Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

“ EFUSI PLEURA ec Susp TB PARU”

Pembimbing :
Dr. Lusi

Di Susun Oleh :
Dr. RR. Hestin Diah Prasanty

PROGRAM INTERNSHIP
RSUD DR.SOESELO SLAWI
TEGAL
2020

1
BAB I
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. YS
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan :
Status : Menikah
Alamat : Harjawinangun
Tgl. masuk RS : 08 Desember 2020 melalui poli penyakit dalam RSUD dr Soeselo Slawi
No.RM : 643487

SUBJEKTIF
ANAMNESA
1. Keluhan Utama : Sesak napas sejak kurang lebih 1 minggu SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli penyakit dalam penyakit dalam RSUD dr Soeselo Slawi
dengan keluhan sesak nafas mulai dirasakan kurang lebih 1 minggu terakhir, sesak
dirasakan pada dada sebelah kanan, yang dirasakan pasien hampir setiap hari, terus-
menerus, dan terasa memberat jika pasien tiduran dan meringan dengan posisi duduk.
Awal mula pasien hanya mengalami batuk dan selalu demam setiap malam
selama lebih dari seminggu , pasien mengaku batuk tak kunjung membaik sehingga
pasien berobat ke klinik dan tak kunjung sembuh , beberapa kemudian pasien
mengalami sesak dan batuk serta agak terasa nyeri pada bagian dada, kemudian
akhirnya pasien datang ke RSUD Soeselo Slawi setelah seminggu merasa sesak dan
batuk. Pasien juga mengeluh batuk kering yang mulai dirasakan kurang lebih 1
minggu terakhir, pasien juga mengeluh nyeri perut , dan kadang perut terasa perih dan
mual tapi tidak muntah.

2
Pasien mengatakan sering mengalami demam naik turun sampai sekarang saat
masuk ruang rawat inap dan sedikit sesak berat badan merasa turun ± 3-4 kg dan
kurang nafsu makan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


- Merokok disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat minum alkohol disangkal
4. Riwayat Pengobatan :
belum pernah dilakukan pengobatan rutin apapun
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit yang sama.
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit hipertensi, DM, asma.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Cukup
OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum : Tampak sesak
B. Kesadaran : Compos mentis
C. Vital sign :T : 110/90 mmHg
N : 86 x/menit, reguler
R : 24 x/menit.
S : 36C
D. Tinggi Badan : 170 cm
E. Berat Badan : 55 kg
BMI : 19

3
Kepala dan Leher
 Mata : Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
 Hidung : retraksi cuping hidung (-)
 Mulut : tidak ditemukan sianosis (-)
 Lidah : kotor (-), papil lidah hiperemis (-), lidah tremor (-)
 Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax
Pulmo
 Inspeksi/Palpasi : bentuk dada normal, gerakan pernapasan dada kanan sedikit
tertinggal, pernapasan memerlukan bantuan otot bantu pernapasan dari abdomen
vocal fremitus kanan menurun.
 Perkusi : redup basal kanan / sonor
 Auskultasi : suara dasar vesikuler +/ , rhonki + - -/- - -, wheezing -/-

Cor
 Inspeksi : tidak terdapat kelainan bentuk dada, denyut pada apeks jantung atau ictus
cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : batas jantung dbn
 Auskultasi : S1>S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : lapang perut terlihat datar, penggunaan otot abdomen untuk pernafasan,
 Auskultasi : BU (+)
 Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+)
 Perkusi : tympani
Ekstremitas
Superior dan Inferior : Edema (-/-), sianosis (-/-)

4
Diagnosis Kerja
Efusi pleura
dd TB paru

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. DL
2. SGOT
3. SGPT
4. Ureum, creatinin, elektrolit
5. PT,APTT
6. Anti HIV
7. Rontgen thorax

Hasil laboratorium darah lengkap :


A. Laboratorium (08 desember 2020) jam 22.22
Hematologi
Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Leukosit 6.4 3.6-11.0
Eritrosit 4.2 3.80-5.20
Hemoglobin 11.2* 11.7-15.5
Hematokrit 34* 35-47
MCV 79 80-100
MCH 26 26-34
MCHC 33 32-36
Trombosit 411* 150-400
Hitung Jenis leukosit
Eosinofil 3.50 2.00-4.00
Basofil 0.80 0-1
Netrofil 65.00 50-70
Limfosit 23.80* 25-40
Monosit 6.90 2-8

APTT test 53.0* 25.5-42.1


PT test 14.2* 9.3-11.4

5
Elektrolit
Kalium 4.22 3.5-50
Natrium 137 135.0-147.0
Chlorida 107.6* 95.0-105.0
Calcium 17 1.13-1.32

Ureum 8.9* 17.1-42.8


Creatinin 0.53 0.40-1.00
SGOT 12* 13-33
SGPT 5* 6.0-30.0

Sero Imunologi
HIV skrining Non reaktif Non reaktif

Pemeriksaan Radiologi :

Hasil Pemeriksaan X Foto Thorax PA


COR:
 CTR <50%
 Bentuk dan letak jantung normal
PULMO:
 Corakan vaskuler meningkat
 Tampak bercak pada parahiler kanan

Tampak perselubungan homogen pada laterobasal hemitoraks kanan


Diafragma kiri setinggi kosta 9-10 posterior
Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
6
Kesan:
 Jantung tak tampak membesar
 Gambaran bronkopneumonia
 Efusi pleura kanan
PENATALAKSANAAN
 RL 20 tpm
 Inj vicilin 2x1,5mg
 Inj Omeprazole 2x40mg
 Inj ondansentron 2x4mg
 Pamol 3x1 tab

PROGNOSIS
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam

II. HASIL FOLLOW UP


Subjektif Objektif Assessment Planning
08/12/2020 TTV : Terapi lanjut dpjp
Sesak napas,  TD: 110/80 mmHg - Efusi
Batuk kering, mual  S: 37 0C pleura
(-) Muntah (-)  N : 86 x/mnt dd TB paru
batuk darah (-)  Rr: 24 x/mnt
K/L : CA -/-, SI -/-, JVP dbn
Thorax
Cor : S1>S2, reguler
Pulmo :
I/P : tidak simetris kiri dan kanan
P : redup
A : VBS +/ Rh -/-, Wh
-/-Inspirasi kurang

7
Abdomen :
I :bentuk abdomen dbn
A:BU (+),
P:tympani
P: NT (+) region epiastrium

Ekstremitas : dbn

09/12/2020 Sp.P TTV :


Sesak (+) dan  TD: 110/80 mmHg - Efusi
mengeluh batuk  S: 36,2 0C pleura

 N : 84x/mnt
 Rr: 24x/mnt

8
10/12/2020 VS : - Efusi
Sesak sudah  TD: 110/90 mmHg pleura
berkurang  S: 36,6 0C -

 N : 70x/mnt
 Rr: 24x/mnt

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang
melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. 1
Effusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi pleura adalah
suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga
pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan
pleura. 2
Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga pleura ini juga selalu
ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan pleura
parietalis, sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan
dengan mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20
ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl. 1,2
Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara lain darah,
pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi 1,2
a. Hidrotoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini
penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab lain yang
mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebgai salah
satu tias dari syndroma meig (fibroma ovarii, asites dan hidrotorak).

b. Hemotoraks 
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena
trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita, atau trauma tajam
maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb
dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal
ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh

10
permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut
berasal dari trauma dinding dada. Penyebab lainnya hemotoraks adalah: 
 Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke
dalam rongga pleura.
 Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang
kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
 Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura tidak
membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah
jarum atau selang. 
c. Empiema 
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis iniakan
berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada setiap
kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai salah satu
komplikasinya. Empiema bisa merupakan komplikasi dari: 
 Pneumonia 
 Infeksi pada cedera di dada 
 Pembedahan dada 
d. Chylotoraks  

Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah bening


pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain :
 Kongental, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi terdapat
fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
 Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau pukulan
pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek operasi daerah
torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher, operasi
kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi arkus aorta.
 Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke mediastinum,
granuloma mediastinum (tuberkulosis, histoplasmosis).

Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus
torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit trombosis vena

11
subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan duktus torasikus dan menyebabkan
kilotoraks. 1,2

2.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura


Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan parietalis.
Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan
normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim
paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak,
diafragma, dan mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan
dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas
antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru. Dalam hal ini, terdapat
perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis, diantaranya : 1,2,3
1. Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm. Diantara celah-
celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-sel mesothelial ini terdapat endopleura
yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan
kolagen dan serat-serat elastik. Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura
yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a. Brakhialis
serta pembuluh limfe Menempel kuat pada jaringan paru Fungsinya. untuk mengabsorbsi
cairan pleura.
2. Pleura parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis).
Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis dan a.
Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap
rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada
dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Mudah menempel dan lepas dari dinding
dada di atasnya Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura

12
Gambar 1. Tampilan depan paru dan pleuranya

FISIOLOGI

Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis dan
pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru
yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan saling melekat jika ada air.
Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit
dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis
ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Masing-masing dari kedua
pleura merupakan membran serosa mesenkim yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil
transudat cairan intersisial dapat terus menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura.
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada
selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih
besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter
cairan di dalam rongga pleura. (1)

13
Gambar 2 memperlihatkan dinamika pertukaran cairan dalam ruang pleura.

Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya beberapa mililiter
yaitu 1-5 ml. Dalam kepustakaan lain menyebutkan bahwa jumlah cairan pleura sebanyak 12-15
ml(1). Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka
kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara
langsung) dari rongga pleura kedalam mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan
(3)
permukaan lateral pleural parietalis . Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura
parietalis dan pleura visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu
sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas. 1,2,3

2.3 Epidemiologi
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara
industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya.
Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin. Namun,
penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari efusi pleura ganas
terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara signifikan berhubungan dengan keganasan
payudara dan ginekologi. Efusi pleura yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih
sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. 2

14
2.4 Etiologi
Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini memperlihatkan adanya
keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik dalam pembuluh darah pleura
viseral dan parietal dan drainase limfatik luas. Efusi pleura merupakan hasil dari
ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. 2
Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non pulmonary, dapat
bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi pleura sangat luas, efusi pleura
sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif,. pneumonia, keganasan, atau emboli paru.
Mekanisme sebagai berikut memainkan peran dalam pembentukan efusi pleura:
1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan, emboli paru)
2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia, sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah (misalnya, trauma,
keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat hipersensitivitas, uremia, pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau paru-paru
(misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh (misalnya,
atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk obstruksi duktus
toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui limfatik atau
cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten menyebabkan adanaya
akumulasi cairan di pleura

10. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkulosis, pneumonia, virus,

bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura), karena tumor

dan trauma

15
2.5 Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan
kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari
ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah
hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus
mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan eksudat. 1,2,3
1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:
a. Transudat

Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat.
Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan
koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya
oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura

Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:


a. Gagal jantung kiri (terbanyak)
b. Sindrom nefrotik
c. Obstruksi vena cava superior
d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk
melalui saluran getah bening)

b. Exusadat

Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang


permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein
transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah
pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi
pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling

16
sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa
tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran
getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis
tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga
menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:
a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
b. Tumor pada pleura
c. Iinfark paru,
d. Karsinoma bronkogenik
e. Radiasi,
f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).

2.6 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui
kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga
terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat
meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang
(produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura. 1,2,3,4
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan tekanan
osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke
dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya
perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh
sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang
memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di
sekitar sel-sel mesothelial. 1,2,3,4

17
Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses
radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila
proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. 1,2,3,4
penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan cairan
pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling. Keadaan ni dapat terjadi pada gagal
jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena
obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairan
masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi
cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena
untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan
cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi pengembangannya.
Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan
penyakit. Bila cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar
mungkin akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas.
Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤
60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan
analisa gas darah.

2.7 Manifestasi Klinis


Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar. Pneumonia
akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat
mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Pada
kebanyakan penderita umumnya asimptomatis atau memberikan gejala demam, ringan ,dan berat
badan yang menurun seperti pada efusi yang lain. 1,2,3,4,5

18
Dari anamnesa didapatkan :
a. Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat permulaan pleuritis
disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya meningkat,
terutama kalau cairannya penuh
b. Rasa berat pada dada
c. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses
tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah pada karsinoma bronchus atau metastasis
d. Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empiema
Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit)
a. Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal
b. Vokal fremitus menurun
c. Perkusi dull sampal flat
d. Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang
e. Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba pada treakhea

Nyeri dada pada pleuritis :


Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh
bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis
yang inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada
tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain :
1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis
intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.
2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus menyebabkan
nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan yang biasanya dilakukan untuk memperkuat diagnosa efusi pleura antara lain : 4,5,6
1. Rontgen dada
Roentgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Foto dada juga

19
dapat menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang
membesar, adanya masa tumor, adanya lesi tulang yang destruktif pada keganasan, dan
adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru.
2. USG Dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan. Jumlahnya
sedikit dalam rongga pleusa. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun
waktu melakukan aspirasi cairan dalam rongga pleura. Demikian juga dengan
pemeriksaan CT Scan dada.
3. CT Scan Dada
CT scan dada dapat menunjukkan adanya perbedaan densitas cairan dengan
jaringan sekitarnya sehingga sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi
pleura. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor.
Hanya saja pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.
4. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis.
Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang
dimasukkan diantara sel iga ke dalam rongga dada di bawah pengaruh pembiasan lokal
dalam dan berguna sebagai sarana untuk diuagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaan torakosentesis sebaiknya dilakukan pada penderita dengan posisi
duduk. Aspirasi dilakukan toraks, pada bagian bawah paru di sela iga v garis aksilaris
media dengan memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura
sebaiknya tidak melebihi 1000 – 1500 cc pada setiap kali aspirasi. Adalah lebih baik
mengerjakan aspirasi berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat
menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema paru.
Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat.
Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan
intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui
permeabilitas kapiler yang abnormal.
5. Biopsi Pleura

20
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya maka dilakukan
biopsi dimana contoh lapisan pleura sebelah luar untuk dianalisa. Pemeriksaan histologi
satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50 -75% diagnosis
kasus-kasus pleuritis tuberkulosa dan tumor pleura. Bila ternaya hasil biopsi pertama
tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. Pada sekitar 20%
penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi
pleura tetap tidak dapat ditentukan. Komplikasi biopsi antara lain pneumotoraks,
hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.
6. Analisa cairan pleura
Untuk diagnostic cairan pleura, dilakukan pemeriksaan :
a. Warna Cairan
Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan (serous-xantho-ctrorne.
Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma, infark paru, keganasan.
adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan agak purulen, ini
menunjukkan adanya empiema. Bila merah tengguli, ini menunjukkan adanya abses
karena ameba
b. Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Perbedaan Transudat Eksudat
- Kadar protein dalam efusi (g/dl) < 3. > 3.
- Kadar protein dalam efusi < 0,5 > 0,5
Kadar protein dalam serum
- Kadar LDH dalam efusi (I.U) < 200 > 200
- Kadar LDH dalam efusi
Kadar LDH dalam Serum < 0,6 > 0,6
- Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016
- Rivalta negatif Positif

Di. samping pemeriksaan tersebut di atas. secara biokimia diperiksakan juga pada
cairan pleura :

21
- kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi,
artitis reumatoid dan neoplasma
- kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan metastasis
adenokarsinoma.

c. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik penyakit
pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
- Sel neutrofil : Menunjukkan adanya infeksi akut.
- Sel limfosit : Menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa
atau limfoma malignum
- Sel mesotel : Bila jumlahnya meningkat, ini menunjukkan adanya infark
paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
- Sel mesotel maligna : Pada mesotelioma
- Sel-sel besar dengan banyak inti : Pada arthritis rheumatoid
- Sel L.E : Pada lupus eritematosus sistemik
d. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen, (menunjukkan empiema).
Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob ataupun anaerob.
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah : Pneumokok, E.
coli, Kleibsiella, Pseudomonas, Entero-bacter.
Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat
menunjukkan yang positif sampai 20%.
Pemeriksaan Laboratorium terhadap cairan pleura dapat dilihat pada tabel dibawah
ini :

22
Pemeriksaan Laboratorium Terhadap Cairan Pleura
Hitung sel total Hitung diferensial, hitung sel darah merah, sel
jaringan

Protein total Rasio protein cairan pleura terhadap seum > 0,5
menunjukkan suatu eksudat

Laktat dahidrogenase Bila terdapat organisme, menunjukkan empiema


Pewarnaan Gram dan
tahan asam

Biakan Biakan kuman aerob dan anerob, biakan jamur


dan mikobakteria harus ditanam pada lempeng

Glukosa Glukosa yang rendah (< 20 mg/dL) bila gula


darah normal menunjukkan infeksi atau penyakit
reumatoid

Amylase Meningkat pada pankreatitis, robekan esofagus


pH Efusi parapneumonik dengan pH > 7,2 dapat
diharapkan untuk sembuh tanpa drainase kecuali
bila berlokusi. Keadaan dengan pH < 7,0
menunjukkan infeksi yang memerlukan drainase
atau adanya robekan esophagus.

Sitologi Dapat mengidentifikasi neoplasma


Hematokrit Pada cairan efusi yang banyak darahnya, dapat
membantu membedakan hemotoraks dari
torasentesis traumatik
Komplemen Dapat rendah pada lupus eritematosus sistemik
Preparat sel LE Bila positif, mempunyai korelasi yang tinggi
dengan diagnosis lupus aritematosus sistemik

7. Bronkoskopi

23
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang
terkumpul. Bronkoskopi biasanya digunakan pada kasus-kasus neoplasma, korpus
alineum dalam paru, abses paru dan lain-lain

8. Scanning Isotop
Scanning isotop biasanya digunakan pada kasus-kasus dengan emboli paru.
9. Torakoskopi (Fiber-optic pleuroscopy)
Torakoskopi biasnya digunakan pada kasus dengan neoplasma atau tuberculosis
pleura. Caranya yaitu dengan dilakukan insisi pada dinding dada (dengan resiko kecil
terjadinya pneumotoraks). Cairan dikeluarkan dengan memakai penghisap dan udara
dimasukkan supaya bias melihat kedua pleura. Dengan memakai bronkoskop yang
lentur dilakukan beberapa biopsy.

2.9 Diagnosa
1. Anamnesis dan gejala klinis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita membatasi
pergerakan rongga dada dengan bernapas pendek atau tidur miring ke sisi yang sakit.
Selain itu sesak napas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai batuk batuk
dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak napas ini ditentukan oleh jumlah cairan
efusi. Keluhan yang lain adalah sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung selain melebar
dan kurang bergerak pada pernapasan. Fremitus vokal melemah, redup sampai pekak
pada perkusi, dan suara napas lemah atau menghilang. Jantung dan mediastinum
terdorong ke sisi yang sehat. Bila tidak ada pendorongan, sangat mungkin disebabkan
oleh keganasan
3. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam mendiagnosis efusi
pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun dalam menentukan penyebabnya. Secara
radiologis jumlah cairan yang kurang dari 100 ml tidak akan tampak dan baru jelas bila
jumlah cairan di atras 300 ml.

24
Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memperjelas kemungkinan
adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit tampak perselubungan masif dengan
pendorongan jantung dan mediastinum ke sisi yang sehat.
4. Torakosentensi
Tujuan torakosentesis (punksi pleura) di samping sebagai diagnostik juga sebagai
terapeutik.

2.10 Penatalaksanaan
Efusi pleura harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena cairan pleura akan
menekan organ-organ vital dalam rongga dada. Beberapa macam pengobatan atau tindakan yang
dapat dilakukan pada efusi pleura masif adalah sebagai berikut : 1,2,3,4,5,6
1. Obati penyakit yang mendasarinya
a. Hemotoraks
Jika darah memasuki rongga pleura hempotoraks biasanya dikeluarkan
melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk
membantu memecahkan bekuan darah (misalnya streptokinase dan
streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat
dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan
b. Kilotoraks
Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki kerusakan
saluran getah bening. Bisa dilakukan pembedahan atau pemberian obat antikanker
untuk tumor yang menyumbat aliran getah bening.
c. Empiema
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika
nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka
pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus
diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih besar. Kadang perlu dilakukan
pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura (dekortikasi).
d. Pleuritis TB.
Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH,
Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara

25
pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini
menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembalai, tapi untuk menghilangkan
eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan
diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kdang dapat diberikan kortikosteroid
secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu, kemudian dosis
diturunkan). (2)
2. Torakosentesis
keluarkan cairan seperlunya hingga sesak - berkurang (lega); jangan lebih 1-1,5
liter pada setiap kali aspirasi. Zangelbaum dan Pare menganjurkan jangan lebih 1.500 ml
dengan waktu antara 20-30 menit. Torakosentesis ulang dapat dilakukan pada hari
berikutnya. Torakosentesis untuk tujuan diagnosis setiap waktu dapat dikerjakan,
sedangkan untuk tujuan terapeutik pada efusi pleura tuberkulosis dilakukan atas beberapa
indikasi.
a. Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada, perasaan tertekan pada
dada.
b. Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan mendorong dan
menekan jantung dan alat mediastinum lainnya, yang dapat menyebabkan
kematian secara tiba-tiba.
c. Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah melewati masa 3
minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan sudah berubah menjadi pyotoraks.
d. Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati 6 minggu, namun
cairan masih tetap banyak.

26
3. Chest tube
jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik dipasang selang
dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan lambat tapi sempurna. Tidaklah
bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml cairan sekaligus. Selang dapat diklem selama
beberapa jam sebelum 500 ml lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan
menyebabkan distres pada pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru. 2
4. Pleurodesis
Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura sehingga akan mencegah
penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini dipertimbangkan untuk efusi pleura yang
rekuren seperti pada efusi karena keganasan Sebelum dilakukan pleurodeSis cairan
dikeluarkan terlebih dahulu melalui selang dada dan paru dalam keadaan mengembang
Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis yang dimasukkan ke
dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan ini tergantung pada kemampuan untuk
menimbulkan fibrosis dan obliterasi kapiler pleura. Bahan-bahan yang dapat
dipergunakan untuk keperluan pleurodesis ini yaitu : Bleomisin, Adriamisin,
Siklofosfamid, ustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak nitrat, talk, Corynebacterium
parvum dan tetrasiklin Tetrasiklin merupakan salah satu obat yang juga digunakan pada
pleurodesis, harga murah dan mudah didapat dimana-mana. Setelah tidak ada lagi cairan
yang keluar masukkanlah tetrasiklin sebanyak 500 mg yang sudah dilarutkan dalam 20-
30 ml larutan garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti segera dengan
10 ml larutan garam fisiologis untuk pencucian selang dada dan 10 ml lidokain 2% untuk
mengurangi rasa sakit atau dengan memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam sebelum
dilakukan pleurodesis. Kemudian kateter diklem selama 6 jam, ada juga yang melakukan
selama 30 menit dan selama itu posisi penderita diubah-ubah agar tetrasiklin terdistribusi
di seluruh rongga pleura. Bila dalam 24-48 jam cairan tidak keluar lagi selang dada
dicabut. 2
5. Pengobatan pembedahan mungkin diperukan untuk :
a. Hematoraks terutama setelah trauma
b. Empiema
c. Pleurektomi yaitu mengangkat pleura parietalis; tindakan ini jarang dilakukan kecuali
pada efusi pleura yang telah mengalami kegagalan setelah mendapat tindakan WSD,

27
pleurodesis kimiawi, radiasi dan kemoterapi sistemik, penderita dengan prognosis
yang buruk atau pada empiema atau hemotoraks yang tak diobati
d. Ligasi duktus torasikus, atau pleuropritoneal shunting yaitu menghubungkan rongga
pleura dengan rongga peritoneum sehingga cairan pleura mengalir ke rongga
peritoneum. Hal ini dilakukan terutama bila tindakan torakosentesis maupun
pleurodesis tidak memberikan hasil yang memuaskan; misalnya tumor atau trauma
pada kelenjar getah bening. 2

2.11 Komplikasi
1. Infeksi.
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan
infeksi (empiema primer), dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah
tindakan torasentesis {empiema sekunader). Empiema primer dan sekunder harus
didrainase dan diterapi dengan antibiotika untuk mencegah reaksi fibrotik. Antibiotika
awal dipilih gambaran klinik. Pilihan antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan
diketahui. 2
2. Fibrosis
Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi dengan membatasi
pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat menjadi sumber infeksi kronis,
menyebabkan sedikit demam. Dekortikasi-reseksi pleura lewat pembedahan-mungkin
diperlukan untuk membasmi infeksi dan mengembalikan fungsi paru-paru. Dekortikasi
paling baik dilakukan dalam 6 minggu setelah diagnosis empiema ditegakkan, karena
selama jangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi dengan baik (fibrotik)
sehingga pengangkatannya lebih mudah. 1,3,5

2.12 Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari kondisi itu.
Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobantan lebih dini akan lebih jauh terhindar
dari komplikasi daripada pasien yang tidak memedapatkan pengobatan dini.
Efusi ganas menyampaikan prognosis yang sangat buruk, dengan kelangsungan hidup
rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Efusi dari kanker yang

28
lebih responsif terhadap kemoterapi, seperti limfoma atau kanker payudara, lebih mungkin untuk
dihubungkan dengan berkepanjangan kelangsungan hidup, dibandingkan dengan mereka dari
kanker paru-paru atau mesothelioma.
Efusi parapneumonic, ketika diakui dan diobati segera, biasanya dapat di sembuhkan
tanpa gejala sisa yang signifikan. Namun, efusi parapneumonik yang tidak terobati atau tidak
tepat dalam pengobatannya dapat menyebabkan fibrosis konstriktif. 4,5

TUBERKULOSIS

A. Definisi
Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB).
A. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam
keadaan dingin ( dapat tahan bertahun - tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam
keadaan dormant.

Gambar 1. Mikroskopik MTB.

B. Faktor resiko
1. Faktor Sosial Ekonomi.
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan,
lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan

29
TBC. Pendapatan keluarga yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan
memenuhi syarat-syarat kesehatan
2. Status Gizi.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lainlain,
akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap penyakit
termasuk TB Paru.
3. Umur.
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia produktif (15 –
50) tahun dan usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun.

C. Patogenesis
Tuberkulosis Primer
D.Klasifikasi Tuberkulosis
Menurut WHO tahun 1991, kriteria pasien TB paru adalah sebagai berikut: Berdasarkan
hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:
1. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
b. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
d. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
2. Tuberkulosis paru BTA (-) adalah:
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis paru.
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan MTB
positif

30
Berdasarkan tipe pasien:
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien
yaitu:
1. Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
2. Kasus kambuh
Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
3. Kasus defaulted atau drop out
Pasien yang telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat selama 2
bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
4. Kasus gagal pengobatan
Pasien dengan BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
5. Kasus kronik
Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang
dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
6. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi
paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang
menetap.

Berdasarkan gambaran radiologi:


1. Lesi TB aktif dicurigai bila:
 Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan
segmen posterior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.

31
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
2. Lesi TB inaktif dicurigai bila:
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

World Health Organization,1991 membagi TBC dalam 4 kategori terapi :


1. Kategori I, ditujukan terhadap:
 Kasus baru dengan sputum positif
 Kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori II, ditujukan terhadap:
 Kasus kambuh
 Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori III, ditujukan terhadap:
 Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
 Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
4. Kategori IV, ditujukan terhadap:
 Tuberkulosis Paru kronik
 Multi-Drugs Resistant TB 2.
D. GEJALA KLINIS
1. TB PARU
 Demam: Biasanya subfebril yang berlangsung lama biasanya dirasakan malam
hari.
 Batuk atau batuk darah selama ebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah)
 Sesak nafas
 Nyeri dada
 Malaise :Anoreksia ( tidak ada nafsu makan),badan makin kurus, berat badan
turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

32
Pemeriksaan fisik :
 Keadaan Umum : Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam ( subfebris ), badan kurus, berat badan menurun

Pemeriksaan Paru
Perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Akan didapatkan juga
suara nafas tambahan seperti ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi apabila
infiltrat ini ditutupi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler
melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi dapat memberikan
suara hipersonor atau tympani dan auskultasi suara nafas amforik .

Pemeriksaan rontgen thorax:


Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru. Pada awal penyakit saat
lesi masih merupakan sarang – sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa
bercak – bercak seperti awan dan dengan batas – batas yang tidak tegas. Pada
kavitas, bayangannya berupa cincin yang mula – mula berdinding tipis, lama
kelamaan dinding menjadi sklerotik dan tampak menebal. Bila terjadi
fibrosis,akan tampak bayangan yang bergaris – garis. Pada kalsifikasi, tampak
bercak – bercak padat dengan densitas tinggi.
Pemeriksaan Laboratorium
 Darah : Lekosit yang sedikit meninggi, Jumlah limfosit masih dibawah normal.
Laju endap darah mulai meningkat.
 Sputum : Pemeriksaan sputum untuk mengetahui keaktivan BTA

2. TB Ekstrapulmonal
 Pleuritis dengan efusi : rongga pleura terinfeksi kuman TBC. Biasanya efusi
terjadi masif, unilateral, bersifat eksudatif. Gambaran cairan pleura yang khas
adalah konsentrasi protein yang lebih dari 3,0 g/dl.

33
 Tuberkulosis laring : Penyakit granulomatosa yang paling umum dari laring dan
seringkali dihubungkan dengan tuberkulosis paru aktif. Laringitis tuberkulosis
merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis paru.
Patogenesis : Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi
tuberkulosis paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil
tuberkel secara langsung. Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi
melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran
melalui darah atau limfe.
Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis dikategorikan menjadi 2
mekanisme, yaitu:
a. Laringitis Tuberkulosis Primer: Laringitis tuberkulosis primer terjadi jika
ditemukan infeksi Mycobacterium tuberculosa pada laring, tanpa disertai
adanya keterlibatan paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis
primer yang saat ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel
melalui inhalasi.
b. Laringitis Tuberkulosis Sekunder: Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi
jika ditemukan infeksi laring akibat Mycobacterium tuberculosa yang disertai
adanya keterlibatan paru. Laringitis tuberkulosis sekunder merupakan
komplikasi dari lesi tuberkulosis paru aktif. Mekanisme penyebaran infeksi ke
laring dapat berupa penyebaran langsung di sepanjang saluran pernapasan dari
infeksi paru primer berupa sputum yang mengandung kuman maupun
penyebaran melalui sistem darah ataupun limfatik.

Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada TB laring adalah suara serak, terjadi biasanya ringan dan
dapat progresif menjadi disfonia atau afonia. Selain suara serak, keluhan lain
seperti disfagia, odinofagia, nyeri alih otalgia, batuk, dan kadang dapat
menyebabkan sesak nafas.
Pemeriksaan fisik

34
Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi,
sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi
dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak
sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia. Secara klinis
manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu: Stadium Infiltrasi:
Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis pada
bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita suara. Kemudian di daerah
submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik
berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar dan beberapa tuberkel yang
berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena
sangat meregang, maka akan pecah dan terbentuk ulkus
Stadium Ulserasi: Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar.
Ulkus ini dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh
pasien.
Stadium Perikondritis: Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring
terutama kartilago aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan
tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan
terbentuk sekuester. Pada stadium ini pasien sangat buruk dan dapat meninggal
dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut dan msuk dalam
stadium terakhir yaitu fibrotuberkulosis.
Stadium Fibrotuberkulosis: Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada
dinding posterior, pita suara dan subglotik.

35
Gambar1. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi Ulseratif (pada seluruh laring), B.
Lesi Granuloma (pada glotis posterior), C. Lesi Polyploid (pada plika vokalis palsu kanan), D. Lesi
Nonspesifik (pada plika vokalis kanan)

 Tuberkulosis Usus
Klasifikasi:
- Ulseratif
- Hiperttrofik
- Lesi berupa massa

Gejala klinis:
Demam. Penurunan Berat badan,keringat malam,malaise, dengan gejala non-spesifik
eperti diare, dispepsia,dan nyeri perut kronik.

36
Pada pemeriksaan Laboratorium ditemukan peningkatan LED,anemia, hipoalbuminemi.
Dan untuk diagnosa pasti dari Tuberkulosis usus yaitu dengan dilakukanya endoskopi
yang biasanya pada mukosa GIT ditemukan granuloma.

Penatalaksanaan
Tujuan Pengobatan
1. Menyembuhkan penderita
2. Mencegah kekambuhan
3. Menurunkan tingkat penularan
4. Mencegah kematian

Non medikmentosa
 Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara.
 Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-
gorengan, makanan pedas.
 Konsumsi cairan yang banyak.
 Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.

Medikamentosa
a. Aktivitas Obat
- Aktivitas bakterisid :Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh
(metabolismenya masih aktif) sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil
yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).
- Aktivitas sterilisasi: Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang
pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi
diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
b. Jenis dan Dosis OAT
1. Obat primer (obat antituberkulosis tingkat satu)
- Rifampicin (R): Sifatnya bakterisid, dan dapat membunuh kuman semi dormant
yang tidak dapat dibunuh oleh INH.

37
- Isoniazid (H): Sifatnya bakterisid dan dapat membunuh 90% populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif untuk kuman
yang sedang dalam metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.
- Pirazinamid (Z): Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam
sel dengan suasana asam.
- Etambutol (E): Bersifat bakteriostatik
- Streptomisin (S): Bersifat bakterisid.
2. Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua)
- Kanamisin
- PAS (Para Amino Salicyl acid)
- Tiasetazon
- Etionamid
- Sikloserin
- Siprofloksasin
c. Prinsip Pengobatan
WHO pada tahun 1991 telah mengeluarkan pernyataan baru dalam pengobatan
tuberkulosis paru sebagai berikutnya. Pengobatan dibagi dalam 2 tahap, yakni :
1. Tahap intensif (initial phase), dengan memberikan 4-5 macam obat
antituberkulosis per hari dengan tujuan :
- Mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal)
- Menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut
- Mencegah timbulnya resistensi obat, khususnya rifampisin
2. Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat
per-hari atau secara intermitten dengan tujuan : menghilangkan bakteri yang
tersisa (efek sterilisasi) dan mencegah kekambuhan (relaps).
d. Panduan OAT di Indonesia
- Kategori 1 (2RHZE/4R3H3)
Fase intensif (2RHZE) menggunakan 4 macam obat yang diminum setiap hari
selama 2 bulan. Sedangkan fase lanjutan (4R3H3) menggunakan 2 macam obat,
diminum 3 kali seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk :
 Penderita baru TB Paru BTA (+)

38
 Penderita TB Paru BTA (-) Rontgen (+) yang sakit berat
 Penderita TB Ekstra Paru berat
- Kategori 2 (2RHZES/1RHZE/5H3R3E3)
Fase intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan RHZE
ditambah dengan suntikan streptomisin (S) setiap hati di UPK, dan dilanjutkan 1
bulan dengan RHZE setiap hari. Fase lanjutan selama 5 bulan dengan RHE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk :
 Penderita kambuh (relaps)
 Penderita gagal (failure)
 Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
- OAT Sisipan (RHZE)
Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan kategori 1 atau 2, hasil
pemeriksaan dahak masih positif, diberikan obat sisipan (RHZE) setiap hari
selama 1 bulan.

39
40
Operatif
Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan sekuester. Trakeostomi
diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.
Trakeostomi: tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk bernafas.
Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi yaitu jika terjadi
obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.

41
E. Komplikasi
Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, Laringitis, usus

Komplikasi lanjut:
 Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah)
 Obstruksi jalan nafas sehingga dapat menyebabkan kematian.
 Fibrosis pada paru
 Pneumotoraks spontan karena kerusakan jaringan paru
 Kor pulmonale
Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat terjadi inflamasi yang
progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor
baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada laringitis tuberkulosis dapat terjadi
sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior, stenosis subglotis, paralisis plika vokalis, dan
persisten disfonia

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran, edisi III, buku I, Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 2001
2. Sudoyo, DR.dr. Aru W, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2009.
3. Alsagaf, Hood. Dasar-Dasar Penyakit Paru. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair, Surabaya
: 2010
4. HANLEY, M. E. & WELSH, C. H. 2003. Current diagnosis & treatment in pulmonary
medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies.
5. Rosenbluth DB. 2002. Pleural effusion: Nonmalignant and malignant. In: Fishman’s of
pulmonary disease and disorders. Editors: Fishman AP, Elias JA, et al. 3 rd. Ed. McGraw-Hill
Companies, 487-506.
6. Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar Lampung.
7. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
8. Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, Jilid II, edisi ke-
3, Gaya Baru.Jakarta.2001; 927-38
9. HANLEY, M. E. & WELSH, C. H. 2003. Current diagnosis & treatment in pulmonary
medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies.
10. Rofiq ahmad. 2001. Thorax. http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview
diakses tanggal 8 Mei 2013
11. Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI
12. Halim, Hadi. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI
13. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.

43

Anda mungkin juga menyukai