Anda di halaman 1dari 149

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi
setiap negara, dimana proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi
informasi memberi dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.
Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk
menyesuaikan dengan berbagai perubahan tersebut. Sayangnya, banyak orang
yang tidak menyadari jika mereka mungkin mengalami masalah kesehatan jiwa.
Gangguan jiwa walaupun tidak langsung menyebabkan kematian, namun
akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban berat
bagi keluarga, baik mental maupun materi karena penderita menjadi kronis dan
tidak lagi produktif. Gangguan kesehatan jiwa, bukan hanya psikotik saja tetapi
sangat luas mulai yang sangat ringan yang tidak memerlukan perawatan khusus
seperti kecemasan dan depresi, ketagihan NAPZA, alkohol rokok, kepikunan pada
orang tua, sampai kepada yang sangat berat seperti skizofrenia.
Hasil survey kesehatan mental rumah tangga (SKMRT) tahun 1995
menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah
tangga dewasa di Indonesia yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT
juga menyebutkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas
mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk, sementara pada rentang usia 5 - 14
tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk. Data WHO menyebutkan,
selama 3 tahun terakhir (2005-2007) diketahui sedikitnya 50 ribu orang
Indonesia melakukan bunuh diri.
Kemiskinan dan himpitan ekonomi adalah penyebab tingginya jumlah
orang yang mengakhiri hidup. Kedua faktor ini juga menjadi penyebab
banyaknya masyarakat menderita sakit jiwa, dimana seseorang menjadi rentan
terhadap terjadinya stress, kecemasan/anxietas, ketergantungan terhadap zat
psikoaktif, perilaku seksual yang menyimpang, serta masalah psikososial lainnya.
Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi
setiap negara termasuk di Indonesia, dimana proses globalisasi dan pesatnya
kemajuan teknologi informasi memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan
budaya pada masyrakat. Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan
yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan tersebut. Kejadian-
kejadian tersebut seluruhnya dilatarbelakangi oleh aspek-aspek kejiwaan seperti
agresifitas, emosi yang tidak terkendali, ketidakmatangan kepribadian, depresi
karena tekanan kehidupan, tingkat kecurigaan yang meningkat, dan persaingan
yang tidak sehat.
Blok 17 kelainan psikiatri ini merupakan representasi dari jenis gangguan
jiwa yang umum terjadi di masyarakat. Pembekalan mahasiswa dengan materi
gangguan psikiatrik akan melengkapi pengetahuan mereka dalam dunia
kedokteran secara utuh disamping membekali mereka dengan pengetahuan
kejiwaan yang akan mereka hadapi dalam praktek kedokteran sehari-hari.

B. Prasyarat
1. Mempunyai kemauan dan kemampuan untuk mendalami materi
gangguan psikiatrik.
2. Telah lulus blok tahun pertama dan tahun kedua.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 2


VISI DAN MISI

Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Mulawarman memiliki visi yang


berlandaskan pada visi Universitas Mulawarman. Visi Universitas Mulawarman
adalah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
bertumpu pada hutan tropika basah (tropical rainforest) beserta lingkungannya,
serta melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif, berdedikasi,
mandiri, dan professional. Dari visi tersebut dilahirkan suatu misi FK Unmul yaitu
menghasilkan lulusan pendidikan dokter yang bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak tinggi, berbudaya Indonesia, bersemangat ilmiah serta
memiliki kemampuan akademik yang profesional dan sanggup untuk berkinerja
baik di lingkungan kerjanya.

Tujuan Khusus
Berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, kekhususan pendidikan dokter di
Universitas Mulawarman diarahkan pada lulusan seorang dokter yang mampu:
• Mengatasi masalah-masalah kesehatan keluarga serta mengembangkan
sistem kedokteran keluarga pada pelayanan primer
• Mengatasi masalah-masalah medik yang timbul akibat dari lingkungan
hidup di daerah hutan hujan basah dan lingkungannya
• Menggunakan pendekatan bio-sosio-psiko kultural dalam memecahkan
masalah kesehatan
• Mengatasi masalah-masalah kesehatan industri dan pertambangan
• Memanfaatkan dan/atau mendayagunakan potensi hutan tropis basah
dalam memecahkan masalah-masalah medik di lingkungannya
• Melakukan pemahaman upaya pengobatan tradisional dalam konteks
upaya pengobatan modern

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 3


STRUKTUR KURIKULUM FK UNIVERSITAS MULAWARMAN
INTERNSHIP

V Rotasi Klinik
TAHUN IV KEGAWATDARURATAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN
19 20 21
IV Kegawatdaru Kegawatdaru Manajemen RE Rotasi Klinik
ratan Medis ratan Bedah Kesehatan M
TAHUN III PENYAKIT KRONIS
13 14 15 16 17 18
III Kelainan Kelainan Kelainan REM Kelainan Kelainan Penelitian REM
Toraks Abdomen Neuro- Kepala dan Psikiatri
muskulo- Leher
skeletal
TAHUN II SIKLUS HIDUP
7 8 9 10 11 12
II Perkembanga Kehamilan Anak dan REM Dewasa Penuaan, Elektif REM
n Sel dan Bayi Baru Remaja Kelainan
lahir Sistemik &
Kulit
TAHUN I FUNGSI NORMAL TUBUH
1 2 3 4 5 6
I Pengenalan Sistem Sistem REM Sistem Sistem Sistem Neuro- REM
Pembelajaran Respirasi Kardiovaskuler Digestif Urogenital muskuloskeletal
di FK Unmul
6 Minggu 6 Minggu 6 Minggu 1 6 Minggu 6 Minggu 6 Minggu 1 Mg
Mg
TAHUN SEMESTER GANJIL SEMESTER GENAP

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 4


KOMPETENSI

Area 1
KOMUNIKASI EFEKTIF

Kompetensi Inti
Mampu menggali dan bertukar informasi (verbal dan non verbal ) dengan
pasien/ pada semua usia, anggota keluarga, masyarakat, kolega dan profesi lain.

1). Berkomunikasi dengan pasien serta anggota keluarganya


1.1. Bersambung rasa dengan pasien dan keluarganya
a. Memberikan situasi yang nyaman bagi pasien
b. Menunjukkan sikap simpati dan dapat dipercaya
c. Mendengarkan dengan aktif (penuh perhatian dan memberi waktu yang
cukup pada pasien untuk menyampaikan keluhannya dan menggali
permasalahan pasien
d. Menyimpulkan kembali masalah pasien, kekhawatiran, maupun
harapannya
e. Memelihara dan menjaga harga diri pasien, hal-hal yang bersifat pribadi,
dan kerahasiaan pasien sepanjang waktu. Memelihara dan menjaga harga
diri pasien, hal-hal yang bersifat pribadi, dan kerahasiaan pasien
sepanjang waktu.

1.2. Mengumpulkan informasi


a. Mampu menggunakan open- maupun close-ended question dalam
menggali informasi (move from open to closed question properly
b. Tidak memberikan nasihat maupun penjelasan yang prematur saat masih
mengumpulkan data-data
1.3. Memahami perspektif pasien

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 5


a. Menghargai kepercayaan pasien terhadap segala sesuatu yang
menyangkut penyakitnya
b. Menggunakan bahasa yang santun dan dapat dimengerti oleh pasien
(termasuk bahasa daerah setempat), serta sesuai tingkat pendidikan
pasien; ketika menyampaikan pertanyaan, meringkas informasi,
menjelaskan hasil diagnosa, pilihan penanganan serta prognosis.

1.4. Memberi Penjelasan dan informasi


a. Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut dan stres
sebelum melakukan pemeriksaan fisik
b. Memberi tahu adanya rasa sakit atau tidak nyaman yang mungkin timbul
selama pemeriksaan fisik atau tindakannya.
c. Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap, dan jujur tentang
tujuan, keperluan, manfaat dan risiko prosedur diagnostik dan tindakan
medis (terapi, operasi, rujukan) sebelum dikerjakan.

Area 2
KETRAMPILAN KLINIS

Kompetensi Inti
Melakukan prosedur klinis sesuai masalah, kebutuhan pasien, dan sesuai
kesenangannya

1. Melakukan prosedur klinik dan laboratorium


a. Memilih prosedur klinis dan laboratorium sesuai dengan masalah pasien
b. Melakukan prosedur klinis dan laboratorium sesuai kebutuhan pasien dan
kewenangannya.
c. Melakukan pemeriksaan fisik dengan cara yang seminimal mungkin
menimbulkan rasa sakit dan ketidaknyamanan bagi pasien
d. Melakukan pemeriksaan fisik sesuai dengan masalah pasien

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 6


e. Menemukan tanda-tanda fisik dan membuat rekam medis dengan jelas
dan benar
f. Mengidentifikasi, memilih dan menentukan pemeriksaan laboratorium
yang sesuai
g. Membuat permintaan pemeriksaan laboratorium penunjang
h. Menentukan pemeriksaan penunjang untuk tujuan penapisan penyakit
i. Memilih dan melakukan ketrampilan terapetik, serta tindakan prevensi
sesuai dengan kewenangannya.

Area 3
LANDASAN ILMIAH ILMU KEDOKTERAN

Kompetensi Inti
Mengidentifikasi, menjelaskan, dan merancang penyelesaian masalah kesehatan
secara ilmiah menurut ilmu kedokteran kesehatan mutakhir untuk mendapat
hasil yang optimal.

1). Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik,


perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan
kesehatan tingkat primer.
a. Menjelaskan (C5) prinsip-prinsip ilmu kedokteran dasar yang
berhubungan dengan terjadinya masalah kesehatan, beserta patogenesis
dan patofisiologinya.
b. Menjelaskan (C5) masalah kesehatan baik secara molekular maupun
selular melalui pemahaman mekanisme normal dalam tubuh.
c. Menjelaskan (C5) faktor-faktor non biologis yang berpengaruh terhadap
masalah kesehatan.
d. Mengembangkan (C5) strategi untuk menghentikan sumber penyakit,
poin-poin patogenesis dan patofisiologis, akibat yang ditimbulkan, serta
resiko spesifik secara efektif

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 7


e. Menjelaskan (C5) tujuan pengobatan secara fisiologis dan molekular.
f. Menjelaskan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan dalam penanganan
pasien.
g. Menjelaskan secara rasional/ ilmiah dalam menentukan penanganan
penyakit baik secara klinikal epidemiologis, farmakologis, fisiologis, diet,
olah raga, atau perubahan perilaku.
h. Menjelaskan pertimbangan pemilihan intervensi berdasarkan
pertimbangan farmakologi, fisiologi, gizi, ataupun perubahan tingkah
laku.
i. Menjelaskan indikasi pemberian obat, cara kerja obat, waktu paruh,
dosis, serta penerapannya pada keadaan keadaan klinik.
j. Menjelaskan kemungkinan terjadinya interaksi obat dan efek samping.
k. Menjelaskan manfaat terapi diet pada penanganan kasus tertentu.
l. Mengidentifikasi perubahan proses patofisiologi setelah pengobatan.
m. Menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam mengelola
masalah kesehatan.

2). Merangkum dari interpretasi anamnesis, pemeriksaan fisik, uji laboratorium


dan prosedur yang sesuai.
a. Menjelaskan (patofisiologi atau terminology lainnya), data klinik dan
laboratorium untuk menentukan diagnosis pasti
b. Menjelaskan alasan hasil diagnosa dengan mengacu pada evidence-based
medicine.

3). Menentukan efektivitas suatu tindakan


a. Menjelaskan bahwa kelainan dipengaruhi oleh tindakan .
b. Menjelaskan parameter dan indikator keberhasilan pengobatan.
c. Menjelaskan perlunya evaluasi lanjutan pada penanganan penyakit.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 8


Area 4
PENGELOLAAN MASALAH KESEHATAN

Kompetensi Inti
Mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat
secara komprehensif, holistik, bersinambungan, koordinatif, dan kolaboratif,
dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer

1). Mengelola penyakit, keadaan sakit dan masalah pasien sebagai individu
yang utuh, bagian dari keluarga dan masyarakat.
a. Menginterpretasikan data-data klinis dan merumuskannya menjadi
diagnosis sementara dan diagnosis diferensialnya.
b. Mampu menjelaskan penyebab, patogenesis, serta patofisiologi suatu
penyakit.
c. Mengidentifikasi berbagai pilihan cara pengelolaan yang sesuai penyakit
pasien.
d. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat
berdasarkan prinsip kendali biaya dan kendali mutu, manfaat, keadaan
pasien serta sesuai pilihan pasien.
e. Melakukan konsultasi mengenai pasien bila perlu.
f. Merujuk ke sejawat lain sesuai dengan Standar Pelayanan Medis yang
berlaku, tanpa atau sesudah terapi awal .
g. Mengelola masalah kesehatan secara mandiri dan bertanggung jawab
sesuai dengan tingkat kewenangannya
h. Memberi alasan strategi pengelolaan pasien yang dipilih berdasarkan
patofisiologi, patogenesis, farmakologi, faktor psikologis, sosial, dan
faktor-faktor lain yang sesuai.
i. Membuat instruksi tertulis secara jelas, lengkap, tepat, dan dapat dibaca.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 9


j. Menulis resep obat secara rasional (tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis,
tepat frekwensi dan cara pemberian, serta sesuai dengan kondisi pasien),
jelas, lengkap, dan dapat dibaca;
k. Mengidentifikasi berbagai indikator keberhasilan pengobatan, memonitor
perkembangan penanganan, memperbaiki dan mengubah terapi dengan
tepat.
l. Memprediksi, memantau, mengenali kemungkinan adanya interaksi obat
dan efek samping, memperbaiki dan mengubah terapi dengan tepat.
m. Mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan lingkungan sosial
sebagai faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit serta
sebagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap pertimbangan terapi.

2). Pencegahan Penyakit dan Keadaan Sakit


a. Mengidentifikasi, memberi alasan, menerapkan dan memantau strategi
pencegahan tertier yang tepat berkaitan dengan penyakit pasien,
keadaan sakit atau permasalahannya
b. Mengidentifikasi, memberikan alasan, menerapkan dan memantau
strategi pencegahan sekunder yang tepat berkaitan dengan pasien dan
keluarganya.
c. Mengidentifikasi, memberikan alasan, menerapkan dan memonitor
kegiatan strategi pencegahan primer yang tepat, berkaitan dengan
pasien, anggota keluarga dan masyarakat.
d. Mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan lingkungan sosial
sebagai faktor resiko terjadinya penyakit dan sebagai faktor yang
mungkin berpengaruh terhadap pencegahan penyakit.

3). Melaksanakan pendidikan kesehatan dalam rangka promosi kesehatan dan


pencegahan penyakit.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 10


a. Mengidentifikasi kebutuhan perubahan perilaku dan modifikasi gaya
hidup untuk promosi kesehatan pada berbagai kelompok umur, jenis
kelamin, etnis, dan budaya.
b. Merencanakan dan melaksanakan pendidikan kesehatan dalam rangka
promosi kesehatan di tingkat individu, keluarga, dan masyarakat.
c. Bekerja sama dengan sekolah dalam mengembangkan 'program Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS)'.

Area 5
PENGELOLAAN INFORMASI

Kompetensi Inti
Mengakses, mengelola, menilai secara kritis kesalahan dan kemampu-terapan
informasi untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah, atau mengambil
keputusan dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan di tingkat primer
1). Memanfaatkan informasi kesehatan
a. Membuat dan menggunakan rekam medis untuk meningkatkan mutu
pelayanan kese

Area 6
MAWAS DIRI DAN PENGEMBANGAN DIRI

Kompetensi Inti
 Melakukan praktik kedokteran dengan penuh kesadaran atas
kemampuan dan keterbatasannya.
 Mengatasi masalah emosional, personal, kesehatan, dan kesejahteraan
yang dapat mempengaruhi profesinya
 Belajar sepanjang hayat

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 11


 Merencanakan, menerapkan, dan memantau perkembangan profesi
secara berkesinambungan

1). Mempraktekkan belajar sepanjang hayat


a. Menunjukkan sikap kritis terhadap praktik kedokteran berbasis bukti
(Evidence-Based Medicine).
b. Mengambil keputusan apakah akan memanfaatkan informasi atau
evidence untuk penanganan pasien dan justifiksasi alasan keputusan yang
diambil.
c. Menanggapi secara kritis literatur kedokteran dan relevansinya terhadap
pasiennya.

Area 7
ETIKA, MORAL, PROFESIONALISME, DAN MEDIKOLEGAL

Kompetensi Inti
 Berperilaku profesional dalam praktik kedokteran serta mendukung
kebijakan kesehatan
 Bermoral dan beretika serta memahami isu-isu etik maupun aspek
medikolegal dalam praktik kedokteran
 Menerapkan program keselamatan pasien
1). Memiliki sikap profesional
a. Menunjukkan sikap yang sesuai dengan Kode Etik Dokter Indonesia
b. Menjaga kerahasiaan dan kepercayaan pasien
c. Menunjukkan kepercayaan dan hormat menghormati dalam hubungan
dokter dan pasien
d. Menunjukkan rasa empati dengan pendekatan yang menyeluruh
e. Mempertimbangkan masalah pembiayaan dan hambatan lain dalam
memberikan pelayanan kesehatan serta dampaknya
f. Mempertimbangkan aspek etis dalam penanganan pasien sesuai standar
profesi.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 12


g. Mengenal alternatif dalam menghadapi pilihan etis yang sulit
h. Menganalisis secara sistematik dan mempertahankan pilihan etik dalam
pengobatan setiap individu pasien
2). Melakukan praktik kedokteran dalam masyarakat multikultural di Indonesia
a. Menghargai perbedaan karakter individu, gaya hidup, dan budaya dari
pasien dan sejawat.
b. Memahami heterogenitas persepsi yang berkaitan dengan usia, gender,
orientasi sexual, etnis, kecacatan dan status sosial ekonomi.
3). Aspek Mediko-legal dalam praktik kedokteran
1. Memahami dan menerima tanggung jawab hukum berkaitan dengan:
 Hak asasi manusia
 Resep obat
 Penyalahgunaan tindakan fisik dan seksual
 Kode Etik Kedokteran Indonesia
 Pembuatan surat keterangan sehat, sakit atau surat kematian
 Proses di pengadilan
4). Aspek keselamatan pasien dalam praktek kedokteran
1. Menerapkan standar keselamatan pasien:
 Hak pasien
 Mendidik pasien dan keluarga
 Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
 Penggunaan metode-metode peningkatan kerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
 Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
 Mendidik staf tentang keselamatan pasien
 Komunikasi yang merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 13


SASARAN PEMBELAJARAN

SASARAN PEMBELAJARAN UMUM :


Setelah menyelesaikan blok ini, mahasiswa mampu memahami gejala,
psikopatologi, diagnosis dan penatalaksaaan gangguan jiwa pada anak, remaja
dan dewasa sesuai dengan standar profesionalitas, moral, dan etika kedokteran.
SASARAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Setelah melakukan diskusi kelompok dan kuliah diharapkan:
1. Mahasiswa mampu memahami tentang Gangguan Mental dan perilaku
akibat penyalahgunaan NAFZA .
2. Mahasiswa mampu memahami tentang psikosis.
3. Mahasiswa mampu memahami tentang gangguan mood.
4. Mahasiswa mampu memahami tentang gangguan neurotik
5. Mahasiswa mampu memahami tentang gangguan tidur.
6. Mahasiswa mampu memahami tentang gangguan psikiatrik post partum
7. Mahasiswa mampu memahami tentang efek samping obat-obat
psikoaktif.
8. Mahasiswa mampu memahami gangguan autis dan gangguan
hiperkinetik dan defisiensi mental.
9. Mahasiswa mampu memahami gangguan somatoform
10. Mahasiswa mampu memahami gangguan seksual
MASALAH
1. Ketergantungan obat
Ketergantungan opioid, ketergantungan kanabinoid, ketergantungan
stimulansia (kokain, amfetamin, metamfetamin), ketergantungan
benzodiazepine.
2. Bicara melantur
Psikotik akut, skizofrenia, delirium, postnatal psychosis, forensik psikiatri.
3. Sedih dan tertekan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 14


Episode depresi mayor, gangguan bipolar I, gangguan bipolar II, gangguan
penyesuaian, postnatal depression
4. Cemas dan gangguan tidur
Gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif
kompulsif, insomnia.
5. Anak belum bisa bicara dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar
Autisme pada anak dan gangguan perkembangan pervasive lainnya.
Ketrampilan klinis
Setelah melaui keterampilan klinis diharapkan :
1. Mampu melakukan wawancara psikiatrik
2. Mampu melakukan pemeriksaan psikometri sederhana

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 15


METODE PEMBELAJARAN

Metode pembelajaran yang dimplementasikan merupakan metode yang


berpusat pada mahasiswa (student centered) meliputi diskusi kelompok kecil
(problem based learning) dan kuliah, seperti kuliah pengantar, kuliah mata kuliah
dasar umum (MKDU), dan kuliah pakar. Kuliah merupakan metode pembelajaran
formal yang sering digunakan untuk penyampaian pengetahuan. Praktikum
masih dilakukan untuk memperkuat pemahaman terhadap pengetahuan yang
telah mereka dapatkan. Laboratorium keterampilan medis juga dilakukan untuk
melatih mahasiswa terampil dalam melakukan keterampilan medis, seperti
keterampilan komunikasi (anamnesis), pemeriksaan fisik, dan prosedural.

1. Problem based learning (PBL)


Kegiatan terdiri atas 7 langkah berdasarkan the seven jumps yang terbagi
atas beberapa tahapan:
 Diskusi kelompok I
Diskusi kelompok I merupakan pelaksanaan langkah 1-5 dari ’the seven
jumps’. Pada tahapan ini dilakukan untuk menentukan masalah,
menganalisa masalah, membuat hipotesa, membuat pertanyaan-
pertanyaan untuk menyelesaikan masalah, mengelompokkan
pertanyaan, menentukan cabang ilmu untuk menjawab pertanyaan,
menentukan buku-buku referensi. Dipimpin oleh tutor.
 Diskusi kelompok II
Pada tahapan diskusi kelompok II mahasiswa melakukan langkah
ketujuh dari ‘the sevent jumps’ berupa melaporkan hasil bacaan
dan/atau hasil pembicaraan dengan nara sumber. Terjadi sharing ilmu
antar mahasiswa. Masih dipimpin oleh tutor.
 Sidang pleno
Masing-masing kelompok mempresentasikan ilmu yang didapat, terjadi
sharing antar kelompok.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 16


Tabel 2. Tujuh langkah pelaksanaan diskusi kelompok (problem based
learning) berdasarkan the sevent jumps)
No Langkah Uraian
1 Identifikasi Istilah Agar memahami masalah, mahasiswa perlu berusaha
mencari istilah-istilah dan konsep yang belum jelas
atau asing dari skenario kemudian menjelaskannya
untuk menyamakan persepsi
2 Identifikasi Mahasiswa berusaha mencari masalah inti dan
Masalah masalah tambahan dalam skenario
3 Analisa Masalah Curah pendapat dengan menggali masalah dan
menjelaskan konsep dengan menggunakan
pengetahuan yang dikuasai sebelumnya
4 Strukturisasi Berdasarkan langkah 2 dan 3 mahasiswa
Konsep mengelompokkan masalah-masalah dan konsep lalu
membentuk pola/skema yang sistematis dan
terangkai secara logis
5 Identifikasi Merumuskan hal-hal yang perlu dipelajari lebih lanjut
Sasaran secara mandiri
Pembelajaran
6 Belajar mandiri Masa belajar mandiri. Mahasiswa mencari informasi
sehubungan dengan tujuan belajar yang telah
dirumuskan pada langkah 5 di perpustakaan,
Internet, kuliah, konsultasi pakar, dan lain sebagainya
7 Sintesis Melaporkan hasil belajar mandiri dan menyimpulkan
pengetahuan yang telah diperoleh dalam diskusi
kelompok kecil

2. Keterampilan medis

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 17


Kegiatan ini merupakan pelatihan keterampilan, psikomotorik dengan
menggunakan phantom atau pasien simulasi. Keterampilan yang diajarkan
meliputi ketrampilan komunikasi, pemeriksaan fisik dan prosedural .

3. Praktikum
Kegiatan praktikum merupakan kegiatan di laboratorium yang memerlukan
aktivitas psikomotorik. Metode praktikum yang diberikan masih konvensional
berdasarkan departemental.

4. Kuliah pakar
Kegiatan kuliah pakar sama dengan kuliah biasa yang hanya memerlukan
orientasi dan diskusi. Kuliah ini akan diberikan oleh pakar sehubungan dengan
topik yang dianggap mahasiswa perlu diterangkan lebih lanjut.

5. Kuliah
Kegiatan berupa orientasi konten dalam modul yang sedang berjalan. Kuliah
yang diberikan berupa kuliah pengantar modul, kuliah topik yang berhubungan
dengan modul dan kuliah MKDU.

6. Belajar mandiri
Kegiatan untuk mencari dan membaca buku-buku referensi, kalau perlu mencari
informasi dari nara sumber. Kegiatan ini merupakan kegiatan tak terstruktur/tak
terjadwal.

Hubungan Antar Topik

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 18


KELAINAN
PSIKIATRI

KETERGANTUNGAN BICARA SEDIH DAN CEMAS DAN ANAK BLM BISA


OBAT MELANTUR TERTEKAN TAKUT, BICARA,ANEH
SUSAH
TIDUR

GMP ZAT
PSIKOAKTIF PSIKOSIS
GANGGUAN
MOOD GANGGUAN GGN
NEUROTIK PERKEMBANG
AN PERVASIF
Psikosis akut,
Ketergantungan skizofrenia,
opioid, delirium, Episode

ketergantungan depresi Gangguan


postnatal
kanabinoid, mayor, panic,
psychosis, Gannguan
ketergantungan gangguan gangguan
forensic autis,
stimulansia bipolar I, cemas
psikiatri Gangguan
(kokain, gangguan menyeluruh,
hiperaktifitas
amfetamin, bipolar II, gangguan
dan
metamfetamin), postnatal obsesif
pemusatan
ketergantungan depression kompulsif,
perhatian.
benzodiazepine. insomnia.
Ansietas
perpisahan.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 19


Sebaran Konten Blok 17 Psikiatri
BLOK 17
KELAINAN PSIKIATRI
NO SYSTEM PENYAKIT KOMPETENSI
1 Developmental Mental deficiency ……..
and behavioral
disorders
2 Autistic disorder 3A
3 Disorder of intellectual skills 1
4 Disorder of motor development 1
5 Disorder of coordination 1
6 Behavior and attention disorders 1
7 Eating disorders Anorexia nervosa 2
8 Bulimia 2
9 Pica 2
10 Rumination in infancy 2
11 Gender identity disorder 2
12 Tics Gilles de la tourette syndrome 1
13 Chronic motor of vocal tic disorders 1
14 Transient tic disorders 3A
15 Disorders of Functional encoperasis 2
excression
16 Functional enuresis 2
17 Speech disorders Uncoordinated speech 2
18 Stammer 2
Misuse of
psychoactive
drugs
19 Psychosis Schizophrenia 3B

20 Other psychoses including reactive 3B


psychosis and
puerperal psychosis
Affective
disorders
21 Bipolar disorders Bipolar disorder, manic episode 3B
22 Bipolar disorder, depressive 3A
episode
23 Cyclothymic disorder 1
24 Unipolar Endogenous depression, single 1
disorders episode and recurrent
25 Dysthymic disorder (or neurotic 1
depression)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 20


26 Depressive disorder not otherwise 1
classified
27 Anxiety Panic disorder with agoraphobia 3A
disorders
28 Panic disorder without agoraphobia 3A
29 Agoraphobia without history of 3A
panic disorder
30 Social phobia 3A
31 Simple phobia 3A
32 Obsessive compulsive disorder 3A
(neurosis)
33 Post traumatic stress disorder 3A
34 Diffuse anxiety disorder 3A
35 Anxiety disorder not otherwise 3A
classified
36 Somatic disorder Disorder of body sensation 3A
37 Conversion disorder (hysterical 3A
neurosis)
38 Hypochondriasis (hypochondriacal 3A
neurosis)
39 Somatisation disorder 3A
40 Somatoform pain disorder 3A
41 Undifferentiated somatoform 3A
disorder
42 Somatoform disorder not otherwise 3A
classified
43 Dissociative Multiple personality 3A
disorders (or
hysterical
neurosis,
dissociative
form)
44 Fugu states 3A
45 Psychogenic amnesia 3A
46 Depersonalisation disorder or 3A
depersonalization neurosis
47 Dissociative disorder, noc 3A
48 Sexual disorders Paraphilia 2
49 Sexual Disorder of sexual desire 3A
dysfunctions
50 Disorder of sexual excitement 3A
51 Disorder of orgasm 3A
52 Sexual pain disorders 3A
53 Sexual dysfuctions, noc 3A

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 21


54 Other sexual Sexual disorders, noc 3A
disorders
55 Sleeping Insomnia 4
disorders
Dyssomnia
56 Hypersomnia 3A
57 Sleep-wake cycle disturbances 1
58 Parasomnia Nightmares 1
59 Night terrors 1
60 Sleep walking 1
61 Disorder of impulse control 1
62 Adjustment disorder 1

63 Psychological factors affecting 3A


physical
Condition
64 Personality Paranoid personality 2
Disorders

65 Schizoid personalinty 2

66 Schizotypal personality 2

67 Antisocial personality 2
68 Borderline personality 2
69 Histerionic personality 2
70 Narcisistic personality 2
71 Avoidance personality 2
72 Dependent personality 2

73 Obsessive-compulsive personality 2
74 Passive-aggressive personality 2
75 Personality disorders, noc 2
76 Side effects of Extrapyramidal side effects (eg. 3A
psychoactive Acute dystonia, tradive dyskenia,
drug therapy parkinsonism)
77 Anticholinergic side effects 3A

78 Sedative side effects 3A


79 Malignant neuroleptic syndrome 2
80 Other items of Knowledge of forensic psychiatry 1
knowledge
81 Knowledge of indication for 1

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 22


involuntary admission to hospital
82 Knowledge of basic principles of 1
methods used by different
psychotherapeutic schools (eg.
Rogerrian, psychoanalytic, etc)
83 Neuropsychiatric Pseudoconstipation 3A
and
psychosomatic
disorders
(pediatrics)
84 Encopresis (??) 3A
85 Anorexia nervosa 3A
86 Bulemia 3A
87 Tics, neuropathic behavior 3A
88 Hyperkinetic syndrome 3A
89 Primary infantile autism 3A
90 Disorders of mother-child 3A
relationship
91 Disorders due to social deprivation 3A
92 Neurotic disorder of childhood 3A
93 Breath holding due to excitement 3A
94 Puerpurium Postnatal psychoses 3A
95 Post natal depression 3A
Usulan Forensik-Psikiatri

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 23


MODUL 1
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU PENYALAHGUNAAN ZAT
(SUBSTANCE ABUSE)

I. Tutorial
Skenario:

” SABU, SANG BENCANA”

Seorang Pemuda, 22 tahun, pemakai sabu-sabu dan sering bermasalah


dengan keluarganya, ia dibawa oleh keluarganya ke poliklinik psikiatri, ia
mengaku kepada keluarganya sudah tidak memakai sabu-sabu lagi, sudah lama
kira2 sejak satu tahun yang lalu. Pihak keluarganya tetap hendak konsultasi ke
dokter karena pemuda tersebut mau jadi CPNS.Hasil pemeriksaan fisik: Tekanan
darah 150/90 mmHg, nadi 99x/mnt, nafas 22x/mnt, afebris. Autoanamnesa:
pasien sering rileps, pasien mengaku muncul sugesti bila mendangar kata sabu,
biasanya teman akrab yang menjadi triggernya. Pernah rehabilitasi di pesantren
tapi bosan, Pasien tidak mau tes-urine NAPZA karena merasa tidak pakai lagi
sabu-sabu. Hasil tes urine terlihat hasil reaktif pada met-amfetamin dan non-
reaktif pada morpin, THC dan benzodiazepin. Dokter menyarankan untuk
dilakukan terapi awal dengan program detoksifikasi.

Step 1. Identifikasi istilah


Autoanamnesis : wawancara langsung dengan pasien untuk mendapatkan
keterangan tentang kondisi mental /status mental pasien.
Afebris : tidak ada demam
Rileps : kondisi pasien yang kembali memakai zat setelah berhenti
selama > 6 bulan setelah menjalani pengobatan.
Sugesti : keadaan keinginan pasien secara psikis ingin memakai zat
Trigger : orang atau benda yang menjadi pimicu pasien unutk
berkeinginan memakai kembali
Rehabilitasi : proses pemulihan ketergantungan NAPZA yang dilakukan secara
berencana melalui beberapa tahapan dan dapat dilakukan baik
secara rawat tinggal (residiensial) dan atau rawat jalan (afercare)
dengan tujuan adalah usaha untuk mengembalikan pasien ke
masyarakat untuk menjadikannya sebagai warga yang
swasembada dan berguna
Tes-urine NAPZA: tes identifikasi metabolit NAPZA melalui air seni pasien yang
menggambarkan seseorang telah memakai zat selama kurun
waktu tertentu.
Reaktif : adalah reaksi yang positif antara reagen antigen dan zat
metabolit NAPZA dalam urine, artinya kencing ini menandung
metabolit zat NAPZA.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 24


Non-reaktif : adalah reaksi yang negatif antara reagen antigen dan zat
metabolit NAPZA dalam urine, artinya kencing ini tidak
menandung metabolit zat NAPZA.
NAPZA : singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya
Met-Amfetamin: nama generik dari sabu-sabu, secara ilmiah zat ini termasuk
jenis psikotropika. Dalam UU 35 tahun 2009 termasuk Narkotika
golongan I.
Morpin : narkotika yang berasal dari opiat atau candu, ekstrak tanaman
Papaver somniferum (poppy), telah dikenal sejak berabad yang
lalu (early civilization).
THC : kepanjangan dari Tetrahydrocannabinol, Delta 9
tetrahydrocannabinol, dan dikenal sebagai ganja atau kanabis

Benzodiazepin : golongan sedatif yang tidak termasuk golongan narkotika


Detoksifikasi : Fase awal re-enteri program rehabilitasi dalam proses ini
dilakukan penilaian awal terhadap ketergantungan, terapi obat
simtomatik dan komplikasinya.Fase ini dapat dilakukan dalam 1-3
minggu.

Step 2. Identifikasi masalah

1. Mengapa pasien sering menutupi penggunaan zat


walaupun kepada keluarganya?
2. Bagaimana mekanisme munculnya gejala-gejala
tersebut?
3. Pemeriksaan apa saja yang dilakukan terhadap
pasien narkoba?
4. Apa saja yang didapat dari pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut?
5. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
sesorang memakai NAPZA?
6. Komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada
pengguna NAPZA?
7. Apa saja yang dilakukan untuk melakukan terapi
dan rehabilitasi ketergantungan NAPZA?

Step 3 Analisa masalah

I. BATASAN
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU PENYALAHGUNAAN ZAT
(SUBSTANCE ABUSE)

Menurut UU RI No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, yang dimaksud


dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan,

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 25


baik yang sintesik maupun semi sintetik, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi hingga menghilangkan
rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Jenis narkoba yang banyak digunakan antara lain :
1. Golongan opioids (morfin, heroin/putaw, opium, metadon)
2. Golongan stimulansia (kokain, amfetamin, shabu-shabu, pil ekstasi)
3. Golongan kanabioid (ganja/mariuana, hashis)
4. Golongan depresan (benzodiazepine/lexitan/rohipnol)
5. Halusinogen
6. Inhalan
7. Alkohol
Tahap keterlibatan seseorang pada penggunaan narkoba dapat dibagi sebagai
berikut :
1. Kontak pertama (ingin tahu, coba-coba)
2. Eksperimental (menggunakan jenis lain, dengan cara lain)
3. Rekreasional (digunakan saat tertentu, pemakaian masih terkendali)
4. Situasional (digunakan untuk mengatasi keadaan tertentu,
ketergantungan psikis)
5. Intensif/penyalahgunaan/dependensi (pemakaian reguler, penghentian
dapat timbul gejala putus obat)
6. Kompulsif/ketergantungan/adiksi (bentuk ekstrim dari dependensi)

Riset menunjukkan penggunaan narkoba yang lama dan berulang2


menyebabkan terjadinya gangguan kimiawi dan fungsi otak (‘brain chemistry and
function’) yang signifikans. Adiksi narkoba adalah salah satu bentuk gangguan
otak karena penggunaan narkoba yang menyebabkan terjadinya perubahan
mental emosional dan perilaku.

* Yang dimaksud dengan ‘adiksi’ adalah kecanduan atau ketergantungan, sedang


‘narkoba’ adalah singkatan dari ‘narkotik dan bahan adiktif lain’. Narkoba sering
juga disebut dengan istilah napza yang merupakan akronim dari narkotik,
alkohol, psikotropik dan zat adiktif lain.
Kecanduan narkoba adalah suatu penyakit menahun, sering relaps,
namun mirip dengan Diabetes Mellitus tipe 2 dan Hipertensi yang dapat diobati
dan disembuhkan. Faktor2 yang menyebabkan terjadinya relaps adalah: genetic
heritability, pilihan personal dan lingkungan.

Penelitian selama lebih dari 50 tahun menunjukkan masuknya berkali2


narkoba kedalam tubuh menyebabkan terjadinya gangguan mekanisme otak
yang bertanggung jawab terhadap fungsi generasi, modulasi dan pengendalian
perilaku kognitif, emosional dan sosial.

II. DIAGNOSIS

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 26


Tugas dan peran dokter dalam penanggulangan NAPZA antara lain adalah
menegakkan diagnosis secermat mungkin dan memberi terapi agar penderita
sembuh atau meringankan penderitaan termasuk dampak psikososialnya.
Menegakkan diagnosis penyalahgunaan zat tidak selalu mudah,
keterangan pengguna kurang bisa dipercaya, ada kecenderungan menutup-
nutupi atau mengecilkan masalah. Meskipun demikian, dengan catatan tentang
keterbatasannya, keterangan pengguna dan keluarga tetap diperlukan untuk
mendapatkan “gambaran” riwayat penggunaan zat.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan sistem Diagnosis Multiaksial dalam
Suplemen Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III,
Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV dari American
Psychiatric Association :

Aksis I : Gangguan klinik dan Kondisi lain yang mungkin menjadi


fokus perhatian klinis
Aksis II : Gangguan kepribadian dan Retardasi Mental
Aksis III : Problem Medis umum
Aksis IV : Problem psikososial dan lingkungan
Aksis V : Penilaian fungsi secara global

(lihat lampiran 1: nomor kode diagnosis F 10 – F 19 menurut PPDGJ III dan ICD
10)
Selanjutnya pemeriksaan fisik tentang tanda-tanda pemakaian akan
memperkuat dugaan penggunaan zat psikoaktif dan diagnosis pasti adalah
melalui pemeriksaan laboratorium (urine, darah ) terhadap zat psikoaktif yang
dicurigai.

II.1. Anamnesis

II.1.1. Autoanamnesis

Anamnesis harus teliti dan hati-hati, selain untuk mengungkapkan


permasalahan secara cukup terbuka, juga agar pemeriksa terhindar dari
kemungkinan manipulasi gejala maupun riwayat penyakit oleh pemakai guna
mendapatkan obat-obat yang dinginkan dari pemeriksa.
Hal-hal yang perlu ditanyakan :
 Data perorangan (demografi)
 Riwayat pemakaian obat/zat : zat yang pernah digunakan, kapan mulai
menggunakan, zat yang dipakai teratur, dosis, frekwensi dan cara
pengunaan, riwayat gejala intoksikasi dan putus zat, jumlah dan waktu
pemakaian teratur, alasan tujuan pemakaian, keluhan penderita
 Tingkat/tahap penyalahgunaan
 Aspek sosiolegal : pendidikan, pekerjaan, keterlibatan legal dan kriminal,
keadaan keluarga, aktivitas sosial lainnya
 Lain-lain

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 27


II.1.2. Alloanamnesis

Keterangan keluarga digunakan sebagai pembanding pelengkap. Orang


tua atau keluarga biasanya tidak mngetahui kapan mulai penyalahgunaan zat,
tetapi bisa mengetahui sejak kapan pengguna mulai memperlihatkan perubahan
sikap, perilaku, kebiasaan, prestasi sekolah dan kerja.

II.1.3. Ciri-ciri yang patut dipikirkan kemungkinan seseorang terlibat


penyalahgunaan zat
 Perubahan sikap dan perilaku
- Prestasi sekolah menurun drastis, sering membolos, pemalas, kurang
bertanggungjawab dan tidak mengerjakan tugas sekolah.
- Bersikap emosional, mudah marah dan tersinggung, pencuriga dan
bersikap kasar
- Sering berbohong, memakai uang sekolah, berhutang, menjual barang-
barang milik sendiri atau anggota keluarga, mencuri dll
- Pola tidur berubah ( malam begadang, pagi sulit dibangunkan, kadang-
kadang tertidur di sekolah).
- Kehilangan minat terhadap hobi dan kegiatan lain yang biasanya
disenangi.
- Menghindari pertemuan dengan anggota keluarga lainnya ( sering
mengurung diri di kamar dan jarang mau makan bersama).
- Sering pergi ke kafe, diskotik atau pesta.
- Sering pulang larut malam atau menginap di rumah teman.
 Perubahan fisik
Gejala tergantung pada zat yang digunakan. Gejala pada umumnya adalah :
- Gejala pada saat menggunakan : apatis (acuh tak acuh), tampak
mengantuk, jalan sempoyongan, bicara cadel (pelo).
- Bila kelebihan dosis : denyut nadi dan detak jantung lambat, kulit teraba
dingin, napas lambat/berhenti, meninggal.
- Gejala sedang ketagihan (putus zat) : mata dan hidung berair, menguap
terus, mual/muntah, sakit perut, diare, nyeri otot dan tulang, rasa sakit
diseluruh tubuh, takut air sehingga tidak mau mandi, depresi (pengguna
amfetamin), kejang (pengguna alkohol atau obat penenang).
- Pengaruh jangka panjang : badan kurus, penampilan tidak sehat, pucat,
tidak perduli terhadap kesehatan dan kebersihan diri, gigi tidak terawat
dan sering ompong (gigi rapuh), terdapat deretan bekas suntikan pada
lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna NAPZA dengan jarum
suntik).
 Ditemukannya NAPZA atau peralatan untuk menggunakannya.
- NAPZA : tablet, serbuk, kristal atau lintingan rokok di kantong
kemeja/celana, lipatan baju, di dalam tas/buku, di laci/lemari, di tempat
pensil, di dalam bungkus rokok, kaset, tape recorder dan lain-lain.
- Alat yang berhubungan dengan penggunaan NAPZA :

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 28


Botol Aqua yang berlubang di dindingnya, plastik kecil-kecil (bekas
pembungkus) sedotan minuman, gulungan uang kertas pecahan 100 atau
500 rupiah, kertas timah bekas bungkus rokok/permen, kartu telepon,
botol-botol mini sebesar jempol, bong (botol tertutup dengan 2 pipa yang
masuk ke dalam air di dalam botol), jarum suntik dan spuit, sendok yang
bekas dibakar, korek api yang ujungnya dibuang dan lain-lain.
 Ditemukan sedang menawarkan NAPZA kepada orang lain.
Anak yang menjadi penjual, pada umumnya juga pengguna.

II.2 Faktor predisposisi teregantungan NAPZA


Beberapa faktor dapat menjadi alasan atau latar belakang penggunaan zat adiktif
dan biasanya saling berinteraksi. Faktor resiko tinggi atau faktor kontributif ini
dapat dibagi menjadi dua kelompok: (1) faktor individu dan (2) faktor lingkungan.

1. Faktor individu
a. Faktor konstitusi, misalnya kerentanan
sistem neuro transmitter dan temperamen bawaan. Faktor ini berasal dari
kondisi biologik dan genetik.
b. Faktor kepribadian, misalnya individu yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Impulsif, diekspresikan dalam
bentuk tidak dapat menunda keinginan
- Tidak mampu mengatasi perasaan-
perasaan tidak enak (painful effect, misalnya amarah, rasa bersalah,
kecemasan, ketakutan), dan takut akan kegagalan.
- Perasaan rendah diri, tidak
mempunyai keyakinan diri yang mantap, kesulitan dalam
mengungkapkan perasaan
- Toleransi terhadap frustasi yang
rendah
- Menghindar dari tanggung jawab
tetapi menuntut hak
- Mengalami depresi, baik yang jelas
maupun yang terselubung, yang sering disertai kecemasan dan perilaku
agitatif yang didasari agresi yang terpendam.
Ciri-ciri ini bercampur dalam variasi yang berbeda antar individu. Bentuk
kepribadian tersebut berkembang dan terbentuk melalui gabungan antara
pola asuh orang tua pada masa pra-remaja dengan faktor konstitusi.
Beberapa faktor pola asuh yang berpengaruh negatif terhadap
perkembangan kemandirian seorang individu adalah:
- pola asuh yang diwarnai kritik, dominasi dan otoritas yang
berlebihan
- pola asuh yang melindungi (over protective)
- pola asuh yang tidak konsisten
Ciri-ciri individu penyalah guna zat adalah:

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 29


- rasa ingin tahu yang kuat dan ingin mencoba
- tidak bersikap tegas terhadap tawaran/ pengaruh teman
sebaya
- penilaian diri yang negatif (low self esteem) seperti merasa
kurang mampu dalam pelajaran, pergaulan, penampilan diri atau tingkat/
status sosial ekonomi yang rendah
- rasa kurang percaya diri (low self-confidence) dalam
menghadapi tugas
- mengurangi rasa tidak enak, ingin menambah prestasi
- tidak tekun dan cepat jenuh
- sikap memberontak terhadap peraturan/tata tertib
- pernyataan diri sudah dewasa
- identitas diri yang kabur akibat proses identifikasi dengan
orang tua/penggantinya yang kurang berjalan dengan baik, atau
gangguan identitas jenis kelamin, merasa diri kurang jantan
- depresif, cemas, hiperkinetik
- persepsi yang tidak realistik
- kepribadian dissosial (perilaku menyimpang dari norma yang
berlaku)
- penghargaan sosial yang kurang
- keyakinan penggunaan zat sebagai lambang keperkasaan atau
kemodernan (anticipatory belief)
- kurang menghayati ajaran agama

2. Faktor lingkungan
- Mudah memperoleh zat adiktif
- Tekanan dari teman sebaya
- Komunikasi orang tua dengan anak yang kurang efektif
- Hubungan antar orang tua (ayah-ibu) yang kurang harmonis
- Orang tua atau anggota keluarga lainnya menggunakan zat adiktif
- Lingkungan sekolah yang tidak tertib
- Lingkungan sekolah yang tidak memberi fasilitas bagi penyaluran
minat dan bakat para siswanya.

II.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan penekanan pada kemungkinan


adanya komplikasi seperti hepatitis, endokarditis bakterialis, malnutrisi, TBC,
pleuritis, pneumonia, gangguan saluran cerna, abses, flebitis, penyakit kelamin,
HIV/AIDS dan malaria.
Perlu diperiksa dengan teliti kemungkinan adanya bekas-bekas suntikan
sepanjang vena di lengan, tangan, paha, kaki, bahkan dorsum pedis.
Pemeriksaan fisik lain adalah menemukan gejala-gejala intoksikasi atau
putus zat dan komplikasinya, perhatikan jalan nafas, nadi, kesadaran, pupil mata,
cara berjalan, sklera (ikterik), konjungtiva (anemis), septum nasi perforasi, gigi

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 30


banyak karies, jantung aritmia, paru-paru edema, hati membesar, lambung
(gastritis), dan kulit ekstrimitas needle track.

II.4. Pemeriksaan Psikiatrik

Gangguan jiwa akibat penyalahgunaan zat sering kali terdapat bersama-


sama dengan gangguan jiwa lain ( komorbiditas psikopatologi ) yang sering
dijumpai antara lain adalah ansietas, depresi, gangguan kepribadian antisosial,
bahkan skizofrenia.
Pemeriksaan psikiatrik ditujukan pada adanya riwayat gangguan
sebelumnya seperti gangguan afektif, paranoid, gangguan kepribadian
antisosial,. Perhatikan derajat kesadaran, orientasi, daya nilai realitas, waham,
halusinasi, gejala ansietas, iritabilitas, depresi atau gangguan tingkah laku.
II.5. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium berikut ini merupakan keharusan untuk


penyalahguna zat, yaitu darah dan urine rutin, Elisa, dan urinalisis (kualitatif dan
kuantitatif). Pengambilan urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam sejak
pemakaian terakhir dan disaksikan petugas laboratorium. Pemeriksaan
penunjang rutin lainnya : EKG dan thorax foto, serta bila diperlukan dilakukan
EEG dan brain imaging.

OBAT Lama deteksi di urin Kadar deteksi minimal

Morfin 4 hari 300 ng/mL


Kodein 4 jam - 4 hari 250 ng/mL
Methadon 3 hari 300 ng/mL
Heroin 2 hari 300 ng/mL
Kanabis 1 jam – 3 hari 50 ng/mL
Kokain 1 – 3 hari 150 ng/mL
Amfe/met-amfetamin 4 jam – 4/5 hari 500 ng/mL
Barbiturat 1 – 7 hari 150 ng/mL
Benzodeazepin 1-2 hari 200 ng/mL

II.6. Gejala pemakaian, putus zat, intoksikasi

Tiap zat psikoaktif mempunyai gejala pemakaian, putus zat dan keracunan yang
berbeda-beda. Menemukan gejala tersebut, merupakan hal yang sangat penting

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 31


untuk deteksi seorang pengguna. Pemakaian lebih dari satu jenis zat, akan
mempersulit penafsiran gejala.

Opiat
Pemakai Putus zat Intoksikasi
Euforia Disforia Apati/eforia/disforia
Rasa berat ekstrimitas Mual/muntah Sedasi
Mulut kering Nyeri otot,tulang,sendi Disinhibisi
Muka gatal (hidung) Lakrimasi Retardasi psikomotor
Mukakemerahan (flushing) Rhinore Hendaya perhatian-
penilaian
Miosis Dilatasi pupil Mengantuk
Bradikardia Piloreksi Disatria
Pernafasan tertekan Banyak keringat Rasa melayang-layang
Konstipasi Diare Ansietas
Mengantuk Sering menguap Tingkah laku
maladaptive
Demam-menggigil Konstriksi pupil
Insomnia Hipotensi, Takhikardia
Gelisah-sulit tidur Pernafasan tertekan
Hipertensi ringan Edema paru
Takhikardi Hipotermia
Koma
Kanabinoid
Pemakai Putus zat Intoksikasi
Mata merah Iritabilitas Takhikardia
Takhikardia ringan Kegelisahan Euforia
Hipotensi ortostatik Ketegangan Perasaan ttg intensifikasi
persepsi secara subjektif
Nafsu makan meningkat Sukar tidur Waktu terasa lambat
Gembira Anoreksia Apati
Tenang “fly” Banyak keringat Konjungtiva merah
Hendaya Tremor Nafsu makan meningkat
efisiensimotorikdan
intelegensi
Halusinasi Mual-muntah Mulut kering
Curiga Diare Tingkah laku maladaptive
Disinhibisi Kecemasan berlebihan
Flashback Kecurigaan
Hendaya daya nilai
Hendaya fungsi
sosial/kerja
Panik-agitasi-psikotik
Halusinasi
Demam ringan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 32


Pernafasan tertekan
Pupil dilatasi
Barbiturat dan sedativa
Pemakai Putus zat Intoksikasi
Euforia ringan Tremor kasar kelopak Afek labil
mata,lidah,tangan
Gelisah Mual-muntah Hilangnya hambatan
impuls seksual dan
agresivitas
Agitasi sampai Malaise Iritabilitas
mengantuk
Fungsi kognitif Hiperaktivitas otonomik Banyak bicara
menurun
Perlambatan bicara Ansietas/depresi/iritabilitas Disartria (cadel)
dan motorik
Hipotensi ortostatik Gangguan koordinasi
Gangguan tidur Jalan tak stabil (ataksia)
Disorientasi Gangguan daya ingat-
perhatian
Halusinasi dan ilusi Perilaku maladaptive
Kejang perut Hendaya fungsi
sosial/kerja
Hiperrefleksia Tidak bertanggungjawab
Kejang-kejang Nistagmus
Agitasi Dismetria
Pernafasan tertekan
Hipotensi
Hiperrefleksia tendon
Kesadaran berkabut
Koma-syok
Amfetamin
Pemakai Putus zat Intoksikasi
Euforia Afek depresi Agitasi psikomotor
Bersahabat Rasa lelah Elasi
Banyak bicara Hipersomnia Rasa harga diri meningkat
Anoreksia Mimpi bertambah Banyak bicara
banyak
Takhikardia,tekanan Nafsu makan Kewaspadaan meningkat
darah meningkat
meningkat, pernafasan
cepat
Keyakinan diri Kelambatan Takhikardia
meningkat
Kewaspadaan Dilatasi pupil
meningkat

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 33


Perhatian meningkat Peninggian tekanan darah
Nyeri kepala Berkeringat-merasa dingin
Tidak lelah Mual-muntah
Ambang nyeri Perilaku maladaptive
meningkat
Hendaya fungsi sosial/kerja
Gangguan daya nilai
Kokain
Pemakai Putus zat Intoksikasi
Iritabilitas Depresi,ansietas,rasa Euforia
gugup
Gangguan Letargi, Rasa lelah Sensasi energi bertambah
konsentrasi
Kompulsif Kelambatan Grandiousitas
Insomnia Mendambakan kokain Agitasi,Agresif,kejam,kasar
(craving)
Berat badan Nafsu makan meningkat Selalu beralasan
berkurang
Hipersomnia Afek labil
Mimpi bertambah Tingkahlaku berulang
banyak
Waham curiga Ilusi dan halusinasi
Ide paranoid
Takhikardia
Aritmia
Hipertensi
Banyak berkeringat,
menggigil
Mual, muntah
Berat badan menurun
Pupil melebar
Nyeri dada
Kejang-kejang
Alkohol
Pemakai Putus zat Intoksikasi
Gembira Gemetar Gelisah
Hambatan diri turun Mual-Muntah Tingkah laku kacau
Muka kemerahan Kejang-kejang Kendali diri turun,agresif
Gelisah Banyak bicara
Sukar tidur Bicara tidak jelas
Ilusi,halusinasi,agitasi Ngantuk – keasadaran
menurun
Hiperaktivitas otonomik Afek labil
Sempoyongan,sulit berdiri
Nystagmus

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 34


Muka kemerahan
Mata merah
Intoksikasi patologik

III. KOMPLIKASI

Penyalahgunaan zat dapat menimbulkan dampak fisik, psikik maupun


sosial pada pemakai, keluarga dan masyarakat umumnya. Pemakaian lebih dari
satu macam zat tentu menambah risiko kelainan medis. Gabungan antara jenis
obat, usia pemakai, keadaan gizi dan penyakit penyakit atau stres yang pernah
( atau sedang ) diderita akan mengakibatkan masalah yang spesifik untuk masing-
masing pemakai.

III.1. KOMPLIKASI FISIK

Komplikasi pada penyalahguna zat dapat disebabkan oleh karena :


- Obat : dosis dan efeknya sendiri
- Bahan pencampur obat
- Cara pemakaiannya.

Komplikasi lebih sering terjadi pada penyalahguna zat dengan cara injeksi.
Komplikasi dapat dalam bentuk penyakit infeksi maupun non infeksi.
Infeksi ternyata merupakan penyebab kematian pada hampir sepertiga
kematian para penyalahguna zat. Infeksi yang terjadi lebih sulit diatasi, karena
para penyalahguna zat merupakan golongan penderita dengan lemah daya tahan
( immunocompromised host ) dan besar kemungkinan beberapa jenis infeksi akan
terjadi bersamaan sehingga memperburuk dan menyulitkan pengelolaan.
Beberapa hal yang memudahkan terjadinya infeksi :
- Tehnik injeksi yang tidak steril membuat terpaparnya jaringan lunak
atau aliran darah dengan flora kulit
- Alat suntik yang tidak steril akibat penggunaan alat suntik bersama-
sama atau akibat dari air yang digunakan untuk mencampur bubuk
atau untuk membilas alat suntikan
- Peningkatan jumlah kuman patogen pada kulit, selaput lendir, dan
nasofaring.
- Buruknya higiene mulut dan gangguan pada reflek menelan dan batuk
- Perubahan pada flora normal akibat penggunaan antibiotik secara
intermitten dan luas diantara penyalahguna zat
- Status ekonomi yang rendah dengan kemungkinan meningkatnya
prevalensi paparan terhadap kuman tuberkulosis
- Kebiasaan atau cara hidup yang mengait misalnya penukaran Zat
dengan imbalan seks dan hidup tak teratur, kebersihan yang buruk
- Umumnya selalu terlambat berobat bila terdapat penyakit

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 35


 Komplikasi kardiovaskuler
- Endokarditis infeksiosa akuta merupakan komplikasi
kardiovaskuler terpenting. Kemungkinan endokarditis bila demam
tidak jelas, ada bising jantung, pneumonia, fenomena embolik, dan
kultur darah positif.
- Gagal jantung, infark miokard, miokarditis, aneurisma, diseksi
aorta, hipertensi, stroke dsb
- Oklusi arterial, arteritis, trombophlebitis, hipotensi
angiothrombotik dsb
 Komplikasi saluran penafasan
- depresi pernafasan, apnea, anoksia karena over dosis heroin
atau depresan SSP
- edema paru
- infeksi saluran nafas (pneumonia, tbc, abses paru dsb)
- pneumonia aspirasi
 Komplikasi gastrointestinal
- konstipasi kronik, diare, epigastrik distress,gastritis, tukak
lambung, mual, muntah, perdarahan lambung, kanker saluran
cerna, malnutrisi hebat
- cholesistitis, pankreatitis, perlemakan hati, nekrosis hati, kanker
hati, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, hepatitis lain
 Komplikasi saluran kemih, fungsi seksual dan sistem reproduksi
- kesulitan kencing, nefropati, sindrom nefrotik, gagal ginjal,
nefritis
- penyakit menular seksual
- gangguan menstruasi,impotensi, infertilitas, BBLR, lahir mati
 Komplikasi dermatologik.
- Selulitis,abses,tromboplebitis septik
- Jaringan parut (needle track scars, poppy scar tissue, tattooing)
 Komplikasi hematopoetik dan sistem imunitas
- HIV/AIDS
- Anemia, eosinofilia, lekopenia
 Komplikasi sistim endokrin
- DM, hipoglikemia,
- Hipertiroid, Pseudo Cushing syndrome, feminisasi,
ginekomasitia, galaktorea
 Komplikasi sistem rangka
- artritis septik
- fasciitis nekrotikans dan miositis
 Komplikasi susunan saraf pusat
- emboli otak, perdarahan intrakranial, stroke
- abses spinal dan epidural, meningitis, tuberkuloma

III.2. KOMPLIKASI PSIKIATRIK

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 36


Bermacam-macam masalah psikiatrik seperti gangguan psikotik
fungsional maupun organik, depresi, tindak kekerasan, percobaan bunuh diri
dsb, bisa dijumpai pada para penyalahguna zat. Banyak diantaranya disebabkan
keadaan intoksikasi akut, sedangkan yang lainnya berhubungan dengan
pemakaian zat dalam jangka panjang.
Depresi sering dijumpai akibat penyalahgunaan zat itu sendiri atau akibat
rasa bersalah dan putus asa karena gagal berhenti dari penyalahgunaan zat,
terlebih bila keluarga turut memojokkan yang bersangkutan
Kebanyakan pemakai sudah mempunyai masalah kejiwaan sebelumnya
dan penyalahgunaan zat merupakan cara untuk mengatasinya.
Gangguan jiwa lain yang sering didapat adalah gangguan kepribadian
antisosial, fobia, disfungsi psikoseksual, depresi major dan distimia.
Beberapa peneliti memperkirakan kemungkinan hubungan antara
penyalahgunaan zat tertentu dengan timbulnya gangguan psikiatrik tertentu.
Pada penyalahguna opiat nampak gambaran kepribadian sosiopatik atau
psikopatik dan sedikit tanda gangguan organik atau psikotik. Penyalahguna
stimulan dapat mengalami gejala skizofrenia, penyalahguna obat depresan SSP
akan mengalami gejala depresi sampai percobaan bunuh diri. Pemakai
halusinogen dan obat psikoaktif lain sering mengalami gangguan psikiatrik akut
seperti reaksi paranoid dan psikotik.

III.3. KOMPLIKASI SOSIAL

Komplikasi sosial akibat penyalahgunaan NAPZA biasanya bermanifes


sebagai perubahan perilaku, konsentrasi belajar yang menurun, motivasi belajar
hilang, melakukan perbuatan kriminal seperti mencuri, memeras, merampok
dsb. Hal-hal tersebut dapat dijadikan pedoman untuk deteksi dini bagi orang tua
dan lingkungannya.

IV. TERAPI

Terapi dan rehabilitasi merupakan dua upaya yang berkesinambungan


untuk mengakhiri ketergantungan pada NAPZA, sehingga pengobatan
ketergantungan zat perlu dilakukan hingga tingkat rehabilitasi yang
membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun. Alasannya, selain menimbulkan
gangguan fisik dan kesehatan jiwa, ketergantungan zat juga memberi dampak
sosial bagi pasien, lingkungan keluarga, maupun masyarakat sekitar.
Tujuan terapi adalah membebaskan seseorang dari ketergantungan dan
mengatasi komplikasi mencegah perilaku yang maladaptif dan menghasilkan
pemantapan sehingga dapat berfungsi lebih baik.
Tahapan terapi dan rehabilitasi :
1. Penerimaan awal (1-3 hari) : dilakukan evaluasi medik psikologik
menyeluruh, termasuk aspek sosiolegal dan status penggunaan zat
psikoaktif, sebagai dasar rencana terapi selanjutnya.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 37


2. Detoksifikasi dan terapi komplikasi medik (1-3 minggu) : terjadi proses
penghentian penggunaan zat psikoaktif dan pengobatan komplikasi
medik yang mungkin terjadi. Penghentian bisa langsung /bertahap,
dengan atau tanpa terapi simptomatik, terapi substitusi, atau zat
antagonis. Kedua tahap ini dilaksanakan secara rawat inap, sedangkan
tahap selanjutnya dilaksanakan diluar tempat perawatan.
3. Stabilisasi ( 3-9 bulan ) : meliputi upaya pembinaan, pemantapan fisik,
mental, keagamaan, komunikasi interaksi sosial, edukasional, kultural,
vokasional dsb.
4. Persiapan kembali ke masyarakat ( 3-12 bulan ) : bimbingan melalui
program program khusus
5. Resosialisasi ( sekitar 1000 hari ) : mantan pengguna diharapkan mampu
mengembangkan kehidupan yang bermakna di masyarakat.

V. REHABILITASI

Direktorat Kesehatan Jiwa – DepKes RI dalam buku Pedoman Rehabilitasi


Pasien Mental di RSJ Indonesia ( 1985 ) memberi penjelasan sebagai berikut :
Rehabilitasi adalah usaha untuk mengembalikan pasien ke masyarakat untuk
menjadikannya sebagai warga yang swasembada dan berguna.
Untuk usaha tersebut maka perlu :
 Mempersiapkan pasien agar sejauh mungkin dapat menyesuaikan diri
kepada keluarga dan masyarakatnya, sesuai dengan situasi dan kondisi
kesehatan jiwa dan raganya
 Sedapat mungkin mengadakan perubahan sikap suasana di dalam
keluarga dan masyarakatnya untuk membantu upaya rehabilitasi.
 Bersama-sama dengan keluarga dan masyarakat merencanakan serta
mengatur perikehidupan dan penghidupan rehabilitan sesuai dengan
situasi dan kondisi kesehatan jiwa dan raganya
 Membimbing, membina serta mengawasi perkembangan hubungan
rehabilitan dengan keluarga dan masyarakatnya secara kontinu dan bila
perlu mengambil langkah –langkah untuk kebaikan rehabilitan

Rehabilitasi bertujuan mencegah atau mengurangi pengaruh negatif


penggunaan NAPZA terhadap kesehatan fisik maupun psikik penderita, juga agar
penderita bisa melakukan perbuatan secara normal, bisa melanjutkan
pendidikan sesuai kemampuannya, bisa bekerja lagi sesuai dengan bakat dan
minatnya, dan yang terpenting bisa hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan
keluarga maupun masyarakat sekitarnya, dapat menghayati agamanya secara
baik. Itulah sebabnya banyak lembaga rehabilitasi yang didirikan berdasarkan
kepercayaan / agama.

Rehabilitasi ini haruslah bersifat holistik, dengan memperhatikan aspek


Biopsikososiokultural, meliputi :

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 38


 Rehabilitasi medik : memulihkan kondisi fisik yang lemah, dengan
memberikan makanan bergizi, olahraga teratur. Disesuaikan dengan
kemampuan fisik individu.
 Rehabilitasi psikiatrik : yang terpenting psikoterapi baik secara individu
maupun kelompok, dilakukan dalam kurun waktu 3-6 bulan, termasuk
konsultasi keluarga.
 Rehabilitasi sosial : meliputi segala usaha yang bertujuan memupuk,
membimbing, dan meningkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab
sosial terhadap keluarga dan masyarakat, sehingga dapat kembali adaptif
bersosialisasi dalam lingkungannya.
 Rehabilitasi edukasional : bertujuan untruk memelihara dan
meningkatkan pengetahuan dan mengusahakan agar pasien dapat
mengikuti pendidikan lagi, jika mungkin memberi bimbingan dalam
memilih sekolah yang sesuai dengan kemampuan intelegensi dan
bakatnya.
 Rehabilitasi vokasional : bertujuan menentukan kemampuan kerja pasien
serta cara mengatasi penghalang atau rintangan untuk penempatan
dalam pekerjaan yang sesuai. Juga memberikan ketrampilan yang belum
dimiliki pasien agar dapat bermanfaat bagi pasien untuk mencari nafkah.
 Rehabilitasi kehidupan beragama : bertujuan membangkitkan kesadaran
pasien akan kedudukan manusia ditengah-tengah mahluk hidup ciptaan
Tuhan, menyadarkan kelemahan kelemahan yang dimiliki manusia, arti
agama bagi manusia, membangkitkan optimisme berdasarkan sifat-sifat
Tuhan yang Maha Bijaksana, Maha Tahu, Maha Pengasih, dan Maha
Pengampun.

Lampiran 1: nomor kode diagnosis F 10 – F 19 menurut PPDGJ III dan ICD 10

F10. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol


F11. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioida
F12. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida
F13. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau hipnotika
F14. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
F15. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain
termasuk
kafein
F16. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan halusinogenika
F17. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
F18. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah
menguap
F19. – Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan
penggunaan zat psikoaktif lainnya

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 39


Step 4 strukturisasi konsep

Faktor individu:
-faktor konstitusi Faktor lingkungan
-Faktor kepribadian
-Pola asuh

Pengguna Napza/Narkoba - Toleransi


- Narkotika - Ketergantung
- Psikotropika an
- Zat adiktif lainnya - Kecanduan
(addiksi)

- Gejala Pemakaian
obat
- Withdrawal
- Overdosis

Penegakan Diagnosis: Komplikasi:


 Anamnesis  Fisik
 Pemeriksaan fisik Diagnosis
 Psiki
 Pemeriksaan psikiatrik atrik
 Pemeriksaan  Sosi
laboratorium

Penanganan:
1. Terapi
Emergensi
Rawat inap
2. Rehabilitasi

Step 5 Identifikasi sasaran pembelajaran

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 40


Mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pengertian narkotika dan psikotropika
2. Memaparkan jenis-jenis narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
3. Menjelaskan faktor-faktor predisposisi ketergantungan NAPZA
4. Menjelaskan pendekatan diagnosis penyalahgunaan zat (anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan psikiatrik, pemeriksaan laboratorium)
5. Menjelaskan Gejala pemakaian, putus zat, intoksikasi NAPZA
6. Menjelaskan terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan NAPZA
7. Menjelaskan komplikasi penyalahgunaan zat

II. Kuliah

a. Prinsip dasar terapi ketergantungan NAPZA (dr. Jaya. M.Sp.KJ. M.Kes)


Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa diharapkan mampu:
Megetahui dan dapat menjelaskan tetang prinsip dasar terapi ketergantungan
NAPZA

b. Terapi rumatan metadon dan bupreborfin pada tergantungan opiat (dr. Jaya.
M.Sp.KJ. M.Kes)
Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa diharapkan mampu: menjelaskan terapi rumatan metadone dan
buprenorfin untuk ketergantungan opiat.

c. Medikolegal pada Penyalagunaan NAPZA sesuai dengan Undang-undang


narkotika dan psikotropika (dr. Darby T, SpF)
Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa diharapkan mampu: menjelaskan produk-produk hukum tentang
NAPZA

III. Praktikum:
Sasaran pembelajaran:
-Mahasiswa diharapkan lebih memahami pengertian tentang obat-obat
narkotika dan psikotropika melalui pengalaman melihat obat-obatannya secara
langsung
-Mahasiswa dapat melakukan intervensi motivasi singkat pada para pecandu

IV. Ketrampilan Medis: Lihat buku ketrampilan medis

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. American Psychiatry Association, Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder. 4th ed. 1994.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 41


2. Departemen Kesehatan RI: Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Edisi III. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 1993
3. Departemen Kesehatan dan Sosial RI: Direktorat Jendral Kesehatan
Masyarakat. Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA di Kalangan Remaja.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2001
4. Departemen Kesehatan RI: Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat.
Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental di Rumah Sakit Jiwa Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1985
5. Fiellin DA, O’Connor PG: Office-Based Treatment of Opioid Dependent
Patients. N Engl J Med, Vol.347, No.11. 2002
6. Friedland GH, Selwyn PA. Infection in Injection drug users, In : Fauci AS,
Braunwald E, Isselbacher KJ et al (eds): Harrisons Principles of Internal
Medicine, 14th ed, McGraw-Hill 1998 : 831-35
7. Hidayat T: Terapi Medik Ketergantungan NAPZA. Bandung. 2000
8. Hidayat T: Pemeriksaan Medik Psikiatrik Penyalahguna NAPZA. Bandung
2000
9. Kaplan & Sadock’s: Comprehensive Textbook of Psychyatry, 7th Ed.
Baltimore. Williams and Wilkins. 2000
10. Kaplan & Sadock’s: Synopsis Psychyatry, 8th Ed. Baltimore. Williams and
Wilkins. 1997
11. Karchmer AW. Infective Endocarditis, In Braunwald (ed). Heart Diseases,
5th ed. A Prim Indian Ed. 1997: 1077 - 1104
12. Kurniadi H: Pengobatan Perawatan Pasien Ketergantungan NAPZA Pasca
Detoksifikasi. .2002.
13. Konsensus FKUI: Tentang Opiat, masalah medis dan penatalaksanaannya,
Balai Penerbit FKUI, 2000.
14. Mendelson JH, Mello NK: Cocaine and other commonly drug abuse, In :
Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ et al (eds): Harrisons Principles of
Internal Medicine, 14th ed, McGraw-Hill 1998 : 2512 - 16
15. Siregar MP.I: Penyalahgunaan Zat Psikoaktif. FKUP.Bandung 1996.
16. Schuckit MA, Segal DS. Opioids drug abuse and dependence, In: Fauci AS,
Braunwald E, Isselbacher KJ et al (eds): Harrisons Principles of Internal
Medicine, 14th ed, McGraw-Hill 1998: 2508-12
17. Undang-undang RI no.35 tahun 2009
18. World Health Organization: The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioural Disorders: WHO Geneva 1992.
.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 42


Blok XVII. Kelainan Psikiatri 43
MODUL 2
PSIKOSIS
I. Tutorial
Skenario:
” WANITA PEMANJAT”
Seorang perempuan 26 tahun, dilaporkan oleh masyarakat kepada RT
setempat karena naik ke atas atap rumah dan sepertinya tidak mau turun,
Setelah dibujuk tetap tidak mau turun dan tidak mau bicara kepada siapa
pun, maka ketua RT memutuskan untuk mengevakuasi dengan melibatkan
Satpol PP, Kepolisian dan DMK. Perempuan itu berhasil diselamatkan
kemudian diinte rogasi tapi yang bersangkutan diam, tidak mau bicara
sedikitpun. Ia hanya meronta-ronta, ingin naik kembali. Identitas prempuan
ini juga tidak jelas, tidak ada yang mengenalnya, akhirnya dibawa ke rumah
singgah di dinas sosial.
Selama dua hari di rumah singgah, perilaku perempuan ini menunjukan
orang yang tidak normal. Ia cenderung menyendiri cenderung, apatis, tidak
mau makan dan sering mematung. Setelah itu perempuan dibawa ke RS Jiwa
untuk dirawat. Pemeriksaan psikiatrik segera dilakukan dan didapatkan
identitas Mrs.X, karena pasien ini mutisme belum didapatkan waham dan
halusinasi, hanya terlihat gejala psikomotor yang menonjol seperti sikap
kataton, flexibilitas cerea, stupor dan katalepsi.

Step 1. Identifikasi istilah sulit:


1. Apatis : kurangnya respon emosional atau berkurangnya afek
emosional terhadap sesuatu hal dan diserta oleh rasa terpencil dan tak
peduli.
2. Mrs.X : sebutan pasien yang tidak ada indentitasnya
3. Mutisme: menolak unutk bicara oleh sebab yang disadari atau
yang tidak disadari
4. Waham : gangguan pikiran dengan menyakini satu keadaan yang
tidak rasional, tidak sesuai dengan kultur budaya setempat tetapi
dipertahankan dan terus keyakinannya serta tidak dapat dikoreksi oleh orang
lain.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 44


5. Halusinasi : persepsi palsu terhadap rangsangan dari dalam alam
pikiran atau gangguan persepsi indera
6. Psikomotor: gerakan badan yang dipengaruhi oleh keadaan dan
merupakan efek kombinasi dari aktifitas dan emosional.
7. Kataton : satu sindroma dengan ditandai sikap khas katalepsi,
stereotipi, mutisme,stupor negativism, automatimse, dll. Atau keadaan tidak
bergerak dengan rigiditas otot atau infeksibilitas dan sewaktu-waktu bisa
terjadi eksitasi
8. flexibilitas cerea: = atau waxy flexibility : salah satu anggota tubuh
pasien diubah posisinya maka akan dipertahankan untuk jangka yang lama
seperti patung lilin.
9. stupor: suatu keadaan dimana individu tidak bereaksi atau tidak
menyadari keadaan sekitarnya disebabkan oleh kelainan neorologis maupun
psikiatris
10. katalepsi: mempertahankan posisi tubuh dengan diam tidak
bergerak untuk jangka waktu yang lama.

Step 2. Identifikasi Masalah:


1. Mengapa Mrs.X naik ke atap dan bertahan lama di sana?
2. Mengapa Mrs.X menunjukan gejala –gejala yang tidak normal atau aneh?
3. Mengapa pa RT tidak mendapatkan keterangan sedikitpun dari Mrs.X?
4. Apa yang terjadi pada Mrs.X?

Step 3. Analisa masalah:

PSIKOSIS
Psikosis secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu gangguan
jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (“sense of reality”). Hal ini diketahui
dengan terdapatnya gangguan pada hidup perasaan (afek dan emosi), proses
berpikir, psikomotorik dan kemauan, sedemikian rupa sehingga semua ini tidak
sesuai dengan kenyataan lagi. Penderita tidak dapat “dimengerti” dan tidak
dapat “dirasai” lagi oleh orang normal. Orang awam sering menyebut dengan
istilah “orang gila”.Penderita sendiri tidak memahami penyakitnya dan ia tidak
merasa sakit.
Psikosis merupakan suatu gangguan jiwa yang serius, yang timbul karena
penyebab organik ataupun emosional (fungsional) yang menunjukkan gangguan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 45


kemampuan berfikir, bereaksi secara emosional, mengingat, berkomunikasi,
menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai kenyataan tersebut yang pada
akhirnya mengganggu kemampuan untuk memenuhi tuntutan hidup sehari-hari.
Psikosis ditandai dengan perilaku yang regresif, hidup perasaan yang tidak sesuai,
berkurangnya pengawasan terhadap impuls-impuls serta waham dan halusinasi.
Istilah psikosis dapat dipakai untuk keadaan seperti yang disebutkan di atas
dengan variasi yang luas mengenai berat dan lamanya.
Menurut Meninger, ada 5 sindroma klasik yang menyertai sebagian besar
pola psikosis:
1. Perasaan sedih, bersalah dan tidak mampu yang mendalam
2. Keadaan terangsang yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, disertai
pembicaraan dan motorik yang berlebihan
3. Regresi ke otisme (“autism”) manerisme pembicaraan dan perilaku, isi
pikiran yang berwaham, acuh tak acuh terhadap harapan social
4. Preokupasi yang berwaham, disertai kecurigaan, kecenderungan
membela diri dan rasa kebesaran
5. Keadaan bingung dan delirium dengan disorientasi dan halusinasi
Klasifikasi terdahulu yang mudah difahami bahwa yang termasuk
psikosis yang berhubungan dengan sindrom otak organik adalah delirium,
demensia, sindoma otak organic karena trauma, aterosklerosis otak, demensia
senilis, demensia presenilis, sindroma otak organik karena epilepsy, demensia
paralitika, sindroma otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan
metabolism dan intoksikasi, sindroma atak organik karena tumor intrakranial
Yang termasuk psikosis fungsional: skizofrenia, psikosa afektif, psikosa
paranoid, dan psikosa reaktif
SKIZOFRENIA
Skizofrenia merupakan suatu kelompok gangguan dengan penyebab yang
berbeda –beda, walaupun dibicarakan seakan-akan merupakan penyakit tunggal.
Kategori diagnostik dapat termasuk berebagai gangguan yang tampak dengan
gejala prilaku yang mirip. Penyebab pasti skizofrenia tidak diketahui. Penelitian-

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 46


penelitian yang dilakukan telah membawa kemajuan besar dalam mengerti
skizofrenia dalam 3 bidang:
1. Kemajuan tekhnik pencitraan otak, khususnya pencitraan resonansi magnetic
(MRI; Magnetic resonance imaging), dan penghalusan tekhnik neuropatologi
telah memusatkan banyak minat pada system limbic sebagai pusat
patofisiologi skizofrenia. Daerah otak tertentu yang juga diperhatikan adalah
amigdala, hipokampus, dan girus parahipokampus, serta daerah otak lainnya.
2. Perkenalan clozapine (clozaril), suatu antipsikotik atipikal dengan efek
samping neurologis yang minimal mendorong penelitian-penelitian lain
tentang obat-obat antipsikotik lainnya seperti risperidone dan remoxipride.
3. Saat terapi obat mengalami kemajuan dan dasar biologis yang kuat untuk
skizofrenia semakin dikenal luas, terdapat peningkatan minat pada faktor
psikososial yang mempengaruhi skizofrenia, termasuk yang mempengaruhi
onset, relaps, dan hasil terapi

Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan


pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa
psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons
emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti
dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada
rangsang pancaindra).
Skizofrenia merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat,
pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan
perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap menuju ke arah
kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan (relaps) dan progresif. Jarang
bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya
berakhir dengan personalitas yang rusak (cacat).
Keadaan ini pertama kali digambarkan oleh Kraepelin pada tahun 1896
berdasarkan gejala dan riwayat alamiahnya. Kraepelin menamakannnya dengan
demensia prekoks. Pada tahun 1911 Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 47


menandai “terbelahnya” atau putusnya fungsi psikis, yang menentukan sifat
penyakit ini.
EPIDEMIOLOGI

Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric


Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia
menderita skizofrenia (life time prevalence). Populasi umum 1%, saudara
kandung pasien skizofren 8%, anak dengan salah satu orangtua skizofren 12%,
kembar dua telur dari pasien skizofren 12%. Anak dengan kedua orangtua
skizofren 40%. kembar satu telur dari pasien skizofren 47 %. 75% Penderita
skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa
muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi
penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap
sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Pria lebih sering daripada wanita dan
kebanyakan dimulai sebelum usia 30 tahun.
Sekitar 15 % penderita akan masuk rumah sakit jiwa, 45 % populasi
rumah sakit jiwa adalah pasien skizofrenia, dan sebagian besar pasien skizofrenia
akan tinggal di rumah sakit untuk waktu yang lama.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan
faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau
kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan
kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan
ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang
memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal
aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra
yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh
kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam
pembicaraan yang aneh dan inkoheren.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 48


Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang
menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala
skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka
yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat
sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti
ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-
gejala psikosis.
Seiring dengan kemajuan penelitian yang telah dilakukan, maka banyak
sekali teori atau hipotesis yang dikemukakan para ahli berdasarkan
perkembangan penelitian terhadap penyakit ini:

1. Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.
Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.
Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis
(misal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis
selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan
obat, stress psikososial , dan trauma.
Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat
menerangkan mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar
kerentanan seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi
skizofren. Semakin kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk
membuatnya menjadi penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang
tanpa diathese tidak akan berkembang menjadi skizofren, walau sebesar
apapun stressornya.

2. Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan
adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 49


diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu
ddengan munculnya simptom skizofrenia.

Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam


membuat seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal,
cerebellum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan,
sehingga disfungsi pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer
pada area yang lain. Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu
dimana kerusakan neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara
kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan sosial. Faktor ini dijelaskan
dalam beberapa hal berikut:

a. Hipotesis dopamine - Pencitraan Resonansmagnetic


b. Neurotransmiter lainnya: (MRI)
- Serotonin - Spektroskopi Resonansi Magnetik
- Norepinefrin (MRS)
- Asam amino(GABAdanGlutamat) t)dll - Tomografi Emisi Positron (PET)
c. Neuropatologi e. Elektrofisiologi dengan EEG
- System limbic - Epilepsy parsial kompleks
- Ganglia basalis - Potensial cetusan
- dll f. Disfungsi pergerakan mata
d. Pencitraan otak g. Psikoneuroimunologi
- Tomografi computer (CTscan) h. Psikoneuroendokrinologi

Hipotesis Dopamin
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan
aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin
merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu
banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau
hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor
tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa Korelasi
antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.Obat

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 50


yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat
menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.
Neurotransmiter lainnya
Walaupun dopamine adalah neurotransmitter yang telah mendapatkan
sebagian besar perhatian dalam penelitian skizofrenia, peningkatan perhatian
juga ditujukan pada neurotransmitter lainnya. Ada dua alasan untuk
mempertimbangkan neurotransmitter lainnya. Pertama, karena skizofrenia
kemungkinan merupakan suatu gangguan yang heterogen, sehingga mungkin
bahwa kelainan pada neurotransmiter yang berbeda menyebabkan sindroma
prilaku yang sama.Kedua, penelitian neurologi dasar telah jelas menunjukkan
bahwa neuron tunggal dapat mengandung lebih dari satu neurotransmitter dan
mungkin memiliki reseptor neurotransmitter untuk lebih dari setengah lusin
neurotransmitter. Jadi, berbagai neurotransmitter di otak adalah terlibat dalam
hubungan interaksional kompleks, dan fungsi yang abnormal dapat
menyebabkan perubahan pada setiap zat neurotransmiter tunggal.

3. Faktor Genetika/hereditas
Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor
genetik/keturunan merupakan salah satu penyumbang bagi jatuhnya
seseorang menjadi skizofren. Resiko seseorang menderita skizofren akan
menjadi lebih tinggi jika terdapat anggota keluarga lainnya yang juga
menderita skizofren, apalagi jika hubungan keluarga dekat. Penelitian
terhadap anak kembar menunjukkan keberadaan pengaruh genetik
melebihi pengaruh lingkungan pada munculnya skizofrenia, dan kembar
satu telur memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami
skizofrenia.

4. Faktor Psikososial
4.1 Teori Tentang Individu Pasien
a. Teori Psikoanalitik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi
perkembangan, yang muncul lebih awal daripada gangguan neurosis. Jika

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 51


neurosis merupakan konflik antara id dan ego, maka psikosis merupakan
konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego
defect) memberikan kontribusi terhadap munculnya simptom skizofrenia.
Disintegrasi ego yang terjadi pada pasien skizofrenia merepresentasikan
waktu dimana ego belum atau masih baru terbentuk.
Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta
kerusakan ego-yang mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang
buruk-turut memperparah symptom skizofrenia. Hal utama dari teori
Freud tentang skizofrenia adalah dekateksis obyek dan regresi sebagai
respon terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain.
Harry Stack Sullivan mengatakan bahwa gangguan skizofrenia
disebabkan oleh kesulitan interpersonal yang terjadi sebelumnya,
terutama yang berhubungan dengan apa yang disebutnya pengasuhan
ibu yang salah, yaitu cemas berlebihan.
Secara umum, dalam pandangan psikoanalitik tentang skizofrenia,
kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan kontrol
terhadap dorongan dari dalam, seperti seks dan agresi. Gangguan
tersebut terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik ibu dan anak.
Berbagai simptom dalam skizofrenia memiliki makna simbolis bagi
masing-masing pasien. Misalnya fantasi tentang hari kiamat mungkin
mengindikasikan persepsi individu bahwa dunia dalamnya telah hancur.
Halusinasi mungkin merupakan substitusi dari ketidakmampuan pasien
untuk menghadapi realitas yang obyektif dan mungkin juga
merepresentasikan ketakutan atau harapan terdalam yang dimilikinya.
b. Teori Psikodinamik
Berbeda dengan model yang kompleks dari Freud, pandangan
psikodinamik setelahnya lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap
berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan
kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan
mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 52


Menurut pendekatan psikodinamik, simptom positif diasosiasikan
dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor pemicu/pencetus, dan erat
kaitannya dengan adanya konflik. Simptom negatif berkaitan erat dengan faktor
biologis, dan karakteristiknya adalah absennya perilaku/fungsi tertentu.
Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat
konflik intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego
yang mendasar.
Tanpa memandang model teoritisnya, semua pendekatan
psikodinamik dibangun berdasarkan pemikiran bahwa symptom-simptom
psikotik memiliki makna dalam skizofrenia. Misalnya waham kebesaran
pada pasien mungkin timbul setelah harga dirinya terluka. Selain itu,
menurut pendekatan ini, hubungan dengan manusia dianggap
merupakan hal yang menakutkan bagi pengidap skizofrenia.
c. Teori Belajar
Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada masa
kanak-kanak ia belajar pada model yang buruk. Ia mempelajari reaksi dan
cara pikir yang tidak rasional dengan meniru dari orangtuanya, yang
sebenarnya juga memiliki masalah emosional.

4.2 Teori Tentang Keluarga


Beberapa pasien skizofrenia-sebagaimana orang yang mengalami
nonpsikiatrik-berasal dari keluarga dengan disfungsi, yaitu perilaku
keluarga yang patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress
emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia. Antara lain:
Double Bind
Konsep yang dikembangkan oleh Gregory Bateson untuk
menjelaskan keadaan keluarga dimana anak menerima pesan yang
bertolak belakang dari orangtua berkaitn dengan perilaku, sikap maupun
perasaannya. Akibatnya anak menjadi bingung menentukan mana pesan
yang benar, sehingga kemudian ia menarik diri kedalam keadaan psikotik
untuk melarikan diri dari rasa konfliknya itu.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 53


Schims and Skewed Families
Menurut Theodore Lidz, pada pola pertama, dimana terdapat
perpecahan yang jelas antara orangtua, salah satu orang tua akan
menjadi sangat dekat dengan anak yang berbeda jenis kelaminnya.
Sedangkan pada pola keluarga skewed, terjadi hubungan yang tidak
seimbang antara anak dengan salah satu orangtua yang melibatkan
perebutan kekuasaan antara kedua orangtua, dan menghasilkan dominasi
dari salah satu orang tua.

Pseudomutual and Pseudohostile Families


Dijelaskan oleh Lyman Wynne, beberapa keluarga men-suppress ekspresi
emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atau
pseudohostile secara konsisten. Pada keluarga tersebut terdapat pola komunikasi
yang unik, yang mungkin tidak sesuai dan menimbulkan masalah jika anak
berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
Ekspresi Emosi
Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap kritis,
kejam dan sangat ingin ikut campur urusan pasien skizofrenia. Banyak
penelitian menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi
(dalam hal apa yang dikatakan maupun maksud perkataan) meningkatkan
tingkat relapse pada pasien skizofrenia.

4.3 Teori Sosial


Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi
banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data
pendukung, namun penekanan saat ini adalah dalam mengetahui
pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan keparahan penyakit.
Berbagai penelitian telah menyatakan dengan kuat suatu komponen
genetika terhadap peneurunan skizofrenia. Penelitian klasik juga telah
mengungkapkan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika
anggota keluarga lainnya menderita skizofrenia. Kemungkinan terkena

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 54


berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan. Risiko bagi masyarakat
umum 1 %, pada orangtua risiko skizofrenia 5 %, pada saudara kandung 8 % dan
pada anak 10 %. Gambaran terakhir ini menetap walaupun anak telah dipisahkan
dari orangtua sejak lahir. Pada kembar monozigot 30-40 %.

GEJALA KLINIS
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain
ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin,
jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit
melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau
berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu
memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan
perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa
menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan
tak disiplin.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
1. Gejala-gejalaPositif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala
ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati
oleh orang lain.
2. Gejala-gejalaNegatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan
kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang
atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah
dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat
menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan
bicara (alogia).
Gejala-gejala skizofrenia juga dapat dibagi menjadi dua kelompok
menurut Bleuler, yaitu primer dan sekunder.
Gejala-gejala primer :
1. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah, isi pikiran)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 55


Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses
pikiran. Yang terganggu terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide
belum selesai diutarakan, sudah timbul ide lain. Atau terdapat
pemindahan maksud, umpamanya maksudnya “tani” tetapi dikatakan
“sawah”.
Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan
“merah” bila dimaksudkan “berani”. Atau terdapat “clang association”
oleh karena pikiran sering tidak mempunyai tujuan tertentu, umpamanya
piring-miring, atau “…dulu waktu hari, jah memang matahari, lalu saya
lari…”. Semua ini menyebabkan jalan pikiran pada skizofrenia sukar atau
tidak dapat diikuti dan dimengerti. Hal ini dinamakan inkoherensi. Jalan
pikiran mudah dibelokkan dan hal ini menambah inkoherensinya.
Seorang dengan skizofrenia juga kecenderungan untuk
menyamakan hal-hal, umpamanya seorang perawat dimarahi dan
dipukuli, kemudian seorang lain yang ada disampingnya juga dimarahi
dan dipukuli.
Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi.
Keadaan ini dinamakan “blocking”, biasanya berlangsung beberapa detik
saja, tetapi kadang-kadang sampai beberapa hari.
Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang
lain didalamnya yang berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki:
tekanan pikiran atau “pressure of thoughts”. Bila suatu ide berulang-
ulang timbul dan diutarakan olehnya dinamakan preseverasi atau
stereotipi pikiran.
Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi. Pada
inkoherensi sering tidak ada hubungan antara emosi dan pikiran, pada
pikiran melayang selalu ada efori. Pada inkoherensi biasanya jalan pikiran
tidak dapat diikuti sama sekali, pada pikiran melayang ide timbul sangat
cepat, tetapi masih dapat diikuti, masih bertujuan.
2. Gangguan afek dan emosi

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 56


Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :
Kedangkalan afek dan emosi (“emotional blunting”), misalnya
penderita menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal penting untuk dirinya
sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa depannya. Perasaan halus
sudah hilang.
-Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira,
pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
-Paramimi : penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis.
Parathimi dan paramimi bersama-sama dalam bahasa Inggris
dinamakan “incongruity of affect” dalam bahasa Belanda hal ini
dinamakan “inadequat”.
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak
mempunyai kesatuan, umpamanya sesudah membunuh anaknya
penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya tertawa. Semua ini
merupakan gangguan afek dan emosi yang khas untuk skizofrenia.
Gangguan afek dan emosi lain adalah : emosi yang berlebihan, sehingga
kelihatan seperti dibuat-buat, seperti penderita yang sedang bermain
sandiwara.
Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan
untuk melakukan hubungan emosi yang baik (“emotional rapport”).
Karena itu sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita.
Karena terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang
berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai
dan membenci satu orang yang sama ; atau menangis dan tertawa
tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi pada afek.

3. Gangguan kemauan
Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan
kemauan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan., tidak dapat
bertindak dalam suatu keadaan. Mereka selalu memberikan alasan,
meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat, umpamanya bila ditanyai
mengapa tidak maju dengan pekerjaan atau mengapa tiduran terus. Atau
mereka menganggap hal itu biasa saja dan tidak perlu diterangkan.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 57


Kadang-kadang penderita melamun berhari-hari lamanya bahkan
berbulan-bulan. Perilaku demikian erat hubungannya dengan otisme dan
stupor katatonik.
Negativisme : sikap atau perbuatan yang negative atau berlawanan terhadap
suatu permintaan.

Ambivalensi kemauan : menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang
sama, umpamanya mau makan dan tidak mau makan; atau tangan diulurkan
untuk berjabat tangan, tetapi belum sampai tangannya sudah ditarik kembali;
hendak masuk kedalam ruangan, tetapi sewaktu melewati pintu ia mundur, maju
mundur. Jadi sebelum suatu perbuatan selesai sudah timbul dorongan yang
berlawanan.
Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau
tenaga dari luar, sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.

4. Gejala psikomotor
Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan.
Kelompok gejala ini oleh Bleuler dimasukkan dalam kelompok gejala
skizofrenia yang sekunder sebab didapati juga pada penyakit lain.
Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan
kemauan. Bila gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-
gerakan yang kurang luwes atau yang agak kaku. Penderita dalma
keadaan stupor tidak menunjukkan pergerakan sama sekali. Stupor ini
dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang-kadang
bertahun-tahun lamanya pada skizofrenia yang menahun. Mungkin
penderita mutistik. Mutisme dapat disebabkan oleh waham, ada sesuatu
yang melarang ia bicara. Mungkin juga oleh karena sikapnya yang
negativistik atau karena hubungan penderita dengan dunia luar sudah
hilang sama sekali hingga ia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.
Sebaliknya tidak jarang penderita dalam keadaan katatonik
menunjukkan hiperkinesa, ia terus bergerak saja, maka keadaan ini
dinamakan logorea. Kadang-kadang penderita menggunakan atau
membuat kata-kata yang baru: neologisme.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 58


Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap disebut
stereotipi; umpamanya menarik-narik rambutnya, atau tiap kali mau
menyuap nasi mengetok piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat
berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun. Stereotipi
pembicaraan dinamakan verbigerasi, kata atau kalimat diulang-ulangi.
Mannerisme adalah stereotipi yang tertentu pada skizofrenia, yang dapat
dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan
gaya.
Gejala katalepsi ialah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk
waktu yang lama. Fleksibilitas cerea: bila anggota badan dibengkokkan
terasa suatu tahanan seperti pada lilin.
Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan
dengan apa yang disuruh. Otomatisme komando (“command
automatism”) sebetulnya merupakan lawan dari negativisme : semua
perintah dituruti secara otomatis, bagaimana ganjilpun.Termasuk dalam
gangguan ini adalah echolalia (penderita meniru kata-kata yang
diucapkan orang lain) dan ekophraksia (penderita meniru perbuatan atau
pergerakan orang lain).
Gejala-gejala sekunder :
1. Waham
Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat
bizarre. Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia
wahamnya adalah fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun. Sebaliknya
ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan, umpamanya penderita
berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main dengan air ludahnya dan
mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer gross membagi waham
dalam dua kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder, waham
sistematis atau tafsiran yang bersifat waham (delutional interpretations).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa
penyebab apa-apa dari luar. Menurur Mayer-Gross hal ini hampir
patognomonis buat skizofrenia. Umpamanya istrinya sedang berbuat
serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali, atau
seorang penderita berkata “dunia akan kiamat sebab ia melihgat seekor
anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohin untuk kencing.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 59


Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan
merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala
skizofrenia lain. Waham dinamakan menurut isinya :waham kebesaran
atau ekspansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham sindiran, waham
dosa, dan sebagainya.

2. Halusinasi
Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran
dan hal ini merupakan gejala yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan
lain. Paling sering pada keadaan skizofrenia ialah halusinasi (oditif atau
akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan.
Kadang-kadang terdapat halusinasi penciuman (olfaktorik), halusinasi
citrarasa (gustatorik) atau halusinasi singgungan (taktil). Umpamanya
penderita mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang yang
menyinarinya dengan alat rahasia atau ia merqasa ada racun
dalammakanannya Halusinasi penglihatan agak jarang pada skizofrenia
lebih sering pada psikosa akut yang berhubungan dengan sindroma otak
organik bila terdapat maka biasanya pada stadium permulaan misalnya
penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang
menakutkan.
Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan
intelegensi tidak menurun pada skizofrenia. Penderita sering dapat
menceritakan dengan jelas pengalamannya dan perasaannya. Kadang-
kadang didapati depersonalisasi atau “double personality”, misalnya
penderita mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan
menganggap dirinya sudah tidak adalagi. Atau pada double personality
seakan-akan terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya
atau yang menguasai dan menyuruh penderita melakukan sesuatu.
Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan
hubungan dengan dunia luar ia seakan-akan hidup dengan dunianya
sendiri tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 60


Oleh Bleuler depersonalisasi, double personality dan otisme
digolongkan sebagai gejala primer. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
otisme terjadi karena sangat terganggunya afek dan kemauan.

Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis
skizofrenia adalah:
(1). Tidak ada symptom atau gejala klinis yang patognomonik untuk
skizofrenia. Artinya tidak ada simptom yang khas atau hanya
terdapat pada skizofrenia. Tiap simptom skizofrenia mungkin
ditemukan pada gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf lainnya.
Karena itu diagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan dari
pemeriksaan status mental saat ini. Riwayat penyakit pasien
merupakan hal yang esensial untuk menegakkan diagnosis
skizofrenia.
(2). Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari
waktu ke waktu. Oleh karena itu pasien skizofrenia dapat berubah
diagnosis subtipenya dari perawatan sebelumnya (yang lalu).
Bahkan dalam satu kali perawatanpun diagnosis subtipe mungkin
berubah.
(3). Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan
latar belakang sosial budaya pasien. Sebab perilaku atau pola pikir
masyarakat dari sosial budaya tertentu mungkin dipandang sebagai
suatu hal yang aneh bagi budaya lain. Contohnya memakai koteka di
Papua merupakan hal yang biasa namun akan dipandang aneh jika
dilakukan di Jakarta. Selain itu hal yang tampaknya merupakan
gangguan realitas mungkin akibat keterbatasan intelektual dan
pendidikan pasien.

Skizofrenia dibicarakan seakan-akan penyakit tunggal, namun kategori


diagnostik dapat termasuk berbagai gangguan yang tampak dengan gejala
prilaku yang mirip.Gejala yang timbul sangat bervariasi tergantung pada tahapan
perjalanan penyakitnya.Ada gejala yang dapat ditemukan dalam kelainan lain,
tapi ada yang paling sering timbul pada skizofrenia, gejala inilah yang merupakan
tanda utama diagnosis:
1. Kelainan pikiran
Lebih mengarah pada bentuk ketimbang isi: kelainan pikiran formal.
Pikirannya berbelit-belit dan menyebar. Hubungan normal antara satu ide
dengan ide lain terputus (pikiran ‘knight’s move). Pasien mungkin
mengalami blok pikiran mendadak. Pikiran konkrit (tidak mampu berpikir
abstrak. Pikiran terganggu oleh gangguan tema personal (autistic atau

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 61


dereistik) dan oleh ketidakmampuan untuk memilih pikkiran (pikiran
‘overinklusif)
2. Kelainan emosi
Reaksi emosi dan afek yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan keadaan
atau pikiran pasien, kemudian timbul penumpulan dan apati. Tanda
awalnya tak adanya “raport” yang ditemukan di saat wawancara
3. Kelainan kemauan
Ada kehilangan kehendak, kelemahan dan tak ada dorongan, terlihat dari
kegagalan dalam pekerjaan rumah, pelajaran dan pekerjaan. Suatu saat
dapat ditemukan kekerasan hati yang berlebihan, negativisme atau
kepatuhan secara otomatis
4. Katatonia
Kelainan gerakan mungkin timbul dalam bentuk kekakuan, gerakan yang
kurang terkoordinasi serta gaya berjalan, menyeringai, sikap dan dalam
kasus ekstrim, fleksibilitas serea dan ekopraksia.
5. Halusinasi
Dapat terjadi dalam banyak penyakit, tetapi pada skizofrenia halusinasi
ditemukan dalam keadaan kesadaran yang jernih. Biasanya merupakan
halusinasi pendengaran, tetapi indera sensorik lain mungkin terlibat.
Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit
(whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual , atau
lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
6. Waham
Waham primer: waham yang berkembang penuh dari suatu persepsi
normal, munculnya mendadak dan sangat diyakini oleh penderita.
Waham sekunder merupakan suatu keyakinan yang salah dan muncul
dari gejala lain, missal pasien mungkin ‘menerangkan’ dengan yakin
bahwa kelainan pemikirannnya disebabkan karena ada suatu agen dari
luar yang meletakkan pikiran itu atau mengacaukan pikiran di kepalanya.
Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity
(delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka
ragam, adalah yang paling khas
7. Gangguan ekspresi
Kelainan ekspresi dan halusinasi sering dicerminkan dalam percakapan
(neologisme, word salad), tulisan tangan dibuat-buat, lukisan, dan sajak
yang aneh.
8. Penarikan diri
Sebagai akibat timbulnya gejala-gejala di atas, penarikan diri dari kontak
social normal dan aktivitas sering merupakan gejala dini.

KLASIFIKASI

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 62


Jenis-jenis skizofrenia:
Kriteria Diagnostik Skizofrenia berdasarkan DSM-IV
A. Gejala Karakteristik
B. Disfungsi social/pekerjaan
C. Durasi
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum
F. Hubungan dengan gangguan pervassif
Subtipe Skizofrenia terbagi:
1. Tipe Paranoid
2. Tipe Terdisorganisasi
3. Tipe Katatonik
4. Tipe Tidak Tergolongkan
5. Tipe Residual

1.Tipe Paranoid

Kriteria diagnostik subtype ini:


A. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang
menonjol
B. Tidak ada dari berikut ini yang menonjol: bicara terdisorganisasi, perilaku
terdisorganisasi atau afek yang datar atau tidak sesuai.

DSM IV menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasyikan


(preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering, dan
tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau
katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya
waham persekutorik (waham kejar) atau waham kebesaran. Pasien skizofrenia
paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skizofrenia
terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama
penyakitnya. Kekuatan ego pasien paranoid cenderung lebih besar daripada
pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenia paranoid menunjukkan
regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional, dan
perilakunya dibandingkan tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid tipikal adalah
tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah. Mereka juga dapat bersikap
bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenia paranoid kadang-kadang dapat
menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 63


Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan
tetap intak.
2. Tipe Terdisorganisasi/hebefrenik
Kriteria diagnostik subtype ini:
A. Semua yang berikut ini menonjol:
1. Bicara terdisorganisasi
2. Perilaku terdisorganisasi
3. Afek datar atau tidak sesuai
B. Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik
Tipe ini sebelumnya dinamakan hebefrenik ditandai oleh regresi yang
nyata ke perilaku primitif, terdisinhibisi, dan tidak teratur dan oleh tidak adanya
gejala yang memenuhi criteria untuk katatonik. Onset biasanya awal, sebelum 25
tahun. Pasien terdisorganisasi biasanya aktif tetapi dengan cara yang tidak
bertujuan dan tidak konstruktif. Gangguan pikiran mereka menonjol dan kontak
dengan kenyataan buruk. Penampilan pribadinya dan prilaku sosialnya rusak.
Respon emosionalnya adalah tidak sesuai dan seringkali mereka tertawa
meledak tanpa alasan.Seringis dan seringai wajah sering ditemukan pada tipe
pasien inidan perilaku digambarkan sebagai kekanak-kanakan atau bodoh.
3. Tipe Katatonik
Kriteria diagnostik subtype ini: Gambaran klinis didominasi sekurangnya 2
gejala
1. Imobilitas motorik seperti katalepsi (termasuk fleksibilitas lilin) atau
stupor
2. Aktivitas motorik yqng berlebihan (yang tampaknya tidak bertujuan
dan tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
3. Negativism yang ekstrim (suatu resistensi yang tampaknya tanpa
motivasi terhadap semua instruksi atau mempertahankan postur yang
kaku menentang semua usaha untuk digerakkan) atau mutisme
4. Gerakan volunteer yang aneh seperti yang ditujukkan oleh posturing
(mengambil postur yang tidak lazim atau aneh secara disengaja),
gerakan stereotipik, manerisme yang menonjol, atau seringai yang
menonjol
5. Ekolalia atau ekopraksia

4. Tipe Tidak Tergolongkan (Undifferentiated type)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 64


Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi
criteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid,
terdisorganisasi, atau katatonik.
Seringkali, pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan ke dalam salah satu tipe. DSM-IV mengklasifikasikan pasien
tersebut sebagai Tipe Tidak Tergolongkan (Undifferentiated type).
5. Tipe Residual
Suatu tipe skizofrenia dimana kriteria berikut terpenuhi:
A. Tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan prilaku
katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol
B. Terdapat terus bukti-bukti gangguan, seperti yang ditunjukkan oleh
adanya gejala negative atau dua atau lebih gejala yang tertulis dalam
kriteria A untuk skizofrenia ., ditemukan dalam bentuk yang lebih
lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang
tidak lazim).

DIAGNOSIS BANDING
Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai
macam keadaan medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai
macam zat. Jika psikosis atau katatonia disebabkan oleh kondisi medis
nonpsikiatrik atau diakibatkan oleh suatu zat, diagnosis yang paling sesuai
adalah gangguan psikotik akibat kondisi medis umum, atau gangguan
katatonia akibat zat. Manifestasi psikiatrik dari banyak kondisi medis
nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam perjalanan penyakit, seringkali
sebelum perkembangan gejala lain. Dengan demikian klinisi harus
mempertimbangkan berbagai macam kondisi medis nonpsikiatrik dii
dalam diagnosis banding psikosis, bahkan tanpa adanya gejala fisik yang
jelas. Pada umumnya, pasien dengan gangguan neurologist mempunyai
lebih banyak tilikan pada penyakitnya dan lebih menderita akibat gejala
psikiatriknya daripada pasien skizofrenik, suatu kenyataan yang dapat
membantu klinisi untuk membedakan kedua kelompok tersebut.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 65


Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti
tiga pedoman umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik.
Pertama, klinisi harus cukup agresif dalam mengejar kondisi medis
nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan adanya gejala yang tidak lazim
atau jarang atau adanya variasi dalam tingkat kesadara. Kedua, klinisi
harus berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga yang lemgkap,
termasuk riwayat gangguan medis, neurologist, dan psikiatrik. Ketiga,
klinisi harus mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi medis
nonpsikiatrik, bahkan pada pasien dengan diagnosis skizofrenia
sebelumnya. Seorang pasien skizofrenia mempunyai kemungkinan yang
sama untuk menderita tumor otak yang menyebabkan gejala psikotik
dibandingkan dengan seorang pasien skizofrenik.
Berpura-pura (Malingering) dan Gangguan buatan (Factitious)
Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan
suatu diagnosis yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia
tetapi sebenarnya tidak menderita skizofrenia. Orang telah menipu
menderita skizofrenia dan dirawat dan diobati di rumah sakit psikiatrik.
Orang yang secara lengkap mengendalikan produksi gejalanya mungkin
memenuhi diagnosis berpura-pura (malingering); pasien tersebut
biasanya memilki alasan financial dan hokum yang jelas untuk dianggap
gila. Pasien yang kurang mengendalikan pemalsuan gejala psikotiknya
mungkin memenuhi diagnosis suatu gangguan buatan (factitious
disorder). Tetapi, beberapa pasien dengan skizofrenia seringkali secara
palsu mengeluh suatu eksaserbasi gejala psikotik untuk mendapatkan
bantuan lebih banyak atau untuk dapat dirawat di rumah sakit.
Gangguan Psikotik Lain
Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik
dengan yang terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik
singkat, dan gangguan skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari
skizofrenia karena memiliki lama (durasi) gejala yang sekurangnya satu

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 66


bulan tetapi kurang daripada enam bulan. Gangguan psikotik berlangsung
singkat adalah diagnosis yang tepat jika gejala berlangsung sekurangnya
satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan jika pasien tidak kembali ke
tingkat fungsi pramorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang
tepat jika sindroma manik atau depresif berkembang bersama-sama
dengan gejala utama skizofrenia.

Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang


tidak aneh (nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa
adanya gejala skizofrenia lainnya atau suatu gangguan mood.
Gangguan Mood
Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit,
tetapi penting karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif
untuk mania dan depresi. Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus
relative singkat terhadap lama gejala primer. Tanpa adanya informasi
selain dari pemeriksaan status mental, klinisi harus menunda diagnosis
akhir atau harus menganggap adanya gangguan mood, bukannya
membuat diagnosis skizofrenia secara prematur.
Gangguan Kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu
cirri skizofrenia; gangguan kepribadian skizotipal, schizoid, dan ambang
adalah gangguan kepribadian dengan gejala yang paling mirip. Gangguan
kepribadian, tidak seperti skizofrenia, mempunyai gejala yang ringan,
suatu riwayat ditemukannya gangguan selama hidup pasien, dan tidak
adanya onset tanggal yang dapat diidentifikasi.
PENATALAKSANAAN
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat
penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh
semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat.
Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke
dokter atau psikiater.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 67


Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun
keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu
mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa
menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam
menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan
antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.

Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh


penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi
penderita untuk sembuh
Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :
1. Terlepas dari penyebabnya, skizofrenia terjadi pada seseorang yang
mempunyai sifat individual, keluarga, dan sosial psikologis yang unik.
2. Kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar
monozigotik adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk
menyarankan bahwa factor lingkungan dan psikologis yang tidak diketahui
tetapi kemungkinan spesifik telah berperan dalam perkembangan gangguan.
3. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan
terapetik tunggal jarang mencukupi untuk menjawab secara memuaskan
gangguan yang memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat
perbaikkan klinis.

A. Perawatan di Rumah Sakit


Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :
1. Untuk tujuan diagnostik.
2. Menstabilkan medikasi.
3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh.
4. Perilaku yang sangat kacau atau.
5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidak sesuai dasar.

Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif


antara pasien dan system pendukung masyarakat.

Sejak diperkenalkan diawal tahun 1950-an medikasi antipsikotik


telah menyebabkan revolusi dalam pengobatan skizofrenia.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 68


Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi
praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup,
pekerjaan dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus di
arahkan untukk mengikat pasien dengan fasilitas pasca rawat termasuk
keluarganya, keluarga angkat, board and care homes, dan half way house.
Pusat perawatan di siang hari ( day care center ) dan kunjungan rumah
kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk
periode waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kahidupan
sehari-hari pasien.

B.Terapi Somatik

Antipsikotik

Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama, yaitu:


1.Antagonis reseptor dopamine
2.Risperidone ( risperdal )
3.Clozapine ( clozaril )

Pemilihan Obat
1. Antagonis Reseptor Dopamin (Typical Antipsychotic)
Adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan skizofrenia.
Obat ini memiliki dua kekurangan utama, yaitu:
a. Hanya sejumlah kecil pasien, cukup tertolong untuk mendapatkan kembali
jumlah fungsi mental yang cukup normal.
b. Disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek
mengganggu yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme
berupa rigiditas dan tremor. Efek serius yang potensial adalah tardive dyskinesia
dan sindroma neuroleptik malignan.
Contoh golongan ini: haloperidol decanoate, fluphenazine enanthate dan
decanoate, clopenthixol decanoate, zlucopenthixol decanoate, fupenthixol
decanoate, pherphenazin enanthate dan decanoate, pipothiazin, fluspirilen

2. Risperidone (Atypical Antipsychotic)


Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada
reseptor serotonin tipe 2 ( 5-HT2 ) dan pada reseptor dopamine tipe 2 ( d2 ).
Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 69


kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis
reseptor dopaminergik yang tipikal.
Obat lainnya: olanzapine, ziprasidone.
3. Clozapine
Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum diketahui
secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D 2 tetapi
merupakan antagonis yang kuat terhadap reseptor D 4 dan mempunyai aktivitas
antagonistic pada reseptor serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek
samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks
darah. Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive
dyskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak disertai
dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.
Prinsip-Prinsip Terapetik
1. Klinisi harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati
2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien
harus digunakan lagi.
3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu
pada dosis yang adekuat.
4. Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah
jarang diindikasikan.
5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang
diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama periode psikotik.
Pemeriksaan Awal
Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang cukup
singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali clozapine, tanpa
melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri pasien. Pada
pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah lengkap dengan indekss sel
darah putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada wanita yang berusia lebih
dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari 30 tahun.
Kontraindikasi Utama Antipsikotik:

1. Riwayat respon alergi yang serius

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 70


2. Kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi
dengan antipsikotik sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat.
3. Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organic atau audiopatik.
4. Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antupsikotik dengan
aktivitas antikolinergik yang bermakna.
Kegagalan Pengobatan
1. Ketidakpatuhan dengan antipsikotik merupakan alasan utama untuk
terjadinya relaps dan kegagalan percobaan obat.
2. Waktu percobaan yang tidak mencukupi.
Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi
antipsikotik, dapat dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang
berbeda dari obat yang pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi
antipsikotik dengan lithium (eskalith), suatu antikonvulsan seperti
carbamazepine atau valproate (depakene), atau suatu benzodiazepine.
Pemakaian terapi antipsikotik dosis-mega jarang diindikasikan, karena hamper
tidak ada data yang mendukung praktek tersebut.
Obat Lain
Lithium
Efektif dalam menurunkan gejala psikotik lebih lanjut pada sampai 50 persen
pasien dengan skizofrenia dan merupakan obat yang beralasan untuk dicoba
pada pasien yang tidak mampu menggunakan medikasi antipsikotik.
Antikonvulsan
Carbamazepine dan valproat dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam
kombinasi dengan lithium atau suatu antipsikotik. Walaupun tidak terbukti
efektif dalam menurunkan gejala psikotik pada skizofrenia, namun jika digunakan
sendiri-sendiri mungkin efektif dalam menurunkan episode kekerasan pada
beberapa pasien skizofrenia.
Benzodiazepin
Pemakaian bersama-sama alprazolam ( xanax ) dan antipsikotik bagi pasien yang
tidak berespo terhadap pemberian antipsikotik saja, dan pasien skizofrenia yang
berespon terhadap dosis tinggi diazepam ( valium ) saja. Tetapi keparahan
psikosis dapat di eksaserbasi seteloah putus dari benzodiazepine.
Terapi Somatik Lainnya
Elektrokonvulsif ( ECT ) dapat diindikasikan pada pasien katatonik dan bagi
pasien yang karena suatu alasan tidak dapat menggunakan antipsikotik ( kurang

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 71


efektif ). Pasien yang telah sakit selama kurang dari satu tahun adalah yang
paling mungkin berespon.
Dimasa lalu skizofrenia diobati dengan koma yang di timbulkan insulin (insulin-
induced coma) dan koma yang ditimbulkan barbiturat (barbiturate-induced
coma).
C.Terapi Psikososial
Terapi Perilaku
Tehnik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan social
untuk meningkatkan kemampuan social, kemampuan memenuhi diri sendiri,
latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus
untuk hal-hal yang diharapkan. Dengan demikian frekuensi perilaku mal adaptif
atau menyimpang dapat diturunkan.
Latihan Keterampilan Perilaku ( Behavioral Skills Trainning )
Sering dinamakan terapi keterampilan sosial ( social skills therapy ). Terapi ini
dapat secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan
tambahan alami bagi terapi farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan
penggunaan kaset videon orang lain dan pasien permainan simulasi ( role playing
) dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah dilakukan.
Terapi Berorientasi Keluarga
Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasik
dan menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah
memang timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada
pemecahan masalah secara cepat.
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas dalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya.

Di dalam session keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli terapi harus


mengendalikan intensitas emosional dari session.

PROGNOSIS
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode
5 sampai 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah
sakit karena skiofrenia, hanya kira-kira 10-20 % pasien dapat
digambarkan memliki hasil yang baik.Lebih dari 50% pasien dapat
digambarkan memiliki hasil yang buruk, dengan perawatan di rumah sakit
yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat, dan
usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka yang kurang bagus tersebut,

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 72


skizofrenia memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang buruk,
dan sejumlah faktor telah dihubungkan dengan prognosis yang baik.
Penyebab relaps: poor drugs,use alkohol, hubungan keluarga yang
buruk, psikopatologi buruk dan tidak respon dengan pengobatan.
Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur
adalah dari 10-60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30%
dari semua pasien skizofrenia mampu untuk menjalani kehidupan yang
agak normal. Kira-kira 20-30% dari pasien terus mengalami gejala yang
sedang,dan 40-60% dari pasien terus terganggu scara bermakna oleh
gangguannya selama seluruh hidupnya.
Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada:

1. Usia pertama kali timbul ( onset): makin muda makin buruk.


2. Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut lebih baik.
3. Tipe skizofrenia: episode skizofrenia akut dan katatonik lebih baik.
4. Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang didapat.
5. Ada atau tidaknya faktor pencetusnya: jika ada lebih baik.
6. Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada lebih jelek.
7. Kepribadian prepsikotik: jika skizoid, skizotim atau introvred lebih jelek.
8. Keadaan sosial ekonomi: bila rendah lebih jelek.
Prognosis Skizofrenia

Prognosis Baik Prognosis Buruk


Onset lambat Onset muda
Faktor pencetus yang jelas Tidak ada factor pencetus
Onset akut Onset tidak jelas
Riwayat sosial, seksual dan pekerjaan Riwayat sosial dan pekerjaan
premorbid yang baik premorbid yang buruk
Gejala gangguan mood (terutama Prilaku menarik diri atau autistic
gangguan depresif) Tidak menikah, bercerai atau janda/
Menikah duda
Riwayat keluarga gangguan mood Sistem pendukung yang buruk
Sistem pendukung yang Gejala negatif
Gejala positif Tanda dan gejala neurologist
Riwayat trauma perinatal
Tidak ada remisi dalam 3 tahun
Banyak relaps
Riwayat penyerangan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 73


Step 4. Strukturisasi Konsep

Psikosis

Skizofrenia:
-gejala
-tanda

Tipe Tipe Tipe Tipe Tipe residual


paranoid terdisorga katatonik tidak
nisasi/ tergolo
hebefrenik
Penatalaksanaa
n

Prognosis

STEP 5. Learning Objective:


Mahasiswa dapat:
1. Memahami suatu keadaan psikosis.
2. Menjelaskan gejala-gejala dan diagnosis banding skizofrenia
3. Menjelaskan faktor-faktor penyebab skizofrenia dan psikopatologinya
4. Menjelaskan jenis-jenis skizofrenia
5. Menjelaskan penatalaksanaan skizofrenia

II. KULIAH
1. Sign and simptoms pada gangguan psikiatri (dr. H.Jaya m Sp KJ, M.Kes)
Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa diharapkan mampu Menjelaskan signs dan simptoms pada
gangguan psikiatri

2. Psikotik Akut (Dr.H.Jaya Mualimin Sp.KJ M.Kes)


Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan keadaan psikotik akut, etiologi,
patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
gangguan psikotik akut

3. Delirium dan Demensia (Dr. Dalidjo, Sp.KJ)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 74


Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan keadaan delirium, etiologi,
patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosis dan penatalaksanaannya.

III. Praktikum: Lanjutan NAPZA


IV. KETERAMPILAN MEDIK
Lihat buku ketrampilan medik

REFERENSI:
1. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI, Pedoman
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)- III, di Indonesia, 1994
2. Sadock B, Sadock V, Comprehensive text-book of Psychiatry, ed ke-8,
2000
3. Kaplan HI. Sadock BJ, Mood disorders in Kaplan HI, Sadock BJ. Synopsis
and Psychiatry, Behavior Sciences/Clinical Psychiatry, 8 th edition,
Lippincott William& wilkins, Baltimor, 1998 p 1289-1304
4. Stephen M. Stahl, Essential Psychopharmacology, Neuroscientific basic
and Practical Applications, 2nd ed, Cambrige University Press, 2000
5. Wiener J, Duclan M, Child ad Adolescent Pschyciatry, ed ke-3, 2004
6. American Pschyciatry Association. Diagnosis and Statistical Manual of
Mental Disorders, 4th ed, Wasington DC,: American Pschyciatry
Association, 1994;233-155
7. Owen MJ. Nemeroff CB, Physioloy and pharmacology of CRF; Farmacol
Rev;1991;43;425-473.
8. Josep R. Hippocampus. Dalam Neuropsychiatry; Neuropsychology and
clinical neuroscience. Emotion, Evolution, Cognition, Language, memory,
Brain Damage, and Abnormal Behavior, second ed. William&Wilkins,
1996;193-216
9. Hawari, Dadang:Skizofrenia dalam Pendekatan Holistik Pada Gangguan
Jiwa, Penerbit FKUI, Jakarta, 2003.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 75


MODUL 3

GANGGUAN MOOD

I. Tutorial
Skenario:
DUNIA TIDAK LAGI INDAH…….
Seorang mahasiswi, Nia, 23 tahun diantar oleh orang tuanya ke
rawat jalan RS dengan keluhan tidak mau lanjutkan kuliahnya, ia
mengatakan banyak dosennya tidak senang dengan dia, ia selalu bicara
nilainya bagus tapi karena ada yang tidak suka maka IP-nya turun.
Kemudian ayahnya membawa pulang ke rumah agar anak dapat istirahat,
tetapi dirumah penderita murung, tidak bergairah, tidak mau makan,
pernah mengatakan hidup tidak berguna, ingin mengakhiri hidup, kalau
ada masalah ia mudah tersinggung, dan sering merasa paling benar
sendiri. Orang tuanya pernah mendatangkan teman SMAnya, dia senang
sekali tapi memperlakukan temannya tidak sopan. Ayahnya pernah
mengajak konsultasi ke psikiater, tapi ia menolak dengan alasan tidak
merasa sakit. Hasil pemeriksaan psikiater, didapatkan bicara logore,
insomnia, hipomania, halusinasi tidak ada, ide dan tentament suicide
tidak ada, penyakit fisiknya tidak ditemukan kelaianan.
Step 1. Identifikasi Istilah Sulit
1. Logore: bicara banyak sekali dan tidak dapat ditahan, kata-kata dan
kalimat-kalimat diucapkan bertubi-tubi
2. Insomnia: tidak dapat tidur atau tidak dapat melanjutkan tidur. Bersifat
primer ataupun sekunder
3. hipomania : suatu keadaan antara eforia dan mania ditandai oleh
perasaan gembira yang bertambah, optimism, desakan untuk bicara
4. halusinasi: suatu pencerapan (persepsi) sensorik yang salah tanpa
rangsangan dari luar yang sebenarnya. Halusinasi: pencerapan tanpa

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 76


adanya rangsang apapun pada panca indera seorang, yang terjadi dalam
keadaan sadar/bangun, dasarnya mungkin organic, fungsional, psikosis
atau histeris.
5. ide dan tentament suicide: pikiran/keinginan dan percobaan bunuh diri
Step 2. Identifikasi Masalah
1. mengapa Nia berpikiran dosennya tidak suka padanya?
2. Mengapa Nia murung, tidak bergairah, tidak mau makan, merasa hidup
tidak berguna bahkan ingin mengakhiri hidupnya?
3. Mengapa nia senang dengan kedatangan temannya namun
memperlakukannya dengan tidak sopan?
4. Mengapa Nia mudah tersinggung dan merasa benar sendiri?
5. Mengapa Nia mengalami logore, insomnia, hipomania?
6. Mengapa pada Nia ide dan tentamen suicide tidak ada walaupun sering
merasa ingin mengakhiri hidupnya?
7. Apa penyebab semua perubahan pada diri Nia?
8. Bagaimana cara mengatasi keadaan tersebut?

Step 3 : Analisa masalah


GANGGUAN MOOD

GAMBARAN UMUM
 Gejala pokok adalah perubahan suasana perasaan (depresi, elasi) ditambah
dengan gejala perilaku yang sesuai, gangguan mood ini sebagian besar
cenderung berulang.
 Prevalensi seumur hidup depresi berat 15%, wanita bisa sampai 25%, bipolar
I antara 1,5% - 3%, Gangguan bipolar tipe II dari 2% dan meningkat menjadi
15%. Proporsi spectrum bipolar saat ini sebesar 33% dikarenakan
perkembangan pengenalan depresi mayor , sesungguhnya adalah gangguan
bipolar (Stahl, 2008).
 kejadian bipolar I pria = wanita

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 77


 Onset bipolar I 5/6 -50 tahun, rata-rata 30 tahun, depresi berat 50% antara
usia 20-50 tahun, umumnya sekitar 40 tahun
 Depresi berat & bipolar I > banyak pada yang tidak menikah / bercerai
 Bipolar I > banyak pada keluarga sosek tinggi

ETIOLOGI
BIOLOGIK
 Amine biogenik kelainan di metabolit amin biogenic- seperti 5-
hydroxyindolaeacetic Acid (5-HIAA), asam hemovanilic (HVA) dn 3-methoxy-
4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah, urin dan cairan
cerebrospinal (CSF), neurotransmiter yang terlibat adalah norepinefrin,
serotonin, dopamin
 Patologi sistem limbik, ganglia basalis, hipotalamus

GENETIK
 Kejadian bipolar I/depresi berat pada kembar identik 33-90% (50%) & kembar
non identik 5-25%
 1 orang tua bipolar maka kemungkinan anaknya menderita bipolar 15-30%,
kedua orang tua bipolar maka kemungkianan anaknya menderita bipolar 50-
75%.
 Kromosom 5, 11 & x mungkin berperan pada bipolar I

PSIKOSOSIAL
 Stresor eksternal berperan pada sakit pertama
 Kehilangan orang tua pada usia kurang dari 11 tahun, kematian istri/suami
dapat menjadi stresor kejadian depresi.
 Gangguan kepribadian dependen, histerikal, obsesif- kompulsif dan ambang
dapat berisiko tinggi mengalami depresi dibandingkan dengan kepribadian
antisosial dan parnaoid.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 78


 Gangguan distimik dan siklotimik berisiko menjadi gangguan depresi
berat/bipolar I
 Sigmud Freud dan dilanjutkan oleh Karl Abraham mengemukakan teori
psikodinamika. Ada 4 hal dalam teori ini 1. Hubungan ibu dengan anak
selama fase oral (10-18 bulan). Menjadi faktor predisposisi untuk rentan
terhadap episode depresi berulang. 2. Depresi berhubungan dengan
kenyataan atau banyangan kehilangan objek. 3.introjeksi merupakan
terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi penderitaan yang
berkaitan dengan kehialnagn objek 4. Akibat kehilangan objek cinta (Loss of
love object) diperlihatkan dalam bentuk benci, cinta, perasan marah yang
diarahksn pada diri sendiri (introjeksi).
 Melani Klein menjelaskan bahwa depresi termasuk agresi ke arah mencintai.
 Edward Bibring menyatakan bahwa depresi dalah suatu fenomena yang
terjadi ketika seseorang menyadari terdapat perbedaan antara ideal yang
tinggi dengan kenyataan.
 Edith Jokobson melihat depresi sebagai berkurangnya kekuatan sebagai
contoh anak yang tidak berdaya menjadi korban kekerasan orang tua.
 Silvano Arieti mengamai banyak pasien depresi yang hidup untuk orang lain
daripada untuk dirinya sendiri.
 Heinz Kohut’s mengkonseptualisasikan depresi mulai dari self-psikological
bhawa perkembangan jiwa mempunyai kebutuhan spesifik yang harus
dipenuhi oleh orang tuanya terhadap anaknya untuk memberikan rasa
positif, percaya diri dan self-cohesion. Jika orang yang diharapkan tidak
memenuhi kebutuhan akan terjadi kehilangan kepercayaan diri yang besar
yang muncul sebagai depresi.
 John Bowlby percaya kerusakan pada awal keeratan dan trauma akibat
perpisahan pada anak sebagi faktor predisposisi untuk terjadinya depresi.
 Teori kognitif : Postulat Aaron trias kognitif; 1. Pandangan terhadap diri
sendiri yang negatif (misinterpretasi kognitif). 2. Pandangan terhadap

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 79


lingkungan yang cenderung menganggap dunia bermusuhan terhadapnya. 3.
Tentang masa depan yang ia bayangkan penderitaan dan kegagalan.

GAMBARAN KLINIK
DEPRESI
 Mood depresi, berpikir lambat, retardasi (kemunduran)/(peningkatan) agitasi
dari psikomotor
 Bicara, tingkah laku lambat (blocking)
 Rasa senang hilang, minat tidak ada, rasa tak berdaya, tak berguna, tak bisa
menangis
 2/3 ada keinginan mencoba bunuh diri, 10-15% meninggal dunia karena
bunuh diri. Pada minggu pertama pengobatan derpesi dapat meningkatkan
risiko bunuh diri saat mulai ada perbaikan yang disebut paradoxical suicide.
 97% mengeluh tidak bertenaga, mudah capek dan tidak bersemangat
sehingga banyak tugas dan pekerjaan tak selesai, motivasi menurun.
 Gangguan mood mengalami gangguan tidur 80% bangun pagi terlalu dini,
dan sering terbangun malam (terminal & mid-insomnia)
 Nafsu makan menurun dan berat badan cenderung menurun (ada yang
mengalami peningkatan karena nafsu makan meningkat). Haid tidak
teratur/abnormal, aktivitas seksual/libido menurun.
 Lebih dari 90% gangguan mood juga mengalami ansietas
 Penyalahgunaan zat, keluhan fisik menyulitkan terapi
 50% gangguan mood mengalami gejala variasi diurnal yaitu gejala-gejala
berat dan parah yang dirasakan pasien pada pagi, berangsur membaik/ lebih
ringan pada sore & malam hari.
 84% gangguan mood mengalami gangguan konsentrasi, 65% tak mampu
berpikir seolah hilang ingatan/pelupa ( pseudodemensia).
 Pandangan negative terhadap dunia dan dirinya sendiri. Isi pikiran meliputi
rasa bersalah, rasa kehilangan buhun diri dan kematian.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 80


 Wawasan penyakit sangat berlebihan mereka selalu meakankan pada
gejalanya, gangguannya. Ini menyulitkan untuk menyakinankan pasien,
bahwa perbaikan mungkin terjadi.
 Pada anak : gangguan fobia sekolah, dan tak bisa lepas dari orang tua
 Pada remaja : prestasi sekolah menurun, penyalahgunaan zat, perilaku
antisosial, mencuri & lari dari rumah.
 Pada orang tua : kasus depresi lebih banyak dari populasi umum dengan
prevalensi 25-50% . gangguan depresi pada orang tua sering berkaitan
dengan status social ekonomi yang rendah, kehilangan pasangan,
berbarengan dengan penyakit fisik dan isolasi social. Lebih banyak keluhan-
keluahan somatik, bisa ada gejala psikotik.

MANIA
 Mood yang meninggi, elasi, ekspansif & iritabilitas
 Bicara lebih banyak, suara keras, sukar dihentikan, hiperaktif
 Dandanan dan penampilan berani & menor, impulsif, mengabaikan hal-hal
kecil, boros, berlebihan
 Preokupasi tema-tema religi, politik, ekonomi, seksual & rasa dikejar / diincar
orang
 Toleransi frustrasi renda , mudah marah, hostilitas
 Pikiran-pikiran tentang kebesaran - kehebatan diri
 75% bisa menyerang (assaultive)
 Wawasan penyakit & daya nilai buruk
 Suka berbohong

PERJALANAN PENYAKIT
 Gangguan mood adalah gangguan yang berlangsung lama/kronis dan
cenderung berulang/kambuh. Gangguan ini lebih ringan daripada skizofrenia.
 Depresi dengan tanpa terapi 6-13 bulan mengalami remisi dan rcoveri,
dengan terapi 3 bulan dalam 20 tahun mengalami 5-6 episode.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 81


 Bipolar I, 67% (pria) & 75% (wanita) dimulai dengan depresi, 10-20% hanya
ulangan episode manik, onset cepat (jam-hari), tanpa terapi + 3 bulan,
setelah 5 x sakit, masa antar episode stabil antara 6-9 bulan. Terdapat suatu
kondisi sebagai ‘rapid cycling’ yang merujuk pada kekambuhan gejala yang
terjadi sebanyak empat kali atau lebih dengan kondisi manic atau hipomanik
dan depresi yang berganti-gantian secara cepat pada satuepisode dalam
sekurang-kurangnya 12 bulan terakhir.

EPISODE OF DEPRESSION

RECOVERY or
NORMAL REMISSION
MOOD

DEPRESSION

TIME 6 - 24 MONTHS
Gambar. 1 Episode depresi, derpesi yang tidak diobati biasanya belangsung 6-24 bulan
dapat remisi dan kembali normal.

DIAGNOSIS
 EPISODE MANIK
 Suasana perasaan meningkat dengan tingkah laku yang sesuai
(hipoman, mania, atau mania dengan gejala psikotik).
 Satu episode manik (tunggal).

 GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 82


 Suasana perasaan meningkat, elasi atau sebaliknya mengalami
perasaan terdepresi ditambah tingkah laku yang sesuai (episode
hipoman, manik, manik dengan gejala psikotik, depresi ringan atau
sedang, depresi berat, depresi berat dengan gejala psikotik,
campuran, remisi)
 Episode berulang lebih dari satu kali episode yang sebelumnya mania
atau depresi.
 Episode manik berlangsung antara 2 minggu - 4/5 bulan, rata-rata 4
bulan, episode depresi rata-rata 6 bulan, didahului atau tidak
didahului stresor kehidupan.

MANIK MIX EPISODE

HIPOMANIK

NORMAL
MOOD

DEPRESSION
Time

Gambar.2 Gangguan bipolar ditandai oleh variasi tipe gangguan episode afektif termasuk
depresi, manic atau hipomanik, dan kadang tipe campuran depresi dan manic bersamaan.

 EPISODE DEPRESIF
 Gejala-gejala depresif dapat terjadi lebih dari 2 minggu: dengan gejala
gangguan konsentrasi, perhatian menurun, harga diri dan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 83


kepercayaan diri menurun, merasa bersalah dan tidak berguna, masa
depan rasanya suram dan pesimis, dapat membahayakan diri bila ada
upaya bunuh diri, tidur terganggu (mid-insomnia), nafsu makan
menurun.
 Episode ini dapat ringan, sedang, berat dengan ada atau tidak ada
gejala somatik (gejala yang muncul bangun lebih dini, retardasi /
agitasi psikomotor, nafsu makan menurun, penurunan berat badan
sampai 50% dalam 1 bulan, serta libido juga menurun).

 GANGGUAN DEPRESIF BERULANG


 Gangguan depresi yang berulang dapat berlangsung dengan derajat
ringan, sedang ( ada atau tidak ada gejala somatik ), berat (ada atau
tidak ada gejala psikotik).

Gambar. 3 Pengobatan depresi akan memberikan perbaiakan semua gejala yang disebut
remisi dalam buan –bulan pertama dan recovery lebih lama antara 6 -12 bulan. Pasien
bukan hanya ada perbaikan gejala tapi sudah pulih.

NORMAL
MOOD 100% REMISSION RECOVERY

DEPRESSION

Acute Continuation Maintatenance


6-12 minggu 4- 8 bulan 1 atau lebih tahun
TIME

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 84


NORMAL
MOOD 100% RELAPS RECURRENCE

DEPRESSION

Acute Continuation Maintatenance


6-12 minggu 4- 8 bulan 1 atau lebih tahun
TIME

Gambar. 4. Depesi mengalami kekambuhan sebelum atau remisi penuh disebut repals dan
depresi mebali setelah paisen sembuh disebut recuren.

KRITERIA DIAGNOSTIK
1. Kriteria DSM IV untuk episode depresif
a. Tedapat 5 atau lebih gejala dibawah ini dalam periode 2 minggu dan
terdapat perubahan fungsi dengan gejala derpesi mood, atau kehilangan
minat dan kesenangan:
i. Mood depresi
ii. Kehilangan minat dan kesenangan terhdap hamper keseluruhan
aktifitas
iii. Kehilangan berat badan yang signifikan
iv. Insomnia atau hipersomnia
v. Agitasi psikomotor atau retardasi
vi. Fatigue dan kehilangan energy
vii. Perasaan brsalah yang berat
viii. Kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 85


ix. Pemikiran untuk mati terjadi berulang
b. Gejala tidak memenuhi criteria episode campuran
c. Gejala menyebabkan penurunan dan efek langsung terhadap fungsi soisl,
pekerjaan dan fungsi pentig lainnya
d. Gejala bukan disebabkan oleh efek fisiologis dari penggunaan obat-
obatan dan sebagainya
2. Kriteria DSM IV untuk episode hipomania
a. Periode peningakatan secara pesistan dari mood yang iritsbel, dan sangat
jelas berbeda dengan mood depresif biasanya.
b. Selama periode gangguan mood, tiga gejala di bawah ini harus ada
dengan derajat yang signifikan:
i. Grandiositas
ii. Penurunan kebutuhan untuk tidur
iii. Lebih sktif dslsm brbicrs, tsu terdspst tekasnsn untuk tetap berbicara
iv. Ide meloncat
v. Distraktibilitas
vi. Peningkatan aktifitas untuk memnuhi tujuannya, ada agitsi
psikomotor
vii. Perkembangan eksesif pada aktifitas yang disenangi yang memiliki
nilai potensial yang tingkat kosekuensi menyakiti
c. Episode berhubungan dengan perubahan anekuivokal pada fungsi dimana
bukan merupakan karasteristik personal pada saat tidak simptomatik
d. Gangguan pada mood dan perubahan funsi dapat diamati oleh orang lain
e. Episode ini tidak cukup berat menyebabkan kegagalan pada fungsi social
dan fungsi pekerjaan atau menyebabnkan masuk rumaH sakit.
f. Gejala bukan karena efek fisiologis dari penggunaan oba-obatan da lain
sebagainya.
3. Gangguan ini terjadi bukan karena efek langsung dari zat psikoaktif maupun
penyakit sistemik tertentu.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 86


4. Gejala depresi tambahan adalah: gejala vegetative antara lain; gangguan
tidur, gangguan makan, berat badan, libido. Gejala kognitidf antara lain;
konsentrsi terganggu, putus asa, daya ingat terganggu, pikiran negative dan
kontrol impuls antara lain; bunuh diri, membunuh orang lain, serta
gambaran tingkah laku; antara lain; motivasi, kebahagiaan, keinginan,
kegairahan, dan gejala fisik antara lain; sakit kepala, tidak nyaman diperut
dan tegang otot.

SKALA PENILAIAN OBJEKTIF GANGGUAN MOOD


Mania/hipomania
 The Mood Disorder Quesionaire (MDQ), Instrumen MDQ mempunyai
sensitifitas 73% dan spesifitas 90% untuk gangguan mood
 Untuk membantu mengenali gejala hipomania dapat digunakan Hipomania
Check List (HCL-32). Gambran yang sangat individual dari pola perjalanan
penyakit gangguan bipolar dapat dipermudah klarifikasinya dengan pasien
untuk mengisi “mood chart” setiap hari, sehingga dapat memberi gambaran
yang sebenarnya dan mengoptimalkan pemberian terapi (18)
 Young Mania Rating Scales (YMRS)

Episode depresi
 HDRS (Hamilton Depression Rating Scale)  ringan, sedang, berat
 Beck Depression Inventori (BDI)

TERAPI
Hospitalisasi/Perawatan
 Pada umumnya penderita tidak datang dengan dengan kemauan sendiri dan
indikasi pasti untuk perawatan adalah:
 Prosedur diagnostik
 Ada risiko bunuh diri atau pembunuhan,
 kemunduran yang parah dalam pemenuhan kebutuhan makan dan
perlindungan.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 87


 gejala-gejala berkembang progresif dan memburuk,
Terapi Psikososial/Psikoterapi
- terapi kognitif,
(Aaron Beck) tujuan terapi ini adalah untuk menghilangkan atau
meringankan episode depresi atau mencegah timbulnya episode tersebut
dengan mengenali pola pikir irasional, dan mengembangkan pola pikir
rasional dan fleksibel, kemudian melatih kembali pola berfikir serta
respon perilaku yang baru.
- terapi interpersonal,
(Gerald Klerman) difokuskan pada problem interpersonal yang ada. Dia
asumsikan bahwa, pertama, problem interpersonal yang ada saat itu
merupakan akar terjadinya disfungsi hubungan interpersonal. Kedua
problem interpersonal saat ini berperan terjadinya gejala depresi.
- terapi perilaku,
pola perilaku maladaptive menghasilkan umpan balik positif yang sedikit
serta penolakan dri lingkungan social.
- terapi berorientsi-psikoanalitik,
ditujukan pada perubahan struktur kepribadian pada atau karakter, tidak
semata menghilangkan gejala depresi. Tujuan terapi antara lain;
mencapai kepercayaan dalam hubungan interpersonal, keintiman,
mekanisme penyesuaian, kapasitas dalam merasakan kesedihan serta
kemampuan dalam merasakan perubahan emosioanal secara luas.
- terapi keluarga
terapi ini dilakukan bila gangguan mood yang diderita dapat
membahayakan hubungan perkawainannya atau fungsi dalam keluarga.

 FARMAKOTERAPI
Depresi Mayor
- Farmakoterapi merupakan terapi pilihan untuk derpresi mayor dengan
antidepresan (trisiklik, tetrasiklik, RIMA, SSRI, Nassa)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 88


- Alternative lain : ECT
Gangguan bipolar I:
- Antimania: (lithium, asam valproat, karbamazepin)
Gangguan Bipolar II:
Pemberian antidepresan pada gangguan ini harus hati-hati karena dapat
memicu mania-nya.

PROGNOSIS
DEPRESI
 Gangguan depresi adalah menahun/kronis, dapat berulang.
 Indikator prognosis baik adalah apabila gejala ringan, gejala psikotik tidak
ada, masa remaja sosialisasi baik, keluarga stabil, fungsi sosial 5 tahun
sebelum sakit baik, gangguan psikiatrik lain tidak terlihat, tidak ada gangguan
kepribadian, usia awitan lebih tua, perawatan untuk gangguan depresi
episode pertama.
BIPOLAR I
 Gangguan bipolar adalah menahun/kronis, dapat berulang.
 Indikator prognosis buruk apabila ada riwayat kerja yang buruk, ada
penyalahgunaan zat, ada gejala psikotik, ada gejala depresi, ada gejala
depresi antar episode, dan pada jenis kelamin laki-laki.
Bipolar Depresi Unipolar
Onset Lebih muda dan Lebih tua dan
cepat gradual
Onset pertama kali< 25 Sangat sering Kadang-kadang
tahun
Ratio gender Sama Perempuan lebih
banyak
Gejala depresi (<3 bulan) Singkat, lebih Jarang lama episode
rekuren > 3 bulan
Gambaran campuran Sering, sembaran Tidak pernah ada
depresi dan hipomania iritebel, episodic hipomania dan
ansietas mania
Gambara atypical Sering Kadang-kadang

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 89


Gambaran on-off yang Khas Jarang
cepat
Kekambuhan episode Sering Jarang
depresi (lebih 3 kali)
Penyalagunaan zat Sangat sering Sedang
Gambaran psikotik Sangat mungkin Jarang
< 35 tahun
Seasional (berkaitan Sering Jarang
musim)
Gangguan setelah Sangat sering Kadang-kadang
melahirkan
Riwayat keluarga Sangat sering sama Kadang-kadang
Antideprean induce mania Dapat diduga Jaramg
atau hipomania
Kehilangan efikasi dengan Dapat terjadi jarang
antdepresan

GANGGUAN SUASANA PERASAAN MENETAP


 Gangguan mood yang menetap, fluktuatif tapi tidak bisa disebut episodik
 Secara genetik berkaitan dengan gangguan suasana perasaan

SIKLOTIMIA
 Diagnosis ini ditegakan melihat dari ketidakstabilan menetap (pada umur
dewasa < 2 tahun atau anak-anak < 1 tahun) suasana perasaan (mood)
dengan banyak periode depresi ringan bergantian dengan elasi ringan lebih
sedikit dari gejala-gejala bipolar I.
 Prevalensi di masyarakat: 1%, wanita : pria = 3:2, 50-75% onset awitan pada
usia 15-25 tahun
 Faktor genetik mungkin berperan,30% pasien punya keluarga dengan bipolar
I.
 Hipomania merupakan upaya asadar untuk mengatasi SE yang keras  rasa
sedih (false euphoria)
 Onset insidious pada masa remaja, kronis, 1/3 akan mengalami gangguan
suasana perasaan terutama bipolar II (episode-episode depresi berat &
hipomanik)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 90


TERAPI
 Antimania
 Antidepresan harus hati-hati karena sensitifitas pasien terhadap gejala
manik-hipomanik akibat antidepresan
 Psikoterapi untuk meningkatkan coping mechanism pasien terhadap
perubahan-perubahan perasaannya.

DISTIMIA
 Gangguan mood yang terdepresi dengan perjalanan penyakit yang tidak tiba-
tiba gejala harian (kronis), ringan, fluktuasi lebih dari 2 tahun (anak-anak &
remaja iritabilitas < 1 tahun). Tidak pernah ditemukan gejala depresi mayor.
 Prevalensi 3-5%, dari kasus gangguan mood. Cyranowski (2001) mengatakan
angka kejadian distimik pada perempuan dan laki-laki sebelum pubertas dan
setelah masa menopause sama. Tetapi memasuki masa dewasa perempuan
mempunyai angka kejadian yang lebih besar dibading laki-laki, dengan rasio
2:1

Gambar. 5. Disthymia adalah gradasi yang landai dan sangat kronis dari depresi dengan
waktu kurang lebih 2 tahun.

NORMAL
MOOD

DISTHYMIA

DEPRESSION

2+ tahun

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 91


 Tahun 1980 gangguan ini diklasifikasikan sebagai neurosis depresi (depresi
neurotic)
 Kekecewaan pada hubungan interpersonal pada awal kehidupan sehingga
terjadi ambivalensi pada relasi cinta di masa dewasa ini akan menimbulkan
ancaman kehilangan kasih sayang yang akhirnya menyebabkan depresi
 Menurut Freud orang rentan terhadap depresi tergantung secara oral dan
membutuhkan pemuasan narsistik yang terus menerus. Apabila individu tidak
mendapatkan cinta, kasih sayang yang bermakna ia akan mengalami depresi.
Mekanisme mentalnya dengan internalisasi atau introjeksi objek yang hilang.
 Beberapa penelitian menunjukan keterkaitan dengan neurotransmitter
serotonin dan noradrenergic. Pada pemeriksaan EEG dan polisomnografi
menunjukan terjadinya gangguan tidur yang ditandai dengan memendeknya
masa latensi Rapid Eye Movement (REM), menungkatnya densitas REM seta
terganggunya kontinuitas dari tidur.
 Pasien dengan gangguan kerpibadian antisocial, ambang ketergantungan,
histrionic, depresif dan sizotipal memiliki kecenderungan untuk mengalami
gangguan distimik.
 Niculescu dan alkisal membagi distimik menjadi dua: ansietas dan anhedonia
 Tidak ada yang patognomonik namun dapat ditemukan: adanya peningkatan
atau penurunan berat badan yang bermakna dan temperature tubuh yang
menurun, reflek yang lambat dan gejala lain untuk hipertiroid.
 Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan; pemeriksaan darah lengkap,
tes fungsi tiroid dan tes MMPI/Rorchach,
 Prognosis 10-15 % mengalami remisi setelah didiadnisis dan diobati.20%
pasien akan alami depresi berat dan 25% pasien tak pernah sembuh
sempurna.
 Terapi dengan terapi perilaku, kognitif, farmakoterapi terutama golongan
SSRI.
DST (DEXAMETHASONE SUPRESSION TEST)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 92


 Konfirmasi diagnosis depresi (berat)
 Ramalan kekambuhan
 Deksametason  long acting synthetic glucocorticoid
1 mg  25 mg cortisol
 1 mg deksametason jam 11 pm  plasma kortisol diukur jam 8 am, 4 & 11
pm
 kadar > 5 g / dl = non supresi  hasil (+)
 supresi kortisol berarti fungsi aksis hipotalamus-adrenal-hipofisis baik
 disfungsi aksis berkaitan dengan depresi

Step 4. Strukturisasi Konsep


GANGGUAN MOOD (DSM-IV)
Etiologi:
- Faktor Biologi
- Faktor Genetika
- Faktor Psikososial

Gangguan Mood Utama Gangguan Mood


Tambahan

Gangguan Bipolar II
Gangguan Siklotimik
Gangguan Distimik
Gangguan Gangguan Depresif ringan
Gangguan Bipolar I Depresif berat Gangguan Mood karena kondisi
medis umum
Gangguan Depresif singkat rekuren
Gangguan Mood akibat zat
Step 5. Learning Objektif
Mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan gejala dan tanda serta diagnosis keadaan depresi
2. Menjelaskan etiologi depresi
3. Menjelaskan psikopatologi depresi mayor

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 93


4. Menjelaskan tanda dan gejala depresi mayor
5. Menjelaskan penatalaksanaan depresi
6. Menjelaskan persiapan rujukan pasien dengan depresi

II. KULIAH
1. Neurobiologi Mood Disorder (dr. H.Jaya m Sp KJ, M.Kes)
Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa mampu mejelaskan tentang neurologi mood disorder
2. Gangguan Bipolar (Dr. Dalidjo, Sp.KJ)
Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa mampu mejelaskan tentang jenis, gejala, penyebab dan
penatalaksanaan gangguan bipolar.
3. Psikofarmakologi Antidepresan (dr. Deny, JR. Sp KJ)
Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang jenis-jenis obat antidepresan
dan psikofarmakologi masing-masing obat.
4. Insomnia (dr. Deny, JR. Sp KJ)
Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab, gejala dan tanda,
pemeriksaan serta penatalaksanaan Retardasi Mental

III. KETERAMPILAN MEDIK


Lihat buku ketrampilan medik
REFERENSI:
1. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI, Pedoman
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)- III, di Indonesia, 1994
2. Sadock B, Sadock V, Comprehensive text-book of Psychiatry, ed ke-8,
2000
3. Kaplan HI. Sadock BJ, Mood disorders in Kaplan HI, Sadock BJ. Synopsis
and Psychiatry, Behavior Sciences/Clinical Psychiatry, 8 th edition,
Lippincott William& wilkins, Baltimor, 1998 p 1289-1304
4. Stephen M. Stahl, Essential Psychopharmacology, Neuroscientific basic
and Practical Applications, 2nd ed, Cambrige University Press, 2000
5. Wiener J, Duclan M, Child ad Adolescent Pschyciatry, ed ke-3, 2004
6. American Pschyciatry Association. Diagnosis and Statistical Manual of
Mental Disorders, 4th ed, Wasington DC,: American Pschyciatry
Association, 1994;233-155
7. Owen MJ. Nemeroff CB, Physioloy and pharmacology of CRF; Farmacol
Rev;1991;43;425-473.
8. Josep R. Hippocampus. Dalam Neuropsychiatry; Neuropsychology and
clinical neuroscience. Emotion, Evolution, Cognition, Language, memory,

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 94


Brain Damage, and Abnormal Behavior, second ed. William&Wilkins,
1996;193-216
9. Remick R, Diagnosis and Management of Depression in primary care; a
clinical up date and review. Departement of psychiatry, St Paul’s Hospital,
Vancover.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 95


MODUL IV
GANGGUAN ANXIETAS

I. TUTORIAL
Skenario:
“TERNYATA, SULIT UNTUK SANTAI!”

Seorang Ibu umur 32 tahun, datang ke poli umum RSUD AWS


dengan keluhan sakit kepala, gelisah, kepala terasa ringan, berkeringat.
Keluhan ini sudah berlangsung berbulan-bulan sejak penderita
melahirkan anak yang ke tiga dengan operasi. Penderita juga merasa
khawatir penyakitnya tidak akan sembuh.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan denyut nadi 84/menit, tensi
140/85mm Hg, lab dan lainnya dalam batas normal. Pasien kemudian
dirujuk ke bagian psikiatri. Hasil pemeriksaan psikiatri didapatkan bahwa
ibu yang merupakan anak tunggal ini memiliki ciri kepribadian dependen,
serta adanya cemas non episodik.

Step 1 : identifikasi istilah sulit

- Cemas : suatu gejala dimana keadaan tidak menyenangkan,


khawatir atau adanya antisipasi buruk.
- Non episodik : terus menerus, menetap.
- Dependen : ciri kepribadian dimana sangat memerlukan dukungan
orang lain, sulit untuk mengambil inisiatif dan merasa
tidak berdaya bila dibiarkan sendiri.

Step 2 : identifikasi masalah

- Mengapa ibu datang ke poliklinik umum ?


- Mengapa dan Bagaimana semua gejala ini bisa timbul ?
- Jenis gangguan jiwa apa yang timbul pada penderita ini dan bagaimana
penangannya ?
Step 3 : Analisa Masalah

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 96


Anxietas

Batasan Cemas dan Sindrom Cemas ( Anxietas )


- Cemas adalah suatu gejala dimana perasaan tidak menyenangkan, kuatir atau
adanya antisipasi buruk.
- Perasaan bersifat khas dan subyektif tentang sesuatu yang akan terjadi yang
dipersepsi sebagai
ancaman, disertai reaksi badaniah dan perilaku.
- Dalam bahasa Indonesia dikenal juga istilah : was-was, gelisah, khawatir,
bingung, tidak
tenang.
- Berbeda dengan “Takut” dimana keadaan bahaya adalah nyata ( kongkrit )
datang dari dunia luar, dan obyektif.
Kecemasan adalah bagian yang tak mungkin dihindarkan selama
hidup. Umumnya untuk memacu mengatasi / menghadapi masalah hidup
sebaik-baiknya. Jadi cemas sampai taraf dan kwalitas tertentu
mempunyai fungsi “ adaptif” dan “ konstruktif”, demi kelangsungan hidup
individu dalam lingkungan yang berubah-berubah. Bila cemas menjadi
begitu besar atau sering sehingga mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk berfungsi normal, maka cemas itu disebut gangguan anxietas.

Sindroma Cemas ( anxietas ), adalah suatu kesatuan klinis yang


terdiri dari komponen psikik : perasaan cemas, dan komponen fisik :
ketegangan motorik dan hiperaktivitas susunan saraf otonom, baik yang
simpatis maupun parasimpatis.
MENGENAL dan MEMERIKSA PENDERITA ANXIETAS
Penderita anxietas pada umunya datang ke pelayanan kesehatan
umum dengan keluhan-keluhan badaniah ( somatik ).

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 97


Keluhan-keluhan badaniah dapat menyangkut berbagai sistem tubuh secara
bersamaan pada waktu yang sama atau berganti-ganti setiap waktu dengan
dominasi tertentu.
- Sistem muskuloskeletal : tidak bisa istirahat dengan tenang, gelisah, otot
keram, pegel di otot-
otot’ gemetar, kedutan otot, lesu letih, kepal terasa kencang.
- Sistem kardiovaskuler : berdebar-denar, nyeri di dada, detak jantung teras
berhenti sejenak,
denyut nadi mengeras, muka rasa panas –dingin.
- Sistem Respiratorik : perasaan tercekik, sering menarik napas, rasa sempit di
dada, napas
pendek, gampang sesak.
- Sistem Gastrointestinal : sulit menelan, perut melilit, pencernaan terganggu,
nyeri perut
sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut, penuh kembung,
enek –mual, mencret.
- Sistem Urugenital : sering buang air kecil, sulit menahan air seni, gangguan
menstruansi,
gangguan fungsi seksual.
- Sistem saraf pusat : penglihatan kabur, kuping berdengung, perasaan
kesemuten, seperti
ditusuk-tusuk, baal, menjadi lebih sensitif, gangguan tidur, sulit konsentrasi,
daya ingat
memburuk.
- Sistem Otonomik : mulut kering, mudah berkeringat, gampang merinding,
telapak tangan &
kaki dingin dan basah
Gejala dari Anxietas
Gejala yang berhubungan dengan Anxietas-PD ( Panic adisorder )
- Seperti tercekik atau ada sesuatu di kerongkongan
- Detak jantung abnormal ( dipercepat )

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 98


- Banyak berkeringat
- Telapak tungkai kaki basah
- Nausea dan gangguan pada lambung
- Gemetar dan tremor
- Sulit bernapas, hiperventilasi
- Nyeri di dada, tertekan, tak nyaman
- Rasa mau pingsan, kepala enteng, pusing
- Merasa tidak stabil atau tidak seimbang atau oleng.
- Kesemuten di bagian tubuh.
- Merasa panas atau menggigil.
- Kuatir pada kesehatan .
- Merasa bahwa keadaan lingkungan aneh, tidak realistik.
- Merasa keadaan luar atau tak ada hubungan dengan seluruh bagian tubuh,
merasa mengambang
- Takut mati, atau takut sesuatu yang luar biasa akan terjadi
- Takut kehilangan kontrol atau menjadi gila
- Tingkah laku menghindar disebabkan agorafobia.
- Tiba tiba merasa takut dan tanpa sebab yang jelas.
- Gejala terjadi pada waktu yang berbeda-beda, dan biasa mengakibatkan
tingkah laku
menghindar ( phobic avoidance ).

Gejala berhubungan dengan gangguan anxietas lain ( ++ )


- Gangguan menelan atau seperti ada benda di tenggorokan
- Detak jantung meingkat
- Telapak tangan berkeringat
- Dengkul terasa lemah
- Perut kembung, nausea atau diare
- Gemetar, perasaan berguncang
- Napas pendek
- Tegang, merasa terekan
- Tidak bisa santai
- Otot tegang,nyeri, seperti luka.
- Mulut kering
- Sering kencing
- Respons ketakutan yang luar biasa
- Sukar konsentrasi atau otak menjadi kosong.
- Sulit masuk atau mempertahankan tidur.
- Mudah tersinggung dan tak sabaran.
( ++ ) Gejala anxietas diatas biasanya kontinu, jarang episodik.
Pemeriksaan Klinis
Pada observasi perilaku, pasien tampak duduk dengan gelisah,
menggerak-gerakan tangan dan kakinya. Ekspresi wajah tampak tegang,

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 99


dahi berkerut dan berkeringat, muka agak kemerah-merahan,sorot mata
penuh kewaspadaan. Dalam berbicara sering disertai dengan menarik
napas panjang.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan antara lain :
- Detak jantung cepat dan keras, namun tetap teratur dan tidak terdapat
ekstrasistole, tidak
terdengar bising. Denyut nadi juga cepat dan teratur, sesuai dengan irama
detak jantung.
- Tekanan darah dapat meningkat, tetapi sistolik jarang melebihi 150 mm Hg dan
bersifat
sementara.
- Irama pernapasan lebih cepat tetapi dangkal, dapat menjurus hiperventilasi.
- Distribusi keringat pada telapak tangan, ketiak dan dahi. Telapak tangan basah
dan dingin.
Berbeda dengan “ thyrotoxicosis “, distribusi keringat di seluruh badan, telapak
tangan basah
dan hangat.
- Anggota gerak agak dingin dan pucat, namun leher dan dada bagian atas agak
hangat.
- Mulut dan lidah agak kering.
- Tonus otot meninggi, otot mudah berkedut.
- Bising usus meninggi dan ketok lambung menunjukkan banyak udara.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diarahkan mencari penyebab timbulnya
anxietas. Pertama-tama harus mencari penyebab organik,atau penyakit
fisik yang utama. Setelah faktor organik/ fisik disingkirkan baru mencari
penyebab psikologik dan stuasional.
Misalnya , pemeriksaan T3 dan T4 untuk diagnosis Thyrotoxicosis , serum dan
urine catecholamines untuk diagnosis Pheochromocytoma,dan lain pemeriksaan
sesuai dengan indikasi.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 100


Diagnosis Diferensial
Dari pengalaman praktek yang paling sering diketemukan adalah
keluhan- keluhan yang menyangkut sistem kardiovaskuler dan
respiratorik. Hal ini yang mendorong pasien untuk datang minta bantuan
dokter. Berikut ini akan diberikan beberapa pegangan klinis untuk
membedakan anxietas dan gangguan lain .
Sesak napas ( dyspnea )
Keluhan penderita anxietas adalah napas pendek dan berat, napas
tidak lega, dan tidak ada hubungannya aktivitas fisik. Sedang pada
penyakit jantung, sesak napas berhubungan dengan aktivitas ( dyspnea d,
effort ), dan sangat melelahkan.
Chest pain ( nyeri dada )
Pada anxietas , nyeri dada dirasakan langsung di atas denyutan
jantung yang berdebar-debar dan rasa ditusuk-tusuk, berlangsung dalam
waktu relatif lama. Sedangkan pada “angina pectoris “ nyeri dada
menyebar ke bahu kiri sampai lengan dan rasa seperti tertekan benda
berat, berlangsung dalam waktu singkat.
Fatigue ( letih – lesu )
Penderita anxietas biasanya mengeluh letih- lesu pada pagi hari
setelah bangun tidur dan merasa tidur malamnya tidak memulihkan.
Sedangkan untuk sakit fisik, kebanyakan letih- lesu dirasakan pada sore
hari atau malam hari sesuai dengan energi yang sudah berkurang
cadangannya.
Sweating ( berkeringat )
Berkeringat sifatnya emosional umumnya pada daerah telapak
tangan dan kaki, dan axilla. Sedangkan yang sifatnya fisik tersebar pada
seluruh permukaan tubuh.
Headache ( sakit kepala )

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 101


Pada keadaan “ vasculer headache “ , beratnya keluhan sakit
kepala berkaitan langsung dengan keras-lemahnya denyutan nadi. Sedang
pada anxietas sifatnya sesuai dengan “musculer tension headache “
dimana tonus otot umumnya meninggi.

Dizziness ( pusing )
Pada anxietas kebanyakan mengeluhkan pusing yang hilang
timbul, kalau kita telusuri secara teliti ternyata adalah ” rasa kepala
ringan” bukan “vertigo” seperti pada penyakit organik yang melibatkan
fungsi cerbellum dan labyrint.
Anxietas dan Depresi
Membedakan anxietas dan depresi tidaklah mudah . Pada
berbagai penelitian ternyata bahwa gejala anxietas banyak terdapat pada
penderita depresi, begitu juga banyak gejala depresi pada penderita
anxietas. Selian itu beberapa gejala seperti gangguan tidur, gangguan
makan, kesulitan konsentrasi, mudah tersinggung, dan cepat lelah,
merupakan gejala yang terdapat pada anxietas maupun pada depresi.
Perbedaan anxietas dan depresi dikemukaan di bawah ini .
Mood.
Penderita depresi pada umumnya sedih, putus harapan, tak
gembira.Walaupun mereka sering menyebut dirinya menderita anxietas,
marah, cemas, tegang, akan tetapi keadaan yang menyedihkan biasanya
akan terlihat pada pertanyaan yang terarah. Penderita anxietas dipihak
lain, pada umumnya lebih, takut, terutama takut untuk menderita
serangan panik lagi atau ketakutan terhadap stimulus yang menyebabkan
fobia.
Umur
Gangguan panik biasanya dimulai pada umur 20-an, rata-rata 26
plus min 6 tahun. Sangat jarang terjadi mulai pada umur lebih 45 tahun,
walaupun hal itu mungkin saja.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 102


Pada penderita depresi mulai terjadinya biasanya diatas 30-an, akan tetapi
depresi bervariasi antara 12 sampai 75 tahun. Jadi bila pada orang tua terlihat
anxietas yang sangat buruk maka kemungkinan diagnosis primer depresi lebih
mungkin dari pada anxiatas.
Pola tidur
Penderita anxietas biasanya mengeluh sulit untuk jatuh tertidur,
sedangkan penderita depresi biasanya mengeluh terbangun dini hari.
Kebanyakan tidur ( hipersomnia ) dapat terjadi pad penderita depresi.

Gejala psikomotor.
Penderita depresi sering terlihat retardasi psikomotor, dengan
pembicaraan yang lambat, akan tetapi penderita depresi dapat pula
terlihat agitasi. Penderita anxietas dapat terlihat cemas atau tenang,
tetapi jarang menunjukkan tanda-tanda perlambatan.
Gejala lain, penderita depresi sering melaporkan sulit mengambil keputusan,
hilangnya minat pada aktivitas sehari-hari. Walaupun gejala somatik dapat
terjadi pada penderita depresi dan anxietas, akan tetapi nyeri kronik lebih sering
pada penderita depresi.
Prevalensi Gangguan Cemas
Menurut ECA (Epidemiologik Catchment Area ) Survei dari
Amerika, prevalensi enam bulan dihasilkan :
Anxietas ternyata 2 kali lebih banyak pada wanita dari pada pria.
Prevalensi menurun tajam pada umur diatas 45 tahun.
Yang terbanyak adalah simpel fobia, tapi jarang memerlukan intervensi.
Prevalensi dari gangguan anxietas ( tak termasuk simpel fobia ) pada wanita dan
pria sama banyaknya dengan gangguan afektif.
Gangguan obsesif-kompulsif ternyata sama antara pria dan wanita.
Prevalensi lifetime.
Dari hasil ECA survei dapat disimpulkan :

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 103


Gangguan anxietas dua kali lebih banyak pada wanita dari pada
pria.
Penyalah gunaan alkohol/ ketergantungan alkohol 5 kali lebih banyak pada pria
dari pada wanita.
Tidak ada perbedaan yang bermagna prevalensi penderita
anxietas berdasarkan ras, penghasilan, pendidikan, maupun tempat
tinggal
Etiologi Gangguan Anxietas
Pada masa lalu gangguan anxietas dipercaya sebagai suatu
keadaan yang berhubungan dengan stres, makin besar stres, makin besar
anxietas yang terjadi. Dengan demikian fokus dari terapi tentunya
menhilangkan stres dan konflik yang ada.
Dalam dasawarsa terakhir, fokus etiologi telah berubah, Tidak
semua anxietas mempunyai hubungan dengan stres. Bukti makin kuat
bahwa anxietas merupakan gangguan biologik. Gangguan ini khusunya
pada vulnerabilitas genetik.Kelainan khusunya pada GABA-
benzodiazepine receptor kompleks.
Riset juga tertuju pada bagian otak yang dinamakan Locus Ceruleus, suatu bagian
di otak dimana stimulasi di daerah itu akan mengakibatkan perasaan cemas.
Anxietas dengan demikian merupakan penyakit yang mempunyai komponen
biologik yang besar, tentunya pengobatan psikologis semata-mata kurang
khasiatnya, sedangkan pengobatan farmakologik sangat bermanfaat.
Tentu saja stres dan konflik psikologis dapat memperhebat semua
penyakit termasuk anxietas, akan tetapi tidak perlu adanya stres untuk
terjadinya anxietas yang dasarnya biologis itu.
Akan tetapi adanya stres dapat mengakibatkan keadaan yang ada
menjadi lebih buruk, dan lebih parah lagi pada gangguan anxietas itu
mudah menjadi stres, atau ambang stresnya menurun.Oleh sebab itu
pada setiap pengobatan explorasi adanya stres dan mengatasi stres
merupakan bagian yang penting dalam pengobatan anxietas.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 104


Interaksi dari tiga kekuatan
Dalam bidang psikiatri interaksi dari 3 kekuatan utama, yaitu
biologik, psikologis dan sosiokulturil,memberikan 3 model, yang
menunjukkan bentuk dan tingkatan gangguan anxietas.
Berdasarkan model biologis, gangguan anxietas adalah penyakit gangguan
fisiologis yang ditentukan oleh adanya kelainan pada genitik.Sedangkan pada
model psikologis lebih menekankan adanya stres dan konplik psikososial.
Model sosiokulturil, lebih menekankan pada aspek kondisioning
seperti pada teori belajar.
Tiap model tersebut memberikan dimensi tersendiri, akan tetapi
tentu saja tidak satupun model yang dapat mencakup keseluruhan. Pada
beberapa gangguan anxietas ( seperti simpel fobia, gangguan
penyesuaian dengan mood cemas ) mak faktor psikososial dan
sosiokulturil mungkin merupakan hal yang dominan. Akan tetapi pada
anxietas panik, maka faktor biologik merupakan hal yang dominan, tentu
saja model holistik adalah yang terbaik, karena dapat mengakomodasi
semua dimensi. Seberapa besar kontribusi setiap faktor akan berbeda
antara satu pasien dengan pasien lain. Pada umumnya semakin besar
faktor biologik atau genetik, makin kecil stres dibutuhkan untuk
terjadinya gejala panik.

PATOFISIOLOGI ANXIETAS

PERISTIWA HIDUP INDIVIDU Pola Hidup


“Life Event” “Life Style “

SUSUNAN SARAF PUSAT


(Cortex Cerebri-Hypothalamus-Limbic System- RAS )

HYPOPHYSE

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 105


ADRENAL

SUSUNAN SARAF OTONOM


*SYMPHATIS
*PARA SIMPATIS

SINDROMA CEMAS
Pada dasarnya hidup manusia selalu harus berhubungan dengan
lingkungan hidup, baik lingkungan alam maupun sosial budaya. Suatu
kejadian dalam lingkungan ( life events) dipersepsi oleh pancaindra, diberi
arti dan dikoordinasi respons terhadap kejadian tersebut oleh Susunan
Saraf Pusat, sesuai dengan pola hidup ( life style ) yang sudah tercetak
dalam individu. Bila yang dipersepsi adalah “ancaman”, maka responya
adalah suatu “kecemasan “.
Di dalam Susunan Saraf Pusat, proses tersebut melibatkan jalur
Cortex –Cerebri – Lymbic System – RAS ( Reticuler Activating System )-
Hypothalamus, yang memberikan impuls kepada kelenjar Hipopise untuk
men-sekresi mediator hormonal terhadap target organ kelenjar Adrenal,
yang kemudian memacu Susunan Saraf Otonom ( simpatis-
parasimpatis ), menyebabkan timbulnya sindrom cemas.
Terapi Gangguan Anxietas
Terapi Non- Farmakologi
Berbagai terapi non- farmakologi dapat dilakukan oleh dokter
untuk mengobati penderita anxietas. Cara terapi tersebut diantaranya :
edukasi, psikoterapi, sosial, peri laku, kognitif.
Pendekatan edukasi.
Pendekatan edukasi sangat penting untuk pasien dengan
gangguan anxietas. Pasien akan merasa senang bahwa dokternya
mengerti akan penyakitnya, dapat menerangkan gejala penyakitnya dan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 106


memberikan berbagai cara terapi untuknya. Dokter harus mempelajari
sikap hidup pasiennya, dan memberikan saran untuk hidup menjauhi
stres. Diberikan juga saran pada apa yang boleh dan dihindarkan untuk
dimakan dan diminum, cukup berolah raga, dan cukup beristirahat
dengan baik. Alkohol,kopi dan minuman ringan lainnya yang mengandung
kopi dan derivatnya biasanya memperburuk penderita anxietas, malahan
mempresitasi serangan panik.
Begitu juga merokok dapat pula membuat gangguan anxietas menjadi hebat oleh
pengaruh dari nikotin.
Psikoterapi.
Banyak menganggap psikoterapi adalah diluar lingkup praktek
kedokteran umumnya. Akan tetapi konseling masih dianggap merupakan
aktivitas medik yang perlu dikerjakan.
Dokter dengan sabar mendengarkan keluhan pasien, selalu memberikan
semangat, dan selalu ada setiap dibutuhkan adalah merupakan aspek psikoterapi
dari dokternya. Empati dari dokternya, kemampuan untuk merasakan yang
dirasakan pasien, merupakan suatu yang positip bagi pasiennya, begitu juga
membantu mengidentifikasi atau mengeluarkan perasaan merupakan terapi
suportif. Dari segi psikoterapi, adalah sangat menguntungkan dengan hanya
membiarkan pasien untuk berbicara dan kemudian secara aktif mendengarkan.
Terapi tingkah laku.
Berdasarkan teori belajar,terapi tingkah laku bertujuan untuk
mengubah secara spesifik tingkah laku, dalam bentuk terstruktur,orintasi
tugas, dan pada umumnya pendekatan jangka pendek.
Terapi tingkah laku pada umumnya berhasil pada kasus fobia dan obsesif-
konpulsif.
Desensitasi sistemik adalah terapi tingkah laku yang paling menonjol untuk terapi
gejala anxietas.
Pada teknik ini pasien dan terapist membuat skala dari situasi yang berhubungan
dengan gejala

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 107


anxietasnya, membuat rangking urutan dari yang paling kurang sampai yang
paling menyakitkan.
Terapi kognitif.
Kognitif terapi adalah pendekatan psikologis yang terbaru, hal ini
berdasarkan teori bahwa pasien mengalami distres pada umumnya
disebabkan distorsi yang besar dan pola pikir yang kurang tepat. Terapi
kognitif membantu pasien melihat kembali sudut penglihatan yang salah
dan melihat sesuatu dengan lebih positip.
Teknik ini berkhasiat untuk gejala anxietas penampilan dan pada sosial-fobia.
Intervensi sosial
Pada tahun tahun terakhir ini, dokter dan para pekerja di bidang kesehatan
mental, menyadari betapa pentingnya sistem sosial pasien dalam menimbulkan
dan mempertahankan gejala seperti anxietas. Dokter umum pada umumnya, dan
dokter keluarga pada kususnya telah menyadari keuntungan pengikut sertaan
keluarga dalam terapi.
Dokter dapat menolong keluarga dengan cara memberikan edukasi para
keluarga tentang hal ihwal anxietas, membesarkan hati keluarga dan
mentolerensi perasaan campur aduk keluarga pada pasien. Bila perlu
memberikan pengobatan pada keluarga pasien anxietas.
Dokter dapat menyokong keluarga pada konteks pengobatan yang sedang
berlangsung.
Terapi tambahan lainnya.
Terapi tambahan walaupun berguna, akan tetapi bila hanya teknik
ini saja tidak dapat menyembuhkan.
Terapi teknik tambahan diantaranya : teknik relaxasi, olah raga, istirahat dan
tidur yang cukup.
Teknik relaxasi.
Teknik relaxasi berasal dari penelitian teknik meditasi. Pasien
duduk secara tenang dan situasi santai dengan mata tertutup selama 15
sampai 20 menit dua kali sehari.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 108


Selama konsentrasi, setiap kali menarik napas, pasien mengulangi satu kata yang
simpel atau ungkapan pendek yangmempunyai arti bermakna bagi pasien.
Dalam penelitian menunjukkan bahwa bila dilakukan secara konsisten, praktik ini
menunjukkan keuntungan baik fisiologis maupun psikologis.
Terapi farmakologi
Benzodiazepine
TCA ( Tricyclic Antidepresant )
Keuntungan dengan Benzodiazepine
Efektif
Aman
Sedikit interaksi dengan obat lain
Profil tidur disukai
Kerugian dengan Benzodiazepine
Efek samping tak khas/ sering menyerupai gangguan psikiatri
Meningkatkan depresi pada susunan saraf pusat, bila dimakan bersama alkohol.
Mempunyai potensi untuk menyebabkan ketergantungan psikis atau fisik.
Mempunyai potesi untuk disalahgunakan.
Keuntungan dengan TCA
Potensi penyalahgunaan yang minimal
Tak ada ketergantungan fisik
Kerugian dengan TCA
Sering ada efek samping
Antikholinergik
Sedatif
Waktu kerja lambat
Overdosis berbahaya dan fatal.

SEDIAAN OBAT ANTIANXIETAS dan DOSIS ANJURAN


No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
1 Benzodiazepine
1.1 Diazepam Lovium Tab. 2-5 mg 10-30 mg/hari
. Mentalium Tab.2-5-10 mg
Stesolid Tab.2-5mg
Ampul
10mg/2cc <10kg/bb=5mg
Rectal tube >10kg/bb=20mg

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 109


5mg/2,5cc
Valisanbe 10mg/2,5cc
Valdimex Tab.2-5mg
Tab.2-5mg
Valium Ampul
10mg/2cc
Tab.2-5mg
Ampul
10mg/2cc
1.2 Chlordiazepoxide Cetabrium Drg. 5-10mg 15-30mg/hari
2-3x sehari
Tesinyl Cap.5mg
1.3 Lorazepam Ativan Tab.0,5-1-2mg 2-3x 1mg
Renaquil Tab.1mg
Merlopam Tab.0,5-2mg
1.4 Clobazam Frisium Tab. 10mg 2-3x 10mg
Clobazam- DM Tab. 10mg
1.5 Bromazepam Lexotan Tab.1,5-3-6mg 3x 1,5mg.
1.6 Alprazolam Xanax Tab.0,25-0,5- 3x0,25mg
Alganax 1mg
Atarax Tab.0,25-0,5-
Calmlet 1mg
Feprax Tab.0,5-1mg
Frixitas Tab.0,25-0,5-
Alviz 1mg
Zypaz Tab.0,25-0,5-
1mg
Tab.0,25-o,5-
1mg
Tab.0,25-0,5-
1mg
Tab0,25-0,5-
1mg
2. Non-
Benzodiazepine
2.1 Sulpiride Dogmatil Cap.50mg 100-mg/hari
2.2 Buspirone Buspar Tab.10mg 15-30mg/hari
Tran-Q Tab.10mg
Xiety Tab.10mg
2.3 Hydroxyzine Iterax Caplet 25mg 3x25mg

GANGGUAN ANXIETAS
Agorafobia ( F 40.0 )

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 110


Istilah “agorafobia” di sini digunakan dengan pengertian yang
lebih luas daripada pengertia dahulu. Sekarang pengertiaannya
mencakup tidak hanya takut disuatu tempat ( ruang terbuka ) akan tetapi
juga aspek terkait lainnya seperti situasi ( banyak orang ) dan keluar
( menyingkir ke tempat aman, biasanya rumahnya ) dari tempat dan
situasi itu tak mungkin atau akan memalukan.
Dengan demikian istilah tersebut mencakup keterkaitan dan
tumpang tindih antara berbagai kelompok fobia misalnya takut
meninggalkan rumah,takut pergi belnja, takut tempat rami, takut ke
tempat-tempat umum. Meskipun keparahan dari anxietas dan perilaku
menghindar bervariasi, hal-hal tersebut merupakan kendala utama bagi
penderita fobik, sebagian dari mereka menjadi terpaku di rumah,
sebagian menjadi ketakutan dengan bayangan akan pingsan dan
ditinggalkan tak berdaya di tempat orang banyak.
Tidak tersedianya kemungkinan untuk segera bisa keluar dari
suatu lingkungan tertentu merupakan salah satu masalah penting bagi
kebanyakan penderita agorafobia.
Kebanyakan penderita adalah wanita dan onset biasanya pada usia dewasa
muda.
Tanpa pengobatan yang efektif, agorafobia sering kali menjadi
kronis, meskipun biasanya berfluktuasi.
Pedoman diagnostik.
Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk suatu diagnosis pasti.
- Gejala psikologis ataupun otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi
primer dari
anxietas dan bukan merupakan sekunder dari adanya gejala lain seperti waham
atau pikiran
obsesif.
- Anxietas yang timbul harus terbatas pada ( terutama terjadi dalam )
sekurangnya dua dari situasi

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 111


berikut ; banyak orang, tempat-tempat umum, bepergian keluar rumah, dan
bepergian sendiri.
- Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gambaran yang
menonjol.
Ada atau tidak adanya gangguan panik ( F41.0 ) pada agorafobia
pada banyak keadaan dapat dinyatakan dengan penggunaan karakter
kelima: F40.00 tanpa gangguan panik, F40.01 dengan gangguan panik.
Termasuk gangguan panik dengan agorafobia.
Pengobatan
Pendekatan non-farmakologik.
Terapi perilaku, pasien harus menghadapi secara langsung situasi
yang menyebabkan fobia.
Lamanya exposure mungkin merupakan faktor yang terpenting dalam suksesnya
pengobatan.
Exposure yang berlangsung selama 2-3 jam lebih baik dari pada yang hanya
berlangsung dalam satu jam. Juga harus seringnya mengulangi exposure untuk
meningkatkan suksesnya pengobatan.
Pendekatan farmakologik
Benzodiazepine
Fobia Sosial ( F40.1 )
Fobia sosial sering kali mulai pada usia remaja dan terpusat pada
rasa takut diperhatikan oleh orang lain dalam kelompok yang relatif kecil (
berlawanan dengan orang banyak ), yang menjurus kepada penghindaran
terhadap situasi sosial.Gambaranya dapat sangat jelas misalnya, hanya
terbatas makan didepan umum, atau berbicara di tempat umum, menulis
bila ada yang memperhatikan, karena perilaku tersebut mungkin
memalukan atau merasa terhina.
Fobia sosial biasany disertai dengan harga diri yang rendah dan takut akan kritik.
Pedoman Diagnostik.
Kriteria di bawah ini harus semuanya dipenuhi untuk suatu diagnosis pasti.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 112


- Gejala-gejala psikologis, perilaku atau otonomik harus merupakan manifestasi
primer dari
anxietas dan bukan sekunder dari gejala lain seperti waham atau pikiran
obsesif.
- Anxietas harus hanya terbatas atau menonjol pada situasi sosial tertentu saja.
- Penghindaran dari situasi fobik harus merupakan gambaran yang menonjol.
Pengobatan
Pendekatan non-farmakologik
Terapi perilaku, seperti exposure dan pelatihan ketrampilan ( berbicara, pidato,
dll )
Pendekatan Farmakologik
Beta Blocker
Benzodiazepine
Fobia Khas ( F40.2 )
Fobia khas adalah fobia yang terbatas pada situasi yang sangat
spesifik seperti bila berdekatan dengan binatang tertentu, tempat tinggi,
petir, kegelapan, naik pesawat, ruang tertutup, buang hajat di tempat
umum, makan makanan tertentu, dokter gigi, takut melihat darah atau
luka, dan takut berhubungan dengan penyakit tertentu.
Fobia khas biasanya mulai timbul pada usia kanak-kanak atau
dewasa muda dan dapat menetap sampai puluhan tahun bila tidak
diobati. Keseriusan dampak hendaya yang terjadi sebagai akibat
gangguan yang timbul, tergantung dari kemudahan penderita untuk
menghindari situai situasi fobik itu. Berbeda dengan agorafobia,
ketakutan terhadap situasi fobik di sini cenderung tidak berfluktuasi.
Pedoman Diagnostik
Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk suatu diagnosis pasti
- Gejala psikologis atau otonomik harus merupakan manifestasi primer dari
anxietas, dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti waham atau pikiran obsesif.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 113


- Anxietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu.
- Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
Pengobatan
Pendekatan non - farmakologik
In vivo exposure secara perlahan pada situasi yang menakutkan, berdasarkan
hirarki ketakutan pasien.
Pengobatan farmakologi biasanya tidak diperlukan kecuali ketakutan pada
perjalanan udara.
Gangguan Panik ( F41.0 )
Gambaran yang esensial adalah adanya serangan anxietas berat
( panik ) yang berulang, yang tidak terbatas pada adanya situasi tertentu
ataupun suatu rangkaian kejadian ( tanpa provokasi ), dan karena itu
tidak terduga. Seperti pada gangguan anxietas lainnya, gejala yang
dominan bervariasi pada masing-masing orang, tetapi onset mendadak
dalam bentuk palpitasi, nyeri dada, perasaan tercekik, pusing kepala, dan
perasaan tidak riil ( depersonalisasi atau derealisasi ), merupakan gejala
yang lazim. Juga hampir selalu secara sekunder timbul rasa takut mati,
kehilangan kendali atau menjadi gila. Setap serangan biasanya
berlangsung hanya berlangsung beberapa menit, serangan akan
memuncak dalam waktu 10 menit dan kemudian biasanya mereda dalam
waktu 60 menit, meskipun kadang-kadang bisa lebih lama; perjalanan
penyakit dan frekuensi seranganya agak bervariasi. Seorang individu yang
sedang mengalami serangan panik sering kali merasakan ketakutan yang
semakin meningkat dengan disertai gejala otonomik, yang menyebabkan
yang bersangkutan biasanya terburu-buru, meninggalkan tempat dimana
ia sedang berada. Bila hal ini terjadi dalam situasi yang spesifik, misalnya
di dalam bis atau ditengah orang banyak, untuk selanjutnya pasien akan
menghindari situasi-situasi seperti itu. Demikian pula, seringnya
mengalami serangan panik yang tak terduga menimbulkan ketakutan
akan kesendirian atau untuk pergi ke tempat-tempat umum. Serangan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 114


panik sering kali diikuti dengan ketakutan yang menetap akan
kemungkinan mengalami serangan lagi.
Pedoman Diagnostik.
Di dalam klasifikasi ini, suatu serangan panik yang terjadi pada
suatu situasi fobik yang sudah ada dianggap sebagai ekpresi keparahan
dari fobia tersebut. Gangguan panik baru menjadi diagnosis utama
bilamana tidak diketemukan adanya salah satu gangguan fobia seperti
yang tercakup dalam F40.
Untuk diagnosis pasti, beberapa serangan berat dari anxietas
otonomik harus terjadi dalam periode kira-kira satu bulan.
Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak
ada bahaya. Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau
yang dapat diduga sebelumnya. Dengan keadaan yang relatif bebas dari
gejala anxietas dalam periode serangan-serangan panik
( meskipun lazim terjadi juga anxietas antisipatorik ).
Pengobatan
Pendekatan non-farmakologi
-Edukasi pasien.
Yang terpenting dalam edukasi pasien adalah menerangkan dalam bahasa sehari-
hari tentang gangguan ini dan menyakinkan pasien bahwa pengobatan yang
efektif terhadap gangguan ini ada.
-Terapi perilaku.
Terapi perilaku adalah mencegah terjadinya fobia setelah menderita serangan
panik.
Pendekatan farmakologi.
Benzodiazepine.
Gangguan Anxietas Menyeluruh ( F41.1 )
Gambaran yang esensial dari gangguan ini adalah adanya anxietas
yang menyeluruh dan menetap,kronik dan kontinu, jarang episodik,

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 115


tetapi tidak terbatas pada atau hanya menonjol pada setiap keadaan
tertentu saja.
Gejala yang dominan sangat bervariasi, tetapi keluhan tegang
yang berkepanjangan, gemetaran, ketegangan otot, berkeringat, kepala
terasa ringan, pusing kepala dan keluhan epigastrik, adalah keluhan-
keluhan yang lazim dijumpai.
Ketakutan bahwa dirinya atau anggota keluarganya akn menderita
sakit atau akan mengalami kecelakaan dalam waktu dekat, merupakan
keluhan yang sering kali diungkapkan, bersamaan dengan berbagai
kekhawatiran tentang finansial, pekerjaan, marital dan firasat lain.
Gangguan ini lebih lazim terjadi pada wanita, dan sering kali berkaitan dengan
adanya stres lingkungan yang kronis. Perjalanan penyakitnya bervariasi, tetapi
cenderung berfluktuasi dan kronis.
Pedoman Diagnostik
Penderita harus menunjukkan gejala primer anxietas yang
berlangsung hampir setiap hari selama beberapa minggu, bahkan
biasanya sampai beberapa bulan. Gejala-gejala ini biasanya mencakup
hal-hal berikut.
- Kecemasan masa depan ( khawatir akan nasib buruk, perasaan gelisah sperti di
ujung tanduk,
sulit berkonsentrasi, dsb. ).
- Ketegangan motorik ( gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai )
- Overaktivitas otonomik ( kepala terasa ringan, berkeringat, takikardi, takipne,
keluhan
epigastrik, pusing kepala, mulut kering dsb. ).
Pengobatan
Pendekatan non-farmakologi
- Konseling dan supportif terapi
- Terapi meditasi, relaxasi
- Terapi tingkahl aku

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 116


- Terapi olah raga.
Pendekatan farmakologi
- Benzodiazepine
- Nonbenzodiazepine- anxiolitik.
Gangguan Obsesif-kompulsif ( F42 )
Ciri utama dari gangguan ini adalah adanya pikiran obsesif atau
tindakan kompulsif yang berulang. ( Untuk ringkasnya, “Obsesional “ akan
dipakai selanjutnya sebagai pengganti
“ obsesif-kompulsif “ kalau merujuk kepada gejala ). Pikiran obsesional adalah
gagasan, bayangan pikiran atau impuls yang timbul dalam pikiran individu secara
berulang-ulang dalam bentuk yang sama. Umumnya hal tersebut dirasakan
mengganggu ( karena umumnya berupa hal-hal yang bersifat kekerasan,
menjijikan, kontaminasi dengan kuman, meragukan sesuatu atau merupakan hal
sepele yang tak berarti ) dan penderita sering kali mencoba menghilangkannya
tanpa hasil. Meskipun terjadinya secara involunter dan sering kali tidak
dikehendaki, pikiran tersebut dikenali sebagai pikiran diri sendiri. Tindakan atau
ritual yang kompulsif merupakan perilaku yang stereotipik, yang diulang berkali-
kali.
Hal tersebut tidak mengenakkan dan tidak menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat. Biasanya, walaupun tidak selalu, individu menyadari bahwa perilaku
tersebut tidak ada tujuannya atau tidak ada manfaatnya dan berulang kali untuk
menentangnya; pada kasus yang sudah berlangsung sangat lama, resistensi
sudah menjadi minimal. Meskipun sering kali terlihat gejala otonomik dari
anxietas, bisa juga terjadi perasaan tertekan dan ketegangan psikis tanpa disertai
gejala otonomik yang jelas. Ada kaitan erat antara gejala obsesinal, terutama
pikiran obsesional dengan depresi.
Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif sering kali juga
menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya pasien dengan gangguan
depresif berulang ( F33. ) dapat mengembangkan pikiran-pikiran
obsesional selama periode depresinya. Dalam situasi manapun dari

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 117


keduanya,peningkatan atau penurunan keparahan gejala depresif
umumnya disertai oleh perubahan sejajar dalam keparahan gejala
obsesionalnya.
Gangguan obsesif-kompulsif umumnya berimbang pada laki-laki
dan perempuan, dan sering dilatar belakangi oleh ciri kepribadian
anankastik yang menonjol. Onset biasanya pada masa kanak atau dewasa
muda. Perjalanan penyakit bervariasi dan lebih cenderung kronis bila
tidak ada gejala depresif yang nyata.
Pedoman diagnosik
Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesional atau
tindakn kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari
selama sedikitnya dua minggu berturut-turut, dan merupakan sumber
distres atau gangguan aktivitas.
Gejala-gejala obsesional harus memiliki ciri-ciri berikut
- Harus disadari/ dikenal sebagai pikiran atau impuls dari diri individu sendiri.
- Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak berhasil dilawan,
meskipun ada
lainnya yang tidak lagi dilawan oleh pasien.
- Pikiran untuk melaksanakan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal
yang memberi
kepuasan atau kesenangan
- Pikiran, bayangan atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang
tidak
menyenangkan.
Pengobatan
Pendekatan non-farmakologi
Terapi tingkah laku, meminta penderita untuk mengexpose dirinya
pada barang yang
ditakutinya, tetap berkontak dengan objek atau situasi sampai anxietasnya
tersubsitusi dan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 118


mencoba untuk mencegah mengerjakan, atau paling kurang mmenghambat
ritualnya.
Pendekatan farmakologi
- TCA
- Benzodiazepine
- Anti depresant golongan SSRI ( Selective Serotonin Reuptake Inhibitor )
Gangguan Stres Pasca – trauma ( F43.1 )
Keadaan ini timbul sebagai respons yang berkepanjangan dan /
atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stres
( baik singkat maupun berkepanjangan ) dari yang bersifat katastrofik dan
menakutkan, yang cenderung menyebabkan distres pada hampir setiap
orang ( misalnya musibah yang alamiah maupun yang dibuat oleh
manusia sendiri, peperangan, kecelakaan berat, menyaksikan kematian
yang mengerikan, menjadi korban penyiksaan, terorisme, perkosaan,
incest dan kejahatan-kejahatan lain ).
Faktor predisposisi seperti ciri kepribadian (misalnya kompulsif,
dependent, boderline, astenik ), atau adanya riwayat gangguan neurotik
sebelumnya, dapat menurunkan ambang kerentanan untuk terjadinya
sindrom ini atau memperberat keadaannya, akan tetapi bukan
merupakan hal yang menentukan untuk terjadinya gangguan ini.
Gejala khas mencakup episode-episode di man bayangan-
bayangan kejadian traumatik tersebut terulang kembali ( “ flashbacks” )
atau dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang yang menetap berupa
kondisi perasaan “beku” dan penumpulan emosi, menjahui orang lain,
tidak responsif terhadap lingkungannya, anhedonia, menghindar aktivitas
dan situasi yang berkaitan dengan traumanya. Lazimnya ada ketakutan
dan penghindaran dari hal-hal yang mengingatkannya kembali pada
trauma yang dialami. Meskipun jarang, kadang-kadang bisa terjadi reaksi
yang dramatik, mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang dicetuskan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 119


oleh stimulus yang mendadak mengingatkan kembali pada trauma yang
dialaminya serta reaksi asli terhadap trauma itu.
Biasanya terjadi keadaan bangkitan otonomik yang berlebih
dengan kenekatan yang berlebih, mudah kaget, tertegun dan insomnia.
Anxietas dan depresi lazimnya disertai dengan gejala-gejala tersebut di
atas, dan ide mengenai bunuh diri juga tidak jarang.
Onset terjadi setelah terjadi trauma, dengan masa laten yang
berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan ( jarang sampai
melampui 6 bulan ). Perjalanan keadaan ini berfluktuasi dan pada
kebanyakan kasus dapat diharapkan kesembuhan. Pada sejumlah kecil
pasien, perjalanan penyakitnya dapat menjadi kronis sampai beberapa
tahun dan terjadi transisi menuju suatu perubahan kepribadian yang
berlangsung lama.
Pedoman Diagnosik.
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecualai ada
bukti bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dri suatu peristiwa traumatik
yang luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan
apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan onset
gangguan melebihi waktu 6 bulan, asalkan manfestasi klinisnya khas dan
tidak didapat suatu alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan ini (
misalnya sebagai suatu gangguan anxietas atau gangguan obsesif-
kompulsif atau episode depresif )
Sebagai tambahan, bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam
ingatan, bayangan, atau mimpi mengenai peristiwa tersebut secara
berulang-ulang. Sering kali terjadi penarikan diri secara emosional,
penumpulan perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang
mungkin mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak
esensial untuk diagnosis.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 120


Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan
perilaku semuanya mempengaruhi diagnosis tersebut tetapi bukan
merupakan hal yang terlalu penting.
Sesuatu skuele kronis terlambat setelah suatu stres yang luar
biasa, misalnya yang timbul beberapa puluh tahun setelah trauma, harus
diklasifikasikan dalam kategori F62.0.

Pengobatan
Pendekatan Non- farmakologi
- Psikoterapi
Tujuan psikoterapi adalah membawa pasien pada keadaan dimana reaksinya
ditentukan oleh keadaan masa kini, dan bukan oleh emosi yang terjadi oleh
trauma sebelumnya.
Anxietas-PTSD ( Post Traumatic Stress Disorder ) yang ringan dan baru akan
bereaksi dengan baik dengan proses psikoterapi suportif dan proses
mendengarkan yang empatik, hal ini sebenarnya bisa dikerjakan oleh dokter
umum.
- Teknik relaxasi
- Rehabilitasi vocasional
- Konseling keluarga, anggota keluarga dapat melakukan hal yang penting dalam
meningkatkan rasa independent pasien dan mempermudah hubungan dan
interaksi sosial.
Pendekatan farmakologi.
- TCA
- Benzodiazepine

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 121


Step 4 : Kerangka Konsep
Cemas

Anxietas karena berada


Agora Fobia
ditempat sulit menghindar

Takut dipermalukan dan Fobia Sosial


dihinakan ditempat umum

Takut kepada objek atau Fobia Khas


situasi tertentu

Serangan panik berulang Gangguan Panik


dan tak terduga
Psikogenik
Ggn Anxietas
Anxietas,> 6 bulan Menyeluruh

Obsesif atau Ggn Obsesif-


kompuksif Kompulsif

Ingatan
Anxietas-PTSD
pengalaman
Organik traumatik
Hypertyroid
Anxietas Organik
Pheochromocytosis

Step 5 : Learning Objective :


1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi sindrom cemas, gejala dan
penyebabnya.
2. Mahasiswa mampu mejelaskan berbagai gangguan anxiatas, mengenai
gejalanya, penyebabnya dan penanganannya.
3. Mahasiswa mampu mejelaskan pengobatan secara farmakologi pada
penderita dengan gangguan anxietas.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan pengobatan secara non-farmakologi pada
penderita dengan gangguan anxietas.
II. KULIAH

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 122


SASARAN PEMBELAJARAN
Mampu mejelaskan jenis, gejala, penyebab dan penatalaksanaan gangguan
somatisasi, gangguan hipokondrik, disfungsi otonomik somatoform, gangguan
nyeri somatoform menetap.
Topik Perkuliaan
1. Gangguan Somatisasi
2. Gangguan Hipokondrik
3. Disfungsi Otonomik Somatoform
4. Gangguan Nyeri Somatoform menetap

III. KETRAMPILAN MEDIK

REFERENSI:
1. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI, Pedoman
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)- III, di Indonesia, 1994
2. Sadock B, Sadock V, Comprehensive text-book of Psychiatry, ed ke-8,
2000
3. Kaplan HI. Sadock BJ, Mood disorders in Kaplan HI, Sadock BJ. Synopsis
and Psychiatry, Behavior Sciences/Clinical Psychiatry, 8 th edition,
Lippincott William& wilkins, Baltimor, 1998 p 1289-1304
4. Stephen M. Stahl, Essential Psychopharmacology, Neuroscientific basic
and Practical Applications, 2nd ed, Cambrige University Press, 2000
5. Wiener J, Duclan M, Child ad Adolescent Pschyciatry, ed ke-3, 2004
6. American Pschyciatry Association. Diagnosis and Statistical Manual of
Mental Disorders, 4th ed, Wasington DC,: American Pschyciatry
Association, 1994;233-155
7. Owen MJ. Nemeroff CB, Physioloy and pharmacology of CRF; Farmacol
Rev;1991;43;425-473.
8. Josep R. Hippocampus. Dalam Neuropsychiatry; Neuropsychology and
clinical neuroscience. Emotion, Evolution, Cognition, Language, memory,
Brain Damage, and Abnormal Behavior, second ed. William&Wilkins,
1996;193-216

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 123


MODUL 5
GANGGUAN PSIKIATRIK PADA ANAK DAN REMAJA

I. TUTORIAL
Skenario :
”OH, ANAKKU SAYANG!”
Seorang ibu membawa anaknya yang berusia 3 tahun ke dokter
puskesmas. Sebelumnya anak tersebut diperiksakan ke bidan di desa
dengan keluhan tidak bisa diajak untuk tidur siang. Oleh bidan yang
memeriksanya menyampaikan bahwa kemungkinan anak tersebut
mengalami kelainan hiperaktif karena anak tersebut tidak bisa diam dan
selalu bergerak.
Dokter yang memeriksanya merujuk ke psikiater di kota karena
kesulitan untuk menegakkan diagnosis. Psikiater di kota menemukan
gejala lain yaitu ternyata anak tersebut belum bisa bicara dengan baik,
hanya sekedar suara-suara yang tidak dapat di mengerti yang keluar dari
mulutnya.
Sebelumnya pasien sudah bisa bicara mama–papa tetapi
kemudian kemampuan berbahasanya hilang lagi. Anak tersebut juga
terlihat aneh karena senang merobek – robek kertas. Lalu psikiater
merujuk ke dokter spesialis THT untuk tes audimetri dengan berpesan
kalau hasil audiometrinya baik, pasien dipersilahkan kembali untuk
evaluasi lebih lanjut.

Step 1 Identifikasi istilah

Tes Audiometri: Pemeriksaan objektif untuk menentukan derajat pendengaran


dengan menggunakan alat audiometer.
Hiperaktif: Aktivitas motorik yang berlebihan

Step 2. Identifikasi masalah

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 124


1. Mengapa si anak mengalami hiperaktif ?
2. Mengapa tidak bisa bicara ?
3. Mengapa di rujuk ke dokter THT ?
4. Mengapa kalau hasil audimetrinya baik harus mendapatkan evaluasi
lanjutan ?
5. Apa yang menyebabkan ia hiperaktif ?
6. Mengapa sebelumnya sudah mulai bisa bicara sekarang kemampuan
tersebut hilang ?

Step 3. Analisa masalah


AUTISME MASA KANAK
BATASAN
Autisme Masa Kanak (selanjutnya disebut Autisme saja) adalah
gangguan perkembangan yang kompleks, dengan keterlambatan dalam
kemampuan interaksi sosial, komunikasi timbal-balik, serta adanya
perilaku berulang tanpa tujuan (stereotipik) disertai minat yang terbatas.
Gejala harus sudah tampak sebelum usia 3 tahun.
ETIOLOGI
Faktor Psikodinamika dan Keluarga
Saat ini anggapan bahwa orang tua yang "dingin" yang
menyebabkan anaknya menjadi autistik sudah tak dianut lagi.
Faktor Niurologik dan Biologik.
Komplikasi perinatal lebih banyak ditemukan dibanding dengan
anak normal. Sebagian kasus mengalami "seizure" (serangan kejang)
suatu ketika dalam hidupnya, dan sebagian menunjukkan pelebaran
ventrikel pada CT scan. Berbagai kelainan EEG ditemukan pada 10 – 83%
anak autistik walaupun tidak ada yang patognomonik. Pada autopsi
didapatkan kekurangan jumlah sel Purkinje, dan pada pemeriksaan PET
ditemukan peningkatan
metabolisms kortikal.
Faktor Genetik.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 125


2 – 4% saudara kandung dari anak yang autistik jugs menunjukkan gejala
Autisme.
Faktor Imunologi
Adanya inkompatibilitas imunologik antara si ibu dan embrio atau fetus mungkin
Mempunyai andil terjadinya autism.
Faktor Perinatal
Riwayat pendarahan setelah trimester sate, mekonium dalam cairan amnion.
penggunaan obat-obat oleh ibu semasa hamil, serta kondisi hipoksia saat
persalinan, lebih banyak didapat pada anak yang autistik dibanding pada
populasi umum.
Faktor Neuroanatomik
Penelitian dengan MRI menemukan peningkatan volume otak pada lobus
oksipitalis, parietal dan temporal pada kelompok anak autistik. Lobus temporalis
dianggap area yang penting dari abnormalitas pada pasien autis.
Faktor Biokimia
Pada sepertiga pasien Autisme kadar serotonin plasma meningkat. Pada
beberapa anak autistik, peningkatan kadar homovanilic acid (metabolit dopamin)
dalam cairan cerebrospinal berhubungan dengan perilaku menarik diri serta
gerakan stereotipik.
Faktor Lingkungan.
Sallie Bernard menemukan kumpulan gejala yang sangat mirip antara kasus Autis
dan keracunan air raksa dan mengklaim bahwa Autisme adalah suatu bentuk
keracunan HG. Merkuri yang berlebihan akan mempengaruhi ketidakseimbangan
immune Cells mengakibatkan tingginya IgE, mempengaruhi respons imun
terhadap makanan (IgE ( IgG), menggangu fungsi enzym DPPIV (Dipeptidil
Peptidase-IV), dan mempengar myelinisasi jaringan saraf Pada banyak anak
autistik terdapat logam berat (Hg, Pb, As, dan Cd) yang berlebihan pada
perneriksaan rambut.
Teori Opioid

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 126


Menurut teori ini Autisme muncul dari adanya opioid yang berlebihan pada sis
saraf pusat yang berlangsung lama dan sejak dini. Opioid tersebut dianggap
bersumber pada hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan/atau
casein ber morphine-like peptides yaitu casomorfin dan gliadorfin. Teori ini juga
berkaitan dengan adanya leaky gut sehingga peptida itu bisa menembus mukosa
usus masuk ke peredaran darah dan menembus sawar darah-otak.
Mikro organisme patogen dalam Saluran Cerna
Pada umumnya anak autistik mengalami gangguan pencernaan kronis, berupa
diare dan/atau konstipasi, nyeri perut atau kembung. Pada biakan faeces,
ditemukan berbagai jenis agen penyebab, termasuk jamur, bakteri, virus, dan
parasit.
Defisiensi Nutrisi
Pada kelompok anak autistik ditemukan defisiensi Zn, Ca, Mg, Omega-3 fatty
acid, serat (fiber), anti oksidans dan berbagai vitamin. Konsekuensi dari defisiensi
tersebut adalah gangguan pencernaan, fungsi imunologi, dan fungsi otak.
Autoimmunitas
Penelitian oleh Singh V.K. et al, menunjukkan adanya anti Myelin Basic Protein
(suatu autoantibodi) padakasus; Autisme. Anne M. Connolly, et al menemukan
adanya autoantibodi terhadap sel pembuluh darah otak.
ANGKA KEJADIAN
Akhir-akhir ini angka kejadian Autisme di seluruh dunia sangat
meningkat. Kaplan & Sadock (1997) menyebutkan angka kejadian 2 – 5
kasus per 10.000 anak (1 : 2000 – 5000) pada populasi di bawah usia 12
tahun. Sedangkan Rutter & Taylor (2002), menyebutkan angka 16,8 per
10.000 untuk Autisme dan 45,8 per 10.000 untuk Gangguan
Perkembangan Pervasif lainnya.
DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN
Tidak diperlukan suatu pemeriksaan laboratorium ataupun
pemeriksaan tambahan lainnya seperti EEG, CT Scan kepala, MRI kepala,
Brain Mapping, d1l. Diagnosis didasarkan atas anamnesis yang teliti dan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 127


observasi perilaku anak. Anamnesis meliputi perkembangan anak sejak
lahir, serta keadaan ibu sebelum dan selama hamil serta saat persalinan,
kemudian ditambah riwayat keluarga untuk berbagai Gangguan
Perkembangan serta Gangguan Jiwa. Pemeriksaan laboratorium atau
pemeriksaan tambahan kadang diperlukan apabila ada indikasi untuk
memastikan faktor-faktor etiologi, diagnosis banding, atau apabila ada
kondisi/ gangguan lain yang menyertainya.

Kriteria Diagnosis menurut PPDGJ-3


A. Abnormalitas atau terganggunya perkembangan sudah terlihat sebelum usia
minimal satu dari area di bawah ini :
1. Kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif dalam komunikasi sosial.
2. Perkembangan kelekatan sosial yang selektif atau interaksi sosial timbal balik
3. Kemampuan menggunakan mainan sesuai fungsinya atau bermain pura-pura.
B. Minimal ada enam gejala total dari 1,2 dan 3, dengan sedikitnya dua gejala
dari 1, dan satu gejala dari masing-masing 2 dan 3.
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial. Minimal dua dari :
a. Kurangnya kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak serta
melakukan interaksi sosial.
b. Gagal dalam mengembangkan kemampuan interaksi meliputi minat,
aktivitas dan emosi.
c. Kurangnya kemampuan timbal balik secara sosial dan emosional.
d. Kurangnya minat untuk berbagi kegembiraan atau kesenangan orang lain
(misal: memamerkan benda, menunjuk benda atau orang.
2. Abnormalitas secara kualitatif dalam komunikasi. Minimal satu dari :
a. Terlambat atau belum bisa berbahasa serta kurang mampu memahami
bahasa isyarat.
b. Kegagalan memulai suatu atau mempertahankan dialog timbal balik
c. Penggunaan bahasa yang stereotipi atau berulang-ulang.
d. Kurang daya khayal serta kemampuan bermain pura-pura dan meniru.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 128


3. Perilaku berulang (stereotipi) serta minat dan aktivitas yang terbatas. satu
dari:
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih minat yang abnormal dalam hal
keterpakuan, atau intensitasnya.
b. Kelekatan yang kompulsifpada rutinitas yang tak bertujuan.
c. Gerakan motorik berulang pada tangan atau jari-jari, memelintir, atau
gerakan tubuh yang kompleks.
d. Preokupasi terhadap bagian dari benda atau mainan (misal: pada baunya,
teksturya, suaranya atau getaran yang ditimbulkannya).

C. Gambaran klinis tidak sesuai untuk kelompok Gangguan Perkembangan


Pervasif, Gangguan Perkembangan Khas berbicara dan Berbahasa, Gangguan
Kelekatan Reaktif atau Gangguan Kelekatan Terhambat, Retardasi Mental,
Skizofrenia Onset masa kanak, dan Sindrom Rett.

Autisme Tak Khas


A. Abnormalitas atau gangguan perkembangan terlihat setelah usia 3 tahun
(memenuhi kriteria autisme kecuali dalam hal usia).
B. Tidak mencukupi total 6 gejala atau kurang dari yang diminta untuk kriteria B.
C. Tidak memenuhi kriteria diagnosis autisme.
Bisa tidak khas untuk onset umurnya, atau gejalanya, atau keduanya.

DIAGNOSIS BANDING
Gangguan Perkembangan Pervasif wring disebut dengan Gangguan Spektrum
Autisme. Ada 5 diagnosis banding, yaitu
1. Sindrom Rett.
2. Gangguan Desintegratif Masa Kanak lainnya.
3. Sindrom Asperger.
4. Gangguan Aktivitas Berlebih yang berhubungan dengan Retardasi Mental dan
gerakan stereotipik.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 129


5. Gangguan Perkembangan Pervasif YTT/Tak Khas.

Diagnosis banding di luar kelompok Gangguan Perkembangan Pervasifmeliputi


1. Gangguan Perkembangan Khas Berbicara dan Berbahasa.
2. Gangguan Hiperkinetik (ICD-10/PPDGJ-3) atau Attention-Deficit Hyperactivity
Disorder / ADHD (DSM-IV).
3. Gangguan Perkembangan Belajar Khas, meliputi
Gangguan Membaca Khas, Gangguan Mengeja Khas, Gangguan Berhitung Khas,
Gangguan Belajar Campuran, dan Gangguan Belajar Lainnya/YTT.
4. Retardasi Mental.
5. Skizofrenia onset masa kanak.
6. TO kongenital atau gangguan pendengaran yang berat.
7. Deprivasi psikososial.
8. Gangguan psikotik lainnya.

PENYULIT
Adanya gangguan perkembangan atau penyakit lain yang menyertainya,
misalnya Retardasi
dan Cerebral Palsy.

PENATALAKSANAAN
1. Terapi perilaku. Biasanya diawali dengan sistim "satu anak satu pelatih",
kemudian& beberapa anak bisa digabung sesuai dengan tingkat kemampuannya.
2. Terapi Biomedis, meliputi :
Psikotropika, misalnya : risperidone 0,02 – 0,05 mg/kg BB/hari, atau haloperidol,
dengan dosis yang sama. Diberikan 2 kali sehari sampai gejala klinis membaik.
Medikamentosa lainnya sesuai kondisi masing-masing anak, atau bila ada
komorbiditas dengan gangguan lain.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 130


Pengaturan diet pada umumnya dianjurkan menghindari makanan yang
mengandung casein (protein pada susu mamalia) dan gluten (protein pada
gandum).
Pemberian enzym pencernaan bila ada obstipasi atau diare kronis. Pemberian
vitamin A,B6, B 12) Asam Folat,C, dan E sesuai kebutuhan harian. Pemberian
mineral : Calcium, Magnesium, Zinc, dan Selenium sesuai kebutuhan harian.
3. Terapi tambahan sesuai kondisi masing-masing kasus
- Terapi Wicara.
- Terapi Okupasi.
- Terapi Sensori Integrasi.
- Terapi Musik Terapi Seni.

STEP 4. Strukturisasi konsep.

Faktor Neurologik dan faktor biologik


(Genetik, imunologi, perinatal, neuroanatomik, boikomia, lingkungan, opioid,
mikroorganisme GIT, nutrisi, autoimun)

Abnormalitas Perkembangan

Gangguan Bahasa Reseptif, ekspresif, Komunikasi sosial


Gangguan Interaksi Sosial, Stereotipi

STEP 5. Sasaran pembelajaran tutorial


Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan gejala dan tanda autism masa kanak
2. Menjelaskan klasifikasi autisme
3. Menjelaskan criteria diagnosis autisme
4. Menjelaskan psikopatologi/ patogenesis autisme
5. Menjelaskan penatalaksanaan autisme

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 131


6. Menjelaskan spektrum autis

II. KULIAH
1. Gangguan Pervasif lainnya, Gangguan Pemusatan
Perhatian dan Hiperaktifitas (dr. Denny,J.R., Sp.KJ)
Sasaran pembelajaran :
Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab, gejala dan tanda,
pemeriksaan serta penatalaksanaan gangguan pervasif, Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas
2. Diagnosis multiaksial pada anak (dr. Denny,J.R., Sp.KJ)
Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip dan cara bagaimana
melakukan Diagnosis multiaksial pada anak
3. Retardasi Mental (dr. Denny,J.R., Sp.KJ)
Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab, gejala dan tanda,
pemeriksaan serta penatalaksanaan Retardasi Mental

III. PRAKTIKUM tidak ada


IV. KETERAMPILAN MEDIK
Lihat buku ketrampilan medik
REFERENSI:
1. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI, Pedoman
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)- III, di Indonesia, 1994
2. Sadock B, Sadock V, Comprehensive text-book of Psychiatry, ed ke-8,
2000
3. Kaplan HI. Sadock BJ, Mood disorders in Kaplan HI, Sadock BJ. Synopsis
and Psychiatry, Behavior Sciences/Clinical Psychiatry, 8 th edition,
Lippincott William& wilkins, Baltimor, 1998 p 1289-1304
4. Stephen M. Stahl, Essential Psychopharmacology, Neuroscientific basic
and Practical Applications, 2nd ed, Cambrige University Press, 2000
5. Wiener J, Duclan M, Child ad Adolescent Pschyciatry, ed ke-3, 2004
6. American Pschyciatry Association. Diagnosis and Statistical Manual of
Mental Disorders, 4th ed, Wasington DC,: American Pschyciatry
Association, 1994;233-155
7. Owen MJ. Nemeroff CB, Physioloy and pharmacology of CRF; Farmacol
Rev;1991;43;425-473.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 132


Brain Damage, and Abnormal Behavior, second ed. William&Wilkins,
1996;193-216

JADWAL KEGIATAN BLOK 17 TAHUN 2012

Modul 1. GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU PENYALAHGUNAAN


ZAT (SUBSTANCE ABUSE)
WAKTU SELASA RABU KAMIS SABTU SENIN
TA 20/03/2012 21/03/2012 22/03/2012 24/03/2012 26/03/2012
NG
GA
L
08.00- Kuliah Prinsip dasar Medikolegal
09.00 Pengantar terapi pada
Modul (dr. ketergantunga Penyalahguna Pleno
Lukas D. L, n NAPZA an NAPZA DKK II
M.Kes. (dr.Jaya M, sesuai dengan
M.Pd.Ked) Sp.KJ, M.Kes) Undang-
undang
09.00- narkotika dan
10.00 psikotropika
(dr.Darby T,
SpF)
10.00-
11.00 Praktikum Keterampilan Keterampila
11.00- PENGENALAN Medik Belajar n Medik
12.00 DKK I NAFZA Mandiri

12.00-
13.00 Belajar ISHOMA
ISHOMA
Mandiri
13.00- ISHOMA ISHOMA ISHOMA
14.00
14.00- Terapi
15.00 Belajar Belajar Mandiri Belajar rumatan
15.00- Mandiri Mandiri metadon
16.00 dan
bupreborfin

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 133


(dr.Jaya M,
Sp.KJ,

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 134


Modul 2. PSIKOSIS

W SELASA RABU KAMIS JUMAT SABTU


AK
TU
TA 27/03/2012 28/03/2012 29/03/2012 30/03/2012 31/03/2012
NG
GA
L
08.00- Kuliah Ketrampilan Psikotik akut
09.00 Pengantar Medik (Dr. Jaya
Modul 2 M,Sp.KJ. M.Kes Pleno
(dr.Evi ) DKK II
Fitriany,
M.Kes)

09.00-
10.00
10.00-
11.00 Praktikum Keterampila
11.00- Ketrampilan PENGENALAN Belajar n medik
12.00 DKK I Medik TEORI Mandiri
MOTIVASI
12.00- BAGI
13.00 PENGGUNA ISHOMA
Belajar
NAPZA Dr. ISHOMA
Mandiri
Jaya M,Sp.KJ
M.Kes)

13.00- ISHOMA ISHOMA ISHOMA


14.00
14.00- Signs and Demensia
15.00 Belajar simptoms Belajar dan Delirium Belajar
15.00- MandIri dalam Mandiri (Dr. Dalidjo, Mandiri
16.00 gangguan Sp.KJ)
psikiatrik
(dr.Jaya M,
Sp.KJ, M.Kes)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 135


Modul 3. GANGGUAN MOOD

WAKTU SELASA RABU KAMIS SABTU SENIN


TA 03/04/2012 04/04/2012 05/04/2012 07/04/2012 09/04/2012
NG
GA
L
08.00- Kuliah Ketrampilan Kuliah
09.00 Pengantar Medik Gangguan
Modul (Dr. Bipolar (Dr. Pleno
Ika Dalidjo, Sp.KJ) DKK II
Fikriah.,M.K
es.

09.00-
10.00
10.00- Kuliah
11.00 INSOMNIA Kuliah
Ketrampilan (Dr. Deny J.R, Belajar
11.00-
DKK I Medik Sp.KJ) Mandiri
12.00

12.00- ISHOMA
13.00 ISHOMA ISHOMA

13.00- ISHOMA ISHOMA


14.00
14.00- Kuliah Psikofarmak
15.00 Belajar Neurobiologi Belajar ologi Belajar
15.00- Mandiri mood disorder Mandiri Antidepresa Mandiri
16.00 (Dr. Jaya n
M,Sp.KJ. (dr Denny,
M.Kes) JR Sp KJ)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 136


Modul 4. GANGGUAN ANXIETAS

WAKTU SELASA RABU KAMIS JUMAT SABTU


TA 10/04/2021 11/04/2012 12/04/2012 13/04/2012 14/04/2012
NG
GA
L
08.00- Kuliah Kuliah
09.00 Pengantar Disfungsi
ModuL 4 Otonomik (Dr. Pleno
(dr. Rahmat Dalidjo, Sp.KJ) DKK II
Bachtiar,
MPPM

09.00-
10.00
10.00- Kuliah
11.00 Gangguan Kuliah
Ketrampilan somatisasi (Dr. Belajar
11.00-
DKK I Medik Dalidjo, Sp.KJ) Mandiri
12.00

12.00-
13.00 ISHOMA
Belajar ISHOMA
Mandiri
13.00- ISHOMA ISHOMA ISHOMA
14.00
14.00- Kuliah Kuliah
15.00 Belajar Gangguan Belajar Gangguan Belajar
15.00- Mandiri Hipokondrik Mandiri Nyeri Mandiri
16.00 Dr. Dalidjo, Somatoform
Sp.KJ) menetap
(Dr. Dalidjo,
Sp.KJ)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 137


Modul 5 . GANGGUAN PSIKIATRIK PADA ANAK DAN REMAJA

WAKTU SELASA RABU KAMIS JUMAT SABTU


TA 16/04/2012 17/04/2012 18/04/2012 19/04/2012 20/04/2012
NG
GA
L
08.00- Kuliah Ketrampilan Kuliah
09.00 Pengantar Medik Pemeriksaan
Modul 5 (dr psikiatri anak Pleno
Hary ( dr. Deny,J.R DKK II
nugroho, Sp.KJ)
M.Kes

09.00-
10.00
10.00-
11.00 Kuliah Kuliah
Ketrampilan Gangguan Belajar
11.00-
DKK I Medik Pervasif Mandiri
12.00
lainnya,
Gangguan
12.00-
Pemusatan
13.00 ISHOMA
Perhatian dan ISHOMA
Belajar
Hiperaktivitas
Mandiri
(Dr. Deny,J.R
Sp.KJ
13.00- ISHOMA ISHOMA ISHOMA
14.00
14.00- Kuliah Kuliah
15.00 Belajar Diagnosis Belajar retardasi Belajar
15.00- Mandiri multiaksial Mandiri mental (Dr. Mandiri
16.00 anak (Dr. Deny ,
Deny , J.R,Sp.KJ)
J.R,Sp.KJ)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 138


MINGGU EVALUASI

SENIN SELASA RABU KAMIS JUMAT


JAM 23 APRIL 24 APRIL 25 APRIL 26 APRIL 27 APRIL
2012 2012 2012 2012 2012

08.00 –
Ujian Ujian Modul Ujian
09.00
Modul 1 3 Modul 5
09.00 –
10.00

10.00 –
Ujian Ujian Modul
11.00
Modul 2 4
Responsi
11.00 – Responsi
Trapmed
12.00 Trapmed

12.00 –
13.00

13.00 –
14.00

14.00 –
15.00

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 139


STRUKTUR ORGANISASI BLOK 17

Penanggung jawab : Pembantu Dekan I

Ketua : dr. Denny,J.R., Sp.KJ (08115803148)


Sekretaris : dr. Evi Fitriany, M.Kes Koordinator (081346297462)
Anggota : Dr. H. Jaya Mualimin, Sp KJ. M.Kes
Dr. Dalidjo, Sp.KJ
Dr. Lukas D. L, M.Kes. M.Pd.Ked. (081346242821)
Dr. Ika Fikriah.,M.Kes. (085220275014)
Tutor Utama : Dr. Evi Fitriany. M.Kes
Dr. Lukas D. L, M.Kes. M.Pd.Ked.
Dr. Ika Fikriah.,M.Kes.
Dr. Meiliati Aminyoto, M.Kes.
Dr. Rahmat Bachtiar, MPPM

Tutor Cadangan Dr. Wisnu


Dr. Rony isnuwardana. MIH
Dr. Andi Irawan Sp FK
Dr.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 140


PENUTUP

Pada akhir blok kelainan psikiatri ini pemahaman mengenai


berbagai gangguan-gangguan kejiwaan yang terjadi di masyarakat telah
dapat dicapai. Blok ini merupakan bagian yang terintegrasi dan
berhubungan dengan blok sebelumnya dan blok selanjutnya.

Setelah melalui blok ini, mahasiswa diharapkan telah mencapai


kompetensi-kompetensi yang sesuai dengan kompetensi inti, kompetensi
penunjang , learning objectives dan learning outcome yang
dipersyaratkan dalam blok ini.

Selanjutnya, mahasiswa yang telah menyelesaikan blok ini dengan


baik dianggap telah siap untuk pembelajaran pada blok berikutnya. Akhir
kata, semoga buku ini bermanfaat bagi kelancaran proses pendidikan di
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.

Tim Blok 17

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 141


EVALUASI

Evaluasi dilakukan dalam bentuk Formatif dan Sumatif. Evaluasi


formatif dilakukan melalui observasi diskusi kelompok, laporan
praktikum, tugas tertulis dalam diskusi kelompok dan kuis. Evaluasi
sumatif meliputi ujian blok. Metode penilaian terdiri dari check list
(formatif) dan MCQ atau short answer (sumatif).
Evaluasi dilakukan secara holistik terhadap aspek kognitif,
keterampilan (psikomotor) dan afektif (attitude). Evaluasi pengetahuan
merupakan evaluasi kognitif mencakup hanya sekedar “recall”,
pemahaman sampai kemampuan pemecahan masalah. Evaluasi
keterampilan mencakup berbagai keterampilan psikomotor yang sangat
dibutuhkan untuk membentuk praktisi kesehatan yang kompeten.
Evaluasi keterampilan medik dilakukakan setiap akhir blok dalam bentuk
responsi dan akhir 3 blok dalam bentuk OSCE (Objective Structured
Clinical Examination). Evaluasi perilaku meliputi kualitas personal dan
perilaku tentang kesehatan, perilaku terhadap pasien dan teman
sejawatnya.
Berikut ini adalah penilaian yang diberikan kepada mahasiswa :

Cara Penilaian Bobot

A. Formatif : 40%
1. Observasi diskusi kelompok 15%
2. Laporan praktikum 10%
3. Laporan Pleno 15%

B. Sumatif : 60%
1. Ujian Modul 50%

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 142


2. Ujian Praktikum 10%

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 143


SARANA DAN PRASARANA
A. Sumber pembelajaran
- Buku teks
- Nara sumber / staf pengajar
- Hand out
- Pedoman Praktikum
- Internet

B. Media instruksional
- LCD
- White Board
- Flip Chart
- Media audiovisual

C. Sarana fisik
 Ruang Kuliah
 Ruang diskusi kelompok
 Ruang Praktikum dan perlengkapannya
 Ruang laboratorium keterampilan medis
 Perpustakaan

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 144


APPENDIX
LEMBAR EVALUASI
KELOMPOK DISKUSI KECIL I (KELOMPOK TUTORIAL)
PROGRAM PBL 2009/2010
FAKULTAS KEDOKTERAN UNMUL

Modul :
Blok :
Skenario :
Kelompok :
Nama fasilitator :

N NILAI TOTA
Nama NIM
o I II III L
1

10

I. Pengetahuan materi yang diskusi


a. Baik : > 80 menguasai materi diskusi serta mampu
mengkomunikasikan secara aktif
b. Cukup : 70 – 79 menguasai materi diskusi namun kurang mampu
mengkomunikasikan secara aktif
c. Kurang : 60 – 69 tidak menguasai materi diskusi/berfokus hanya
pada scenario
d. Buruk : < 60 diam

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 145


II. Sikap/perilaku/responsibilitas dalam kelompok
a. baik : > 80 memberi pendapat secara aktif sesuai dengan materi
diskusi, merespon pendapat orang lain dan mampu memberi
masukan (menanggapi pendapat orang lain dan mampu member
masukan (menanggapi pendapat orang lain dengan positif),
memperhatikan jalannya diskusi dengan sungguh-sungguh.
b. cukup : 70 – 79 merespon pendapat orang lain tetapi tidak
member pengetahuan tambahan (bertahan, berkomentar)
member pendapat kalau diperintahkan, memperhatikan jalannya.
c. Kurang : 60 - 69 tidak memberi respon terhadap pendapat orang
lain atau merespon pendapat orang secara negative, tidak
memberi perhatian tetapi tetap menjaga ketertiban diskusi.
d. Buruk : < 60 tidak mampu member respon, tidak mampu memberi
pendapat, tidak memperhatikan dan cenderung melakukan
aktivitas diluar konteks diskusi (bermain hp, berbisik dengan
teman, dll).

III. Nilai kelompok


a. Baik : > 80 diskusi dinamis, semua aktif dalam diskusi
b. Cukup : 70 – 79 diskusi kurang dinamis karena yang terlibat aktif <
50%
c. Kurang : 60 – 69 diskusi tidak dinamis karena > 50% anggota tidak
terlibat secara aktif
d. Buruk : < 60 tutor lebih dominan mengintervensi jalannya diskusi

Keterangan : nilai total = (I + II + III) /3

Samarinda……………………….
Tutor

……………………………….
NIP.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 146


LEMBAR EVALUASI
KELOMPOK DISKUSI KECIL II (KELOMPOK TUTORIAL)
PROGRAM PBL 2009/2010
FAKULTAS KEDOKTERAN UNMUL

Modul :
Blok :
Skenario :
Kelompok :
Nama fasilitator :

N NILAI TOTA
Nama NIM
o I II III IV L
1

10

I. Pengetahuan materi yang diskusi


a. Baik : > 80 menguasai materi diskusi serta mampu
mengkomunikasikan secara aktif
b. Cukup : 70 – 79 menguasai materi diskusi namun kurang mampu
mengkomunikasikan secara aktif
c. Kurang : 60 – 69 tidak menguasai materi diskusi/berfokus hanya pada
scenario
d. Buruk : < 60 diam

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 147


II. Sikap/perilaku/responsibilitas dalam kelompok
a. baik : > 80 memberi pendapat secara aktif sesuai dengan materi
diskusi, merespon pendapat orang lain dan mampu memberi
masukan (menanggapi pendapat orang lain dan mampu member
masukan (menanggapi pendapat orang lain dengan positif),
memperhatikan jalannya diskusi dengan sungguh-sungguh.
b. cukup : 70 – 79 merespon pendapat orang lain tetapi tidak member
pengetahuan tambahan (bertahan, berkomentar) member pendapat
kalau diperintahkan, memperhatikan jalannya.
c. Kurang : 60 - 69 tidak memberi respon terhadap pendapat orang lain
atau merespon pendapat orang secara negative, tidak memberi
perhatian tetapi tetap menjaga ketertiban diskusi.
d. Buruk : < 60 tidak mampu member respon, tidak mampu memberi
pendapat, tidak memperhatikan dan cenderung melakukan aktivitas
diluar konteks diskusi (bermain hp, berbisik dengan teman, dll).
III. Nilai kelompok
a. Baik : > 80 diskusi dinamis, semua aktif dalam diskusi
b. Cukup : 70 – 79 diskusi kurang dinamis karena yang terlibat aktif <
50%
c. Kurang : 60 – 69 diskusi tidak dinamis karena > 50% anggota tidak
terlibat secara aktif
d. Buruk : < 60 tutor lebih dominan mengintervensi jalannya diskusi
IV. Pleno (laporan dan keaktifan)
Laporan
a. Baik : > 80 isi laporan melebihi kompetensi yang diharapkan
b. Cukup : 70 – 79 isi sesuai kompetensi yang diharapkan
c. Kurang : 60 – 69 isi laporan secara keseluruhan tidak memuaskan dan
tidak menggambarkan kompetensi yang akan dicapai oleh mahasiswa
d. Buruk : < 60 tidak membuat laporan

Keaktifan
a. Baik : > 80 presentasi dengan baik, mengemukakan pendapat sesuai
konteks
b. Cukup : 70 – 79 mampu bertanya sesuai konteks
c. Kurang : 60 – 69 mampu bertanya tetapi tidak sesuai konteks
d. Buruk : < 60 diam, tidak member perhatian

Keterangan : nilai total = (I + II + III + IV) /4


Samarinda……………………….
Tutor

……………………………….
NIP.

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 148


LEMBAR EVALUASI FASILITATOR
KELOMPOK DISKUSI KECIL (KELOMPOK TUTORIAL)
PROGRAM PBL PENUH 2009/2010
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNMUL

Modul :………………………….
Blok :…………………………. Hari :................................
Skenario :…………………………. Tanggal :................................
NamaMahasiswa :………………………..... Waktu :................................
Nama Fasilitator :…………………… ........ Semester :................................

PERAN FASILITATOR DALAM tidak


No Sering kadang2
DISKUSI KELOMPOK KECIL pernah
1 Hadir sesuai jadwal
Memahami apa yang harus dipelajari
2 peserta sesuai dengan tahapan Seven
Jumps
Memberi stimulasi kepada mahasiswa
3
sehingga diskusi berjalan dinamis
Bertanya tanpa mengarahkan langsung
4
pada materi diskusi
Mendorong critical thinking melihat materi
5
yang ada secara komprehensif
Mengarahkan mahasiswa kepada pilihan
6
sumber informasi dan materi pembelajaran
7 Memberi mini lecturing (kuliah kecil)
Memberi umpan balik terhadap materi
8
diskusi
9 Berperan aktif dalam proses diskusi
10 Memberi kesimpulan hasil diskusi

Keterangan : Penilaian untuk fasilitator dilakukan mahasiswa pada minggu ke-3


atau akhir skenario ke-3 (akhir diskusi ke-6)

Blok XVII. Kelainan Psikiatri 149

Anda mungkin juga menyukai