Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

Tuberkulosis Paru

Disusun Oleh:
Dinda Rizqy Dwiputri
1102015061

Pembimbing:
dr. Rizki Drajat, Sp.P

DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 24 Juni 2019 – 31 Agustus 2019
PENDAHULUAN

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh


Mycobacterium tuberculosis. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB
dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika
ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama
meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang
sedang berkembang.
2. Kegagalan program TB selama ini
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (global emergency). Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia
menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko
kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB
terhadap obat anti TB (Multi Drug Resistance = MDR) semakin menjadi masalah
akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani. Diperkirakan pada tahun
2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang dengan
Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Fakta
menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
Indonesia, antara lain:
1. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah
India dan Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total
jumlah pasien TB didunia.
2. Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan
nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi.

2
3. Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan
insiden TB Basil Tahan Asam (BTA) positif secara Nasional 2-3 % setiap tahunnya.
Sampai tahun 2005, program Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau
98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
(BBKPM)/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)/Balai Pengobatan Penyakit
Paru-Paru/Rumah Sakit Paru (RSP) baru sekitar 30%.

3
IDENTIFIKASI KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor CM : 22-XX-XX
Usia : 27 tahun
Berat Badan : 45 kg
Alamat : Margabatin
Agama : Islam
Suku Bangsa : Lampung
Status Pernihakan : Belum menikah
Status Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal Masuk : Selasa, 16 Juli 2019
Tanggal Keluar : Sabtu, 20 Juli 2019
Ruangan : Alamanda (Kamar 8)

II. Anamnesis
Autoanamnesis, dilakukan hari Rabu, 17 Mei 2019 pukul 08.30.
III. Keluhan Utama
Pasien mengeluh batuk berdahak.
IV. Keluhan Tambahan
Sakit kepala (+), demam pada malam hari (+), keringat malam (+), penurunan
nafsu makan (+), penurunan berat badan (+), lemas (+), sesak (-), dada terasa
berat (-), batuk berdarah (-)
V. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Cilegon diantar oleh
keluarganya, dengan keluhan batuk berdahak sejak lebih dari 1 bulan SMRS.
Pasien juga mengeluh demam yang timbul pada malam hari selama 1 bulan
SMRS. Terdapat pula keluhan sakit kepala, sering lemas, penurunan napsu
makan, penurunan berat badan, dan sering berkeringat di malam hari sejak 2
minggu. Keluhan batuk darah, sesak napas dan rasa berat di dada disangkal.
VI. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama belum pernah dirasakan.

4
Riwayat pengobatan paru-paru 6 bulan disangkal.
Riwayat penyakit DM disangkal.
Riwayat penyakit hepatitis disangkal.
Riwayat penyakit hipertensi disangkal.
Riwayat asma disangkal.
Riwayat alergi disangkal.
VII. Riwayat Kebiasaan
Pasien adalah perokok aktif sejak 15 tahun yang lalu. Dalam satu hari pasien
dapat menghabiskan kurang lebih 2 bungkus rokok.
VIII. Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak terdapat anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan
pasien.
 Riwayat TB paru pada keluarga disangkal
 Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal
 Riwayat penyakit hipertensi pada keluarga disangkal
 Tidak terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung
maupun metabolik.
IX. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi baik pada makanan, obat, maupun alergen lain.
X. Riwayat Sosial
Pasien belum menikah dan tinggal merantau di sebuah kos-kosan di
Tangerang. Sehari-hari pasien bekerja sebagai seorang wiraswasta. Pasien
tinggal dilingkungan yang cukup padat dan memiliki ventilasi udara yang
kurang baik. Teman di tempat ia bekerja ada yang mengeluh terkena penyakit
yang sama dengan pasien.
XI. Anamnesis Sistem Organ
 Kulit : Sawo matang dan tidak ada kelainan
 Kepala : Sakit kepala dan pusing berputar
 Mata : Tidak ada kelainan
 Telinga : Tidak ada kelainan
 Hidung : Tidak ada kelainan
 Mulut : Tidak ada kelainan

5
 Leher : Terasa kaku
 Thoraks : Tidak ada kelainan
 Abdomen : Tidak ada kelainan
 Saluran kemih : Tidak ada kelainan
 Saraf dan otot : Tidak ada kelainan
 Ekstremitas : Tidak ada kelainan
XII. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : 15
 Tekanan Darah : 110/60 mmHg
 Nadi : 95x/ menit
 Respirasi : 23x/ menit
 Suhu Tubuh : 36,5oc
 Kepala : Bentuk kepala normal, pertumbuhan rambut
normal, bentuk wajah simetris, pupil bulat
isokor, konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik
(-/-), eksoftalfmus (-/-), RCL (+/+), RCTL(+/+)
 Leher : Pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB (-)
deviasi trakea (-)
 Cor:
- Inspeksi : Dada terlihat asimetris
- Palpasi :Letak iktus cordis pada ICS V linea
midclavicularis sinistra
- Perkusi : Batas jantung normal, batas kanan atas ICS II
parasternalis dextra, batas kanan bawah ICS IV
parasternalis dextra, batas kiri atas ICS II
parasternalis sinistra, batas kiri bawah ICS IV
midclavicularis sinistra
- Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
 Pulmo :

6
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan
kiri tidak terdapat retraksi.
- Palpasi : Massa (-), krepitasi (-), fremitus taktil simetris,
fremitus vokal simetris.
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kanan dan kiri.
- Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

 Abdomen :
- Inspeksi : Tampak simetris, tidak terdapat kelainan kulit, tidak
ditemukan adanya spider nevy, tidak ada pelebaran
vena.
- Auskultasi : Bising usus (+), bising aorta abdominalis tidak
terdengar.
- Palpasi : Supel, turgor baik, nyeri tekan epigastrium(-), nyeri
lepas(-), massa(-), hepatomegali(-) splenomegali(-),
undulasi(-).
- Perkusi : Suara timpani di keempat kuadran, shifting
dullness (-).
 Ekstremitas : Akral hangat (+), edema ekstremitas superior (-) dan
ekstremitas inferior(-).
XIII. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi

7
PEMERIKSAAN 16 Juli 2019 17 Juli 2019

Hemoglobin 9,7 (L) -


Hematokrit 29,3 (L) -
Eritrosit 3,68 (L) -
MCV/VER 79,6 (L) -
MCH/HER 26,4 (L) -

MCHC/KHER 33,1 -

Leukosit 6,34 -

Trombosit 316 -
GDS 108 -

SGOT - 11

SGPT - 11

Ureum - 23

Creatinin - 0,85

Natrium - 129,1 (L)

Kalium - 3,86

Clorida - 97,7

S. typhi TO Negatif -

S. paratyphi AO Negatif -

S. paratyphi BO (+) 1/320 -

S. paratyphi CO Negatif -

S. typhi TH Negatif -

S.paratyphi AH Negatif -
S. paratyphi BH Negatif -
S. paratyphi CH Negatif -
Anti HIV
- Non Reaktif
Penyaring Rapid

8
b. Radiologi

Deskripsi:
- Tampak corakan berawan pada kedua lapang paru
- Tidak tampak kardiomegali.

XIV. Resume
Pasien Tn. S berusia 27 tahun datang dengan keluhan batuk berdahak
sejak 1 bulan SMRS. Pasien juga mengeluh demam hilang timbul pada malam
hari, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan yang telah
berlangsung selama 1 bulan. Selain itu pasien juga mengeluh sering
berkeringat di malam hari dan lemas. Pada saat dilakukan anamnesis pasien
mengeluhkan nyeri kepala hebat. Pasien merupakan seorang perokok aktif
sejak 15 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 110/60
mmHg, N: 95x/menit regular, R: 23x/menit, S: 36,5 oC. Tidak terdapat
kelainan pada pemeriksaan fisik toraks. Hasil pemeriksaan laboratorium
terdapat penurunan kadar Hb: 9,7 g/dL, Ht: 29,3%, Eritrosit: 3,68x10 6/ μL,
MCV: 79,6 fL, MCH: 26,4 pg, dan Natrium: 129,1 mEq/L. Hasil pemeriksaan
rontgen toraks terdapat gambaran infiltrat pada kedua lapang paru.

9
XV. Daftar Masalah
 Batuk berdahak
 Sakit kepala
 Tekanan darah rendah
XVI. Assesment
 Tuberkulosis Paru
 Meningitis Tuberkulosa
 Syok Septik
XVII. Usulan Rencana Pemeriksaan
 Pemeriksaan BTA
 Pemeriksaan TCM
 CT Scan Kepala
 Pungsi Lumbal
XVIII. Terapi
 FDC 1 x 3 tab
 IVFD Futrolit 20 tpm
 IVFD Ns 100 cc + Norepinephrin 1 ampoule
 OAT Kategori I
XIX. Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

10
FOLLOW UP
Rabu, 17 Juli 2019
S: O: A: P
Pasien mengeluh KU: tampak sakit TB paru duplex Pemeriksaan BTA 2x
batuk berdahak sedang Cephalgia DD/ OAT Kategori I
berwarna putih, sering KS: CM meningitis TB
FDC4 1 x 3 tab
berkeringat di malam TD: 110/60
hari, demam hilang N: 89x/mnt
timbul. Pasien juga R: 23x/mnt
mengeluhkan nyeri S: 36,2oC
kepala hebat dan GCS: 15
mual. Kepala :
normocephal

Mata : CA -/-
SI -/-

THT : dbn

Mulut : dbn

Leher : deviasi
trakea (-), kaku
kuduk (-)

Cor :
BJ I-II (+) reguler,
M (-), G (-)

Pulmo :
VBS (+/+)
Rh (-/-), Wz (-/-),
perkusi sonor/sonor,
palpasi
normal/normal.

Abdomen :
BU (+), NT (-),
supel, timpani

Ekstremitas :
Akral hangat +/+

11
FOLLOW UP
Kamis, 18 Juli 2019
S: O: A: PD :
Pasien mengeluh KU: tampak sakit Syok sepsis e.c Pemeriksaan BTA 2x
lemas, pusing (-), sedang TB Paru OAT Kategori I:
batuk sudah KS: CM Meningitis TB
FDC4 1 x 3 tab
berkurang, mual (-), TD: 100/60 grade I
IVFD Ns 100 cc +
muntah (-), leher N: 85x/mnt Hiponatremia
norepinephrin 1 amp
terasa kaku dan sakit R: 22x/mnt
Kapsul garam 2x1
(-), dada terasa berat S: 36oC
(+). GCS: 15
Kepala :
normocephal

Mata : CA -/-
SI -/-

THT : dbn

Mulut : dbn

Leher : deviasi
trakea (-), kaku
kuduk (-)

Cor :
BJ I-II (+) reguler,
M (-), G (-)

Pulmo :
VBS (+/+)
Rh (-/-), Wz (-/-),
perkusi sonor/sonor,
palpasi
normal/normal.

Abdomen :
BU (+), NT (-),
supel, timpani

Ekstremitas :
Akral hangat +/+

Lain-lain: status
neurologi dbn

12
FOLLOW UP
Jumat, 19 Juli 2019
S: O: A: PD :
Pasien mengeluh KU: agak lemah Syok sepsis e.c Pemeriksaan BTA 2x
lemas, nyeri kepala KS: CM TB Paru OAT Kategori I:
hebat (+), batuk sudah TD: 110/70 Cephalgia e.c
FDC4 1 x 3 tab
berkurang, mual (-), N: 63x/mnt Meningitis TB
IVFD Ns 100 cc +
muntah (-), leher R: 20x/mnt grade I
norepinephrin 1 amp
terasa kaku dan sakit S: 37,5oC Hiponatremia
Kapsul garam 2x1
(-), demam (-). GCS: 15
Kepala : normocephal

Mata : CA -/-
SI -/-

THT : dbn

Mulut : dbn

Leher : deviasi trakea


(-), kaku kuduk (-)

Cor :
BJ I-II (+) reguler,
M (-), G (-)

Pulmo :
VBS (+/+)
Rh (-/-), Wz (-/-),
perkusi sonor/sonor,
palpasi
normal/normal.

Abdomen :
BU (+), NT (-), supel,
timpani

Ekstremitas :
Akral hangat +/+

Lain-lain: status
neurologi dbn

13
FOLLOW UP
Sabtu, 20 Juli 2019
S: O: A: PD :
Pasien mengeluh KU: tampak sakit Syok sepsis Pemeriksaan BTA 2x
lemas, nyeri kepala sedang perbaikan OAT Kategori I:
sudah berkurang, KS: CM TB Paru duplex
FDC4 1 x 3 tab
batuk sudah TD: 110/70 Meningitis TB
Kapsul garam 2x1
berkurang, mual (-), N: 80x/mnt grade I
muntah (-), leher R: 20x/mnt Hiponatremia
terasa sedikit kaku S: 36oC
dan sakit (+). GCS: 15
Kepala :
normocephal

Mata : CA -/-
SI -/-

THT : dbn

Mulut : dbn

Leher : deviasi
trakea (-), kaku
kuduk (-)

Cor :
BJ I-II (+) reguler,
M (-), G (-)

Pulmo :
VBS (+/+)
Rh (-/-), Wz (-/-),
perkusi sonor/sonor,
palpasi
normal/normal.

Abdomen :
BU (+), NT (-),
supel, timpani

Ekstremitas :
Akral hangat +/+

Lain-lain: status
neurologis dbn

14
ANALISA KASUS

1. Apa dasar diagnosis TB Paru pada pasien ini?


Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan
gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik,
radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinik
tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala
sistemik.
a. Gejala respiratorik
• Batuk ≥ 2 minggu
• Batuk darah
• Sesak napas
• Nyeri dada
b. Gejala sistemik
• Demam
• Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,
anoreksia, berat badan menurun.
Pada pasien Tn. S gejala klinis respiratorik yang muncul
adalah batuk berdahak yang sudah berlangsung selama
kurang lebih 1 bulan. Sedangkan gejala sistemik yang
muncul adalah demam hilang timbul, malaise, keringat
malam, anoreksia dan penurunan berat badan.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan
segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

15
Pada pasien Tn. S tidak didapatkan adanya kelainan saat
pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan bakteriologik untuk menegakkan diagnosis
TB Paru dilakukan dengan tujuan untuk menemukan kuman
Mycobacterium tuberculosis. Spesimen yang dibutuhkan
dalam pemeriksaan ini adalah dahak pasien. Pengambilan
dahak tidak hanya dilakukan 1 kali, melainkan 3 kali dengan
metode waktu SPS (sewaktu-pagi-sewaktu). Sampel dahak
pertama diambil sewaktu kunjungan pertama. Dahak kedua
diambil pagi hari keesokan harinya dan dahak ketiga
diambil saat mengantarkan sampel dahak yang kedua ke
laboratorium. Selain metode SPS, dahak juga bisa diambil 3
hari berturut-turut setiap pagi. Pada pasien ini tidak dapat
dilakukan pemeriksaaan bakteriologik karena sampel dahak
yang dibutuhkan dimencukupi kebutuhan (pasien sudah
tidak batuk berdahak ketika dirawat inap).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini
adalah pemeriksaan rontgen toraks. Pada umumnya
gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif,
antara lain:
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan
posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus
bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh
bayangan opak berawan atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral
(jarang).
Hasil pemeriksaan rontgen toraks pada Tn. S
menggambarkan gambaran radiologik lesi TB aktif, antara
lain bayangan berawan di kedua lapang paru.

16
2. Bagaimana tatalaksana yang tepat pada pasien TB Paru dengan
Meningitis TB?
Pada prinsipnya tuberkulosis paru dan TB ekstraparu
diterapi dengan paduan obat yang sama namun beberapa
pakar menyarankan 9-12 bulan untuk TB meningitis
karena mempunyai risiko serius pada disabilitas dan
mortalitas dibandingkan dengan TB paru. Berikut ini
merupakan lini pertama pengobatan pada Meningitis TB:

The British Infection Society merekomendasikan


regimen lini pertama pengobatan Meningitis TB dimulai
dengan 2 bulan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol, kemudian diikuti oleh 10 bulan isoniazid dan
rifampisin. Sedangkan WHO merekomendasikan regimen
lini pertama 2 bulan isoniazid, rifampicin, pirazinamid, dan
etambutol (anak-anak) atau streptomisin (dewasa), lalu
diikuti oleh 10 bulan isoniazid dan rifampisin. Kedua
pedoman ini merekomendasikan pemberian kortikosteroid
tambahan untuk mengurangi risiko kematian atau
menonaktifkan defisit neurologis residual dari Meningitis
TB.

3. Mengapa terdapat keluhan nyeri kepala hebat pada pasien?


Nyeri kepala hebat merupakan manifestasi yang
ditimbulkan dari Meningitis Tuberkulosa. Meningitis

17
tuberkulosa dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahap
pertama adalah ketika basil Mycobacterium tuberculosis
masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi
terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi
regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen
atau parenkim otak membentuk lesi metastatik kaseosa
focisubependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua
adalah bertambahnya ukuran rich foci sampai kemudian
ruptur ke dalam ruang subarachnoid dan mengakibatkan
meningitis. Masuknya kuman M.tuberculosis ke dalam
meningens ini menyebabkan infeksi dan inflamasi yang
kemudian bermanifestasi nyeri kepala hebat, defisit saraf
kranial, meningismus, perubahan status mental, muntah,
fotofobia, dan demam.
4. Apa dasar diagnosis syok sepsis pada pasien ini?
Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi sepsis dengan
hipotensi refrakter (tekanan darah sistolik < 65 mmHg,
atau penurunan >40 mmHg dari ambang dasar tekanan
darah sistolik yang tidak responsif setelah diberikan cairan
kristaloid sebesar 20 sampai 40 mL/kg). Sedangkan sepsis
adalah adanya respon sistemik terhadap infeksi di dalam
tubuh. Dalam menegakkan diagnosis sepsis maupun syok
sepsis digunakan kriteria yang telah dibentuk pada tahun
1991 oleh American College of Chest Physician and
Society of Critical Care Medicine Consensus (Tabel 1), yaitu
sebagai berikut:

18
Pada pasien Tn. S terdapat bukti tanda sepsis yaitu peningkatan
frekuensi napas menjadi 23x/menit, peningkatan laju nadi menjadi
95x/menit pada tanggal 17 Juli 2019 pukul 01.30, dan bukti infeksi
Tuberkulosis paru yang ditegakkan berdasarkan keluhan klinis dan
pemeriksaan rontgen toraks. Kemudian terjadi penurunan tekanan darah
menjadi 70/palpasi pada tanggal 17 Juli 2019 pukul 12.00. Pasien
sebelumnya telah diberikan terapi cairan adekuat, namun penurunan
tekanan darah tidak teratasi.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Tuberkulosis
1.1. Definisi
Infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini menyebar melalui inhalasi droplet
nuklei. Kemudian, masuk ke saluran napas dan bersarang di
jaringan paru hingga membentuk afek primer. Dari afek primer
ini diikuti dengan terjadinya inflamasi pada kelenjar getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal) disertai pembesaran
KGB di hilus (limfadenitis regional). Kompleks primer adalah

19
afek primer disertai limfangitis regional. Kompleks primer
dapat menjadi:
- Sembuh, tidak ada cacat
- Sembuh dengan sedikit bekas (jaringan fibrotik,
sarang pengapuran di hilus, sarang Ghon)
- Menyebar ; perkontinuatum (sekitarnya), bronkogen
(penyebaran ke bagian paru lainnya), hematogen
dan limfogen (tulang, ginjal, genitalia, tuberculosis
milier, meningitis)
1.2. Klasifikasi TB
a. Lokasi yang sakit ; paru dan ekstrapulmonal. Untuk
TB ekstrapulmonal diagnosis berdasarkan kultur +.
b. Hasil pemeriksaan dahak: BTA positif atau BTA
negatif.
BTA (+):
- Sekurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak
memberikan hasil +
- Atau 1 kali pemeriksaan spesimen hasilnya (+)
disertai gambaran radiologi yang menunjukan TB
aktif
- Atau 1 spesimen BTA (+) dan kultur (+)
- Atau 1 atau lebih spesimen dahak + setelah 3
pemeriksaan dahak SPS pemeriksaan sebelumnya
hasil BTA (-) dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotik non OAT
BTA (-):
- Hasil sputum BTA 3x (-)
- Gambaran radiologi menunjukan kea rah TB
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik
non OAT pada pasien HIV (-)
- Ditentukan oleh dokter untuk diberikan pengobatan
c. Berdasarkan tipe pasien (riwayat pengobatan TB
sebelumnya) :

20
- Kasus baru : belum pernah meminum OAT
sebelumnya atau pernah mengonsumsi OAT < 1
bulan
- Kasus relaps : - pasien yang sebelumnya
pernah mendapat OAT telah
selesai pengobatan dan
dinyatakan sembuh. Namun
didapatkan BTA (+) atau
kultur (+) kembali dan
kembali konsumsi OAT.
- bila BTA (-), tetapi
radiologi
menunjukan lesi aktif /
perburukan dan gejala klinis
(+)
- Kasus default : pasien yang terlat
berobat dan putus berobat
selama ≥2 bulan dengan
BTA (+).
- Kasus gagal : pasien dengan BTA(+)
sebelumnya, tetap (+)
atau kembali lagi
menjadi (+)
- Kasus Kronik : hasil sputum BTA tetap
(+) setelah selesai
pengobatan ulang
(kategori 2) dengan
pengawasan ketat
- Kasus bekas TB : - BTA (-), radiologi lesi
tidak aktif atau foto
serial gambaran sama,
dan riwayat minum OAT
adekuat.

21
- Radiologi
gambarannya
meragukan,
mendapatkan OAT 2
bulan, foto toraks
ulang gambaran sama
d. Status HIV pasien:
Diagnosis TB paru dan TB ekstra paru
ditegakkan sebagai berikut:
 TB paru BTA (+), yaitu minimal 1x
pemeriksaan dahak positif
 TB paru BTA (-), yaitu hasil dahak negative
dan gambaran klinis radiologis ke arah TB
atau BTA (-) dengan kultur TB (+)
 TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan atau
histopatologis
1.3. Diagnosis TB
Seseorang diduga menderita TB paru apabila terdapat
batuk lebih dari 2 atau 3 minggu dengan produksi sputum dan
penurunan berat badan. Gejala klinis pada pasien dengan TB
paru terbagi 2, yaitu gejala respirasi dan konstitusi. Gejala
respirasi diantaranya sakit dada, hemoptisis dan sesak nafas,
sedangkan gejala konstitusi (sistemik) adalah demam, keringat
malam, cepat lelah, kehilangan nafsu makan, amenore
sekunder. Tidak ada kelainan spesifik yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik TB paru. Didapatkan gejala umum seperti
demam, takikardi, jari clubbing. Pemeriksaan dada mungkin
didapatkan crackles, mengi, suara nafas bronkial dan amforik.

Penemuan pada Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Pasien TB:


No. Penemuan Keterangan

22
Anamnesis

1. Riwayat terpapar TB riwayat Pasien dengan risiko


terinfeksi TB, atau riwayat mendapat terpapar TB memiliki
TB. risiko besar untuk
terkena TB.
2. Riwayat terinfeksi HIV atau kondisi Penderita HIV dengan
medis lain yang mendapat risiko infeksi TB laten
terinfeksi TB memiliki risiko 100
kali lebih tinggi untuk
berkembang menjadi
infeksi aktif.
3. Demam Jarang terjadi pada
penderita lanjut usia.
Tidak adanya demam
tidak dapat
menyingkirkan tb.
4. Lemah badan

5. Keringat malam Gejala ini hanya dapat


muncul pada TB yang
berlangsung lama
6. Batuk Merupakan gejala
yang paling sering
terjadi pada penderita
TB paru. Penderita
dengan TB ekstra
paru saja sering tidak
memiliki gejala ini
II Pemeriksaan Fisik
1. Gejala sistemik Dapat muncul gejala
demam, penurunan
berat badan dan lemah
badan
2. Berat badan Penurunan berat
badan lebih sering

23
ditemukan pada TB
yang berjalan lama
3. Tenggorokan Suara serak

Kelenjar Getah Bening


teraba
4.
5. Paru-paru Dapat ditemukan
adanya rales, tanda-
tanda konsolidasi atau
penemuan lain yang
sejalan dengan efusi
pleura (termasuk nyeri
pleuritik)
6 Jantung Takikardi,
. peningkatan vena dan
bunyi friction rub
dapat muncul pada
penderita TB
7. Abdomen Asites, dinding
abdomen seperti
adonan roti, adanya
massa intraabdomen
dan
hepatosplenomegali
dapat ditemukan pada
TB diseminata atau
TB abdomen
8. Muskuloskeletal Pembengkakan sendi,
pembentukan gibus
yang nyeri terlokalisir
dapat juga ditemukan
pada penderita TB

9. Neurologis Perilaku abnormal,


nyeri kepala dan
kejang

24
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya
didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis
kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya
dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberculosis
siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakit, yaitu:
1. TB di luar paru ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing
dan alat kelamin.
Catatan :
 Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru.
Sebab itu TB pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada
kelainan radiologik paru, dianggap sebagai penderita TB di luar
paru.
 Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru,
maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus
dicatat sebagai penderita TB paru.
 Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling
berat.

25
Gambar 1. Algoritma Diagnosis TB

1.4. Tatalaksana TB
a. Kategori I :
Diberikan kepada pasien baru ;
- pasien bru dengan BTA (+)
- pasien TB paru BTA (-), gambaran radiologi (+)
- pasien TB ekstra paru
Regimen yang diberikan :
2RHZE/4RH, 2RHZE/6HE, 2RHZE/4R3H3

26
b. Kategori II :
Pasien dengan BTA (+) dan telah diobati sebelumnya;
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien default
Regimen yang diberikan :
2RHZES/1RHZE untuk fase intensif selama menunggu
hasil uji resistensi, jika sudah ada hasil resistensi
disesuaikan dengan hasil uji resistensi tersebut. Bila
tidak dilakukan uji resistensi diberikan 5RHE.
( R: Rifampisin, H: Isoniazid, Z: Pirazinamid, E:
Etambutol, S: Streptomisin)
2. Meningitis Tuberkulosa
2.1 Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan
selaput otak atau meningen yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis
tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran
hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium
tuberculosis dari infeksi primer pada paru. World
Health Organization (WHO) pada tahun 2009
menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada
3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis,
83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada
paru
2.2 Diagnosis
Diagnosis ataupun suspek meningitis TB
memerlukan gejala dan tanda meningitis yang
disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi
tuberkulosa dan pada hasil foto rontgen toraks serta
cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis.

27
Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk
tuberkulosis paling fatal dan menimbulkan gejala
sisa yang permanen, oleh karena itu, dibutuhkan
diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini
merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima yang
sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari
semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner serta
0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala klinis
saat akut adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala,
meningismus, dan perubahan status mental. Gejala
prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala,
muntah, fotofobia, dan demam.
Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat
hanya setelah dilakukan pungsi lumbal pada pasien
dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf
pusat (defisit neurologis), basil tahan asam positif
dan atau atau M.tuberculosis terdeteksi
menggunakan metode molekular dan atau atau
setelah dilakukan kultur cairan serebrospinal (CSF).
Namun segala metode untuk memastikan sebuah
diagnosis meningitis TB ini memiliki resiko
memperlambat terapi inisiasi. Kultur memerlukan 2
sampai 3 minggu untuk mendapatkan hasil. Deteksi
mikroskopik untuk basil tahan asam dan isolasi
kultur memiliki sensitivitas rendah. Metode
molekular yang paling baru juga memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang rendah namun dapat digunakan
untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang berada
di CSF sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk
mengevaluasi respon terapi.
2.3 Tatalaksana
Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan basil tahan asam melalui apusan atau

28
kultur, baik dari sputum, darah maupun CSS. Hal ini
karena bahkan pemeriksaan terbaik sekalipun
mungkin tidak dapat menemukan basil tuberkulosis
pada pasien meningitis tuberkulosis, infeksi HIV dan
anak kecil. Oleh karena itu, pada kondisi seperti ini
atau pada pasien dengan sakit berat dimana
dicurigai tuberkulosis, maka penilaian klinis dapat
digunakan untuk memulai pemberian terapi empiris
sembari menunggu hasil akhir pemeriksaan seperti
kultur yang membutuhkan waktu lama atau bahkan
ketika hasil pemeriksaan negatif. Tuberkulosis paru
dan ekstraparu ditatalaksana dengan regimen
antituberkulosis yang sama, yaitu rifampisin,
isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan
fase intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4 bulan
fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli
merekomendasikan pemberian terapi obat anti
tuberkulosis pada meningitis tuberkulosis selama
minimal 9 hingga 12 bulan.12 WHO dan PDPI
mengklasifikasikan meningitis tuberkulosis
(tuberkulosis ekstra paru, kasus berat) ke dalam
kategori I terapi tuberkulosis. Pemberian rifampisin
dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus
meningitis tuberculosis umumnya diperpanjang
hingga 7 atau 10 bulan.
Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah
isoniazid 5 (4-6) mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari;
rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB, maksimum 600
mg/hari; pirazinamid 25 (20– 30) mg/kgBB,
maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 15 (15–20)
mg/kgBB, maksimum 1.600 mg/hari; streptomisin
12-18 mg/kgBB. Dosis kortikosteroid antara lain

29
deksametason 0,4 mg/kgBB atau prednison 2,5
mg/kgBB.
3. Syok Septik
Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi
dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah
sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Berbagai definisi sepsis
telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah
definisi yang ditetapkan dalam konsensus American College of Chest
Physician Jan Society of Critical Core Medicine pada tahun 1992 yang
mendefinisikan sepsis, sindroma respons inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis berat dan
syok/renjatan septik.
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi
yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga
mengganggu metabolisme sel/ jaringan. Terdapat berbagai sebab
terjadinya syok sepeni perdarahaan, infark miokard, anafitaksis,
emboli paru dan yang cukup sering ditemukan adalah syok septik.
Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan
darah (tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
tekanan darah sistolik lebih dari 40 mmHg) disertai tanda kegagalan
sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat
atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah
dan perfusi organ. Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera oleh karena semakin cepat syok dapat
teratasi, akan meningkatkan keberhasilan pengobatan dan menurunkan
risiko kegagalan organ dan kematian. Oleh karena itu strategi
penatalaksanaan syok septik yang tepat dan optimal petiu diketahui
untuk mendapatkan basil yang diharapkan.
3.1 Tatalaksana Syok Septik
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan
resusitasi yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan
secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit
gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b) circulation;
c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila

30
diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya
dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg,
tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai
akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena
gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke
jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik
dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah
jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan
menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor
oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi
akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami
iskemia. Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan
upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah,
meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi
oksigen di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan
pemberian cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume
cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar
tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon
terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan
tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi
nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan
membaiknya penurunan kesadaran.
3. Vasopresor dan inotropik
Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara
titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan
sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan
dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-
1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau

31
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat
digunakan adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit,
dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit
atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).

DAFTAR PUSTAKA

Chen, Khie dan Herdiman T. Pohan. 2014. Penatalaksanaan


Syok Septik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.6,
Jilid 3. Editor: Siti Setiati. Interna Publishing 2014; 863-
873
Chin, Jerome. Tuberculous meningitis: Diagnostic and
therapeutic challenges. Neurol Clin Pract. 2014 Jun; 4(3):
199–205.
Bahar Asril, Amin Zulkifli. 2014. Tuberkulosis Paru, dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed. 6, Jilid I. Editor: Siti Setiati.
Interna Publishing 2014; 863-873
Huldani. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Meningitis
Tuberkulosis. Universitas Lambung Mangkurat Fakultas
Kedokteran Banjarmasin, 2012.
Kementerian Kesehatan RI. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh.
Infodantin. 2016: 1-10.
Keputusan Menteri Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis (Tb). Jakarta.

32
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014:1.
Nafriadi, Gunawan, dan Gan Sulistia. (2016). Farmakologi Dan Terapi.
DepartemenFarmakologi Dan Terapeutik FKUI Edisi 6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. 2006
Pemula, Glok dan Ety Apriliana. Penatalaksanaan yang Tepat
pada Meningitis Tuberkulosis. J Medula Unila, Volume 6,
Nomor 1. 2016.
Tanto, C. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi IV. Jakarta:
Penerbitan Media Aesculapius FKUI.

33

Anda mungkin juga menyukai