Anda di halaman 1dari 13

Makalah

THE INTERNATIONAL CLASSIFICATION OF


FUNCTIONING, DISABILITY, AND HEALTH 

Oleh:

Muhammad Ifzar Akbari, S.Ked 04054822022205

Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Hj. Fauziah Nuraini, Sp.KFR

DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
DEFINISI ICF
International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF)
adalah suatu konsep yang dikembangkan WHO untuk memberikan gambaran
kondisi kesehatan masyarakat. Merupakan suatu kerangka kerja dari World Health
Organization (WHO) untuk health (kesehatan) dan disability
(disabilitas/kecacatan). Termasuk dalam WHO family of international
classifications (termasuk ICD-10), sebagai suatu sistem klasifikasi, bukan alat
pengukuran klinis.
ICF menyediakan bahasa dan kerangka kerja yang standar (standard
language and framework) untuk deskripsi kesehatan dan kondisi yang berkaitan
dengan kesehatan. ICF menyediakan klasifikasi domain kesehatan yang
membantu mendeskripsikan:
 Perubahan dalam fungsi dan struktur tubuh (Body functions and
structures)
 Apa yang bisa dilakukan seseorang dalam lingkungan standar (Level of
capacity)
 Apa yang bisa dilakukan seseorang di lingkungan mereka biasanya (Level
of performance)

ICF memiliki 2 bagian, dimana setiap bagian memiliki 2 komponen:


1. Functioning dan Disability
 Body functions and Structures
 Activities and Participation
2. Contextual Factors
 Environmental factors
 Personal factors

Fungsi manusia diklasifikasikan oleh ICF:


• Tingkat tubuh/bagian tubuh (level of body or body part)
• Tingkat individu secara keseluruhan (whole person)

1
• Tingkat individu secara keseluruhan dalam konteks sosial (whole person in
social contex)

Body Functions
Fungsi fisiologis sistem tubuh (termasuk fungsi psikologis).
Body Structures
bagian anatomis tubuh / struktur tubuh.
Impairments
Masalah/gangguan pada fungsi atau struktur tubuh.
Activity
Pelaksanaan tugas (task) atau tindakan (action) oleh seorang individu.
Participation
Keterlibatan dalam situasi kehidupan.
Activity Limitations
Kesulitan yang mungkin dialami seorang individu dalam melakukan
kegiatan.
Participation Restrictions
Masalah yang mungkin dialami seorang individu dalam melibatkan diri
pada situasi kehidupan.
Environmental Factors
Faktor lingkungan fisik, sosial, dan sikap dimana orang hidup dan
melakukan kehidupan mereka.

ICF Paisien Stroke


Stroke merupakan penyebab kematian nomor dua dan penyebab kecacatan
jangka panjang nomor satu di dunia. Ada 3 kemungkinan yang dialami oleh
pasien stroke, yaitu : (1) meninggal dunia, (2) sembuh tanpa cacat, dan (3)
sembuh dengan kecacatan/disabilitas. Di Amerika Serikat, hampir 800.000 kasus
stroke terjadi setiap tahun. Setiap tahun, terdapat 15 juta orang di seluruh dunia
yang menderita stroke. 5 juta diantaranya meninggal, 5 juta lainnya mengalami
cacat permanen, dan sisanya dapat sembuh kembali seperti sebelumnya.

2
Pada tahun 2018, jumlah pasien stroke di Indonesia yang berusia lebih dari
15 tahun berdasarkan diagnosis dokter sebanyak 713.783 orang (10,9‰). Jumlah
pasien stroke di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2018 sebanyak 22.013
orang (10,0‰). Stroke merupakan penyebab dasar dari disabilitas neurologi lanjut
usia pada sebagian besar negara yang ditandai dengan adanya penurunan 2 fungsi
kognitif dan motorik sehingga dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya.
Penurunan fungsi motorik karena stroke dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kemampuan aktivitas sehingga pasien mengalami ketergantungan
dalam pemenuhan aktivitas kehidupan sehari-hari. Disabilitas atau orang
berkebutuhan khusus adalah orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan
memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang
berbeda inilah penyandang disabilitas harus diberikan pelayanan khusus agar
dapat mendapatkan hakhaknya sebagai manusia. Disabilitas dibedakan menjadi
disabilitas ringan, sedang, dan berat. Penelitian yang dilakukan Carod-Artal yang
mengukur tingkat disabilitas pasien stroke menggunakan penilaian Barthel Index
(BI), terdapat sebanyak 31,5% pasien disabilitas berat akibat stroke, sebanyak
35% lainnya adalah pasien stroke dengan disabilitas sedang, dan sisanya sebanyak
33,5% adalah pasien stroke dengan disabilitas ringan. Disabilitas terdiri dari
disabilitas fisik dan mental (psikologi).
Pasien stroke umumnya mengalami disabilitas fisik, seperti hemiplegi atau
hemiparesis yang disebabkan oleh terjadinya gangguan motorik. Semakin berat
defisit motorik, maka semakin sulit pula perbaikan motorik pasien tersebut.
Penyandang disabilitas biasanya kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
sehingga memerlukan bantuan dan perhatian dari keluarga ataupun orang
disekitarnya. Oleh karena itu, penyandang disabilitas membutuhkan layanan
rehabilitasi untuk mengembalikan kemandirian pasien dalam mengurus diri
sendiri dan melakukan aktivitas sehari-hari tanpa menjadi beban bagi keluarga
maupun orang di sekitarnya.
Tingkat disabilitas pada pasien stroke perlu diklasifikasikan yang akan
berguna bagi seorang tenaga medis dalam memberikan rehabilitasi yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, World Health Organization (WHO) pada tahun 2001

3
memperkenalkan International Classification of Functioning, Disability and
Health (ICF) sebagai suatu instrumen yang berguna untuk 3 menentukan tingkat
disabilitas. ICF scale memiliki rentang 0-4, semakin kecil skala maka semakin
kecil pula tingkat disabilitasnya. Klasifikasi ICF bermanfaat bagi seorang tenaga
medis saat melakukan rehabilitasi terhadap pasien. Seorang tenaga medis dapat
mengamati aktivitas sehari-hari pasien dan mencatat kemampuan fungsionalnya.
Informasi ini kemudian akan digunakan untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan pasien dapat ditingkatkan melalui terapi.
Untuk mengukur tingkat disabilitas, ICF memakai generic qualifier
(pemeriksaan yang umum dilakukan) sebagai alat ukur. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan kategori body functions dan body structures yang alat
ukurnya sudah jelas. Variabel yang digunakan adalah “Comprehensive ICF Core
Set for Stroke” yang mencerminkan seluruh masalah utama yang mungkin
ditemui pasien stroke di semua usia. Kategori body functions yang akan
digunakan adalah fungsi kesadaran, orientasi, kekuatan otot, bahasa, atensi, dan
memori. Kategori body structures yang akan digunakan adalah struktur otak.
Kelemahan dari konsep ICF untuk stroke adalah sulitnya para ahli menentukan
kategori ICF yang layak untuk dimasukkan ke dalam comprehensive ICF core set
for stroke yang akan digunakan, yang disebabkan karena stroke dapat
mempengaruhi bagian otak manapun sehingga terjadilah perbedaan pendapat dari
para ahli.

ICF PASIEN CP
Istilah cerebral palsy (CP) awalnya diciptakan lebih dari satu abad yang lalu
dan diterjemahkan secara longgar sebagai "kelumpuhan otak." Namun, cerebral
palsy bukanlah diagnosis tunggal tetapi istilah "payung" yang menggambarkan
kelainan motorik atau postural yang dicatat selama perkembangan awal, dan
disebabkan oleh lesi otak yang tidak progresif.  Sekelompok gangguan
perkembangan gerakan dan postur yang menyebabkan keterbatasan aktivitas yang
dikaitkan dengan gangguan non-progresif yang terjadi pada otak janin atau bayi
yang sedang berkembang. Gangguan motorik palsi serebral sering disertai dengan

4
gangguan sensasi, kognisi, komunikasi , persepsi, dan/atau perilaku dan/atau
gangguan kejang.”
Cerebral palsy adalah penyebab utama kecacatan masa kanak-kanak yang
mempengaruhi fungsi dan perkembangan. Lesi otak yang menyebabkan palsi
serebral terjadi sejak masa janin atau neonatus hingga usia 3 tahun. Meskipun
gangguan pada otak yang terjadi setelah usia 3 tahun hingga dewasa dapat
bermanifestasi secara klinis mirip dengan cerebral palsy, menurut definisi,
skenario klinis ini tidak digambarkan sebagai cerebral palsy. Selain itu, terlepas
dari fakta bahwa lesi pada otak yang sedang berkembang terjadi sebelum usia 3
tahun, diagnosis palsi serebral tidak dapat dibuat sampai setelah waktu
tersebut. Beberapa otoritas menganjurkan untuk tidak membuat diagnosis definitif
pada kasus tertentu sampai usia 5 tahun atau lebih. Pendekatan ini memungkinkan
gambaran klinis menjadi jelas dan berpotensi memungkinkan pengecualian
penyakit progresif. 
Klasifikasi
Cerebral palsy diklasifikasikan menurut nada istirahat dan anggota badan
apa yang terlibat (disebut dominasi topografi). Cerebral palsy spastik, karena lesi
korteks/traktus piramidalis, adalah jenis yang paling umum dan menyumbang
sekitar 80% kasus  jenis palsi serebral ini ditandai dengan spastisitas (peningkatan
tonus yang bergantung pada kecepatan), hiperrefleksia, klonus, dan refleks
Babinski yang sedang berlangsung.
Cerebral palsy ekstrapiramidal atau diskinetik terdiri dari 10-15% dari gangguan
ini dan lebih ditandai dengan gerakan tak sadar yang abnormal. Cerebral palsy
ataxic terdiri kurang dari 5% dari cerebral palsy.
Banyak pasien memiliki karakteristik palsi serebral spastik dan
ekstrapiramidal. Jenis-jenis palsi serebral yang khas adalah sebagai berikut:
 Hemiplegia spastik (20-30%) – Cerebral palsy terutama
mempengaruhi 1 sisi tubuh, termasuk lengan dan kaki, dengan
keterlibatan kelenturan ekstremitas atas lebih dari kelenturan
ekstremitas bawah (misalnya, sisi kanan terlibat dengan lengan
kanan lebih dari kaki kanan ). Jika kedua lengan lebih terlibat
daripada kaki, kondisi ini dapat diklasifikasikan sebagai hemiplegia
ganda.

5
Diplegia spastik (30-40%) – Cerebral palsy mempengaruhi
ekstremitas bawah bilateral lebih dari ekstremitas atas; dalam
beberapa kasus, ekstremitas bawah hanya terlibat
 Spastik quadriplegia (10-15%) – Cerebral palsy mempengaruhi
keempat ekstremitas dan batang tubuh (seluruh tubuh)
 Cerebral palsy diskinetik (atetoid, choreoathetoid, dan dystonic) –
Cerebral palsy dengan tanda ekstrapiramidal yang ditandai dengan
gerakan abnormal; hipertonisitas sering dikaitkan
 Cerebral palsy campuran – Cerebral palsy tanpa kualitas nada
tunggal yang dominan; biasanya dicirikan oleh campuran komponen
spastik dan diskinetik
 Cerebral palsy hipotonik – Cerebral palsy dengan hipotonia badan
dan ekstremitas dengan hiperrefleksia dan refleks primitif yang
persisten; dianggap langka
 Monoplegia - Langka; keterlibatan dicatat dalam 1 anggota badan,
baik lengan atau kaki. Jika pasien memiliki monoplegia, upaya harus
dilakukan untuk menyingkirkan penyebab selain palsi serebral.
Sistem klasifikasi fungsional umumnya membagi pasien menjadi tipe
ringan, sedang, dan berat (tergantung pada keterbatasan fungsional). Sebagai
alternatif, pasien dapat dikategorikan secara lebih komprehensif berdasarkan
kemampuan dan keterbatasan mereka, seperti yang diusulkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia pada tahun 2001. Cerebral palsy umumnya dianggap sebagai
ensefalopati statis (yaitu, nonprogresif di alam). Namun, presentasi klinis dari
kondisi ini berubah saat anak-anak dan perkembangan sistem saraf mereka
matang.

FRAKTUR OS FEMUR
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur tulang
femur)yang dapat disebabkan oleh trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian), kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi
tulang/osteoporosis. Fraktur shaft femur adalah fraktur diafisis femur, 5 cm distal
dari trochanter minor dan 5 cm proximal dari tuberkulum adductor. Fraktur shaft
femoralis diamati di semua kelompok usia dan dapat dikaitkan dengan berbagai
mekanisme. Mekanisme trauma pada pasien muda cenderung akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan sepeda motor, pejalan kaki diserang kendaraan,
atau jatuh dari ketinggian. Mekanisme cedera kecelakaan kendaraan bermotor di

6
78%, kecelakaan sepeda motor di 9%, pejalan kaki melanda di 4%, jatuh dari
ketinggian di 3%, luka tembak di 2%, dan mekanisme lain-lain dalam 3%. Pola
fraktur yang oblique di 51% , transversal 29% dan spiral 6%.
Pada pasien yang sadar, diagnosis fraktur shaft femur biasanya jelas. Pasien
biasanya memiliki rasa sakit yang signifikan terlokalisir ke paha. Namun, adanya
cedera terkait atau patah tulang lainnya dapat mengganggu, baik untuk pasien dan
dokter yang memeriksa. Mekanisme cedera merupakan aspek penting dari riwayat
yang mungkin menunjukkan lokasi fraktur, konfigurasi fraktur, dan cedera
jaringan lunak terkait. Waktu dari cedera memberi informasi mengenai potensi
kehilangan darah yang luas, kondisi keseluruhan pasien, dan kemungkinan cedera
jaringan lunak terkait yang signifikan. Lokasi kecelakaan dapat memberikan
informasi mengenai potensi organisme tertentu yang mengkontaminasi fraktur
terbuka dan dampak suhu lingkungan pada kondisi keseluruhan pasien.
Identifikasi setiap komorbid medis terkait juga merupakan aspek penting.
Meskipun informasi ini memiliki sedikit dampak pada diagnosis fraktur femur
yang sebenarnya, ini dapat menentukan waktu perawatan, jenis fiksasi, dan
kebutuhan untuk evaluasi khusus. Pemeriksaan fisik bisa sulit pada pasien dengan
fraktur femur. Namun, pemeriksaan tidak boleh terbatas pada situs yang jelas sakit
dan kelainan bentuk. Protokol dukungan kehidupan trauma lanjutan harus diikuti
dalam evaluasi awal. Pemeriksaan ortopedi harus mencakup inspeksi visual dan
palpasi semua ekstremitas, panggul, dan tulang belakang. Fraktur femur memiliki
dampak pada status hemodinamik pasien, terutama karena potensi kehilangan
darah ke jaringan lunak sekitarnya paha.

Penatalaksaan fraktur shaft femur terdiri atas dua, yaitu: secara konservatif dan
operasi.
A. Konservatif
a. Traksi kulit (skin traction) merupakan pengobatan sementara sebelum
dilakukan terapi definitif untuk mengurangi spasme otot. Yaitu dengan menarik
bagian tulang yang patah dengan menempelkan plester langsung pada kulit untuk
mempertahankan bentuk, membentuk menimbulkan spasme otot pada bagian

7
yang cidera dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam). Dipasang
pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
b. Traksi tulang (skeletal traction) adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan
tulang yang cidera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang pada bagian distal femur maupun
proksimal tibia. Indikasi traksi terutama fraktur yang bersifat komunitif dan
segmental (Handerson, 1997).
c. Cast bracing yang dipasang setelah terjadi union fraktur secara klinis. Secara
umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas
pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris
dengan sumbu panjang tulang yang patah. Kegunaan pemasangan traksi, antara
lain:
- Mengurangi nyeri akibat spasme otot
- Memperbaiki & mencegah deformitas
- Immobilisasi
- Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
- Mengencangkan pada perlekatannya

Prinsip pemasangan traksi:


- Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik
- Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar
reduksi dapat dipertahankan
- Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
- Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
- Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
- Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman

ICF Inventory Musculoskeletal


Body structure Body function Activity &
Participation

8
LOWER LIMB AMPUTATION
Structure of lower Function related to Walking and moving
extremity metabolism (DM)
Structure of Sensation of pain Household task
cardiovascular system
Perceptual function Work & employment
(phantom sensation)
Sensory function: Community life
touch/proprioception
Exercise tolerance function Recreation & leisure
Mobility of joint function Religion & spirituality
(joint contraction)
Muscle power function
(muscle weakness)
OA GENU
Structure of lower Sensation of pain Changing body position
extremity
Structure related to Proprioceptive function Walking & moving
metabolic (obesity)
Mobility of joint function Household task
Muscle power function Community life
Muscle endurance function Religion & spirituality
LOW BACK PAIN
Structure of trunk Sensation of pain Maintaining body
position
Structure of the nervous Sensory function Walking
system
Muscle power function Household task
Work & employment
Religion & spirituality

ICF Inventory Neuromuscular


Body structure Body function Activity &
Participation
BRACHIAL PLEXUS INJURY
Structure of the nervous Sensory function Writing
system
Structure of upper Sensation of pain Carrying, moving &
extremity: shoulder sublux handling objects
Muscle power function Self-care
Function of the skin Household task
(anhidrosis)

9
Education
Work & employment
STROKE
Structure of the brain Cognitive function Thinking/ problem
solving
Structure of upper Seeing/ hearing/ Reading
extremity: shoulder sublux vestibular function
Taste/ smell function Speaking
Sensory function: Carrying, moving,
touch/ proprioception handling object
Articulation function Walking and moving
Exercise tolerance Self-care
function
Muscle power function Household task
Muscle tone function Work and employment
Gait pattern function Community life
MORBUS HANSEN
Structure of the nervous Sensation of pain Carrying out daily
system routine/ self-care
Structure of lower Sensory function Fine hand use
extremity
Structure of upper Muscle power function Walking
extremity
Structure of the skin Mobility of joint Education/Work &
function employment
Community life
SPINAL CORD INJURY
Spinal cord Sensation of pain Changing and maintain
body position
Structure of trunk Sensory function Walking and moving
(fraktur/spondylitis)
Structure of skin (ulkus Defecation function Using transportation
dekub)
Urinary function Self-care
Sexual function Household task
Muscle power function Handling stress (kalo
depresi)
Muscle tone function Education/Work &
(spastisitas) employment
Respiration function Community life
ICF Inventory Pediatry
Body structure Body function Activity & Participation
CEREBRAL PALSY

10
Structure of brain Seeing function Watching
Structure of trunk Hearing function Listening
(scoliosis)
Structure of upper Sensation of pain Basic learning
extremity (kontraktur)
Structure of lower Voice & speech function Focusing attention
extremity (kontraktur)
Respiration function Communication
Ingestion function Changing, maintain body
(disfagia) position
Defecation function Carrying, moving,
(konstipasi) handling objects
Muscle power function Walking & moving
Muscle tone function Self-care
(spastisitas)
MUSCULAR DYSTROPHY
Structure related to Respiration function Changing, maintain body
movement position
Exercise tolerance Carrying, moving,
function handling objects
Muscle power function Walking & moving
Mobility of joint function Self-care
Education
DOWN SYNDROME
Structure of head & neck Muscle power function Watching
region
Structure of upper Mobility of joint function Listening
extremity
Structure of lower Intellectual function Basic learning
extremity
Structure of Seeing&/hearing function Communication
cardiovascular system
Exercise tolerance Mobility
function
Self-care
SKOLIOSIS
Structure of trunk Mobility of joint function Walking, moving around
Respiration function Community/ social life
Exercise tolerance
function
Sensation of pain

Environmental factors:

11
Family/ Friend support
Health services & insurances
Physical geography
Design, construction & building products
Product & technology for ….
Individual attitudes of …

Pustaka
1. http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/27641/1/f0739b937b72572c8bb2d32f9ea6
065b.pdf
2. https://emedicine.medscape.com/article/1179555-overview#a2
3. https://www.jefferson.edu/content/dam/tju/JIEC/files/WHO%20-
%20ICF.pdf
4. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/24e12d942ae4bb2
db2869212bb0375b7.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai