Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN PRESENTASI KASUS BESAR

Topik:

ASTHMA BRONCIALE

Disusun oleh:

dr. Dwi Christina

Pendamping:

dr. Yoseph Chandra,M.Kes

dr. Nur Endah,M.M

dr. Ezra

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RS PANTI WILASA DR.CIPTO SEMARANG

PERIODE NOVEMBER 2017- NOVEMBER 2018


UPDATED ASTHMA (GINA REPORT 2017)
Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, 2017. Available from: www/ginasthma.org1
BAB I
PENDAHULUAN

Asma bronkial ialah salah satu penyakit kronik yang melibatkan banyak
sel dan elemen dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Dalam dua
puluh tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah pasien asma, terutama anak-anak.
Prevalensi asma terus meningkat baik di negara maju maupun di negara
berkembang. Berdasarkan data, 300 juta penduduk dunia menderita asma.
Diperkirakan pada 2025 angka ini akan meningkat menjadi 400 juta jiwa dengan
setidaknya 250 000 orang meninggal setiap tahunnya.2-6

Di Indonesia pun jumlah penderita asma semakin hari semakin meningkat,


namun tidak tercatat dengan baik. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan
prevalensi asma yang sangat bervariasi. Yunus dkk. (2011) meneliti prevalensi
asma di Jakarta dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma
and Allergies in Childhood (ISAAC) pada tahun 2001 dan 2008 dengan
prevalensi kumulatif masing-masing 11,5% dan 12,2%. Kemudian, laporan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan Repubik Indonesia
tahun 2007 menyatakan bahwa prevalensi asma di Jakarta mencapai 2,9%.2,5,6

Asma adalah penyakit inflamasi kronik pada saluran napas. Inflamasi yang
berlangsung terus-menerus menyebabkan hiperresponsivitas saluran napas.
Saluran napas penderita asma sangat peka terhadap berbagai rangsangan
(bronchial hyper- reactivity), seperti polusi udara (asap, debu, zat kimia), serbuk
sari, udara dingin, makanan, hewan berbulu, tekanan jiwa, aroma menyengat
(misalnya parfum), olahraga, dan obat (aspirin dan penyekat beta). Luasnya
inflamasi dapat memicu penyumbatan saluran napas berupa bronkokonstriksi,
edema, dan hipersekresi mukus yang bersifat reversibel sehingga menimbulkan
gejala klinis.5,6
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. R
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Pandean Taman Harjo, Semarang
No. RM : 059835
Tanggal masuk : 10 Maret 2018
Ruangan : Etha

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Os datang ke IGD RS. Panti Wilasa dr. Cipto Semarang dengan
keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS.

Keluhan Tambahan
Os juga mengalami batuk (+), dada terasa tertekan (+), serta suara
mengi /ngik

Riwayat Penyakit Sekarang


1 hari SMRS Os mengeluh sesak nafas. Sesak nafas dirasakan tiba-
tiba saat Os sedang membersihkan rumah. Sesak disertai bunyi
mengi/ngik. Os juga mengeluh dada terasa tertekan (+), batuk (+),
demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), kaki bengkak (-), BAK
normal, BAB normal. Sesak nafas dirasakan mengganggu aktivitas dan
tidur. Os tidak mengkonsumsi obat untuk meredakan sesak nafas.
Dalam waktu 1 tahun terakhir, Os sering mengalami sesak nafas
setiap bulannya sebanyak 1 kali dalam satu bulan. Sesak nafas dapat
kambuh di saat Os melakukan aktivitas yang berlebih dan di saat cuaca
dingin. Setiap bulan Os mengalami sesak nafas di malam hari
sebanyak 1 hingga 2 kali. Sesak nafas bisa berkurang saat Os dalam
posisi duduk dan memperparah sesak nafas jika Os melakukan
aktivitas. Os masih bisa tidur menggunakan 1 bantal tanpa perlu
meninggikannya. Os tidak pernah mengalami nyeri dada (-), jantung
berdebar (-), kaki bengkak (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Os memiliki riwayat asma bronkial sejak masih kecil, dan kambuh
terakhir 2 tahun yang lalu. Os juga sudah tidak mengkonsumsi obat
untuk meredakan asma. Os juga memiliki riwayat penyakit diabetes
melitus tak terkontrol sejak 2 tahun terakhir dan mengkonsumsi obat
metformin. Riwayat alergi cuaca dingin (+), alergi makanan (-), alergi
obat (-), dermatitis atopik (-), rhinitis alergi (-), hipertensi (-), penyakit
jantung (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah dan kakak kandung Os juga menderita asma bronkial.
Riwayat dermatitis atopik (-), rhinitis alergi (-), diabetes melitus (-),
hipertensi (-), penyakit jantung (-).

Riwayat Kebiasaan
Os setiap harinya membantu suaminya berjualan makanan.
Merokok (-), minum beralkohol (-).

Riwayat Lingkungan
Os tinggal di lingkungan perumahan dengan pencahayaan dan
sirkulasi udara yang baik. Jarak dari rumah ke jalan raya sekitar 300
meter. Dalam lingkup keluarga Os, tidak ada satu pun anggota
keluarga yang perokok aktif. Os tidak memiliki perabotan rumah yang
dapat menyimpan debu seperti karpet dan boneka.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Kesadaran : Composmentis (GCS : E4 M6 V5)
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesan Gizi : Tampak gizi cukup
Kesan Lain : Tampak napas cuping hidung, tampak sulit
napas/sesak.

Tanda Vital
Tekanan darah : 130 / 90 mmHg
Pernapasan : 28 kali/menit
Sp02 : 96%
Nadi : 110x/menit, reguler
Suhu : 370 C
Status Generalis
Pemeriksaan Fisik Hasil Pemeriksaan

Kepala Bentuk kepala normocephal, rambut hitam tebal,


distribusi merata dan tak mudah dicabut
Mata Visus : 6/6
Sklera ikterik : -/-
Konjungtiva anemis : -/-
Exophtalmus : -/-
Enophtalmus : -/-
Lensa jernih : +/+
Refleks cahaya : Langsung +/+, Tak langsung
+/+
Pupil : Bulat isokor
Hidung Napas cuping hidung : +/+
Bentuk : Septum deviasi -/-
Krepitasi : -
Sekret : -
Telinga Bentuk : Normotia
Nyeri tarik aurikula : -/-
Nyeri tekan tragus : -/-
Ruam merah : -/-
Liang telinga : Lapang
Serumen : -/-
Cairan : -/-
Tuli : -/-
Membran timpani : Intak/ intak
Refleks cahaya : +/+
Bibir Bibir kering : -
Sianosis : -
Pucat : -
Mulut Trismus : -
Oral hygiene : Baik
Halitosis : -
Mukosa gusi : Merah muda
Lidah Ukuran : Normoglossia
Mukosa : Merah muda
Hiperemis : -
Atrofi papil : -
Tremor : -
Lidah kotor : -
Tenggorokan Dinding posterior : PND (-)
faring
Uvula : Di tengah
Ukuran tonsil : T1/T1
Kripta : Tidak melebar
Dedritus : -
Leher Kaku kuduk : -
Edema : -
Pembesaran KGB : Tidak tampak membesar
Pulmo Inspeksi : Hemithorax kanan kiri
simetris, statis dan dinamis, tak
tampak kelainan kulit
Palpasi : Tidak teraba adanya massa
ataupun benjolan, tidak
terdapat nyeri tekan, vokal
fremitus dan taktil simetris
kanan dan kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang
paru kanan dan kiri, depan –
belakang, peranjakan paru (+)
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+,
ronkhi (-/-), wheezing (+/+)
Cor Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung kanan ICS V
linea midclavicula dextra
Batas jantung kiri ICS VI linea
midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III
linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler,
gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi : Datar, tidak membuncit, tidak
ada kelainan kulit
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Terdengar suara timpani di
seluruh kuadran abdomen,
dullness (-), nyeri ketok CVA
(-/-)
Palpasi : Supel (+), tidak terdapat nyeri
tekan dan nyeri lepas di
seluruh kuadran abdomen,
pembesaran hepar, lien, ginjal,
kandung kemih tak teraba,
undulasi (-)
Ekstemitas CRT : 2’’
Akral hangat : +/+
Edema : -/-
Sianosis : -/-
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi

CBC Hasil Nilai normal

Hemoglobin 14,0 g/dL 13,2-17,3

Hematokrit 42 % 40-52

Leukosit 9.500/ul 3,8-10,6

Trombosit 252.000 150-400

Eritrosit 4,6 juta/ul 4,40-5,90

MCV 85 fl 80-100

MCH 28 pg 26-34

MCHC 33 g/dL 32-36

KIMIA KLINIK

GDS 164 mg/dL 70 – 200

Foto Thorax
Hasil pemeriksaan foto thorax PA
Cor : CTR >50%, batas kiri jantung tampak bergeser ke lateral
Pulmo : Corakan paru tak meningkat. Tak tampak bercak pada kedua
lapangan paru.
Hemidiafragma kanan setinggi costa 9 posterior
Sudut costophrenicus kanan kiri lancip
Kesan :
- Kardiomegali
- Pulmo tenang

EKG

Hasil pembacaan EKG


Frekuensi jantung : 109x/menit
Irama : reguler
Axis jantung : normal
Interval PR : 0,16 detik, QRS : 0,10 detik, QT : 0,20 detik
Kelainan (-)
Diagnosis EKG : Sinus Takikardi

Saran Pemeriksaan Penunjang :


- Spirometri
- Differential count leukosit
2.5 DIAGNOSIS KERJA
- Asthma Bronciale
- Diabetes Melitus tipe 2

2.6 DIAGNOSIS BANDING


- PPOK
- Bronkitis kronis
- CHF

2.7 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana awal di IGD
- Nebul ventolin 1 ampul : pulmicort 1 ampul
- Rawat inap :
IVFD RL 10 tpm
Nebul ventolin : pulmicort
Inj. Metyl prednisolone 2x ½ ampul
Inj. Omeprazole 2x1 amp
Inj. Metoclopramid 2x1 amp
Pamol tab 3x 500mg tab
OBH syr 3xCI
Diamicron MR 1x60mg

2.8 PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Ad Bonam
Quo Ad Functionam : Ad Bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam

2.9 OBSERVASI

Tanggal 11 Maret 2018


S Sesak napas (+), batuk (+), dada terasa tertekan
(+), mual (+), muntah (-)
O KU TSS, CM
TD 110/70 mmHg
HR 116 x/menit
RR 26 x/menit
S 370C
Hidung Napas cuping hidung +/+
Cor Dbn
Pulmo SNV +/+, Rh-/-, Wh +/+
Lab GDS :174
A Asthma Bronciale
DM tipe 2
P IVFD RL 10 tpm
Nebu ventolin : pulmicort
Pamol 3x1 tab
Ceftriaxone 2x1 gr
Inj. Omeprazole 2x1 amp IV
Inj. Metoclopramid 2x1 amp IV
OBH 3xCI
Cetirizine 2x1
Diamicron MR 1x60mg
Berotec 3x II k/p
Tanggal 12 Maret 2018
S Sesak napas (+), batuk (+)
O KU TSS, CM
TD 110/70 mmHg
HR 82 x/menit
RR 24x/menit
S 36,80C
Hidung Napas cuping hidung +/+
Cor Dbn
Pulmo SNV +/+, Rh-/-, Wh +/+
Lab GDS :223
A Asthma Bronciale
DM tipe 2
P IVFD RL 10 tpm
Nebu ventolin : pulmicort
Pamol 3x1 tab
Ceftriaxone 2x1 gr
Inj. Omeprazole 2x1 amp IV
Inj. Metoclopramid 2x1 amp IV
OBH 3xCI
Cetirizine 2x1
Diamicron MR 1x60mg
Berotec 3x II k/p
Inj. Metyl prednisolone 2x1/2 amp IV
Tanggal 13 Maret 2018
S Sesak napas berkurang, batuk (+), pusing (+)
O KU TSS, CM
TD 110/80 mmHg
HR 98x/menit
RR 20x/menit
S 370C
Hidung Napas cuping hidung -/-
Cor Dbn
Pulmo SNV +/+, Rh-/-, Wh +/+
Lab GDS : 340
A Asthma Bronciale
DM tipe 2
P IVFD RL 10 tpm
Nebu ventolin : pulmicort
Pamol 3x1 tab
Ceftriaxone 2x1 gr
Inj. Omeprazole 2x1 amp IV
Inj. Metoclopramid 2x1 amp IV
OBH 3xCI
Cetirizine 2x1
Diamicron MR 1x60mg
Berotec 3x II k/p
Inj. Metyl prednisolone 2x1/2 amp IV → ganti
metal prednisolone 2x8mg
Tanggal 14 Maret 2018
S Sesak napas (-), batuk berkurang, pusing (-).
O KU TSS, CM
TD 110/70 mmHg
HR 86x/menit
RR 20x/menit
S 36,60C
Hidung Napas cuping hidung -/-
Cor Dbn
Pulmo SNV +/+, Rh-/-, Wh -/-
Lab GDS : 202
A Asthma Bronciale
DM tipe 2
P IVFD RL 10 tpm→aff
Nebu ventolin : pulmicort
Pamol 3x1 tab
Ceftriaxone 2x1 gr→cefixime 2x200mg
Inj. Omeprazole 2x1 amp IV→omeprazole 2x1
Inj. Metoclopramid 2x1 amp IV→domperidon
3x1
OBH 3xCI
Cetirizine 2x1
Diamicron MR 1x60mg
Pionix 1x30mg
Berotec 3x II k/p
Metyl prednisolone 2x 8mg
BLP
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI
Asma adalah penyakit inflamasi kronik pada saluran napas. Inflamasi yang
berlangsung terus-menerus menyebabkan hiperresponsivitas saluran napas.
Saluran napas penderita asma sangat peka terhadap berbagai rangsangan
(bronchial hyper- reactivity), seperti polusi udara (asap, debu, zat kimia), serbuk
sari, udara dingin, makanan, hewan berbulu, tekanan jiwa, aroma menyengat
(misalnya parfum), olahraga, dan obat (aspirin dan penyekat beta). Luasnya
inflamasi dapat memicu penyumbatan saluran napas berupa bronkokonstriksi,
edema, dan hipersekresi mukus yang bersifat reversibel sehingga menimbulkan
gejala klinis (Gambar 1).5,6

Gambar 1. Perbandingan Saluran Napas pada Orang Sehat, Penderita Asma, dan Kondisi
Eksaserbasi Akut Asma (sumber: http://www.breakthroughs.com)
3.2. FAKTOR RISIKO
Secara umum, faktor risiko asma meliputi dua hal yaitu faktor pejamu
(host) dan lingkungan. Faktor pejamu meliputi predisposisi genetic (atopi),
hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin, dan ras.

Gambar 2. Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan


pada kejadian asma

Faktor genetik akan meningkatkan suseptibilitas seseorang atau individu


untuk memproduksi IgE.Faktor lingkungan menyebabkan eksaserbasi dan/atau
menyebabkan gejala-gejala menetap. Faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
sosioekonomi, dan jumlah anggota keluarga. Interaksi antara faktor pejamu dan
lingkungan akan meningkatkan risiko munculnya asma (Gambar 2).2

3.3. PATOGENESIS
Data WHO menunjukkan 100-157 juta penduduk dunia menderita asma
dan terus bertambah sebanyak 187 ribu orang per tahun dengan episode kejadian
per orang 3-6 kali per tahun.3,4 Sebagian asma bersifat immunoglobulin E(IgE)
mediated. Paparan alergen yang sama yang mensensitisasi akan berikatan pada
antigen binding fragment (Fab) dari IgE, selanjutnya menyebabkan cross-slinking,
degranulasi, pelepasan mediator, dan serangan asma. Peranan IgE sangat besar
atau sentral. Berdasarkan hal tersebut, antibodi anti-IgE dipertimbangkan sebagai
salah satu pilihan terapi asma IgE mediated.2

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap rekam medik pasien asma


bronkial yang dirawat inap di Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang periode
Januari 2010 sampai Desember 2011, dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :

1. Perempuan lebih banyak menderita asma bronkial dibandingkan laki-laki


2. Serangan akut asma bronkial paling banyak terjadi pada kelompok umur 40
sampai 49 tahun.
3. Jumlah eosinofil darah tepi pada penderita asma bronkial lebih banyak
dibawah 40/mm3.
4. Tidak ditemukan penderita asma bronkial dengan jumlah eosinofil lebih dari
400/mm3

Perkembangan asma ditimbulkan oleh interaksi antara faktor pejamu


(terutama genetik) dan pajanan dengan lingkungan yang terjadi dalam
perkembangan sistem imun. Pajanan lingkungan mencakup faktor pejamu seperti
genetik, diet-obesitas, dan jenis kelamin. Laki-laki memiliki risiko menderita asma
lebih tinggi daripada perempuan sebelum usia 14 tahun sementara pada usia lebih
tua, prevalensi asma sama antara laki-laki dan perempuan. Pada dewasa, prevalensi
perempuan lebih besar dibanding laki-laki. Faktor lingkungan yang juga berperan
mencakup pajanan alergen, infeksi, pajanan asap rokok dan lingkungan pekerjaan.7

Hipersensitivitas tipe 1 menjadi dasar dalam patogenesis asma ekstrinsik.


Sensitisasi sel T naïve mengawali patogenesis asma ekstrinsik. Alergen yang
masuk ke dalam tubuh akan diolah oleh Antigen Presenting Cell (APC) yaitu sel
dendritik dan makrofag, kemudian dipresentasikan kepada sel T naïve (Th0).
Selanjutnya sel T naïve akan berkembang menjadi Th 1 atau Th2 tergantung dari
sifat antigen, karakteristik APC, dan konsentrasi sitokin lokal. Sumber sitokin yang
mempengaruhi diferensiasi sel T naïve adalah APC (khususnya sel dendritik), sel
epitel dan otot saluran napas, sel T, eosinofil, sel mast, makrofag, fibroblast.7-10

Stimulasi antigen yang berasal dari alergen dan antigen ekstraselular


menyebabkan terbentuknya IL-4 dengan konsentrasi tinggi sehingga sel T naïve
berdiferensiasi menjadi sel Th2. Interleukin 4 berperan mengahambat terbentuknya
sel Th1.10 Sel Th2 akan menyekresikan sitokin seperti Interleukin 4, 5, dan 13 (IL-
4, IL-5, IL-13). Interleukin 4 dan 13 menyebabkan sel B berdiferensiasi menjadi
sel Plasma yang memroduksi IgE. Interleukin 5 menyebabkan terjadinya
eosinofilopoiesis dan aktivasi eosinofil. Antibodi IgE akan berikatan dengan
reseptor Fc pada sel mast dan basofil.7,9,10

Apabila terjadi pemaparan ulang dengan alergen, maka alergen tersebut


akan berikatan dengan 2 molekul IgE pada permukaan sel membentuk jembatan
yang disebut dengan crosslinking. Segera setelah sinyal awal akibat crosslinking,
terjadi serangkaian reaksi biokimia intraselular secara berurutan menyerupai
kaskade, dimulai dengan aktivasi enzim metiltransferase dan serine esterase,
diikuti perombakan fosfatidilinositol menjadi inositol trifosfat (IP3), pembentukan
diasilgliserol dan peningkatan ion Ca⁺⁺ intrasitoplasmik. Reaksi kimia ini
menyebabkan terbentuknya zat yang memudahkan fusi membran granula sehingga
terjadi degranulasi. Serangan asma ekstrinsik memperlihatkan dua fase: fase awal,
dimulai 30 hingga 60 menit setelah inhalasi antigen yang kemudian mereda, diikuti
4-8 jam kemudian oleh fase lanjut. Pengaktifan awal sel mast terjadi di permukaan
mukosa, mengakibatkan pelepasan mediator yang membuka taut-erat (tight
junction) antar sel epitel sehingga lebih banyak antigen dapat masuk dan berikatan
dengan sel mast subepitel. Sel mast juga melepaskan mediator lain seperti
Leukotrien C4, D4, dan E4, Prostaglandin D2, E2, dan F2α, Histamin, Platelet-
activating factor, Triptase. Reaksi awal ini diikuti oleh fase lanjut yang didominasi
oleh leukosit seperti eosinofil, basofil, dan neutrofil. Eosinofil sangat penting
dalam fase lanjut. Rekrutmen eosinofil ditunjang oleh kemotaksin yang dihasilkan
sel mast. Sel epitel bronkus aktif, makrofag, dan otot polos jalan napas turut
menghasilkan eotaksin yang dianggap sebagai kemotaksin paling poten.
Selanjutnya eosinofil juga akan melepaskan berbagai mediator seperti MBP, ECP,
peroksidase eosinofil, leukotrien C4, serta platelet-activating factor yang
mempertahankan respon inflamasi lebih lanjut.7

IMUNOPATOGENESIS ASMA BRONKIAL ATOPI

Alergen masuk ke dalam tubuh dapat melalui saluran pernapasan, kulit,


pencernaan, dan lain-lain, akan ditangkap oleh antigenpresenting cells (APC).
Setelah allergen diproses dalam APC (sel dendritik), kemudian dipresentasikan
kepada sel T helper 0 (Th0) melalui Major Histocompatibility Complex (MHC)
kelas II. Sel T helper 0 (Th0) akan berubah menjadi sel T helper 2 (Th2) yang akan
melepaskan interleukin 4 (IL-4), interleukin 5 (IL-5), dan interleukin 13 (IL-13).
IL-4 menyebabkan proliferasi sel B menjadi sel plasma untuk memproduksi IgE
antibody.11 IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh sel mastosit. Proses ini
disebut sensitisasi.2,11

Bila terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang
masuk tubuh akan diikat oleh IgE pada permukaan sel mastosit. Ikatan tersebut
menimbulkan degranulasi sel mastosit, dan merangsang keluarnya mediator dalam
granul-granul sitoplasma, yaitu histamin, EosinophilChemotactic Factor-A (ECF-
A), NeutrophilChemotactic Factor (NCF), triptase, dan kinin yang memunculkan
gejala asma seperti sesak, mengi, dan bronkokonstriksi.`Sel T helper 2 juga
menyebabkan terjadinya eosinofilia dengan IL-5. Eosinophil yang aktif akan
mengeluarkan TransformingGrowth Factor β (TGF- β), IL-13, dan GrowthFactors
(GF) yang menyebabkan terjadinya remodelling pada jalan napas seperti dijelaskan
pada Gambar 3.2

Gambar 3. Imunopatogenesis asma atopi

IMUNOGLOBULIN E

Ig E terdiri dari dua rantai berat yang identic (heavy chain) dan dua rantai
ringan yang identik (light chain), serta memiliki area yang konstan. IgE tersusun
dari lebih kurang 110 asam amino dalam susunan beta dengan tiga atau empat
rantai beta yang membentuk seperti huruf C. IgE tersusun dari beberapa jenis
protein seperti FcεRI yang merupakan reseptor dengan afinitas tinggi terhadap IgE,
CD23 (sebagai FcεRII) yang merupakan reseptor dengan afinitas rendah terhadap
IgE, galactin-3 yang merupakan protein pengikat IgE dan FcεRI. Pengikatan
antara IgE dan FcεRI pada sel mastosit dan sel basofil akan menginduksi sinyal sel
dan merangsang degranulasi sel mastosit, sehingga mediator inflamasi akan
dilepaskan. Pelepasan berbagai mediator tersebut berperan dalam mengaktivasi
eosinofil dan mempertahankan keberadaannya seperti pada asma atopi.12-17

Tabel 1. Karakteristik fisiologis IgE

PERANAN IMUNOGLOBULIN E PADA ASMA

Belum ada penelitian yang membuktikan hubungan antara peningkatan


kadar serum IgE dan risiko menderita asma. Suatu studi melaporkan reseptor
FcεRI berperan pada proses upregulasi eosinofil, sel mastosit, makrofag, dan sel
dendritik pada pasien rhinitis serta asma atopi (allergic asthma). Terdapat korelasi
signifikan antara kadar serum IgE dan ekspresi reseptor FcεRI pada sel dendritik
penderita asma atopi. Studi lain mengambil sampel jaringan paru pasien asma saat
otopsi, mendapat hasil pada kasus asma berat dengan kadar sel mastosit positif
mengandung FcεRI lebih tinggi pada lapisan lamina propria dibandingkan subjek
yang meninggal dengan penyebab lain.2,13
3.4. TANDA DAN GEJALA
Inflamasi kronik menyebabkan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan
batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Gejala tersebut berhubungan dengan
obstruksi luas jalan napas yang bervariasi dan sering reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Asma bronkial adalah sindrom yang ditandai sesak napas dan
wheezing karena penyempitan saluran napas intrapulmonal secara menyeluruh.2,3

Pada penderita asma akan timbul gejala seperti mengi terutama saat
ekspirasi. Gejala ini banyak ditemukan pada anak-anak. Selain itu, penderita asma
umumnya memiliki riwayat batuk yang intensitasnya meningkat pada malam hari,
sulit bernapas, hingga sesak napas yang memburuk pada pagi dan malam hari
hingga membangunkan pasien. Gejala-gejala tersebut timbul setelah terpapar
alergen, infeksi virus, polusi udara, atau aktivitas berat. Tidak lupa, riwayat
penyakit atopi pada keluarga memegang peranan besar. Dapat ditemui pula
riwayat eksim atau demam. Sampai saat ini belum ada uji yang tepat untuk
mendiagnosis asma selain melihat pola gejala dan reaksinya terhadap terapi.
Gejala asma umumnya mereda dengan pemberian obat antiasma.5,6

3.5. DIAGNOSIS
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran
faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.3

Riwayat penyakit/gejala:
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani
dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema
dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas.3

Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis


berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas

Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 Obstruksi jalan napas
 Reversibiliti kelainan faal paru
 Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan
napas

Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.3
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1
< 80% nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/
oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
 Menilai derajat berat asma3

DIAGNOSIS BANDING
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik
 Bronkitis kronik
 Gagal Jantung Kongestif
 Batuk kronik akibat lain-lain
 Disfungsi larings
 Obstruksi mekanis (misal tumor)
 Emboli Paru
Anak
 Benda asing di saluran napas
 Laringotrakeomalasia
 Pembesaran kelenjar limfe
 Tumor
 Stenosis trakea
 Bronkiolitis

3.6. KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (Tabel 2).3
Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
(sebelum pengobatan)

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang


telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu
sendiri. Tabel 3 menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada
penderita yang sudah dalam pengobatan.

Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang
ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat. Contoh seorang penderita dalam
pengobatan asma persisten sedang dan gambaran klinis sesuai asma persisten
sedang, maka sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah asma persisten
berat. Demikian pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan
asma persisten berat dan asma intemiten (lihat tabel 3).3

Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten berat maka


jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian
berat asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat.
Demikian pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat
pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.3

Tabel 3. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

3.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Spirometri digunakan untuk membantu diagnosis asma. Forced expiratory
volume detik pertama (FEV1) yang meningkat lebih dari 12% setelah pemberian
bronkodilator mendukung diagnosis asma. Akan tetapi, hasil pemeriksaan ini
dapat saja normal pada individu dengan riwayat asma ringan yang tidak sedang
mengalami serangan. Sebaiknya pemeriksaan spirometri dilakukan setiap satu
atau dua tahun untuk memastikan seberapa baik pengontrolan asma dengan terapi.
Peak expiratory flow (PEF) juga dapat membantu diagnosis dan memonitor
pasien asma. Peningkatan lebih dari 20% setelah pemberian bronkodilator
mendukung diagnosis asma. Pengukuran PEF memungkinkan penderita untuk
memonitor kondisi asma dari hari ke hari. Selain berdasarkan gejala, pemeriksaan
spirometri, dan PEF, skin test terhadap alergen dapat menyokong diagnosis asma
jika didapati IgE spesifik pada serum penderita.5,6
3.8. PENATALAKSANAAN
Meskipun tidak ada obat untuk menghilangkan penyakit asma, terdapat
langkah terapi untuk meredakan gejalanya. Untuk itu, harus ada suatu rancangan
penanganan khusus yang bisa disesuaikan untuk memonitor dan mengelola gejala
asma. Rancangan ini harus meliputi:

 Pengembangan kemitraan antara pasien dan dokter,


 Identifikasi dan minimalisasi pajanan terhadap alergen
 Pengkajian, pengobatan, dan pemantauan untuk mengetahui tingkat
keparahan gejala dan penggunaan obat-obatan,
 Pemantauan progresivitas penyakit asma.

Cara pengobatan asma yang paling efektif adalah menemukan pemicunya, Jika
menjauhi pemicu masih belum cukup, baru pasien disarankan untuk
menggunakan obat. Obat-obatan yang dapat dipilih untuk mengurangi gejala
tertera dalam Tabel 1. Bagi penderita asma persisten berat yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi farmakologis, kini telah ada terapi terbaru bronchial
thermoplasty yang dapat menjadi pilihan.5,6

Tabel 4. Golongan Obat Antiasma5,6

PENATALAKSANAAN ASMA

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan


mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma


dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma


adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang
menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik.
Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang
dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga
terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan program
penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan


bahasa yang mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan “7 langkah mengatasi
asma”, yaitu :
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri dengan teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga

BRONCHIAL THERMOPLASTY SEBAGAI TERAPI PADA ASMA

Penyakit asma memberi dampak yang luas terhadap aktivitas,


produktivitas, dan kondisi sosial penderitanya yang akan meningkatkan beban
pembiayaan kesehatan dan beban ekonomi masyarakat. Mereka akan mengalami
kehilangan hari kerja atau hari sekolah serta mengalami gangguan aktivitas sosial
lainnya. Selain terapi farmakologis, saat ini sedang berkembang terapi terbaru
untuk pengobatan asma dengan cara mengirim energi panas melalui gelombang
radio dengan alat bronkoskop ke beberapa tempat dalam saluran udara penderita
asma. Bronchial thermoplasty merupakan terapi nonfarmakologis pertama yang
efektif mengobati asma berat dan terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup
penderita asma. Perlu dicatat bahwa prosedur bronchial thermoplasty dirancang
untuk mengurangi gejala asma, bukan untuk menghilangkan penyakit asma.5,6

Bronchial thermoplasty ialah salah satu prosedur baru untuk terapi


nonfarmakologis asma. Pada pasien asma kronik, ukuran otot polos bertambah
akibat inflamasi berkepanjangan. Bronchial thermoplasty adalah prosedur invasif
minimal yang memanfaatkan hantaran panas melalui gelombang radio untuk
menyusutkan ukuran otot polos saluran napas sehingga menghindarkan
bronkokonstriksi. Sebelum prosedur, pasien diberi anestesi ringan terlebih dahulu.
Teknik ini menggunakan bronkoskopi fiberoptik dalam tiga prosedur yang
masing-masing berlangsung selama kurang-lebih satu jam (Gambar 4 dan Gambar
5). Setelahnya, pasien dapat pulang ke rumah pada hari yang sama.5,6

Gambar 4. Situs Kerja Prosedur Bronchial Thermoplasty


(sumber: http://www.txpulmonary.com)
Gambar 5. Prosedur Bronchial Thermoplasty pada Saluran Napas
(sumber: http://www.bostonscientific.com)

Bronchial thermoplasty hanya boleh dilakukan oleh dokter internis


subspesialis pulmonologi yang telah mendapat pelatihan khusus. Setelah prosedur
dilakukan, pasien akan dikembalikan ke dokter yang merujuk untuk mengatur
pengobatan asma pasien. Dalam studi terandomisasi yang dilakukan pada pasien
asma yang mendapat prosedur bronchial thermoplasty, didapatkan hasil yang
signifikan. Sebanyak 32% pasien mengalami penurunan serangan asma, terjadi
penurunan sebesar 84% untuk kunjungan pasien ke unit gawat darurat karena
gangguan pernapasan, terdapat penurunan 66% waktu yang hilang dari tempat
kerja atau sekolah, serta penurunan sebesar 73% untuk perawatan inap dengan
gangguan pernapasan.5,6

Penelitian Thomson dkk.18 pada 2011 tidak menemukan kejadian


pneumotoraks, intubasi, ventilasi mekanik, aritmia, maupun kematian dalam
kurun lima tahun setelah prosedur bronchial thermoplasty. Efek samping terkait
sistem respirasi yang dilaporkan kelompok intervensi dan nonintervensi dengan
bronchial thermoplasty tidak menunjukkan perbedaan signifikan (84% versus
75% pada tahun pertama, 53% versus 54% pada tahun kedua). Meski merupakan
metode pengobatan terbaik untuk asma saat ini, bronchial thermoplasty tidak
begitu saja dapat diterapkan pada semua pasien.5,6
Indikasi
 Asma persisten berat yang biasa mendapat terapi kortkosteroid atau LABA
 Usia 18 tahun dengan asma berat

Kontraindikasi
 Penggunaan alat pacu jantung atau internal defibrillator
 Riwayat alergi lidokain, atropin, atau benzodiazepin
 Sudah pernah menjalani bronchial thermoplasty sebelumnya

Data dari uji klinis menunjukkan bahwa pasien yang mendapat pengobatan
bronchial thermoplasty akan mengalami peningkatan kualitas hidup dan
pengurangan tingkat eksaserbasi parah, kunjungan gawat darurat, dan gangguan
aktivitas sosial. Bronchial thermoplasty ialah salah satu pilihan yang terbaik dalam
pengobatan asma pada pasien dewasa yang tidak dapat dikontrol dengan obat.5,6

EFEKTIVITAS DAN KEAMANAN BRONCHIAL THERMOPLASTY

American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine edisi Mei


2006 melaporkanhasil uji klinik bronchial thermoplasty. Penelitiandilakukan pada
enam belas orangdewasa dengan asma ringan sampai sedangyang tidak berespons
terhadap pengobatanasma. Dua tahun setelah perawatan bronchial thermoplasty,
75 persen pasienmelaporkan bahwa terapi ini memungkinkanmereka berfungsi
lebih baik dalam kegiatansehari-hari. Pasien juga melaporkanadanya peningkatan
hari bebas gejala. Efek samping yang dijumpai minimal. Hampir semua pasien
mengatakan bahwa mereka akan bersedia menjalani perawatan asma untuk kedua
kalinya.19

Penelitian Castro dkk.20 (2010) memperlihatkan perbaikan kualitas hidup


yang signifikan pada 297 pasien dewasa dengan asma berat di 30 klinik
internasional. Perbaikan kualitas hidup diukur dengan Kuesioner Kualitas Hidup
Asma (AQLQ) selama satu tahun pengobatan. Penelitian TheAsthma Intervention
Research 2 (AIR2) Trial yang berupa randomized controlled trial ini
membandingkan pasien yang menerima bronchial thermoplasty dengan pasien
yang menerima prosedur palsu. Penelitian ini juga membandingkan keamanan
prosedur bronchial thermoplasty dengan prosedur palsu. Ditemukan beberapa
perburukan gejala asma setelah bronchial thermoplasty, namun efek tersebut tidak
lebih buruk dari efek samping bronkoskopi biasa pada penderita asma. Sebagian
besar terjadi dalam waktu satu hari setelah prosedur dan membaik dalam satu
minggu dengan pengobatan asma standar. Berdasarkan tindak lanjut jangka
panjang, hanya sedikit pasien yang melaporkan adanya efek samping. Secara
umum bronchial thermoplasty mengurangi berat eksaserbasi dan mengurangi
kunjungan ke gawat darurat karena gangguan pernapasan serta meningkatkan
kualitas hidup pasien asma berat.19

PROSEDUR BRONCHIAL THERMOPLASTY

Prosedur bronchial thermoplasty hanya membutuhkan anestesi ringan


sehingga dapat dilakukan secara rawat jalan. Lama terapi ini hanya 30 menit.
Sebuah bronkoskop fleksibel dimasukkan melalui hidung atau mulut dan
dibimbing masuk ke dalam paru-paru. Setelah bronkoskop mencapai lokasi yang
diinginkan, kateter dimasukkan melalui bronkoskop tersebut. Ujung kateter
mengembang sampai menyentuh sisi-sisi dinding saluran napas. Energi frekuensi
radio kemudian dikirim melalui kateter sehingga terjadi pemanasan dinding otot
polos jalan napas dengan suhu sekitar 149°C. Suhu ini cukup untuk menipiskan
otot-otot halus di dinding saluran napas tanpa merusak atau menimbulkan jaringan
parut. Selama serangan asma, otot-otot halus dinding saluran napas berkontraksi
sehingga mempersempit jalan napas. Karena bronchialthermoplasty menipiskan
dinding otot, kontraksinya tidak mempersempit saluran napas sebanyak sebelum
tindakan, sehingga gejala asma berkurang.19

KOMBINASI TERAPI KONVENSIONAL DAN BRONCHIAL


THERMOPLASTY

Terapi ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) pada
bulan April 2010 sehingga sudah dapat diaplikasikan. Meskipun begitu,
pengobatan asma harus tetap mengacu pada pelayanan kesehatan asma, yaitu
membangun kerjasama dokter pasien, mengidentifikasi dan mengurangi faktor
risiko, menilai, mengobati serta mengawasi asma, dan menangani eksaserbasi
asma. Upaya pertama penanganan penderita asma berat adalah tetap
mengoptimalkan manajemen medis sesuai pedoman yang sudah ada, termasuk
penekanan pada edukasi dan kepatuhan pengobatan pasien. Bronchial thermoplasty
merupakan pilihan terapi tambahan, selain penggunaan inhalasi corticosteroid dan
beta agonis kerja lama, untuk meningkatkan kontrol asma secara menyeluruh.19

PERANAN ANTIBODI ANTI-IGE DALAM PENGOBATAN ASMA ATOPI

Pengobatan asma memiliki empat komponen, yaitu hubungan baik antara


pasien dan dokter, identifikasi serta mengurangi risiko terpapar alergen,
menegakkan diagonis serta memberikan terapi yang tepat, dan mencegah
bangkitan asma. Terapi berdasarkan GINA tahun 2013 mengikuti 5 langkah terapi
(Tabel 5).2

Tabel 5. Langkah-langkah dalam manajemen asma

Antibodi anti-IgE merupakan jenis terapi tipe controller asma, diberikan


pada langkah ke-5 sebagai terapi tambahan di samping kortikosteroid oral.
Penggunaan kortikosteroid oral menyebabkan efek samping cukup banyak seperti
depresi, psikosis, gangguan mood, hipertensi, penipisan kulit, serta meningkatkan
risiko infeksi. Oleh sebab itu, penggunaan antibodi anti-IgE dapat
dipertimbangkan pada kondisi ini dengan memperhatikan efek samping serta cost-
effectiveness-nya. Antibodi anti-IgE akan berikatan dengan IgE, sehingga tidak
menimbulkan gejala asma. Salah satu contoh antibodi anti-IgE yang saat ini sering
digunakan adalah omalizumab. Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE
monoklonal manusia. Omalizumab akan menginhibisi ekspresi reseptor FcεRI
pada sel dendritik, mengubah proses presentasi alergen, serta jumlah eosinofil,
sehingga dapat memperbaiki gejala klinis asma atopi seperti Gambar 6.2

Gambar 6. Mekanisme kerja anti IgE antibodi dalam


pengobatan asma atopi

Sebuah studi juga menilai reversibilitas down regulation ekspresi reseptor


dan mendapatkanomalizumab dapat menurunkan kadar serumIgE. Studi lain
melaporkan bahwa omalizumabakan melakukan down regulation padareseptor
FceRI sel dendritik. Efek gabungan daripengurangan kadar IgE dan down
regulation ekspresi reseptor dapat menghambat prosesinflamasi yang diperantarai
IgE. Pemberianomalizumab juga dapat memperbaiki nilai Forced Expiratory
Volume in 1s (FEV1) setelahpemberian alergen baik saat awal maupunkemudian.
Efek lain berupa penguranganjumlah IgE, reseptor FcεRI, jaringan epitel,serta
submukosa dari saluran napas padapasien asma.2

FARMAKOKINETIK, DOSIS, SERTA SEDIAANANTIBODI ANTI-IGE:


OMALIZUMAB

Sediaan inhalasi memiliki onset kerja cepat (kadar maksimum dalam 13


menit) dibandingkan sediaan oral (1,8 jam). Efek sistemik pemberian secara
inhalasi lebih kecil dibandingkan dengan pemberian per oral. Parameter lain pada
pemberian inhalasi adalah absorpsi sistemik yang lambat ± 62%, dengan ekskresi
melalui sistem sistemik, yaitu sistem bilier dan hepatik dengan waktu paruh
mencapai 26 hari.21,22 Dosis omalizumab untuk dewasa dan anak berusia ≥12
tahun adalah 150 – 375 mg subkutan setiap 2 – 4 minggu sebanyak 3 dosis, atau
dosis tunggal 300 mg subkutan (terbagi dalam 2 tempat injeksi), atau dosis
tunggal 600 mg subkutan (terbagi dalam 4 tempat injeksi). Tidak disarankan
menyuntikkan lebih dari 150 mg di setiap tempat injeksi. Dosis maksimum 600
mg subkutan setiap 2 minggu. Efektivitas terapi terlihat pada minggu ke-12
hingga minggu ke-16. Dosis pemberian disesuaikan dengan berat badan dan kadar
antibodi IgE.21,22 Omalizumab bermanfaat pada pasien asma dengan kadar IgE
antibodi tinggi. Pemeriksaan antibodi IgE dianjurkan sebelum pemberian
omalizumab, hanya dilakukan saat awal terapi. Kadar antibodi IgE plasma tetap
tinggi hingga setahun setelah penghentian terapi, oleh karena itu penyesuaian
dosis omalizumab tidak didasarkan pada pemeriksaan kadar antibodi IgE.21-23

EFEK SAMPING

Efek samping di tempat injeksi relatif sering; efek samping serius yang
pernah terjadi adalah syok anafilaktik. Studi kohort 5 tahun yang berjudul
Evaluating the ClinicalEffectiveness and Long-Term Safety in Patientswith
Moderateto Severe Asthma (EXCELS) melaporkan peningkatan kejadian penyakit
jantung, aritmia, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi pulmonal, gangguan
serebrovaskuler embolik, trombotik, dan tromboflebitis pada kelompok pasien
yang diterapi dengan omalizumab dibandingkan dengan kelompok kontrol.23,24

APLIKASI KLINIS PENGGUNAAN ANTIBODI ANTI-IGE PADA


PENATALAKSANAAN ASMA

Antibodi anti-IgE diberikan sebagai tambahan terapi standar pasien asma


rawat jalan dengan kadar antibodi IgE > 30 IU/mL. Dosis antibodi anti-IgE
disesuaikan dengan berat badan pasien. Penggunaan antibodi anti-IgE hanya saat
serangan asma tidak dapat terkontrol dengan inhalasi kortikosteroid, mengingat
efek sampingnya yaitu nyeri, kemerahan di tempat injeksi (reaksi alergi lokal),
hingga syok anafilaktik. Suatu studi penggunaan omalizumab pada 3.429 pasien
menunjukkan penurunan risiko eksaserbasi asma (RR=0,57; 95%CI 0,48 s/d 0,66;
p=0,0001).23,24

Tabel 6. Aturan pemakaian omalizumab dalam mg setiap 4 minggu


EDUKASI

Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga


penderita agar tetap masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya pengobatan
karena berkurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke
unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit. Edukasi tidak hanya ditujukan untuk
penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain yang membutuhkan seperti :
 Pemegang keputusan, pembuat perencanaan bidang kesehatan/ asma
 Profesi kesehatan (dokter, perawat, petugas farmasi, mahasiswa kedokteran
dan petugas kesehatan lain)
 Masyarakat luas (guru, karyawan, dll).

Edukasi penderita dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam


penatalaksanaan asma
Edukasi kepada penderita/ keluarga bertujuan untuk:
 Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
 Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)
 Meningkatkan kepuasan
 Meningkatkan rasa percaya diri
 Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri.

Dengan kata lain, tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu penderita
agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma. Komunikasi yang
jelas antara dokter dan penderita dalam memenuhi kebutuhan informasi yang
diperlukan dalam penatalaksanaan, adalah kunci peningkatan
compliance/kepatuhan penderita dalam melakukan penatalaksanaan tersebut
(bukti B). Edukasi penderita sebagai mitra dalam pengelolaan asma mandiri,
dengan memberikan penderita kemampuan untuk mengontrol asma melalui
monitor dan menilai keadaan asma serta melakukan penanganan mandiri dengan
arahan dokter, terbukti menurunkan morbiditi (bukti B). Untuk memudahkan hal
tersebut digunakan alat bantu peak flow meter dan kartu catatan harian.3

Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara perorangan


maupun berkelompok dengan berbagai metode. Pada prinsipnya edukasi diberikan
pada :

 Kunjungan awal (I)


 Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari kunjungan pertama
 Kunjungan berikut (III)
 Kunjungan-kunjungan berikutnya

Edukasi sebaiknya diberikan dalam waktu khusus di ruang tertentu,


dengan alat peraga yang lengkap seperti gambar pohon bronkus, phantom rongga
toraks dengan saluran napas dan paru, gambar potongan melintang saluran napas,
contoh obat inhalasi dan sebagainya. Hal yang demikian mungkin diberikan di
klinik konseling asma. Edukasi sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama
baik di gawat darurat, klinik, klub asma; dengan bahan edukasi terutama
mengenai cara dan waktu penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali
efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma.3

Bentuk pemberian edukasi :


 Komunikasi/nasehat saat berobat.
 Ceramah
 Latihan/ training
 Supervisi
 Diskusi
 Tukar menukar informasi (sharing of information group)
 Film/video presentasi
 Leaflet, brosur, buku bacaan
 Dll
Bagaimana meningkatkan kepatuhan penderita
Tidak dapat dipastikan bahwa penderita melakukan semua yang
disarankan bila penderita tidak menyetujuinya atau bila hanya dijelaskan satu kali/
belum memahami. Kepatuhan dapat ditingkatkan jika penderita :

 Menerima diagnosis asma


 Percaya bahwa asmanya dapat bermasalah/ berbahaya
 Percaya bahwa ia berisiko untuk mendapatkan bahaya tsb
 Merasakan ia dalam pengawasan/ kontrol
 Percaya bahwa ia dalam pengobatan yang aman
 Terjadi komunikasi yang baik antara dokter-penderita

Tabel 7. Waktu dan bahan edukasi, saat kunjungan berobat


Tabel 8. Faktor ketidakpatuhan

Kepatuhan dapat ditingkatkan jika penderita :


 Menerima diagnosis asma
 Percaya bahwa asmanya dapat bermasalah/ berbahaya
 Percaya bahwa ia berisiko untuk mendapatkan bahaya tsb
 Merasakan ia dalam pengawasan/ kontrol
 Percaya bahwa ia dalam pengobatan yang aman
 Terjadi komunikasi yang baik antara dokter-penderita

Upaya meningkatkan kepatuhan penderita :


1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan penderita untuk setiap tindakan/
penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan tersebut dan
manfaat yang dapat dirasakan penderita.
2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang
diberikan dan bagaimana penderita melakukannya. Bila mungkin kaitkan
dengan perbaikan yang dialami penderita (gejala & faal paru)
3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan penderita
4. Membantu penderita/ keluarga dalam menggunakan obat asma
5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan penderita,
sehingga penderita merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkrit
6. Menanyakan kembali tentang rencana penanganan yang disetujui bersama dan
yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan
7. Mengajak keterlibatan keluarga
8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status
sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma.3

PENILAIAN DAN PEMANTAUAN SECARA BERKALA

Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh


penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal tersebut
disebabkan berbagai faktor antara lain :

 Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan terapi


 Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada
asmanya
 Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview, sehingga
membantu penanganan asma terutama asma mandiri.

Frekuensi kunjungan bergantung kepada berat penyakit dan kesanggupan


penderita dalam memonitor asmanya. Umumnya tindak lanjut (follow-up)
pertama dilakukan < 1 bulan ( 1-2 minggu) setelah kunjungan awal. Pada setiap
kunjungan layak ditanyakan kepada penderita; apakah keadaan asmanya
membaik atau memburuk dibandingkan kunjungan terakhir.3
IDENTIFIKASI DAN MENGENDALIKAN FAKTOR PENCETUS

Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi


sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga
identifikasi faktor pencetus layak dilakukan dengan berbagai pertanyaan
mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan. Pada tabel 10 dapat
dilihat daftar pertanyaan untuk mengetahui faktor pencetus.3

Tabel 9. Daftar pertanyaan untuk identifikasi faktor pencetus


3.9. DIAGNOSIS ASTHMA BRONCIALE PADA ANAK
Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap
merupakan masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti
asma. Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini
diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma. Selain
karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri dari bayi , anak,
dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan implikasi
khusus pada penatalaksanaannya. Pengetahuan dasar tentang masalah sensitisasi
alergi dan inflamasi khususnya, telah banyak mengubah sikap kita terhadap
pengobatan asma anak, terutama tentang peran anti-inflamasi sebagai salah satu
dasar pengobatan asma anak. Oleh karena itu pengertian yang lebih baik tentang
peran faktor genetik, sensitisasi dini oleh alergen dan polutan, infeksi virus, serta
masalah lingkungan sosioekonomi dan psikologi anak dengan asma diharapkan
dapat membawa perbaikan dalam penatalaksanaan asma.

Masalah penting pada morbiditas asma adalah kemampuan untuk


menegakkan diagnosis, dan seperti telah kita ketahui bahwa diagnosis asma pada
anak tidak selalu mudah untuk ditegakkan. Beberapa kriteria diagnosis untuk itu
selalu mempunyai berbagai kelemahan, tetapi umumnya disepakati bahwa hiper
reaktivitas bronkus tetap merupakan bukti objektif yang perlu untuk diagnosis
asma, termasuk untuk asma pada anak. Gejala klinis utama asma anak pada
umumnya adalah mengi berulang dan sesak napas, tetapi pada anak tidak jarang
batuk kronik dapat merupakan satu-satunya gejala klinis yang ditemukan.
Biasanya batuk kronik itu berhubungan dengan infeksi saluran napas atas. Selain
itu harus dipikirkan pula kemungkinan asma pada anak bila terdapat penurunan
toleransi terhadap aktivitas fisik atau gejala batuk malam hari.

Mengi pada bayi


Sebagian besar manifestasi akan muncul sebelum usia 6 tahun dan
kebanyakan gejala awal sudah ditemukan pada masa bayi, berupa mengi berulang
atau tanpa batuk yang berhubungan dengan infeksi virus. Hubungan antara mengi
semasa bayi dengan kejadian asma pada masa kehidupan selanjutnya telah banyak
dibahas, para peneliti umumnya melaporkan bahwa hanya sebagian kecil saja (3-
10%) dari kelompok bayi mengi yang berhubungan dengan infeksi virus tersebut
akan memperlihatkan progresivitas klinis menjadi asma bronkial. Infeksi virus
semasa bayi yang menimbulkan bronkiolitis dengan gejala mengi terutama
disebabkan oleh virus sinsitial respiratori (RSV), virus parainfluenza, dan
adenovirus. Kecenderungan bayi mengi untuk menjadi asma sangat ditentukan
oleh faktor genetic atopi. Sebagian besar bayi tersebut jelas mempunyai riwayat
keluarga atopi serta menunjukkan positivitas lgE anti-RSV serum, dibandingkan
dengan bayi mengi yang tidak menjadi asma.

Kemampuan bayi untuk membentuk lgE anti RSV ini diyakini sebagai
status sensitisasi terhadap allergen secara umum. Jadi bayi mengi dengan ibu atopi
yang mengandung lgE anti-RSV tersebut sudah dalam keadaan tersensitisasi, dan
hal ini merupakan faktor risiko terjadinya asma. Sejalan dengan hal itu maka
banyak peneliti telah melaporkan positivitas lgE spesifik terhadap berbagai
alergen (susu, kacang, makanan laut, debu rumah, serbuk sari bunga) pada bayi
merupakan faktor risiko dan prediktor untuk terjadinya asma. Para peneliti
tersebut juga menyatakan semakin dini terjadi sensitisasi maka risiko untuk
menjadi asma menetap juga semakin besar. Dengan demikian maka tidak begitu
penting hubungan antara saat timbul mengi pada bayi dengan besarnya risiko
terjadinya asma, karena yang menentukan sebetulnya adalah seberapa dini tejadi
sensitisasi alergen pada bayi mengi tersebut. Penelitian umum bayi mengi
memperlihatkan bahwa kejadian asma akan lebih kerap pada bayi yang mulai
mengi pada usia lebih besar, berbeda dengan perkiraan sebelumnya bahwa
semakin muda timbulnya mengi maka risiko untuk kejadian asma semakin besar.

ATOPI

Sebagian sangat besar asma pada anak mempunyai dasar atopi, dengan
alergen merupakan pencetus utama serangan asma. Diperkirakan bahwa sampai
90% anak pasien asma mempunyai alergi pada saluran napas, terutama terhadap
alergen dalam rumah (indoorallergen) seperti tungau debu rumah, alternaria,
kecoak, dan bulu kucing. Telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagian besar
pasien asma berasal dari keluarga atopi, dan kandungan IgE spesifik pada seorang
bayi dapat menjadi prediktor untuk terjadinya asma kelak di kemudian hari.
Karena itu sangat penting untuk menelusuri dan membuktikan faktor atopi sebagai
pendekatan diagnosis klinis pada anak dengan gejala klinis yang sesuai dengan
asma bronkial. Riwayat atopi dalam keluarga, riwayat penyakit atopi sebelumnya
pada pasien, petanda atopi fisis pada anak, petanda laboratorium untuk alergi, dan
bila diperlukan uji eliminasi dan provokasi, dapat menunjang diagnosis asma pada
anak tersebut.

3.10. PENATALAKSANAAN ASTHMA BRONCIALE PADA ANAK


Pada masa anak terjadi proses tumbuh- kembang fisis, faal, imunologi, dan
perilaku yang memberi peluang sangat besar bagi kita untuk melakukan upaya
pencegahan, kontrol, self-management, dan pengobatan asma. Walaupun
medikamentosa selalu merupakan unsur penting pengobatan asma anak, harus
tetap diingat bahwa hal tersebut hanyalah merupakan salah satu dari berbagai
komponen utama penatalaksanaan asma.

Penatalaksanaan asma yang baik harus disokong oleh pengertian tentang


peran genetik, alergen, polutan, infeksi virus, serta lingkungan sosioekonomi dan
psikologis pasien beserta keluarga. Pendidikan dan penjelasan tentang asma pada
pasien dan keluarga merupakan unsur penting penatalaksanaan asma pada anak.
Perlu penjelasan sederhana tentang proses penyakit, faktor risiko, penghindaran
pencetus, manfaat dan cara kontrol lingkungan, cara mengatasi serangan akut,
pemakaian obat dengan benar, serta hal lain yang semuanya bertujuan untuk
meminimalkan morbiditas fisis dan psikis serta mencegah disabilitas. Bila
ditangani dengan baik maka pasien asma dapat memperoleh kualitas hidup yang
sangat mendekati anak normal, dengan fungsi paru normal pada usia dewasa kelak
walaupun tetap menunjukkan saluran napas yang hiperresponsif.
PENCEGAHAN

Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi


terhadap alergen sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial pada
pasien penyakit atopi yang belum menderita asma, serta pencegahan serangan dan
eksaserbasi asma. Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk
menghindari pajanan alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi
maupun penghindaran pencetus. Para peneliti umumnya menyatakan bahwa
alergen utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah, kecoak, bulu
hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga. Polutan
harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang merokok dalam
rumah. Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi asma
adalah asap kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2.

Penghindaran maksimal harus dilakukan di tempat anak biasa berada,


terutama kamar tidur dan tempat bermain sehari-hari. Untuk Indonesia, walaupun
belum ada data yang menyokong, agaknya kita harus menghindari obat nyamuk
dan asap lampu minyak. Beberapa klinik telah melakukan upaya pencegahan
sensitisasi terhadap fetus dan bayi, antara lain dengan memberikan diet hipo dan
non alergenik serta penghindaran asap rokok. Walaupun secara teoritis pemberian
diet hipoalergenik pada masa trimester ketiga kehamilan sangat menarik, ternyata
bukti klinis penelitian tersebut tidaklah menggembirakan. Tidak terlihat
perbedaan kejadian penyakit alergi pada umur 5 tahun antara kelompok perlakuan
dan kelola. Hasil lebih baik justru akan terlihat pada bayi yang mendapat ASI dari
ibu dengan diet hipoalergenik pada masa laktasi.

Sebaliknya terbukti bahwa ibu perokok akan membahayakan


perkembangan paru bayi baik dilakukan pada masa sebelum maupun setelah
kelahiran, yang berpengaruh terhadap peningkatan risiko terjadinya mengi dan
infeksi virus serta asma kronik anak. Berdasarkan pengetahuan dasar tentang
proses sensitisasi dan allergic march maka upaya pencegahan asma dilakukan
juga dengan mencegah dan menghambat perjalanan alamiah penyakit alergi.
Upaya tersebut antara lain adalah dengan mencegah timbulnya suatu penyakit
alergi (asma) pada anak yang telah tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter
ETAC (early treatment of the atopic child) telah menunjukkan manfaat setirizin
untuk menghambat timbulnya asma pada anak kecil penderita dermatitis atopi
yang sudah tersensitisasi terhadap alergen tertentu tetapi belum menderita asma.
Untuk anak yang sudah menderita asma dilakukan pengobatan pencegahan dan
kontrol asma yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan, atau menurunkan
kekerapan serta derajat serangan asma, dengan pemberian sodium kromolin,
ketotifen, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta kortikosteroid. Sodium
kromolin sulit diaplikasi pada anak kecil, sedangkan inhibitor serta antagonis
leukotrien baru dianjurkan untuk anak besar (>12 tahun) saja. Ketotifen sejauh ini
memberikan efek profilaksis terutama untuk asma ringan.

Berbagai jenis antihistamin generasi baru mungkin dapat bermanfaat pula


sebagai pencegah asma tetapi uji klinis yang memadai untuk itu belum ada.
Sejauh ini kortikosteroid merupakan antiinflamasi terpilih yang paling efektif
untuk pencegahan asma. Pemberian kortikosteroid inhalasi dapat mengontrol
asma kronik dengan baik, walaupun pada anak kecil relatif lebih sulit dilakukan
sehingga membutuhkan alat bantu inhalasi.

PENGOBATAN ASMA

Pengobatan asma pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan dan


menjaga status aktivitas anak normal dan faal paru normal, mencegah timbulnya
asma kronik, serta mencegah pengaruh buruk tindakan pengobatan. Secara umum
obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu obat pelega (relievers) dan
obat pengontrol (controllers). Obat pelega asma bertujuan untuk melegakan
saluran napas dan menghilangkan serangan serta eksaserbasi akut dengan
pemberian bronkodilator. Bronkodilator yang banyak dipakai saat ini adalah β2-
agonis, selain xantin dan antikolinergik. Obat pengontrol asma bertujuan menjaga
dan mengontrol asma persisten dengan mencegah kekambuhan. Obat pengontrol
asma yang banyak dipergunakan adalah kortikosteroid, selain anti-inflamasi lain
seperti sodium kromolin, nedokromil, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta
berbagai antihistamin generasi baru.

Obat β2 –agonis bermanfaat untuk dipakai sebagai terapi intermiten asma


episodik, sebagai tambahan terapi intermiten, atau terapi rutin penunjang anti-
inflamasi pada asma relaps berulang atau kronis, sebelum aktifitas fisik untuk
menghambat exercise induced asthma, dan untuk penolong asma akut. Obat ini
tersedia dalam bentuk oral, atau inhalasi yang efektif dilakukan dengan inhaler
dosis terukur, rotohaler, atau nebuliser. Teofilin merupakan preparat metil-xantin
yang pada masanya sangat populer untuk terapi rumatan asma kronik ringan, dan
sebagai penunjang pengobatan asma kronik berat. Walaupun saat ini masih
banyak dipakai, teofilin tidak begitu menarik lagi setelah pengobatan anti-
inflamasi untuk asma lebih terfokus kepada kortikosteroid.

Selama ini efek anti-inflamasi teofilin memang masih sering


dipertanyakan. Selain itu metabolisme teofilin diketahui akan terganggu dalam
keadaan demam oleh penyakit tertentu, seperti influenza, atau oleh obat seperti
eritromisin, simetidin, dan siprofloksasin. Pada anak, teofilin juga diketahui dapat
mempengaruhi prestasi sekolah sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan pada
anak dengan gangguan psikologis atau gangguan belajar. Obat antikolinergik
selain bersifat bronkodilator juga akan mengurangi hipersekresi mukus dan
mengatasi iritabilitas reseptor batuk. Obat ini tersedia dalam bentuk inhalasi dan
nebulasi, terbukti efektif untuk asma akut bila diberikan bersama b2-agonis.
Seperti telah disebutkan maka pengontrol asma merupakan pengobatan yang
efektif untuk pencegahan asma dan dipergunakan untuk semua tingkatan asma.
Kortikosteroid merupakan obat terpilih dan sangat efektif, baik dalam bentuk
parenteral dan oral untuk jangka pendek, maupun bentuk inhalasi yang terutama
dicadangkan untuk pemakaian jangka panjang.

Sejak mula pertama dipergunakan lebih dari 20 tahun lalu terlihat bahwa
kortikosteroid inhalasi jelas memberi efek terapi sangat baik untuk asma ringan,
sedang, dan berat; baik untuk pengobatan jangka pendek maupun jangka panjang.
Sejauh ini tidak ditemukan efek buruk yang berarti bila diberi dengan dosis yang
dianjurkan.25
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, 2017. Available from: www/ginasthma.org.
2. Nugraha IBA, Suryana Ketut. Peranan Antibodi Anti-Imunoglobulin E dalam
Tatalaksana Asma Bronkial. CDK-243. 2016: 43(8).
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
di Indonesia. PDPI Publishers: Jakarta; 2011.
4. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Pocket guide for
asthma managements and prevention (for adults and children older than 5
years). Vancouver: National Institutes of Health; 2014. p.1-114.
5. Tenda ED. Bronchial Thermoplasty sebagai Terapi Asma. Ina J Chest Crit and
Emerg Med. Oct - Dec 2014: 1(4).
6. Fitzgerald M, Baleman ED, Boulet L, Cruz A, Haahlela T, Levy M, et al.
Pocket guide for asthma management and prevention (for adults and children
older than 5 years). Canada: Global Initiative for Asthma; 2012.
7. Gambaran Jumlah Eosinofil Darah Tepi Penderita Asma Bronkial di Bangsal
Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang. Demas Nico M. Manurung, Ellyza Nasrul,
Irvan Medison, Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3).
8. Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA. Murray dan Nadel’s Textbook
of Respiratory Medicine, vol 1, 4th ed. United States of America: Elsevier
Saunders; 2005.
9. Mitchell RN, Kumar V. Penyakit Imunitas. Dalam: Kumar V, Cotran RS,
Robbins SL, editor. Buku Ajar Patologi Robbins, vol 1. Edisi ke-7. Jakarta :
ECG; 2007.
10. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders, vol 1, 4th ed. China: The
McGraw-Hill Companies, Inc; 2008.
11. Ying S, Zhang G, Gu S, Zhao J. How much do we know about atopic asthma:
Where are we now. Cell and Mol Immunol. 2006;3(5): 321-32.
12. Holgate ST, The bronchial epithelial origins of asthma in immunological
mechanisms in asthma and allergic disease. Chem Immunol. 2000;78: 62-71.
13. Eapen SS, Busse WW. Asthma in inflammatory mechanisms in allergic
diseases. In: Zweiman B, Schwartz LB, editors. Philadelphia: Marcel Dekker
Publishers; 2002. p. 325-54.
14. Bateman ED, Jithoo A. Asthma and allergy - a global perspective in allergy.
Eur J Allergy Clin Immunol. 2007;62(3):213-5.
15. Broide D. New perspectives on mechanisms underlying chronic allergic
inflammation and asthma in 2007. J Allergy Clin Immunol. 2008;122(3): 475-
80.
16. Cabana MD, Le TT, Arbor A. Challenges in asthma patient education. J
Allergy Clin Immunol. 2005;115(6):1225-7.
17. Bochner BS, Busse WW. Allergy and asthma. J Allergy Clin Immunol.
2005;115(5):953-9.
18. Thomson NC, Rubin AS, Niven RM, Corris PA, Siersted HC, Olivenstein R,
et al. Long term (5 year) safety of bronchial thermoplasty: asthma intervention
research (AIR) trial. BMC Pulm Med 2011; 11(8):1-9.
19. Almazini P. Bronchial Thermoplast: Pilihan Terapi Baru untuk Asma Berat.
CDK-189. 2012: 39(1).
20. Castro M, Rubin AS, Laviolette M, et. al. Effectiveness and safety of
bronchial thermoplasty in the treatment of severe asthma: a multicenter,
randomized, double-blind, sham-controlled clinical trial. Am J Respir Crit
Care Med. 2010; 181:116-24.
21. Hendeles L, Sorkness CA. Anti-immunoglobulin E therapy with omalizumab
for asthma. Ann Pharmacother. 2007;41: 1397–410.
22. Simons A. Real-life effectiveness of omalizumab in patients with severe
persistent allergic (IgE-mediated) asthma at a single UK hospital. Am J Respir
Crit Care Med.2010; 181:1336.
23. 19. Barnes N, Menzies-Gow A, Mansur AH, Spencer D, Percival F, Radwan
A, et al. Effectiveness of omalizumab in severe allergic asthma: A
retrospective UK real world study. J Asthma 2013;50:529–36. doi:
10.3109/02770903.2013.790419.
24. 20. Grimaldi-Bensouda L, Zureik M, Aubier M, Humbert M, Levy J,
Benichou J, et al. Does omalizumab make a difference to the real-life
treatment of asthma exacerbations? Results from a large cohort of patients
with severe uncontrolled asthma. Chest 2013;143:398–405.
25. Akib AAP. Asma pada Anak. Sari Pediatri, Sep 2002: 4(2)

Anda mungkin juga menyukai