Anda di halaman 1dari 16

Lab/ SMF Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi REFERAT

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

REHABILITASI MEDIK
CEREBRAL PALSY

Disusun oleh :
Sri Jatul Zannah
(NIM. 2110017015)

Dosen Pembimbing

dr. Andy Ardhana Mamahit, Sp.KFR

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Lab/ SMF Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Januari 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat tdengan judul
“Rehabilitasi Medik Cerebral Palsy”. Referat ini disusun dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Andy Ardhana Mamahit,
Sp.KFR selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
masukan kepada penulis sehingga referat ini dapat terselesaikan. Penulis
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan karya tulis
ilmiah ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan
referat ini. Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.

Samarinda, 2 Januari 2022


Penulis

Sri Jatul Zannah


DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Tujuan ..................................................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2

2.1 Definisi .................................................................................................... 2

2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 2

2.3 Faktor Risiko ........................................................................................... 3

2.4 Patofisiologi ........................................................................................... 4

2.5 Gejala Klinis ........................................................................................... 6

2.6 Diagnosis ................................................................................................ 6

2.7 Tatalaksana ............................................................................................. 9

BAB 3 PENUTUP................................................................................................. 13

4.1 Kesimpulan ............................................................................................... 13

4.2 Saran.......................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cerebral palsy adalah kelainan motorik atau postural serta sering
diikuti dengan gangguan sensasi, kognisi, komunikasi , persepsi, dan/atau
perilaku dan/atau gangguan kejang. Cerebral palsy kini telah menjadi
penyebab utama kecacatan pada masa kanak-kanak yang mempengaruhi
fungsi dan perkembangan. (Hamid et al., 2018).
Cerebral palsy merupakan gangguan motorik paling umum di antara
anak-anak dan mempengaruhi sekitar 2 sampai 2,5 per 1000 kelahiran hidup
dengan gangguan fisik sering disertai dengan gangguan kognisi dan
persepsi (Herskindi, Greisen & Nielsen, 2015). Di Indonesia, angka
kejadian cerebral palsy sebesar 1 sampai 5 per kelahiran hidup. Data Riset
Kesehatan Dasar Republik Indonesia (Riskesdas) 2010 mencatat persentase
anak usia 24-59 bulan yang mengalami cerebral palsy sebesar 0,09%
(Kemenkes RI, 2014). Ada sekitar 1.000-25.000 kelahiran dengan diagnosa
cerebral palsy setiap 5 juta kelahiran hidup di Indonesia per tahunnya
(Selekta, 2018).
Penatalaksanaan pasien dengan cerebral palsy bersifat individual
berdasarkan klinis anak dan memerlukan pendekatan multidisiplin ilmu
yang saling bekerjasama dalam proses pemulihan pasien. Pendekatan terapi
pasien dengan cerebral palsy sangat penting terutama pada proses
rehabilitasi pasien. Oleh karena itu pada referat ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai rehabilitasi medik pada pasien cerebral palsy.

1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan rferat ini adalah untuk menambah wawasan
serta ilmu pengetahuan secara umum mengenai Cerebral Palsy. Tujuan
khusus dari penulisan referat adalah mengetahui rehabilitasi medik apa saja
yang dapat dilakukan pada pasien paska cerebral palsy.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah cerebral palsy diterjemahkan sebagai "kelumpuhan otak" yang
menggambarkan kelainan motorik atau postural serta sering diikuti dengan
gangguan sensasi, kognisi, komunikasi , persepsi, dan/atau perilaku dan/atau
gangguan kejang (Hamid et al., 2018). Definisi lainnya yaitu gangguan
perkembangan saraf yang ditandai dengan kelainan tonus otot, gerakan dan
keterampilan motorik, dan dikaitkan dengan cedera pada otak yang sedang
berkembang (Gulati & Sondhi, 2018). Cerebral palsy menjadi penyebab utama
kecacatan pada masa kanak-kanak yang mempengaruhi fungsi dan
perkembangan. (Hamid et al., 2018).
Klasifikasi berdasarkan tipe motorik dan topografi.
• Tipe Motorik: Tipe motorik cerebral palsy termasuk spastik (85%),
diskinetik (7%) dan ataksia (4%) (te Velde et al., 2019).
• Topografi (anggota badan yang terlibat): Tipe motor spastik
diklasifikasikan secara topografis sebagai (i) unilateral (hemiplegia
(40% -60%)) yang mengenai satu sisi tubuh atau (ii) bilateral yang
mengenai kedua sisi tubuh. Cerebral palsy spastik bilateral meliputi:
diplegia (10%-36%), dengan ekstremitas bawah lebih terpengaruh
daripada ekstremitas atas; dan quadriplegia (24% -31%), dengan
batang tubuh dan keempat tungkai terpengaruh (te Velde et al., 2019).

2.3 Epidemiologi
Cerebral palsy adalah gangguan motorik paling umum di antara anak-
anak dan mempengaruhi sekitar 2 sampai 2,5 per 1000 kelahiran hidup dengan
gangguan fisik sering disertai dengan gangguan kognisi dan persepsi
(Herskindi, Greisen & Nielsen, 2015).
National Society for Crippled Children dan United Cerebral Palsy,
menyebutkan bahwa prevalensi cerebral palsy pada Schenectady, New York
sebesar 5,9 kasus per 1.000 kelahiran, sedangkan di Minneapolis, Minnesota,
prevalensinya 1,8 per 1.000 kelahiran hidup. Prevalensi di negara-negara

2
industri cukup stabil pada 1,5–2,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Pada Asia,
prevalensi cerebral palsy yang dilaporkan di Korea Selatan dan Jepang adalah
2-3 kasus per 1.000 kelahiran hidup, tetapi angka yang lebih besar dari 3 kasus
per 1.000 kelahiran hidup di Taiwan (Korzeniewski et al., 2018).
Di Indonesia, angka kejadian cerebral palsy sebesar 1 sampai 5 per
kelahiran hidup. Data Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia (Riskesdas)
2010 mencatat persentase anak usia 24-59 bulan yang mengalami cerebral palsy
sebesar 0,09% (Kemenkes RI, 2014). Ada sekitar 1.000-25.000 kelahiran
dengan diagnosa cerebral palsy setiap 5 juta kelahiran hidup di Indonesia per
tahunnya (Selekta, 2018).

2.4 Faktor Risiko


Lebih dari 50 % penyebab cerebral palsy tidak diketahui. Kelainan
dapat terjadi pada saat di dalam kandungan (prenatal), selama proses
melahirkan (perinatal), atau setelah proses kelahiran (postnatal) (Selekta, 2018).
a) Faktor Risiko Prenatal
1. Fetal Growth Restriction dan preeklamsia ibu
Surveillance of Cerebral Palsy di Eropa mengungkapkan risiko
cerebral palsy empat kali lipat hingga enam kali lipat pada bayi dengan
Fetal Growth Restriction (FGR) yang lahir pada usia kehamilan 32-42
minggu. Usia kehamilan dan hipertensi yang diinduksi kehamilan
dikaitkan dengan peningkatan dua kali lipat hingga sembilan kali lipat
dalam risiko cerebral palsy (Korzeniewski et al., 2018).
2. Infeksi
Infeksi pada ibu dapat menyebabkan cerebral palsy melalui
transmisi patogen ke janin dan dengan induksi peradangan sistemik
persisten. Infeksi seperti toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus dan
virus herpes simpleks selama kehamilan telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko cererbral palsy (Korzeniewski et al., 2018).
b) Faktor Risiko Perinatal
1. Stroke Perinatal
Stroke perinatal, yang terjadi antara akhir kehamilan dan 28 hari
setelah lahir, mungkin menyebabkan setengah dari hemiplegia cerebral

3
palsy pada bayi yang lahir pada aterm. Bentuk paling umum dari stroke
perinatal adalah trombosis dalam distribusi arteri, biasanya di arteri
serebral tengah. Kebanyakan stroke perinatal adalah iskemik, tetapi
stroke hemoragik dapat terjadi, kadang-kadang sebagai komplikasi dari
cedera iskemik (Korzeniewski et al., 2018).
Penyebab stroke perinatal sebagian besar tidak diketahui.
Faktor-faktor seperti pre-eklampsia, FGR, korioamnionitis, ketuban
pecah berkepanjangan, trombosis dan juga posisi abnormal janin atau
disproporsional antara pelvis ibu dan kepala janin menyebabkan partus
lama terlibat dalam peningkatan risiko cerebral palsy (Korzeniewski et
al., 2018).
2. Kernikterus
Ikterus neonatorum adalah komplikasi paling umum pada
periode neonatus, biasanya disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi melintasi sawar darah-otak pada
hari-hari pertama kehidupan dan dapat merusak beberapa bagian otak,
terutama ganglia basalis dan nukleus akustik. Gejala ensefalopati terkait
bilirubin pada bayi baru lahir termasuk lesu, gangguan tonus, sianosis,
muntah, dan tidak adanya refleks hisa. Ensefalopati bilirubin kronis
bermanifestasi sebagai gangguan pemrosesan yang menyimpang
(terutama gangguan pendengaran) dan cerebral palsy (Korzeniewski et
al., 2018).
c) Faktor Risiko Postnatal
Beberapa cedera otak yang terjadi selama periode postnatal dari
perkembangan otak dapat menyebabkan cerebral palsy. Contohnya yaitu
trauma yang menyebabkan kecelakaan fisik trauma kepala, meningitis,
enchepalitis.

2.5 Patofisiologi
Berikut adalah peristiwa dalam perkembangan otak (Hamid et al., 2018):
• Neurulasi primer pada minggu ke 3-4 kehamilan
• Perkembangan prosencephalic pada bulan 2-3 kehamilan

4
• Proliferasi neuron pada bulan 3-4 kehamilan
• Migrasi neuron pada bulan 3-5 kehamilan
• Organisasi pada bulan ke-5 kehamilan hingga tahun-tahun pascakelahiran
• Mielinisasi pada saat lahir hingga bertahun-tahun setelah kelahiran
Patofisiologi terbagi sebagai berikut:
1. Cedera otak atau perkembangan abnormal otak
Cedera atau perkembangan abnormal dapat terjadi setiap saat di
masa perkembangan otak dan mengakibatkan gejala klinis yang bervariasi
dari cerebral palsy. Misalnya terjadi cedera otak sebelum minggu ke-20
kehamilan maka dapat mengakibatkan defisit migrasi saraf; cedera antara
minggu ke-26 dan ke-34 dapat menyebabkan fokus nekrosis koagulatif pada
substansia alba yang berdekatan dengan ventrikel lateral; cedera antara
minggu ke-34 dan ke-40 dapat mengakibatkan cedera otak fokal atau
multifokal (Hamid et al., 2018).
2. Prematuritas Sirkulasi Darah Otak
Sebelum aterm, distribusi sirkulasi janin ke otak menghasilkan
kecenderungan hipoperfusi ke substansia alba periventrikular. Hipoperfusi
dapat menyebabkan perdarahan matriks germinal atau leukomalacia
periventrikular. Antara minggu 26 dan 34 kehamilan, area periventrikular
dekat ventrikel lateral paling rentan terhadap cedera. Karena area ini
membawa serabut yang bertanggung jawab untuk kontrol motorik dan tonus
otot kaki maka gangguan pada area ini dapat menyebabkan diplegia spastik
(Hamid et al., 2018).
3. Leukomalacia Periventrikular
Leukomalasia periventrikular umumnya simetris dan diduga
disebabkan oleh cedera substansia alba iskemik pada bayi prematur. Cedera
asimetris pada periventrikular dapat menyebabkan satu sisi tubuh lebih
terpengaruh daripada yang lain. Hasilnya menyerupai hemiplegia spastik
tetapi paling baik dicirikan sebagai diplegia spastik asimetris (Hamid et al.,
2018).
4. Cedera Vaskular Serebral dan Hipoperfusi

5
Pada aterm, cedera vaskular cenderung paling sering terjadi pada
distribusi arteri serebri media yang mengakibatkan palsi serebral hemiplegia
spastik. Hiporefusi pada ganglia basalis juga dapat mengakibatkan cerebral
palsy ekstrapiramidal atau diskinetik (Hamid et al., 2018).

2.6 Gejala Klinis


Cerebral Palsy dapat menyebabkan gangguan sikap (postur), kontrol
gerak, gangguan kekuatan otot yang biasanya disertai gangguan neurologis
berupa kelumpuhan, spastik, gangguan basal ganglia, cerebellum, dan kelainan
mental (Selekta, 2018).
Gejala pada cerebral palsy diantaranya adalah gejala ekstrapiriamidal,
spastisitas, hemiplegia, diplegia, kejang, dan lain-lain (Hamid et al., 2018).

2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis dimulai dengan riwayat keterlambatan perkembangan motorik kasar
pada tahun pertama kehidupan. Cerebral palsy sering bermanifestasi sebagai
hipotonia dini selama 6 bulan pertama sampai 1 tahun kehidupan, diikuti oleh
spastisitas (Hamid et al., 2018).
Riwayat sebelum lahir mencakup informasi tentang kehamilan ibu,
seperti paparan terhadap obat-obatan terlarang, racun, atau infeksi; diabetes ibu;
penyakit ibu akut; trauma; paparan radiasi; perawatan sebelum melahirkan; dan
gerakan janin. Riwayat abortus spontan dini yang sering, kekerabatan orang tua,
dan riwayat keluarga dengan penyakit neurologis (misalnya, penyakit
neurodegeneratif herediter) juga penting (Hamid et al., 2018).
Riwayat perinatal mencakup usia kehamilan anak saat lahir, presentasi
anak dan jenis persalinan, berat lahir, skor Apgar, dan komplikasi pada periode
neonatal (misalnya, waktu intubasi, adanya perdarahan intrakranial pada
ultrasonogram neonatus, kesulitan makan, apnea, bradikardia, infeksi, dan
hiperbilirubinemia) (Hamid et al., 2018).
Riwayat perkembangan dengan meninjau perkembangan motorik
kasar, motorik halus, bahasa, dan tonggak sosial sejak lahir sampai saat

6
evaluasi. Usia motorik kasar dicapai pada anak-anak yang berkembang
biasanya termasuk kontrol kepala pada usia 2 bulan, berguling pada usia 4
bulan, duduk pada usia 6 bulan, dan berjalan pada usia 1 tahun (Hamid et al.,
2018).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan ini meliputi kontraktur sendi akibat otot spastik, tonus
hipotonik hingga spastik, keterlambatan pertumbuhan, dan refleks primitif yang
persisten. Gejala awal meliputi hipotonia dini, diikuti oleh spastisitas. Pasien
dapat menunjukkan peningkatan refleks, yang menunjukkan adanya lesi neuron
motorik atas. Kondisi ini juga dapat muncul sebagai refleks primitif yang
menetap, seperti refleks Moro (refleks kaget) dan asimetris tonik leher (yaitu,
postur anggar dengan leher diputar ke arah yang sama ketika satu lengan
diluruskan dan yang lainnya ditekuk). Leher tonik simetris, genggaman palmar,
labirin tonik, dan refleks penempatan kaki juga dicatat. Refleks Moro dan
labirin tonik harus hilang pada saat bayi berusia 4-6 bulan; refleks genggaman
telapak tangan, pada 5–6 bulan; refleks leher tonik asimetris dan simetris, pada
6-7 bulan; dan refleks penempatan kaki, sebelum 12 bulan (Hamid et al., 2018).
Pola berjalan keseluruhan diamati dan setiap sendi pada ekstremitas
bawah dan ekstremitas atas harus dinilai, sebagai berikut (Hamid et al., 2018):
1. Pinggul. Fleksi berlebihan, adduksi, dan anteversi femoralis membentuk
pola motorik yang dominan.
2. Lutut. Terjadi fleksi dan ekstensi dengan tegangan valgus atau varus.
3. Kaki. Equinus, atau berjalan jinjit, dan varus atau valgus dari hindfoot
adalah umum pada cerebral palsy.
Gejala pada jenis-jenis khas cerebral palsy yaitu:
a) Cerebral Palsy spastik (piramidal)
Gejala fisik meliputi:
• Hipertoni
• Kekakuan otot dan kesulitan bergerak
• Tremor
• Scissor-gait
• Hiperfleksi

7
b) Cerebral Palsy Diskinetik (ekstrapiramidal)
Gejala fisik cerebral palsy diskinetik meliputi:
• Hipotonia dini dengan gangguan gerak muncul pada usia 1-3 tahun
• Lebih mempengaruhi lengan lebih
• Refleks tendon dalam biasanya normal hingga sedikit meningkat
• Disfungsi oromotor
• Kesulitan berjalan
• Ketidakstabilan tubuh
c) Cerebral Palsy Ataksia (ekstrapiramidal)
Gejala fisik cerebral palsy ataksia meliputi:
• Gangguan keseimbangan dan koordinasi
• Kesulitan mengontrol gerakan halus
• Tremor
• Sleep disorder
• Kesulitan makan dan berbicara
• Gangguan penglihatan
Kondisi lain yang harus dipertimbangkan adalah termasuk penyakit
metabolik dan genetik, sindrom Rett, dan disabilitas intelektual, miopati
metabolik, neuropati metabolik Hamid et al., 2018)

2.8 Tatalaksana
Pertimbangan Pendekatan
Penatalaksanaan pasien dengan cerebral palsy bersifat individual
berdasarkan klinis anak dan memerlukan pendekatan multidisiplin ilmu yang
melibatkan kerjasama tim diantaranya (Selekta, 2018) :
1. Dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi
Seorang spesialis kedokteran rehabilitasi dikonsultasikan untuk
evaluasi dan pengelolaan program rehabilitasi serta pemberian farmakoterapi
(Hamid et al., 2018).
2. Ahli bedah ortopedi
Seorang ahli bedah ortopedi dapat diperlukan untuk membantu
memperbaiki kelainan struktural yang ada (Hamid et al., 2018).

8
3. Ahli saraf dan ahli bedah saraf
Seorang ahli saraf dapat membantu dengan diagnosis banding dan
dengan mengesampingkan gangguan neurologis lainnya juga membantu dalam
penmberian terapi pasien dengan kejang. Seorang ahli bedah saraf
dikonsultasikan untuk mengidentifikasi dan mengobati hidrosefalus, masalah
sumsum tulang belakang dan lainnya (Hamid et al., 2018).
4. Ahli gastroenterologi, ahli gizi, dan tim makan/menelan
Ahli gastroenterologi, ahli gizi, dan tim makan dan menelan
memberikan manajemen kesulitan makan dan menelan dan refluks
gastroesofageal serta menilai status gizi (Hamid et al., 2018).
5. Layanan Fisioterapi
Ditujukan untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak
dan fungsi tubuh dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan
geraki, peralatan, pelatihan fungsi, dan komunikasi (Hamid et al., 2018).
6. Tim ketidakmampuan belajar
Sebuah tim ketidakmampuan belajar multidisiplin yang
mengkhususkan diri pada anak-anak dengan kebutuhan khusus harus
dikonsultasikan untuk mengidentifikasi ketidakmampuan belajar tertentu,
memantau perkembangan kognitif, dan membimbing layanan melalui
intervensi awal dan sekolah. Anak harus dievaluasi oleh pusat peningkatan
komunikasi untuk memandu perawatan bicara dan bahasa dan penggunaan
perangkat komunikatif (Hamid et al., 2018).

Farmakoterapi Manajemen Gerakan Abnormal


Tujuan farmakoterapi pada pasien dengan cerebral palsy adalah untuk
mengurangi gejala (misalnya, kelenturan) dan mencegah komplikasi (misalnya,
kontraktur) (Hamid et al., 2018).
• Muscle Relaxan
Efek relaksan otot dari agen relaksan otot berasal dari penghambatan
transmisi refleks monosinaptik dan polisinaps pada tingkat sumsum tulang
belakang. Ini dianggap bekerja secara terpusat dengan menekan konduksi di
jalur serebelar vestibular (Hamid et al., 2018).

9
• Toksin Botulinum
Toksin botulinum menyebabkan paralisis prasinaps dan mengurangi
kontraksi abnormal dengan mencegah pelepasan asetilkolin dari membran
prasinaps. Efek terapeutik dapat bertahan 3-6 bulan (Hamid et al., 2018).
• Neurolisis intramuskular fenol
Neurolisis intramuskular fenol dianggap sebagai pilihan pengobatan
lain dan diberikan menggunakan perangsang saraf, dan anestesi sering
digunakan saat terapi dilakukan (Hamid et al., 2018).
• Agen antiparkinson, antikonvulsan, antidopaminergik, dan antidepresan
Obat antiparkinson dan agen antispastisitas digunakan dalam
pengelolaan distonia. Antikonvulsan berguna dalam pengelolaan
mioklonus. Benzodiazepin dan baclofen juga digunakan untuk mengatasi
spastisitas (Hamid et al., 2018).

Manajemen Rehabilitasi Medik


Perangkat Orthotic
Orthosis sering diperlukan untuk mempertahankan posisi sendi
fungsional di ekstremitas atas dan bawah, terutama pada pasien nonambulatory
atau hemiplegia. Perangkat ini juga dapat membantu untuk mengontrol posisi
ekstremitas selama gaya berjalan seperti ankle-foot orthosis (AFO) pada foot
drop untuk mencegah tersandung jari kaki pada pasien dengan dorsofleksi yang
tidak memadai. Orthosis dapat menjadi sangat penting pada palsi serebral rawat
jalan untuk meningkatkan gaya berjalan, mengurangi kontraktur, dan
meningkatkan daya tahan. Perangkat seperti AFO membantu mempertahankan
posisi kaki dan mencegah kontraktur yang memburuk; dengan demikian,
orthosis bisa sangat bermanfaat, dan saat memakainya, pasien berpotensi
mengalami lebih sedikit tersandung dan jatuh (Thorogood et al., 2018).
Terapi fisik
Perawatan terkait dengan cerebral palsy ditujukan untuk meningkatkan
interaksi bayi-pengasuh, memberikan dukungan keluarga, menyediakan
sumber daya, dan memberikan pendidikan orang tua, serta mempromosikan
keterampilan motorik dan perkembangan. Orang tua atau pengasuh harus

10
diajari latihan atau kegiatan yang diperlukan untuk membantu anak mencapai
potensi penuhnya dan meningkatkan fungsinya (Thorogood et al., 2018).
Latihan rentang gerak harian (Range Of Motion/ROM) penting untuk
mencegah atau menunda kontraktur sekunder akibat spastisitas dan untuk
mempertahankan mobilitas sendi dan jaringan lunak. Latihan peregangan
dilakukan untuk meningkatkan jangkauan gerak. Penggunaan permainan yang
sesuai dengan usia dan mainan dan permainan adaptif berdasarkan latihan yang
diinginkan adalah penting untuk mendapatkan kerjasama penuh anak.
Penguatan otot ekstensor lutut membantu meningkatkan jongkok dan panjang
Langkah (Thorogood et al., 2018).
Terapi Okupasi
Terapi okupasi untuk anak-anak dengan cerebral palsy fokus pada
aktivitas hidup sehari-hari, seperti makan, berpakaian, toileting, dandan, dan
transfer. Terapi okupasi juga berfokus pada ekstremitas atas. Tujuannya adalah
agar anak berfungsi semandiri mungkin dengan atau tanpa penggunaan
peralatan adaptif (Thorogood et al., 2018).
Terapi berbicara
Banyak anak dengan cererbral palsy dyskinetic dan spastik memiliki
keterlibatan wajah dan orofaring, menyebabkan disfagia, air liur, dan disartria.
Terapi wicara dapat diterapkan untuk membantu meningkatkan kemampuan
menelan dan komunikasi (Thorogood et al., 2018).
Terapi Rekreasi
Penggabungan permainan ke dalam semua terapi anak adalah penting.
Dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan kreatif untuk merangsang
anak-anak, terutama mereka yang memiliki penurunan kemampuan untuk
mengeksplorasi lingkungan mereka sendiri (Thorogood et al., 2018).

11
BAB 3
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Cerebral palsy adalah kelainan motorik atau postural serta sering
diikuti dengan gangguan sensasi, kognisi, komunikasi , persepsi, dan/atau
perilaku dan/atau gangguan kejang. Cerebral palsy sendiri telah menjadi
penyebab utama kecacatan pada masa kanak-kanak yang mempengaruhi
fungsi dan perkembangan sertacgangguan motorik paling umum di antara
anak-anak.
Manjamen cerebral palsy melibatkan multidisiplin ilmu diantaranya
yaitu spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, ahli bedah ortopedi, ahli
saraf dan ahli bedah saraf, Aahli gastroenterologi, ahli gizi, dan tim
makan/menelan, layanan fisioterapi, tim ketidakmampuan belajar.
Manajemen rehabilitasi medik meliputi perangkat orthotic, terapi fisik,
terapi okupasi, terapi berbicara, terapi rekreasi

4.2 Saran
Bagi para dokter, baik ahli rehabilitasi medik maupun dokter umum
dalam melakukan pendekatan terapi pada pasien dengan cerebral palsy
sesuai dengan kompetensi masing-masing. Dalam penulisan referat ini
masih terdapat banyak kekurangan, oleh itu penulis memohon kritik dan
saran yang membangun terkait penulisan referat ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terimakasih.

12
DAFTAR PUSTAKA

Gulati, S., Sondhi, V. Cerebral Palsy: An Overview. Indian J Pediatr 85, 1006–1016
(2018). https://doi.org/10.1007/s12098-017-2475-1
Hamid, et al. (2018). What is cerebral palsy?. Medscape:
https://www.medscape.com/answers/1179555-119911/what-is-cerebral-
palsy
hamid, et al. (2018). Cerebral Palsy. Medscape:
https://emedicine.medscape.com/article/1179555-overview#a4
Herskindi, A., Greisen, G., & Nielsen, B. (2015). Early Identification and
Intervention in Cerebral Palsy. Developmental Medicine & Child
Neurology 2015, 57: 29–36. DOI: 10.1111/dmcn.12531 :
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/dmcn.12531
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). PROFIL KESEHATAN
INDONESIA TAHUN 2014. Jakarta:
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/profi
l-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf
Korzeniewski, S.J., Slaughter, J., Lenski, M. et al. The Complex Aetiology of
Cerebral Palsy. Nat Rev Neurol 14, 528–543 (2018).
https://doi.org/10.1038/s41582-018-0043-6
Selekta, Mayang C. (2018) Cerebral Palsy Tipe Spastik Quadriplegi Pada Anak
Usia 5 Tahun. Majority Volume 7 Nomor 3 Desember 2018: 186-190:
https://juke.kedokteran.unila.ac.id
te Velde, Anna, Catherine Morgan, Iona Novak, Esther Tantsis, and Nadia Badawi.
2019. "Early Diagnosis and Classification of Cerebral Palsy: An Historical
Perspective and Barriers to an Early Diagnosis" Journal of Clinical
Medicine 8, no. 10: 1599. https://doi.org/10.3390/jcm8101599
Thorogood, C. (2018). Rehabilitation and Cerebral Palsy. Medscape:
https://emedicine.medscape.com/article/310740-overview#a6

13

Anda mungkin juga menyukai