PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka didapatkan tujuan penulisan
sebagai berikut:
Untuk mengetahui penegakkan diagnosis yang tepat pada pasien
dengan sepsis
Untuk mengetahui penanganan yang tepat pada pasien dengan sepsis
Untuk mengetahui pada pasien dengan sepsis
2
BAB II
STATUS PASIEN
A. Identitas
Nama : Ny. S
Umur : 60 tahun
Alamat : Dente teladas
Jenis Kelamin : Perempuan
Ruang : ICU
Diagnosis : pneumonia dan syok sepsis
Tanggal Masuk RS : 13 desember 2017
Tanggal Masuk ICU : 16 desember 2017
Medical Record : 315286
B. Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak siang hari
Keluhan Tambahan
Pucat
3
Metro dan dirawat kurang lebih selama 7 hari dan ada perbaikan sehingga
dapat pulang kerumah.
Setelah sekitar 2 minggu dirumah kemudian pasien mengalami penurunan
kesadaran dan lemas dibawa ke RS Medika Bratasena dan dirujuk ke RS
Muhammadiyah Metro disertai keluhan nyeri perut dan demam menggigil
kemudian di Rujuk ke RS Jendral Ahmad Yani dengan penurunan
kesadaran dan perut kembung.
Riwayat Anestesi
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (+)
Riwayat asma (-)
Alergi makanan (-)
Alergi obat (-)
Riwayat merokok (-)
Konsumsi alkohol (-)
Gangguan pembekuan darah (-)
Riwayat operasi sebelumnya (-)
4
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 150 cm
BMI : 29 (overweight)
keadaran : compos mentis, GCS 15
Tanda Vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 70x/menit
Pernafasan : 22x/menit
Suhu : 36,9°C
SpO2 : NK 97%-100%
Status Generalis
4
Palpasi : tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar
tiroid, tidak terdapat deviasi trakea, tidak terdapat peningkatan JVP
4) Thoraks
Jantung
- Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
- Palpasi : iktus kordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinistra bunyi redup
Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dekstra bunyi redup
Batas bawah kiri : ICS V ± 1 cm medial garis midklavikula
sinistra dengan bunyi redup
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasternal dekstra dengan
bunyi redup
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
- Inspeksi : dinding thoraks simetris, retraksi otot-otot
pernapasan (-)
- Palpasi : simetris, vokal fremitus sama kuat kanan dan kiri
- Perkusi : sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing
(-/-)
5) Abdomen
Inspeksi : perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen, asites (-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
massa (-)
6) Ekstremitas
terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (+/+)
akral hangat (+/+), edema (-/-)
5
Pemeriksaan Fisik dan follow up
b. Kesadaran : Somnolen
c. Tanda Vital
TD : 80/50 mmHg
Suhu : 36,50 C
SPO2 : NK 96%
c. Tanda Vital
TD : 100/70 mmHg
Suhu : 36,30 C
SPO2 : FM 98%
6
e. Leher : tidak ditemukan pembesaran KGB, tidak ditemukan
deviasi trakea, JVP normal
Cor
Ictus cordis tidak terlihat dan teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Cardiomegali (-)
Pulmo
g. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) N
7
Palpasi : Nyeri tekan (-), Shifting dulness (-), hepar tidak teraba,
lien tidak teraba
h. Ekstremitas
Ekstremitas atas dan bawah lengkap. Akral hangat dan tidak ditemukan
edema.
c. Tanda Vital
TD : 100/60 mmHg
Suhu : 36 0 C
SPO2 : NK 99%
8
Cor
Ictus cordis tidak terlihat dan teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Cardiomegali (-)
Pulmo
g. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) N
Palpasi : Nyeri tekan (-), Shifting dulness (-), hepar tidak teraba,
lien tidak teraba
h. Ekstremitas
Ekstremitas atas dan bawah lengkap. Akral hangat dan tidak ditemukan
edema.
9
Pemeriksaan Penunjang
10
Kimia Darah (15 desember 2017)
11
Trombosit : 23 x 103 /uL (LL)
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Epidemiologi
13
3.3 Etiologi Sepsis
Mayoritas kasus sepsis disebabkan oleh infeksi bakteri, beberapa
disebabkan oleh infeksi jamur, dan sangat sedikit yang disebabkan oleh
penyebab lain. Penyebab bakteri umum sepsis adalah basil gram negatif
(misalnya, E. coli, P. aeruginosa, E. corrodens, dan Haemophilus
influenzae pada neonatus). Bakteri lain juga menyebabkan sepsis adalah
S. aureus, Streptococcus spesies, spesies Enterococcus dan Neisseria.
Namun ada sejumlah besar generasi bakteri yang telah diketahui
menyebabkan sepsis. Spesies Candida adalah beberapa dari jamur yang
paling sering menyebabkan sepsis.
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS).
Suatu protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide
binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting
dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan
diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron
sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan
LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS
menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB
(NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel.
Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel
melalui toll like receptor-2 (TLR2).
14
akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin
proinflamasi yang berlebih.
15
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin
proinflamasi dan IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1
pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF,
penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek
prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1,
PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2,
pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 yang
merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator
sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet
Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan
angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di
samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem
komplemen. Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator
inflamasi, tetapi pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi
anti-inflamasi.
16
juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan
produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat
agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan
renjatan septik yang tidak responsif dengan vasopresor.
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas
arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan
terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas
kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang
terlihatsebagai edema.Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak
disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal
organ multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan
(injury) pada tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan
perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi,
17
dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah
terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant
substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan
pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan.
Sepsis berat
Sepsis yang menyebabkan hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ.
Syok septik
Sepsis berat dengan hipotensi, walaupun resusitasi cairan yang
adekuat telah diberikan, disertai adanya kelainan perfusi.
18
3.5 Penegakkan Diagnosis Sepsis
a. Anamnesis
Anamnesis mengenai riwayat penyakit akan memberikan informasi
mengenai faktor resiko potensial terjadinya infeksi, berhubunagn
dengan patogen spesifik pada area jaringan tertentu.
b. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum pasien, tanda-tanda vital.
Gambaran klasik sepsis berat adalah pasien hipermetabolik dengan
temperatur tinggi, takikardia, takipnea, sirkulasi vasodilatasi
hiperdinamik, tekanan diastolik rendah.
c. Pemeriksaan Penunjang
o Darah lengkap
Walaupun leukositosis dan peningkatan sel-sel batang lazim
dijumpai, leukopenia bisa saja terjadi. Seringkali laju endap darah
meningkat. Kadar laktat darah umumnya meningkat seperti halnya
kadar gula darah, namun hipoglisemia sering terjadi pada pasien
dengan disfungsi liver. Bukti gagal organ lain (ginjal, hepar, usus,
miokardium, dan koagulopati) dapat ditemukan. Tanda-tanda dan
gejala-gejala lain dapat berhubungan dengan sumber infeksi mula-
mula. Pengambilan level laktat harus dalam 3 jam.
o Kultur
19
(botol aerob dan anaerob), dengan satu diambil decara perkutaneus
dan satu diambil vascular access device, jika device <48 jam
digunakan. Darah ini dapat diambil bersamaan waktu jika diambil
dari tempat yang berbeda. Kultur dapat dari urin, cerebrospinal
fluid, luka, sekret pernafasan dan cairan tubuh lain yang mungkin
menjadi penyebab infeksi.
o Gram stain
Terutama untuk spesimen pernafasan, untuk menentukan adanya
sel inflamatori.
o Biomarker
Level prokalsitonin dan C reactive protein meningkat untuk
menentukan patern akut inflamasi dari sepsis.
1. Variabel umum
- Demam (>38.3C)
- Hipotermia ( <36C)
- Laju nadi >90x/menit atau lebih dari 2 standar deviasi di atau nilai
normal sesuai usia
- Takipneu
- Gangguan status mental
- Edema secara signifikan atau balance cairan positif (>20 ml/kg selama
24 jam)
- Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dl atau 7,7 mmol/l) tanpa
disertai dengan diabetes
20
2. Variabel inflamasi
- Leukositosis (jumlah sel darah putih >12.000 µL)
- Leucopenia (jumlah sel darah putih <4000 µL)
- Jumlah sel darah putih normal disertai dengan >10% bentuk imatur
- C-reactive protein plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai
normal sesuai usia
- Prokalsitonin plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal
sesuai usia
3. Variabel hemodinamik
- Hipotensi arterial (tekanan sistolik <90 mmHg, Mean Arterial Pressure
menurun >40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 standar deviasi di
bawah normal sesuai usia)
21
4. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <250 tanpa disertai dengan
pneumonia sebagai sumber infeksi
5. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <200 disertai dengan pneumonia
sebagai sumber infeksi
6. Kreatinin >2,0 mg/dL (178,8 µmol/L)
7. Bilirubin >2mg/dL (34,2 µmol/L)
8. Jumlah platelet <100.000 µL
9. Koagulopati (INR>1,5)
22
3.9 Tatalaksana Sepsis
a. Resusitasi
Resusitasi harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan hipoperfusi.
Selama 6 jam pertama resusitasi, tujuan dari resusitasi pada pasien
sepsis-induced hypoperfusion adalah:
a) CVP 8–12 mm Hg
Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians
ventrikular yang menurun dan pasien dengan tekanan abdominal
tinggi, target CVP nya lebih tinggi yaitu 12-15 mmHg.
b) MAP ≥ 65 mm Hg
c) Urine output ≥ 0.5 mL·kg·hr
d) Saturasi oksigenisasi superior vena cava (Scvo2) atau mixed
venous oxygen saturation (SvO2) 70% or 65%,
Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan
level laktat meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan.
Terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan
transfusi bila diperlukan. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen
tidak mencapai 70% atau mixed venous oxygen saturation (SvO2) kurang
dari 70% dengan resusitasi cairan, transfusi PRC untuk mencapai
hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
μg/kg/menit).
23
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian cairan inisial kristaloid,
minumun 30 ml/kg untuk dewasa dan tambahan albumin pada pasien yang
membutuhkan cukup banyak kristaloid untuk mempertahankan cukup MAP.
Sebaiknya menghindari hetactarh, karena koloid buatan tidak terbukti
menguntungkan melainkan meningkatkan resiko gagal ginjal akut.
2. Terapi antimikroba
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur
diambil. Penundaan terapi antimikroba berhubungan dengan peningkatan
mortalitas. Terapi empirik inisial berupa satu atau lebih obat yang
memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur atau virus dan
dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Terapi antimikroba
empiris tergantung pada riwayat penyakit pasien meliputi intoleransi obat,
penggunaan antibiotik sebelumnya (3 bulan), penyakit penyerta, sindrom
klinis, dan patogen berdasarkan komunitas dan rumah sakit.
Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif,
diikuti gram negatidf dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis,
sindrom syok toksik, dan patogen uncommon harus dipertimbangkan pada
pasien tertentu. Iinisial kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis
berat dan untuk pasien dengan sulit untuk disembuhkan,
Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus mempertimbangkan
mengenani virulensi dan prevalensi methicillin resistant staphylococcus
aureus dan resistensi spektrum luas beta laktam dan carbapenem untuk
gram negatif bacilli di beberapa komunitas dan seting kesehatan.
24
- terapi antifungal empirik, seperti: echinocandin, triazoles (fluconazole,
amfoterisin B).
- Pemilihan terapi antibiotik definitif tergantung pada tipe patogen,
karakteristik pasien, dan regimen terapi rumah sakit. Karena pasien
dengan sepsis berat atau syok septik punya latar yang sedikit untuk
menentukan terapi, maka terapi pilihan inisial harus spektrum luas
untuk dapat melawan patogen luas. Setelah patogen kausatif
diidentifikasi, baru dilakukan de-eskalasi dengan memakan agen
antimikroba yang sesuai patogen tersebut, lebih aman, dan biaya yang
paling efektif. Dapat juga digunakan antimikroba kombinasi setelah tes
susceptibilitas dilakukan,
25
menurunkan, atau menghentukan terapi intimikrobial tergantuk pada
informasi klinis pasien.
- terapi antiviral pada pasien dengan influenza berat, dan resiko tinggi
untuk komplikasi
- terapi dengan neuraminidase inhibitor (oseltamivir dan zanamivir)
untuk H1N1 virus, influenza A(H3N2), influenza B.
3. Kontrol Sumber
Diagnosis anatomis yang spesifik dari infeksi dibutuhkan sebagai
pertimbangan untuk mengendalikan kontrol sumber untuk didiagnosis
atau dieksklusi sesegera mungkin dan intervensi harus dilakukan pada
kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan.
Misalnya infeksi jaringan lunak nekrotik, peritonitis, cholangitis).
4. Pencegahan Infeksi
Dekontaminasi oral selektif dan dekontaminasi pencernaan selektif harus
diketahui dan diinvestigasi sebagai metode untuk mengurangi kasus
26
pneumonia yang terkait ventilator. Hal ini harus menjadi perhatian pada
pelayanan kesehatan secara efektif.
5. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
b. Terapi cairan
Kristaloid adalah cairan pertama yang sebagai pilihan untuk resusitasi
pada sepsis berat dan syok septik.Oksigenasi pada keadaan hipoksemia
berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau
kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
Tidak menggunakan hydroxyethyl starches untuk resusitasi cairan
pada sepsis berat dan syok septik.
Albumin dalam resusitasi cairan untuk sepsis berat dan syok sepsis
ketika pasien membutuhkan jumlah substansial dari kristaloid.
Target cairan pertama pada pasien dengan sepsis mengakibatkan
hipoperfusi jaringan dengan dugaan hipovolemia adalah mencapai
minimal 30 ml/kg dari kristaloid. Pemberian yang lebih cepat dan
jumlah cairan yang lebih banyak mungkin dibutuhkan oleh
beberapa pasien.
27
c. Vasopresor
Terapi vasopressor mulanya mencapai target tekanan arterial rata-rata
(MAP) 65 mmHg. Norepinephrine merupakan pilihan utama
vasopressor. Epinefrin (ditambahkan dan berpotensial sebagai subsitusi
dari norepinefrin) digunakan ketika agen tambahan dibutuhkan untuk
menjaga tekanan darah yang memadahi. Vasopresin 0,03 U/menit
dapat ditambahkan pada norepinefrin dengan tujuan untuk menaikkan
MAP atau menurunkan dosis norepinefrin. Dopamin dapat menjadi
alternative vasopressor selain norepinefrin hanya pada pasien tertentu.
Misalnya pada pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan bradikardia
absolut atau relatif. Fenilefrin tidak direkomendasikan pada
pengobatan syok septik kecuali pada lingkup dimana norepinefrin yang
berhubungan dengan aritmia yang serius, curah jantung diketahui akan
tinggi atau tekanan darah akan secara persisten rendah, atau sebagai
terapi penyelamat ketika kombinasi obat inotropic atau vasopressor
dan vasopressin dosis rendah telah gagal untuk mencapai target MAP.
Dopamin dosis rendah seharusnya tidak digunakan untuk proteksi
renal.
d. Terapi Inotropik
Infus percobaan dari dobutamin hingga mencapai 30 mcg/kg/menit
diberikan atau ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam
keadaan disfungsi miokardial sebagaimana disebabkan karena
peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah
atau gejala hipoperfusi yang terus menerus, meskipun mencapai
volume intravascular secara adekuat dan MAP yang cukup.
e. Kortikosteroid
Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk
mengobati pasien dewasa syok septik jika resusitasi cairan cukup dan
terapi vasopressor dapat menjaga kestabilan hemodinamik. Jika hal
tersebut tidak tercapai, direkomendasikan untuk memakai
28
hidrokortison saja dengan dosis 200mg per hari. Tidak diperbolehkan
menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi orang
dewasa dengan syok septik yang seharusnya menerima hidrokortison.
Pasien dalam terapi hidrokortison diturunkan dosisnya jika vasopressor
tidak lagi digunakan. Kortikosteroid tidak diberikan dalam terapi
sepsis tanpa syok.
g. Imunoglobulin
Tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa
dengan sepsis berat atau syok septik
h. Selenium
Tidak menggunakan selenium intravena untuk pengobatan sepsis berat.
29
i. Kontrol gula darah
j. Pendekatan menurut protocol dalam manajemen glukosa darah pada
pasien sepsis berat di ICU memerlukan insulin jika hasil tes gula darah
dua kali berturut turut ≤180 mg/dl. Protokol ini mengharuskan target
gula darah mencapai ≤180mg/dl daripada ≤110 mg/dl. Nilai glukosa
darah dimonitor setiap 1-2 jam hingga nilai glukosa dan pemberian
insulin stabil dan kemudian setiap 4 jam.
k. Renal Replacement Therapy
Terapi pengganti ginjal yang berkelanjutan dan hemodialisis intermiten
adalah setara dengan pasien dengan sepsis berat dan gagal ginjal akut.
Dapat terus melakukan terapi untuk mengatur keseimbangan cairan
dalam pasien sepsis yang tidak stabil hemodinamiknya.
l. Bikarbonat
Tidak menggunakan sodium bikarbonat untuk tujuan memeperbaiki
hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor pada pasien
dengan hipoperfusi yang menyebabkan asidemia laktat dengan pH
≥7,15.
m. Profilaksis DVT (Deep Vein Thrombosis)
Pasien dengan sepsis berat menerima farmacoprofilaksis harian
terhadap tromboemboli vena (VTE). Hal ini harus dilakukan dengan
low molecular weight heparin (LMWH) secara subkutan. Jika nilai
creatinine clearance adalah <30 mL / menit, dapat menggunakan
dalteparin atau bentuk lain dari LMWH yang memiliki tingkat
metabolisme ginjal rendah atau UFH.
30
mekanik, seperti stoking kompresi atau perangkat kompresi intermiten
, kecuali kontraindikasi. Ketika resiko menurun, farmakofilaksis dapat
dimulai.
n. Profilaksis stress ulcer
Dapat menggunakan H2 blocker atau PPI pada pasien dengan sepsis
berat atau syok septik yang memiliki faktor resiko perdarahan. Ketika
profilaksis ini digunakan, PPI lebih dipilih daripada H2RA. Pasien
tanpa faktor resiko tidak memerlukan profilaksis.
o. Nutrisi
Berikan makanan oral atau enteral yang dapat ditoleransi daripada
puasa total atau provisi dari hanya glukosa intravena dalam 48 jam
pertama setelah diagnosis sepsis berat/syok sepsis ditegakkan.
Makanan tinggi kalori harus dihindari dalam minggu pertama tetapi
lebih direkomendasikan untuk dosis rendah (hingga 500 kal/hari)
sesuai toleransi. Pemberian glukosa intravena dan nutrisi enteral lebih
baik daripada hanya TPN (Total Parenteral Nutrition) atau nutrisi
parenteral dengan konjungsi dengan makanan enteral pada 7 hari
pertama setelah didiagnosis sepsis berat atau syok septik. Gunakan
nutrisi tanpa suplemen imunomodulasi yang tidak spesifik daripada
nutrisi dengan suplemen imunomodulasi pada pasien dengan sepsis
berat.
31
BAB IV
ANALISIS KASUS
4.1 Anamnesis
Keluhan pada Ny. SM dengan sepsis dan diabetes mellitus tipe 2 dapat
berupa demam atau hipotermia, peningkatan laju nadi, takipneu,
hiperglikemia. Keluhan tipikal tersebut didapat pada pasien Ny. SM yaitu
berupa keluhan penurunan kesadaran disertai demam tinggi yang
memburuk seiring berjalannya waktu dan sesak napas serta peningkatan
laju nadi. Terdapat faktor risiko yang didapat pada pasien tersebut, yaitu
adanya riwayat diabetes mellitus dan riwayat demam yang berulang sejak
2 bulan terakhir. Diabetes mellitus dikaitkan dengan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi dan sepsis. Neutrofil chemotaxis, adhesi dan
intercelullar killing merupakan kelainan respon host yang dikaitkan
dengan efek hiperglikemia dan predisposisi infeksi.
Selain itu juga beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan sepsis
diantaranya yaitu usia diatas 65 tahun dengan insidensi cenderung
meningkat pada usia tersebut, jenis kelamin juga berhubungan dengan
tingkat kejadian sepsis dimana laki-laki lebih berisiko 2 kali menderita
sepsis dibandingkan wanita, penyakit komorbid, genetik, terapi
kortikosteroid, kemoterapi dan obesitas.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien didapatkan kelainan berupa
peningkatan suhu tubuh pasien yaitu 38,9oC disertai peningkatan laju nadi
yaitu 110x/menit, sesak nafas, perut kembung, lemas dan penurunan
kesadaran. Penurunan kesadaran pada pasien menunjukkan bahwa terjadi
perburukan keadaan pasien akibat adanya infeksi dari tubuhnya.
32
4.2 Pemeriksaan Penunjang
Dan didapatkan kadar hemoglobin yang tidak normal yaitu 4,0 g/dL (L)
menunjukkan bahwa adanya gangguan pada perfusi jaringan. Untuk
memiliki kapasitas pembawa oksigen yang cukup pasien membutuhkan
jumlah sel darah merah yang cukup. Pada pasien dengan sepsis kadar
hematokrit dan hemoglobin akan bervariasi karena pergesaran cairan
antara kompartemen dalam tubuh, dan seiring waktu nilai sel darah merah
akan lebih rendah karena produksi sel darah merah dan kelangsungan
hidupnya akan menurun selama sepsis.
Terjadi penurunan trombosit pada pasien ini yaitu 60 x 103 /uL (L) yang
menunjukkan disfungsi organ dimana respon tubuh terhadap inflamasi
sistemik adalah meningkatkan jumlah trombosit sebagai kompensasi
terhadap kebocoran vaskular akibat inflamasi sistemik tersebut yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan penurunan jumlah trombosit secara
keseluruhan. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi tissue factor (TF)
yang secara langsung mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui
lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur
instrinsik. Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut saling berkaitan dan
sama, yaitu protrombin diubah menjadi trombin dan fibrinogen diubah
menjadi fibrin. Akibat konsumsi berlebihan faktor-faktor koagulasi ini
maka sepsis sering menyebabkan komplikasi yang disebut Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC). Trombosit akhirnya dipakai secara
berlebihan dalam proses DIC tersebut sehingga menyebabkan jumlahnya
berkurang dalam sirkulasi. Trombositopenia juga terjadi akibat proses
33
destruksi yang berlebihan, serta penekanan pada sumsum tulang sehingga
terjadi kegagalan produksi trombosit. Trombositopenia ini sering
merupakan petanda awal dari sepsis.
Penurunan albumin pada pasien ini yaitu 1,79 mg/dL (L) menunjukkan
bahwa kadar albumin yang abnormal merupakan faktor risiko terjadinya
sepsis. Albumin serum yang rendah merupakan penanda non spesifik
penyakit. Penyakit kritis mengubah distribusi albumin antara
kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Ada juga perubahan dalam
tingkat sintesis dan degradasi protein. Konsentrasi serum albumin akan
menurun sering kali dari awal perjalanan penyakit kritis.
4.3 Tatalaksana
Obat-obatan selama di ICU :
Infus RL 1000 cc/24 jam
Infus NaCl 500 cc/24 jam
Eas pfrimmer 500 cc/24 jam
Raivas 6,5 mcg dalam 50 cc (Syring pump)
PRC 2 kolf
Pantoprazole 1x40 mg
Albumin 20% 1x100 ml
Aminofluid 500 cc/24 jam
Meropenem 3x1 (antibiotik golongan beta laktam)
Citicoline 2x500 mg
a. Resusitasi Inisial
34
a) CVP 8–12 mm Hg
b) MAP ≥ 65 mm Hg
Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan level
laktat meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan.
b. Terapi mikroba
35
pada riwayat penyakit pasien meliputi intoleransi obat, penggunaan antibiotik
sebelumnya (3 bulan), penyakit penyerta, sindrom klinis, dan patogen
berdasarkan komunitas dan rumah sakit.
Meropenem 3 x 1
c. Terapi suportif
1. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
2. Terapi cairan
36