Anda di halaman 1dari 8

Kolestasis Intrahepatik Pada Bayi dan Anak Akibat Infeksi Virus

Non-Hepatotropik (TORCH)

Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoseluler, adalah sindrom klinis yang
timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran empedu yang terjadi di dalam hati. Pada bayi
biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan disebut pula sebagai sindrom hepatitis
neonatal. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahan-bahan yang
merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma
dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam
sel hati dan sistem biliaris di dalam hati. Penumpukan bahan yang harus diekskresikan oleh hati
tersebut akan merusak sel hati dengan berbagai tingkat gejala klinik yang mungkin terjadi serta
pengaruhnya terhadap organ sistemik lainnya tergantung dari lamanya kolestasis berlangsung
serta perjalanan penyakit primer yang menjadi penyebab kolestasis tersebut.1

Kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila
kadar bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dl,
kadar bilirubin direk adalah lebih dari 20% dari bilirubin total. Keadaan ini dapat segera terjadi
setelah lahir tetapi juga dapat bermanifestasi lambat. Bayi yang tetap ikterik setelah 2 minggu
pertama kehidupan perlu diperiksa kadar bilirubin total dan kadar bilirubin direk darah.
Pemeriksaan bilirubin direk dan total ini merupakan pemeriksaan yang terpenting untuk
menentukan ada tidaknya kolestasis.2

Penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi lebih beragam dibanding anak yang lebih
besar karena hati bayi yang masih imatur. Penyebab tersebut antara lain infeksi, kelainan genetik,
endokrin, metabolik, atau tumor.1 Salah satu penyebab kolestasis pada bayi dan anak adalah
infeksi kongenital akibat TORCH. Infeksi neonatal akibat TORCH sudah lama dikenal, sering
bersifat asimtomatis. Insiden infeksi ini cukup tinggi, berkisar antara 0,5-2,5% dari semua
kelahiran.3

Kolestasis Intrahepatik Akibat Infeksi TORCH

1
1. Toksoplasmosis
a. Etiologi
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Kucing rumah adalah sumber utama
protozoa ini yang dikeluarkan melalui tinjanya dalam bentuk oosit. Manusia terinfeksi
langsung oleh oosit ini atau melalui daging yang tidak dimasak matang terutama daging babi,
domba dan sapi. Bila ibu terinfeksi saat hamil, melalui sirkulasi sistemik terjadi invasif
melalui plasenta ke dalam sirkulasi janin. Infeksi pada ibu dapat asimtomatik, tetapi infeksi
di janin menyebabkan infeksi sistemik pada limpa, hati, mata dan susunan saraf pusat. Infeksi
pada trimester pertama dapat menyebabkan abortus, sedangkan trimester kedua
menyebabkan kelainan yang berat.3,5

b. Manifestasi Klinis

Hampir 85% bayi yang terinfeksi Toxoplasma gondii saat lahir tidak menunjukkan
kelainan saat lahir, tetapi dalam perkembangannya menderita kelainan oftalmologis dan
neurologis. Karakteristik klinis curiga adanya infeksi kongenital T.gondii adalah:
koreoretinitis, hidrosefalus, dan kalsifikasi intracranial, walaupun gejala lain dapat
menyertainya.1,5 Adapun gejala simtomatis pada neonatus adalah kuning, hepatomegali,
splenomegali, demam, anemia, korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefal, kalsifikasi
intrakranial, ptekie dan trombositopenia. Bayi prematur yang terinfeksi toksoplasmosis akan
menunjukkan kelainan mata dan susunan saraf pusat pada 3 bulan pertama kehidupan.
Infeksi T.gondii pada bayi cukup bulan sering menunjukkan gejala ringan pada 2 bulan
pertama kehidupan. Infeksi toksoplasmosis sering menyertai infeksi CMV atau HIV.5

c. Patogenesis
Pada infeksi toksoplasma di hati, hati terlihat membengkak dengan lesi fokal berwarna
putih tersebar di seluruh hati. Secara mikroskopis, ditemukan nekrosis fokal multiple dan
infiltrasi sel mononuclear di sel hepar. Takizoit akan masuk ke dalam sitoplasma sel
hepatosit, sehingga sel mengalami degenerasi.6

d. Diagnosis

2
Diagnosis infeksi intrauterin T.gondii dilakukan pasca natal, dengan melakukan
pemeriksaan anti toksoplasmosis antibodi IgM, IgG, IgA, dan IgE. Hampir 25% bayi yang
terinfeksi tidak menunjukkan IgM positif. Serologi bayi dan ibu dapat menentukan apakah
bayi terinfeksi saat intrauterin. Pada infeksi akut, titer antibodi IgG dan IgM akan meningkat
dalam 1-2 minggu infeksi. Deteksi antibodi IgM spesifik T.gondii negatif dengan IgG positif,
menunjukkan infeksi telah terjadi minimal 6 bulan sebelumnya.5

Pemeriksaan histologi jaringan hati menunjukkan adanya inflamasi periportal dan


hematopoesis ekstramedular. Mikrokalsifikasi dapat juga ditemukan di hati pada
pemeriksaan foto polos abdomen.3

e. Pengobatan
Pirimetamin loading dose 2 mg/kg/hari selama 2 hari à 1 mg/kg/hari + sulfadiazine 100
mg/kg/hari selama 2-6 bulan, kemudian dilanjutkan dosis selang hari sampai 1 tahun.
Spiramycin diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis.

1.2 Rubella
a. Etiologi
Infeksi rubella kongenital disebabkan oleh virus Rubella yang merupakan virus
Rubivirus. Virus ini sensitif terhadap panas, sinar ultraviolet dan pH tinggi, namun stabil
pada udara dingin. Manusia adalah satu-satunya host virus Rubella.5

b. Manifestasi klinis
Infeksi rubella pada ibu hamil sering dijumpai riwayat ibu menderita rubella pada
trimester pertama kehamilan. Infeksi kongenital yang terjadi pada usia awal kehamilan akan
menyebabkan sindrom rubella yang terdiri dari: katarak, penyakit jantung bawaan dengan
atau tanpa retardasi mental dan mikrosefal.5

Kelainan yang menyertai lainnya adalah gangguan pendengaran yang dapat terjadi pada
infeksi 16 minggu pertama kehamilan. Katarak dapat terjadi pada sepertiga kasus. Kelainan
mata lainnya yang lebih ringan adalah salt and pepper retinopathy. Kelainan jantung terjadi
apabila infeksi terjadi pada usia kehamilan minggu 1-8. Kelainan jantung berupa patent
ductus arteriosus, kelainan arteri pulmonal atau kelainan katup jantung.5

3
Secara klinis umumnya didapatkan katarak, kelainan jantung, gangguan pendengaran,
mikrosefal, kalsifikasi intrakranial, pertumbuhan janin terhambat, hepatosplenomegali,
ptekie, osteopati, kuning, penumonitis. Manifestasi klinis lambat dapat berupa diabetes
mellitus, gangguan tiroid atau retinopati.5

c. Diagnosis
Diagnosis sindrom rubella kongenital ditegakkan berdasarkan isolasi virus dari cairan
hidung, urin atau cairan serebrospinal atau ditemukannya IgM spesifik terhadap rubella pada
serum bayi. Menetap dan meningkatnya IgG spesifik terhadap rubella pasca lahir menyokong
diagnosis.5
Pemeriksaan histologi hati menunjukkan adanya gambaran hepatitis giant cells yang
tipikal.1 Dapat juga ditemukan adanya infiltrat mononuklear pada portal dan fibrosis
intralobular serta hematopoiesis ekstramedular yang persisten. 3 Pada CT scan kepala
didapatkan kalsifikasi periventrikel, leukomalasi periventrikel atau kista subependimal.5

d. Tata laksana
Tidak ada pengobatan spesifik untuk sindrom rubella kongenital. Penyakit ini mungkin self
limited atau dapat berlanjut menjadi sirosis. Pada perkembangan anak lebih lanjut, dapat
terjadi gangguan pendengaran progresif, keterlambatan bicara, gangguan autistik atau
retardasi mental pada anak. 1,5

1.3. Cytomegalovirus
a. Etiologi

4
Human cytomegalovirus (CMV) merupakan keluarga Herpesviridae, dan merupakan
virus herpes terbesar dengan diameter 200 nanometer berbentuk double stranded DNA. Kira-
kira 40% wanita yang terinfeksi CMV saat hamil akan mentransfer CMV ke janin dan 5-10%
janin yang terinfeksi akan menyebabkan penyakit.5

b. Patogenesis

Infeksi CMV dapat menyebabkan destruksi duktus bilier dan paucity, namun belum
diketahui bagaimana CMV dapat menyebabkan terjadinta atresia bilier. CMV dapat
bereplikasi baik di hepatosit maupun di kolangiosit. Antigen CMV dapat ditemukan pada
biopsy hati dari pasien, dan merupakan penyebab terjadinya gangguan proses kolestasis.

c. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis infeksi kongenital CMV sangat bervariasi. Asimtomatis saat bayi lahir,
10-17% dapat berkembang mengalami gangguan pendengaran dan neurologis. Sedangkan 5-
10% bayi akan mengalami kelainan susunan saraf pusat irreversibel. Klinis yang sering
dijumpai adalah koreoretinitis, mikrosefal, gangguan motorik, gangguan pendengaran, selain
itu didapatkan gejala lain seperti hepatosplenomegali, trombositopenia, ptekie, kuning,
kejang. Kecurigaan adanya infeksi kongenital CMV bila pada bayi baru lahir ditemukan
gejala kuning, ptekie, dan hepatosplenomegali.5

d. Diagnosis

Pemeriksaan spesifik CMV IgG atau IgM dapat membantu diagnosis. Diagnosis infeksi
intrauterin CMV terdeteksi dalam 3 minggu pertama setelah lahir, dengan ditemukannya
CMV spesifik IgM positif pada darah unbilikus atau darah bayi. Adanya CMV spesifik IgM
hanya terdeteksi pada 70% bayi yang terinfeksi kongenital. Pemeriksaan serologi di atas usia
3 minggu, sulit membedakan apakah infeksi terjadi prenatal atau pascanatal. Pemeriksaan
serologi dianjurkan diulang dalam 2-3 minggu pemeriksaan pertama. Adanya serokonversi
positif dan meningkatnya titer menunjukkan adanya infeksi aktif. Deteksi adanya infeksi
pada neonatus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA CMV.
Antigenemia CMV pp65 positif bila didapatkan 2x105 leukosit darah tepi.5

5
e. Pengobatan
Dua regimen yang dipublikasikan adalah:
1) Gansiklovir IV 6 mg/kg/dosis diberikan tiap 12 jam diberikan selama 6 minggu atau
2) Gansiklovir IV 7,5 mg/kg/dosis tiap 12 jam selama 2 minggu dilanjutkan dengan
dosis 10 mg/kg/hari diberikan 3 kali seminggu selama 3 bulan.1,5

1.4. Herpes Simplex virus


a. Etiologi
Infeksi kongenital herpes simpleks disebabkan oleh Herpes simplex virus (HSV) yang
berbentuk double stranded DNA. Dikenal 2 tipe virus yaitu HSV tipe 1 dan tipe 2. Infeksi
congenital umumnya disebabkan oleh HSV tipe 2. Infeksi sistemik pada neonates disebabkan
belum sempurnanya sistem imunologis.5

b. Manifestasi klinis
Infeksi HSV neonatal, umumnya disebabkan oleh HSV tipe 2 dan dapat menyebabkan
penyakit: (1) kulit, mata dan mulut (43%), (2) menyeluruh (disseminated) (23%), atau (3)
ensefalitis (34%). Kira-kira 5% dari infeksi HSV dalam kandungan dapat menyebabkan
mikrosefal, katarak, kalsifikasi intrakranial, perkembangan terhambat, rash vesicular, dan
mikroptalmia. Infeksi HSV neonatal menyebabkan kejang fokal atau umum, paralisis,
letargis, apneu, koma, dan rash vesicular yang dapat menyebabkan kegagalan multiorgan,
dan kejang yang sulit diatasi.5

c. Diagnosis
Infeksi HSV neonatal menyebabkan peningkatan kadar transaminase serum, bilirubin
direk dan gambaran disseminated intravascular coagulopathy (DIC). Pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan peningkatan sel mononuklear dan protein. Pemeriksaan DNA
dengan menggunakan PCR dari cairan liquor cerebrospinal ditemukan 93% pada tipe
disseminated, 76% pada ensefalitis dan 24% pada tipe kulit-mata-mulut.5
Diagnosis HSV neonatal ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan laboratorium,
isolasi virus, deteksi antigen virus, atau DNA virus dengan PCR, immunoglobulin M (IgM)
HSV sulit ditemukan. Peningkatan IgG spesifik HSV 4 kali atau lebih antara akut dan

6
konvalesen dapat digunakan secara retrospektif untuk meduga adanya infeksi. Oleh karena
waktu pemeriksaan beberapa hari, pengobatan awal tanpa menunggu hasil laboratorium
sangatlah dianjurkan.5
d. Pengobatan
Adenin arabinosid yang diberikan intra vena dengan dosis 15 mg/kgBB/hari selama 10
hari memberikan hasil efektif pada ensefalitis herpes dan herpes local pada neonatis.
Asiklovir adalah obat yang paling banyak tersedia karena keamanan yang tinggi dan
mudah pemberiannya. Asiklovir IV 20 mg/kg setiap 8 jam diberikan selama 21 hari.5

Daftar Pustaka

1. Bisanto J. Kolestasis intrahepatik pada bayi dan anak. Dalam: Juffrie M, Soenarto SS,
Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar gastroentero-
hepatologi jilid 1; edisi 1. Badan Penerbit IDAI; 2010.h.365-83.

2. Oswari H. Kolestasis: Atresia bilier dan sindrom hepatitis neonatal. Dalam: Bisanto J,
Setiabudy R, Suradi R, Nasar SS, Hadinegoro SR, Tjitrasari T, penyunting. Diagnosis
dan tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.42-54.

7
3. Davis MK, Andres JM. Cholestasis in neonates and infants. Dalam:Polin RA.
Gastroenterology and nutrition: Neonatology questions and controversies.
Saunders:Elsevier;2008.h.135-62.
4. Epstein FH. Molecular pathogenesis of cholestasis. Massachussets Medical Society, vol
339; 17. 1998.h. 1217-27. Downloaded from www.nejm.org on February 12, 2009.

5. Mangunatmadja I. Kuning pada bayi baru lahir akibat infeksi TORCH kongenital:
Diagnosis dan tatalaksana. Dalam: Bisanto J, Setiabudy R, Suradi R, Nasar SS,
Hadinegoro SR, Tjitrasari T, penyunting. Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak
dengan gejala kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.h.42-54.

6. Waree P. Toxoplasmosis: Pathogenesis and immune response. Department of


microbiology and parasitology, Faculty of medical science, naresuan University.
Thammasat medical journal vol.8;4:487-96.

7. Uppuluri R, Shah I. Cytomegalovirus Infection and liver disease in neonates. Pediatric


liver clinic, B. J. Wadia Hospital for children, Mumbai. Diakses dari www.google.com.

Anda mungkin juga menyukai