Anda di halaman 1dari 39

RESPONSI KASUS

CEREBRAL PALSY

Oleh:
I Putu Putrayasa Wiguna 1202006092
Made Adinanta Purnawijaya 1202006096
Made Wirga Wirgunatha 1202006102
Ngk. Gd. Agung Panji Khrisna S. 1202006103
A. A. Gede Ari Nanda Bhaswara 1202006106
Theresia Fitri Hakna Sihombing 1202006107
Sheryl Elita Tanjaya 1202006108
Hans Nuari 1202006109
Taufan Hendra Wirawan 1202006196
Sathiyagala Vikraman 1202006209

Pembimbing:
dr. I G. A. N. Sugitha Adnyana, Sp.A (K)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUP SANGLAH
2017
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan YME karena atas
berkat rahmat dan ijin-Nya Responsi Kasus yang berjudul Cerebral Palsy ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Responsi Kasus ini merupakan salah satu
tugas dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar.
Dalam penyusunan responsi ini penulis banyak memperoleh bimbingan dan
petunjuk-petunjuk dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K) selaku Kapala Bagian SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNUD
2. Dr. I Wayan Dharma Artana, Sp.A selaku Koordinator Pendidikan Dokter
Muda Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD
3. Dr. I G. A. N. Sugitha Adnyana, Sp.A (K) selaku dosen pembimbing atas
bimbingan dan arahan beliau
4. Residen serta rekan-rekan dokter muda yang bertugas di bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNUD/RS Sanglah yang telah ikut membantu penulis
dalam menyelesaikan responsi ini
5. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, yang dengan tulus
telah bersedia memberikan bantuan dan masukannya.
Penulis menyadari bahwa responsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
semua saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan di masa
mendatang. Semoga tinjauan pustaka ini memiliki nilai tambah bagi pembaca.

Denpasar, September 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1 Definisi .................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 3
2.3 Etiologi .................................................................................................... 4
2.4 Faktor Risiko ........................................................................................... 5
2.5 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi ......................................................... 5
2.6 Diagnosis................................................................................................. 14
2.7 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 15
2.8 Tatalaksana ............................................................................................. 16
2.9 Prognosis ................................................................................................. 22
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................... 23
3.1 Identitas Pasien ....................................................................................... 23
3.2 Anamnesis .............................................................................................. 23
3.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 27
3.4 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 28
3.5 Diagnosis ................................................................................................ 30
3.6 Penatalaksanaan ..................................................................................... 30
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 31
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Cerebral Palsy (CP) atau Palsi Serebral merupakan penyebab utama


disabilitas anak, dan pertama kali dijelaskan oleh James Little, seorang ahli bedah
ortopedi pada tahun 1862. CP berdasarkan hasil International Worshop on
Definition and Classification of CP dijelaskan sebagai suatu kelompok penyakit
yang menetap/permanen pada perkembangan gerakan dan postural dan
menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik, yang disebabkan karena gangguan non-
progresif pada perkembangan otak fetus atau anak.1,2

Sekitar 17 juta penduduk di dunia menderita CP. Prevalensi secara umum


dari CP mencapai 2 2,5 per 1000 kelahiran hidup pada negara maju. Pada negara
berkembang, prevalensi CP diperkirakan mencapai 1,5 1,6 per 1000 kelahiran
hidup. Kelahiran preterm meningkatkan angka kejadian CP. Penyebab/etiologi CP
bervariasi, dan sebagian besar (50%) belum diketahui. Faktor risiko CP
multifaktorial, di antaranya adalah kelahiran preterm, intrauterine growth
restriction (IUGR), jenis kelamin laki-laki, infeksi intrauterin, kelainan tiroid
maternal, skor APGAR rendah, dan asfiksia.3,4

CP merupakan suatu kondisi yang tidak jarang dijumpai di klinik. Kondisi


ini meliputi banyak spektrum klinis yang berbeda. CP disebabkan oleh banyak
penyebab dan faktor risiko. Sangatlah penting untuk mengetahui interaksi dari
berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan CP. Dalam banyak kasus,
penyebab CP mungkin tidak dapat ditelusuri sepenuhnya. Kondisi tersebut
menimbulkan tantangan diagnostik dan terapeutik kepada dokter dengan tingkat
keterlibatan mulai dari ringan dengan cacat minimal sampai berat, terkait dengan
beberapa kondisi komorbiditas.3,6

Manifestasi klinis pada penderita CP tidak hanya tampak pada kelainan


motorik. Seringkali pasien dengan CP juga mengalami kelainan pada sensasi,
persepsi, kognisi, komunikasi, perilaku, epilepsi, dan kelainan muskuloskeletal
sekunder. CP sering dikaitkan dengan banyak defisit seperti keterbelakangan
mental, gangguan bicara, bahasa, dan oromotor. Hal ini perlu mendapat perhatian

1
sebagai bagian dari pemeriksaan awal. Penilaian menyeluruh terhadap
perkembangan saraf anak dengan CP harus mencakup evaluasi terkait defisit
sehingga program intervensi dini yang komprehensif dapat direncanakan dan
dilaksanakan. Pemerikaan penunjang dengan teknik pencitraan radiologi juga dapat
membantu pemeriksa untuk mengetahui adanya kelainan otak yang mendasari.3,4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
CP menurut International Worshop on Definition and Classification of CP
pada tahun 2007 adalah suatu kelompok penyakit yang menetap/permanen
pada perkembangan gerakan dan postural dan menyebabkan keterbatasan
aktivitas fisik, yang disebabkan oleh gangguan non-progresif pada
perkembangan otak fetus atau anak.1 Brunner dan Suddarth mengartikan
kata cerebral itu sendiri adalah otak, sedangkan palsy adalah kelumpuhan,
kelemahan, atau kurangnya pengendalian otot dalam setiap pergerakan atau
bahkan tidak terkontrol. Gangguan motorik yang tampak dapat disertai
gangguan pada sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi dan perilaku,
epilepsi, dan gangguan muskuloskeletal sekunder. Spektrum klinis CP dapat
bervariasi mulai dari disabilitas motorik ringan sampai berat.1,2

2.2 Epidemiologi
Prevalensi CP pada beberapa tahun terakhir tidak banyak mengalami
perubahan. Sekitar 17 juta penduduk di dunia menderita CP. Prevalensi CP
di negara maju mencapai 2 2,5 per 1000 kelahiran hidup. Pada negara
berkembang, prevalensi CP belum banyak diketahui, namun diperkirakan
melebihi 1,5 1,6 per 1000 kelahiran hidup.3,4 Kelahiran preterm
meningkatkan angka kejadian CP. Pada bayi sangat preterm (<32 minggu)
dengan berat sangat rendah (<1500 gram), ditemukan nilai psikomotor
(Bayley Scales of Infant Development) yang lebih rendah 1 standar deviasi
(SD) dibanding bayi aterm.5

3
2.3 Etiologi
2.3.1 Etiologi Kongenital
Seluruh kelompok kelainan perkembangan kongenital
menyebabkan CP dimasukkan ke dalam kelompok ini. Kelainan ini
diakibatkan oleh gangguan yang terjadi pada perkembangan normal
dan mengikuti pola berdasarkan kegagalan formasi normal. Neural
tube defect adalah kelainan bentuk yang paling awal yang
menyebabkan kelangsungan hidup dengan cacat motorik. Neural
tube defect yang paling umum terjadi di tulang belakang dan dikenal
dengan meningomyelocele. Namun, lesi ini biasanya tidak
menyebabkan CP, namun justru menyebabkan kelumpuhan tulang
belakang. Di otak biasanya terjari ensefalokel. Ensefelokel anterior
terjadi paling sering di Asia, sedangkan ensefalokel posterior paling
sering terjadi di Eropa Barat dan Amerika dan mempengaruhi
oksiput posterior.3,8
2.3.2 Etiologi Neonatal
Penyebab neonatal dan prenatal CP terutama terkait dengan
prematuritas dan masalah persalinan, yang menyebabkan berbagai
pola cedera. Namun, otak yang belum matang memiliki lebih banyak
kelenturan atau plastisitas. Potensi otak yang seperti ini membuat
respons terhadap cedera jauh berbeda dari pada otak yang matang.3,8
Prematuritas dan perdarahan pada otak yang saat inijauh
lebih baik dipahami karena meluasnya penggunaan Ultrasonografi
(USG) kranial, di mana otak bayi dapat diperiksa melalui fontanel
anterior yang terbuka. Gambaran ini memberikan pengertian yang
baik mengenai ventrikel dan white matter periventrikular. Ini adalah
daerah di mana perdarahan terjadi, dan faktor risiko utama untuk
dapat menyebabkan perdarahan adalah usia gestasi dan ventilasi
mekanis pada usia yang lebih muda.8

4
2.4 Faktor Risiko
CP adalah kondisi heterogen dengan banyak penyebab; beberapa tipe klinis;
beberapa pola neuropatologi pada pencitraan otak (brain imaging); beberapa
perkembangan terkait patologi, seperti: cacat intelektual, autisme, epilepsi,
dan gangguan penglihatan; dan baru-baru ini beberapa variasi genetik
patogen langka (mutasi). CP memiliki beberapa faktor risiko, diantaranya:8
a. Birth asphyxia (asfiksia pada saat proses melahirkan)
b. Preterm delivery (bayi lahir prematur)
c. Infeksi intrauterin
d. Respon inflamasi fetus abnormal dan trombofilia
e. Multiple pregnancy
f. Kelainan kongenital bawaan

2.5 Manifestasi Klinik dan Klasifikasi


Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak
yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis
atau serebelum. Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3 bentuk
dasar gangguan motorik pada CP, yaitu: spastisitas, atetosis dan ataksia.
Spastisitas terjadi terutama bila sistem piramidal yang mengalami
kerusakan, meliputi 50-65% kasus CP. Spastisitas ditandai dengan
hipertoni, hiperrefleksi, klonus, refleks patologik positif. Kelumpuhan yang
terjadi mungkin monoplegi, diplegi/hemiplegi, triplegi atau tetraplegi.
Kelumpuhan tidak hanya mengenai lengan dan tungkai, tetapi juga otot-otot
leher yang berfungsi menegakkan kepala. Di bawah ini dijabarkan 3 bentuk
dasar tersebut:2
a. Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakan- gerakan abnormal
yang timbul spontan dari lengan, tungkai atau leher yang ditandai
dengan gerakan memutar mengelilingi sumbu "kranio-kaudal", gerakan
bertambah bila dalam keadaan emosi. Kerusakan terletak pada ganglia
basalis dan disebabkan oleh asfiksi berat atau jaundice.
b. Ataksia. Bayi/anak dengan ataksia menunjukkan gangguan koordinasi,
gangguan keseimbangan dan adanya nistagmus. Anak berjalan dengan

5
langkah lebar, terdapat intention tremor meliputi 5%. Lokalisasi lesi
yakni di serebelum.
c. Rigiditas, merupakan' bentuk campuran akibat kerusakan otak yang
difus. Di samping gejala-gejala motorik, juga dapat disertai gejala-
gejala bukan motorik, misalnya gangguan perkembangan mental,
retardasi pertumbuhan, kejang-kejang, gangguan sensibilitas,
pendengaran, bicara dan gangguan mata.
Berdasarkan manifestasi klinik CP, American Acedemy for Cerebral Palsy
mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:2,9
a. Klasifikasi neuromotorik
- Spastik, ialah adanya penambahan pada stretch reflex dan deep
tendon reflex meninggi pada bagian-bagian yang terkena.
- Atetosis, karakteristik ialah gerakan-gerakan lembut menyerupai
cacing, involunter, tidak terkontrol dan tidak bertujuan.
- Rigiditas. Jika bagian yang terkena digerakkan akan ada tahanan
kontinu, baik dalam otot agonis maupun antagonis. Menggambarkan
adanya sensasi lead pipe rigidity.
- Ataksia. Menunjukkan adanya gangguan keseimbangan dalam
ambulasi.
- Tremor. Gerakan-gerakan involunter, tidak terkendali reciprocal
dengan irama yang teratur.
- Mixed.
b. Distribusi topografik dari keterlibatan neuromotorik
- Monoplegi. Terkena salah satu ekstremitas.
- Paraplegi. Yang terkena ialah ekstremitas inferior, selalu tipe
spastik.
- Hemiplegi. Terkena hanya 1 ekstremitas inferior dan 1 superior pada
pihak yang sama. Hampir selalu spastik, kadang-kadang ada yang
atetosis.
- Triplegi. Terkena 3 ekstremitas, biasanya spastik.
- Quadriplegi atau tetraplegi. Terkena semua ekstremitas.

6
- Diplegia. Terkena keempat ekstremitas, ekstremitas inferior lebih
berat.
Klasifikasi berdasarkan beratnya gejala yaitu berdasarkan beratnya
keterlibatan neuromotorik yang membatasi kemampuan penderita untuk
menjalankan aktifitas untuk keperluan hidup (activities of daily living):2,9
a. Ringan. Penderita tidak memerlukan perawatan oleh karena ia tidak
mempunyai problem bicara dan sanggup mengerjakan keperluan sehari-
hari dan dapat bergerak tanpa memakai alat-alat penolong.
b. Sedang. Penderita memerlukan perawatan oleh karena ia tidak cakap
untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara. Pasien memerlukan brace
dan alat-alat penolong diri.
c. Berat. Penderita memerlukan perawatan. Derajat keterlibatan demikian
hebat, sehingga prognosis ADL buruk.
Empat sistem klasifikasi fungsional yang umum digunakan dalam CP yaitu:
Sistem Klasifikasi Fungsi Motorik Kasar (GMFCS), Sistem Klasifikasi
Kemampuan Manual (MACS), Sistem Klasifikasi Fungsi Komunikasi
(CFCS), dan Sistem Klasifikasi Kemampuan Makan dan Minum (EDACS).
Langkah-langkah ini terstandarisasi, dapat diandalkan, dan saling
melengkapi satu sama lain.9
A. Sistem Klasifikasi Fungsi Motorik Kasar (GMFCS)
GMFCS adalah yang paling diakui dalam klasifikasi fungsional CP.
GMFCS adalah sistem penilaian ordinal sederhana lima tingkat yang
dibuat untuk menggambarkan motor kasar fungsi seorang individu
dengan CP. GMFCS menjelaskan gerakan yang dimulai sendiri dan
penggunaan alat bantu (pejalan kaki, kruk, tongkat, kursi roda)
untuk mobilitas selama aktivitas biasa seseorang. Sistem klasifikasi
ini awalnya dirancang untuk digunakan dengan anak-anak usia 2-12
tahun. GMFCS kemudian diperluas dan direvisi pada tahun 2007
untuk memasukkan usia 12-18.
Berdasarkan versi GMFCS yang direvisi dan diperluas,
individu yang tergabung dalam GMFCS I (tanpa keterbatasan)
individu yang berusia < 2 tahun dapat merangkak di tangan dan

7
lutut, tarik berdiri, berlayar saat memegang perabotan, dan bisa
berjalan dengan mandiri usia 18 bulan - dua tahun. Antara usia 2-4
tahun, keterampilan termasuk duduk mandiri dan transisi antara
duduk dan berdiri mandiri. Antara 4-6 tahun, individu bisa berjalan
di dalam rumah dan di luar rumah secara mandiri, menaiki tangga,
dan mulai berlari dan melompat. Antara usia 6-12 tahun,
kemampuan tambahan termasuk berjalan di medan yang lebih
curam, berjalan di jarak yang lebih jauh, menaiki tangga tanpa
pegangan/railing, dan berlari dan melompat (yang mungkin
termasuk beberapa keterbatasan). Antara usia 12-18 tahun sama
dengan usia 6-12 tahun.
Seorang anak dalam kelompok GMFCS II bisa berjalan
dengan keterbatasan. Keterbatasan bisa termasuk keseimbangan
atau daya tahan, penggunaan perangkat mobilitas genggam sebelum
usia 4, penggunaan pagar di tangga, atau ketidakmampuan berlari
atau melompat. Seorang anak < 2 tahun dapat duduk dengan
dukungan ekstremitas atas, merangkak di perut mereka, dan
mungkin juga dapat menarik sesuatu untuk berdiri. Antara usia 2-4
tahun, anak dapat beralih ke duduk tanpa dukungan (tapi mungkin
perlu menggunakan ekstremitas atas mereka untuk keseimbangan),
dapat merangkak di tangan dan lutut, dan berjalan dengan perangkat
mobilitas. Antara usia 4-6 tahun, individu dapat melakukan transisi
masuk dan keluar tanpa dukungan, berjalan menempuh jarak pendek
yang rata tanpa alat bantu, tapi tidak mampu berlari atau melompat.
Dari usia 6-12 tahun, individu dapat berjalan di kebanyakan medan
namun memiliki keterbatasan jarak atau permukaan yang tidak rata,
bisa menggunakan mobilitas beroda untuk jarak jauh, bisa menaiki
tangga dengan railing, tapi mampu melakukan minimal atau tidak
berlari dan melompat. Antara usia 12-18 tahun, kemampuannya
adalah sama seperti usia 6-12 tahun.
Seorang anak yang tergabung dalam GMFCS III sering dapat
berjalan dengan perangkat mobilitas genggam di dalam rumah,

8
namun menggunakan mobilitas beroda untuk jarak yang lebih jauh.
Fungsi level GMFCS III menunjukkan kemampuan untuk duduk
dengan sedikit atau tidak ada dukungan eksternal dan berdiri. Anak
di GMFCS III yang berumur < 2 tahun bisa berguling dan sesekali
merangkak maju saat berbaring perut mereka, dan juga duduk
dengan sedikit dukungan rendah. Antara usia 2-4 tahun, seorang
anak bisa duduk di lantai dengan beberapa bantuan masuk ke posisi,
merangkak di perutnya atau merayap pada semua merangkak, dan
mungkin menarik sesuatu berdiri dan berjalan jarak pendek dengan
menggunakan perangkat genggam (baby walker) dengan beberapa
bantuan untuk manuver. Dari usia 4-6 tahun, seorang anak bisa
duduk dalam standar kursi tapi mungkin memerlukan dukungan
ekstra untuk memungkinkan fungsi ekstremitas sepenuhnya,
berjalan dengan perangkat mobilitas genggam dan melakukan
tangga dengan bantuan. Biasanya, mobilitas roda digunakan untuk
jarak yang lebih jauh. Pada GMFCS III, anak-anak berusia 6-12
tahun berjalan dengan perangkat mobilitas genggam di dalam
ruangan dan menggunakan mobilitas beroda (manual atau
bertenaga) untuk jarak jauh, memerlukan bantuan untuk bergerak di
antara lantai, duduk dan berdiri, dan naik tangga dengan bantuan.
Untuk usia 12-18 tahun, kemampuannya sama dengan usia 6-12,
namun variabilitas lebih banyak ditunjukkan.
Individu yang tergabung dalam GMFCS IV dapat duduk
didukung, namun mobilitas personal seringkali terbatas, diangkut di
kursi roda manual atau menggunakan mobilitas bertenaga. Anak-
anak < 2 tahun mampu memutar balik badan, tapi butuh dukungan
untuk duduk. Antara usia 2-4 tahun, seorang anak di GMFCS IV
bisa duduk dengan dukungan ekstremitas atas, memerlukan bantuan
untuk beralih ke duduk, dan mungkin memerlukannya peralatan
adaptif untuk duduk atau berdiri. Dari usia 4-6 tahun, anak-anak
memerlukan peralatan adaptif untuk memungkinkan duduk dan
bantuan untuk berpindah posisi. Anak-anak dapat berjalan jauh

9
dengan perangkat mobilitas dengan bantuan, menggunakan
mobilitas beroda, dan/atau mandiri dengan mobilitas bertenaga.
Anak-anak pada GMFCS IV usia 6-12 tahun membutuhkan tempat
duduk dan bantuan yang disesuaikan, dan memanfaatkan mobilitas
beroda, mobilitas mandiri, atau manual dengan bantuan di
kebanyakan setting. Kebanyakan dapat melakukan mobilitas di
lantai secara independen dengan merangkak atau bergulir, atau
mungkin berjalan jarak dekat dengan bantuan. Untuk usia 12-18,
kemampuannya sama dengan usia 6-12 tahun.
Anak yang tergolong dalam GMFCS V memiliki
keterbatasan yang lebih berat dengan mobilitas diri hanya
dimungkinkan dengan menggunakan kursi roda. Anak-anak
GMFCS V usia < 2 tahun tidak memiliki kontrol yang independen
dan memerlukan bantuan untuk berguling. Antara usia 2-4 tahun,
seorang anak kecil tidak memiliki gerakan independen dan
memerlukan bantuan transportasi dengan menggunakan perangkat
mobilitas manual. Peralatan adaptif diperlukan untuk duduk dan
berdiri, namun fungsinya masih terbatas. Dari usia 4 tahun dan
seterusnya, kemampuan anak-anak di GMFCS V stabil dengan
kebutuhan untuk bantuan lengkap dengan transfer muncul setelah
usia 6 tahun.

B. Sistem Klasifikasi Kemampuan Manual (MACS)


Sistem Klasifikasi Kemampuan Manual (MACS) juga sederhana,
lima poin sistem klasifikasi ordinal, analog dan komplementer
dengan GMFCS, dan dirancang untuk digunakan pada anak usia 4-
18 tahun. MACS adalah ukuran yang divalidasi dalam CP yang
dapat digunakan untuk mengklasifikasikan penggunaan khas anak
dari kedua tangan dan tungkai atas.
Seseorang yang tergolong MACS I dapat menangani objek
dengan mudah dengan kemungkinan beberapa keterbatasan dengan
benda yang sangat kecil, rapuh atau berat, atau keterbatasan dengan

10
kontrol motorik halus, namun keterbatasan ini tidak membatasi
independensi dalam aktivitas sehari-hari. Klasifikasi MACS II
menunjukkan tingkat penurunan kinerja saat menangani benda;
kinerjanya mungkin lebih lambat dan mungkin dipengaruhi oleh
fungsi tangan asimetris. Seseorang dapat menggunakan cara
alternatif untuk menangani objek, namun tetap mandiri dalam
aktivitas sehari-hari. Seorang individu di MACS III menangani
objek secara perlahan dan seringkali dengan keberhasilan yang
terbatas, membutuhkan bantuan atau pengaturan untuk kegiatan.
Beberapa kegiatan bisa selesai mandiri dengan adaptasi dan
persiapan yang tepat, namun kegiatan lainnya tidak memadai
dilakukan tanpa bantuan. Fungsi MACS IV menunjukkan adanya
kebutuhan akan dukungan terus-menerus dan bantuan atau
penggunaan peralatan yang disesuaikan untuk melengkapi hanya
bagian dari aktivitas sehari-hari, dengan ketidakmampuan untuk
menyelesaikan aktivitas penuh. Individu di MACS V tidak dapat
melakukan kegiatan sehari-hari dan mungkin bisa berpartisipasi
minimal dengan gerakan sederhana atau mungkin memerlukan
bantuan total.

11
C. Sistem Klasifikasi Fungsi Komunikasi (CFCS)
Sebanyak 31% sampai 88% individu dengan CP diperkirakan
memiliki gangguan komunikasi. CFCS adalah sederhana, lima titik
sistem klasifikasi ordinal, dan dirancang untuk menjadi analog dan
komplementer GMFCS dan MACS. Menjadi komunikator yang
efektif membutuhkan pengiriman dan penerimaan informasi, dan
CFCS menilai secara baik bagaimana informasi diungkapkan dan
diterima. CFCS memungkinkan semua metode komunikasi
(vokalisasi, tanda tangan manual, tatapan mata, gambar, papan
komunikasi, alat penghubung suara) untuk disertakan saat menilai
klasifikasi individu.
Seseorang yang berkomunikasi pada tingkat CFCS I dikenal
sebagai "pengirim dan penerima yang efektif dengan mitra yang
tidak dikenal dan akrab". Individu mampu berkomunikasi dengan
kecepatan yang nyaman, mengirim dan menerima informasi dengan
pasangan yang familier dan tidak dikenal, dan kesalahpahaman
mudah dikoreksi. Seseorang yang berkomunikasi pada tingkat
CFCS II tetap efektif dalam berkomunikasi, namun kecepatan
komunikasi lebih lambat. Seseorang pada tingkat ini dikenal sebagai
"pengirim dan penerima yang efektif tapi lambat dengan mitra yang
tidak dikenal dan/atau familiar". Seseorang yang berkomunikasi
pada tingkat CFCS III dikenal sebagai "pengirim dan pengirim yang
efektif dengan mitra akrab". Pada tingkat CFCS IV, seorang
individu adalah "pengirim dan penerima yang tidak konsisten
dengan mitra akrab". Seseorang yang berkomunikasi pada tingkat
CFCS V adalah "pengirim atau penerima yang jarang efektif
sekalipun pada mitra akrab". Hal ini berbeda dengan tingkat IV
dimana pada tingkat V secara konsisten memiliki komunikasi yang
tidak efektif.
D. Sistem Klasifikasi Kemampuan Makan dan Minum (EDACS)
Selain gangguan fungsi motorik kasar, fungsi motorik halus dan
komunikasi, individu dengan CP juga dapat memiliki gangguan

12
dalam makan dan minum, sebagai akibat dari kesulitan kontrol
motor. Antara 27% dan 90% orang dengan CP diperkirakan
mengalami beberapa tingkat kesulitan dengan makan atau minum.
EDACS merupakan ukuran yang valid untuk menilai makan dan
kemampuan minum untuk anak-anak dengan CP, usia 3 tahun ke
atas. Klasifikasi ini sederhana sistem ordinal lima titik, dirancang
untuk menjadi analog dan saling melengkapi dengan GMFCS,
MACS dan CFCS.
EDACS menilai keamanan makan dan minum (aspirasi dan
tersedak) serta efisiensi (jumlah makanan hilang dan waktu yang
dibutuhkan untuk makan). EDACS juga menambahkan tiga poin
ordinal tambahan skala yang membahas jumlah bantuan yang
dibutuhkan seseorang: mandiri, membutuhkan bantuan, atau
tergantung untuk makan dan minum.
Seorang individu di EDACS I dapat secara mandiri makan
dan minum dengan aman dan efisien, tidak berbeda dari teman
sebayanya. Batuk atau muntah bisa hadir. Seorang individu di
EDACS II makan dan minum dengan aman, mungkin memiliki
beberapa keterbatasan dalam hal kehilangan makanan, dan
umumnya membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan
makanan daripada teman sebayanya. Batuk mungkin hadir dengan
cairan atau makanan keluar. Kedua EDACS I dan II mencakup
kemampuan untuk makan berbagai macam tekstur dan konsistensi
seuai dengan teman sebayanya. Pada EDACS III, seorang individu
makan dan minum dengan beberapa keterbatasan keamanan dan
efisiensi. Benjolan keras makanan mungkin sulit diatur, dengan
risiko tersedak. Banyak individu di EDACS III terutama memakan
makanan yang dihaluskan. Batuk mungkin hadir dengan cairan atau
bolus makanan. Sebagai perbandingan, seorang individu di EDACS
IV atau V tidak dapat menelan makanan dan minuman tanpa risiko
aspirasi. Pada EDACS IV, risiko aspirasi dapat diantisipasi, dan
pemberian makanan oral mungkin dilakukan. Seorang individu di

13
EDACS IV akan makan purees halus atau makanan tumbuk saja.
Koordinasi menelan dan bernapas yang terganggu menjadi tanda
aspirasi. Seorang individu di EDACS V tidak dapat makan atau
minum bergantung pada tabung memberi makan nutrisi. Mereka
yang berada di EDACS V berisiko tinggi untuk aspirasi EDACS
juga menilai tingkat bantuan yang dibutuhkan untuk memberi
makan, melalui tiga poin sederhana sistem klasifikasi (independen,
membutuhkan bantuan, atau sangat tergantung).

2.6 Diagnosis
Diagnosis CP umumnya dibuat berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan
fisik dan neurologis yang lengkap adalah wajib untuk diagnosis yang akurat.
Evaluasi perkembangan serial mungkin diperlukan di anak muda untuk
diagnosis dan tindak lanjut yang tepat. Evaluasi genetik harus
dipertimbangkan pada pasien dengan malformasi genital (kromosom) atau
bukti kelainan metabolik.3
Pada anamnesis perlu diketahui mengenai riwayat prenatal,
persalinan dan postnatal yang dapat dikaitkan dengan adanya lesi otak.
Tahap-tahap perkembangan fisik anak harus ditanyakan, seperti kapan
mulai mengangkat kepala, membalik badan, duduk, merangkak, berdiri dan
berjalan.2,3
Pada pemeriksaan fisik diperhatikan adanya spastisitas
lengan/tungkai, gerakan involunter, ataksia dan lain-lain. Adanya refleks
fisiologik seperti refleks moro dan tonic neck reflex pada anak usia 4 bulan
harus dicurigai adanya CP. Demikian pula gangguan penglihatan,
pendengaran, bicara dan menelan, asimetri dari kelompok otot-otot,
kontraktur, dan tungkai yang menyilang menyerupai gunting.2,3

14
Diagnosis CP secara klinis menggunakan kriteria yang
diperkenalkan oleh Levine (POSTER). POSTER dapat diperjelas seperti di
bawah ini:10
P : Posturing / pergerakan abnormal
O : Oral motor patterns (contohnya: tongue thrust,
gangguan
Gangguan menelan
S : Strabismus
T : Tone (hiper / hipotonus
E : Evolutional maldevelopment. (reflek primitif persisten,
reflek ekuilibirum gagal berkembang
R : Reflexes. Peningkatan deep tendon reflex, reflex
Babinski
persisten

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Untuk menyingkirkan diagnosis banding maupun untuk keperluan
penanganan penderita, diperlukan beberapa pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan yang sering dilakukan ialah:3
a. USG kranial dilakukan pada periode neonatal awal dapat
menggambarkan kelainan struktural yang jelas dan menunjukkan
bukti perdarahan atau cedera hipoksia iskemik.
b. CT-Scan otak membantu mengidentifikasi malformasi, perdarahan
intrakranial, dan periventrikular leukomalacia pada bayi lebih jelas
daripada ultrasonografi.
c. MRI lebih disukai daripada CT-scan karena mendefinisikan kortikal
dan struktur white matter dan kelainannya lebih jelas daripada
metode lainnya. Hal ini juga memungkinkan penentuan mielinasi
yang tepat untuk usia tertentu. Hasil dari MRI janin telah
membuahkan hasil memahami banyak kelainan otak. Semua anak
dengan CP harus dilakukan MRI untuk memberikan informasi
tentang waktu dan luasnya lesi. Neuro-imaging saat ini

15
direkomendasikan sebagai standar evaluasi pada anak dengan CP,
dengan MRI sebagai studi neuro-imaging diagnostik pilihan.

2.8 Tatalaksana
Terdapat dua pembagian besar untuk melakukan terapi terhadap pasien
dengan CP, yaitu berdasarkan jenis permasalahan yang dihadapi. Perlu
dilakukan beberapa pendekatan terapi yang dilakukan guna meningkatkan
kondisi umum pasien, disfungsi motorik, aktivitas sehari hari, dan
permasalahan komunikasi dan kemampuan kognitifnya.
2.8.1. Kondisi Umum
Pasien CP dapat jatuh ke dalam gangguan gizi pada beberapa
kelompok pasien CP, sehingga banyak pasien akan jatuh ke dalam
kondisi gizi buruk yang berakhir pada kegagalan pertumbuhan dan
perburukan dari kondisi pasien. Sehingga perlu dilakukan
pengaturan dan pemantauan diet yang baik sehingga status gizi
pasien dapat dikontrol. Selain itu menjaga higienitas pasien perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi terutama pasien-pasien
yang belum mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara
mandiri.11
Suatu model intervensi berupa familly centered intervention
merupakan skema gabungan keluarga dengan berbagai multidipliner
yang berfokus pada pasien dan keluarga. Pendekatan ini bermanfaat
untuk kelanjutan dari terapi pasien dan peningkatan penanganan
pasien secara komprehensif yang berdampak pada pencegahan
perburukan pada pasien dengan CP. Sehingga monitoring terhadap
gangguan lain seperti: gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, kejang, gangguan asupan nutrisi, gangguan higienitas,
serta komplikasi seperti: dislokasi sendi dapat dikenali dan ditangani
dengan tepat.14

16
2.8.2. Terapi disfungsi motorik
Pasien dengan CP memiliki gangguan disfungsi motorik berupa
spasme otot dan distonia motorik. Pada pasien yang mengalami
spastik fokus terapi adalah mengurangi spastik dan mencegah
terjadinya kontraktur dan meningkatkan fungsi motorik pasien.
Target terapi pada pasien yang mengalami distonia adalah
mengurangi kejadian distonia pada pasien.12,13
A. Terapi Spastik
- Terapi Fisik
Hipertonus dan berkurangnya motror kontrol akan
menyebabkan berkurangnya fungsi sendi dan meningkatkan
terjadinya kontraktur pada sendi-sendi. Maka dari itu perlu
dilakukan berbagai macam fisioterapi untuk mencegah
timbulnya kontraktur pada pasien CP. Terdapat beberapa
metoda yang terbukti telah mencegah dan mengurangi
terjadinya spastik pada pasien CP.12,13
a. Fisioterapi dan terapi okupasi
Tujuan terapi fisioterapi ini adalah untuk meningkatkan
fungsi motorik kasar dan kemampuan mobilitas pasien
seperti mengatur posisi, duduk tegak, berjalan, dan
menggunakan kursi roda. Pada terapi okupasi bertujuan
untuk melatih fungsi motorik halus, fungsi motor-visual,
fungsi sensoris, dan fungsi proses yang berdampak pada
kemampuan pasien CP untuk melakukan aktivias sehari-
hari (activity daily living) seperti: mandi, makan,
mengganti baju, menjaa kebersihan diri, bahkan hingga
kemampuan menulis. Dengan terapi ini diharapkan
pasien akan mampu hidup secara mandiri.13

17
b. Edukasi konduktif
Terapi konduktif adalah kombinasi antara edukasi dan
pendekatan dengan memberi tugas sehari-hari terhadap
pasien CP. Diharapkan dari terapi ini adalah untuk
melatih fungsi koordinasi tangan dan aktivitas sehari-
hari.13
c. Terapi exercise
Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan untuk
mengurangi spastisitas pada pasien CP, antara lain: terapi
passive streching, static weight bearing, strength
trainings, dan fitness traineng. Passive streching dapat
dilakukan dengan manual ataupun dengna bantuan alat.
Tujuan dari passive streching ini adalah untuk
meningkatkan jangkauan pergerakan sendi dan
mengurangi spastisitas. Static weight bearing bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan
mineralisasi tulang, mencegah dislokasi, meningkatkan
nafsu makan dan meningkatkan fungsi pengaturan
sfingter. Strength training berfokus untuk menguatkan
otot antagonis pada otot yang mengalami spastik,
sehingga meningkatkan kemampuan gerak dari pasien.
Fitness training merupakan perpaduan latihan aerobik
dan latihan anaerobik yang bertujuan untuk
meningkatkan postur tubuh, perbaikan fungsi berjalan,
dan meningkatkan kualitas hidup pasien.13
- Terapi Medikasi Oral
Spastisitas merupakan manifestasi dari sindrom upper motor
neuron. Gangguan ini mengakibatkan defisiensi kekuatan
otot, gangguan postur, gangguan berjalan, dan meningkatkan
resiko kontraktus dan sublaksasi. Terdapat beberapa jenis
medikasi yang dapat digunakan untuk terapi spastik, antara
lain diazepam, baclofen, dantrolene, dan tiazanidine.12

18
Tabel 1. Terapi Medikasi Oral Spastik11

- Terapi Medikasi Intramuskular


Merupakan terapi yang langsung menargetkan otot-otot yang
bersifat lokal. Prosedur ini bekerja dengan memblikade
sistem neuromuscular. Terdapat dua jenis medikasi
intramuskular yang tersedia adalah: phenol dan botolinum
A.12,13

19
Tabel 2. Terapi Medikasi Intramuskular Spastik12

- Terapi Neurosurgical
Terapi neurosurgikal diambil jika pasien mengalami
kegagalan terapi pada terapi fisik, terapi oral maupun terapi
injeksi intramuskular atau pada pasien-pasien yang
mengalami spastisitas yang berat. Terdapat dua teknik
adalah dorsal rhizotomi dan intratecal baclofen.12
B. Terapi Distonia
- Terapi Medikasi Oral
Terdapat dua medikasi yang dapat digunakan untuk
mengobati distonia pada pasien CP, yaitu levodopa dan
triheksipenidil (Tabel xx). Kedua jenis obat ini bekerja pada
tempat yang berbeda di sistem saraf pusat, levodopa bekerja
dengan menghibisi decarboksilasi dopamin perifer,
sedangkan triheksipenidil bekerja sebagai antagonis dari
reseptor asetilkolin.12

20
Tabel 3. Terapi Medikasi Oral Distonia12

- Terapi Medikasi Intramuskular


Terapi intramuskular yang dapat diberikan adalah Botulinum
toxin. Terapi ini dapat diberikan kepada pasien yang
mengalami distonia secara lokal maupun secara generalisata.
Pemberian Botulinum toxin diberikan kepada otot yang
mengalami distosi paling berat ataupun pada otot yang dirasa
paling nyeri.12,13
- Terapi Neurosurgical
Terapi neurosurgical dapat dilakukan pada pasien CP yang
mengalami resisten terhadap pengobatan oral maupun
intramuskular ataupun pada pasien yang mengalami distonia
berat. terdapat dua prosedur yang dapat dilakukan, yaitu
intrathecal baclofen pump placement dan deep brain
stimulation.12
2.8.3. Terapi Komunikasi dan kognitif
Perlu diberikan terapi bicara maupun terapi kognitif. Terapi ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan
kemampuan kognitif pasien sehingga diharapkan nantinya akan
meningkatkan kemampuan mandiri pasien, dan kemampuan hidup
di dalam suatu komunitas. Terapi ini memerlukan gabungan dari

21
orang tua dan berbagai disiplin ilmu, antara lain: guru pengajar
khusus, terapis bicara, psikolog dan psikiater. Selain itu perlu
diberikan pengatan keluarga untuk mengajar dan merawat pasien
CP.14,15

2.9 Prognosis
Mortalitas dari pasien dengan CP sangat bergantung kepada seberapa besar
gangguan yang dialami oleh pasien, baik gangguan motorik seperti maupun
gangguan non motorik, seperti: penglihatan dan pendengaran. Selain itu
kemampuan kognitif pasien juga berpengaruh terhadap kemampuan
bertahan hidup pasien hingga dewasa.15
Prognosis kemandirian pasien sangat tergantung pada fungsi motor
secara keseluruhan, baik dalam fungsi motorik kasar dan motorik halus.
Setelah dewasa kemampuan bekerja pasien sangat bergantung pada
kemampuan motorik, kemampuan kognitif, kemampuan komunikasi, dan
kemampuan tangan.15

22
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : IKPA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 6 tahun 6 bulan
Tanggal Lahir : 22 Maret 2011
Alamat : Br. Beluhu Suter, Kintamani, Bangli
No. CM : 17026585
Tanggal Pemeriksaan : 12 September 2017

3.2 Anamnesis (Heteroanamnesis Orang Tua Pasien)


Keluhan Utama:
Belum bisa berjalan normal

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke Poli Anak RSUP Sanglah rujukan dari dokter
spesialis anak dengan diagnosis cerebral palsy. Ibu pasien mengeluhkan
pasien belum bisa berjalan dengan normal. Keluhan ini sudah dialami sejak
5 tahun yang lalu, dimana awalnya pasien belum bisa berdiri dengan tegak
hingga usia 3 tahun. Lalu pasien mulai bisa berjalan, namun hingga kini
jalannya masih tidak bisa normal dan sering terjatuh. Setelah itu
perkembangan motorik pasien terganggu dan pasien kesulitan dalam
berjalan. Pasien harus berpegangan apabila berjalan dalam waktu yang
lama. Dibandingkan dengan anak seusianya, pasien tampak sangat lambat
dalam belajar berjalan maupun aktivitas lainnya yang menggunakan
kekuatan kaki. Sementara itu, ibu pasien mengatakan bahwa kekuatan
tangan pasien tidak terlalu terganggu.
Selain keterlambatan dalam berjalan, pasien juga dikeluhkan tidak
mampu mempertahankan posisi tubuh untuk berdiri tegak dalam waktu
yang lama. Pasien hanya mampu berdiri selama maksimal sepuluh menit

23
lalu harus mencari sesuatu untuk berpegangan. Postur tubuh pasien saat
berjalan juga tidak seperti anak pada umumnya.
Selain itu, ibu pasien juga mengeluhkan kemampuan belajar pasien
yang lambat dibandingkan teman-temannya. Pasien saat ini sudah TK nol
besar, namun gurunya mengeluhkan kemampuan belajarnya masih kurang
dibanding yang lain. Pasien masih tidak lancar dalam menulis, menggambar
dan berhitung. Saat diminta untuk menulis angka, tulisan yang dihasilkan
tidak berbentuk.
Saat ini pasien juga dikeluhkan mengalami gangguan di matanya,
dimana matanya bergerak-gerak halus tanpa disadari oleh pasien. Keluhan
ini juga sudah dirasakan oleh pasien sejak lima tahun yang lalu. Sempat
diperiksakan ke dokter namun keluhan tetap tidak membaik. Mata pasien
dikatakan sering bergerak ke kanan kiri tidak disaradi pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan:


Berdasarkan pengakuan ibu pasien, selama kehamilan ibu pasien rutin
melakukan ante natal care di bidan dan dokter spesialis kandungan. Ibu
pasien melahirkan normal pervaginam, cukup bulan, tidak terdapat ketuban
pecah dini, serta denyut jantung janin sebelum melahirkan dikatakan normal
(tidak ada gawat janin). Selama kehamilan dikatakan ibu pasien tidak pernah
sakit atau mengalami infeksi.
Ketika pasien berusia delapan bulan, pasien sempat diperiksakan ke
RSUD K dengan keluhan berkurangnya gerakan pada pasien. Dikatakan
pasien yang sebelumnya gerakannya aktif, terlihat lebih lemas dan lebih
sering diam. Pasien juga dikeluhkan matanya bergerak-gerak sendiri tanpa
disadari pasien. Di dokter, pasien diberikan multivitamin otak (DHA).
Setelah itu pasien dikatakan kondisinya tidak membaik, sehingga
keluarga membawa pasien ke dokter spesialis, lalu diberikan pengobatan
multivitamin DHA, Vitamin Ferlin sirup, dan Becombion, serta menjalani
terapi yang dikatakan untuk perkembangan pasien. Pasien menjalani terapi
dan minum obat hingga usia 3 tahun. Namun setelah itu tidak dilanjutkan oleh
pasien lagi karena alasan biaya.

24
Setelah itu pasien lama tidak diajak berobat karena alasan ekonomi
hingga usia enam tahun. Lalu pasien kembali dibawa ke RSUP S untuk
memeriksakan pertumbuhan dan perkembangan pasien.
Ibu pasien juga menyampaikan, bahwa pasien susah menelan
makanan seperti bubur hingga usia dua tahun. Hal ini membuat pasien hanya
mengkonsumsi ASI sampai usia tersebut sehingga nutrisi yang didapat tidak
terlalu maksimal.
Pada usia 1 minggu pasien juga dikatakan pernah mengalami sakit
kuning. Sakit kuning dialami di seluruh tubuh dan mata pasien, namun tidak
diperiksakan ke dokter oleh keluarga pasien. Hingga pasien berusia 1 bulan
kuning tersebut hilang sendiri tanpa menggunakan terapi.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:


Dari keluarga pasien, tidak ada anggota keluarga baik dari garis
keturunan ibu ataupun ayah yang memiliki keluhan serupa seperti pasien saat
ini. Saudara pasien saat ini dalam kondisi sehat dan tidak memiliki keluhan
keterlambatan dalam perkembangan berjalan dan berbicara.

Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan:
Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pasien,
laki-laki usianya sembilan tahun lebih tua dibandingkan pasien. Sementara
adik pasien, perempuan usianya tiga tahun lebih muda dibandingkan pasien.
Kedua kakak dan adik pasien dikatakan memiliki kondisi yang sehat. Ayah
pasien merupakan seorang petani dan ibu pasien merupakan seorang petani.

Riwayat Alergi:
Pasien dikatakan tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun
obat- obatan apapun.

Riwayat Imunisasi:
BCG : 1 kali
Polio : 4 kali

25
Hepatitis B : 3 kali
DPT : 3 kali
Campak : 1 kali

Riwayat Persalinan:
Pasien lahir secara pervaginam, dibantu bidan, berat badan lahir 3500
gram, panjang badan dan lingkar kepala dikatakan lupa. Pasien lahir segerea
menangis dan tidak didapatkan adanya kelainan kongenital.

Riwayat Nutrisi:
ASI : eksklusif, dan dilanjutkan hingga usia 2 tahun
Susu Formula :-
Bubur Susu : sejak usia 2 tahun, frequensi 2-3 kali sehari
Nasi Tim :-
Makanan Dewasa : sejak usia 4 tahun, frekuensi 3 kali sehari

Riwayat Tumbuh Kembang:


Menegakkan kepala : 12 bulan
Membalikkan badan : 18 bulan
Duduk : 24 bulan
Merangkak : 26 bulan
Berdiri : 36 bulan
Berjalan : 36 bulan
Berbicara
(dengan dimengerti) : 24 bulan
Kesan : mengalami keterlambatan

Riwayat Operasi : tidak ada

Riwayat Transfusi : tidak ada

26
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Nadi : 100 kali/menit, reguler, isi cukup
Laju Respirasi : 28 kali/menit, tipe thoracoabdominal
Suhu Axilla : 36,5 C

Status Antropometri
Berat Badan : 16 kg
Tinggi Badan : 104 cm
Berat Badan Ideal : 18 kg
Status Gizi (Waterlow) : 88% (gizi kurang)
BB/U : <P 5 (severely enderweight)
TB/U : <P 5 (severely stunted)
BB/TB : P 25 (normal)

Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor
THT : Telinga : bentuk normal, sekret (-)
Hidung : bentuk normal, sekret (-),
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax :
Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo :Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dada
simetris saat statis dan dinamis, retraksi
(-)

27
Palpasi : gerakan dada simetris
Abdomen : Inspeksi : distensi (-)
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT<2 detik

Status Neurologis
Nervus Cranialis : normal
Rangsang meningeal : negatif
Refleks Fisiologis : ++ ++
++ ++

Refleks Patologis
Refleks Babinski : positif
Tenaga 555 555
444 444

Tonus Normal Normal


Spastik Spastik

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap (26 Oktober 2016)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 9.03 103/uL 5,0-13,0
Neutrofil 35.65 % 32-52
Limfosit 40.84 % 30-60
Monosit 6.65 % 2-8
Eosinofil 2.31 % 0-4
Basofil 0.54 % 0-1
RBC 4.90 106/uL 4,00-5,30
HGB 13.03 g/dL 12,0-16,0
HCT 39.76 % 35,0-45,0

28
MCV 81.11 fL 75,0-91,0
MCH 26.58 Pg 25,0-33,0
MCHC 32.77 33,2 31,0-37,0
PLT 255.96 103/uL 150-400

Pemeriksaan Fungsi Tiroid (5 Juli 2017)


Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Free T4 1.47 ng/dL 0.93-1.7 Normal
TSH 2.61 IU/mL 0.27-4.2 Normal

MSCT Scan Kepala (30 Juni 2017)


Tak tampak lesi hipodens atau hiperdens abnormal pada brain parenkim
yang pada pemberian kontras tak tampak absnormal kontras, enhancement.
Sulcy dan Gyri normal
Sistem ventrikel dan cysterna normal
Tak tampak deviasi midline struktur
Tak tampak kalsifikasi abnormal
Pons dan cerebellum tak tampak kelainan
Orbita dan mastoid kanan kiri tak tampak kelainan
Sinus maksilaris, frontalis, etmoidalid, dan spenoidalis kanan kiri tak
tampak kelainan
Calvaria dan basis canii tak tampak kelainan
SCALP tak tampak kelainan
Kesan:
CT Scan kepala tak tampak kelainan

MRI Kepala (17 Juli 2017)


Tampak hiperintensitas T2W dan flair pada deep white matter di
periventrikel lateralis kanan kiri.
Pada DWI terlihat adanya retriksi difusi pada area yang hiperintens tersebut
Sulcy dan gyri tampak baik
sistem ventrikel dan cisterna tampak baik

29
Tak tampak deviasi midline struktur.
Midbrain, dan cerebellum tampak baik.
Mastoid, orbita, kanan kiri tampak baik.
Tampak penebalan mukosa sinus paranasal kanan kiri
Kesan
Sangat mengesankan gangguan myelinisasi dari deep white matter di
periventrikel lateralis kanan kiri.
Sinusitis maksilaris kronis kanan kiri

3.5. Diagnosis Kerja


Cerebral palsy Derajat Sedang karena gangguan myelinisasi dan deep white
matter dari periventrikel lateral kanan kiri

3.6. Penatalaksanaan
Terapi:
- Neurovitamin
- Vitamin B kompleks
- Fisioterapi
KIE:
- Memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang kondisi yang
dialami pasien dan penatalaksanaan yang diberikan.
- Memberikan asupan nutrisi yang cukup dan edukasi tentang higienitas
pasien.
- Melatih kemampuan motorik dan kognitif pasien di rumah.
- Kontrol rutin dan minum obat teratur.

30
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis dari Cerebral Palsy ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, perlu digali dengan
lengkap mengenai riwayat kehamilan, perinatal, pascanatal serta memperhatikan
faktor resiko terjadinya cerebral palsy. Selain itu pemeriksaan fisik dengan
memperhatikan perkembangan motorik juga harus dilakukan. Berdasarkan definisi,
Cerebral Palsy bukanlah merupakan suatu diagnosis tunggal melainkan suatu
sekelompok gangguan perkembangan gerakan dan postur yang menyebabkan
keterbatasan aktivitas yang dikaitkan dengan gangguan non-progresif yang terjadi
di otak janin atau bayi. Gangguan motorik cerebral palsy sering disertai dengan
gangguan sensasi, kognisi, komunikasi, persepsi dan atau perilaku dan atau
gangguan kejang.
Pada kasus ini, pasien inisial IKPA berjenis kelamin laki-laki umur 6 tahun
3 bulan, datang ke poliklinik anak RSUP Sanglah dengan keluhan utama belum bisa
berjalan normal, belum bisa berlari dan hanya bisa berbicara satu kalimat saja.
Dilihat dari usia pasien yaitu 6 tahun dimana seharusnya pasien sudah bisa
melakukan semua hal tersebut, disimpulkan pasien mengalami keterlambatan
dalam beberapa sektor perkembangan yaitu bahasa dan gerakan motorik kasar. Hal
ini sesuai dengan diagnosis Cerebral Palsy yaitu adanya gangguan motorik dan
bahasa yang dapat muncul pada pasien dengan Cerebral Palsy.
Dilihat dari onset dan kronologi, Cerebral Palsy merupakan suatu penyakit kronik
dan tidak progresif, hal ini dapat ditunjukkan di kasus dimana orang tua pasien
mengaku anaknya mengalami keterlambatan baik dari pertumbuhan dan
perkembangan dari usia 6 bulan sampai sekarang.
Orang tua pasien juga mengaku bahwa pasien mengalami kaki yang lemah
dan sering jatuh saat berjalan serta fungsi tangan yang kurang terampil yang
merupakan salah satu gambaran Cerebral Palsy tipe Spastik Diplegi yaitu mengenai
keempat anggota gerak dimana kondisi anggota gerak bawah lebih berat.
Selain itu, berdasarkan anamnesis, diketahui bahwa pasien sempat
menderita sakit kuning pada saat berusia 1 minggu dan hal ini berlangsung selama

31
1 bulan tanpa disertai pengobatan yang adekuat. Berdasarkan teori yang ada,
etiologi ataupun faktor resiko dari Cerebral Palsy adalah adanya riwayat kuning
atau ikterus pada masa neonates. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan
otak yang permanen akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal.
Dari pemeriksaan fisik status neurologi, ditemukan adanya refleks patologis
positif, yaitu refleks Babinski yang menunjukkan adanya lesi pada upper motor
neuron yang menghasilkan defisit neurologis system motorik. Selain itu juga
ditemukan adanya gangguan penglihatan berupa nistagmus pada kedua mata
pasien.
Pada pemeriksaan penunjang, yaitu MRI kepala, ditemukan kesan gangguan
myelinisasi dari deep white matter yang menunjukkan adanya gangguan
prematuritas ataupun ketidakmatangan pembuluh darah otak yang menyebabkan
kecenderungan hipoperfusi ke whit matter area. Dimana bagian ini merupakan
daerah-daerah yang membawa serat neuron yang bertanggung jawab atas control
motor dan tonus otot kaki dan dapat bermanifestasi menjadi kelainan berupa
diplegia spastik yaitu kelenturan dominan dan kelemahan kaki, dengan atau tanpa
keterlibatan lengan tingkat yang lebih rendah.

32
BAB V
PENUTUP

Cerebral Palsy (CP) atau Palsi Serebral merupakan penyebab utama


disabilitas anak, dan dijelaskan sebagai suatu kelompok penyakit yang
menetap/permanen pada perkembangan gerakan dan postural dan menyebabkan
keterbatasan aktivitas fisik, yang disebabkan karena gangguan non-progresif pada
perkembangan otak fetus atau anak.1,2
CP merupakan suatu kondisi yang tidak jarang dijumpai di klinik. Kondisi
ini meliputi banyak spektrum klinis yang berbeda. CP disebabkan oleh banyak
penyebab dan faktor risiko. Sangatlah penting untuk mengetahui interaksi dari
berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan CP. Manifestasi klinis pada
penderita CP tidak hanya tampak pada kelainan motorik. Seringkali pasien dengan
CP juga mengalami kelainan pada sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, perilaku,
epilepsi, dan kelainan muskuloskeletal sekunder.
CP sering dikaitkan dengan banyak defisit seperti keterbelakangan mental,
gangguan bicara, bahasa, dan oromotor. Hal ini perlu mendapat perhatian sebagai
bagian dari pemeriksaan awal. Penilaian menyeluruh terhadap perkembangan saraf
anak dengan CP harus mencakup evaluasi terkait defisit sehingga program
intervensi dini yang komprehensif dapat direncanakan dan dilaksanakan.
Pemerikaan penunjang dengan teknik pencitraan radiologi juga dapat membantu
pemeriksa untuk mengetahui adanya kelainan otak yang mendasari.3,4
Pada laporan kasus ini disampaikan pasien laki-laki berusia enam tahun
dengan keluhan utama belum bisa berjalan normal. Pasien Ibu pasien mengeluhkan
pasien belum bisa berjalan dengan normal dan sering terjatuh. Keluhan ini sudah
dialami sejak 5 tahun yang lalu. Selain itu pasien juga dikeluhkan tidak mampu
mempertahankan posisi tubuh untuk berdiri tegak dalam waktu yang lama. Postur
tubuh pasien saat berjalan juga tidak seperti anak pada umumnya. Selain itu
kemampuan belajar pasien yang lambat dibandingkan teman-temannya.
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit pasien, pasien memiliki
keterlambatan atau kelemahan di bidang motoriknya. Selain itu pasien juga
kesulitan menelan, yang membuat pasien hanya minum ASI hingga usia 2 tahun.

33
Hambatan di bidang ekonomi membuat keluarga pasien tidak mencarikan
pengobatan yang maksimal bagi pasien.
Pada kondisi sekarang, didapatkan status present pasien dalam batas normal,
status antropometri didapatkan gizi kurang, status generalis dalam batas normal,
dan status neurologis didapatkan penurunan tenaga di ekstrimitas bawah dan tonus
pada ekstremitas bawah didapatkan spastik. Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan gangguan mielinisasi di bagian otak.
Pasien didiagnosis dengan Cerebral palsy karena gangguan myelinisasi dan
deep white matter dari periventrikel lateral kanan kiri. Dengan diberikan
penatalaksanaan terapi berupa neurovitamin, vitamin B kompleks dan fisioterapi.
Pada keluarga pasien juga diberikan KIE berupa penjelasan tentang penyakit yang
dialami pasien dan penatalaksanaan yang diberikan.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosenbaum P, Paneth N, Leviton A, et al. A Report: The Definition and


Classification of Cerebral Palsy. Dev Med Child Neurol Suppl: 2007; 109:8-14.
2. Rethlefsen SA, Ryan DD, Kay RM. Classification Systems in Cerebral Palsy.
Orthop Clin N Am: 2010; 41: 457-467.
3. Pervin R, Ahmed S, Yasmeen BHN, et al. Cerebral Palsy an Update. Northern
International Medical College Journal: 2013; 5(1):293-296.
4. Novak I, Hines M, Goldsmith S, et al. Clinical Prognostic Messages From a
Systematic Review on Cerebral Palsy. Pediatrics: 2012; 130(5):1285-1312.
5. SpittleAJ, Orton J. Cerebral Palsy and Developmental Coordination Disorder in
Children Born Preterm. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine: 2014; 19:84-
89.
6. Novak I. Evidence-Based Diagnosis, Health Care, and Rehabilitation for
Children With Cerebral Palsy. Journal of Child Neurology: 2014; 29: 1141-
1156.
7. MacLennan AH. Cerebral palsy: Causes, Pathways, and the Role Of Genetic
Variants. American Journal of Obstetrics & Gynecology: 2015; 213(6):779-
788.
8. Miller, F. 2005. Cerebral Palsy. Available from: http://www.springer.com/978-
0-387-20437-6 [Accessed 13 September 2017].
9. Paulson A and Vargus JA. Overview of Four Functional Classification Systems
Commonly Used in Cerebral Palsy. Children: 2017; 4(30)
10. Levine MS. Cerebral Palsy Diagnosis in Children over Age 1 Year: Standard
Criteria. Arch Phys Med Rehabil: 1980; 61(9):385-389.
11. Hasan R. 2010. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.
12. Deon LL and Gaebler-Spira D. Assessment and Treatment of Movement
Disorders in Children with Cerebral Palsy. Orthopedic Clinics of North
America: 2010; 41(4):507-517.
13. Papavasiliou AS. Management of Motor Problems in Cerebral Palsy: A Critical
Update for The Clinician. European Journal of Paediatric Neurology:
2009; 13(5):387-396.
14. Aisen ML, Kerkovich D, Mast J, et al. Cerebral Palsy: Clinical Care and
Neurological Rehabilitation. The Lancet Neurology: 2011; 10(9):844-852.
15. OShea TM. Diagnosis, Treatment, and Prevention Of Cerebral Palsy In Near-
Term/Term Infants. Clinical obstetrics and gynecology: 2008; 51(4):816.

Anda mungkin juga menyukai