Anda di halaman 1dari 38

Referat

DENGUE SHOCK SYNDROME

Oleh:
Aprilianti Cahyani Bato Tampak, S.Ked
04054822022112

Pembimbing:
dr. Harun Hudari, Sp.PD, K-PTI

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

DENGUE SHOCK SYNDROME

Oleh:
Aprilianti Cahyani Bato Tampak, S.Ked
04054822022112

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Periode 24 Februari – 4 Mei 2020

Palembang, Maret 2020

dr. Harun Hudari, Sp.PD, K-PTI

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat dengan
judul “Dengue shock syndrome” untuk memenuhi tugas laporan Referat yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya
dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Harun Hudari, Sp.PD, K-
PTI selaku pembimbing referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
laporan referat ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Maret 2020


Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang


disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk, yang ditandai dengan
demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu,
gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura,
echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hepatomegali,
trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan.1,2
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya
aegipty (Aedes aegipty) dan Stegomiya albopictus (Aedes albopictus) yang
termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yatu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Transmisi virus tergantung dari
faktor biotik dan abiotik. Termasuk dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor
nyamuk, dan pejamu manusia, sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan,
kelembaban, dan curah hujan.1 Nyamuk dewasa lebih sering menggigit pada pagi
hari. Setelah menggigit manusia yang terinfeksi, virus dengue memasuki nyamuk
betina dewasa. Virus pertama kali bereplikasi dalam midgut kemudian bereplikasi
dalam kelenjar saliva nyamuk yang lamanya kurang lebih 8-12 hari, periode ini
disebut periode ekstrinsik. Nyamuk yang mengandung virus tersebut kemudian
menggigit manusia lain dan bereplikasi dalam tubuh manusia dengan masa
inkubasi 4-7 hari (3-14 hari) yang disebut periode intrinsik.2,3
Infeksi sekunder dengan serotipe virus Dengue yang berbeda dari
sebelumnya merupakan faktor resiko terjadinya manifestasi Deman Berdarah
Dengue yang berat atau Dengue Shock Syndrome (DSS). Namun sampai saat ini
mekanisme respons imun pada infeksi oleh virus dengue masih belum jelas,
banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue
antara lain faktor host, lingkugan (environment) dan faktor virusnya sendiri.3
Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan
(environment) yaitu kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah

4
hujan, angin, kelembaban, musim); Kondisi demografi (kepadatan, mobilitas,
perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Jenis nyamuk sebagai vektor
penular penyakit juga ikut berpengaruh.1
Berdasarkan data WHO, Asia Pasifik menanggung 75% dari beban dengue
di dunia antara tahun 2004 – 2010, sementara Indonesia dilaporkan sebagai negara
ke -2 dengan kasus DBD terbesar diantara 30 negara wilayah endemis. Selain itu,
berdasarkan data dari kemenkes tahun 2017 tercatat sebanyak 68.407 kasus
demam berdarah dengue dengan angka kematian pada tahun tersebut adalah 493
kematian. Angka insidensi demam berdarah dengue pada tahun 2017 yaitu 26,12
per 100.000 penduduk.4
Kasus demam berdarah di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan
meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara
sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. Meningkatnya jumlah kasus serta
bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana
transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat
terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di
seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi
sepanjang tahun.1,4
Oleh karena Indonesia merupakan negara tropis dan endemis demam
berdarah dan masih tingginya angka penyebaran demam berdarah seingga
pendeteksian dan penanganan yang cepat dan tepat terhadap kasus demam
berdarah sangatlah penting. Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya
komplikasi serius yaitu dengue shock syndrome (DSS). Prognosis akan menjadi
buruk bila telah terjadi komplikasi serius tersebut. Untuk itu, penulis tertarik
untuk membahas tentang demam berdarah dengue serta komplikasinya yaitu
dengue shock syndrome (DSS).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Demam Dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis seperti nyeri kepala, nyeri retro-
orbital, mialgia/ artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau uji
bendung rumple leed positif), leukopenia. Selain itu pada pemeriksaan serologi
dengue positif atau ditemukan pasien DD/ DBD yang sudah dikonfirmasi pada
lokasi dan waktu yang sama.5
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan infeksi dengue yang
diagnosanya ditegakkan jika ada 2 kriteria klinis ditambah dengan 2 kriteria
laboratoris. Kriteria klinisnya adalah demam tinggi mendadak, terus-menerus 2-7
hari, manifestasi perdarahan (uji rumple leed positif, petekie, ekimosis, purpura,
perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena),
pembesaran hati, dan syok. Kriteria laboratoris ditandai dengan trombositopenia
(<100.000/ul) dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥20%).6
Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang terjadi
pada DBD yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai
perembesan plasma. SSD adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium
akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang
berakibat fatal. SSD ditandai dengan seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan
tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Nadi cepat, lemah
- Hipotensi
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Perfusi perifer menurun
- Kulit dingin
- Lembab.

6
Pasien yang tidak mendapat terapi cairan intravena yang adekuat akan segera
mengalami syok.1,2

2.2. ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue
yang termasuk genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Di Indonesia, keempat jenis
serotipe tersebut ditemuan dan bersirkulasi sepanjang tahun, serotipe DEN3
merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan yang menunjukkan
manifestasi klinik yang berat.1,7
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya
aegipty (Aedes aegipty) dan Stegomiya albopictus (Aedes albopictus). Transmisi
virus tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk dalam faktor biotik
adalah faktor virus, vektor nyamuk, dan pejamu manusia, sedangkan faktor
abiotik adalah suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan.2

2.3. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di
Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun
1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak
dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi
kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di
Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan
kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3%
pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun
1991.11
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,
tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin,
tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada

7
anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur
memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur
<15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia
dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak
begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September
sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.11

Gamba
r 1. Negara dengan resiko transmisi dengue 12

Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam
berdarah dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air,
manejemen sampah padat, infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism,
peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia
berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam berdarah dengue.
Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam dengue
dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor,
tingginya angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat
serotype, dan tersebar di seluruh area.12
Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden
tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 penduduk, namun pada tahun

8
2008 menurun menjadi 59,02 per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan
sudah dapat ditekan namun belum mencapai target yang diinginkan yakni <20 per
100.000 penduduk 13

Gambar 2. Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia 13

Kemudian pada awal tahun 2019 tercatat penderita DBD sebesar


13.683 penderita dengan 132 diantaranya dilaporkan telah meninggal dunia.
Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 2018 dengan jumlah
penderita sebanyak 6.167 penderita dengan kasus meninggal dunia sebanyak 43
kasus.4

2.4. PATOGENESIS
Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup, maka demi kelangsungan hidupnya virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu terutama dalam mencukupi kebutuhan protein.
Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan
baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan
rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat bahkan dapat menimbulkan
kematian.8
Secara umum, patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi
berbagai komponen dari respon imun atau reaksi inflamasi yang terjadi secara

9
terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi dengan virus dengue
yaitu sel dendrit, monosit/ makrofag, sel endotel, dan trombosit. Akibat interaksi
tersebut akan dikeluarkan berbagai mediator antara lain sitokin, peningkatan
aktivitas sistem komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel
imun tersebut berlebihan, akan diproduksi sitokin kemokin, dan mediator
inflamasi lain dalam jumlah banyak, akibatnya akan menimbulkan berbagai
bentuk tanda dan gejala infeksi virus dengue.2

Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut:7
• Infeksi primer menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe
penyebab.
• Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda pada umumnya
memberikan manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi
primer.
• Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki antibodi dapat menunjukkan
manifestasi klinis berat walaupun pada infeksi primer.
• Perembesan plasma sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi saat
jumlah virus dalam darah menurun.
• Perembesan plasma terjadi dalam waktu singkat (24-48 jam) dan pada
pemeriksaan patologi tidak ditemukan kerusakan dari sel endotel pembuluh
darah.

Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial.


Teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection). Hipotesis ini menyatakan bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks
antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel

10
makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai infeksi mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi tersebut,
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.8

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan,
respon antibodi yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi
IgG anti dengue. Di samping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit
yang bertranformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal
ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen antibodi yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga
serosa (efusi pleura, asites).8

11
Gambar 3. Patogenesis DBD8

12
Gambar 4. Patogenesis Perdarahan pada DBD8

2.5. MANIFESTASI KLINIS


Infeksi virus dengue mengakibatkan menifestasi klinik yang bervariasi
mulai dari asimptomatik, demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue,
demam berdarah dengue, sampai sindrom syok dengue. Walaupun secara
epidemiologis infeksi ringan lebih banyak, tetapi pada awal penyakit hampir tidak
mungkin membedakan infeksi ringan atau berat.8

Gambar 5. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue8

13
Bentuk reaksi tubuh terhadap virus dengue antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain dapat berbeda, dimana perbedaan reaksi ini akan
memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis dan perjalanan penyakit.
Pada prinsipnya, bentuk reaksi tubuh manusia terhadap keberadaan virus dengue
adalah sebagai berikut:9
A. Bentuk reaksi pertama
Terjadi netralisasi virus dan disusul dengan mengendapkan bentuk
netralisasi virus pada pembuluh darah kecil di kulit berupa gejala ruam.9
B. Bentuk reaksi kedua
Terjadi gangguan fungsi pembekuan darah sebagai akibat dari penurunan
jumlah dan kualitas komponen-komponen beku darah yang menimbulkan
manifestasi perdarahan.9
C. Bentuk reaksi ketiga
Terjadi kebocoran pada pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya
komponen plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah menuju ke
rongga perut berupa gejala asites dan rongga selaput paru berupa gejala efusi
pleura. Apabila tubuh manusia hanya memberi reaksi bentuk 1 dan 2 saja
maka orang tersebut akan menderita demam dengue, sedangkan apabila ketiga
bentuk reaksi terjadi maka orang tersebut akan mengalami demam berdarah
dengue.9

Demam Dengue
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja, dan dewasa.
Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari, timbul gejala berupa
demam, mialgia, sakit punggung, malaise, anoreksia, gangguan rasa kecap,
fotofobia, dan nyeri retroorbital pada saat mata digerakkan atau ditekan. Gejala
lain dapat ditemukan berupa gangguan pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri
perut, sakit tenggorok, dan depresi. Demam umumnya timbul mendadak, tinggi
(390C-400C), terus menerus, biasanya berlangsung antara 2-7 hari.1,9

14
Pada hari ke-3 atau ke-4 ditemukan ruam makulopapular atau rubeliformis,
ruam ini segera berkurang sehingga sering luput dari perhatian orang tua. Pada
masa penyembuhan timbul ruam di kaki dan tangan berupa ruam diselingi bercak-
bercak putih, dapat disertai rasa gatal yang disebut sebagai ruam konvalesens.
Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet yang
positif (≥10 ptekie dalam area 2,8x2,8 cm) atau beberapa ptekie spontan.1,9
Pemeriksaan labaratorium menunjukkan jumlah leukosit yang normal,
namun pada beberapa kasus ditemukan leukositosis pada awal demam, namun
kemudian terjadi leukopenia dengan jumlah PMN yang turun, dan ini berlangsung
selama fase demam. Jumlah trombosit dapat normal atau menurun (100.000-
150.000/mm3). Peningkatan nilai hematokrit sampai 10% mungkin ditemukan
akibat dehidrasi karena demam tinggi, muntah, atau asupan cairan yang kurang.
Pemeriksaan serum biokimia pada umumnya normal, SGOT dan SGPT dapat
meningkat.1,9

Demam Berdarah Dengue


Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase, yaitu fase demam, kritis, dan
konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat karena setiap fase
mempunyai risiko yang dapat memperberat keadaan sakit.1,9
a. Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya suhu
tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam dapat
disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah, hal ini
merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran plasma yang
bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat
menimbulkan syok dengan mortalitas tinggi.1,9

b. Fase Kritis
Fase ini terjadi pada saat demam turun, pada saat ini terjadi puncak
kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan

15
dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan mengenal
tanda dan gejala yang mendahului syok (warning signs). Muntah terus-
menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk awal perembesan plasma.
Pasien tampak semakin lesu tetapi pada umumnya sadar. Perdarahan mukosa
spontan merupakan manifestasi perdarahan penting. Hepatomegali dan nyeri
perut sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan progresif
menjadi di bawah 100.000/mm3 serta kenaikan hematokrit di atas dasar
merupakan tanda awal perembesan plasma, dan pada umumnya didahului oleh
leukopenis (≤5.000/mm3).1,9
Peningkatan hematokrit pada umumnya berlangsung selama 24-48 jam.
Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta volume
nadi, oleh karena itu pengukuran hematokrit secara berkala sangat penting,
apabila makin meningkat berarti kebutuhan cairan intravena untuk
mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga penggantian
cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemik. Pada pasien DBD
dapat terjadi keterlibatan organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis,
miokarditis yang dikenal sebagai expanded dengue syndrome.1,9

c. Fase Konvalesens
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48
jam, terjadi reabsopsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang
intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya.
Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal mereda,
status hemodinamik stabil, dan diuresis menuyul kemudian. Hematokrit
kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang
direabsopsi.1,9

16
Gambar 6. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue1

Sindrom Syok Dengue


Sindrom ini merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada DBD yang
diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai perempesan plasma.
Syok dengue pada umumnya terjadi di sekitar penurunan suhu tubuh, yaitu pada
hari sakit ke-4/5 , dan sering kali didahului oleh tanda bahaya.1,9
Bila syok terjadi mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan
jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif dan
profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ progresif,
dan koagulasi intravaskular diseminata.1,9

2.6. DIAGNOSIS KLINIS


Dasar diagnosis demam berdarah dengue menurut WHO (1997):10
Diagnosis Klinis
- Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.

17
- Manifesatasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji bendung positif
dan bentuk lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
hematemesis atau melena.
- Pembesaran hati.
- Syok yang ditandai oleh nadi yang lemah, Hipotensi (tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau kurang), disertai kulit yang teraba dingin
dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien jadi gelisah.

Diagnosis Laboratorium10
- Trombositopenia (< 100.000/ul) dan hemokonsentrasi (nilai hematokrit
lebih 20% dari normal).
- Dua gejala klinis pertama ditambah satu gejala laboratorium cukup untuk
menegakkan diagnosis kerja DBD.
- Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia.

Indikator Fase Syok10


- Hari sakit ke 4-5
- Suhu turun
- Jarak tekanan darah sistol diastol memendek <20 mmHg
- Nadi cepat tanpa demam
- Tekanan nadi turun/ hipotensi
- Leukopenia < 5.000/ul

Derajat demam berdarah dengue menurut WHO (1997):10


- Derajat I : Demam dengan uji bendung positif.
- Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
- Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin,
lembab, dan pasien jadi gelisah.
- Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diukur.

18
Gambar 7. Derajat DBD10
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue1
Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 Leukopenia, Serologi
atau lebih tanda: trombositopenia, dengue
sakit kepala, nyeri tidak ditemukan bukti positif
retro orbital, kebocoran plasma
myalgia, artralgia
DBD I Gejala diatas Trombositopenia (<
ditambah uji 100.000/µl), bukti
bendung positif ada kebocoran
plasma.
DBD II Gejala diatas Trombositopenia (<
ditambah perdarahan 100.000/µl), bukti
spontan ada kebocoran
plasma.
DBD III Gejala diatas Trombositopenia (<
ditambah kegagalan 100.000/µl), bukti

19
sirkulasi (kulit ada kebocoran
dingin dan lembab plasma.
serta gelisah)
DBD IV Syok berat disertai Trombositopenia (<
dengan tekanan 100.000/µl), bukti
darah dan nadi tidak ada kebocoran
terukur plasma.

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Penegakkan diagnosis melalui pemeriksaan laboratorium yang cepat dan
akurat sangat penting dalam tatalaksana klinis, surveilans, penelitian, penelitian
dan uji klinis vaksin.
Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dengue adalah:1,9
- Isolasi Virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk,
kultur sel naymuk atau pad sel mamalai. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia di laboratorium komersial. Isolasi
virus hanya dapt dilakukan pada enam hari pertama demam.1,9

- Deteksi asam nukleat virus


Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat dapat diteksi
melalui pemeriksaan reverse transcriptase-PCR. Pemeriksaan ini hanya
tersedia di laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan
petugas yang handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada enam
hari pertama demam.1,9

- Deteksi antigen virus dengue


Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakan pada saat ini
adalah pemeriksaan NS-1 antigen anti virus dengue, yaitu suatu glikoprotein
yang diproduksi oleh semua flavivirus yang penting bagi kehidupan dan
replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak

20
hari pertma demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitasnya tinggi pada
hari 1-2 hari demam dan kemudian menurun setelahnya.1,9

- Seteksi respons imun serum


Pemeriksaan respon imun serum berupa Haemaglutination inhibition test
(uji HI), complement fixation test (CFT), neutralization test (uji neutralisasi),
pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue.1,9

- Neutralization test (uji neutralisasi)


Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang
paling sering dipakai adalah plaque reduction neutralization test (PRNT).
pemeriksaan ini mahal, perlu waktu, secara teknik cukup rumit, oleh karena itu
jarang dilakukan di laboratorium klinik. Sangat berguna untuk penelitian
pembuatan dan efikasi vaksin.1,9

- Pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue


IgM anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat
terdeteksi pada hari ke-5 dan tidak terdeteksi setelah 90 hari. Pada infeksi
dengue primer, IgG anti dengue muncul lebih lambat dibandingkan dengan
IgM anti dengue, namun pada infeksi dengue sekunder muncul lebih cepat.
Kadar IgG anti dengue bertahan lama dalam serum. Kinetik NS-1 antigen
virus dan IgG serta IgM anti dengue merupakan petunjuk dalam menentukan
jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer dengan
infeksi sekunder.1,9

21
Gambar 8. Metode Diagnostik Deteksi Antigen Dengue dan Pemeriksaan Serologi Anti Dengue9

2.8. DIAGNOSIS BANDING


Pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau
protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam cikungunya,
leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi membedakan DBD dari penyakit lain. Diagnosis banding lain
adalah sepsis, meningitis meningokok, Idiophatic Trombositopenic Purpura
(ITP), leukemia, dan anemia aplastik.6
Demam cikungunya (DC) sangat menular dan biasanya seluruh keluarga
terkena dengan gejala demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih
tinggi, hampir selalu diikuti dengan ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan
lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji bendung positif, ptekie, epistaksis
hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal
dan syok.6

22
Pada hari-hari pertama, ITP dibedakan dengan DBD dengan demam yang
cepat menghilang, tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi,
sedangkan pada fase penyembuhan jumlah trombosit pada DBD lebih cepat
kembali.6
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia dan anemia aplastik. Pada
leukemia, demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat
anemis. Pada anemia aplastik anak sangat anemis dan demam timbul karena
infeksi sekunder.6

2.9. PENATALAKSANAAN
Protokol Pasien Tersangka DBD
Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada pasien DBD atau yang diduga DBD di Puskesmas atau
Istalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dan tempat perawatan lainnya untuk dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rujuk atau rawat. 1
Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih
belum tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht, lekosit
dantrombosit) mungkin masih dalam Batas-Batas normal, sehingga sulit
membedakannya dengan gejala penyakit infeksi akut lainnya. Perubahan ini
mungkin terjadi dari saat ke saat berikutnya. Maka pada kasus-kasus yang
meragukan dalam menentukan indikasi rawat diperlukan observasi/ pemeriksaan
lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
danpemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan Hb, Ht, danjumlah trombosit.

Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah


1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan
a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl
b. Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl

23
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dantrombosit dalam
batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke poliklinik
Rumah Sakit dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan pasien rnemburuk
agar segera kembali ke Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan. Sedangkan pada
kasus yang meragukan indikasi rawatnya,rnaka untuk sementara pasien tetap
diobservasi di Puskesmas dengan aniuran minum yang banyak, serta diberikan
infus ringer laktat sebanyak 500cc dalam empat jam. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit. 1

Pasien di rujuk apabila didapatkan hasil sebagai berikut.


1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000/pl atau
2. Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit kurang dari 150.000/pl

Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan
jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dan dalam waktu 24 jam kemudian diminta
kontrol ke Puskesmas / poliklinik atau kembali ke IGD apabila keadaan menjadi
memburuk. Apabila masih meragukan, pasien tetap diobservasi dantetap diberikan
infus ringer laktat 500cc dalam waktu empat jam berikutnya. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan ulang Hb. Ht dan jumlah trombosit. 1

Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut.


1. Nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000/ul
2. Nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya dengan jumlah
trombosit normal atau menurun

Selama diobservasi perlu dimonitor tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan
serta jumlah urin minimal setiap 4 jam.1

24
Gambar 9. Protokol Pasien Suspek DBD

Protokol DBD tanpa perdarahan masif dan syok


Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif
petekie, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di
ruang rawat ; pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama. Cairan
lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer laktat
atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam larutan
garam atau NaCl 0,9%. 1
Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien
mengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat badan sekitar 50-70
kg diberikan ringer laktat per infus sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam. Pasien
dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infus dapat dikurangi dan
diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien dengan berat badan lebih dari 79 kg
dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/ 24 jam. Jumlah cairan infus
yang diberikan harus diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa dengan
kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien dengan
kelainan jantung/ginjal atau pada pasien lanjut usia lanjut serta pada pasien
dengan riwayat epilepsi. Pada pasien dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan
elektrokardiografi merupakan salah satu standar prosedur operasional yang harus
dilakukan. 1
Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap
harinya tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan

25
yaitu suhu tubuh mulai turun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak
(sekitar dua liter dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya tanda-tanda
hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih dari 50.000/pi,
maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai dikurangi.
Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa tanpa
perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka pemeriksaan
Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien dengan jumlah
trombosit kurang dari 100.000/µl, sedangkan untuk pasien DBD dewasa dengan
jumlah trombosit berkisar 100.000 - 150.000/µl, pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan tekanan darah, frekwensi nadi
dan pernafasan, dan jumlah urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan
pasien semakin memburuk dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka
pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut harus lebih diperketat.
Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena
penanganan pasien DSS lebih sulit, dandisertai dengan risiko kematian yang lebih
tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien tampak
gelisah, atau adanya penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin dantampak
pucat, serta jumlah urin yang menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala
diatas merupakan tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital
tersebut. Tanda-tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan
tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi
cepat dankecil. Apabila didapatkan tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus
segera diberikan.1
Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif
(perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit <
100.000/pl, dengan atau tanpa koagulasi intravaskular disseminata (KID). Pasien
DBD dengan trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi
suspensi trombosit. 1
Pasien dapat dipulang apabila

1. Keadaan umum /kesadaran dan hemodinamik baik, serta tidak demam

26
2. Pada umumnya Hb, Ht danjumlah trombosit dalam batas normal serta stabil
dalam 24 jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit
belum mencapai normal (diatas 50.000) pasien sudah dapat dipulangkan.

Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya atau
trombosit belum dalam batas normal, maka diminta kontrol ke poiliklinik dalam
waktu 1x24 jam atau bila kemudian keadaan umum kembali memburuk agar
segera dibawa ke UGD kembali.1

Gambar 10. Protokol DBD tanpa Perdarahan Masif dan Syok

Protokol DBD dengan perdarahan spontan dan massif tanpa syok


Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi tampon
hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia),
perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan perdarahan
tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada
keadaan seperti inijumlah dan kecepatan pemberian cairan ringer laktat tetap

27
seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya 500 ml setiap 4 jam. Pemeriksaan
tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin
dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok sedini mungkin. Pemeriksaan Hb,
Ht dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht
dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.1
Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen
Plasma (FFP) diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT
dan PTT yang memanjang), Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb
kurang dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/µl
disertai atau tanpa KID. 1
Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam kemudian,
sedangkan pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase dikerjakan bila masih
ada perdarahan. Penderita DBD dengan gejaia-gejala tersebut diatas, apabila
dijumpai di Puskesmas perlu dirujuk dengan infus. idealnya menggunakan plasma
expander (dextran) 1-1,5 liter/24jam. Bila tidak tersedia, dapat digunakan cairan
kristaloid.1

28
Gambar 11. Protokol DBD dengan perdarahan Spontan dan Masif tanpa
syok
Protokol DBD dengan perdarahan spontan dan massif dan syok
Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat
penting, karena angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan pasien
DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan pengobatan SSD yang
tidak adekuat. 1
Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama
yang sebaiknya diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa.
Pilihan lainya adalah NaCl 0,9%. Selaian resustasi cairan, pasien juga diberi
oksigen 2-4 liter/menit, dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah elektrolit
natrium, kalium, klorida serta ureum dan kreatinin. 1
Pada Ease awal ringer laktat diberikan sebanyak 20 ml/kgBB/jam (infus
cepat/guyur) dapat dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor 12),
dievaluasi selama 30-120 menit. Syok sebaiknya dapat diatasi segera/secepat
mungkin dalam waktu 30 menit pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan
umum pasien membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan
sistolik 100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg,
frekwensi nadi kurang dari 100/menit dengan volume yang cukup, akral teraba
hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam. 1
Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya dapat
dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit berikutnya.
Bila keadaan klinis stabil, maka pemberian cairan ringer selanjutnya sebanyak
500 cc setiap 4 jam. Pengawasan dini kemungkinan terjadi syok berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh
karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, juga sifat cairan
kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1
jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu apabila hemodinamik masih belum
stabil dengan nilai Ht lebih dari 30% dianjurkan untuk memakai kombinasi

29
kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1, sedangkan bila nilai Ht
kurang dari 30 vol % hendaknya diberikan transfusi sel darah merah (packed red
cells) .1
Apabila pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan
ternyata syok masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan
cairan koloid. Bila hematokrit kurang dari 30 vol% dianjurkan diberikan juga sel
darah merah. Cairan koloid diberikandalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan
sebaiknya yang tidak mempengaruhi/menggangu mekanisme pembekuan darah.
Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena
pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh
sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam. 1
Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangannya, yaitu
1. Dekstran
2. Gelatin
Hydroxy ethyl starch (HES)

Dekstran
Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat
isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan
menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular.
Efek volume 6% De kstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek
volume 10°/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3,54,5 jam. Kedua larutan
tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu
fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama
bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak baleh
diberikan pada pasien dengan KID. 1

Gelatin

30
Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat
isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan
tidak mengganggu mekanism pembekuan darah. 1

Hydroxy ethyl starch (HES)


6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan
isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan
hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam,
sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12
jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang
dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan
hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu
tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.1

Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat
diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan
kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. Bila syok belum dapat diatasi, selain
ringer laktatjuga dapat diberikan obat-obatan vasopresor seperti dopamin,
dobutamin, atau epinephrin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada
KID maka heparin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID, maka
heparin dan transfusi komponen darah diberikan sesuai dengan indikasi seperti
tersebut diatas. Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam.
Pemeriksaan hemostasis ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam
kemudian sejak dimulainya pemberian heparin, sedangkan pada kasus tanpa KID;
pemeriksaan hemostasis ulangan hanya dilakukan bila masih terdapat perdarahan.1

Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat


kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran
cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi
sekunder di tempat/organ lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang
tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.1

31
Gambar 12. Protokol Penatalaksanaan DBD Derajat III dan IV atau Syok1

32
Indikator medis
Pasien dapat dipulangkan bila:9
• Bebas demam 24 jam tanpa antipiretik
• Hemodinamik stabil
• Nafsu makan membaik
• Perbaikan klinis
• Produksi urin cukup (>1mL/KgBB/jam)
• Hematokrit stabil
• Dua hari pasca syok teratasi
• Jumlah trombosit >50.000/ul dengan kecenderungan meningkat
• Tidak dijumpai distress napas akibat asites atau efusi pleura
• Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun eksternal
• Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
• Mulai timbul ruam penyembuhan

2.10. PENCEGAHAN
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
yang paling memadai saat ini. Ada 2 cara pemberantasan vektor:1
a. Menggunakan insektisida
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah
adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultsida) dan
temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida).
b. Tanpa insektisida
• Menguras bak mandi, tempayan, dan tempat penampungan air minimal
sekali seminggu.
• Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
• Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas dan benda lain
yang memungkinkan nyamuk bersarang.
• Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai kelambu atau lotion.

33
1.11 PROGNOSIS
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada
DBD/SSD mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian di Surabaya, Semarang, dan
Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih
ringan pada orang dewasa daripada anak-anak.6
Dari penelitian tahun 1993, dijumpai keadaan penyakit yang terbukti
bersama-sama muncul dengan DBD yaitu demam tifoid, bronkopneumonia, dan
anemia.6

34
BAB III
KESIMPULAN

Demam berdarah dengue merupakan salah satu varian klinis infeksi virus
dengue, yang ditandai oleh panas 2-7 hari dan pada saat panas turun disertai
dengan gangguan hemostatik dan kebocoran plasma (plasma leakage). Demam
berdarah dengue merupakan (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan
di sebagian besar wilayah tropis dan subtropics termasuk Indonesia. Penyakit
Demam Berdarah Dengue juga merupakan salah satu penyakit menular yang
berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering
menimbulkan wabah.
Penyebab DBD sendiri yaitu Virus dengue yang tergolong dalam grup
Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN – 3, merupakan serotie yang paling banyak.
Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti. Kriteria diagnosis
terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua kriteria klinis ditambah
trombosipenia dan peningkatan hmatokrit cukup untuk menegakkan diagnosis
demam berdarah dengue.
Setelah diagnosis DBD sudah ditentukan, maka tetapkan terlebih dahulu
derajatnya. Perlu ditegaskan bahwa untuk penatalaksanaan DBD yang terpenting
adalah pemberian cairan intravena sebatas cukup mempertahankan sirkulasi yang
efektif selama periode plasma leakage disertai pengamatan yang teliti dan cermat
secara periodik. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan
merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Deteksi dini terhadap adanya
perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah
terjadinya syok.
Disamping itu dalam penanganan DBD, hal yang perlu diperhatikan yaitu
pencegahan terjadinya DBD lagi. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung
pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Cara yang paling

35
efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah”3M Plus”, yaitu menutup,
menguras, menimbun serta plus yang meliputi memelihara ikan pemakan jentik,
menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa,
menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk,
memeriksa jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat.
Komplikasi yang sering terjadi pada anak dan bayi yaitu kehilangan cairan
dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam. Prognosis demam berdarah dapat
terpengaruh oleh antibodi pasif atau oleh infeksi sebelumnya dengan virus yang
merupakan predisposisi pengembangan demam berdarah dengue.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.
2. Rezeki S, Hindra H. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2000.
3. Rajapakse S. Dengue Shock. J Emerg Trauma Shock. 2011; 4(1): 120 –
127.
4. InfoDATIN (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI).
Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun 2017. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2018
5. Suhendro, et al. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006.
6. Soedarmo, Garna, Hadinegoro. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kesehatan Anak:
Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2001.
7. Candra A. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan. Asporator. 2010. 2(2): 110 – 119.
8. Hadinegoro I, Rezeki S. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Depkes RI; 2004.
9. Moedjito I, Chairulfatah A, Rezeki S. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana
Infeksi Virus Dengue pada Anak. Jakarta: Penerbit IDAI; 2014.
10. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. New edition. Geneva; 2009.

11. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia

37
12. World Health Organization (WHO) Regional Office for South-East Asia.
Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and
dengue hemorrhagic fever. 2011.
13. Depkes RI. Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta: Depkes RI; 2010.

38

Anda mungkin juga menyukai