Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS

“EFFUSI PLEURA
Et Causa
DENGUE SHOCK SYNDROME”

Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Lilis Untari Soerono, Sp.Rad

Disusun Oleh :
Siti Hardiyanti - H3A021076
Dimas Pratama H.S - H3A021043

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD TUGUREJO SEMARANG
2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

Efusi pleura adalah keadaan dimana terjadi penumpukan cairan melebihi normal
di dalam cavum pleura diantara pleura parietalis dan visceralis dapat berupa transudat
atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan
sebanyak 10- 20 m.l. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah dhf,
tuberkulosis, infeksi paru non tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau
tumpul pada daerah ada, infark paru, serta gagal jantung kongestif. Di Negara-negara
barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati,
keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di.

Negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan


oleh infeksi tuberkulosis.1 Efusi pleura ganas merupakan salah satu komplikasi. 60%
penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara 5% kasus mesotelioma
(keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker
payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura.

Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, dipsneu. Nyeri bisa timbul akibat
efusi yang banyak berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Diagnosis efusi pleura
dapat ditegakkan melalui anamnesis serta pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis yang
pasti melalui pungsi percobaan, biopsy dan analisa cairan pleura4. Penatalaksanaan efusi
pleura dapat dilakukan dengan cara pengobatan kausal, thorakosintesis, Water Sealed
Drainage (WSD), dan pleurodesis.

Dengue Hemoragik Fever (DHF) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari
dengan dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah, nyeri
retro orbital, myalgia, atralgia, ruam kulit, hepatomegali, manifestasi perdarahan,
lekopenia. dengan kecenderungan perdarahan dan manifestasi kebocoran plasma disertai
dengan pembesara hati

Demam Berdarah Dengue (BDB) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviride, dengan genusnya
adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotype yang dikenal dengan DEN-1, DEN-
2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang
berbeda-beda tergantung dari sterotipe virus dengue. Mordibitas penyakit DBD menyebar
di negara-negara tropis dan sub tropis. Di setiap Negara penyakit DBD mempunyai
manifestasi klinik yang berbeda. Dengue Shock Syndrome (SSD)/ Dengue Syok Sindrom
(DSS) adalah kasus deman berdarah dengue disertai dengan manifestasi kegagalan
sirkulasi/ syok/ renjatan. Dengue Shok Syndrome (DSS) adalah sindroma syok yang
terjadi pada penderita Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan permasalahan klinis.
Karena 30 – 50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami renjatan dan
berakhir dengan suatu kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.
Penanganan renjatan pada DBD merupakan suatu masalah yang sangat penting
diperhatikan, oleh karena angka kematian akan2 meninggi bila renjatan tidak ditanggulangi
secara dini dan adekuat. Dasar penangani renjatan DBD ialah volume replacement atau
penggantian cairan intravascular yang hilang, sebagai akibat dari kerusakan dinding
kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas sehingga mengakibatkan plasma
leakage. 6 Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak
teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama An. Elia Putra W
Umur : 11 th 2bl
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kalipancur
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 18 juni 2022
No RM :63-00-77

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : DHF dan penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo Semarang pada tanggal 18 Juni 2022
pukul 17.00 WIB. Pasien datang dengan penurunan kesadaran
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat Penyakit Ginjal : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Operasi : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Sakit Serupa : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat Penyakit Ginjal : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
4
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya pengobatan menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : tidak sadar
3. Vital Sign
a. TD : 129/90 mmHg
b. Nadi : 126x/menit
c. RR : 17 x/menit
d. Suhu : 37o C
e. SPO2 : 92%
4. Status Generalisata :
a. Kepala : Bentuk mesocephal, jejas (-)
b. Mata : Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), reflek
cahaya (+/+), pupil isokor 3mm/3mm (bulat, sentral, reguler)
c. Hidung : Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), sekret (-)
d. Telinga : Normotia, serumen (-/-), nyeri tragus (-/-), otore (-)
e. Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), mulut asimetris (-),
f. Leher : Limfonodi (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-), JVP tidak dilakukan
pemeriksaan, pulsasi teraba kuat dan regular
g. Thorax
Pemeriksaan Depan Belakang

Inspeksi Kanan Gerakan dada simetris kanan dan kiri,


tidak ada pernafasan tertinggal
Kiri

Palpasi Kanan Taktil fremitus simetris kanan dan kiri

Kiri ICS : tidak melebar / menyempit

Perkusi Kanan Redup Redup

Kiri Sonor Sonor

Auskultasi Kanan SUARA DASAR VESIKULER

Kiri 5
Ronki (-/-), wheezing (-/-)

h. Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea Midclavicula
sinistra
 Perkusi : dalam batas normal
 Auskultasi : BJ I dan BJ II normal, bising jantung (-)

i. Abdomen
 Inspeksi : tampak datar, bekas operasi (+)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : tidak nyeri

j. Ekstremitas
Dextra Sinistra

Ekstremitas Superior

 Akral pucat + +

 Akral dingin + +

 Deformitas - -

 Capillary Refill Time < 2 detik < 2 detik

Ekstremitas Inferior

 Akral pucat + +

 Akral dingin + +

 Deformitas - -

 Capillary Refill Time < 2 detik < 2 detik

6
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
21 Juni 2022
- Hematokrit : 31,2% (Menurun)
- Trombosit : 114 x 103 / ul (Menurun)
- Neutrofil : 61,8 % (Meningkat)
22 Juni 2022

- Hematokrit : 33,2 % (Normal)


- Trombosit : 164 x 103 / ul (Normal)
- Neutrofil : 61,9 % (Meningkat)

2. Pemeriksaan foto thorax (18 Juni 2022)

7
Hasil pemeriksaan X Foto Thorax AP duduk (18 Juni 2022)
Klinis : Effusi Pleura dextra
Cor : Ukuran, bentuk, dan letak normal
Pulmo : Corakan bronkovaskular kasar
Tampak gambaran infiltrat kanan bawah
Diafragma dan sinus costofrenicus kiri baik
Diafragma dan sinus costofrenicus kanan tertutup perselubungan opaq
Kesan :
Efusi pleura kanan
Cor :Normal
Gambaran Bronkopneumonia
3. Pemeriksaan foto thorax (19 Juni 2022 Jam 07.01)

8
Hasil pembacaan X Foto Thorax AP supine (19 Juni 2022 Jam 07.01)
Klinis : Gagal Nafas
Di bandingkan x foto tanggal 18 juni 2022
Tampak terpasang ETT dengan ujing distal setinggi v Thoracal I-II
Effusi pleura kanan bertambah
Cor :Ukuran tak membesar, sedikit bergeser kekiri
Pulmo :Corakan bronkovaskular kasar,
Tampak gambaran infiltrat kedua parahiler
Diafragma dan sinus costofrenicus kiri baik
Diafragma dan sinus costofrenicus kanan tertutup perselubungan opaq
Kesan :
Ujung distal ETT setinggi v Thoracal I-II
Effusi pleura kanan bertambah
Cor tidak membesar. 9
Oedema Pulmo
4. Pemeriksaan foto thorax (20 Juni 2022 Jam 10.40)

Hasil pembacaan X Foto Thorax (20 Juni 2022 Jam 10.40)


Klinis : Gagal nafas, adakah oedem pulmo ?
Tampak terpasang ETT dengan ujing distal setinggi v Thoracal I-II
Effusi pleura kanan bertambah
Ukuran tak membesar, sedikit bergeser kekiri
Pulmo :Corakan bronkovaskular kasar,
Tampak gambaran infiltrat kedua parahiler berkurang
Diafragma dan sinus costofrenicus kiri baik
Diafragma dan sinus costofrenicus kanan tertutup perselubungan opaq
Kesan :
Ujung distal ETT setinggi v Thoracal I-II
Effusi pleura kanan bertambah
Cor tidak membesar.
Oedema Pulmo perbaikan
EPI = 46,66

10
5. Pemeriksaan foto thorax (20 Juni 2022)

Hasil pembacaan X Foto Thorax (20 Juni 2022 Jam 10.40)


Klinis : DSS, Gagal nafas
Di bandingkan x foto tanggal 20 juni 2022 pukul 10.40
-Terpasang CVP dengan ujung distal pada proyeksi V.Kava Superior
(terpasang baik)
-Terpasang ETT baik
-Tampak effusi Pleura kanan masif yang mengakibatkan kollaps sebagian paru
kanan
-Tampak pula effusi Pleura kiri
Cor : CTR < 50%, bentukdan letak normal,Aorta baik
Pulmo : corakan bronkovaskular normal, Tidak tampak infiltrat pada
kedua paru
Hilus tak menebal
Diafragma dan sinus costofrenicus kanan tertutup perselubungan opaq
Diafragma dan sinus costofrenicus kiri baik
Tulang dan jaringan lunak baik 11
Kesan :
Effusi pleura kanan masif
Effusi Pleura kiri
Kollaps sebagian paru kanan
Cor tidak membesar
CVP dengan ujung distal pada proyeksi V.Kava Superior (terpasang baik)
ETT terpasang baik
V. DIAGNOSIS

Effusi Pleura et causa Dengue Shock Syndrome

VI. INIAL PLAN TERAPI

a. Non Medikamentosa

- Pemantauan respirasi :
• Monitor pola nafas
• Monitor saturasi oksigen
- Pencegahan syok
• Berikan oksigenasi
• Kolaborasi pemberian cairan IV
- Monitor status kaardiopulmonal
Frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, tekanan darah, dan respon pupil
- Posisikan semifowler
b. Medikamentosa
- Infus Nacl 0,9%
- Infus Ringer Laktat Infus
- Infus Gelafusal
- Inj Ondansetron
- Inj Omeprazole
- S/P midazolam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Effusi pleura

A. Etiologi
Efusi pleura didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana terdapatnya cairan yang
berlebih jumlahnya di dalam cavum 12 pleura, yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara pembentukan dan reabsorbsi (penyerapan) cairan pleura
ataupun adanya cairan di cavum pleura yang volumenya melebihi normal. Dalam
keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan
pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl. Cairan dalam jumlah
yang berlebih dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru
selama inhalasi. Dalam keadaan normal, rongga pleura berisi sedikit cairan untuk
sekedar melicinkan permukaan pleura parietalis dan visceralis yang saling
bergerak karena pernapasan. Cairan masuk ke dalam rongga melalui pleura
parieatalis yang bertekanan tinggi dan diserap oleh sirkulasi di pleura visceralis
yang bertekanan rendah dan diserap juga oleh kelenjar limfe dalam pleura
parietalis dan pleura visceralis.
Akumulasi cairan melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika
cairan yang diproduksi oleh pleura parietalis dan visceralis tidak mampu diserap
oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura visceral atau sebaliknya
yaitu produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan. Akumulasi cairan pleura
melebihi normal dapat disebabkan oleh beberapa kelainan, antara lain infeksi dan
kasus keganasan di paru atau organ luar paru.
Pada seseorang yang mengalami efusi pleura, gejala klinis dapat berupa keluhan
sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak
berupa nyeri pleuritik atau nyeri tumpul yang terlokalisir, pada beberapa penderita
dapat timbul batuk-batuk kering. Keluhan berat badan menurun dapat dikaitkan
dengan neoplasma dan tuberkulosis, batuk berdarah dikaitkan dengan neoplasma,
emboli paru dan tuberkulosa yang berat. Demam subfebris pada tuberkulosis,
demam menggigil pada empiema, ascites pada sirosis hepatis.
B. Anatomi Pleura
Pleura adalah membran tipis yang membungkus paru – paru.Pleura yang melekat
pada paru - paru adalah pleura visceralis , yang berjalan dari pangkal masing-
masing paru ( hilus )menuju permukaan dalam dinding toraks membentuk pleura
parietalis.Pleura parietalis membatasi dinding toraks , meliputi permukaan torakal
diafragma dan permukaan lateral mediastinum , meluas sampai ke pangkal leher
untuk membatasi permukaan membran suprapleura pada apertura toraksis superior
. Pleural viscera membungkus seluruh permukaan luar paru-paru dan meluas ke
dalam fissura interlobaris.Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel
metholial dan jaringan ikat. 13
Ruangan yang terbentuk diantara pleura parietalis dan pleura visceralis dinamakan
kavum pleura,dimana didalamnya terdapat cairan pleura ( surfaktan )yang menjadi
lubrikans pada permukaan pleura saat respirasi .Dalam keadaan normal ,jumlah
cairan pleura ( surfaktan ) sekitar 1- 5 cc.
Secara umum terdapat perbedaan antara pleura visceralis dan pleura parietalis
yaitu :
a. Pleura visceralis Permukaan luar dari pleura visceralis terdiri dari selapis sel
metholial yang tipis dengan ukuran < 3 mm. Diantara celah – celah ini terdapat
sel limfosit , dibawah sel – sel metholial ini terdapat endopleura yang berisi
fibrosit dan histiosit.Di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan
kolagen dan serat – serat elastik.Lapisan terbawah terdapat jaringan interstisial
subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari arteri
pulmonalis dan arteri brakhialis serta pembuluh limfe.Pleura visceralis ini
menempel kuat pada jaringan paru , yang berfungsi untuk mengabsorpsi cairan
pleura.
b. Pleura Parietalis Pleura parietalis merupakan jaringan terdiri darisel-sel
metholial , jaringan ikat kolagen dan serat – serat elastis.Dalam jaringan ikat
tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria
Interna , pembuluh limfe,dan banyak sel reseptor saraf sensoris yang peka
terhadap rasa sakit dan perbadaan tempertur.Seluruhpersyarafannya berasal
dari n. Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dermatom dada.Pleura
parietalis ini mudah menempel dan lepas dari dinding dada dan berfungsi untuk
memproduksi cairan pleura.
C. Patofisiologi
Efusi cairan dapat berbentuk transudat dan eksudat. Efusi transudat terjadi karena
penyakit lain bukan primer paru seperti pada gagal jantung kongestif, sirosis hati,
sindroma nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan,
perikarditis konstriktiva, mikaedema, glomerulonefritis, obstruksi vena kava
superior, emboli pulmonal, atelektasis paru, hidrotoraks, dan pneumotoraks.
Sedangkan pada efusi eksudat, terjadi bila ada proses peradangan yang
menyebabkan permabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke
dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah
akibat M. tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab
14
lain seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis, ekinokokus), jamur,
pneumonia atipik (virus, mikoplasma, legionella), keganasan paru, proses
imunologik seperti pleuritis lupus (karena Systemic Lupus Eritematous), pleuritis
rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis
uremia, dan akibat radiasi
D. Gejala dan Tanda
Pleura efusi merupakan keadaan yang mendasari suatu gangguan. Penyakit dasar
menentukan gejala sistemik yang muncul. Pleura efusi bisa bersifat asimtomatis
sampai akumulasi cairan dalam rongga pleura tersebut menyebabkan gangguan
kardiorespirasi (dispnea, ortopnea) gejala langsung yang melibatkan pleura seperti
nyeri dada, rasa tertekan, dan dispnea. Anak yang lebih besar akan mengeluhkan
nyeri yang tajam pada saat inspirasi atau batuk yang diakibatkan karena
peregangan pada pleura parieta. Nyeri yang hebat menghambat pergerakan nafas
dan menyebabkan dipsnea. Pemeriksaan fisik penting terutama pada cairan pleura
yang sedikit. Pleura rub yang diakibatkan oleh kekasaran permukaan pleura
merupakan gejala awal yang dapat ditemukan pada saat inspirasi dan ekspirasi.
Jika cairan pleura bertambah, pleura rub akan hilang. Pelebaran rongga
interkostal, perkusi pekak, fremitus menurun dan suara nafas yang berkurang.
Tanda lainnya dari pleura efusi adalah pendorongan trakea dan apek jantung kesisi
kontralateral.
E. Gambaran Radiologi
Pada foto PA dengan penderita berdiri tegak, maka cairan dalam pleura dengan
jumlah 100-200 cc dapat tersembunyi dibelakang diphragma atau sebagai
encysted effusion yang tersenbunyi di belakang jantung. POSTERIOR
MEDIASTINAL PLEURAL REFLECTION dapat terlihat sebagai garis tebal
yang menjulang dari hilus ke diphragma, persis disebelah lateral dari columna
vertebralis, lebih sering terlihat pada sisi yang kiri daripada yang kanan. Pleural
effusion adalah kelainan dimana terdapat cairan (effusion) di dalam cavum pleura.
Pada posisi lateral decubitus cairan akan bergerak ke daerah yang lebih rendah.

15
PA Lateral Decubitus

F. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesis dan pemeriksaan fisik menjadi acuan untuk mengevaluasi awal efusi
pleura. Tanda dan gejala bervariasi tergantung pada penyebabnya seperti dispnea,
batuk, dan nyeri dada pleuritik. Gejala tambahan seperti demam, ortopnea, atau
arthralgia bersamaan dapat memberikan petunjuk etiologi yang mendasarinya dan
dapat membantu mempersempit diferensial diagnosis. Riwayat perjalanan, riwayat
pekerjaan sebelum dan saat ini, penggunaan obat, riwayat operasi sebelumnya
(seperti bedah bypass arteri coroner; CABG), keganasan, tempat tinggal, dan
paparan asbes sebelumnya juga dapat menimbulkan efusi pleura. Presentasi klinis
khusus yang muncul biasanya meliputi berkurangnya bunyi nafas, redup pada
perkusi thoraks, dan penurunan fremitus taktil pada area efusi pleura; Temuan ini
umumnya hanya terjadi pada efusi yang lebih besar dari 300 mL. Petunjuk lain
pada pemeriksaan fisik meliputi distensi vena leher, edema perifer, pembesaran
ventrikel kanan atau trombosis vena dalam, stigmata penyakit hati stadium akhir,
kelainan bentuk sendi, atau sinovitis. Setiap temuan ini dapat membantu
mempersempit diagnosis banding dan perencanaan pengujian tambahan.
Radiografi dada biasanya merupakan studi pencitraan pertama yang dilakukan
ketika mengevaluasi efusi pleura. Foto posteroanterior umumnya akan
menunjukkan adanya efusi pleura ketika ada sekitar 200 ml cairan pleura, dan foto
lateral akan terinterpretasi abnormal ketika terdapat sekitar 50 ml cairan
pleura.10,11 Ultrasonografi thoraks juga memiliki peran yang semakin penting
dalam evaluasi efusi pleura karena sensitivitasnya yang lebih tinggi dalam
mendeteksi cairan pleura daripada pemeriksaan klinis atau radiografi toraks.
Karakteristik yang juga dapat dilihat16
pada USG dapat membantu menentukan
apakah terjadi efusi sederhana atau kompleks. Efusi sederhana dapat diidentifikasi
sebagai cairan dalam rongga pleura dengan echotexture homogen seperti yang
terlihat pada sebagian besar efusi transudatif, sedangkan efusi yang kompleks
bersifat echogenic, sering terlihat septasi di dalam cairan, dan selalu eksudat.
Bedside Ultrasound dianjurkan saat melakukan thoracentesis untuk meningkatkan
akurasi dan keamanan prosedural.
Diagnosis banding dari efusi pleura antara lain :
a. Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan paru-
paru yang disebabkan oleh
infeksi. Pneumonia bisa menimbulkan
gejala yang ringan hingga berat.
Pneumonia dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus, dan jamur.
Beberapa virus yang umum menyebabkan pneumonia adalah virus
influenza, respiratory syncytial virus (RSV), dan SARS-CoV-2. Sementara
jenis bakteri yang umum menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus
pneumonia.
Gejala pneumonia cukup bervariasi. Namun, umumnya pneumonia ditandai
dengan batuk berdahak, demam, menggigil, sesak napas, nyeri dada ketika
bernapas atau batuk, mual dan muntah, nafsu makan menghilang, serta tubuh
yang mudah lelah.
b. Pulmonary edema
Edema paru adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan gejala sulit bernapas
akibat terjadinya penumpukan cairan di
dalam kantong paru-paru (alveoli). Edema
paru terbagi menjadi edema paru akut,
edema paru kronis, dan high-altitude
pulmonary edema (HAPE).
c. Tumor paru
Tumor paru adalah jaringan yang tumbuh
secara abnormal dan bisa bersifat jinak
atau ganas. Keberadaan tumor pada paru-
17paru biasanya dideteksi dari pemeriksaan
rontgen dada atau CT scan yang tampak dalam bentuk nodul.

G. Tatalaksana Efusi Pleura


Penatalaksanaan efusi pleura dapat dilakukan dengan cara pengobatan kausal,
thorakosintesis, Water Sealed Drainage (WSD), dan pleurodesis. Pada kasus ini
karena pasien mengalami efusi pleura maka dilakukan thorakosintesis yaitu
berupa evakuasi cairan pleura sebanyak 600 cc yang berguna sebagai terapi
terapeutik dan diagnostik. Sebagai terapi terapeutik evakuasi ini bertujuan
mengeluarkan sebanyak mungkin cairan patologis yang tertimbun dalam rongga
pleura (sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap kali aspirasi), sehingga
diharapkan paru pada sisi yang sakit dapat mengembang lagi dengan baik, serta
jantung dan mediastinum tidak lagi terdesak ke sisi yang sehat, dan penderita
dapat bernapas dengan lega kembali. Sebagai terapi diagnostik dilakukan dengan
mengambil sedikit cairan pleura untuk dilihat secara fisik (warna cairan) dan
untuk pemeriksaan biokimia (uji Rivalta), serta sitologi.
Pada pasien sudah terpasang WSD yang mana WSD ini merupakan suatu sistem
drainage yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari
cavum pleura. Adapun indikasi pemasangan WSD pada pasien ini adalah adanya
efusi pleura yang massif. Pada pasien sudah direncanakan dilakukan tindakan
pleurodesis untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi.
Pleurodesis merupakan tindakan melengketkan pleura parietalis dengan pleura
visceralis dengan zat kimia (tetracycline, bleomisin, thiotepa, corynebacterium
parvum) atau tindakan pembedahan. Tindakan dilakukan bila cairan sangat
banyak dan selalu terakumulasi kembali.

3.2 DHF

A. Definisi
D engue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan

oleh Arbovirus (Arthropod Borne Virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes (Aedes Albopictus dan Aedes Aegypt). Dengue Haemorragic Fever
(DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi
perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan
kematian.

18
B. Epiemiologi
Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan 50 hingga
100 juta infeksi demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus-kasus ini
500.000 kemajuan menjadi DBD mengakibatkan 22.000 kematian,
kebanyakan anak- anak. Berdasarkan data resmi yang dikirim ke WHO,
kasus demam berdarah di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat
melampaui 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013.
Pada tahun 2013, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan di Amerika saja,
dimana 37, 687 kasus adalah DBD. Setelah epidemi DBD pertama yang
diketahui pada tahun 1953 hingga 1954 di Filipina, penyakit ini terus
menyebar ke seluruh Asia Tenggara.
Menurut WHO, sekarang ada lebih dari 2,5 miliar orang yang tinggal

di daerah endemis dengue dan beresiko untuk terinfeksi virus dengue.


Beberapa faktor berkontribusi pada penularan virus oleh Aedes aegypti;
termasuk suhu, curah hujan, migrasi desa-kota, pertumbuhan populasi, air
yang tersimpan, meningkatkan limbah padat yang memungkinkan habitat
larva untuk vektor. Juga dapat terjadi KLB perjalanan terkait DBD. Demam
berdarah adalah infeksi arbovirus paling luas di seluruh dunia.
C. Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan

virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus)


yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini
mengandung RNA untai tunggal sebagai genom. Flavivirus merupakan virus
dengan ukuran 50 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan
berat molekul 4x106. Virus dengue genom adalah 11 644 nukleotida panjang,
dan terdiri dari tiga gen protein struktural pengkodean nucleocaprid atau
intiprotein (C), protein membran-terkait (M), sebuah protein amplop (E), dan
tujuh protein non-struktural (NS) gen. Di antara protein non-struktural,
amplop glikoprotein, NS1 adalah diagnostik dan patologis penting. Ini adalah
45 kDa dalam ukuran dan berhubungan dengan haemagglutination virus dan
aktivitas netralisasi. Virus dengue membentuk kompleks yang berbeda dalam
genus Flavivirus berdasarkan karakteristik antigenik dan biologi. Virus
dengue membentuk kompleks yang
19 berbeda dalam genus Flavivirus
berdasarkan karakteristik antigenik dan biologi. Virus dengue mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi dengan satu
serotipe menganugerahkan kekebalan seumur hidup dengan virus serotipe.
Meskipun keempat serotipe antigen sama, mereka cukup berbeda untuk
memperoleh proteksi-silang untuk beberapa bulan setelah infeksi oleh salah
satu dari mereka. Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa infeksi
dengan serotipe yang berbeda menyebabkan bentuk parah dari dengue
(DBD/DSS). Terdapat variasi genetik yang cukup besar dalam setiap serotipe
dalam bentuk filogenetis yang berbeda "sub-tipe" atau "genotipe". Saat ini,
tiga sub-tipe dapat diidentifikasi untuk- DENV 1, enam untuk DENV-2 (salah
satu yang ditemukan pada primata non- manusia), empat untuk DENV-3 dan
empat untuk DENV-4, dengan
yang lain DENV-4 yang eksklusif
unt
u k
pri
m ata
non
-manusia.

Gambar 1. Virus Structure and Components

Penyebab DD/DBD adalah oleh virus dengue anggota genus Flavivirus,


diketahui empat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4. Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari
subgenus Stegomya. Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan
sebagai penular penyakit. Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk
Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor
sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman, stadium
pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat
penampungan air/wadah yang berada
20 di permukiman dengan air yang relatif
jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di
tempat-tempat penampungan air buatan antara lain: bak mandi, ember, vas
bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di
dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan;
sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami
di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan
sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga
ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah.
Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih
memilih menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple
feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu
periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali. Sifat
tersebut meningkatkan risiko penularan DB/DBD di wilayah perumahan yang
penduduknya lebih padat, satu individu nyamuk yang infektif dalam satu
periode waktu menggigit akan mampu menularkan virus kepada lebih dari
satu orang.

D. PATOGENESIS

Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh


interaksi berbagai komponen dari respons imun atau reaksi inflamasi yang
terjadi secara terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi
dengan virus dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel endotel, dan
trombosit. Akibat interaksi tersebut akan dikeluarkan berbagai mediator
antara lain sitokin, peningkatan aktivasi system komplemen, serta terjadi
aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel imun tersebut berlebihan, akan
diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin, dan mediator inflamasi
lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat-zat tersebut akan
menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan berbagai bentuk
tanda dan gejala infeksi virus dengue.

a. Respon imun humoral

Respon imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan


menghasilkan antibody spesifik terhadap virus dengue. Antibody spesifik
untuk virus dengue terhadap satu serotipe tertentu juga dapat
menimbulkan reaksi silang dengan serotipe lain selama enam bulan.
21
Antibody yang dihasilkan dapat menguntungkan dalam arti melindungi
dari terjadinya penyakit namun sebaliknya dapat pula menjadi pemicu
terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme antibody-dependent
enhancement (ADE). Antibody anti dengue yang dibentuk umumnya
berupa immunoglobulin (Ig) G dengan aktivitas yang berbeda.
Antibody terhadap protein NS1 berperan dalam menghancurkan (lisis)
sel yang terinfeksi melalui bantuan komplemen (complement-dependent
lysis).

Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenic


berbeda. Infeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat
menimbulkan kekebalan yang menetap untuk serotipe yang bersangkutan
(antibody homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari
kekebalan silang (cross immunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipe
lain (antibody heterotipik). Apabila kemudian terjadi infeksi oleh serotipe
yang berbeda, maka antibody heterotipik yang bersifat non atau
subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu dari virus
serotipe yang baru membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan
berikatan dengan reseptor Fcɣ yang banyak terdapat terutama pada
monosit dan makrofag, sehingga memudahkan virus menginfeksi sel.
Virus bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya virus keluar dari sel,
sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga dapat mengaktifkan
kaskade system komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang
mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas
vascular.

b. Respon imun selular


Respon imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Sama
dengan respon imun humoral, respons sel T terhadap infeksi virus dengue
dapat menguntungkan sehingga tidak menimbulkan penyakit atau hanya
berupa infeksi ringan, namun juga sebaliknya dapat terjadi hal yang
merugikan bagi pejamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat
mengenali sel yang terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons
beragam berupa proliferasi sel T, menghancurkan (lisis) sel terinfeksi
dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada penelitian in vitro,
22 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan
diketahui bahwa baik sel T CD4
lisis sel target yang terinfeksi dengue. Dalam menjalankan fungsinya sel
T CD4 lebih banyak sebagai penghasil sitokin dibandingkan dengan
fungsi menghancurkan sel terinfeksi virus dengue. Sebaliknya, sel T
CD8 lebih berperan untuk lisis sel target dibandingkan dengan produksi
sitokin.

c. Mekanisme autoimun

Di antara komponen protein virus dengue yang berperan dalam


pembentukan antibody spesifik yaitu protein F, prM dan NS1. Protein
yang paling berperan dalam mekanisme autoimun dalam patogenesis
infeksi virus dengue yaitu protein NS1. Antibody terhadap protein NS1
dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel dan trombosit,
sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat
memacu respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibody
terhadap protein NS1 dengue ternyata dapat mengekspresikan sitokin,
kemokin, dan molekul adhesi. Selain antibody terhadap protein NS1,
ternyata antibody terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi
autoimun. Autoantibodi terhadap protein prM tersebut dapat bereaksi
silang dengan sel endotel. Proses autoimun ini diduga kuat karena
terdapat kesamaan atau kemiripan antara protein NS1 dan prM dengan
komponen tertentu yang terdapat pada sel endotel dan trombosit yang
disebut sebagai molecular mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan
komponen dimaksud, mengakibatkan sel yang mengandung molekul
mengalami kerusakan. Akibatnya, pada trombosit terjadi penghancuran
sehingga menyebabkan trombositopenia dan pada sel endotel terjadi
peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesar plasma.

d. Peran sitokin dan mediator inflamasi lain

Sitokin merupakan suatu molekul protein dengan fungsi yang


sangat beragam dan berperan penting dalam respons imun tubuh melawan
infeksi. Dalam lingkup respons inflamasi, secara umum sitokin
mempunyai sifat proinflamasi dan antiinflamasi. Pada keadaan respons
fisiologis, terjadi keseimbangan antara kedua jenis sitokin tersebut.
Apabila sitokin diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak dan
reaksinya berlebihan, akan merugikan
23 pejamu.
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan
derajat penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (apalagi SSD)
ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut
sebagai badai sitokin (cytokine storm atau cytokine tsunami). Dalam
melakukan fungsinya berbagai sitokin saling berhubungan dan saling
memengaruhi satu dengan yang lainnya berupa suatu kaskade. Dari
beberapa penelitian sitokin yang perannya paling banyak dikemukakan
yaitu TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan IFN-ɣ.

e. Peran sistem komplemen

System komplemen diketahui ikut berperan dalam patogenesis


infeksi virus dengue. Pada pasien DBD atau SSD ditemukan penurunan
kadar komplemen, sehingga diduga bahwa aktivasi system komplemen
mempunyai peran dalam patogenesis terjadi penyakit yang berat.
Kompleks imun virus dengue dan antibody pada infeksi sekunder dapat
mengaktivasi system komplemen melalui jalur klasik. Protein NS1 dapat
mengaktifkan system komplemen secara langsung melalui jalur
alternative dan apabila berlebihan dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas vascular.

Selain melalui kedua jalur tersebut, ternyata aktivasi komplemen


pada infeksi virus dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding
lectin. Aktivasi komplemen menghasilkan peptide yang mempunyai
aktivitas biologic sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. komplemen
C5a menginduksi produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-α,
IL-1, IL-6, dan IL-8) dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi baik
pada neutrophil maupun sel endotel, sehingga peran C5a dalam
peningkatan permeabilitas vascular sangat besar.

Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih


diperdebatkan. Dua teori yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah
Hipotesis immune enhancement dan hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary hetelogous dengue infection).

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa


mekanisme Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah
24
dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DHF adalah:

a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam


proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Sel target virus ini adalah sel
monosit terutama dan sel makrofag sebagai tempat replikasi.

b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam


respon imun seluler terhadap virus dengue. TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi IL-
4, IL-5, IL-6, dan IL-10.

c) Monosit dan makrofag berferan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi


antibody.
Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler.
Hipotesis ”the secondary heterologous infection” yang di rumuskan oleh
Suvatte,1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue
yang berlainan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik yang
akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue.

Gambar 2. The Secondary Heterologous Infection

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak


25
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DHF berat.
Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian
membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor
dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses
ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.

E. MANIFESTASI KLINIS

Infeksi virus dengue mengakibatkan menifestasi klinik yang bervariasi

mulai dari asimptomatik, penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile


illness), dengue fever, dengue haemoragic fever, sampai dengue shock
syndrom. Walaupun secara epidemiologis infeksi ringan lebih banyak, tetapi
pada awal penyakit hampir tidak mungkin membedakan infeksi ringan atau
berat.

Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus memasuki
tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit. Setelah itu
disusul oleh periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana virus
melakukan replikasi secara cepat dalam tubuh manusia. Apabila jumlah
virus sudah cukup maka virus akan memasuki sirkulasi darah (viraemia), dan
pada saat ini manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala panas. Dengan
adanya virus dengue dalam tubuh manusia, maka tubuh akan memberi reaksi.
Bentuk reaksi tubuh terhadap virus ini antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain dapat berbeda, dimana perbedaan reaksi ini akan
memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis dan perjalanan
penyakit. Pada prinsipnya, bentuk reaksi tubuh manusia terhadap keberadaan
virus dengue adalah sebagai berikut :

Bentuk reaksi pertama

26
Terjadi netralisasi virus, dan disusul dengan mengendapkan bentuk netralisasi
virus pada pembuluh darah kecil di kulit berupa gejala ruam (rash).

Bentuk reaksi kedua

Terjadi gangguan fungsi pembekuan darah sebagai akibat dari penurunan


jumlah dan kualitas komponen-komponen beku darah yang menimbulkan
manifestasi perdarahan.

Bentuk reaksi ketiga

Terjadi kebocoran pada pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya


komponen plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah menuju ke
rongga perut berupa gejala ascites dan rongga selaput paru berupa gejala efusi
pleura. Apabila tubuh manusia hanya memberi reaksi bentuk 1 dan 2 saja
maka orang tersebut akan menderita demam dengue, sedangkan apabila ketiga
bentuk reaksi terjadi maka orang tersebut akan mengalami demam berdarah
dengue.

27
Dengue Fever

Manifestasi klinis infeksi dengue fever ditandai gejala-gejala klinik


berupa demam, nyeri pada seluruh tubuh, ruam dan perdarahan. Demam yang
terjadi pada infeksi virus dengue ini timbulnya mendadak, tinggi (dapat
mencapai 39-40ºC) dan dapat disertai dengan menggigil. Begitu
mendadaknya, sering kali dalam praktik sehari-hari kita mendengar cerita ibu
bahwa pada saat melepas putranya berangkat sekolah dalam keadaan sehat
walafiat, tetapi pada saat pulang putranya sudah mengeluh panas dan ternyata
panasnya langsung tinggi. Pada saat anak mulai panas ini biasanya sudah
tidak mau bermain. Demam ini hanya berlangsung sekitar lima hari. Pada saat
demamnya berakhir, sering kali dalam bentuk turun mendadak (lysis), dan
disertai dengan berkeringat banyak. Saat itu anak tampak agak loyo. Kadang-
kadang dikenal istilah demam biphasik, yaitu demam yang berlangsung
selama beberapa hari itu sempat turun di tengahnya menjadi normal
28
kemudian naik lagi dan baru turun lagi saat penderita sembuh (gambaran
kurva panas sebagai punggung

unta).
Gejala panas pada penderita infeksi virus dengue akan segera disusul
dengan timbulnya keluhan nyeri pada seluruh tubuh. Pada umumnya yang
dikeluhkan adalah nyeri otot, nyeri sendi, nyeri punggung, dan nyeri pada
bola mata yang semakin meningkat apabila digerakkan. Karena adanya gejala
nyeri ini, di kalangan masyarakat awam ada istilah flu tulang. Dengan
sembuhnya penderita gejala-gejala nyeri pada seluruh tubuh ini juga akan
hilang.

Ruam yang terjadi pada infeksi virus dengue ini dapat timbul pada saat
awal panas yang berupa flushing, yaitu berupa kemerahan pada daerah muka,
leher, dan dada. Ruam juga dapat timbul pada hari ke-4 sakit berupa bercak-
bercak merah kecil seperti bercak pada penyakit campak. Kadang-kadang
ruam tersebut hanya timbul pada daerah tangan atau kaki saja sehingga
memberi bentuk spesifik seperti kaos tangan dan kaki. Yang terakhir ini
biasanya timbul setelah panas turun atau setelah hari ke-5.

Pada infeksi virus dengue apalagi pada bentuk klinis DHF selalu disertai
dengan tanda perdarahan. Hanya saja tanda perdarahan ini tidak selalu
didapat secara spontan oleh penderita, bahkan pada sebagian besar penderita
tanda perdarahan ini muncul setelah dilakukan tes tourniquet. Bentuk-bentuk
perdarahan spontan yang dapat terjadi pada penderita demam dengue dapat
berupa perdarahan kecil-kecil di kulit (petechiae), perdarahan agak besar di
kulit (echimosis), perdarahan gusi, perdarahan hidung dan kadang-kadang
dapat terjadi perdarahan yang masif yang dapat berakhir pada kematian.

Berkaitan dengan tanda perdarahan ini, pada anak-anak tertentu


diketahui oleh orangtua mereka bahwa apabila anaknya menderita panas
selalu disertai dengan perdarahan hidung (epistaksis). Dalam istilah medis
dikenal sebagai habitual epistaksis, sebagai akibat kelainan yang bersifat
sementara dari gangguan berbagai infeksi (tidak hanya oleh virus dengue).
Pada keadaan lain ada penderita anak yang apabila mengalami sakit panas
kemudian minum obat-obat panas tertentu akan disusul dengan terjadinya
29
perdarahan hidung. Untuk penderita dengan kondisi seperti ini, pemberian
obat-obat panas jenis tertentu tersebut sebaiknya dihindari.

Gambar 5. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue

(WHO, 2011)

30
Dengue Haemoragic Fever

Secara umum empat gejala yang terjadi pada demam dengue sebagai
manifestasi gejala klinis dari bentuk reaksi 1 dan 2 tubuh manusia atas
keberadaan virus dengue juga didapatkan pada DHF. Yang membedakan
DHF dengan dengue fever adalah adanya manifestasi gejala klinis sebagai
akibat adanya bentuk reaksi 3 pada tubuh manusia terhadap virus dengue,
yaitu berupa keluarnya plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah
keluar dan masuk ke dalam rongga perut dan rongga selaput paru. Fenomena
ini apabila tidak segera ditanggulangi dapat mempengaruhi manifestasi gejala
perdarahan menjadi sangat masif. Yang dalam praktik kedokteran sering kali
membuat seorang dokter terpaksa memberikan transfusi darah dalam jumlah
yang tidak terbayangkan.

Yang penting bagi masyarakat awam adalah dapat mengetahui atau


mendeteksi kapan seorang penderita DHF mulai mengalami keluarnya plasma
darah dari dalam pembuluh darah. Keluarnya plasma darah ini apabila ada
biasanya terjadi pada hari sakit ke-3 sampai dengan hari ke-6. Biasanya
didahului oleh penurunan panas badan penderita, yang sering kali terjadi
secara mendadak (lysis) dan diikuti oleh keadaan anak yang tampak loyo, dan
pada perabaan akan didapatkan ujung-ujung tangan/kaki dingin serta nadi
yang kecil dan cepat. Banyak ditemui kasus dengan kondisi demikian, tampak
suhu tubuh penderita dirasakan normal mengira kalau putranya sembuh dari
sakit. Kondisi tersebut mengakibatkan orangtua tidak segera membawa putra
mereka ke fasilitas kesehatan terdekat. Pada keadaan ini penderita sudah
dalam keadaan terlambat sehingga kurang optimal untuk diselamatkan dari
penyakitnya.

Dengue Syok Syndrome (DSS)

Sindrom syok dengue adalah demam berdarah dengue dengan


manifestasi kegagalan sirkulasi berupa nadi lemah, lembut atau tak teraba,
tekanan nadi ≤ 20 mmHg, hipotensi (sesuai umur), kulit dingin dan lembab,
pasien tampak gelisah. Dengan kata lain demam berdarah dengue yang telah
memasuki keadaan syok (sesuai DBD derajat III dan IV menurut WHO).

31
F. DIAGNOSIS

Menurut WHO 1997 yang dikutip oleh Suhendro 2009 dan IDAI 2012,
kriteria diagnosis DBD ditegakkan melalui 2 kriteria :

A. Kriteria Klinis
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari.

2. Didapati uji tourniquet positif dengan salah satu bentuk perdarahan:

a. Petekie, ekimosis, atau purpura

b. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi),


atau perdara-han dari tempat lain.

c. Hematemesis dan atau melena.

3. Pembesaran hati.

4. Syok yang di tandai dengan nadi lemah dan cepat disertai penurunan
tekanan nadi (<20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik
<80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama
pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul
sianosis di sekitar mulut.

B. Kriteria Laboratorium

1. Trombositopenia (<100.000/ ul).

2. Terdapat peningkatan hematokrit >20% dibandingkan dengan nilai


hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen.

3. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau


hipoproteinemia. Dua atau tiga patokan klinis pertama disertai
trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk
menegakkan diagnos DBD.

32
33
Warning Signs pada Demam Berdarah Dengue

1. Nyeri abdomen
2. Muntah persisten
3. Akumulasi cairan; edema palpebra, perut tegang, efusi pleura, edema
ekstremitas
4. Pendarahan mukosa; epistaksis, gusi berdarah, bibir berdarah
5. Letargi atau gelisah
6. Pembesaran hati >2cm
7. Peningkatan hematokrit dengan penurunan cepat jumlah trombosit

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dangue adalah:

- Isolasi virus

- Deteksi asam nukleat virus

- Deteksi serum respons imun / uji serologi serum imun

- Analisis parameter hematologi

a. Isolasi Virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk, kultur sel
nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). Pemeriksaan
ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia di beberapa
laboratorium besar yang terutama dilakukan untuk tujuan penelitian, sehingga
tidak tersedia laboratorium komersial. Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada
enam hari pertama demam.

b. Deteksi asam nukleat virus


Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic acid/RNA)
dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RT-PCR). Metode pemeriksaan bisa berupa nested-PCR, one-step
multiplex RT-PCR, real-time RT-PCR, dan isothermal amplification method.
Pemeriksaan ini hanya tersedia di laboratorium yang memiliki peralatan
biologi molekuler dan petugas laboratorium yang handal. Memberi hasil positif
bila sediaan diambil pada enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan
tergolong mahal.
34
c. Deteksi antigen virus dengue
Deteksi antigen virus dangue yang banyak dilaksanakan pada saat ini adalah
pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen), yaitu suatu
glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus yang penting bagi kehidupan
dan replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak
hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitas tinggi pada 1-2
hari demam dan kemudian makin menurun setelahnya.

d. Deteksi respon imun serum


Pemeriksaan respon imun serum berupa Haemaglutination inhibition test
(uji HI), complement fixation test (CFT), neutralization test (uji neutralisasi),
pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue.

▪ Haemaglutination inhibition test (Uji HI)

Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan pemeriksaan ini.
Uji HI walau sensitif namun kurang spesifik dan memerlukan sediaan serum
akut dan konvalesens, sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis dini.

▪ Complement fixation test (Uji CFT)

Tidak hanya dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis, sulit
untuk dilakukan dan memerlukan dan memerlukan petugas yang sangat
terlatih.

▪ Uji Neutralisasi

Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang paling sering
dipakai adalah plaque reduction neutralization test (PRNT). Pemeriksaan
ini mahal, perlu waktu, secara teknik cukup rumit, oleh karena itu jarang
dilakukan di laboratorium klinik. Sangat berguna untuk penelitian pembuatan
dari efikasi vaksin.

▪ Pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue

Imunoglobin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat


terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah Sembilan
puluh hari. Pada infeksi dengue primer, IgG anti dengue, namun pada
infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti dengue bertahun lama
35
dalam serum. Kinetic NS-1 antigen virus dengue dan IgG serta IgM
antidengue, merupakan petunjuk dalam menentukan jenis pemeriksaan dan
untuk membedakan antara infeksi primer dengan infeksi sekunder. Gambar di
bawah menunjukkan waktu perjalanan penyakit infeksi virus dengue primer
dan sekunder, serta metode diagnostic yang dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi virus dengue.

e. Parameter hematologi
Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai hematokrit,
dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan bagian dari diagnosis klinis
demam berdarah dengue.

- Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit dan
neutrofit, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam. Perubahan

jumlah leukosit (<5.000 sel/mm3 ) dan rasio antara neutorfil dan limfosit
(neutrofil <limfosit) berguna dalam memprediksi masa kritis perembesan
plasma.

- Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti oleh
penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/uL dapat ditemukan pada
DD, namun selalu ditemukan pada DBD. Penurunan trombosit yang
mendadak dibawah 100.000/uL terjadi pada akhir fase demam memasuki
kritis atau saat penurunan suhu. Trombositopeni pada umumnya ditemukan
antara hari sakit ketiga sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan
hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit
DBD. Disamping itu terjadi gangguan fungsi trombosit (trombositopati).
Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal selama fase
penyembuhan. Pada awal demam nilai hematokrit masih normal.
Peningkatan ringan pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia
dan muntah. Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari
diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai hematokrit dapat
diakibatkan oleh penggantian cairan adanya pendarahan.

36
G. TATALAKSANA

A. Penggantian Cairan

1. Jenis cairan

Cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid isotonic.


Penggunaan cairan hipotonik seperti NaCl 0,45% hanya untuk pasien
<6 bulan atas dasar pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda
dengan anak yang lebih besar. Dalam keadaan normal setelah satu jam
pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam
ruang intravascular sedangkan caira isotonis ¼ volume yang bertahan,
sisanya terdistribusi ke ruang intraselular dan ekstraselular. Pada
keadaan permeabilitas yang meningkat volume cairan yang bertahan
akan semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan
cairan pada pemberian cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik
(osmolaritas>300 mOsm/L) seperti dextran 40 atau HES walaupun
lebih lama vertahan dalam ruang intravascular tetapi memiliki efek
samping seperti alergi, mengganggu fungsi koagulasi dan berpotensi
mengganggu fungsi ginjal.

2. Jumlah cairan

Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan,


kondisi klinis dan temuan laboratorium. Pada DBD terjadi
hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh karena itu
jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan
(maintenance) ditambah dengan perkiraan deficit cairan 5%.
Pemberian cairan dihentikan bila keadaan umum stabil dan telah
melewati fase kritis, pada umumnya pemberian cairan dihentikan
setelah 24-48 jam keadaan umum anak stabil.

37
Tabel 3. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal
BB Rumata Rumatan + Defisit
5% (mL)
ideal
5 n
500 750
10 1.00 1.50
15 0
1.25 0
2.00
20 0
1.50 0
2.50
25 0
1.60 0
2.85
30 0
1.70 0
3.20
0 0
Tabel 4. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal
Jumlah cairan Kecepatan
½ rumatan (mL/kgBB/jam)
1,5
Rumata 3
Rumatann+ defisit 5% 5
Rumatan + deficit 7% 7
Rumatan + defisit 10
10%
B. Antipiretik

Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38.5oC dengan


interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan
kompres hangat.

C. Nutrisi

Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup,


terutama minum cairan yang mengandung elektrolit.

D. Pemantauan

- Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan,


muntah, perdarahan, dan tanda peringatan (warning signs).

- Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala


syok.

- Tanda-tanda vital, seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi nafas dan


tekanan darah harus dilakukan setiap 2-4 jam sekali.

- Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau


pemberian cairan intravena (sebagai data dasar), diupayakan
dilakukan setiap 4-6 jam sekali.
38
- Volume urin perlu ditampung minimal 8-12 jam.

- Diupayakan jumlah urin ≥1.0 mL/kgBB/jam (berat badan diukur dari


berat badan ideal).

- Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil,
komorbid (diabetes mellitus, hipertensi, thalassemia, sindrom nefrotik
dan lain-lain) diperlukan pemeriksaan laboratorium atas indikasi.

- Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan
system koagulasi sesuai indikasi.

- Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya


efusi pleura, pemeriksaan yang diminta adalah foto radiologi dada
dengan posisi lateral kanan decubitus (right lateral decubitus).

- Periksa golongan darah

Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen, EKG


dan lainnya.

39
DBD derajat I atau derajat II

DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)

- Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat


10-20 mL/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok
belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 mL/kgbb ditambah koloid 20-30
mL/kgbb/jam, maksimal 1500 mL/hari.
- Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok.
- Volume cairan diturunkan menjadi 7mL/kgbb/jam, selanjutnya 5mL, dan 3
ml apabila tanda vital dan diuresis baik.
- Jumlah urin 1 mL/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi
membaik.
- Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok
teratasi.
- Oksigen 2-4 L/menit pada DBD syok
- Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
- Indikasi pemberian darah: Terdapat perdarahan secara klinis

40
- Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap,
hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10
ml/kgbb.
- Apabila kadar hematokrit tetap >40%, maka berikan darah dalam volume
kecil.
- Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi
gangguan koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminata (KID) pada
syok berat yang menimbulkan perdarahan masif.
- Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai plasma
segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah perdarahan
lebih hebat.

41
H. PROGNOSIS

Prognosis demam dengue atau dengue fever (DF) umumnya baik, dengan
mortalitas kurang dari 1%. Namun pada kondisi dengue hemorrhagic fever (DHF)
dan dengue syok syndrome (DSS), mortalitas menjadi lebih buruk. DF termasuk self
limited disease yang jarang menyebabkan komplikasi.

42
3.3 CVP dan ETT
A. CVP
Tekanan vena sentral (CVP) adalah tekanan dari atrium kanan atau vena
cava superior. CVP diukur (biasanya per jam) di hampir semua pasien di
ICU di seluruh dunia, pada pasien gawat darurat, serta pada pasien yang
menjalani operasi besar. CVP sering digunakan sebagai dasar untuk
membuat keputusan mengenai pemberian cairan atau diuretik. Guideline
klinis internasional merekomendasikan penggunaan CVP sebagai titik
akhir resusitasi cairan. Dasar untuk menggunakan CVP untuk panduan
manajemen cairan berasal dari dogma bahwa CVP mencerminkan volume
intravaskular, khususnya secara luas diyakini bahwa pasien dengan CVP
rendah menggambarkan volume yang kurang sementara pasien dengan
CVP tinggi adalah volume berlebihan.
Tekanan vena sentral secara umum lebih berguna untuk membantu
menentukan penyebab dari suatu masalah daripada mendeteksi suatu
masalah pada pemantauan hemodinamik. CVP mengukur tekanan pada
atrium kanan yang bisa menggambarkan tekanan akhir diastolik atau end
diastolic pressure (EDP). Preload ventrikel lebih erat kaitannya dengan
volume akhir diastolik ventrikel atau end diastolic ventricle (EDV)
dibandingkan tekanannya, karena itu penting untuk mengetahui hubungan
antara EDP dan EDV, di mana hubungan ini tergantung dari compliance
ventrikel.
B. ETT
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam
trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea. Tindakan
intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan
yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan

43
sebagai berikut :
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi,
bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan
lain-lain.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan
faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi

44
BAB IV
PEMBAHASAN
An E, 11 tahun, datang dengan penurunan kesadaran, mual (-), muntah (-)
dan pusing (-).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 129/90 mmHg, nadi


126x/ menit, frekuensi napas 17x/menit, suhu 370C Dan Sp02 92%. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya penurunan hematokrit dan trombosit
serta peningkatan neutrophil.

Pada pemeriksaan X Foto AP Supine dan AP RLD (Right Lateral


Decubitus). Pada tanggal 21 juni 2022 didapatkan kesan Effusi pleura kanan
masif, effusi pleura kiri, kollaps sebagian paru kanan,cor tidak membesar, CVP
denganujung distal pada proyeksi V.cava superior(terpasang baik), ETT terpasang
baik. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan hematokrit menurun.

Dalam kasus ini pasien dilakukan pemeriksaan Foto AP Supine dan AP


RLD Pada proyeksi AP (Antero Posterior) bertujuan untuk pemeriksaan foto
polos abdomen, terutama pada kondisi akut abdomen. Pasien diposisikan
berbaring secara supinasi. Proyeksi AP supine  biasanya dilakukan bersama
dengan proyeksi lain, yaitu Right Lateral Decubitus. Sedangkan proyeksi Right
Lateral Decubitus bertujuan untuk melihat efusi pleura pada DHF bisa ditemukan
bilateral. Namun, mungkin pertimbangan dilakukannya RLD adalah anatomi
jantung dan aorta yang mengarah ke kiri sehingga biasanya untuk menghitung
pleural effusion index adalah dengan posisi RLD

. Informasi diagnostik yang diperoleh pada penggunaan Foto AP Supine


dan AP RLD Pada sudah optimal dalam mendukung pada penegakkan diagnosa
effusi pleura ec DSS pasien tersebut.

45
BAB V
KESIMPULAN
Efusi Pleura adalah.

Hal ini dapat disebabkan oleh

Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo Semarang pada tanggal 18 Juni


2022. Pasien datang dengan penurunan kesadaran dan sesak.. Berdasarkan hasil
Pada pemeriksaan X Foto AP Supine dan AP RLD (Right Lateral Decubitus).
Pada tanggal 21 juni 2022 didapatkan kesan Effusi pleura kanan masif, effusi
pleura kiri, kollaps sebagian paru kanan,cor tidak membesar, CVP dengan ujung
distal pada proyeksi V.cava superior(terpasang baik), ETT terpasang baik

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Halim, Hadi. 2007. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Sudoyo AW, et al. Edisi 4, Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen IPD FKUI; hal. 1056-60
2. American Thoracic Society. Management of malignant pleural effusions. Am J
Respir Crit Care Med 2004; 162: 1987-2001.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker paru (kanker paru karsino bukan
sel kecil). Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.;2001.
4. McGrath E. Diagnosis of Pleural Effusion: A Systematic Approach. American
Journal of Critical Care 2011; 20: 119-128
5. Hanley, Michael E., Carolyn H. Welsh. Current Diagnosis & Treatment in
Pulmonary Medicine. 1st edition. McGraw-Hill Companies.USA:2003. E-book
6. Pranita, N. Diagnosis dan Tatalaksana Terbaru Penyakit Pleura. Wellness and
Healthy Magazine. 2020. 2(1) : 69-78.
7. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI (INFODATIN). Situasi Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Jakarta Selatan.
8. Kementerian Kesehatan RI 2020. Data Kasus Terbaru DBD di Indonesia.
9. Tjin Willy. 2018. “Komplikasi Demam Berdarah.”
10. World Health Organization (WHO). 2012. Handbook for Clinical
Management of Dengue. ISBN 978 92 4 150471 3
11. Sanyaolu A, Okorie C, Badaru O, Adetona K, Ahmed M., et al. 2017. Global
Epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An Update. Review Article
5(6): 00179. DOI: 10.15406/jhvrv.2017.05.00179.
12. Mishra, S., Ramya, R., Sunil, K. 2016. Clinical Profile of Dengue Fever in
Children : A Study from Southern Odisha, India. Scientifica (Cairo).
2016;2016
13. Murasmita Halstead, SB. Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson

47
Textbook of Pediatrics Ed. 17. Philadelphia; 2004, h. 1092-4.
https://www.creative-diagnostics.com/Dengue-Virus.htm
14. Kusama, Y., Ken, I., Shigeru, T., Satoshi, K. 2017. A Pediatric Case of
Imported Dengue Hemorrhagic Fever in Japan. J Gen Fam Med. 2017
Dec;18(6): 414–417.
15. Akhtar, N., et al. 2016. Prevalence of Dengue Serotype (DENV-2) in
Pakistan. Department of Zoology, Abdul Wali Khan University Mardan,
Khyber Pakhtunkhwa Pakistan. Akhtar et al., 2016. Journal of Genes and
Cells, 2(1): p, 8-10
16. Rezeki, S., dkk. 2012. Update Management of Infectious Disease and
Gastrointestinal Disorders Ed. 1 hal 29-37. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM
17. Marik PE, Baram M, Vahid B. Does Central Venous Pressure Predict Fluid
Responsiveness? chestjournal. 2007; 134: 1-7.
18. Hendi, O. Analisis Faktor yang Mempengaruhi tekanan Cuff Endotracheal
Tube pada Pasien Terpasang Ventilasi Mekanik. Jurnal Kesehatan
Aeromedika. 2019. 5(1) :33-40

48

Anda mungkin juga menyukai