Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS INDIVIDU

STASE FISIOTERAPI PEDIATRI

“MANAJEMEN FISIOTERAPI BERUPA MIRING KANAN DAN MIRING KIRI


AKIBAT KELEMAHAN EKSTENSOR NECK ET CAUSA CEREBRAL PALSY
QUADRIPLEGIA”

OLEH :

RATNA RIANTI
PO715241231062

POLTEKKES KEMENKES MAKASSARPROGRAM


STUDI PROFESI FISIOTERAPI
TAHUN 2024
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Individu


Stase Fisioterapi Neurologi

RATNA RIANTI
PO715241231062

Dengan Judul :

“MANAJEMEN FISIOTERAPI BERUPA MIRING KANAN DAN MIRING KIRI


AKIBAT KELEMAHAN EKSTENSOR NECK ET CAUSA CEREBRAL PALSY
QUADRIPLEGIA”

Tanggal 04 Maret – 24 Maret 2024 di Keanna Center Jakarta telah disetujui oleh
Preceptor dan Clinical Educator

Jakarta, 18 Maret 2024

Preceptor, Clinical Educator,

Yonathan Ramba, S.Pd,S.Ft,Physio, M.Si Ahmad Syakib,S.St. Ft, M.MK.,


NIP. 19670610 199003 1 003 Ftr NIP.19740320 199803 1002
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas berkat rahmat dan

karunia-Nyasehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus stase Fisioterapi

KesehatanPediatri dengan judul “Manajemen Fisioterapi Berupa Miring Kanan Dan

Miring kiri Akibat Kelemahan Exstensor Neck Et Causa Cerebral Palsy

Quadriplegia”.Laporan ini penulis susun berdasarkan praktek stase Fisioterapi Pediatri

di keanna center di jakarta.

Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Pembimbing Klinik,

Pembimbing Akademik, serta teman-teman yang telah memberikan arahan dan

dukungan selama menyusun laporan ini. Laporan klinik ini jauh dari kata sempurna,

oleh itu kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat

dijadikan bahan pembelajaran dalam penuyusun laporan selanjutnya. Penulis berharap

laporan ini dapat bermanfaat bagi Mahasiswa Fisioterapi khususnya dan seluruh

mahasiswa pada umumnya.

Makassar, 18 Maret 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cerebral Palsy (CP) merupakan kelainan atau kerusakan pada otak bersifat

non-progresif yang terjadi pada proses tumbuh kembang. Cerebral Palsy dapat

menyebabkan gangguan sikap (postur), kontrol gerak, gangguan kekuatan otot

biasanya disertai gangguan neurologis berupa kelumpuhan, spastik, gangguan basal

ganglia, cerebellum, dan kelainan mental.

Cerebral palsy adalah masalah umum yang terjadi di seluruh dunia,

insidennya 2-2,5 dari tiap 1000 kehidupan neonatus. Kemajuan manajemen

neonatus dan perawatan obstetric belum menunjukkan penurunan kejadian cerebral

palsy. Sebaliknya, dengan penurunan angka kematian bayi sebenarnya telah terjadi

peningkatan insiden dan keparahan dari cerebral palsy. Insiden pada bayi

premature lebih tinggi dibanding bayi cukup bulan.

Prevalensi penderita CP 1-5 per 1000 kelahiran hidup di Indonesia. Angka

meningkat pada 30 tahun terakhir dikarenakan semakin canggihnya teknologi di

bidang kegawatdaruratan neonatologi sehingga bayi premature yang kritis bisa

terselamatkan, namun bayi yang terselamatkan tersebut mengalami masalah

perkembangan saraf dan kerusakan neurologis. 50% kasus termasuk ringan yaitu

penderita dapat mengurus dirinya sendiri, dan 10% tergolong berat yaitu penderita

membutuhkan pelayanan khusus. Berdasarkan letak kelainan otak dan fungsi gerak

CP memiliki beberapa kategori salah satunya merupakan bentukan CP Anatomi


yang mengalami kerusakan pada kortex cerebellum yang menyebabkan hiperaktive

reflex dan stretch reflex terjadi terbanyak (70-80%).

Gangguan yang ditimbulkan oleh cerebral palsy akan menghambat proses

tumbuh kembang anak. Fisioterapi merupakan bentuk pelayanan kesehatan

masyarakat yang ditujukan kepada individu atau kelompok untuk mengembangkan,

memelihara, dan memulihkan gerak serta fungsi tubuh manusia sepanjang daur

kehidupan dengan pelaksanaan manual, modality, pelatihan fungsi, dan

komunikasi. Sehingga fisioterapi memiliki peran dalam mengoptimalisasi

perkembangan pada anak dengan cerebral palsy.

Berdasarkan pengamatan di lahan praktek, problematik dari pasien dengan

cerebral palsy spastik quadriplegia antara lain : terdapat peningkatan tonus otot

pada keempat ekstremitas atas dan bawah, gangguan kontrol postural, gangguan

keseimbangan, dan hand support inadekuat, gangguan perkembangan motorik

(rolling, merangkak, duduk stabil, transfer dari duduk ke berdiri, berdiri dan

berjalan secara mandiri).


relex, otot mengalami kekakuan dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika

kedua tungkai mengalami spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai

tampak bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk karakterisitik berupa

ritme berjalan yang dikenal dengan gait gunting (scissor gait). CP spastik dibagi

berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu ;

1) Monoplegi → bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan

2) Diplegia → keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat

daripada kedua lengan

3) Triplegia → bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah

mengenai kedua lengan dan kaki

4) Quadriplegia → keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama

5) Hemiplegia → Mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena lebih

berat.

b. CP Atetoid / diskinetik

Merupakan kerusakan pada bangsal banglia yang mengakibatkan

gerakangerakan menjadi tidak terkendali dan terarah. Bentuk CP ini

mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan perlahan.

Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan atau tungkai dan pada

sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan anak tampak selalu

menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat

selama periode peningkatan stress dan hilang pada saat tidur. Penderita juga

mengalami masalah koordinasi gerakan otot bicara (disartria). CP atetoid

terjadi pada 10-20% penderita CP.


c. CP Rigid

Cerebral palsy rigid yaitu kerusakan pada bangsal ganglia yang

mengakibatkan kekakuan pada otot.

d. CP Ataksid

Merupakan kerusakan otot pada cerebellum yang mengakibatkan gagguan

pada keseimbangan. Pasien yang terkena sering menunjukkan koordinasi yang

buruk, berjalan tidak stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar,

meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling berjauhan, kesulitan dalam

melakukan gerkan cepat dan tepat, misalnya menulis atau mengancingkan

baju. Mereka juga sering mengalami tremor, dimulai dengan gerakan volunter

misalnya mengambil buku, menyebabkan gerakan seperti menggigil pada

bagian tubuh yang baru akan digunakan dan tampak memburuk sama dengan

saat pendertia akan menuju obyek yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini

mengenai 5-10% penderita CP.

e. CP Tremor

Cerebral palsy tremor yaitu kerusakan pada bangsal ganglia yang

berakibat timbulnya getaran-getaran berirama, baik yang bertujuan meupun

yang tidak bertujuan.

f. CP Atonik/hipotonik

Hipotonus CP adalah salah satu jenis dri klasifikasi CP yang merupakan

akibat dari gangguan motor delay. Hypotonus yang terjadi pada kasus CP

merupakan central hypotonia. Pada kasus CP pasien akan mengalami

hipotonus secara keseluruhan dan keterlambatan perkembangan motorik yang

signifikan dan memiliki refleks primitif yang menetap dan hiperrefleks, hal ini
yang membedakan hipotonus akibat CP dan hipotonus yang dikarenakan

gangguan saraf tepi (Günel et al. 2014).

g. CP Campuran

Sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu

bentuk CP yang akan dijabarkan di atas. Bentuk campuran yang sering

dijumpai adalah spastic dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga

mungkin dijumpai (Soetjaningsih, 2012).

Menurut Yulianto (Abdul Salim, 2007: 178-182), klasifikasi cerebral

palsy dibagi sesuai dengan derajat kemampuan fungsional yaitu:

1) Golongan ringan, cerebral palsy golongan ringan umumnya dapat

hidup bersama anak-anak sehat lainnya, kelainan yang dialami tidak

mengganggu dalam kegiatan sehari-hari, maupun dalam mengikuti

pendidikan.

2) Golongan sedang, cerebral palsy yang termasuk sedang sudah

kelihatan adanya pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya

sendiri, dapat bergerak atau bicara. Anak memerlukan alat bantuan

khusus untuk memperbaiki pola geraknya.

3) Golongan berat, cerebral palsy yang termasuk berat sudah

menunjukkan kelainan yang sedemikian rupa, sama sekali sulit

melakukan kegiatan dan tidak mungkin dapat hidup tanpa bantuan

orang lain.

2. Etiologi
Etiologi CP sangat beragam dan multifaktorial. Penyebabnya bisa terjadi
karena bawaan, genetik, inflamasi, infeksi, anoxic, trauma dan metabolisme.

Cedera otak bisa terjadi saat prenatal, natal atau setelah melahirkan. Sebanyak

75% - 80% dari kasus CP disebabkan oleh cedera prenatal dan kurang dari 10%

terjadi akibat trauma lahir atau asfiksia. (Sankar & Mundkur, 2005).

Selain itu harus juga diperhatikan faktor-faktor resiko terjadinya CP.

Zeldin dkk (2011) mengatakan bahwa keadaan di bawah ini diperkirakan

merupakan faktor resiko terjadinya CP :

a. Faktor ibu

Faktor resiko cerebral palsy antara lain : siklus menstruasi yang

panjang, riwayat keguguran sebelumnya, riwayat bayi lair mati, ibu

dengan retradasi mental, ibu dengan penyakit tiroid, kejang pada ibu,

riwayat melahirkan anak dengan BB kurang dari 2000 gram dan riwayat

meahirkananak dengan defisit motorik, retradasi mental serta defisit

sensorik.

b. Faktor pranatal

Faktor resiko masa pranatal yaitu : Infeksi berupa Toxoplasma,

Rubella, Cytomegalovirus (CMV), Herpes Simplex dan sifilis. CMV

adalah virus yang paling sering terlibat dalam kerusakan otak selama

kehamilan. (Marret, S; Vanhulle, C; Laquerriere, 2013), ibu terpapar

merkuri, pendarahan pada trimester ketiga, radiasi, asfiksia intrauterin

(plasenta previa, kelainan umbilicus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi

dan lain- lain), bayi dengan retradasi pertumbuhan intrauterin

(IUGR), ibu dalam


pengobatan (hormon tiroid, esterogen, atau progesteron),

malformasikongenital major pada bayi kelainan genetik, polihidramnion.

c. Faktor perinatal

Faktor resiko masa perinatal yaitu : bayi prematur (umur kurang


dari

30 minggu), berat badan lahir kurang dari 1500 g, asfiksi perinatal berat,

hipoglikemia lama/menetap, kelainan jantung bawaan sianosis, anoksia/

hipoksia. d.Faktor pascanatal

Faktor resiko masa pascanatal yaitu : infeksi (meningitis, ensefalitis

yang terjadi pada 6 bulan pertama kehidupan), pendarahan intrakranial

(pada bayi prematur, malformasi pembuluh darah atau trauma kepala),

penyakit metabolik, racun (logam berat), leukomalasi periventrikular,

hipoksik- iskemik dan kernikterus.

3. Patoanatomi dan Patofisiologi

a. Patoanatomi

Perkembangan dan pematangan otak manusia di dalam rahim terjadi

sepanjang periode janin dan diatur oleh serangkaian interaksi kompleks

antara berbagai reseptor, faktor genetik, faktor epigenetik serta pengaruh

lingkungan. Tahapan utama perkembangan selama masa kehamilan dan

waktu relatif perkembangannya dikelompokkan sebagai berikut : neurulasi

primer (kehamilan 3-4 minggu), perkembangan prosensefalik (kehamilan 2-3

bulan), proliferasi neuronal (kehamilan 3-4 bulan), migrasi

neuronal(kehamilan 3-5 bulan) , organisasi neuron (periode pascakelahiran 5

bulan) (Christos, 2018). Mielinisasi pada saraf dimulai pada trimester kedua
dalam kandungan dan berlanjut setelah lahir hingga dewasa. Perkembangan

otak pada janin mencapai maksimal pada bulan kedua dan keempat

kehamilan. Pada masa ini otak rentan mengalami gangguan ataupun

kerusakan yang dimana salah satu faktor penyebabnya yaitu infeksi

(Christos, 2018).

Infeksi intrauterin yang dialami ibu hamil dapat mengaktifkan jalur

inflamasi yang menyebabkan pelepasan berbagai biomarker inflamasi salah

satunya adalah sitokin. Peningkatan paparan kadar sitokin (utamanya IL-6

plasma) pada janin yang mengalami perkembangan dapat mengakibatkan

morbiditas neonatus yang parah termasuk adanya periventrikular

leukomalacia

/PVL (kondisi di mana jaringan otak di sekitar ventrikel rusak, mungkin

karena rendahnya kadar oksigen atau akibat darah mengalir ke otak sebelum,

selama, dan setelah proses persalinan) yang merupakan prekursor terjadinya

cerebral palsy, kelahiran prematur serta microcepali (Christos, 2018).

CP quadriplegi atau dyskinesia adalah yang paling sering terjadi akibat

kerusakan dari ganglia basal dan kerusakan thalamic, cedera cortico-

subkortikal, dan kerusakan pada area pola gerak. Sebuah gangguan

perkembangan pada level kortikal jarang diamati: misalnya proliferasi yang

abnormal dan generasi neuronal seperti yang diamati pada microcephaly,

serta migrasi neuronal yang abnormal. Namun, gangguan pada traktus

kortikospinalis bertanggung jawab terhadap gangguan motorik

perkembangan karena ini merupakan jalur akhir untuk memediasi pengaruh


motoneurons dari batang otak dan sumsum tulang belakang dari hampir

semua eferen serebelumdan ganglia basal (semua melalui perantara relay di

talamus). Otak kecil dan

ganglia basal juga berpengaruh dalam menentukan tonus otot pada CP.

(Marret, S; Vanhulle, C; Laquerriere, 2013).

b. Patofisiologi

Gangguan akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai

faktor saat terjadinya cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi

aliran darah ke otak dan sistem peredaran darah, serta respon biokimia

jaringan otak terhadap penurunan oksigenasi. Kelainan tergantung pada berat

ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Pada keadaan yang berat tampak

ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik yang menyeluruh.

Pada keadaan yang lebih ringan terjadi bercak nekrosis di daerah

paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada

substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh

tergantung tempat yang terkena. Tekanan secara fisik yang dialami oleh bayi

yang mengalami kelahiran sehingga terjadi gangguan imaturitas pada otak

danvaskularisasi cerebral merupakan suatu bukti yang menjelaskan mengapa

prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian

cerebral palsy. Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah janin ke otak

dapat menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi sampai dengan

periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan perdarahan

pada matrik germinal atau periventricular leukomalacia dimana terdiri atas


nekrosis simetris, fokal, pada substansia alba dorsal dan lateral terhadap

sudut eksternal ventrikel lateral. Hal ini dapat membuat terjadinya rongga

kistik, sementara pada kasus yang lebih ringan, mielin dapat berkurang dan

ventrikel lateral mengalami dilatasi. Karena serabut motoric desendens dari

korteks ke ekstremitas bawah adalah yang paling dekat dengan ventrikel, lesi

pada serabut ini paling sering menyebabkan displagia spastik.

Leukomalasia periventricular mengakibatkan pelebaran di kapsula

interna menyebabkan gangguan di piramidalis (traktus kortikospinal).

Gangguan tersebut ditandai dengan adanya gangguan motorik murni dengan

kemampuan kognitif yang masih baik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

gangguan kelemahan kontrol motorik, dan spastisitas. Secara

muskuloskeletal patologi spastik cerebral palsy sering digambarkan sebagai

“short muscle disease‟ karena spastisitas dan reduksi aktivitas volunter

menyebabkan gangguan pada pertumbuhan secara longitudinal pada otot

skeletal. Sehingga ada kecenderungan pertumbuhan pada otot dan tendon

lebih lambat dibandingkan pertumbuhan pada tulang, sehingga

menghasilkan kontraktur yang menetap, torsional sekunder pada tulang dan

ketidakstabilan sendi.

Pada kuadriparesis spastik yang dominan pada ekstremitas atas yang

berkaitan dengan buruknya perfusi pada zona batas anterial dan zona akhir

daerah. Cedera korteks iskemik fokal dan multifocal menunjukkan patologi

yang sama tetapi mengenai daerah sirkulasi lemah yang lebih terlokalisasi

seperti yang diakibatkan dari anomali vaskular, vaskulopati, atau obstruksi


vaskular. Lesi-lesi ini berkaitan dengan terjadinya hemi atau kuadriparesis.

4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis anak dengan cerebral palsy spastik memperlihatkan

Tanda upper motor neuron lesion seperti, kelemahan, hipertonisitas,


hiperefleksia,klonus, refleks patologis, dan kecendrungan mengalami kontraktur

misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan

pronasi, serta jari–jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak

tangan. Tungkaidalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam

fleksi plantar dantelapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks

neonatal menghilang pada waktunya.

Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Adapun gambaran

klinis pada CP quadriplegi spastik, biasanya yang muncul adalah hipertonus,

yangterjadi saat otot merespon berupa kontraksi secara berlebihan. Postur yang

abnormal juga berhubungan dengan CP quadriplegi, ini disebabkan oleh otot

anti gravitasi pada fleksor tangan, dan ekstensor kaki. Serta gangguan gerakan

yang selektif. (Levitt, 2010). Menurut (Egan & Diaz-Granados, 2016) tanda dan

gejala dari Cerebral Palsy Quadriplegi adalahsebagai berikut :

a. Adanya kekakuan pada otot

b. Otot yang cepat berkontraksi dan relaks

c. Sendi yang tidak dapat diulur atau digerakan.

d. Terdapat tremor dan pola scissoring pada anggota badan.

e. Adanya gangguan bicara dan Bahasa.

f. Ketidakmampuan untuk berjalan.

g. Kejang (kadang-kadang dalam enam bulan pertama kehidupan).


h. Adanya masalah kognitif.

Selain itu, CP quadriplegi juga hadir dengan masalah penyerta.

Berikutmasalah penyerta yang sering dialami menurut Levitt (2010):

a. Masalah intelegensi pada anak quadriplegi biasanya lebih sering terganggu.

b. Kurangnya kesadaran sensori dan informasi sensori karena kurangnya

pengalaman sensori pada anak, bisa menjadi hipersensitif atau hiposensitif.

c. Masalah persepsi, disfungsi sensori dan masalah kognitif.

d. Gangguan respirasi.

e. Gangguan menelan.

f. Epilepsi.

B. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi


1. Neuro Development Treatment (NDT)

a. Definisi

Neuro-Developmental Treatment (NDT) atau dikenal juga Bobath

Approach dikembangkan oleh Bobath di Inggris pada awal tahun 1940-an.

Fokus tretament ini adalah dengan pendekatan pemecahan masalah untuk

assessment dan treatment pada individu dengan gangguan fungsi, gerakan

dan kontrol postural karena lesi dari sistem saraf pusat (SSP), dan dapat

diterapkan untuk individu dari segala usia serta semua derajat kecacatan

fisik dan fungsional. Tujuan dari teknik ini adalah meningkatkan kualitas

dan efisiensi pergerakan fungsional pada anak dengan gangguan

neuromotorik. Fokus NDT adalah memfasilitasi kontrol postural dan sikap

postur yang optimal.


Teori yang mendasari konsep Bobath adalah sistem motor control,

konsep plastisitas, prinsip motor learning, serta pemahaman dan penerapan

gerakan fungsional manusia. NDT bukanlah sebuah teknik tapi lebih

ke

proses perkembangan dari motor control dan motor komponen yang

diperlukan untuk aktivitas fungsional. (KEMENKES, 2012)

1) Prinsip utama yang mendasari metode NDT

a) Normalisasi tonus otot.

b) Fasilitassi pola gerakan normal dalam aktifitas keseharian.

c) Variasi gerakan yang mengarah pada fungsional.

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sebelum dilakukan

penanganan antara lain abnormalitas pola gerakan yang disebabkan

oleh pola patologis dan postur yang abnormal sertatonus otot yang

berubah- ubah. Tetapi harus bersifat fungsional dan berhubungan

dengan aktivitas keseharian, serta terapi harus bersifat

multidisipliner (pendekatan tim) dan harusmenyatu dengan

keseharian anak dengan kondisi cerebral palsy (Rood, 2000).

2) Prinsip Teknik NDT

a) Patterns of Movement

Gerakan yang terjadi pada manusia saat bekerja adalah pada

pola tertentu dan pola tersebut merupakan representasi dari control

level kortikal bukan kelompok otot terntentu. Pada anak dengan

kelainan system saraf pusat, pola gerak yang terjadi sangat terbatas,
yang mana dapat berupa dominasi refleks primitif, berkembangnya

pola gerak abnormal karena terbatasnya kemampuan bergerak, dan

adanya kompensasi atau adaptasi gerak abnormal. Akibat lebih

lanjut anak atau penderita akan menggunakan pola gerak yang

abnormal dengan pergerakan yang minim.

b) Use of Handling

Handling bersifat spesifik dan bertujuan untuk normalisasi

tonus, membangkitkan koordinasi gerak dan postur, pengembangan

ketrampilan, dan adaptasi respon.Dengan demikian anak atau

penderita dan dituntun untuk memperbaiki kualitas gerak dan tidak

dibiarkan bergerak pada pola abnormal yang dimilikinya.

c) Prerequisites for Movement

Agar gerak yang terjadi lebih efisien, terdapat 3 faktor yang

mendasari atau prerequisites yaitu (1) normal postural tone mutlak

diperlukan agar dapat digunakan untuk melawan gravitasi, (2)

normal reciprocal innervations pada kelompok otot memungkinkan

terjadinya aksi kelompok agonis, antagonis, dan sinergis yang

terkoordinir dan seimbang, dan (3) postural fixation mutlak

diperlukan sehingga kelompok otot mampu menstabilkan badan

atau anggota gerak saat terjadi gerakan/aktivitas dinamis dari sisa

anggotagerak.

3) Teknik NDT

a) Inhibisi
Inhibisi adalah penghambatan atau penurunan pola-pola sikap

dan gerakan abnormal dengan menggunakan sikap hambat reflek

atau Reflek Inhibitory Postures (RIP). Dengan memberikan posisi

RIP yang benar dan arah yang benar maka sekuensis dari

abnormlitas tonus otot postural akan terjadi dan sekuensis ini

secara terus menerus diikut sertakan pada


terapi. Pada kondisi CP spastic quadriplegi terdapat pola spastisitas

pada lengan dan tungkai. Pola spastisitas pada lengan dngan pola

adduksi dan internal rotasi shoulder, fleksi elbow, pronasi lengan

bawah, fleksi dan ulnar deviasi wristdan fleksi jari-jari. Sedangkan

pola spastisitas yang terdapat pada kedua tungkai dengan pola

adduksi dan internal rotasi hip, fleksi knee, plantar fleksi dan

inverse ankle serta fleksi jari-jari. Maka diperlukan inhibisi kea rah

kebalikan dari pola spastic tersbut (Sidarta, 1997).

b) Key Point of Control: titik yang digunakan terapis dalam inhibisi

dan fasilitasi.

KPoC harus dimulai dari proksimal ke distal.

c) Fasilitasi

Fasilitasi adalah upaya untuk mempermudah reaksi-reaksi

automatik dan gerak motorik yang sempurna pada tonus otot

normal. Tekniknya disebut key point of control. Reaksi sikap dan

gerak normal dengan fasilitasi terdiri atas :

a) Fasilitasi duduk dari posisi tengkurap

b) Fasilitasi kelapa tegak

c) Fasilitasi badan tegak

d) Fasilitasi keseimbangan duduk

e) Fasilitasi merangkak dari duduk

f) Fasilitasi berlutut dari merangkak

g) Fasilitasi keseimbangan berlutut

h) Fasilitasi berdiri dan berlutut


i) Fasilitasi keseimbangan berdiri

j) Fasilitasi berjalan

Tujunnya dari fasilitasi yaitu untuk memperbaiki tonus

postural yang normal, untuk memelihara dan mengembalikan

kualitas tonus normal, untuk memudahkan gerakan-gerakan yang

disengaja, diperlukan dalam aktifitas sehari-hari (Tromboly, 1989).

d) Stimulasi

Stimulasi taktil dan proprioseptif: untuk meningkatkan

sensorik dan motorik. Stimulasi juga dapat merangsang sel otak

(sinaps) . Tujuan dari stimulasi : Meningkatkan reaksi anak untuk

memelihara posisi & pola gerakygdipengaruhi oleh gaya gravitasi

secara otomatis.

Jenis stimulasi :

(1) Tapping →grup otot antagonis.

(2) Placcing & holding→penempatan pegangan .

(3) Placcing Weight Bearing→penumpuan badan.

(4)

Gambar 2.2.
Fasilitasi Reflek Tegak pada Kepala&Supporting
ReactionkeDepan.
Gambar 2.3.
Fasilitasi Ekstensor Vertebrae &Supporting Reactionpada Lengan ke Depan

Gambar 2.4.
Fasilitasi Reaksi Keseimbangan Badan ke Depan Belakang

2. Neuro Senso (Stimulasi Taktil)

a. Defenisi

Menurut (Masgutova & Sadowska, 2015) Neuro senso atau neuro

senso motor reflek development & synchronization (NSMRD&S) adalah suatu

intervensi dengan memberikan stimulasi sensoris berupa taktil (seluruh

tubuh) sebagai pintu utama semua rangsangan atau stimulus yang masuk.

Neuro senso bertujuan melatih proses persepsi, integrasi dan asosiasi sensoris

melalui aktivitas gerak, diharapkan dapat memperbaki sikap, perilaku gerak

dan sensory feedback sehingga anak dapat menjalankan fungsi dan tugas

perkembangan sesuai dengan tahanpan perkembangan. Selain itu pemberian


stimulasi juga bertujuan sebagai relaksasi dan meningkatkan hubungan antar

pasien dan terapis.

a. Konsep

Konsep neuro senso motor reflex development and synchronization

adalah suatu pendekatan untuk kasus atau kondisi neurologi untuk

menghubungkan otak dengan tubuh, berdasarkan perkembangan biologi,

psikologi, neuro, sosio dan kognitif pasien. Pada konsep ini stimulasi

diberikan melalui input sensori meliputi : stimulasi taktil, facial release,

tendon guard dan somato-sensory release (Takarini, 2018). Metode

pendekatan ini memfokuskan pada mekanisme perkembangan dan

pembelajaran gerakan secara natural.

Neuro senso motor reflex development and synchronization

berdasarkan pada konsep dan teori reflek integrasi, hal ini sangat penting

memahami perkembangan gerak dasar sebagai pendukung utama neuro senso

motor reflex development and synchronization yang akan mempengaruhi

pembentukan pola belajar gerak yang bermakna dan fungsional serta

perkembangan pribadi individu. Reflek-reflek yang mengikuti kita seumur

hidup (lifelong reflexes) yaitu: reflek gravitasi, grounding, stabilitas,

balancing, centering, head righting, tendon guard, abdominal, amphibi,

matured gait, sequential side rotation dan spinning reflex. Refleks-refleks

tersebut mengiringi individu seumur hidup dan memberikan pengaruh besar

pada perkembangan struktur dan fungsi tubuh yaitu: kontrol postur,

koordinasi gerakan, sensory integration dan senso- motor integration.


Kematangan refleks juga mempengaruhi perkembangan dan fungsi

otak. Refleks-refleks yang mengikuti kita akan mempengaruhi perkembangan

emosi dan kepribadian serta mempengaruhi cara belajar (learning style) dan

perkembangan kepribadian (Masgutova, 2006).

Salah satu stimulasi neuro senso berupa: sensory motor reflex

stimulation, yaitu stimulasi taktil berupa usapan untuk melancarkan sirkulasi

darah dan memberi efek nyaman. Bertujuan untuk: memberikan rasa

(kinestetik) pada anak mengenai panjang, ukuran dan batasan tubuhnya,

mengembangkan kesadaran anak mengenai hubungan antar titik tengan dari

tubuh dan anggota badan, mengenalkan anak pada struktur tubuhnya,

memungkinkan anak membedakan bagian tubuhnya, mengembangkan

identifikasi anak mengenai tubuhnya sebagai bentuk fisik dirinya dan

rileksasi tendon guard reflex, myofscial release.

c. Kelebihan dan kekurangan metode neuro senso

Kelebihan metode neuro senso yaitu dapat merileksasi otot-otot

tubuh, meningkatkan kemampuan agar terjadi perubahan positif pada

struktur, postur dan, gerak tubuh yang terkoordinasi dan mengaktifkan kerja

reseptor yang berhubungan dengan sentuhan dalam dan tekanan. Kekurangan

metode neuro senso yaitu metode ini tidak bisa diberikan kepada anak

dengan kondisi umum yang kurang baik, misalnya pada anak yang masih

demam.

3. Orthosis (AFO dan Splint)

Backslab atau splint merupakan alat bantu berfungsi untuk memberikan

support pada sendi lutut atau sendi siku dengan cara melimitasi gerakan. Ankle
foot orthosis (AFO) adalah alat bantu orthopaedi berbentuk splint (menutupi

sebagian area lesi/kecacatan) yang dipasangkan pada ankle foot. AFO berbentuk

seperti kaki, fungsi utama dari Ankle foot orthosis (AFO) , Adalah satu jenis alat

penguat anggota gerak yang berfungsi untuk kondisi Flatt Foot, Genu Varus

(pergelangan kaki “O”), genu Valgus (pergelangan kaki “X”), Drop Foot,

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV), koreksi kaki pada anak Cerebral

palsy serta untuk membantu mobilitas pasien Drop foot pasca stroke, Genu

Varus, Genu Valgus. AFO ini dibuat dari bahan polyetilene dan polypropilen.

Alat bantu ini di desain dengan memperhatikan aspek patologis, biomekanis dan

mekanis. (Pratomo, 2012).

Tujuan utama dalam penggunaan orthosis adalah untuk memperbaiki

postur dan kontraktur otot, untuk mendukung posisi sendi normal, dan

memfasilitasi atau meningkatkan fungsi gerak (Knutson, 1991; Fish, 2001).

Selain itu fungsi dari Ankle foot orthosis (AFO) yaitu : mengontrol pergerakan,

mengoreksi alignment, Offload weight, mengakomodasi/ mencegah deformitas,

dan menyediakan tekanan pada circumferensial. Jenis Ankle foot orthosis ada :

Rigid AFO, Fleksible AFO dan Jointed AFO. Jenis jointed AFO memiliki

trimline yang sama seperti AFO rigid namun terdapat penambahan joint pada

bagian ankle. Terdapat mekanisme ankle joint yang mungkin digabungkan ke

jointed AFO untuk membantu pergerakan pada 1 arah dan mencegah pergerakan

ke arah lain. AFO jointed biasanya menggunakan plantarfleksion stop pada

posisi 90o . Jointed afo diberikan ketika memungkinkan gerakan passive dorsi

fleksi. Jointed AFO umumnya di preskripsikan untuk pasien yang membutuhkan

stabilitas subtalar tapi tidak membutuhkan kontrol dorsi fleksi dan plantar fleksi
seperti pasien dengan spastisitas ringan atau pasien dengan hyperektensi

knee (Orlandi et al, 2014).


BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Data Medis

Diagnosa Medis : Cerebral palsy spastik quadriplegi

B. Identitas Umum Pasien

Nama Anak : An. K

Usia : 16 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

C. History Taking

1. Keluhan Utama : Anak usia 1 6 tahun belum mampu

berguling, merangkak,duduk, berdiri, dan berjalan secara

mandiri

2. Penyebab : Cerebral palsy spastik

3. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang :

4. Riwayat Penyakit Dahulu dan Penyerta Orang Tua : -

D. Inspeksi/Observasi

Pasien datang di gendong oleh penjaganya dan dibaringkan langsung ke atas

matras.

1. Statis

1) Mata juling (strabismus)

2) Anak belum mampu mengontrol air liurnya

3) fleksi elbow bilateral,

4) fleksi wrist bilateral


5) fleksi finger bilateral

6) fleksi hip bilateral

7) ankel eversi

8) flat foot

2. Dinamis

a. Nampak asosiasi movement berupa hyperekestensi trunk disertai fleksi

elbow dalam posisi duduk.

E.Pemeriksaan/ Pengukuran Pediatrik

1. General Impression

a. Kognitif : Atensi kurang baik

: Motivasi Ada namun Minim

: Emosi Terkontrol

: Problem solving Ada namun minim

b. Komunikasi : Anak merespon dengan memberikan senyuman atau

menengok saat dipanggil dan tidak menjawab samasekali ketika ditanya

(komunikasi nonverbal).

2. Palpasi

a. Suhu : Tidak ada peningkatan suhu

b. Oedema : Tidak ada oedema

c. Tonus : Terdapat peningkatan tonus pada keempat ekstremitas

3. Pemeriksaan Tonus Otot (Skala Asworth)

Skala Asworth
Dextra Sinistra
elbow 1 1+
wrist 3 3
hip 3 1
ankel 3 3

1. Pemeriksaan Fungsi Sensorik :

a. Visual : Eye contact kurang baik

b. Auditory : Terkadang Menoleh saat dipanggil dan merespon

saat diajak berbicara.

c. Bisa merasakan sentuhan dan nyeri

d. Propioceptif : Belum mampu hand support secara mandiri

duduk maupunsaat posisi merangkak.

F. Diagnosa Fisioterapi

“Belum mampu mika miki secara mandiri akibat kelemahan pada ekstensor

neck et causa cp paraplegi”

G. Problematik Fisioterapi

NO Problematik Fisioterapi

1. Impairment (Body Structure)

a. Hypertonus

2. Impairment (Body function)

a. gangguang kontrol postural

b. hand support

3. Activity Limitation

a. Kesulitan miring kanan dan kiri

b. Kesulitan untuk rolling secara mandiri


4. Participation Restriction

a. Kesulitan untuk bermain seperti teman sebayanya

b. Hambatan saat latihan karena ketidakmampuan

dalam komunikasi
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang

Meningkatkan kemampuan untuk rolling dan merangkak, duduk

tegak tanpa support,transfer dari duduk ke berdiri, berdiri, dan

berjalan secara mandiri serta dapat bermain dengan teman sebaya

tanpa hambatan.

2. Tujuan Jangka Pendek

a. Mengurangi peningkatan tonus otot

b. Meningkatkan kontrol postural dan mengurangi

c. Meningkatkan kemampuan hand support

d. Meningkatkan keseimbangan

B. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi

1. Stimulasi Taktil

Posisi pasien : Posisikan pasien supine lying.

Posisi fisioterapis : Menghadap ke pasien.

Penatalaksanaan : Fisioterapis memberi sentuhan pada

wajah, sendi-sendi ekstremitas superior dan inferior dengan menekan

sendi besar pada kedua ekstremitas dari proksimal ke distal. Ulangi

gerakan sebanyak 5 kali repetisi.


2. Pemasangan AFO

Posisi pasien : Supine lying

Penatalaksanaan : Fisioterapis memfleksikan knee dan ankle

pasien terlebih, kemudian pasangkan AFO dan usahakan tumit –

telapak kaki pasien rapat dengan alas AFO kemudian sambungkan

perekat dengan kuat.

3. Neuro Development Treatment (NDT)/Bobath

a. Inhibisi Pola Spastik

Posisi pasien : Supine lying

Posisi fisioterapis : Menghadap ke pasien.

Tekhnik Pelaksanaan : Inhibisi dilakukan dengan

menggerakkan shoulder ke arah abduksi kemudian internal

rotasi dan dikembalikan ke posisi anatomi. Untuk fleksi pada jari-

jari dilakukan rangsangan taktil pada dorsal tangan lalu wrist di

fleksikan hingga hari-jari membuka dengan sendirinya. Pada

ekstremitas bawah dilakukan mobilisasi pada hip sambal

perlahan-lahan hip diekstensikan.

b. Fasilitasi Rolling

Posisi pasien : Supine lying


Tekhnik Pelaksanaan : Fisioterapis memposisikan tungkai

pasien fleksi hip dan fleksi knee diatas tungkai lainnya untuk

mamfasilitasi rolling. Tunggu adanya gerakan inisiasi dari anak

hingga terjadi rolling.

c. Fasilitasi Transfer dari


Baring ke Duduk Posisi

Pasien :

Prone lying

Posisi Fisioterapis : Berada di depan pasien.

Tekhnik Pelaksanaan : Dari posisi tengkurap anak difasilitasi

untuk melakukan handsupport kemudian fisioterapis

memfasilitasi tungkai agar terjadi angkat panggul dan inisiasi

dari anak untuk mengangkat badan ke posisi duduk. Setelah

anak dalam posisi duduk dilakukan aproksimasi pada trunk.

d. Dosis Latihan

F : 1 kali seminggu.

I : 8 x hitungan/repetisi.

T : Latihan aktif yang terkontrol dan berulang.

T : 45 menit.

C. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

a. Mengedukasi ibu untuk membiasakan anak menggunakan

lengan dan tangan dalam aktivitas sehari-hari.

b. Mengedukasi ibu untuk tidak memposisikan anak dalam satu

posisi saja (supine/terlentang) namun juga distimulasi dengan

posisi yang lain seperti tengkurap.

c. Beritahukan ke keluarga pasien agar selalu mengoreksi postur

pasien.
2. Home program

a. Melakukan latihan aktivitas fungsional seperti memegang atau

meraih benda dengan diberi stimulasi berupa mainan ataupun

benda yang disenangipasien.


DAFTAR PUSTAKA

Berker, N., & Yalçin, S. (2010). The Help Guide To Cerebral Palsy

(Second). Istanbul, Turkey.

Cathleen, E B., 2004; Comparison of three ankle-foot orthosis

configuration for children with spastic diplegia. USA : Department,

shriners hospitals for children. Developmetal Medicine & Child

neurology 2004, 46:590-

Freeman Miller. (2004). Cerebral Palsy. Springer. USA.

Freeman Miller. (2007). Physical Therapy of Cerebral Palsy. Springer. USA.

Günel, Mintaze Kerem, et al. "Physical management of children with

cerebral palsy." Cerebral Palsy-challenges for the future: IntechOpen

(2014): 29-72.

Hariandja, Andy M.A. dan Suharto, 2014. Diktat Fisioterapi Pediatrik (

Physiotherapy For Pediatric), Jurusan Fisioterapi Poltekkes

Kemenkes Makassar.

Karabay İ, Doğan A, Ekiz T, Köseoğlu BF, Ersöz M. Training postural

control and sitting in children with cerebral palsy: Kinesio taping vs.

neuromuscular electrical stimulation. Complement Ther Clin Pract.

2016 Aug;24:67-72. doi: 10.1016/j.ctcp.2016.05.009. Epub 2016

May 12. PMID: 27502803.

Kapoor, R, Barnes, K. 2013. Paediatrics. China: Elsevier.

Kim MR, Lee BH, Park DS. Effects of combined Adeli suit and

neurodevelopmental treatment in children with spastic cerebral palsy


with gross motor function classification system levels I and II. Hong

Kong Physiother J. 2015 Nov 7;34:10- 18. doi:

10.1016/j.hkpj.2015.09.036. PMID: 30931022; PMCID:

PMC6385137.

Marret, Stéphane, C. A. T. H. E. R. I. N. E. Vanhulle, and A. N. N. I. E.

Laquerriere. "Pathophysiology of cerebral palsy." Handbook of

clinical neurology 111 (2013): 169-176.

Marret, S; Vanhulle, C; Laquerriere, A. (2013). Pathophysiology of

Cerebral Palsy. Handbook of Clinical Neurology: Pediatric

Neurology, Part I, 3, 183–195. http://doi.org/10.1016/B978-0-444-

52891-9.00016-6

Masgutova, S. (2015). MNRI® for Children with Cerebral Palsy.

Mark, F. Gregory, A. Christopher, L.Diane, L., 1998; Gait assessment of

fixed ankle- foot orthoses in children with spastic diplegia. Archives

of Physical Medicine and Rehabilitation; 1998; 79(2):126- 133.

Muazarroh, Salma, Totok Budi Santoso, and S. Fis. Penatalaksanaan

Fisioterapi Pada Pasien Dengan Cerebral Palsy Flaccid Hipotonus

Quadriplegi Tipe Ekstensidengan Metode Neuro Senso Motor Reflex

Development and Synchronization dan Neuro Development

Treatment. Diss. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017.

Ni’amah, S., 2017; Desain Orthosis Untuk Penderita Cerebral Palsy

Spastik Dengan Konsep Easy To Use, Lightweight, Dan Social

Confident. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 3- 6.


Orlandi, C et al., 2010; Ankle Foot Orthosis. Univesity Of The East Ramon

MagsasayMemorial Medical Center.

Papalia, D. E., Old s, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human

Development Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika.

Park EY, Kim WH. Effect of Neurodevelopmental Treatment-Based Physical Therapy

on The Change of Muscle Strength, Spasticity, and Gross Motor Function in

Children with Spastic Cerebral Palsy. J Phys Ther Sci. 2017;29(6):966-969.

doi:10.1589/jpts.29.966

Pratomo, R., 2012; Ankle Foot OrthosisAFO. Diakses tanggal 21 agustus

2021.Availablefrom:http://areliamedica.blogspot.co.id/2012/05/ankle

-foot-orthosisafo

Purwanto, Johannes. 2020. Perkembangan Sensori, Persepsi, Kognisi,

Sosio-emosi, dan Motorik pada Bayi dan Anak.

Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC; 1995.

Takarini, N. (2018, April 8). Pendekatan Brain Development (Neuro Senso

MotorReflex Development and Synchronization).

Welfare, C., & Gateway, I. (2015). Understanding the Effects of Maltreatment

on BrainDevelopment.

Anda mungkin juga menyukai