Pendahuluan
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.
Dengue adalah virus penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes Spp, nyamuk yang paling
cepat berkembang di dunia ini telah menyebabkan hampir 390 juta orang terinfeksi setiap
tahunnya. Beberapa jenis nyamuk menularkan atau menyebarkan virus dengue. DBD memiliki
gejala serupa dengan Demam Dengue, namun DBD memiliki gejala lain berupa sakit/nyeri
pada ulu hati terus-menerus, perdarahan pada hidung, mulut, gusi atau memar pada kulit.1
Virus Dengue ditemukan di daerah tropik dan sub tropik kebanyakan di wilayah
perkotaan dan pinggiran kota di dunia ini. Untuk Indonesia dengan iklim tropis yang sangat
cocok untuk pertumbuhan hewan ataupun tumbuhan serta baik bagi tempat berkembangnya
beragam penyakit, terutama penyakit yang dibawa oleh vektor, yakni organisme penyebar agen
pathogen dari inang ke inang, seperti nyamuk yang banyak menularkan penyakit. DBD
merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh nyamuk spesies Aedes aegypti dan Aedes
albopictus sebagai vektor primer, serta Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris serta Aedes
niveus sebagai vektor sekunder. 1,2
Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang
jumlah penderitanya semakin meningkat dan penyebarannya semakin luas, penyakit DBD
merupakan penyakit menular yang pada umumnya menyerang pada usia anak-anak umur
kurang dari 15 tahun dan juga bias menyerang pada orang dewasa.
1
Menurut data WHO, Asia Pasifik menanggung 75% dari beban dengue di dunia antara
tahun 2004 dan 2010, sementara Indonesia dilaporkan sebagai negara ke-2 dengan kasus DBD
tersebar diantara 30 negara wilayah endemis.1
Kementerian Kesehatan. Info datin: situasi penyait demam berdarah di Indonesia tahun
2017.
2
BAB 2
Laporan Kasus
2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Demam sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS. Keluhan demam dirasakan
terus menerus, disertai menggigil. Saat dirumah pasien sempat mengecek suhunya kisaran 38-
39 ºC. Pasien sempat mengkonsumsi obat paracetamol keluhan membaik tetapi demam
kambuh lagi dan gatal-gatal diseluruh bagian tubuh. Pasien mempunyai riwayat alergi
paracetamol. Disertai keluhan batuk sejak 3 hari SMRS, batuk terus-menerus, batuknya kering
tidak berdahak. Keluhan lain seperti flu (+), nyeri tenggorokkan (+), sakit kepala (+), Buang
air kecil tidak ada keluhan, Buang air besar tidak keluhan, mual (+), muntah (-), ngilu (+),
perdarahan (-), nafsu makan menurun, riwayat bepergian kepulau endemis beberapa bulan
terakhir disangkal, riwayat makan sembarangan di pinggir jalan disangkal.
3
Riwayat Pribadi dan Sosial
Riwayat merokok (-), minum alkohol (-), riwayat bepergian ke pulau endemis (-), riwayat
makan dipinggir jalan (-)
4
retraksi sela iga (-), dan simetris
saat statis dinamis
Jenis pernapasan
torakoabdominal
Otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi Nyeri (-/-), pelebaran sela iga (-/- Nyeri tidak ada
), simetris saat statis dinamis
Cor
Inspeksi Tidak tampak pulsasi pada ictus cordis
Palpasi Ictus cordis tidak teraba
Perkusi Batas kanan jantung linea
sternalis dextra ICS 4
Batas atas jantung linea
sternalis sinistra ICS 2
Batas pinggang linea
parasternalis sinistra ICS 3
Batas bawah jantung linea
midclavicularis sinistra ICS 5
Batas kiri jantung linea
axillaris anterior sinistra ICS 6
5
Auskultasi Bunyi jantung I dan II terdengar
regular, murmur tidak ada, gallop tidak
ada
Abdomen
Inspeksi Perut datar, massa tidak ada, lesi tidak
ada, tanda-tanda peradangan tidak ada
Ekstremitas
Superior: Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), CRT < 2”, motorik 5/5.
Inferior: Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-),CRT < 2”, motorik 5/5.
6
Kreatinin 1.65* 0.5 – 1.5 mg/dL
eGFR (Formula MDRD) 58.88 mL/mnt/1.73m2
Gula darah sewaktu (GDS) 91 < 140 mg/dL
Natrium (Na) 136 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 4.0 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 97 95 - 105 mmol/L
7
Trombosit 76000* 150,000 – 400,000/uL
Hitung Jenis:
Basofil 1 0–1%
Eosinofil 0* 1 – 3 %
Neutrofil 71* 50 – 70 %
Limfosit 18* 20 – 40 %
Monosit 10* 2 – 8 %
MCV 87 80 – 96 fL
MCH 30 27 – 32 pg
MCHC 35 32 - 36 g/dL
RDW 12.20 11.5 -14.5 %
8
Pemeriksaan laboratorium Paviliun Darmawan Lt 4 pada tanggal 5 September 2019 jam
17:07
Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 17.3 13.0 – 18.0 g/dL
Hematokrit 49 40 – 52%
Eritrosit 5.7 4.3 – 6.0 juta/uL
Leukosit 3710* 4,800 – 10,800 / uL
Trombosit 26000** 150,000 – 400,000/uL
MCV 87 80 – 96 fL
MCH 30 27 – 32 pg
MCHC 35 32 - 36 g/dL
9
Hematologi Rutin Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 19.0* 13.0 – 18.0 g/dL
Hematokrit 53* 40 – 52%
Eritrosit 6.3* 4.3 – 6.0 juta/uL
Leukosit 5460 4,800 – 10,800 / uL
Trombosit 9000** 150,000 – 400,000/uL
Hitung Jenis:
Basofil 1 0–1%
Eosinofil 1 1–3%
Neutrofil 41* 50 – 70 %
Limfosit 41* 20 – 40 %
Monosit 16* 2 – 8 %
MCV 84 80 – 96 fL
MCH 30 27 – 32 pg
MCHC 36 32 - 36 g/dL
RDW 12.30 11.5 -14.5 %
10
MCH 30 27 – 32 pg
MCHC 36 32 - 36 g/dL
RDW 12.20 11.5 -14.5 %
IMUNOSEROLOGI
Anti Dengue IgG/IgM
Anti Dengue IgM Negatif Negatif
Anti Dengue IgG Negatif Negatif
11
MCHC 36 32 - 36 g/dL
12
Limfosit 28 20 – 40 %
Monosit 14* 2 – 8 %
MCV 85 80 – 96 fL
MCH 30 27 – 32 pg
MCHC 36 32 - 36 g/dL
RDW 12.40 11.5 -14.5 %
2.5. RESUME
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS. Keluhan demam dirasakan
terus menerus, disertai menggigil. Saat dirumah pasien sempat mengecek suhunya kisaran 38-
39 ºC. Pasien sempat mengkonsumsi obat paracetamol keluhan membaik tetapi demam
kambuh lagi dan gatal-gatal diseluruh bagian tubuh. Pasien mempunyai riwayat alergi
paracetamol. Disertai keluhan batuk sejak 3 hari SMRS, batuk terus-menerus, batuknya kering
tidak berdahak. Keluhan lain seperti flu (+), sakit tenggorokkan (+), sakit kepala (+), Buang
air kecil tidak ada keluhan, Buang air besar tidak keluhan, mual (+), muntah (-), ngilu (+),
perdarahan (-), nafsu makan menurun, riwayat bepergian kepulau endemis beberapa bulan
terakhir disangkal, riwayat makan sembarangan di pinggir jalan disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran CM, keadaan umum tampak sakit sedang,
TTV (Tekanan darah 120/70 mmHg, RR 20x/mnt, Nadi 80 x/mnt, Suhu 37.4 0C), faring
hiperemis, Tonsil T2-T2, lidah kotor (+)
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan, Trombosit tanggal 2 september 199.000,
trombosit tanggal 3 september 117.000, trombosit tanggal 4 september 76.000, trombosit
tanggal 5 september jam 09:09 36.000, trombosit tanggal 5 september jam 17:07 26.000,
trombosit tanggal 6 september jam 04:53 14.000, trombosit tanggal 6 september jam 16:53
9000, trombosit tanggal 7 september jam 06:30 12.000, trombosit tanggal 7 september jam
17:39 23.000, trombosit tanggal 8 september jam 05:16 40.000, trombosit tanggal 8 september
jam 16:53 56.000, trombosit tanggal 9 september jam 05:43 97.000
13
SMRS, batuk terus-menerus, batuknya kering tidak berdahak. Keluhan lain seperti flu
(+), sakit tenggorokkan (+), sakit kepala ngilu (+), perdarahan (-)
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran CM, keadaan umum tampak sakit
sedang, TTV (Tekanan darah 120/70 mmHg, RR 20x/mnt, Nadi 80 x/mnt, Suhu 37.4
0C), faring hiperemis, Tonsil T2-T2, lidah kotor (+)
- Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan, Trombosit tanggal 2 september
199.000, trombosit tanggal 3 september 117.000.
- Rencana diagnostik: Cek IgG, IgM antidengue H7 setelah demam pertama
- Rencana terapi: Infus RL/12 jam, Kompres air hangat
- Rencana monitoring: Cek DPL + diff count serial/ 12 jam, Observasi Keluhan utama
dan TTV
- Prognosis:
Qua ad vitam: dubia ad bonam
Qua ad functionam: dubia ad bonam
Qua ad sanationam: dubia ad bonam
2.7 FOLLOW UP HARIAN
3 – 9– 2019 S : Demam, batuk, flu, sakit kepala, badan ngilu, P : Infus RL/6 jam, diet
BAK dbn, BAB dbn lunak 1500 kal/hari, banyak
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 120/70mmHg, minum, kompres air hangat,
N:80x/mnt, RR:20x/mnt, T: 37,4 C Cek DL/24 jam, Cek IgG,
Mata : konjungtiva anemis -/-, tampak sklera IgM antidengue (7/9/19)
ikterik +/+
Mulut: Lidah kotor (+)
Tenggorokkan: Faring hiperemis, Tonsil T2-T2
Pulmo : normovesikuler +/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-
Cor : BJ I – II regular, tidak ada murmur (-),
tidak ada gallop (-)
Abd : Supel, BU(+)
Extremitas: tidak ada edema (-/-).
Lab: Trombosit 117.000
A : Febris H3 e.c susp dengue infection
14
4 – 9 – 2019 S : Demam berkurang, batuk, flu, sakit kepala, P : Infus RL/6 jam, diet
badan ngilu, BAK dbn, BAB dbn lunak 1500 kal/hari, banyak
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 110/80mmHg, minum, kompres air hangat,
N:84x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,5 C Cek DL/24 jam, Cek IgG,
Mata : konjungtiva anemis -/-, tampak sklera IgM antidengue (7/9/19)
ikterik +/+
Mulut: Lidah kotor (+)
15
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 115/82 mmHg, demam muncul), Cek
N:89x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,2 C DL/12 jam, Cek IgG, IgM
Mata : konjungtiva anemis -/-, tampak sklera antidengue (7/9/19)
ikterik +/+
Pulmo : normovesikuler +/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-
Cor : BJ I – II regular, tidak ada murmur (-),
tidak ada gallop (-)
Abd : Supel, BU(+)
Extremitas: tidak ada edema (-/-), petekie (+/+)
ekstremitas atas, petekie (+/+) ekstremitas
bawah
Lab: Trombosit 14.000
A : Susp DHF grade I (Febris H6)
7 – 9 – 2019 S : Demam sudah tidak ada, batuk (-), sakit P: Loading RL 750 cc habis
kepala membaik, BAK dbn, BAB dbn 2 jam, infus RL/ 6jam, Cek
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 110/80 mmHg, DL/12 jam, diet bebas,
N:89x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,5 C kompres hangat (bila
Mata : konjungtiva anemis -/-, tampak sklera demam muncul)
ikterik +/+
Pulmo : normovesikuler +/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-
Cor : BJ I – II regular, tidak ada murmur (-),
tidak ada gallop (-)
Abd : Supel, BU(+)
Extremitas: tidak ada edema (-/-), petekie (+/+)
ekstremitas atas, petekie (+/+) ekstremitas
bawah
Lab: Trombosit 14.000
A : Susp DHF grade I (Febris H7)
9 – 9 – 2019 S : Keluhan tidak ada P: Rawat jalan hari ini,
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 120/80 mmHg, Kontrol bila ada keluhan.
N:80x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,3 C
16
Mata : konjungtiva anemis -/-, tampak sklera
ikterik +/+
Pulmo : normovesikuler +/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-
Cor : BJ I – II regular, tidak ada murmur (-),
tidak ada gallop (-)
Abd : Supel, BU(+)
Extremitas: tidak ada edema (-/-), petekie (+/+)
ekstremitas atas, petekie (+/+) ekstremitas
bawah
Lab: Trombosit 97.000
A : Susp DHF grade I (Febris H9)
BAB 3
Tinjauan Pustaka
3.1 Epidemiologi
Jumlah penderita DBD menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mulai tahun 2014
hingga Januari 2019. Jumlah penderita DBD pada 2014 sebanyak 100.347 orang, kemudian
tahun 2015 sebanyak 129.650 orang, kemudian tahun 2016 sebanyak 204.171, kemudian di
tahun 2017 sebanyak 68.407, kemudian di tahun 2018 sebanyak 53.075, dan Januari \2019
sebanyak 13. 683 orang.1
Sementara itu, jumlah penderita DBD yang meninggal pada tahu 2014 sebanyak 907
jiwa, tahun 2015 sebanyak 1.071 jiwa, tahun 2016 sebanyak 1.598 jiwa, tahun 2017 sebanyak
17
493 jiwa, tahun 2018 sebanyak 344 jiwa dan di 2019 (hingga 29 januari 2019) sebanyak 133
jiwa.1
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk yaitu bejana yang berisi air
jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).3
3.2 Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal.3
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe
tersebut akan menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang
sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara dan parsial terhadap serotipe yang lain.
Seseorang akan kebal seumur hidup terhadap serotip yang menyerang pertama kali, namun
hanya akan kebal dalam waktu 6 bulan - 5 tahun terhadap serotipe virus Dengue lain. Virus
dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus lain, yaitu mempunyai
genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukleotida ikosahedral dan terbungkus oleh
selaput lipid. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau
bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat.3,4
3.3 Patogenesis
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue. Respon imun yang diketahui berperan
dalam pathogenesis DBD adalah:3
a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody.
Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada
monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE)
18
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Differensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6,
dan IL-10
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag
d. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a
dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang mefagositosis
kompleks virus antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus
antibody yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
19
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan
petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadin dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati
konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulopati pada demam
berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik. Jalur intrinsic juga berperan melalui
aktivasi faktor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak.3
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue dengan kebocoran plasma
yang mengakibatkan syok atau disebut sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien
20
mengalami fase demam selama 2-7 hari yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu
fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika
tidak mendapat pengobatan tidak adekuat.5
WHO pada tahun 2009 membagi gejala klinis demam dengue menjadi 3 fase :
1. Fase demam
2. Fase kritis
3. Fase recovery
1. Fase Demam Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia, dan sakit kepala. Beberapa
pasien dapat memiliki gejala sakit tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi konjungtiva.
Anorexia, mual, dan muntah sering terjadi dan dapat sulit dibedakan dengan demam non-
dengue pada fase awal. Uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan kepastian dari dengue.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa (mis. hidung
dan gusi) dapat terlihat. Gejala tidak khas seperti perdarahan vagina dan perdarahan
gastrointestinal dapat terjadi. Hati dapat membesar dan terasa sakit pada beberapa hari sewaktu
demam. Penurunan sel darah putih dapat memberikan tanda sebagai infeksi dengue. Tanda dan
gejala ini kurang dapat membedakan antara severe dan non severe dengue sehingga perlu
monitoring lebih untuk berhati - hati dalam menilai fase perkembangan ke fase kritis.6,7
2. Fase Kritis : Pada tahap ini, demam masih berlangsung pada hari ke 3 – 7 namun
temperatur sedikit menurun yaitu 37.5 – 38ᴼC atau lebih rendah dan juga menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler dengan level hematokrit yang meningkat. Periode kebocoran
plasma berlangsung selama 24 – 48 jam. Leukopenia parah diikuti dengan penurunan hitung
21
trombosit mengindikasikan terjadinya kebocoran plasma. Pada pasien dengan tidak diikuti
peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik namun pasien yang memiliki keadaan
tersebut akan bertambah parah dengan kehilangan volume plasma. Efusi pleura dan ascites
dapat terdeteksi tergantung dari tingkat keparahan kebocoran plasma tersebut. Maka foto
thorax dan USG abdomen dapt digunakan sebagai alat bantu diagnosa. Kadar hematokrit yang
melebihi batas normal dapat digunakan sebagai acuan melihat derajat keparahan kebocoran
plasma. Syok dapat terjadi jika volume plasma berkurang hingga titik kritis dan sering
didahului oleh warning signs. Syok yang berlangsung lama, menyebabkan hipoperfusi organ
sehingga dapat mengakibatkan gangguan organ, metabolik asidosis, dan Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC).
3.5 Diagnosis2
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodromal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan Lelah.
22
Demam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua
atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Mialgia / artralgia
Ruam kulit
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)
Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan
bila semua hal di bawah ini dipenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis, atau purpura
Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat dari tempat lain.
Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/uL).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemi
Laboratorium
Parameter Laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >15%
dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengna ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
23
Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/SGPT dapat meningkat.
Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Golongan darah dan cross match bila akan diberikan transfuse darah atau komponen
darah
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM: terdeteksi
mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG:
pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
NS 1: Antigen NS1, dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke
delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63-93,4% dengan spesifisitas 100% sama
tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negative antigen NS1
tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
3.6 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
24
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
25
cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam
pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit
turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah
cairan infus dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik
maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi
menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah
cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali
dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan
infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi
menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok makan pasien ditangani sesuai
dengan protokol tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila syok telah
teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti pemberian cairan awal.
4. Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan hidung/
epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran
kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan
pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan
darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan
kewaspadaan Hb, Ht, dan thrombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan
pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravascular diseminata (KID). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari
10 g/dL. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan
spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
5. Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa
26
Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravascular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian
sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa
renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan
pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang
tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik
100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali
per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta
diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila
dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi
tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian
cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami
ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
pathogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian ). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastric, serta
jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
27
hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih
berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita
diberikan transfuse darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-
20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB dengan
sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus
diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,
hipoglikemi, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah
sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropic/vasopressor.
3.7 Prognosis2
Renjatan yang terjadi pada saat demam, prognosisnya buruk. Dengan sifatnya yang self-
limiting disease, angka kematian (mortality rate) DF kurang dari 1%. Angka kematian untuk
kasus DHF yang tertangani medis adalah 2-5 %. Bila DHF tidak diobati, angka kematiannya
meningkat sampai 50%. Penderita yang sembuh biasanya tanpa sekuele dan tubuhnya akan
membuat imunitas terhadap serotipe virus yang menjangkitinya.
28
Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan. Info datin: situasi penyait demam berdarah di Indonesia tahun
2017.
2. Ernawati, Bratajaya CN, Martina SE. Gambaran praktik pencegahan demam berdarah
dengue di wilayah endemic dbd. Jurnal UMM 1 januaria 2018: 9(1).
3. Setiati S. Buku ajar: ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
4. Satari HI. Demam berdarah. Jakarta: Puspa Swara; 2008.
5. Depkes RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan
Kesehatan. Jakarta : DEPKES RI.
6. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia. Comprehensive
guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever.
Revised and expanded edition. New Delhi: WHO-SEARO; 2011.
7. Srikiatkhachorn A. Plasma leakage in dengue haemorrhagic fever. Thromb Haemost;
2009.
29