yang
dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002% pada periode 1992/1993; 0,003% pada periode
1994/1995; 0,004% pada 1998/1999 dan 0,16% pada tahun 2000. Prevalensi ini tentu
ditafsirkan dengan hati-hati, karena sebagian donor darah berasal dari tahanan di lembaga
permasyarakata, dan dari pasien yang tersangka AIDS di rumah sakit yang belum mempunyai
fasilitas laboratorium untuk tes HIV. Saat ini, tidak ada lagi donor darah yang berasal dari
penjara.6

Sekitar 36,7 juta orang di seluruh dunia yang hidup dengan HIV / AIDS pada akhir tahun
2016. Dari jumlah tersebut, 2,1 juta adalah anak-anak (<15 tahun). Hingga Juni 2017, 20,9 juta
orang yang hidup dengan HIV mengakses terapi antiretroviral (ART) secara global. 1 juta orang
meninggal akibat penyakit terkait AIDS pada tahun 2016, sehingga jumlah orang yang
meninggal akibat penyakit terkait AIDS sejak awal epidemi menjadi 35,0 juta.7

28
3.2.2. Etiologi dan Patofisiologi

Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) termasuk dalam famili retroviridae.


Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap
molekul permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting, jika kehilangan fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun
yang progresif.6,8

Kejadian infeksi HIV primer, virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar
getah bening regional, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah
inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan dapat dideteksi
dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia dideteksi 7-21 hari
setelah infeksi. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun
secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik.
Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun
demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8+ menyebabkan control optimal
terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan steady-state beberapa bulan
setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil selama beberapa tahun, namun lamanya
sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi tersebut, dengan demikian juga
perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas intrinsic pejamu.6,8

Antibodi muncul disirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum
dapat dideteksi pertama kali setelah pertama kali replikasi virus telah menurun sampai ke level
steady-state. Walaupun antibody ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat
melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar
dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk
kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah
sehingga netralisasi yang diperantarain antibodi tidak dapat terjadi.6,8

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali orang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal. Infeksi HIV
tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan
gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Setelah infeksi akut,

29
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala), umumnya berlangsung 8-10 tahun. namun
ada juga yang perjalanan penyakitnya amat cepat sekitar 2 tahun.6,8
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS.
Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur
folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat
dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah
bening, bukan di peredaran darah tepi.6,8
3.2.3. Manifestasi Klinis
Setelah infeksi awal, pasien mungkin tetap seronegatif (tes antibodi HIV masih
menunjukkan hasil negatif) walaupun virus sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang
banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium
karena kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3 sampai 6
minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Fase ini sangatlah penting karena pada fase
ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan virus ke orang lain. Fase ini disebut
“window periode”.9
Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul paling cepat 1 sampai 4
minggu setelah pajanan. Gejala yang timbul dapat berupa malaise, demam, diare,
limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut,
seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, kadar limfosit T CD4 yang tinggi dapat
terdeteksi di darah perifer.9
Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi
kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih
di atas 500sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV.
Setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat pada malam
hari, kehilangan berat badan kurng dari 10 %, diare, lesi pada mukosa dan penyakit infeksi
kulit berulang. Gejala-gejala ini merupakan tanda awal munculya infeksi oportunistik.9
Selanjutnya adalah fase simtomatik. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion
secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imun tidak mampu meredam jumlah
virion yang berlebihan, sehingga limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang
semakin banyak. Dari perjalanan penyakit, jumlah limfosit T CD4 pasien biasanya telah turun
di bawah 200 sel/mm3. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan
pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Dan disertai pula
30
dengan munculnya gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi yang berlanjut sampai
pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS.9
CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi kategori sebagai berikut:9
1. Kategori A adalah infeksi HIV asimtomatik, tanpa adanya riwayat gejala maupun keadaan
AIDS.
2. Kategori B adalah terdapatnya gejala-gejala yang terkait HIV; termasuk: diare,
angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory
disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia
oral (EBV), purpura trombosito-penik, neuropati perifer, dan herpes zoster.
3. Kategori C adalah infeksi HIV dengan AIDS.
4. Kategori A1, B1, dan C1 yaitu CD4 >500/ μL.
5. Kategori A2, B2, dan C2 yaitu CD4 200-400/ μL.
6. Kategori A3, B3, dan C3 yaitu CD4 <200/ μL.
3.2.4 Diagnosis
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti
infeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila
terdapat infeksi oportunistik (tabel 1) atau limfosit CD4+ kurang dari 350 sel/mm3.6,8
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi
HIV. Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan
untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat
dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetic dalam
darah pasien.6,8
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV,
seperti tes ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot
immunobinding assay. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi
HIV yaitu adanya masa jendela (waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya
antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu
setelah infeksi. Untuk itu, jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu
dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.6,8
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang
paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot (WB). Seseorang yang ingin menjalani
tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus
31
dilakukan agar ia dapat mendapat informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS
sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima
apapun hasil tesnya nanti. Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes,
baik hasil positif maupun negatif.6

Tabel 3.1. Klasifikasi Imunologi WHO Pada Infeksi HIV.10

3.2.5. Penatalaksanaan

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral atau ARV)
bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan
HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai
melalui pulihnya sistem kekebalan odha terhadap infeksi opportunistik.6

Penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu pengobatan untuk menekan
replikasi virus HIV dengan obat antiretrovital (ARV), pengobatan untuk mengatasi beberapa
penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur tuberculosis,
hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, dan pengobatan suportif
yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain
seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.6

32
Gambar 3.1. Infeksi Opportunistik/Kondisi yang sesuai dengan kriteria diagnosis AIDS. 6

3.2.5.1. Terapi Antiretroviral (ARV)

Manfaat pemberian ARV yaitu

1. Menurunkan angka kematian.


2. Menurunkan risiko perawatan di rumah sakit terutama karena infeksi oportunistik.
3. Menekan viral load, yaitu pada hasil pemeriksaan viral loadnya mnunjukkan tidak
terdeteksi.
4. Memulihkan kekebalan, dimana pemberian ARV meningkatkan CD4 sehingga tubuh
ODHA pulih kekebalannya.
5. Menurunkan risiko penularan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ARV
secara dini pada pasien di Scotlandia mampu menurunkan risiko penularan sebesar 96%
karena itulah timbul pemahaman bahwa pengobatan ARV merupakan pencegahan juga
(treatment as prevention).6,11

33
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor dan inhibitor protease. Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia (tabel
2). Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang memiliki HIV +, telah menunjukkan
gejala yang termasuk dalam kriteria AIDS, atau gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah
limfosit CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien dengan limfosit CD4 kurang dari
350 sel/mm3. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapat
ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari
350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/mL terapi ARV dapat dimulai, namun dapat
pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350
sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/mL.6,11
Tabel 3.2. Obat ARV yang Beredar Di Indonesia.6

Regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi 3 obat ARV.
Kombinasi obat ARV lini pertama yang umum digunakan di Indonesia adalah kombinasi
zidovudin (ZDV)/lamivudin (3TC), nevirapin (NVP), stavudin (d4T), dan efavirenz (EFV).
Penggunaan d4T (stavudin) dalam waktu tidak terlalu lama karena efek samping jangka
panjang yaitu lipodisatropi dan efek metabolik. Pada pengobatan ARV ini 2 digunakan
Tenofovir, Lopi/Ritonavir. Efek samping tenofovir yaitu gangguan fungsi ginjal, osteoporosis,
sedangkan efek samping PI adalah gangguan metabolik.6

34
3.2.6. Evaluasi Pengobatan

Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan indicator yang dapat dipercaya
untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV dan memudahkan kita untuk
mengambil keputusan memberikan pengobatan ARV. Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa dengan pemeriksaan viral load, kita dapat memperkirakan risiko kecepatan perjalanan
penyakit dan kematiann akibat HIV. Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau
efektivitas obat ARV.2

Obat-obat golongan protease inhibitor (PIs) seperti lopinavir/ritonavir, atazanavir,


saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memiliki barrier genetic yang tinggi terhadap
resistensi. Obat golongan lain memiliki barrier yang rendah. Obat golongan lain biasanya
menjadi resistensi dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologis. Indikasi
untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi secara klinis dimulai setelah >6
bulan memakai ARV.2

Tabel 3.3. Definisi Kegagalan Terapeutik Pada Terapi ARV Dewasa.6


Istilah Definisi
Kegagalan virologis Gagal untuk mencapai:
 VL (viral load) <400 c/mL dalam 24 minggu
 VL <50 c/mL dalam 48 minggu
 Konsisten (pada 2 pengukuran berurutan) VL >50 c/mL setelah
VL <50 c/Ml
Catatan: kebanyakan pasien akan mengalami penurunan VL
>1log10 c/mL pada 1-4 minggu
Kegagalan imunologis Hitung CD4 gagal meningkat menjadi 25-50 cell/mm3 dalam 1
tahun
Catatan: kebanyakan pasien mengalami peningkatan hitung CD4
150 cell/mm3 dalam 1 tahun pertama dengan Highly Active Anti-
Reteroviral Therapy (HAART)
Kegagalan klinis Pada pasien belum pernah diobati
Terjadinya atau kekambuhan gejala terkait HIV lebih dari 3 bulan
setelah terapi
HAART dimulai
Catatan: diagnosis sindrom rekonstitusional imunologis harus
disingkiran

35
Pada WHO stadium 3: penurunan BB >10%, diare atau demam >1 bulan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya, oral hairy leukoplakia terdapat infeksi bacterial yang berat atau bedridden
lebih dari 50% dari satu bulan terakhir.6
Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau dalam 4 minggu penghentian
regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes resistensi merupakan hal yang kompleks.2
Tabel 3.4. Indikasi Tes Resistensi.6

Indikasi Kegagalan virologis dengan VL (viral load)


> 1.000 c/mL
Infeksi HIV akut
Baseline, untuk mendapatkan terapi inisial
Tidak diindikasikan Setelah penghentian terapi ARV > 1 bulan
terapi
VL < 1.000 c/mL

36
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus ini pasien berusia 37 tahun dapat ditemukan adanya nyeri kepala, demam
dan penurunan kesadaran yang merupakan gejala kronik progresif dan menunjukan adanya
suatu lesi desak ruang pada otak. Adanya demam pada pasien ini menunjukkan adanya infeksi.
Sehingga penurunan kesadaran pada pasien ini diduga karena adanya lesi desak ruang otak
yang mungkin disebabkan oleh infeksi. Dengan ditemukan adanya riwayat berhubungan
seksusal dengan bukan pasangannya, dan riwayat positif HIV sejak 3 tahun SMRS namun
belum terapi ARV, maka dapat dipikirkan bahwa penderita ini terinfeksi HIV, sehingga
dilakukan pemeriksaan HIV dan CT Scan kepala dengan kontras. Hasil pemeriksaan HIV
ditemukan positif dengan CD 4 sebanyak 54 sel/ml. Hasil pemeriksaan CT Scan kepala dengan
kontras didapatkan kesan vasogenic edema pada lobus temporalis kiri, frontoparietalis kanan
dan parietalis posterior kiri dengan suspek abscess diantaranya pada lobus temporalis kiri dan
parietalis kiri. Berdasarkan manifestasi klinis dan jumlah CD 4 yang < 100 sel/ml, maka
presumptive diagnosis ensefalitis toksoplasmosis dapat ditegakkan dan dapat diberikan terapi
empirik toxoplasma. Pada pasien terdapat keluhan berupa hemiparese sinistra. Keluhan pada
pasien ini diduga berhubungan dengan letak lesi, yaitu pada ganglia basalis. Terapi ensefalitis
toksoplasmosis yang lazim diberikan adalah Sulfadoxin 500 mg + pyrimethamin 25 mg tiap 6
jam, clindamycin 600 mg tiap 6 jam dan asam folat 10 mg perhari. Terapi empirik yang
diberikan pasien ini adalah kombinasi pirimetamin 25 mg tiap 8 jam dengan clindamisin 600
mg tiap 6 jam, dan asam folat 5 mg perhari. Setelah pemberian selama 13 hari terdapat
perbaikan klinis. Dua minggu setelah pemberian terapi empirik dilakukan evaluasi ulang CT
Scan. Untuk menilai perbaikan secara radiologis, digunakan 2 parameter yaitu ukuran lesi dan
penyangatan lesi setelah pemberian kontras. Pada pasien ini evaluasi CT Scan belum dilakukan
namun adanya perbaikan klinis setelah terapi empirik Toksoplasma selama 2 minggu, maka
diagnosis definitif ensefalitis toksoplasmosis dapat ditegakkan. Terapi toksoplasmosis ini
direncakan untuk dilanjutkan sampai 6 minggu. Flukonazol juga dapat diberikan karena adanya
infeksi opurtunistik berupa candidiasis oral. Terapi anti retro viral diindikasikan pada penderita
terinfeksi HIV dengan CD4 < 200 sel/ml, dengan gejala (AID) atau limfosit total < 1200. Pada
pasien ini CD4 54 sel/ml, sehingga diberikan terapi ARV.

37
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus diatas berdasarkan anamnesis yang benar dan terarah kita dapat mengetahui
bahwa gejala atau keluhan yang dialami pasien karena suatu hal. Pasien dengan riwayat positif
HIV sejak 3 tahun SMRS namun belum terapi ARV datang dengan keluhan kelemahan
anggotak gerak sebelah kiri sejak 1 hari SMRS disertai bicara pelo, nyeri kepala berdenyut
sebelah kanan, muntah, gelisah, demam hilang timbul sejak 2 hari SMRS, serta nafsu makan
menurun. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya proses infeksi oportunistik seperti
ensefalitis toksoplasmosis pada pasien dengan imunokompromais (AIDS) yang
memungkinkan timbulnya gejala. Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi
adalah pemeriksaan laboratorium didapatkan anti HIV reaktif, dan pemeriksaan CD4. Pada
CT Scan kepala non kontras didapatkan gambaran encephalitis dengan multiple infark di lobus
frontal kanan dan cerebellum sisi kanan dan lesi hipodens dengan komponen isodens
didalamnya di lobus parietal kiri, suspek abses. Dapat dilanjutkan dengan CT Scan kepala
dengan kontras didapatkan gambaran vasogenic edema pada lobus temporalis kiri,
frontoparietalis kanan dan parietalis posterior kiri dengan suspek abscess diantaranya pada
lobus temporalis kiri dan parietalis kiri.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, et al. 2016. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-4.
Jakarta: FK UI. h.162-171
2. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, et al. 2008. Cerebral Toxoplasmosis in Adult
Patients with HIV infection. http://turner-white.com/pdf/hp_jul08_toxoplasmosis.pdf,
diakses pada oktober 1
3. Yuliawati I, Nasronudin. 2015. Pathogenesis, Diagnostic and Managemen of
Toksoplasmosis. https://e-journal.unair.ac.id/IJTID/article/viewFile/2008/1657, diakses
pada 30 September 2018.
4. Naqi R, Azeemuddin M, Ahsan H. 2010. Cerebral toxoplasmosis in a Patient with
Acquired Immunodeficiency Syndrome. Vol. 60, No. 4. pp. 316-318.
5. Madi D, Achappa B, Rao S, et al. 2012. Successful Treatment of Cerebral Toxoplasmosis
with Clindamycin: A Case Report', Oman Medical, 27(5), pp. 411-412.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3472581/ , diakses pada 25 september
2018.
6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke – 6.
Jakarta: Interna Publishing
7. UNAIDS. The Global HIV/AIDS Epidemic. Published: https://www.hiv.gov/hiv-
basics/overview/data-and-trends/global-statistics/, diakses pada 25 September 2018.
8. Fauci A.S., Lane H.C. 2010. Human Immunodeficiency Virus Disease: Aids and Related
Disorder. In: Harrison’s Infectious Disease, United States of America : The McGraw-Hill
Companies, Inc p: 793-885
9. Yuliyanasari N. Global Burden Disease - HIV - Acquired Immune Deficiency Syndrome.
http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/qanunmedika/article/viewFile/385/294,
diakses pada 25 September 2018.
10. World Health Organization. HIV/AIDS Programme. France: WHO; 2007.
11. Infectious Diseases Society of America. Guidelines for Prevention and Treatment of
Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.
https://aidsinfo.nih.gov/guidelines/, diakses pada 25 september 2018.

39

Anda mungkin juga menyukai