Anda di halaman 1dari 23

ALERGI MAKANAN

Christa Yoanita Yudith Koli, S. Ked


SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof.Dr.W.Z. Johannes FK Universitas Nusa Cendana

PENDAHULUAN
Alergi makanan adalah penyakit alergi yang disebabkan oleh alergen yang
terdapat pada makanan. Alergi makanan sering ditemukan pada semua golongan
umur, bahkan pada bayi berusia beberapa bulan. (1) Kurang lebih 15% dari
masyarakat menduga bahwa mereka alergi terhadap salah satu makanan, padahal
angka kejadian alergi makanan pada anak berkisar 6-8% sedangkan pada dewasa
1-2%. Ini disebabkan karena istilah alergi makanan sering dipakai dalam arti yang
salah atau kurang tepat. The American of Allergy and Immunology and the
National Institute of Allergy and Infectious Diseases (National Institutes of
Health=NIH) menetapkan beberapa istilah. Reaksi yang tidak diinginkan terhadap
makanan, disebut juga reaksi simpang makanan (adverse food reaction) adalah
istilah umum yang dipakai untuk menyatakan reaksi yang timbul setelah
memakan sesuatu makanan. Reaksi alergi makanan adalah reaksi simpang
makanan akibat respons imunologik yang abnormal, sedangkan intoleransi
makanan akibat mekanisme non imunologis.(2)
Sejarah alergi makanan pertama kali dilaporkan di China pada tahun 3000
SM, berupa reaksi kulit yang timbul beberapa saat setelah makan. Hippocrates
menyatakan bahwa susu dapat menimbulkan gangguan lambung dan reaksi kulit
pada orang-orang tertentu yang sensitif. Laporan terperinci mengenai alergi
makanan dimulai pada abad kedua puluh saat Von Pirquet menjelaskan konsep
alergi pada tahun 1 1906. Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak usia di
bawah 3 tahun karena belum matangnya sistem imunitas mukosa saluran cerna.
Alergi makanan pada anak dilaporkan bervariasi di berbagai negara, antara 6-8%.
Dari jumlah tersebut, yang terbanyak ialah alergi terhadap susu sapi (2,5%),
1

diikuti alergi telur (1,5%) dan alergi kacang (0,5%). Sedikitnya 2,5% bayi
memiliki reaksi hipersensitivitas terhadap susu sapi sampai berusia 1 tahun, 25%
di antaranya akan menetap sampai dewasa. Ring et al melaporkan bahwa jenis
makanan yang sering menimbulkan reaksi alergi pada anak adalah berbagai jenis
protein, seperti susu sapi, telur, kacang-kacangan, ikan, kedelai, dan gandum
(85%). Reaksi yang timbul akibat alergi makanan dapat bervariasi dan dapat
mengenai berbagai sistem dalam tubuh, seperti kulit, saluran napas, hidung,
tenggorok, telinga, gastrointestinal, kardiovaskuler, sampai yang terberat, syok
anafilaktik.

(1)

Terakhir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi

otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan dan perilaku anak

seperti

gangguan konsentrasi, gangguan emosi, dan keterlambatan bicara.(3)


Anak dengan riwayat atopi dalam keluarganya akan cenderung alergi
terhadap makanan tertentu. Ditemukan 35% anak yang menderita dermatitis atopi
juga memiliki alergi terhadap makanan (yang diperantarai oleh Ig E). Pada 6%
anak penderita asma, juga dilaporkan terjadi eksaserbasi asma setelah
mengkonsumsi makanan tertentu. Prevalensi jenis alergen makanan tergantung
pada budaya dan geografis : di Jepang , nasi adalah alergen utama pada anak; di
Skandinavia, alergi terhadap ikan lebih sering; di Spanyol, alergi buah lebih tinggi
insidensnya; di Amerika, alergen utamnaya adalah susu sapi, soya, telur gandum,
kacang dan ikan.(1)

DEFINISI
2

Secara umum, istilah alergi dipakai dalam konteks reaksi hipersensitivitas


yang disebabkan oleh reaksi imun yang berakibat buruk terhadap jaringan atau
mengganggu proses fisiologik manusia. Reaksi imun tersebut dicetuskan oleh
adanya kompleks biokimiawi atau respons inflamasi yang menghasilkan gejala
klinis. Respons tersebut bergantung pada tingkat reaktivitas reseptor jaringan yang
terlibat dan sel efektor.(1)
Pengertian alergi makanan mencakup reaksi imunologik terhadap makanan
atau bahan pelengkap makanan. Istilah alergi makanan (food hypersensitivity)
perlu dibedakan dengan intoleransi makanan (food intolerance atau food
sensitivity). Alergi makanan adalah reaksi terhadap makanan yang dapat berulang,
mempunyai latar belakang reaksi imunologik abnormal. Di lain pihak, pada
intoleransi makanan, terdapat faktor mak anan itu sendiri, seperti kontaminasi
toksin bakteri, kandungan farmakologik (seperti tiramin yang terdapat pada keju
yang telah lama), atau kelainan metabolik (seperti defisiensi enzim laktase).
Intoleransi makanan bertalian dengan semua jenis reaksi fisiologik abnormal
terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Termasuk dalam kategori ini
ialah reaksi idiosinkratik (misal intoleransi laktosa), keracunan makanan, dan
reaksi farma kologik (misal terhadap kafein, tiramin).(1)
Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and
immunology dan The National Institute of Allergy and infections disease yaitu: (2)

Gambar 1. Klasifikasi reaksi simpang makanan menurut American Academy of Allergy


and Immunology

Reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan seringkali terjadi dalam


kehidupan sehari-hari. Reaksi tersebut dapat diperantarai oleh mekanisme yang
bersifat imunologi, farmakologi, toksin, infeksi, idiosinkrasi, metabolisme serta
neuropsikologis terhadap makanan. Dari semua reaksi yang tidak diinginkan
terhadap makanan dan zat aditif makanan sekitar 20% disebabkan karena alergi
makanan.
Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions)
Istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang
ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan atau
intoleransi makanan.
Alergi makanan (Food Allergy)
Alergi makanan adalah reaksi imunologis (kekebalan tubuh) yang
menyimpang karena masuknya bahan penyebnab alergi dalam tubuh. Sebagian
besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitifitas tipe 1.
4

Intoleransi Makanan (Food intolerance)


Intoleransi

makanan

adalah

reaksi

makanan

nonimunologik

dan

merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap


makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan
karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella,
Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat farmakologik
yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi
atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase atau respon
idiosinkrasi pada pejamu. Menurut cepat timbulnya reaksi maka alergi terhadap
makanan dapat berupa reaksi cepat (Immediate Hipersensitivity/rapid onset
reaction) dan reaksi lambat (delayed onset reaction). Reaksi cepat, reaksi terjadi
berdasarkan reaksi kekebalan tubuh tipe tertentu. Terjadi beberapa menit sampai
beberapa jam setelah makan atau terhirup pajanan alergi. Reaksi Lambat, terjadi
lebih dari 8 jam setelah makan bahan penyebab alergi.

ETIOLOGI
Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau
polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan
ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah glikoprotein dan
berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil lainnya juga
dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung atau melalui
mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik misalnya pemberian panas dan tekanan
dapat mengurangi imunogenisitas sampai derajat tertentu. Pada pemurnian
ditemukan allergen yang disebut sebagai Peanut-1 suatu glikoprotein dengan berat
molekul 180.000 dalton. Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan
allergen-2, alergen masing-masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan
200.000 dalton. Pada pemurnian alergen pada ikan diketahui allergen-M sebagai
determinan walau jumlahnya tidak banyak.(3) Ovalbumin ditemukan sebagai
alergen utama pada putih telur .Susu sapi sedikitnya merupakan 20 % komponen
yamg dapat menimbulkan produksi antibodi. Fraksi protein susu utama adalah
5

kasein

(76%)

dan

whey.Whey

mengandung

Betalaktoglobulin

(BLG),

Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin (BSA) dan Bovin Gama


Globulin (BGG). Albumin, pseudoglobulin dan euglobulin adalah alergen utama
pada gandul. Diantaranya BLG adalah alergen yang paling kuat sebagai penyabab
alergi makanan. Protein kacang tanah alergen yang paling utama adalah arachin
dan conarachi. Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam
codfish adalah Gad c1 telah diisolasi dari fraksi miogen. Selain itu reaksi alergi
terhadap sereal sering juga ditemukan. Fraksi globulin dan fraksi glutein diduga
merupakan alergen utama yang menimbulkan reaksi IgE, sedangkan gliadin
merupakan sebab penyakit celiac.(4)
MEKANISME TERJADINYA ALERGI MAKANAN
Alergi makanan merupakan respon abnormal dari sistem imun mukosa
terhadap antigen yang masuk melewati rute oral. Tidak seperti sistem imun
sistemik yang relatif lebih sedikit terpapar antigen dan mengembangkan respon
inflamasi yang sesuai, sistem imun mukosa terpapar berbagai macam antigen
sehari-hari dan secara umum menekan reaktifitas sistem imun terhadap antigen
asing yang berbahaya, dan hal tersebut berfungsi sepenuhnya menyusun respon
protektif yang sesuai terhadap patogen yang berbahaya. Barier mukosa
gastrintestinal merupakan struktur kompleks yang tersusun atas permukaan yang
luas untuk pemrosesan dan penyerapan makanan yang dikonsumsi dan
mengeluarkan produk sisanya. Barier ini memiliki faktor fisikokimia dan faktor
seluler untuk mencegah masuknya antigen asing. Barier fisik terdiri atas sel
epitelial yang tersusun rapat dan dilapisi lapisan mukosa tebal yang menangkap
partikel, virus, dan bakteri; enzim di lambung dan usus, cairan empedu, dan pH
yang ekstrim; yang semuanya berfungsi menghancurkan patogen dan menjadikan
antigen bersifat non imunogenik. Respon sistem imun bawaan/innate immune (sel
NK, lekosit PMN, makrofag, sel epitel, dan toll-like receptors) dan
adaptif/adaptive immune (limfosit intraepitel dan lamina propria, patch Peyeri,
sIgA, dan sitokin) memberikan barier aktif terhadap antigen asing. Namun adanya
imaturitas berbagai komponen barier usus dan sistem imun menurunkan efisiensi
6

barier mukosa pada bayi. Contohnya, aktifitas enzim masih suboptimal pada
periode setelah dilahirkan (newborn), dan sistem sIgA belum sepenuhnya matang
sampai umur 4 tahun. Konsekuensinya, keadaan imaturitas pada barier mukosa
berperan pada tingginya prevalensi infeksi gastrointestinal dan alergi makanan
pada tahun-tahun pertama kelahiran. Pada keadaan normal penyerapan
makanan,merupakan peristiwa alami sehari-hari dalam sistem pencernaan
manusia. Faktor-faktor dalam lumen intestinal (usus), permukaan epitel (dinding
usus) dan dalam lamina propia bekerja bersama untuk membatasi masuknya
benda asing ke dalam tubuh melalui saluran cerna. Struktur limfoepiteal usus
yang dikenal dengan istilah GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissues) terdiri dari
tonsil, patch payer, apendiks, patch sekal dan patch koloni. Pada keadaan khusus
GALT mempunyai kemampuan untuk mengembangkan respon lokal bersamaan
dengan kemampuan untuk menekan induksi respon sistemik terhadap antigen
yang sama. Sejumlah mekanisme non imunologis dan imunologis bekerja untuk
mencegah penetrasi benda asing seperti bakteri, virus, parasit dan protein
penyebab alergi makanan ke dinding batas usus (sawar usus). (5)

Gambar 1. Sistem pertahanan pada saluran cerna.

Pada paparan awal, alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji
antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T secara langsung atau
melalui sitokin. Sel T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan
antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak akan diserap oleh usus dalam
jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa
usus dan organ limfoid usus. Pada umumnya anak-anak membentuk antibodi
dengan subtipe IgG, IgA dan IgM. Pada anak atopi terdapat kecenderungan lebih
banyak membentuk IgE, selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran
cerna, saluran napas, kulit dan banyak organ tubuh lainnya. Sel epitel intestinal
memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dan pola pengambilan
antigen yang tertelan. Selama terjadinya reaksi yang dihantarkan IgE pada saluran
cerna, kecepatan dan jumlah benda asing yang terserap meningkat. Benda asing
yang larut di dalam lumen usus diambil dan dipersembahkan terutama oleh sel
epitel saluran cerna dengan akibat terjadi supresi (penekanan) sistem imun atau
8

dikenal dengan istilah toleransi. Antigen yang tidak larut, bakteri usus, virus dan
parasit utuh diambil oleh sel M (sel epitel khusus yang melapisi patch Peyeri)
dengan hasil terjadi imunitas aktif dan pembentukan IgA. Ingesti protein diet
secara normal mengaktifkan sel supresor TCD8+ yang terletak di jaringan limfoid
usus dan setelah ingesti antigen berlangsung cukup lama. Sel tersebut terletak di
limpa. Aktivasi awal sel-sel tersebut tergantung pada sifat, dosis dan seringnya
paparan antigen, umur host dan kemungkinan adanya lipopolisakarida yang
dihasilkan oleh flora intestinal dari host. Faktor-faktor yang menyebabkan
absorpsi antigen patologis adalah digesti intraluminal menurun, sawar mukosa
terganggu dan penurunan produksi IgA oleh sel plasma pada lamina propia.
Selanjutnya alergi yang diperantarai IgE berkembang dalam 2 tahap:
1.

Tahap pertama dikenal sebagai sensitisasi dan terjadi ketika antigen (hampir
selalu sebagai protein) ditangkap oleh sel, yang disebut limfosit B progenitor,
mampu mematangkan menjadi sel pemroduksi antibodi (antibody-producing
cells). Sel ini memecah antigen dan menghasilkan fragmen peptida yang terikat
secara selektif pada molekul major histocompatibility complex (MHC) class II
dan diangkut ke permukaan sel. Kompleks molekul MHC dan peptida asing
pada permukaan limfosit B akan dikenali oleh reseptor sel T dari sel T helper
CD4+. Kejadian ini merangsang berbagai perubahan, termasuk maturasi sel B
sehingga dapat mengeluarkan antibodi. Pada tubuh yang fungsinya normal,
akan memproduksi IgG dan IgA terhadap protein makanan, namun pada
individu yang memiliki predisposisi, hasil respon imun akan membentuk Th2
yang memulai produksi IgE spesifik. Antibodi tipe ini biasanya hanya
diproduksi pada respon terhadap infeksi parasit, seperti malaria.

2.

Tahap kedua merupakan tahap elisitasi terhadap reaksi alergi. IgE berhubungan
dengan reseptor IgE spesifik di permukaan basofil atau sel mast, yang sudah
mengandung mediator inflamasi seperti histamin. Pada paparan berikutnya
terhadap agen yang telah tersensitisasi, sel yang berikatan dengan IgE akan
saling terikat dengan agen, menyebabkan sel mast melepaskan mediator
inflamasi. Mediator tersebut akan merangsang perubahan fisiologis yang
menimbulkan manifestasi yang disebut gejala reaksi alergi. Gejala tersebut
9

biasanya timbul cepat (dalam beberapa menit) setelah paparan dengan alergen
dan bervariasi, meliputi gejala respiratorik, gastrointestinal, dan reaksi kulit.(6)
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi alergi makanan dapat bermacam-macam,bergantung pada
tempat dan luas degranulasi sel mast atau basofil, mulai dari urtikaria akut sampai
reaksi anafilaktik yang fatal berupa manifestasi lokal dan sistemik. Manifestasi
lokal biasanya karena kontak langsung dengan makanan. Sedangkan manifestasi
sistemik terjadi setelah menalan makanan. Faktor penentu terjadinya reaksi
sistemik dan lokal adalah reaksi biokimia protein makanan tersebut, absorbsi dan
proses dalam saluran cerna, respon imun individu, dan hiperaktivitas target organ.
Reaksi alergi dengan perantara IgE pada alergi makanan timbul dalam beberapa
menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi makanan penyebab alergi.
Namun pada orang yang sangat sensitif, kontak sedikit atau menghirup bagian
dari makanan sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Gejala alergi makanan
sangat individualistik, bervariasi tergantung pada derajat beratnya, onset, lokasi
dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Gejala dapat berbeda pada orang yang
sama. (2)

Gambar 2. Seorang anak dengan oral allergy syndrome.

Gejala yang paling sering dari alergi makanan melibatkan traktus


gastrointestinal, dimulai dari pembengkakan atau rasa gatal pada bibir, mulut,
dan/atau tenggorok. Gejala ini sering disebut juga sebagai oral allergy syndrome.
Gejala pada bibir, mulut, dan tenggorok ini sering terjadi pada penderita yang
10

menderita alergi terhadap pollen, sehingga disebut juga pollen-food allergy


syndrome. Bila makanan sudah masuk ke lambung, alergen akan merangsang
degranulasi sel mast, dan melepas histamin yang mengakibatkan gastrointestinal
anafilaksis atau hipersensitifitas gastrointestinal tipe segera. Gastrointestinal
anafilaksis ditandai dengan peningkatan peristaltik usus, sehingga terjadi mual,
muntah, nyeri perut/kram, dan diare.(7)
Sedangkan gejala yang sering terjadi pada kulit adalah urtikaria akut,
angioedema, dan ruam kemerahan berbentuk morbiliformis. Reaksi alergi yang
menyerang traktus respiratorius menyebabkan timbulnya rhinitis, (bersin-bersin,
hidung berair/rinorea, mata merah dan berair), hingga timbul gejala sesak atau
kesulitan bernafas, dan nafas terasa pendek.(8)
Anafilaksis adalah kondisi yang jarang terjadi namun berpotensi menjadi
fatal, dimana beberapa organ yang berbeda mengalami reaksi alergi yang
bersamaan. Gejala berlangsung cepat progresif, dan meliputi rasa gatal hebat,
pembengkakan di tenggorok, kesulitan bernafas, penurunan tekanan darah,
penurunan kesadaran, dan kadang berlanjut kepada kematian. Gejala yang paling
berbahaya adalah kesulitan bernafas dan penurunan tekanan darah atau syok, yang
berpotensi fatal. Contoh umum alergi yang berpotensi mengancam nyawa adalah
alergi terhadap makanan dan sengatan serangga. Anafilaksis yang disebabkan oleh
alergi makanan dikenal sebagai food-induced anaphylaxis. Reaksi alergi yang
mengancam nyawa juga dapat terjadi pada pemberian obat atau pada karet latex
dan berhubungan dengan latihan fisik. Kira-kira 50 kematian per tahun
disebabkan karena anafilaksis sengatan serangga dan 150-200 kematian per tahun
disebabkan karena anafilaksis dari makanan, kebanyakan karena alergi kacang
tanah dan walnut. Anafilaksis dapat terjadi segera atau sampai dua jam setelah
paparan alergen. Sekitar sepertiga reaksi anafilaksis, gejala awal diikuti oleh
serangan gejala lambat dua sampai empat jam setelahnya. Kombinasi dari gejala
fase awal yang diikuti gejala fase lambat disebut reaksi bifasik. Gejala fase lambat
sering terjadi pada traktus respiratorik dan mungkin lebih berat dibandingkan saat
fase cepat. Sekitar 20% rekasi bifasik terjadi pada reaksi anafilaksis.

11

Gambar 4. Seorang anak yang mengalami anafilaksis akibat alergi


Setiap reaksi alergi makanan memiliki potensi berkembang menjadi situasi
yang mengancam nyawa. Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko reaksi
anafilaksis yang berat sampai fatal: asma yang bersamaan/konkomitan, riwayat
anafilaksis sebelumnya, alergi kacang tanah, walnut, dan/atau kerang-kerangan;
dan tertundanya atau kegagalan pemberian epinefrin. Alergi makanan lebih sering
pada anak-anak yang lebih muda. (8)

12

DIAGNOSIS
Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan pada anamnesis
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
Anamnesis(8)
13

ditanyakan mengenai:
Mengenal makanan yang dicurigai
Jarak antara gejala yang timbul dan memakan makanan yang dicurigai
Mengenal gejala yang ditimbulkan seperti pada kulit, telinga, mata,
saluran napas, dan saluran cerna
hidung, mungkin ditemukan gejala klasik rinitis alergi, hidung

tersumbat, dan gejala sinusitis


telinga, bisa terdapat keluhan rasa penuh dan gangguan

pendengaran.
tenggorok, keluhan penderita dapat berupa disfagia, tenggorok

berlendir, suara parau, atau bahkan sesak napas.


Jumlah makanan yang menimbulkan gejala, apakah gejala selalu
timbul bila memakan makanan yang dicurigai?
Proses mengolah makanan (rebus, panggang, mentah) ?
Berapa jarak waktu antara gejala terakhir dengan gejala yang baru
timbul?
Jumlah makanan yang dapat menimbulkan gejala yang sama, dan
apakah selalu timbul bila mengkonsumsi makanan yang dicurigai.
Apakah ada faktor lain yang mempermudah timbulnya gejala misalnya
setelah latihan olahraga
Riwayat penyakit dahulu pada masa kanak-kanak, seperti intoleransi
terhadap susu formula, kolik, gastroenteritis, batuk kronik berulang
yang membaik dan muncul dengan perubahan pola makan, eksema
atau dermatitis pada waktu kecil, ruam popok (diaper rash), dan
penyakit telinga kronik.
Riwayat atopi dalam keluarga harus juga ditanyakan.
Pemeriksaan fisik(1)
THT yang dapat dikerjakan meliputi rinoskopi anterior dan posterior,
otoskopi, pemeriksaan mukosa faring, dan laringoskopi tidak
langsung. Pada otoskopi, dapat terlihat membran timpani yang
retraksi, pergerakan membran timpani yang berkurang, perforasi,
cairan di ruang timpani, kulit daun telinga yang kemerahan dan

14

bersisik, otitis eksterna kronik disertai rasa gatal tanpa tanda-tanda


infeksi, dan adanya sekret yang menetap di telinga tengah.
Pada pemeriksaan hidung, dapat ditemukan allergic shiner, allergic
salute, mukosa hidung yang livide disertai dengan sekret encer dan
jernih, atau polip nasi. Rinoskopi dapat memperlihatkan hipertrofi
konka atau polip, warna livide atau hiperemis, sekret encer atau
kental, dan meatus media yang menyempit atau terisi jaringan
patologik.
Pada pemeriksaan mulut dan tenggorok, dapat dijumpai hipertrofi
gingiva, geographic tongue, hipertrofi tonsil, arkus palatum tinggi,
penebalan dinding lateral faring, serta edema daerah epiglotis dan15
pita suara.
Pemeriksaan faring dapat menunjukkan mukosa faring yang
hiperemis, tertutup lendir kental, atau ada granulasi. Pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung dapat memperlihatkan timbunan saliva
pada hipofaring dan edema pada pintu masuk esofagus atau pada plika
vokalis.
Pada kulit pemeriksaan terutama difokuskan untuk mencari tandatanda atopi, seperti likenifikasi, kulit seperti kerang dan bersisik
(sebagaimana sering dijumpai pada penderita dermatitis atopi).
Pada pemeriksaan paru, dapat ditemukan gejala mengi dan batuk
kronis, seperti pada asma.
Pada penderita anak, status gizi harus dinilai untuk melihat apakah
telah terjadi kekurangan gizi akibat diet yang diberikan.
Pemeriksaan Penunjang(2)
Pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis alergi makanan
meliputi:
a. Catatan buku harian pasien, berisi catatan semua jenis makanan dan
gejala yang timbul untuk jangka waktu tertentu. Hal ini memberikan
informasi yang sangat berharga, terutama pada kasus kronik.
b. Uji diagnostik
i. Tes alergi makanan tipe tetap
15

1. prick test
2. modified prick test
3. Tes tempel (patch test)
4. Uji invitro untuk IgE mediated adalah Radio Alergo
Sorbent Test (RAST), uji ini akan mendapatkan IgE
spesifik makanan yang sangat berkorelasi dengan uji
kulit.

ii. Tes alergi makanan tipe siklik


1. Intracutaneous progressive dilution food test (IPDFT)
2. Tes provokasi makanan (doubleblind placebo-controlled food
challenge, DBPCFC) adalah pemeriksaan baku emas untuk
menegakkan diagnosis alergi makanan.
PENATALAKSANAAN
Setelah diagnosis alergi makanan ditegakkan, maka eliminasi makanan
harus dilakukan dengan ketat. Reaksi alergi makanan umumnya sangat spesifik
untuk 1 jenis makanan, sehingga tidak perlu menghindarkan semua makanan yang
termasuk golongan botanik yang sama.

Non Farmakologi
Diet eliminasi/provokasi adalah untuk diagnostik. Bila alergen telah
diketemukan maka harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan
yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai pengganti.(9)

Farmakologi(10)
Bila diet tidak bisa dilaksanakan maka harus diberi farmakoterapi dengan
obat-obatan seperti yang tersebut di bawah ini :
o Kromolin, Nedokromil.
Dipakai terutama pada penderita dengan gejala asma dan rinitis
alergika. Kromolin umumnya efektif pada alergi makanan dengan gejala
Dermatitis Atopi yang disebabkan alergi makanan. Dosis kromolin untuk
penderita asma berupa larutan 1% solution (20 mg/2mL) 2-4 kali/hari untuk
nebulisasi atau berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler 1,6 mg (800
16

g/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk rinitis alergik digunakan obat semprot 3-4
kali/hari yang mangandung kromolin 5.2 mg/semprot. Untuk konjungtivitis
diberikan tetes mata 4% 4-6 x 1 tetes mata/hari. Nedokromil untuk nebulisasi
tak ada. Yang ada berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler dan dosis untuk
asma adalah 3,5 mg (1,75 mg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk konjungtivitis
diberikan tetes mata nedokromil 2% 4-6 x 1-2 tetes mata/hari.
o Glukokortikoid.
Digunakan terutama bila ada gejala asma. Steroid oral pada asma akut
digunakan pada yang gejala dan PEF nya makin hari makin memburuk, PEF
yang kurang dari 60%, gangguan asma malam dan menetap pada pagi hari,
lebih dari 4 kali perhari, dan memerlukan nebulizer serta bronkodilator
parenteral darurat. menggunaan bronkodilator. Steroid oral yang dipakai adalah
: metil prednisolon, prednisolon dan prednison. Prednison diberikan sebagai
dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan
stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4
kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral digunakan untuk penderita alergi
makanan dengan gejala status asmatikus, preparat yang digunakan adalah metil
prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam
sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Steroid hirupan
digunakan bila ada gejala asma dan rinitis alergika.
o Beta adrenergic agonist
Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. Epinefrin subkutan bisa
diberikan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.
o Metil Xantin
Digunakan sebagai bronkodilator. Obat yang sering digunakan adalah
aminofilin dan teofilin, dengan dosis awal 3-6/kg/dosis, lanjutan 2,5
mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
o Simpatomimetika
Efedrin
Orciprenalin
Terbutalin

: 0,5 1,0 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam


: 0,3 0,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
: 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
17

Salbutamol

: 0,1 0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam

o Leukotrien antagonis
LTC4 dan LTD4 menimbulkan bronkokonstriksi yang kuat pada
manusia, sementara LTE4 dapat memacu masuknya eosinofil dan netrofil ke
saluran nafas. Dapat digunakan pada penderita dengan asma persisten ringan.
Namun pada penelitian dapat diberikan sebagai alternatif peningkatan dosis
kortikosteroid inhalasi, posisi anti lekotrin mungkin dapat digunakan pada
asma persisten sedang, bahkan pada asma berat yang selalu membutuhkan
kortikosteroid sistemik, digunakan dalam kombinasi dengan xantin, beta-2agonis dan steroid. Preparat yang sudah ada di Indonesia adalah Zafirlukast
yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
o H1-Reseptor antagonis
H1 reseptor antagonis generasi kedua tidak ada efek samping CNS.
Setirizin bisa digunakan pada anak mulai umur 1 tahun dan tidak ada efek
samping kardiovaskular, dapat digunakan jangka lama. H1 reseptor antagonis
generasi pertama efek antikolinergiknya dapat memperburuk gejala asma
karena pengentalan mukus. Pada dosis tinggi efek samping pada CNS sangat
membatasi penggunaanya dalam pengobatan asma. Beberapa penelitian
membuktikan efektifitas. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5
mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 34 kali/24 jam. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun:
2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. Loratadin,
dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;
> 6 tahun : 10 mg/dosis,1 kali/hari. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia
anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2
kali/hari atau 180 mg/hari, 4 kali/hari. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia
anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2
kali/hari. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-6
tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30 mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun
18

: 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3


kali/hari.

PENCEGAHAN(11)
Alergi tidak bisa disembuhkan, tapi dengan pencegahan yang efektif akan
mengendalikan frekuensi dan intensitas serangan, penggunaan obat, jumlah hari
absen sekolah, serta membantu memperbaiki kualitas hidup.

19

Pemberian ASI sangat dianjurkan. Pada bayi yang melakukan eliminasi


makanan dan mendapat ASI, maka ibu juga harus pantang makanan
penyebab alergi. Dengan eliminasi sebelumnya, alergi susu sapi menghilang
pada kebanyakan kasus pada umur 2 tahun. Untuk pengganti susu sapi dapat
dipakai susu hidrolisat whey atau hidrolisat casein. Pilihan lain adalah susu
formula kedelai, dengan harus tetap waspada terhadap kemungkinan alergi
terhadap kedelai. Pada bayi yang menderita alergi makanan derajat berat
yang telah menggunakan formula susu hipoalergenik, bila ingin melakukan
diet provokasi dengan susu formula sapi, harus dilakukan dirumah sakit,

karena jika gagal ada kemungkinan terjadi renjatan anafilaksis.


Sayur mayur bisa dianjurkan sebagai pengganti buah, daging sapi atau

kambing sebagai pengganti telur ayam dan ikan.


Makan di restoran kurang aman dan dianjurkan selalu membaca label

bahan-bahan makanan jika membeli makanan jadi.


Desensitisasi pada alergi makanan tidak dilakukan sebab reaksinya hebat
dan sedikit sekali bukti-bukti kerberhasilannya. Andaikata berhasil, selama
desensitisasi penderita juga tetap harus menyingkirkan makanan penyebab
serangan alergi itu.

PROGNOSIS
Alergi makanan yang mulai pada usia 2 tahun mempunyai prognosis yang
lebih baik karena ada kemungkinan kurang lebih 40% akan mengalami grow out.
Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun ke atas cenderung untuk
menetap.(8)

PENUTUP
Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan, merupakan reaksi
IgE-mediated, cell-mediated, ataupun kombinasi keduanya. Alergi makanan perlu
dibedakan dengan reaksi simpang makanan lainnya, seperti keracunan makanan,
20

intoleransi makanan, dan reaksi idiosinkrasi makanan. Prevalensi alergi makanan


di Amerika Serikat sebanyak 3,5-4% dari seluruh populasi, dengan kejadian
terbanyak mengenai anak usia sekolah dan anak di bawah 3 tahun.
Penyebab alergi makanan adalah alergen, yang sebagian besar berupa
glikoprotein dengan berat molekul 10 sampai 70 kd, tahan terhadap panas, asam,
dan enzim proteolitik. Reaksi alergi yang terjadi dapat diperberat dengan adanya
faktor pencetus, berupa faktor fisik dan psikis.
Alergen

yang

masuk

lewat

makanan

akan

menghadapi

barier

gastrointestinal. Barier gastrointestinal memiliki faktor fisikokimia dan faktor


seluler yang mencegah masuknya antigen asing. Imaturitas atau gangguan pada
barier gastrointestinal akan menyebabkan antigen asing, termasuk alergen
makanan, masuk ke mukosa usus dan akan mengaktifkan respon sistem
imunologis. Selanjutnya alergen akan mengalami 2 tahap hingga timbul reaksi
alergi, yaitu tahap sensitisasi dan tahap elisitasi.
Gejala klinis reaksi alergi makanan tergantung dari target organ yang
terkena, biasanya mengenai kulit, sistem respiratorik, dan sistem gastrointestinal.
Pada masing-masing target organ perantaranya, manifestasi yang timbul sesuai
dengan mekanismenya apakah IgE-mediated, cell-mediated, atau kombinasi
keduanya. Pada kulit dapat terjadi urtikaria akut, angioedema, dermatitis atopik,
dermatitis kontak, atau dermatitis herpetiformis. Pada sistem respiratorik timbul
rinokonjungtivitis akut, asma, dan sindrom Heiner. Sedangkan pada sistem
gastrointestinal akan timbul oral allergy syndrome, gastrointestinal anafilaksis,
esofagitis

dan

gastroenteritis

eosinofilik

alergi,

Food

protein-induced

proctocolitis, induced enterocolitis, dan induced enteropathy.


Diagnosis alergi makanan berdasarkan anamnesis, riwayat keluarga,
riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi hingga
sekarang. Pemeriksaan untuk alergi makanan dapat in vivo atau in vitro.
Pemeriksaan in vivo untuk alergi makanan dengan tes kulit dan tes provokasi
makanan. Sedangkan pemeriksaan in vitro diantaranya adalah pemeriksaan IgE,
antibodi monoklonal, pelepasan histamin oleh basofil, dan pelepasan hitamin oleh

21

sel mast intestinal. Tes provokasi makanan merupakan baku emas untuk diagnosis
alergi makanan.
Jika diagnosis alergi makanan telah ditegakkan, manajemen yang terbukti
efisien adalah menghindari makanan penyebab. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan diet eliminasi dan perhatian pasien terhadap label makanan yang dijual.
Edukasi dan persiapan dalam menangani anafilaksis menjadi perhatian berikutnya.
Imunoterapi spesifik yang bermanfaat pada pasien alergi pollen tidak dianjurkan
dilakukan pada pasien alergi makanan, karena risiko anafilaksis. Pengobatan yang
masih dalam penelitian adalah terapi genetik dan anti-IgE.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anton C. Manifestasi alergi makanan pada telinga, hidung, dan tenggorok.
Continuing Medical Education 2011;1-7
2. Sjawitri S. Alergi makanan pada bayi dan anak. Sari Pediatri. Jakarta. 2001.
Vol. 3 No.3. 168-174
3. Widodo J. Alergi makanan, diet, dan autisme. Dalam : seminar alergi
makanan, diet, dan autisme pada anak. Jakarta;1-20 September 2005
4. Alergi Makanan. Dalam :Iris R, Evy Y, penyunting. Edisi pertama. Jakarta :
Internal Publishing; 2009. h.383-86
5. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004; 113:
805 19
22

6. Sampson HA. Immunologic mechanisms in adverse reactions to foods. In:


Anderson JA, editor. Immunology and allergy clinics of north america.
Philadelphia: WB Saunders Company. 1991; 11(4): 701 12
7. Scott S. Clinical Aspects of Gastrointestinal Food Allergy in Childhood.
Pediatrics 2003;111;1609
8. John J. Respiratory Manifestasion of Food Allergi. Pediatric. Vol. 111 No. 6.
h. 1625-29
9. Susan W, Wade W. Food Alergy. Allergy, Asthma & Clinical (AACI). Jakarta.
2011.
10. Ariyanto H, Ananag E. Alergi makanan. www. Perdiatrik. Com.
11. Gideon L. Food Allergy. The New England Journal of Medicine. England.
2008.

23

Anda mungkin juga menyukai