“STEMI ANTEROSEPTAL”
Disusun Oleh:
dr. Ufik Maulena
Pendamping:
dr. Nia Tri Mulyani
Oleh:
dr. Ufik Maulena
Mengetahui,
Pendamping Internship
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh Tani
Agama : Islam
Tgl. Masuk RS : 12 Maret 2021
Tgl. Periksa : 12 Maret 2021
B. Anamnesis
Keluhan utama : nyeri dada
Keluhan tambahan : sesak napas, keringat dingin
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang rujukan dari Puskesmas Tonjong dengan nyeri dada sejak
3 jam SMRS. Hingga tiba di IGD, pasien masih merasakan nyeri dada. Nyeri
dada dirasakan di sebelah kiri dan menjalar ke punggung sebelah kiri, namun
tidak menjalar ke lengan kiri maupun bahu kiri. Nyeri dada dirasakan
mendadak dan tiba-tiba memberat. Nyeri dada dirasakan seperti tertindih di
belakang dada. Nyeri dada dirasakan terus menerus dan tidak dipengaruhi
oleh posisi. Nyeri dada tidak menghilang dengan istirahat. Nyeri dada
dirasakan pada skala 9/10. Nyeri dada dirasakan hingga pasien membungkuk
dan tidak bisa bergerak.
Nyeri dada disertai dengan keluarnya keringat dingin dan sesak napas.
Pada saat nyeri dada, pasien sempat tidak sadarkan diri selama kurang kebih
10 menit. Sesak napas dialami tanpa bunyi napas ngik-ngik. Selain itu pasien
juga mengeluhkan nyeri kepala dan mual. Keluhan nyeri perut, nyeri ulu hati,
dan muntah disangkal. Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan
seperti ini. Pasien juga mengaku belum pernah masuk rumah sakit untuk
mondok. Pasien rutin kontrol tekanan darah ke Puskesmas 1 minggu sekali.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
2. Riwayat hipertensi : diakui
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat asma : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal
7. Riwayat cuci darah : disangkal
Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
2. Riwayat sakit kuning : disangkal
3. Riwayat hipertensi : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
1. Community
Pasien tinggal di lingkungan perumahan yang cukup padat penduduk.
Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik.
2. Home
Pasien tinggal di rumah dengan keluarga (istri, dua anak, dua menantu,
dan cucu). Rumah beratap genteng dan beralas ubin. Jamban berada di
dalam rumah dan ventilasi serta cahaya matahari dirasa cukup. Keluarga
memasak menggunakan kompor gas.
3. Occupational
Pasien sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan pencari rumput. Setiap
pagi pasien berjalan kaki ke sawah yang berjarak 1 km dari rumah dari
pukul 07.00 pagi dan kembali ke rumah pukul 13.00. kemudian setelah itu
pasien berjalan kaki lagi untuk mencari rumput sejauh 4 km dari pukul
14.00-16.00. Pembiayaan rumah sakit selama dirawat pasien
menggunakan BPJS non PBI. Pembiayaan kebutuhan sehari-hari dibiayai
oleh keluarga pasien.
4. Diet
Keluarga pasien mengaku bahwa pasien makan sehari 2-3 kali dengan
nasi, sayur, lauk, daging/ayam, dan buah. Pasien memiliki kebiasaan
makan gorengan (mendoan) yang dibeli dari warung tiap pagi rata-rata 2-
3 buah. Kebiasaan minum kopi disangkal.
5. Riwayat merokok
Sebelum sakit, pasien mengaku merupakan perokok pasif sejak usia 15
tahun dan sehari dapat menghabiskan 1-2 bungkus. Indeks Brickmann
pasien yaitu 816 sehingga pasien tergolong perokok berat.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respiration Rate : 20 x/menit
Suhu : 36.9 0C
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam dan sedikit beruban, tidak mudah dicabut dan
terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan Leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2 cm
c. Pemeriksaan Thoraks
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan
kiri, kelainan bentuk dada (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus-/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V LMCS dan kuat
angkat (+)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
e. Pemeriksaan Ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas inferior
superior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Deformitas - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
D. Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin : 14.8 g/dl N (14 – 18 g/dl)
Leukosit : 10250 /ul N (4800-10800/ul)
Hematokrit : 44 % N (42 – 52 %)
Eritrosit : 5.2 x 106/ul N (4,7-6,1 106/ul)
Trombosit : 354.000/ul N (150000-450000/ul)
MCV : 84.4 fl N (77-89 fl)
MCH : 28.5 pg N (27-31 pg)
MCHC : 33.5 % N (33-37%)
RDW : 12.5 % N (11,5-14,5%)
MPV : 8.3 fl N (7,2-11,1fl)
PT : 23.7 detik N (9.3-11.4)
APTT : 52.4 detik N (29.0-40.2)
Hitung Jenis Leukosit
Basofil : 0.4 % N 0-1
Eosinofil : 0.5 % L 2-4
Batang : 0.8 % L 3-5
Segmen : 83.8 % H 50-70
Limfosit : 11.9 % N 25-40
Monosit : 2.6 % N 2-8
Kimia Klinik
Ureum darah : 36.18 mg/dL H (14.90 – 30.52 mg/dl)
Kreatinin darah : 1.07 mg/dL N (0.00 – 1.30 mg/dl)
Kolesterol total : 216 mg/dL H (<200 mg/dL)
Trigliserid : 108 mg/dL L (<149 mg/dL)
LDL Kolesterol : 82.0 mg/dL H (40-60 mg/dL)
Natrium : 141 mmol/L N (136-145 mmol/l)
Kalium : 3.9 mmol/L N (3,5-5,1 mmol/l)
E. Diagnosis
STEMI Anteroseptal
Dislipidemia
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana dari IGD:
1. O2 2 lpm nasal kanul
2. IVFD RL 20 tpm
3. Inj. Omeprazol 1x1 amp
4. ISDN 3x5 mg sublingual
5. Aspilet 4 tab
6. Clopidogrel 4 tab lanjut
7. Inj. Morphin 2 mg IV
8. Rujuk RSMS
B. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia
III. TINJAUAN PUSTAKA
1. Sindroma Koroner Akut
a. Definisi
Istilah infark miokard akut harus digunakan ketika ada bukti
adanya jejas pada otot jantung (miokard) yang ditandai denan
peningkatan troponin kardiak dengan minimal salah satu nilai di atas
99 persentil, dengan nekrosis miokard yang ditandai dengan sejumlah
tanda klinis (Ibanez, 2018).
b. Epidemiologi
Penyakit jantung iskemik merupakan penyebab tunggal kematian
dan frekuensinya meningkat. Penyakit jantung iskemik saat ini
terhitung menyebabkan kematian 1.8 juta jiwa tiap tahunnya, dengan
variasi masing-masing negara. Insiden STEMI dan NSTEMI
berkurang dan meningkat secara relatif tiap tahunnya. Di Swedia,
Insiden STEMI tahun 2015 yaitu 58 per 100 ribu orang sedangkan di
negara Eropa berkisar antara 43 sampai 144, dan di USA menurun
menjadi 133 per 100 ribu orang di tahun 1999 sedangkan di tahun
2008 menjadi 50 per 100 ribu orang. Terdapat pola yang konsisten
pada STEMI, yang lebih banyak terjadi pada laki-laki muda (Ibanez,
2018).
Tingkat mortalitas pada pasien STEMI dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti usia, lama waktu sampai mendapat terapi, adanya
riwayat STEMI, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau penyakit jantung
koroner yang lain, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Meskipun penyakit
jantung iskemik dapat terjadi 7-10 tahun kemudian pada laki-laki, pada
wanita, infark miokard dapat menyebabkan kematian. Sindrom
koroner akur terjadi 3-4 x lebih sering pada laki-laki daripada wanita
di bawah usia 60 tahun (Ibanez, 2018).
c. Faktor Risiko
Berdasarkan penelitian berskala luas dalam Interheart Study
menunjukkan kadar lipid yang abnormal, riwayat merokok, hipertensi,
DM, obesitas abdominal, faktor psikososial, pola diet, konsumsi
alkohol serta aktivitas fisik secara signifikan berhubungan dengan
infark miokard akut baik pada STEMI maupun NSTEMI. Secara garis
besar, faktor risiko tersebut terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan
dapat atau tidaknya dimodifikasi (Kyto, 2017):
1. Non- modifieable
a) Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum
usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Seluruh
jenis penyakit jantung koroner termasuk STEMI yang terjadi
pada usia lanjut mempunyai risiko tinggi kematian dan adverse
events.
b) Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan
jantung dan kejadiannyalebih awal dari pada wanita.
Morbiditas penyakit ini pada laki-laki lebih besar daripada
wanita dan kondisi ini terjadi dan kondisi ini terjadi hampir 10
tahun lebih dini pada wanita. Studi lain menyebutkan wanita
mengalami kejadian infark miokard pertama kali tahun lebih
lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard
pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang
mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda.
Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti
pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan esterogen
c) Ras
Ras kulit putih lebih sering terjadi serangan jantung
daripada ras African American. Kelompok masyarakat kulit
putih maupun kulit berwarna, laki-laki mendominasi kematian,
tetapi lebih nyata pada kulit putih dan lebih sering ditemukan
pada usia muda dari pada usia lebih tua. Insidensi kematian
dini akibat penyakit jantung koroner pada orang Asia yang
tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
lokal dan juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibia.
d) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner
yaitu keluarga langsung yang berhubungan darah pada pasien
berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko
independen. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya
predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti
bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia
onset PJK pada keluarga dekat. Faktor familial dan genetika
mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK, hal
tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam
diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK.
2. Modifiable
a) Hipertensi.
Risiko serangan jantung secara langsung berhubungan
dengan tekanan darah, setiap penurunan tekanan darah diastolik
sebesar 5 mmHg risikonya berkurang sekitar 16 %. Hipertensi
adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg dan atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg.
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri.
Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri
hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses
aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard
berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi
jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang
tersedia. Secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan
darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosklerosis,
sehingga ruptur dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat
daripada orang normotensi
b) DM
Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan
membran basalis dari kapiler dan pembuluh darah arteri
koronaria, sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke
jantung. Insiden serangan jantung meningkat 2 hingga 4 kali
lebih besar pada pasien yang dengan diabetes melitus. Orang
dengan diabetes cenderung lebih cepat mengalami degenerasi
dan disfungsi endotel. Diabetes mellitus berhubungan dengan
perubahan fisik - pathologi pada system kardiovaskuler.
Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan
pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko
terjadinya coronary artery diseases (CAD).
c) Dislipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor
resiko adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan
peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas
batas normal. The National Cholesterol Education Program
(NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab
penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention
Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar
kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark miokard.
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat
dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara
progresif atas terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam
darah dalambentuk lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein
densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20 %
merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density
liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL lah yang rendah
memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan
terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK. Peningkatan kadar
lemak berhubungan dengan proses aterosklerosis. Berikut ini
faktor risiko dari faktor lipid darah: total kolesterol plasma >
200 mg/dl, kadar LDL > 130 mg/dl, kadar trigliserid > 150
mg/dl, kadar HDL < 40 mg/dl.
d) Overweight dan Obesitas
Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena
penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung
koroner di negara berkembang berhubungan dengan
peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Overweight
didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan
IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral atau obesitas abdominal
adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen.
Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan
metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan
HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi
insulin dan diabetes melitus tipe II.
Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila setiap
individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi
penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro
vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %. Penurunan berat
badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan
menurunkan dislipidemia. Hal tersebut dapat ditempuh dengan
cara mengurangi asupan kalori dan menambah aktifitas fisik.
e) Riwayat Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner sebesar 50%. Orang yang tidak merokok dan tinggal
bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko
sebesar 20–30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal
dengan bukan perokok. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian
karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok.
Penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard
infark akut prematur di daerah Asia Selatan. Merokok sigaret
menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2-3 kali. Sekitar
24 % kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 %
padaperempuan disebabkan kebiasaan merokok. Pemeriksaan
yang dilakukan pada usia dewasa muda dibawah usia 34 tahun,
dapat diketahui terjadinya atherosklerosis pada lapisan
pembuluh darah (tunika intima) sebesar 50 %.35 Berdasarkan
literatur yang ada hal tersebut banyak disebabkan karena
kebiasaan merokok dan penggunaan kokain
f) Aktivitas Fisik
Olah raga secara teratur akan menurunkan tekanan darah
sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi,
menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan
kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan
meningkatkan percaya diri. Diperkirakan sepertiga laki-laki
dan dua per tiga perempuan tidak dapat mempertahankan irama
langkah yang normal pada kemiringan gradual (3 mph pada
gradien 5 %). Olah raga yang teratur berkaitan dengan
penurunan insiden PJK sebesar 20–40%. Olah raga secara
teratur sangat bermanfaat untuk menurunkan faktor risiko
seperti kenaikan HDL-kolesterol dan sensitivitas insulin serta
menurunkan berat badan dan kadar LDL-kolesterol. Pada
latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem
kardiovaskuler, yaitu peningkatan curah jantung dan
redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ
yang aktif.
g) Gaya Hidup
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang
mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E,
dan bahan-bahan polisitemikal. Studi Epidemiologi yang
dilakukan terhadap beberapa orang telah diketahui bahwa
konsumsi alkohol dosis sedang berhubungan dengan penurunan
mortalitas penyakit kardiovaskuler pada usia pertengahan dan
pada individu yang lebih tua, tetapi konsumsi alkohol dosis
tinggi berhubungan dengan peningkatan mortalitas penyakit
kardiovaskuler. Peningkatan dosis alkohol dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas kardivaskuler karena aritmia, hipertensi
sistemik, dan kardiomiopati dilatasi.
d. Patofisiologi
Sindroma koroner akut merupakan manifestasi akut dari plak
ateroma pembuluh darah koroner yang pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrosa yang menutupi
plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit
dan aktivasi jalur koagulasi. Trombus akan menyumbat liang
pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau
menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu, terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard)
(Ashis, 2018).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh
darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis adalah
gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan
stunning (setelah iskemia hilang), disritmia dan remodelling ventrikel
(perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien
sindroma koroner akut tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan
di atas. Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus,
dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah intervensi
koroner perkutan (IKP) (Ashis, 2018).
e. Klasifikasi Sindroma Koroner Akut
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI)
3. Angina pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejaian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis,
intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka
jantung (Pedersen, 2014).
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan
jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat
presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau
bahkan tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan
NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang
ditandai dengan peningkatan marka jantung (Pedersen, 2014).
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau
CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak
meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai
ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa
unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika
pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika
ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-
24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang
(Pedersen, 2014).
f. Diagnosis SKA
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung,
dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada
dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,
Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.
1) Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri
dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).
Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop (Hoffman, 2014).
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain
nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda
(25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung
koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat
sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA (Hoffman,
2014).
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut
ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner
(penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam
keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang,
risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education
Program)
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut,
suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub
karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi
katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik
disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan
dalam memikirkan diagnosis banding SKA (Quinn, 2014).
3) Pemeriksaan EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain
yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG
12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan
V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali (Quinn, 2014).
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan
angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left
Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST
yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi
segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST
elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan
adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40
tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di
lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV (Quinn,
2014).
Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30
tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di
sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh
segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika
STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah
kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang
diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia (Quinn, 2014).
Tabel 1. Lokasi Infark berdasarkan Sadapan EKG (Quinn, 2014)