Anda di halaman 1dari 26

PENDAHULUAN

Sindrom epilepsi adalah salah satu bentuk klasifikasi epilepsi, berupa sekumpulan tanda dan gejala yang muncul bersamaan dalam suatu serangan epilepsi. Klasifikasi sindrom epilepsi ini diterbitkan oleh International League of Epilepsy (ILAE) pada tahun 1989, yang disusun berdasarkan usia/onset saat terjadi kejang, tipe kejang, status neurologis, faktor pencetus, gejala dan tanda fisik maupun mental, riwayat keluarga, gambaran EEG dan prognosis serta respon terhadap pengobatan1. Insiden sindrom epilepsi belum diketahui secara pasti. Selama dua dekade terakhir berbagai sindrom epilepsi baru pada anak telah ditemukan, salah satunya adalah Panayiotopoulos Syndrome (PS).1 International League Against Epilepsy telah memasukkan PS ini dalam kelompok epilepsi idiopatik baru pada anak, yang secara umum jinak, namun gejalanya dapat menyerupai penyakit lain.2 Panayiotopoulos Syndrome dapat didefinisikan sebagai kejang pada anak yang idiopatik, dengan gambaran elektroensephalografi adanya spike pada oksipital atau ekstra oksipital, dan dengan manifestasi utama berupa kejang otonom. Insiden PS sekitar 13% pada anak-anak yang berusia 3-6 tahun yang mengalami satu atau lebih kejang tanpa demam (dengan usia puncak 4-5 tahun), dan 6% dari pada kelompok usia 1-15 tahun dengan keluhan yang sama.3,4 Kejang otonom merupakan ciri khas dari Panayiotopoulos syndrome.5 Gejala dan tanda-tanda otonom (terutama muntah) dapat terjadi sejak onset serangan pada 80% kejang yang terjadi. Dua pertiga dari kejang terjadi selama tidur malam hari atau saat tidur siang. Saat tidur, anak terbangun dengan keluhan sakit kepala, muntah, bingung, atau tidak responsif. Muntah terjadi pada tiga perempat dari kejang.5 Pemahaman terhadap sindrom ini penting bagi klinisi yang merawat pasien dengan epilepsi, hal ini dikarekan gejala pada sindroma ini dapat mirip sekali dengan penyakit nonepilepsi, dengan tingkat keparahan yang bervariasi dari gejala yang ringan sampai yang dapat mengancam kehidupan. Dengan gejala otonom yang ringan sehingga sering tidak diperhitungkan disertai kesadaran yang baik, dapat membuat PS didiagnosis sebagai migrain 1

atipikal, gastroenteritis atau sinkop. Sementara, bila keluhannya berat banyak di salah tatalaksana sebagai ensefalitis.3-5 Tujuan dari presentasi kasus ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada kita mengenai salah satu sindroma epilepsi yang jarang dijumpai sehingga dapat segera mengenali, mendiagnosis dan mentatalaksana dengan tepat.

KASUS
IDENTIFIKASI Seorang anak laki-laki, usia 5 tahun, berat badan 14 kg, tinggi badan 98 cm, beralamat di Kompleks Perkebunan Melania Desa Mainan Kecamatan Sembawa Kabupaten Banyuasin, dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH pada tanggal 22 Februari 2013. ANAMNESIS Keluhan utama Keluhan tambahan : muntah : sakit kepala

Riwayat perjalanan penyakit : Satu hari sebelum masuk rumah sakit, penderita tiba-tiba mengeluh mual dan langsung muntah, menyemprot, sebanyak 7 kali, isi apa yang dimakan dan diminum, banyaknya sekitar @ gelas belimbing, pucat tidak ada, sianosis tidak ada, sakit perut sebelum muntah tidak ada, demam tidak ada, batuk/pilek tidak ada, BAB cair tidak ada, kejang tidak ada, penderita mengeluhkan nyeri kepala, nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk, nyeri kepala seperti berputar tidak ada, nyeri kepala sebelah tidak ada, pandangan kabur tidak ada, menurut ibunya setelah muntah anak tampak lemas dan biasanya tertidur, penderita lalu dibawa ke IGD RSMH dan dirawat inap.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat kejang sebelumnya disangkal 4 tahun yang lalu penderita pernah mengalami benturan di kepala setelah jatuh dari kendaran bermotor, pingsan tidak ada, muntah menyemprot ada, sakit kepala ada, penderita sempat dirawat di RSMH lalu pulang kontrol, sejak itu penderita sering mengeluh sakit kepala, dan sudah 3 kali di rawat di RS dengan keluhan sakit kepala. Riwayat sering terbangun pada malam hari dan mengeluhkan sakit kepala dan muntah. Riwayat makan tidak teratur disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga : Riwayat kejang dalam keluarga disangkal. 3

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

Riwayat Kelahiran : Lahir tolong oleh bidan, cukup bulan, spontan, lahir langsung menangis, berat lahir 3100 gram.

Riwayat kehamilan ibu : Sehat, riwayat makan obat-obatan atau jamu-jamuan selama hamil disangkal

Riwayat Imunisasi : BCG (+) Scar (+), DPT 3X, Polio 4X, Hepatitis B 3X, Campak (+) Kesan: imunisasi dasar lengkap, imunisasi tambahan tidak ada, booster tidak ada.

Riwayat makanan : ASI sejak lahir sampai 2 tahun, Susu formula 6 bulan sampai 2 tahun, Bubur susu sejak 6 bulan sampai 9 bulan, Nasi tim sejak 8 bulan sampai 1 tahun, Nasi biasa sejak 1 tahun sampai sekarang.

Riwayat perkembangan : Penderita bisa tengkurap pada usia 3 bulan, merangkak usia 6 bulan, duduk usia 7 bulan, berdiri usia 10 bulan, berjalan usia 12 bulan. Penderita mulain menyebut kata-kata saat beusia 1,5 tahun bisa berbicara pada usia 3 tahun. Penderita bisa bermain, bergaul dan berkomunikasi dengan baik dengan lingkungannya. Kesan: pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal

Riwayat keluarga : Penderita anak keempat dari 4 bersaudara dengan sosial ekonomi sedang.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum :

Kesadaran kompos mentis, frekwensi nadi 110 x/menit (isi dan tegangan cukup), suhu 37,9
o

C, frekwensi pernapasan 24 x/menit, berat badan 14 kg, panjang badan 98 cm, status gizi :

BB/U 77,7 %, TB/U 89,9 %, BB/TB 93,3 %. Status Gizi : Gizi baik. Keadaan spesifik : Kepala : Mata : pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+, Hidung : nafas cuping hidung (-). Mata cekung (+) Leher Toraks : Pembesaran kelenjar getah bening (-). JVP tidak meningkat. : Simetris, retraksi (-) Paru : Vesikuler (+) meningkat, ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung : Bunyi jatung I dan II tunggal, bising (-) Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal. Hepar dan lien tak teraba, cubitan kulit perut kembali lambat (-) Ektremitas : sianosis (-) Status Neurologis : Fungsi Motorik Gerakan Kekuatan Tonus Klonus Refleks fisiologis Rfeleks patologis Tungkai Kanan Luas 5 Eutoni + Normal Kiri Luas 5 Eutoni + Normal + Normal + Normal Lengan Kanan Luas 5 Kiri Luas 5

Gejala rangsang meningeal Status sensorik Nn. Craniales

: tidak ada : dalam batas normal : dalam batas normal

RINGKASAN DATA DASAR : Seorang anak laki-laki, usia 5 tahun, berat badan 14 kg, tinggi badan 98 cm, beralamat di Kompleks Perkebunan Melania Desa Mainan Kecamatan Sembawa Kabupaten Banyuasin. 5

Dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH pada tanggal 22 Februari 2013, dengan keluhan utama muntah dan keluhan tambahan sakit kepala. Dari anamnesa didapatkan satu hari sebelum masuk rumah sakit, penderita muntah, menyemprot sebanyak lebih dari 7 kali, isi apa yang dimakan dan diminum, banyaknya sekitar @ gelas belimbing, pucat tidak ada, sianosis tidak ada, sakit perut sebelum muntah tidak ada, demam tidak ada, batuk/pilek tidak ada, BAB cair tidak ada, kejang tidak ada, penderita mengeluhkan nyeri kepala, nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk, nyeri kepala seperti berputar tidak ada, nyeri kepala sebelah tidak ada, pandangan kabur tidak ada, menurut ibunya setelah muntah anak tampak lemas dan biasanya tertidur, penderita lalu dibawa ke IGD RSMH dan dirawat inap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, frekwensi nadi 110 x/menit isi dan tegangan cukup, suhu 37,9 oC, frekwensi pernapasan 36 x/menit, berat badan 14 kg, panjang badan 98 cm, status gizi baik. Pada kepala pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+, nafas cuping hidung (-), mata cekung (+). Pada leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Toraks simetris, retraksi (-), paru vesikuler (+) normal, ronki (-/-), wheezing (-). Bunyi jatung I dan II tunggal, bising (-). Abdomen datar, lemas, bising usus (+) normal, hepar dan lien tak teraba, cubitan kulit perut kembali lambat (-). Pada ektremitas sianosis (-), dan status neurologis dalam batas normal.

ANALISA AWAL Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan utama muntah dan keluhan tambahan sakit kepala. Muntah baru dialami penderita satu hari SMRS, menyemprot, isi apa yang dimakan dan diminum. Muntah pada pasien ini dapat disebabkan oleh gangguan pada saluran cerna dan gangguan pada intra kranial. Pada pasien ini tidak didapatkan riwayat sering mual atau muntah sebelumnya, juga tidak disertai nyeri perut sebelumnya. Selain itu, muntah pada penderita ini bersifat menyemprot, dan tidak didahului rasa mual sebelumnya, sehingga lebih dicurigai kearah gangguan di intrakranial. Keluhan sakit kepala pada penderita ini sudah berlangsung sejak 4 tahun sebelum dirawat, atau setelah truma kepala yang dialami penderita. Bila keluhan timbul, kepala terasa 6

seperti ditusuk-tusuk. Sakit kepala pada pasien ini dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain, infeksi pada sinus atau telinga, kerusakan pada gigi, adanya gangguan vaskuler kepala dan servikal, sakit kepala yang berhubungan dengan trauma kepala, atau gangguan psikiatri. Pada pasien ini tidak didapatkan adanya demam atau nyeri pada telinga, gigi, sehingga penyebab sakit kepala karena suatu proses infeksi atau gangguan di THT dan gigi dapat disingkirkan. Sedangkan dengan adanya riwayat trauma 4 tahun lalu, dan keluhan sakit kepala yang timbul sejak trauma tersebut, sehingga kecurigaan penyebab sakit kepala disebabkan adanya penyebab organik seperti SOL, belum dapat disingkirkan.

MASALAH AWAL : 1. Cephalgia 2. Muntah profuse dengan dehidrasi ringan sedang

RENCANA AWAL M1 : Cephalgia ec. Susp. SOL R/d : CT Scan Kepala R/t : Paracetamol 3x 180mg R/p : Menjelaskan kepada orang tua mengenai penyakit anaknya

M2 : Muntah profuse dengan dehidrasi ringan sedang R/d : R/t : IVFD NaCl 75cc/kgBB/4 jam gtt 15 makro Setelah terehidrasi dilanjutkan dengan KaEN 3A gtt 10 makro R/p : Menjelaskan kepada orang tua mengenai penyakit anaknya

FOLLOW UP

TANGGAL 23-2-2013 S O

CATATAN PERAWATAN Muntah menyemprot >6x/24jam, sakit kepala. KU; Sens: CM, TD: 100/60 mmHg, N:115 x/m (i/t cukup), RR:32 x/m, T: 36,5 C KS : Kepala : Mata : pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+, Hidung : nafas cuping hidung (-). Toraks : Simetris, retraksi (-) Paru : Vesikuler (+) meningkat, ronki (-/-), wheezing (-/-) Jantung : Bunyi jatung I dan II tunggal, bising (-) Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal. Hepar dan lien tak teraba Ektremitas : sianosis (-) Hasil Laboratorium Hb: 12,4 gr/dL, Ht:35 vol%, Leukosit: 16200, Trombosit:359.000, LED: 20, DC: 0/0/3/85/10/2 BSS:63 Natrium: 144 Kalium:5 Urin rutin; Reduksi: protein (-), urobilinogen (-), keton (+), epitel (+), Leukosit: 0-3/LPB, Eritrosit: 0-1/LPB, bakteri (-), jamur (-) Hasil konsul mata FODS: tidak ada papil edema Hasil CT Scan kepala Kesan: edema serebri Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan penderita masih mengalami muntah namun setelah dilakukan rehidrasi tidak didapatkan lagi tanda-tanda dehidrasi, sehingga M3 saat ini menjadi Muntah profuse tanpa dehidrasi. Dari hasil pemeriksaan CT-Scan ternyata tidak didapatkan kesan adanya SOL dan hanya didapatkan edema serebri, untuk itu difikirkan penyebab lain dari sakit kepala. Dari anamnesa ulang diketahui bahwa penderita sering sakit kepala dan muntah, dan sering terbangun pada malam hari karena sakit kepala dan muntah, dan hal ini sering dialami penderita sejak 1 tahun terakhir, kemungkinan adanya suatu epilepsi dengan bentuk spesifik perlu difikirkan, M2 Sefalgia ec susp. Epilepsi. Untuk menegakkan adanya suatu epilepsi bentuk spesifik maka perlu dilakukan pemeriksaan EEG. Hasil CT-Scan adanya edema serebri M4 IVFD Kaen 3A gtt 12 makro Ondansetron 3x1,5 mg Paracetamol 3x1,5 cth Ranitidin 2x15mg 8

Dexametason 3x3mg Rencana EEG (tanggal 24-2-2013) 25-2-2013 S O Sakit kepala, muntah (-). KU; Sens: CM, TD: 100/70 mmHg, N:102 x/m (i/t cukup), RR:30 x/m, T: 36,2 C KS : Kepala : Mata : pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+, Hidung : nafas cuping hidung (-). Toraks : Simetris, retraksi (-) Paru : Vesikuler (+) meningkat, ronki (-/-), wheezing (-/-) Jantung : Bunyi jatung I dan II tunggal, bising (-) Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal. Hepar dan lien tak teraba Ektremitas : sianosis (-) Keluhan muntah tidak ada, M3 selesai. Menunggu hasil EEG, kondisi pasien secara umum mengalami perbaikan. IVFD Kaen 3A gtt 12 makro Paracetamol 3x1,5 cth Ranitidin 2x15mg Dexametason 3x3mg Rencana EEG Sakit kepala, muntah (-). KU; Sens: CM, TD: 100/60 mmHg, N:98 x/m (i/t cukup), RR:26 x/m, T: 36,2 C KS : Kepala : Mata : pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+, Hidung : nafas cuping hidung (-). Toraks : Simetris, retraksi (-) Paru : Vesikuler (+) meningkat, ronki (-/-), wheezing (-/-) Jantung : Bunyi jatung I dan II tunggal, bising (-) Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal. Hepar dan lien tak teraba Ektremitas : Sianosis (-)
Hasil EEG: gelombang irama dasar 8-9 bercampur 3-4, voltase sedang-tinggi, tampak gelombang spike di parietooksipital dekstra dan sinistra entral. Kesan : Abnormal EEG

26-2-2013

S O

Adanya keluhan sakit kepala yang disertai muntah menunjukkan adanya gejala otonom yang turut berperan. Selain itu, terjadi pada usia anak usia 5 tahun dan gambaran EEG yang menunjukkan adanya suatu epilepsi yang berhubungan dengan lokasi (spike pada oksipital), mendukung kearah sindroma epilepsi idiopatik pada anak, dengan usia 5 tahun early onset dapat ditegakkan Panayiotopoulos syndrome. 9

IVFD Kaen 3A gtt 12 makro Paracetamol 3x1,5 cth Dexametason 3x3mg Carbamazepin3x15mg Sakit kepala (-), muntah (-). KU; Sens: CM, TD: 100/70 mmHg, N:98 x/m (i/t cukup), RR:26 x/m, T: 36,2 C KS : Kepala : Mata : pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+, Hidung : nafas cuping hidung (-). Toraks : Simetris, retraksi (-) Paru : Vesikuler (+) meningkat, ronki (-/-), wheezing (-/-) Jantung : Bunyi jatung I dan II tunggal, bising (-) Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal. Hepar dan lien tak teraba, Ektremitas : Sianosis (-) Perbaikan Paracetamol 3x1,5 cth Carbamazepin3x15mg Pasien direncanakan pulang

27-2-2013

S O

A P

10

TINJAUAN PUSTAKA

BATASAN Panayiotopolous syndrome (PS) adalah gangguan kejang masa kanak-kanak yang bersifat fokal, disertai gangguan otonom. Pada anak yg mengalaminya fisik dan neuropsikologi akan terlihat normal. Tanda utamanya adalah adanya manifestasi otonom. Semua fungsi dari sistem otonom mungkin akan terpengaruh selama episode serangan. Hampir setengah dari kejang ini berlangsung antara 30 menit dan 7 jam, sehingga dapat terjadi status epileptikus otonom.5

DEMOGRAFI Usia saat onset adalah 1-14 tahun dengan puncak pada 4-5 tahun, dalam 76% kasus, onset terjadi pada 3-6 tahun.5 Anak laki-laki dan perempuan sama-sama affected.4Children dari semua ras yang rentan. Prevalensi adalah sekitar 13% pada anak-anak berusia 3-6 tahun dengan satu atau lebih kejang non-demam dan 6% pada kelompok usia 1-15 tahun. Dalam populasi umum, 2-3/1000 anak mungkin akan terpengaruh. Angka-angka ini mungkin lebih tinggi jika kasus-kasus yang saat ini dianggap memiliki fitur atipikal disertakan.

MANIFESTASI KLINIS Kejang ditandai dengan peningkatan gejala otonom yang tidak biasa, terutama muntah, gejala perubahan perilaku, deviasi mata ke satu arah dan manifestasi lainnya. Pasien masih sadar dan dapat berbicara pada onset serangan dan biasanya diawali dengan gejala muntah (72%). Dalam kondisi biasa, anak dapat mengatakan Saya merasa sakit", terlihat pucat dan muntah.6 Gejala Otonom Gejala otonom utama pada PS adalah adanya ictus emeticus. Biasanya, mual adalah keluhan pertama anak yang mengalami kejang ini (baik saat sadar atau saat terbangun dari tidur) sebelum timbul muntah dan keluhan lain. Gejala pada tahap awal ini belum khas, masih dapat disangka penyakit lain yang sama-sama menimbulkan muntah. Intensitas dan lamanya muntah bervariasi dari ringan sampai parah dan sering berulang. Biasanya, anak muntah 3-5 kali, 11

namun, beberapa anak mungkin berulang kali muntah selama berjam-jam yang menyebabkan terjadi dehidrasi, sementara yang lain mungkin muntah hanya sekali.7 Gejala otonom lain yang dapat terjadi bersamaan atau timbul kemudian, antara lain pucat, flushing atau sianosis, midriasis atau kadang miosis, perubahan kardiorespirasi dan termoregulasi, batuk, inkontinensia urin atau feses, dan `perubahan motilitas usus. Sakit kepala dan lebih sering aura cephalic dapat terjadi terutama saat onset. Gejala otonom lainnya antara lain:7,8 Pucat juga merupakan menifestasi kejang yang paling sering. Biasanya timbul saat onset serangan. Sianosis lebih jarang dibandingkan pucat. Biasanya timbul saat setelah kejang, seing ketika anak mulai tidak respon. Inkontinensia urin dan feses terjadi ketika kesadaran mulai terganggu, sebelum atau tanpa kejang. Gejala ini tidak terjadi pada tahap awal. Pupil midriasis kadang tampak jelas sehingga mudah diketahui, dan refleks cahaya juga menurun. Miosis jarang terjadi, biasanya mucul dalam kondisi berat ketika anak tidak sadar Hipersalivasi, jarang terjadi Cephalic aura, meskipun jarang, tapi menarik. Aura cephalic adalah gejala iktal persepsi sensorik non-spesifik yang melibatkan atau terbatas pada kepala. Gejala ini sulit didefinisikan terkadang karena bingung dapat didiagnostik sebagai migrain. Cephalic aura umumnya terjadi bersamaan dengan gejala otonom lainnya, terutama mual, kejang pada onset. Kadang-kadang, anak mungkin mengeluh "sakit kepala" tapi apakah keluhan "sakit kepala" adalah persepsi yang benar tentang rasa sakit, ketidaknyamanan atau sensasi aneh di kepala masih tidak pasti. Batuk dapat terjadi sebagai gejala iktal awal baik dengan atau tanpa ictus emeticus. Hal ini digambarkan sebagai "batuk seakan hendak muntah". Perubahan termoregulasi. Suhu dapat meningkat, dapat tercatat selama kejang atau segera pasca-kejang. Apakah ini suatu kebetulan saja, demam sebagai faktor pencetus 12

atau kelainan dari kejang masih tidak pasti. Namun, demam yang tercatat segera setelah onset renjatan mungkin merupakan manifestasi otonom iktal. Kelainan Motilitas Usus. Diare (3%) kadang-kadang dilaporkan selama perkembangan kejang. Pernapasan dan denyut jantung ireguler jarang dilaporkan, tetapi mungkin lebih sering terjadi pada serangan bentuk ringan. Perubahan pernapasan sebelum kejang mencakup deskripsi dari "dalam, tidak teratur, napas abnormal" atau "berhentinya nafas selama beberapa detik". Takikardia selalu ditemukan, kadang-kadang di awal dari iktal. Cardiorespiratory arrest jarang terjadi, tapi berpotensi fatal tanpa intervensi medis yang cepat. Gejala kejang konvensional Pada PS, kejang otonom murni dan status epileptikus otonom murni terjadi pada 10% pasien. Pasien tersebut memulai dan mengakhiri episode kejang hanya dengan gejala otonom saja. Sebagian penderita, menunjukkan gejala otonom yang diikuti dengan gejala kejang konvensional. Jenis kejang konvensional sering terjadi dan prevalensinya adalah: Penurunan kesadaran (94%) Deviasi pada mata (60-80%) Hemikonvulsi (26%) Kejang umum (20%) Berhenti bicara (8%) Halusinasi visual (6%) Manifestasi lainnya 3%.

Durasi Kejang dan status epileptikus otonom Hampir setengah (44%) dari kejang berlangsung selama lebih dari 30 menit dan dapat bertahan sampai 7 jam (rata-rata sekitar 2 jam), yang merupakan status epileptikus otonom. Sisa dari kejang (54%) lalu 1-30 menit dengan rata-rata 9 menit. Lamanya kejang kurang lebih 13

sama antara saat tidur dan bangun. Bahkan setelah kejang yang paling parah dan status, pasien normal setelah tidur beberapa jam. Tidak ada riwayat adalah gejala sisa neurologis atau mental. Distribusi Circadian Dua-pertiga dari kejang dimulai saat tidur, anak dapat bangun dengan keluhan yang sama saat masih sadar atau karena keluhan yang lain, dapat ditemukan muntah, bingung atau tidak responsif. Sehingga saat tidur, ia tiba-tiba berdiri dengan kedua mata terbuka, muntah beberapa kali dan kemudian menunjukkan keadaan lemah berkepanjangan dengan sianosis dan pernapasan tidak teratur selama beberapa menit. Faktor pencetus Faktor pencetus terjadinya PS belum jelas. Selain saat tidur, sebagian anak juga timbul serangan saat bepergian dengan mobil, kapal atau pesawat. Hal ini karena anak-anak lebih rentan mabuk karena bepergian juga karena perjalanan dapat mencetuskan motion sickness yang sangat umum pada anak-anak. ETIOLOGI PS mungkin ditentukan secara genetik. Biasanya, tidak ada riwayat keluarga yang memiliki riwayat kejang yang sama. Ada yang berpendapat disebabkan kejang demam (dengan prevalensi sekitar 17%), atau disebabkan faktor persalinan yang tidak normal, namun pendapat tersebut masih perlu evaluasi ulang.9 PS, dan kejang lain dalam kelompok benign childhood focal seizure mungkin disebabkan adanya gangguan fungsional yang ringan dan reversibel dari proses pematangan kortikal. PATOFISIOLOGI Gejala otonom jenis apa pun sering ditemui dalam kejang, baik fokal ataupun umum, baik pada orang dewasa maunpun anak-anak. Namun, kejang otonom dan status otonom yang disertai ictus emeticus dan sinkop iktal, dengan gejala urutan seperti yang dijelaskan diatas, hanya terjadi pada anak-anak. Gambaran klinis ini tidak terjadi pada orang dewasa. Penjelasan untuk ini adalah bahwa anak-anak rentan terhadap gangguan muntah sebagaimana terdapat

14

pada cyclic vomiting syndrome, non-seizure disorder yang etiologinya tidak diketahui yang juga hanya ditemukan pada anak-anak. 10 Penting untuk menentukan gejala pada awal, karena dapat mengindikasikan kemungkinan lokasi fokus epilepsi. Namun, gangguan otonom dan muntah adalah nilai pasti berkaitan dengan lokalisasi di PS dan dapat terjadi pada kejang mulai dari daerah anterior atau posterior. Lokalisasi muntah iktal pada orang dewasa tidak dapat diterapkan pada anak-anak. Gejala klinis dan EEG menunjukkan bahwa, pada PS, terjadi hipereksitabilitas pada kortikal yang menyebar, yang terkait dengan proses pematangan. Penyebaran epileptogenisitas ini mungkin terdistribusi dengan tidak merata, namun mendominasi di satu daerah, yang sering posterior. Adanya kekhususan pada PS yang disertai gejala muntah dan manifestasi otonom lainnya mungkin disebabkan debit epilepsi yang memicu pusat muntah dengan ambang rendah dan hipotalamus pada anak yang rentan. Dengan kata lain, ada kemungkinan bahwa pada anak-anak rentan, debit listrik epilepsi yang lemah saja (terlepas dari lokalisasi) dapat mengaktifkan pusat otonom yang rentan untuk memicu kejang otonom dan status epileptikus otonom. Hal ini terjadi sebelum timbulnya manifestasi klinis dari daerah otak yang topografinya berhubungan dengan debit listrik iktal (oksipital, frontal, central, parietal dan kurang sering sementara) dengan batas ambang kejang yang lebih tinggi daripada pusat otonom.10 PROSEDUR DIAGNOSTIK Menurut definisi, dalam sebuah sindrom idiopatik, kondisi neurologis dan mental dan hasil MRI resolusi tinggi akan menunjukkan hasil yang normal. Pemeriksaan yang paling berguna adalah EEG. Data yang paling penting dari pemeriksaan neurodiagnostik tersebut adalah keadaan anak pada saat pemeriksaan pertama.10 Anak mengalami kejang singkat atau panjang khas PS, namun telah sepenuhnya pulih sebelum tiba di gawat darurat atau saat diperiksa oleh dokter. Seorang anak dengan gambaran klinis khas PS, ictus emeticus dan kejang panjang, mungkin tidak memerlukan pemeriksaan lain selain EEG. Namun, karena sekitar 10-20% anak dengan kejang yang sama masih mungkin memiliki patologi otak, MRI dapat diindikasikan.

15

Anak dengan kejang panjang khas PS telah pulih sebagian, meskipun masih dalam tahap post iktal, lelah, agak bingung dan mengantuk pada saat kedatangan di gawat darurat atau ketika diperiksa oleh dokter. Anak harus ditempatkan di bawah pengawasan medis sampai pemulihan total, yang merupakan ketentuan setelah tidur beberapa jam. Kemudian guideline sama seperti di atas.

Anak itu dibawa ke gawat darurat atau ketika diperiksa oleh dokter masih dalam keadaan kejang. Ini adalah situasi yang paling sulit dan menantang. Gejala dapat timbul secara secara cepat, dan menuntut evaluasi yang ketat dan berpengalaman. Adanya riwayat kejang serupa sebelumnya dapat meyakinkan dan dapat membantu untuk menghindari pemeriksaan lain yang tidak perlu.

GAMBARAN ELEKTROENCHEPALOGRAFI Pada sekitar 90% kasus, EEG dapat menunjukkan fungsi, terutama multifokal, kompleks gelombang amplitudo tinggi yang tajam-lambat yang dapat muncul di mana saja. Gelombang tersebut dapat independen, dan terjadi di berbagai lokasi di posterior, jarang pada lokasi anterior, pada hemisfer yang sama atau kontralateral, dan mungkin muncul sebagai cloned-like repetitive, kompleks gelombang spike multifokal. Berdasarkan urutan seringnya ditemukan, spike paling sering terjadi di daerah oksipital, frontal dan centrotemporal, sama baik pada daerah kanan atau kiri. Spike pada midline terjadi pada 17% kasus.11

16

DIFERENSIAL DIAGNOSA PS mudah dikenali, karena adanya pengelompokan berdasarkan karakteristik kejang secara klinis, dan yang sering didukung dengan temuan gambaran EEG interiktal. Namun, meskipun adanya gambaran EEG, PS dapat tidak diketahui lolos pengakuan selama bertahun-tahun karena beberapa alasan. Ictus emeticus jarang dianggap sebagai kondisi kejang. Dan ketika kondisi tersebut berhubungan dengan penurunan kesadaran, diikuti dengan kejang, diagnosisnya dianggap sebagai ensefalitis atau penyakit serebral akut lainnya. Sedangkan bila anak sudah tampak pulih, akan didiagnosa sebagai migrain atipikal, gastroenteritis, motion sickness atau kejang yang pertama kali. Demikian pula, ictal syncope baru-baru ini telah diakui sebagai manifestasi klinis yang penting dari PS, ictal syncope ini mungkin salah didiagnosis sebagai sinkop kardiogenik, pseudoseizure atau gangguan ensefalopati lainnya yang lebih parah. Masalah utama adalah untuk mengenali muntah dan manifestasi otonom lain sebagai peristiwa kejang, dan tidak mengabaikan mereka atau keliru menganggap mereka sebagai 17

bagian dari penyakit yang tidak berhubungan dengan kejang atau sebagai ensefalitis, migrain, sinkop atau gastroenteritis. Sekitar 10-20% kejang otonom dan status epileptikus otonom dengan gambaran mirip dengan PS disebabkan berbagai macam gangguan cerebral, seperti lesi otak fokal atau difus dengan beragam etiologi. Pada kasus ini biasanya gejala neurologis atau mental yang abnormal, pencitraan otak yang abnormal, dan juga ada kelainan EEG. Selain itu pasien juga umumnya mengalami jenis kejang lainnya tanpa gejala otonom yang berlanjut hingga dewasa. Selain itu PS perlu dibedakan dengan bentuk sindrom lain : Gastaut-type idiopathic childhood occipital epilepsy memiliki manifestasi klinis yang sama sekali berbeda, meskipun gambaran EEG interiktal ketika paroksismal oksipital terjadi juga pada PS. Gejala Visual dominan pada G-ICOE. Rolandic seizure juga memiliki manifestasi klinis yang berbeda. Emesis merupakan gejala penyerta PS. Namun terkadang PS dan RS dapat terjadi bersamaan. Hal ini seharusnya tidak menjadi masalah karena penatalaksanaan dan prognosis dari kedua sindrom sama. Kasus PS dengan kejang yang terjadi ketika anak demam dapat didiagnosis sebagai kejang demam, tapi hal ini juga tidak signifikan mengingat prognos yg sama-sama baik.

PROGNOSA Meskipun tingginya insiden status epileptikus otonom, PS tidak berbahaya. Sepertiga dari pasien (27%) hanya mengalami sekali kejang, hampir setengah (47%) mengalami 2-5 kali kejang dan hanya 5% yang mengalami lebih dari 10 serangan, yang kadang-kadang bisa sangat sering timbul. Selanjutnya, periode aktif kejang sangat singkat dan remisi biasanya terjadi dalam waktu 1-2 tahun sejak onset. Risiko berkembang menjadi epilepsi dalam kehidupan dewasa mungkin tidak lebih atau sama pada populasi umum. Namun, seperlima dari pasien (21%) dapat berkembang menjadi jenis lain yang jarang, yaitu Rolandic seizure (13%), pada masa anak dan remaja awal. Serangan ini juga berhubungan dengan usia dan menhilang sebelum usia 16 tahun. Namun, meskipun termasuk serangan ringan, beberapa kejang pada PS dapat terkadang menunjukkan gejala otonom berpotensi fatal, seperti cardiorespiratory arrest.12 18

TATALAKSANA Pedoman tatalaksana untuk kejang demam, jika dimodifikasi dengan tepat, dapat menjadi dasar pedoman PS. Berdasarkan risiko dan manfaat dari terapi yang efektif, terapi antikonvulsan terus menerus tidak dianjurkan untuk anak-anak dengan kejang satu kali atau kejang yang singkat. Kebanyakan dokter mengobati kejang berulang dengan carbamazepine. Bagi penderita yang sering mengalami kejang yang lama, hal itu merupakan keadaan darurat medis dan diazepam rektal perlu diresepkan untuk persiapan di rumah.2, 13

19

ANALISA KASUS

Telah dilaporkan suatu kasus Panayiotopoulos syndrome pada anak laki-laki berusia 5 tahun yang dirawat di bagian IKA RSMH Palembang pada tanggal 22 Februari 2013. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan utama muntah dan keluhan tambahan sakit kepala. Keluhan muntah dialami penderita satu hari SMRS, menyemprot, isi apa yang dimakan dan diminum. Muntah pada anak yang berusia pra-sekolah dapat disebabkan banyak hal, antara lain gastritis, muntah psikogenik, abdominal migraine, gastro-esofagus reflux (GER), cyclic vomiting syndrome, peningkatan tekanan intra kranial, atau muntah epileptogenik. Pada pasien ini tidak didapatkan riwayat sering mual atau muntah sebelumnya, tidak ada riwayat makan tidak teratur, juga tidak disertai nyeri ulu hati sebelumnya. Hal ini dapat menyingkirkan gastritis sebagai penyebab muntah. Penyebab lain dari muntah yaitu muntah psikogenik dapat disingkirkan. Mengingat pada sindroma ini, perjalanannya kronis, terkait dengan stres atau makan, dan muntah yang dipaksakan sendiri oleh penderita. Tanda-tanda tersebut tidak ditemukan pada penderita. Cyclic vomiting syndrome yang cirinya berupa episode mual dan muntah berulang tanpa kausa organik terjadi pada 1,9% anak sekolah. Episodenya berupa onset yang cepat, sering dimulai selama tidur atau pagi hari. Anak dapat mengalami muntah beberapa kali dalam satu jam, dapat sampai terjadi dehidrasi. Muntah dapat terjadi selama beberapa jam sampai beberapa hari, namun jarang lebih dari dua hari. Episode muntah dapat berhenti secara spontan, dapat berkurang setelah tidur, atau justru dapat menjadi progresif sampai terjadi dehidrasi dan gangguan elektrolit sehingga membutuhkan sedatif ataupun antiemetik. Stres atau penyakit ringan biasanya timbul saat onset muntah. Sakit kepala dengan tipe yang bervariasi dapat terjadi pada lebih dari 25% penderita. Migrain dapat terjadi pada 47% penderita. Umumnya sindroma ini disertai juga dengan irritable bowel syndrome. Selain itu, biasanya terjadi pada pasien yang memiliki riwayat migrain atau irritable bowel syndrome pada keluarga. Diagnosa didasarkan pada riwayat yang khas dan didapatkan pemeriksaan fisik yang normal serta evaluasi secara cermat adanya kelainan organik yang mengakibatkan 20

episode muntah berulang. Tidak adanya riwayat irritable bowel syndrome maupun riwayat keluarga dengan migrain, serta episode sakit kepala yang timbul saat tidur dapat menyingkirkan kemungkinan suatu cyclic vomiting syndrome. Selain itu, muntah pada penderita ini bersifat menyemprot, dan didahului rasa mual beberapa menit saja sebelumnya, sehingga lebih dicurigai kearah gangguan intrakranial atau muntah epileptogenik. Keluhan sakit kepala pada penderita ini sudah berlangsung sejak 4 tahun sebelum dirawat, atau setelah trauma kepala yang dialami penderita. Bila keluhan timbul, kepala terasa seperti ditusuk-tusuk, dan penderita sampai berteriak kesakitan. Sakit kepala pada anak dapat disebabkan sefalgia primer atau sefalgia sekunder yang disebabkan penyakit organik yang mendasari. Penyebab sakit kepala sekunder pada pasien ini masih mungkin disebabkan oleh banyak hal, antara lain infeksi pada sinus atau telinga, kerusakan pada gigi, adanya gangguan vaskuler kepala dan servikal, sakit kepala yang berhubungan dengan trauma kepala, sakit kepala yang berhubungan dengan gangguan pada mata atau gangguan psikiatri. Pada pasien ini tidak didapatkan adanya demam atau nyeri pada telinga, gigi, sehingga penyebab sakit kepala karena suatu proses infeksi atau gangguan di THT dan gigi dapat disingkirkan. Selain itu, pasien ini tidak mengeluhkan adanya pandangan kabur sebelumnya, atau mengeluhkan nyeri hanya didaerah mata, sehingga penyebab gangguan mata juga dapat disingkirkan. Untuk sefalgia sekunder yang berhubungan dengan trauma kepala pada pasien masih dapat dimungkinkan. Dengan adanya riwayat trauma 4 tahun lalu, dan keluhan sakit kepala yang timbul setelah trauma tersebut, dapat dicurigai penyebab sakit kepala karena adanya penyebab organik seperti SOL. Pada anamnesa lebih lanjut diketahui bahwa nyeri kepala yang dirasakan penderita tidak progresif sebagaimana yang terdapat pada SOL, selain itu nyeri kepala pada penderita dengan SOL umumnya disertai defisit neurologis yang tidak ditemui pada penderita. Pada trauma, nyeri kepala dapat akut dan kronik, umumnya pada nyeri kepala kronik ia merupakan bagian dari sindrom pasca trauma yang meliputi dizziness, kesulitan konsentrasi, gelisah, perubahan kepribadian dan insomnia. Keluhan sering gelisah, perubahan kepribadian dan dizziness tidak ditemukan pada penderita. Sefalgia yang disebabkan oleh gangguan vaskuler kepala dan servikal kecil kemungkinannya dialami penderita mengingat faktor resiko seperti kelainan pada jantung yang tidak ditemukan.

21

Sefalgia primer antara lain migrain, tension-typed headache, dan cluster headache. Migrain dan cluster headache dapat disingkirkan karena pola sakit kepala yang dirasakan penderita adalah yang menyeluruh. Sedangkan dengan adanya riwayat trauma 4 tahun lalu, dan keluhan sakit kepala yang timbul setelah trauma tersebut, dicurigai penyebab sakit kepala karena adanya penyebab organik seperti SOL, belum dapat disingkirkan. Dari hasil CT-Scan ternyata tidak didapatkan kesan adanya SOL dan hanya didapatkan edema serebri, untuk itu difikirkan penyebab lain dari sakit kepala. Dari anamnesa ulang diketahui bahwa penderita sering muntah dan sakit kepala, yang timbul berulang sehingga adanya epilepsi dengan bentuk spesifik perlu difikirkan. Adanya keluhan muntah yang disertai sakit kepala menunjukkan adanya gejala otonom yang berperan disertai dengan gejala penyerta. Karena itu pada penderita ini difikirkan suatu sindrome epilepsi. Sindroma epilepsi dengan penyebab idiopatik pada anak ada 4 jenis, antara lain; Rolandic Epilepsy, Epilepsi Oksipital Benigna Late Onset (Gestaut Syndrome), Epilepsi Oksipital Benigna early onset (Panayiotopoulos syndrome), Reading epilepsy. Pada penderita, tidak didapatkan gejala kejang tonik atau tonik-klonik, mulai dari hemifasial (orofacial seizure) dan dapat menyebar ke lengan dan kaki homolateral sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan Rolandic epilepsy. Penderita juga tidak ada gangguan visual (visual seizure) berupa halusinasi visual, sebagaimana gejala utama pada Gestaut type epilepsy. Pada pasien ini dominan dialami gejala otonom, berupa muntah dan sakit kepala. Orang tua penderita mengeluhkan anaknya sering terbangun malam hari dan mengeluhkan sakit kepala dan muntah. Pada PS, dua-pertiga dari serangan kejang dimulai saat tidur, anak dapat bangun muntah, diserta bingung atau tidak responsif. Dari anamnesa dan manifestasi klinis yang diperoleh pasien dapat didiagnosa sebagai Panayiotopoulus Syndrome. Kemungkinan ini didukung dengan onset terjadinya yaitu pada usia anak 5 tahun. Sehingga pada anak ini dilakukan pemeriksaan penunjang EEG. Dari hasil EEG didapatkan gelombang irama dasar 8-9 bercampur 3-4, voltase sedang-tinggi, tampak gelombang spike di parietooksipital dekstra dan sinistra. Gambaran EEG yang menunjukkan adanya spike pada regio oksipital dan dengan usia anak yang masih 5 tahun maka difikirkan suatu epilepsi dengan gelombang paroksismal di daerah oksipital (Childhood epilepsy with occipital paroxysms) atau disebut juga Panayiotopoulos syndrome.

22

Pada pemeriksaan fisik pada pendeita tidak ditemukan adanya defisit neurologis, termasuk saat ada timbul keluhan muntah pasien masih bisa mengeluh dan bisa berkomunikasi dan hanya didapatkan mengantuk setelah serangan muntah lalu pasien tertidur. Hal ini sesuai dengan PS, dimana pasien masih sadar penuh saat mulai serangan lalu dapat disertai penurunan kesadaran walaupun namun tetap tidak disertai defisit neulorogis lain.8 Gejala otonom yang terdapat pada penderita berupa muntah dan sakit kepala serta adanya peningkatan ringan suhu tubuh. Pada PS, gejala otonom yang dapat timbul selain muntah, antara lain pucat, sianosis, inkontinensia urine dan feses, midriasis, hipersalivasi, cephalic aura, batuk, perubahan suhu, peningkatan motilitas usus perubahan pernafasan dan denyut jantung yang ireguler sampai dapat terjadi cardiorespiratory arrest.

PENUTUP Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Bagian IKA FK UNSRI/RSMH Palembang, Ketua Program Studi IKA FK UNSRI/RSMH Palembang yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengajukan kasus ini, khususnya kepada Dr. Masayu Rita Dewi A, SpA(K) dan Dr. Syarif Darwin Ansori, SpA(K) yang telah memberikan bimbingan dan masukan sehingga kasus ini dapat diajukan.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Engel J. A proposed diagnostic scheme for people with epileptic seizures and with epilepsy: report of the ILAE task force on classification and terminology. Epilepsia. 2001;42:796803. 2. Ferrie CD, Grunewald RA. Panayiotopoulos syndrome: a common and benign childhood epilepsy. Lancet. 2001;357:821823. 3. Panayiotopoulos CP. Panayiotopoulos syndrome: a common and benign childhood epileptic syndrome. London: John Libbey; 2002. 4. Panayiotopoulos CP. Vomiting as an ictal manifestation of epileptic seizures and syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiat. 1988;51:14481451. 5. Loiseau P, Duche B. Benign rolandic epilepsy. Adv Neurol. 1992;57:4117. 6. Covanis A, Lada C, Skiadas K. Children with rolandic spikes and ictus emeticus: Rolandic epilepsy or Panayiotopoulos syndrome? Epilep Dis. 2003;5:13943. 7. Panayiotopoulos CP. Vomiting as an ictal manifestation of epileptic seizures and syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatr. 1988;51:144851. 8. Koutroumanidis M. Panayiotopoulos syndrome: a common benign but underdiagnosed and unexplored early childhood seizure syndrome [Editorial] BMJ. 2002;324:12289. 9. Caraballo R, Cersosimo R, Medina C, Fejerman N. Panayiotopoulos-type benign childhood occipital epilepsy: a prospective study. Neurology. 2000;55:1096100. 10. Baumgartner C, Lurger S, Leutmezer F. Autonomic symptoms during epileptic seizures. Epileptic Disord. 2001;3:10316. 11. Yoshinaga H, Koutroumanidis M, Shirasawa A, Kikumoto K, Ohtsuka Y, Oka A. Dipole analysis in Panayiotopoulos syndrome. Brain Develop. 2004. in press. 12. Ferrie CD, Koutroumanidis M, Rowlinson S, Sanders S, Panayiotopoulos CP. Atypical evolution of Panayiotopoulos syndrome: a case report [published with videosequences] Epileptic Disord. 2002;4:3542. 13. Panayiotopoulos CP. Benign childhood partial seizures and related epileptic syndromes. London: John Libbey & Company Ltd; 1999.

24

DIAGRAM TUMBUH KEMBANG AN. Lk, 5 THN PENDERITA PANAYIOTOPOULUS SYNDROME LINGKUNGAN
Mikro: = Ibu : SMP = ASI 0-2 tahun = Imunisasi lengkap Mini: = Ayah : SMA = Kerja : Karyawan swasta = Anak ke 4 dari 4 bersaudara dari 3 Meso: = Bidan 1 km = Klinik Perkebunan 100 m = RSUD 1 jam Makro: Jaminan Perusahaan (+)

KEBUTUHAN DASAR ASUH Cukup ASIH Cukup ASAH Cukup

TUMBUH KEMBANG
NEONATUS SEHAT
- Intake cukup - Biaya cukup - Higiene sanitasi cukup - Hubungan sosial cukup - Adanya sindrome epilepsi idiopatik

BAYI SEHAT

Tatalaksana adekuat: - Obat antiepilepsi

Anak dgn Sindroma Panayiotopoulus

Carbamazepin 3 X 50 mg
- EEG - Kontrol teratur Tumbuh Kembang Optimal ?

Genetik - Heredokonstitusional Baik 25

26

Anda mungkin juga menyukai