Oleh:
Preseptor:
PADANG
2018
0
Prediksi Tingkat Keparahan Demam Dengue pada Anak Saat Masuk RS
Abstrak
Latar Belakang: Demam dengue merupakan penyakit virus yang kembali muncul ke
permukaan, penyakit ini umumnya terjadi di daerah tropis dan subtropis. Manifestasi klinis dan
hasil pemeriksaan laboratorium dari infeksi dengue hampir sama dengan penyakit demam
lainnya, oleh karena itu tidak mudah untuk menentukan diagnosis serta tatalaksana secara cepat
dan tepat. Keterlambatan dalam penegakan diagnosis dapat mempengaruhi tatalaksana dan
meningkatkan risiko kematian. Diagnosis yang cepat dan tepat dapat memaksimalkan
pengelolaan kasus dan penggunaan sumber daya termasuk di dalamnya petugas rumah sakit,
kamar rawatan, dan perlengkapan perawatan intensif. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengembangkan model prediksi mengenai karakteristik dari tingkat keparahan demam dengue
berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium di saat awal pasien masuk
menggunakan data dan alat statistik.
Metode: Data yang digunakan adalah pasien anak dengan demam di Angkor Hospital for
Children, Kamboja. Didapatkan 1225 rekam medis pasien dengan demam, 198 pasien
diantaranya sudah didiagnosis dengan demam dengue. Penelitian ini menggunakan
Classification and Regression Tree (CART) untuk membuat alur prediksi dalam pengambilan
keputusan sesuai dengan tingkat keparahan dari demam dengue, sementara analisis regresi
dipakai untuk mengukur secara independen signifikansi pada setiap parameter yang ada di alur
pengambilan keputusan.
Hasil: Algoritma alur pengambilan keputusan dibuat menggunakan nilai hematokrit, Glasgow
Coma Score (GCS), protein urin, kreatinin dan hitung trombosit sehingga diharapkan dapat
memprediksi tingkat keparahan dengue dengan sensitivitas, spesifitas dan akurasi masing-
masing sebesar 60,5%, 65%, dan 64,1%, secara respektif.
Kesimpulan: Alur yang dideskripsikan pada jurnal ini, dibuat menggunakan lima tanda klinis
sederhana dan indikator laboratorium, sehingga diharapkan dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat keparahan kasus dengue pada pasien anak yang dimulai pada saat anak baru masuk
rawatan. Algoritma ini diharapkan bisa digunakan untuk menjadi guideline untuk rencana
pemantauan pasien yang lebih baik dan diharapkan dapat juga digunakan pada pasien dengan
demam di fasilitas kesehatan dengan sumber daya yang tidak memadai.
1
Kata Kunci: Alur klasifikasi, dengue, keparahan, kamboja, data, anak-anak
Latar Belakang
mortalitas pada daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara, Afrika, Pasifik Barat dan
Amerika[1]. Virus dengue terdiri dari lima stereotype, yaitu DENV-1, DENV-2,
DENV-3, DENV-4, dan DENV-5, yang ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti [2-
5]. Diperkirakan 2,5 juta orang di dunia beresiko terkena dengue. Angka kejadian
infeksi dengue per tahunnya adalah 50 juta, 500.000 di antaranya masuk ke rumah sakit
dengan dengue yang berat dalam bentuk dengue high fever (DHF) atau dengue shock
Infeksi dengue sering keliru dengan other fibrille illnesses (OFI), dikarenakan
pada dengue gejala klinis yang tidak khas dan manifestasi klinis yang serupa dengan
OFI. Pada stadium awal dengue, adanya demam yang tidak khas membuat penegakan
diagnosis menjadi lebih sulit, sehingga tatalaksana yang dilakukan tidak efektif
sehingga dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas [2,6]. Demam dengue yang
berat, jika tidak ditatalaksana dengan baik, dapat berujung pada kematian, terutama
infeksi dengue dengan OFI [9]. Dengue merupakan salah satu penyakit menular melalui
vektor yang paling sering terjadi di Asia Tenggara, dan juga merupakan salah satu
penyakit virus yang ditularkan melalui nyamuk, serta berpotensi menjadi wabah di
tahun 1980. Sejak tahun 2000, terdapat setidaknya 10.000-40.000 kasus/tahun yang
dilaporkan oleh Dengue National Control Program[11] dari seluruh total populasi yaitu
2
sebesar 13,5 juta penduduk[12]. Namun demikian, insidensi yang sebenarnya di
dengue, terutama data dari berbagai rumah sakit [13]. Dalam penelitian ini, data kohort
diambil dari pasien anak-anak yang masuk ke Angkor Hospital for Children, Siem
Reap, Kamboja dengan keluhan utama demam, dilakukan analisis retrospektif selama
satu tahun. Pendekatan ini menggunakan klasifikasi dan alur regresi atau CART, yang
pertama kali dikenalkan oleh Brieman dkk[14]. Ini merupakan alat yang biasa
digunakan dalam pengambilan data, sehingga dapat membentuk suatu algoritma yang
dapat memperkirakan nilai dari variabel target berdasarkan pada variabel tingkat
keparahan. Dalam penelitian ini, CART digunakan agar dapat memperkirakan tingkat
keparahan dari infeksi dengue berdasarkan pada manifestasi klinis dan indikator
laboratorium saat pasien pertama kali masuk. Model ini selanjutnya akan digunakan
Metode
Desain penelitian ini adalah studi retrospektif menggunakan data yang berasal dari
investigasi demam pada anak-anak (“The fever study”) di Angkor Hospital for
Children, Kamboja (AHC) [15]. Di rumah sakit khusus anak, provinsi Siem Reap,
terhadap pasien anak yang kurang dari 16 tahun, dan termasuk juga pasien dengan
rawatan khusus di bidang medical dan surgical baik pada pasien rawat inap maupun
pasien rawat jalan. Untuk penelitian mengenai demam, kriteria inklusinya adalah usia
<16 tahun, suhu aksila yang tercatat ≥38.0C dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit,
dan sudah dilakukan informed consent oleh orangtua maupun pengasuhnya. Anak-anak
3
yang mengalami kenaikan suhu ≥48 jam setelah masuk rumah sakit atau telah menjalani
(IMCI) digunakan untuk melakukan penilaian dan pembuatan keputusan apakah pasien
Data diambil pada saat pasien masuk oleh dokter menggunakan formulir laporan
kasus khusus. Sampel darah pada saat masuk,dan jika memungkinkan, serologi saat
pasien dalam keadaan sehat diambil pada saat pasien pulang, atau setelah tujuh hari
setelah masuk rumah sakit, sampel tersebut diambil untuk dilakukan pemeriksaan
antibody IgM dan uji antigen NSI. Semua pasien dalam rawatan ditinjau kembali
sebanyak dua kali sehari untuk kelayakan dan kualitas data yang dikumpulkan. Data
diambil dari pasien yang dirawat mulai tanggal 12 Oktober 2009 sampai tanggal 12
Oktober 2010.
yaitu: 1) DENV NS1 antigen ELISA (Diagnosis Standar Korea) untuk mendeteksi
antigen spesifik dengue pada sampel serum, 2) Panbio Japanese encephalitis virus
(JEV) dan IgM dengue kombinasi ELISA (Diagnosis Standar Korea) digunakan untuk
mendeteksi anti-JEV dan anti-DENV spesifik antibodi IgM pada sampel serum, dan 3)
serebrospinal (CSF).
Pasien diklasifikasikan menjadi dua yaitu memiliki infeksi virus dengue dengan
NS1 antigen positif melalui ELISA, atau jika nilai dari akut dan sembuh menunjukkan
adanya peningkatan atau IgM anti-dengue yang statis (dan IgM anti-dengue lebih tinggi
4
dibandingkan IgM anti-Japanese encephalitis) pada ≥7 hari setelah pengambilan
sampel [15]. Hasil dari antigen-NS1 dan antibodi IgM dikombinasikan denan cara
temporal dari tampilan pasien selama fase akut infeksi dengue tertutup dengan antigen
NS1 dapat muncul dalam serum pada fase awal infeksi dan antibodi IgM biasanya
muncul 2-5 hari setelah infeksi terjadi [19]. Rasio tingkat IgM anti-dengue dan anti-
JEV digunakan untuk menentukan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi dengue
atau Japanese Encephalitis Virus, yang mana antibodinya sering memiliki kesamaan
reaktivitas silang saat saling bersirkulasi di area yang sama. Anak-anak yang berusia
sebagai severe atau non-severe dengue. Dari literature yang didapatkan, revisi yang
terdapat pada klasifikasi WHO tahun 2009 merupakan penyempurnaan dari klasifikasi
informasi yang sesuai, dan penelitian lebih lanjut dalam hal tanda-tanda bahaya pada
dengue yang berat [20]. Klasifikasi ini juga dianggap oleh banyak orang terlalu luas,
serta membutuhkan definisi spesifik dari tanda-tanda bahaya [21], shingga dapat
meningkatkan beban dari petugas kesehatan dan tidak cukup sederhana serta kurang
tingkat keparahan dalam proses dua langkah. Langkah yang pertama adalah dengan
perawatan intensif (ICU), bersamaan dengan klasifikasi dengue WHO 2009. Kedua, dua
pada kasus yang diterima ICU yang mungkin diagnosis utamanya bukan severe dengue
5
dan b) Keterbatasan sumber daya menyebabkan ketidakmampuan untuk memasukkan
semua kasus yang tidak dirawat di ICU dan mungkin benar-benar memberikan tampilan
severe dengue akan tetapi tidak dirawat untuk beberapa alasan. Menilai tingkat
keparahan penyakit pada pasien ini sangat sulit karena hanya manifestasi klinis awal
dan indikator laboratorium yang terbatas pada saat masuk yaitu hasil awal hematokrit,
jumlah trombosit, jumlah sel darah putih (WBC), urea, kreatinin, dan alanine
aminotransferase (ALT) dan juga protein urin atau sel darah merah (RBC) yang positif.
Hasil dari rontgen thorax tidak tersedia untuk mengevaluasi efusi pleura, hasil USG
abdomen juga tidak tersedia untuk mendeteksi adanya cairan peritoneum (asites).
Adanya pendarahan tidak dilakukan penilaian selain dengan memeriksa sampel tinja
untuk darah. Penilaian kasus per kasus dan verifikasi oleh dua dokter dapat digunakan
digambarkan menggunakan nilai rata-rata ± standar deviasi (SD) jika distribusi data
normal atau dengan median dan kisaran seballiknya. Perbandingan antara dua kelompok
dilakukan menggunakan uji t-test untuk variabel kontinu jika distribusi data normal,
memperkirakan tingkat keparahan kasus dengue berdasarkan gejala klinis awal dan
indikator laboratorium saat masuk. Algoritma J48 digunakan untuk membuat alur
keputusan dikarenakan algoritma ini bisa menangani data nominal, kategorial, dan
numerik, dan juga pada missing value. Penelitian ini, nilai negatif palsu lima kali lebih
besar dibandingkan nilai positif palsu , sebagai contoh kerugian salah diagnosis pada
6
pasien dengan severe dengue lima kali lebih besar dibandingkan kerugian pada kasus
cara menghindari alur yang terlalu rumit sehingga dapat meningkatkan akurasi dari alur
tersebut. Fungsi validasi silang 10x lipat oleh Weka, digunakan untuk mengestimasikan
akurasi sampel yang dieksklusi, sehingga data yang tersedia menjadi lebih terbatas.
Secara sederhana, cara ini membagi data menjadi sepuluh bagian, sembilan di antaranya
untuk percobaan, dan satu untuk diujikan. Alur ini dibentuk menggunakan berbagai
percobaan dan akan diujikan. Untuk menurunkan variabilitas, validasi silang dilakukan
Segera sesudah alur tersebut diperoleh, nilai signifikan dari masing-masing faktor
prediksi diukur menggunakan kelipatan dari regresi logistik dengan metode “enter”
(contoh : semua variabel dimasukkan ke dalam model) sebagai hasil dari odds ratio
(OR) dan diperoleh angka 95% CI. Analisis deskriptif dan kelipatan regresi logistic
dihitung menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS), versi 18.0
dan versi CART yang digunakan adalah 3.6.10 (Universitas Waikato, New Zealand).
Parameter
diinginkan harus sudah dikumpulkan dan dilakukan proses awal, yang melibatkan
terdapat 24 variabel yang dipakai untuk analisis ini. Akan tetapi, tiga variabel
dieksklusikan dari analisis contoh hasil tes turniket lebih dari 15% datanya hilang
dimana nadi dan pernapasan ikut ke dalam parameter yang bergantung pada usia
7
sehingga yang terakhir harus dieksklusikan darai analisis karena tidak dapat digunakan
apabila dimasukkan ke dalam model. Untuk variabel lainnya yang kurang dari 15% nilai
yang hlang, ini diperhitungkan menggunakan satu demi satu pendekatan imputasi.
CART [24] adalah metode ini memisahkan data yang hilang dari masalah prediksi,
sehingga memungkinkan metode prediksi yang lain untuk dipakai dalam mengimputasi
data [25]. Studi ini, beberapa data yang hilang dilakukan imputasi dengan nilai tunggal,
termasuk nilai rata-rata pada beberapa variabel (lama demam dalam hari, waktu
pengisian kapiler, GCS, dan hasil urea) dan nilai rata-rata dari yang lainnya (hematokrit,
kreatinin, ALT, laju pernapasan pada bayi, protein urin dan RBC, dan WBC, netrofil,
Hasil
Terdapat 3.225 pasien yang masuk ke rumah sakit selama studi ini dilakukan,
1.361 (42,2%) sesuai dengan kriteria inklusi, 136 (10,0%) di antaranya tidak terdaftar,
,sehingga terdapat 1.225 yang terdiri dari 1180 anak, dengan 1.144 anak dengan episode
tunggal, 31 anak dengan dua kali episode, dan satu anak memiliki tiga kali episode, dan
empat anak dengan empat kali episode. Pasien didiagnosis utama dengan infeksi traktus
respitorius bawah (38,3%), penyakit demam yang belum jelas penyebabnya (25,5%)
atau penyakit diare (19,5%) [15]. Dari 1180 pasien anak yang terdaftar, 69 diantaranya
ditemukannya virus/kuman penyebab (12 kasus, 27,5%), infeksi virus dengue (sebelas
kasus, termasuk satu dengan diagnosis tambahan meiloidosis, dua dengan tifus, dan
empat dengan pneumonia klinis, 15,9%), dan meiliodosis (empat kasus, 5,8%). 941
8
episode non-dengue dan 86 episode yang tidak memiliki sampel dieksklusikan dari
manifestasi klinisnya, didukung oleh dua pemeriksaan klinis lain. Sembilan orang
dengan episode severe dengue dimasukan dari perawatan biasa (bukan ICU), sehingga
total seluruhnya adalah 38 episode severe dengue. Terdapat sebelas pasien yang
meninggal selama rawatan di ICU dengan diagnosis infeksi virus dengue, namun
demikian biasanya dengue didiagnosis pertama kali secara tepat sebanyak satu dari lima
kasus. Oleh karena itu, hanya lima kasus yang dimasukkan pada kelompok severe
Manifestasi klinis, termasuk darah di dalam tinja, pembesaran hati, rawatan ICU,
lamanya hari perawatan di ICU, rendah atau tingginya hematokrit, rendah atau
tingginya hitung sel darah putih, kreatinin yang meningkat ,urea yang meningkat,
9
respiratorius, menurunnya GCS, efusi pleura (hanya satu kasus), nyeri abdomen, protein
urin, eritrosit dalam urin, dan meningkatnya ALT, dapat dipertimbangkan untuk satu
persatu kasus yang akan diklasifikasikan oleh dokter sebagai severe dengue atau non-
severe dengue. Manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium dari 38 kasus yang
masuk dalam kategori severe dengue dapat dilihat pada tabel 1. Tiga tanda paling sering
diantara pasien-pasien dengan penyakit berat yang masuk dalam rawatan ICU (76,3%),
meningkatnya laju respiratorik (81,5%), dan meningkatnya denyut nadi (65,7%). Severe
dengue lebih sering terjadi pada anak-anak yang berusia kurang dari lima tahun. Muntah
dan nyeri abdomen secara signifikan lebih sering pada kelompok severe dengue, sama
halnya pada kecepatan nadi yang meningkat dan kecepatan respirasi yang meningkat,
10
Proporsi yang sangat signifikan pada pasien dengan severe dengue menunjukan hasil
penurunan hematokrit, peningkatan sel darah putih dan hitung limfosit, peningkatan
level ALT, bersamaan dengan terdapatnya sel darah merah di dalam urinnya (tabel 2).
Hasil akhir dari alur algoritma pengambilan keputusan termasuk di dalamnya lima
manifestasi klinis dan parameter laboratorium: hematokrit, GCS, protein urin, kreatinin,
dan hitung trombosit. Sensitivitas dan spesifitas dari model ini adalah 60,5% dan 65%
secara respektif (Fig.2). Akurasi dari model ini adalah 64,1% yang menggunakan
diagnosis klinis sebagai referensi dasar penilaiannya. Area yang berada di bawah kurva
receiver operating characteristic (ROC) untuk regresi logistic adalah 0,616. Alur akhir
11
memperkirakan dampak yang mungkin terjadi pada masing-masing variabel terpilih di
oleh CART. Nilai hematokrit, GCS dan hitung trombosit yang rendah, serta positifnya
protein dalam urin, dan nilai kreatinin yang meningkat dapat dijadikan kemungkinan
dalam mendiagnosis severe dengue, dengan OR yang signifkan dengan range 1,47 –
13,73. Parameter yang dikaitkan secara statistik oleh severe dengue adalah 1) Nilai
hematokrit yang rendah (OR=7,114, 95% 3.00-16.87, p<0,001) dan 2) Nilai GCS yang
rendah (OR = 13,73, 95% CI = 3,46-54,5, p <0,001). Walaupun hitung trombosit (OR =
2,33, 95% CI = 0,95-5,76), nilai protein urin postif (OR = 1,83, 95% CI = 0,78-4,32)
(tabel 3).
Diskusi
laboratorium sederhana untuk memprediksi tingkat keparahan dengue selama fase awal
penyakit. Algoritma akhir untuk memprediksi severe dengue (Fig.2) terdiri dari 6
12
memprediksi severe dengue adalah hematocrit yang rendah, diikuti dengan GCS 11 atau
lebih rendah sebagai pilihan kedua jika hematocrit lebih dari 28, adanya protein dalam
urin dan kreatinin diatas 84 µmol/l sebagai pilihan ketiga jika GCS diatas 11, dan hitung
trombosit 146.000 per mm3 atau kurang sebagai pilihan terakhir, jika terdapat protein
menyusun algoritma untuk memprediksi DSS atau dengue dengan efusi pleura yang
Hematokrit dan trombosit yang rendah juga diidentifikasi sebagai faktor prediktif,
namun nilai cut-off yang digunakan dalam algoritma tersebut lebih ekstrim, yaitu untuk
trombositopenia yang disebabkan oleh virus dengue cukup kompleks [27]. Penelitian
supresi sumsum tulang dan destruksi trombosit [28, 29]. Untuk memenuhi guideline
trombositopenia berhubungan dengan tingkat keparahan dengue dan tidak semua kasus
trombositopenia dapat menunjukkan infeksi severe dengue, nilai hitung trombosit yang
rendah juga banyak ditemukan pada OFI lain seperti malaria dan tifus [31]. Definisi
WHO 1997 mengenai DBD menyatakan bahwa hitung trombosit rendah (≤100.000),
bersamaan dengan peningkatan hematocrit ≥20% diatas nilai awal, merupakan indikasi
adanya kebocoran plasma. Sebaliknya, hasil dari penelitian ini dan penelitian yang
13
dilakukan oleh Potts menyatakan bahwa penurunan hematokrit sebagai tanda keparahan,
hasil penelitian ini, juga menunjukkan nilai hematocrit yang lebih ekstrim dibandingkan
mengidentifikasi hitung leukosit dan persentasi monosit penting, analisis penulis tidak
mengidentifikasi hasil monosit sebagai faktor signifikan jika diinklusikan dalam pohon
algoritma. Selain itu, Potts et al mengevaluasi predictor DSS dan dengue dengan efusi
dan tekanan darah sistolik rendah, untuk memprediksi severe dengue berdasarkan
kriteria WHO 2009 [32]. Penelitian ini tidak secara spesifik focus pada anak dan hanya
algoritma mereka adalah 81% dan 54%. Dari ketiga parameter yang diidentifikasi,
muntah merupakan parameter yang terdapat dalam penelitian ini, dan meskipun
awalnya signifikan pada kelompok kasus berat, namun tidak dimasukkan dalam pohon
algoritma akhir.
seperti GCS, protein urin, dan kreatinin serum. Terdapat beberapa penjelasan mengenai
14
GCS digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran (perubahan status mental)
[33]. Dari hasil penelitian ini, GCS ≤ 11 (dianggap sedang) merupakan faktor yang
GCS 7-8 dan direkomendasikan untuk intubasi dan dukungan ventilator mekanik
Penelitian sebelumnya dimana protein urin berhubungan dengan DBD atau DSS
menggunakan ratio protein urin-kreatinin [35, 36], namun penulis hanya menggunakan
dipstick urin untuk pengukuran ini, adanya protein urin pada severe dengue dapat terjadi
DBD, peningkatan serum kreatinin ringan sering ditemukan, berkebalikan dengan kadar
yang tinggi terlihat pada kasus severe dengue. Model penulis menunjukkan bahwa kadar
kreatinin serum >84 mmol/l (4.6 mg/dl) berhubungan dengan severe dengue, nilai yang
sama yang ditemukan pada pasien anak dnegan DBD di Thailand, yang memiliki
kreatinin serum rerata 4.9 mg/dl. Analisis juga menunjukkan bahwa 24 dari 25 pasien
dengan acute kidney injury (AKI) memiliki DSS sebagai diagnosis akhir. Dari 25 pasien
yang mengalami AKI sehubungan dengan DBD, 16 (64%) meninggal akibat syok,
bersamaan dengan kondisi lain seperti gagal heparm gagal napas, dan perdarahan berat
[37]. Penelitian pada pasien dewas amelaporkan insiden AKI sebesar 14.2% pada pasien
DBD, dan mengalami mortalitas dan morbiditas yang signidikan, rawatn RS yang lebih
lama, dan luaran ginjal yang buruk [38]. Diagnosis infeksi dengue dini, berdasarkan
karakteristik klinis dan laboratorium dan faktor resiko serta deteksi dini AKI
menggunakan kriteria yang tepat [39], dan monitoring tanda pperingatan untuk severe
dengue, penting jika AKI dan komplikasi lain ingin dicegah [40].
15
Meskipun 2 kriteria WHO tahun 1997 dan 2009 masih diperdebatkan dalam hal
oleh kurangnya data dari fasilitas yang kekurangan sumber daya, sehingga sulit untuk
pemeriksaan feses. Selain itu, data tekanan darah dan tekanan nadi yang sempit untuk
mengindikasikan apakah pasien dalam keadaan syok [43], tidak ada data yang
menunjukkan kegagalan sirkulasi, dan tidak ada hasil ronthen toraks untuk
mengevaluasi efusi pleura atau USG abdomen untuk mendeteksi asites, yang mana
keduanya penting untuk mendeteksi kebocoran plasma. Guideline dengue WHO 1997
dan 2009 juga menginklusikan tes tourniquet sebagai alat diagnostic dengue pada fase
febris awal. Namun, tes tourniquet memiliki sensitivitas yang rendah untuk diagnosis
dengue, dimana hasil negative tidak mengeksklusikan infeksi dengue [44-46]. Tes
tourniquet tidak dilakukan pada mayoritas pasien sehingga tidak diinklusikan dalam
analisis.
regresi logistic yang lebih konvensional, beberapa poin penting untuk disebutkan.
Pertama, focus pertama adalah untuk menentukan model pohon algoritma dari analisis
CART. CART bersifat non parametric, dan dapat memanipulasi data numerik yang
memiliki struktur multi-modal, ordinal atau non ordinal. CART tidak secara signifikan
dipengaruhi oleh outlier dalam variabel input. Output CART dalam bentuk pohon
algoritma mudah untuk diikuti dan memberikan informasi visual pada hirarki
kepentingan variabel mulai dari atas hingga bawah pohon algoritma, meskipun
16
menghitung atriks kepentingan dalam predictor CART tidak mudah. Sehingga, dalam
penelitian ini, penulis menghitung pentingnya setiap pohon predictor berdasarkan odds
ratio yang dinilai berdasarkan regresi logistik. Kedua, cara menentukan batas pohon
algoritma melalui dua pendekatan berbeda. Disaat logistic regresi menghasilkan batas
tunggal, pohon algoritma pada dasarnya membagi ruang data menjadi setengah
menggunakan batas keputusan linear, yang memberikan batas keputusan non linear.
Salah satu pendekatan mungkin dapat diaplikasikan dengan lebih baik tergantung pada
setting lokasinya. Terakhir, akurasi model diukur dengan cara yang berbeda untuk
melalui validasi silang, yaitu fungsi validasi silang 10 kali lipat di Weka yang
memungkinkan peneliti untuk secara konvensional melakukan validasi silang dan secara
langsung melaporkan akurasi model. Namun, untuk regresi logistic, akurasi model
terhadap hasil yang diprediksi, menggunakan nilai cut-off 0.5 untuk probabilitas
prediksi. Untuk semua alasan diatas, sulit untuk membandingkan manfaat relative kedua
Terdapat beberapa keterbatasa penelitian ini dilihat dari data yang digunakan.
Pertama, data berasal dari 1 RS, indikator dengan sumber daya yang minim di region
Asia Tenggara dimana merupakan daerah endemik. Kedua, karena kurangnya hasul
antibody IgG, tidak dapat diinterpretasikan apakah kasus tersebut merupakan infeksi
dengue primer atau sekunder. Ketiga, algoritma yang didapatkan dari data yang
dikumpulkan dalam 48 jam rawatan pada anak berusia kurang dari 16 tahun. Jika model
digunakan pada pasien yang lebih tua atau di daerah yang ebrbeda. Kemungkinan
17
Meskipun kohort pada 198 pasien dengan dengue yang terkonfirmasi masih kecil,
dengan subset yang lebih kecil lagi yaitu 38 kasus severe dengue, model simple yang
prediktif yang kemungkinan tersedia pada setting yang sama. Selain itu, penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Carter et al menunjukkan bahwa DENV rapid test
diagnostic (RDT) memiliki sensitivitas rendah untuk diagnosis infeksi dengue [47].
Namun, perkembangan tes diagnostic untuk dengue telah berkembang pesat. Tes
NS1secara khusus telah banyak diguanakan pada berbagai fasilitas dengan sumebr daya
terbatas. Penggunaanya sederhana dengan akurasi yang dapat diterima. Jika diagnosis
decpat dengue penggunaan NS1 dapat dilakukan, maka algoritma penulis akan terbukti
sangat bermanfaat. Hal ini juga menekankan pentingnya anak untuk diperiksa segera
setelah dicurigai terinfeksi dengue, karena deteksi NS1 sangat optimal selama 7 hari
pertama. Algoritma ini akan lebih relevan dan berguna hika diagnosis cepat dengue
akan lebih banyak ruang untuk lebih focus pada oenyakit bakteri lain yang lebih serius,
yang banyak ditemukan pada fasilitas dengan sumber daya yang terbatas
Kesimpulan
adanya infeksi DENV. Model ini mendemonstrasikan pentingnya level hematokrit dan
trombosit dalam meninjau tingkat keparahan demam dengue, seperti yang diindikasikan
18
cara sederhana dalam menentukan tingkat keparahan, termasuk hematokrit, GCS,
protein urin, kreatinin dan hitung trombosit, serta semua pemeriksaan yang dilakukan
saat pasien masuk. Model ini berpotensi untuk digunakan dalam pemantau pasien rawat
inap dan manajemen kasus demam pada pasien rawat jalan. Model ini membutuhkan
validasi yang lebih lanjut terhadap dataset yang lain dari studi kohort diklakukan dalam
untuk menjadi pandunan dokter dalam memanajemen kasus severe dengue pada sumber
Daftar Singkatan
AHC : Angkor Hospital for Children. AKI : Acute Kidney Disease, ALT : Alanine
aminotransferase; CART : Classification and regression tree; CI : confidence Interval; DHF :
Dengue hemorrhagic fever; DSS : Dengue Shock Syndrome; GCS : Glasgow Coma Score;
ICU : Intensive Care Unit; JEV : Japanese Encephalitis Virus; OFI : Other febrile illnesses;
OR : Odds Ratio; WBC : White Blood Cells.
Pembiayaan
Penelitian ini merupakan bagian dari Program Wellcome Trust Major Overseas di Asia
Tenggara (nomor : 106698/Z/14/Z)
Kontribusi Penulis
KP, CP, dan WP berkontribusi terhadap konsep dan desain penelitian. SB, MC, PT, KC, SS, VK
dan ND berkoordinasi dengan Rumah Sakit Anak Angkor untuk mendapatkan data dan
menolong dalam proses awal data. KP dan WP membuat konsep penelitian. PC, PJ, SB, dan
LW merevisi secara kritis naskah untuk keperluan konten yang ilmiah. Semua penulis sudah
membaca dan menyetujui naskah akhir.
19
Persetujuan Etik dan Persetujuan untuk Berpartisipasi
Pokok penelitian ini adalah penyebab demam pada anak-anak di AHC dan telah disetujui pada
tanggal 24 September 2009 oleh Oxford Tropical Research Ethics Committee dan 2 Oktober
2009 oleh Angkor Hospital for Children Institutional Review Board. Studi terkini,
menggunakan data dasar dari berbagai penelitian mengenai demam, dan sudah diterima oleh
komite etik dari Faculty of Tropical Medicine, Universitas Mahidol.
Catatan Penerbit
Springer Nature tetap dalam posisi netral dan berkaitan dengan klaim yang berhubungan
dengan hukum dan afilisiasi instusional.
Tentang Penulis
1
Department of Tropical Hygiene (Biomedical and Health Informatics), Faculty of Tropical
Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. 2National Electronics and Computer
Technology Center (NECTEC), Bangkok, Thailand. 3Mahidol-Oxford Tropical Medicine
Research Unit, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. 4Centre
for Tropical Medicine and Global Health, Nuffield Department of Medicine, University of
Oxford, Oxford, UK. 5Institute of Child Health, University College London, London, UK.
6
Angkor Hospital for Children, Siem Reap, Cambodia.
Referensi
1. Tantawichien T. Dengue fever and dengue haemorrhagic fever in adolescents and adults.
Paediatrics and international child health. 2012;32(Suppl 1):22–7.
2. Tanner L, Schreiber M, Low JG, Ong A, Tolfvenstam T, Lai YL, Ng LC, Leo YS,Thi Puong
L, Vasudevan SG, et al. Decision tree algorithms predict the diagnosis and outcome of
dengue fever in the early phase of illness. PLoS Negl Trop Dis. 2008;2(3):e196.
3. Normile D. Tropical medicine. Surprising new dengue virus throws a spanner in disease
control efforts. Science (New York, NY). 2013;342(6157):415.
4. Dwivedi VD, Tripathi IP, Tripathi RC, Bharadwaj S, Mishra SK. Genomics, proteomics and
evolution of dengue virus. Briefings in functional genomics. 2017;16(4):217–27.
5. Guzman MG, Halstead SB, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Gubler DJ, Hunsperger E, Kroeger
A, Margolis HS, Martinez E, et al. Dengue: a continuing global threat. Nat Rev Microbiol.
2010;8(12 Suppl):S7–16.
6. Manock SR, Jacobsen KH, de Bravo NB, Russell KL, Negrete M, Olson JG, Sanchez JL,
Blair PJ, Smalligan RD, Quist BK, et al. Etiology of acute undifferentiated febrile illness in
the Amazon basin of Ecuador. Am J Trop Med Hyg. 2009;81(1):146–51.
7. Huy R, Buchy P, Conan A, Ngan C, Ong S, Ali R, Duong V, Yit S, Ung S, Te V, et al.
National dengue surveillance in Cambodia 1980-2008: epidemiological and virological
trends and the impact of vector control. Bull World Health Organ. 2010;88(9):650–7.
20
8. Sam SS, Omar SF, Teoh BT, Abd-Jamil J, AbuBakar S. Review of dengue hemorrhagic
fever fatal cases seen among adults: a retrospective study. PLoS Negl Trop Dis.
2013;7(5):e2194.
9. Potts JA, Thomas SJ, Srikiatkhachorn A, Supradish PO, Li W, Nisalak A, Nimmannitya S,
Endy TP, Libraty DH, Gibbons RV, et al. Classification of dengue illness based on readily
available laboratory data. Am J Trop Med Hyg. 2010;83(4):781–8.
10.WHO. World health organization:a global brief on vector-borne diseases. Geneva: World
Health Organization; 2014.
11.Duong V, Henn MR, Simmons C, Ngan C, Y B, Gavotte L, Viari A, Ong S, Huy R, Lennon
NJ, et al. Complex dynamic of dengue virus serotypes 2 and 3 in Cambodia following series
of climate disasters. Infection, genetics and evolution : journal of molecular epidemiology nd
evolutionary genetics in infectious diseases 2013, 15:77–86.
12.National Institute of Statistics, Ministry of Planning Phnom Penh, Cambodia. General
Population Census of Cambodia 2008. Cambodia: National Institut of Statistics, Ministry of
Planning Phnom Penh, Cambodia; 2008.
13.Vong S, Goyet S, Ly S, Ngan C, Huy R, Duong V, Wichmann O, Letson GW, Margolis HS,
Buchy P. Under-recognition and reporting of dengue In Cambodia: a capture-recapture
analysis of the National Dengue Surveillance System. Epidemiol Infect. 2012;140(3):491–9.
14.L Breiman J Friedman, CJ. Stone, R.A. Olshen: Classification and regression trees,
illustrated, reprint, revised edn: Taylor & Francis, 1984; 1984.
15.Chheng K, Carter MJ, Emary K, Chanpheaktra N, Moore CE, Stoesser N, Putchhat H, Sona
S, Reaksmey S, Kitsutani P, et al. A prospective study of the causes of febrile illness
requiring hospitalization in children in Cambodia. PLoS One. 2013;8(4):e60634.
16.Collins AS. Preventing health care-associated infections. In: Hughes RG, editor. Patient
safety and quality: an evidence-based handbook for nurses. Rockville (MD): Agency for
Healthcare Research and Quality; 2008.
17.Revelas A. Healthcare - associated infections: a public health problem Niger Med J.
2012;53(2):59–64.
18.Handbook WHO: Integrated management of childhood illness. World Health Organization:
2005.
19.Blacksell SD. Commercial dengue rapid diagnostic tests for point-of-care application: recent
evaluations and future needs? J Biomed Biotechnol. 2012;2012:151967.
20.Barniol J, Gaczkowski R, Barbato EV, da Cunha RV, Salgado D, Martinez E, Segarra CS,
Pleites Sandoval EB, Mishra A, Laksono IS, et al. Usefulness and applicability of the revised
dengue case classification by disease: multi-centre study in 18 countries. BMC Infect Dis.
2011;11:106.
21.Hadinegoro SR. The revised WHO dengue case classification: does the system need to be
modified? Paediatrics and international child health.2012;32(Suppl 1):33–8.
22.Kalayanarooj S. Dengue classification: current WHO vs. the newly suggested classification
for better clinical application? Journal of the Medical Association of Thailand = Chotmaihet
thangphaet. 2011;94(Suppl 3):S74–84.
23.Seni G, Elder J. Ensemble Methods in Data Mining: Improving Accuracy Through
Combining Predictions. Morgan & Claypool; 2010.
24.Feelders A. Handling missing data in trees: Surrogate splits or statistica imputation?
Principles of Data Mining and Knowledge Discovery 1999, 1704. Springer Berlin
Heidelberg.
25.Cevallos Valdiviezo H, Van Aelst S: Tree-based prediction on incomplete data using
imputation or surrogate decisions. ELSEVIER, Information Sciences 2015, 311:163–181.
26.Potts JA, Gibbons RV, Rothman AL, Srikiatkhachorn A, Thomas SJ, Supradish PO, Lemon
SC, Libraty DH, Green S, Kalayanarooj S. Prediction of dengue diseas severity among
21
pediatric Thai patients using early clinical laboratory indicators. PLoS Negl Trop Dis.
2010;4(8):e769.
27.Chuansumrit A: Pathophysiology and management of dengue hemorrhagic fever. 2006:3–11.
Blackwell Publishing.
28.Lei HY, Yeh TM, Liu HS, Lin YS, Chen SH, Liu CC. Immunopathogenesis of dengue virus
infection. J Biomed Sci. 2001;8(5):377–88.
29.Hottz E. Platelets in dengue infection. Drug Discovery Today. 2011;8(No. 1-2):e33-e38.
Elsevier.
30.Srikiatkhachorn A, Gibbons RV, Green S, Libraty DH, Thomas SJ, Endy TP, Vaughn DW,
Nisalak A, Ennis FA, Rothman AL, et al. Dengue hemorrhagic fever: the sensitivity and
specificity of the world health organization definition for identification of severe cases of
dengue in Thailand, 1994-2005. Clinical infectious diseases : an official publication of the
Infectious Diseases Society of America. 2010;50(8):1135–43.
31.Chadwick D, Arch B, Wilder-Smith A, Paton N. Distinguishing dengue fever from other
infections on the basis of simple clinical and laboratory features: application of logistic
regression analysis. Journal of clinical virology : the official publication of the Pan American
Society for Clinical Virology. 2006;35(2):147–53.
32.Tamibmaniam J, Hussin N, Cheah WK, Ng KS, Muninathan P. Proposal of a clinical
decision tree algorithm using factors associated with severe dengue infection. PLoS One.
2016;11(8):e0161696.
33.The TD. Clinical features of dengue in a large Vietnamese cohort:Instrinsically lower
platelet counts and greater risk for bleeding in adults than children. 2012;6(6):e1679. PLOS
Neglected Tropical Diseases.
34.Rao SM. Internal Medicine Inside. Herbert Open Access Journals; 2013. Khan MI, Anwar E,
Agha A, Hassanien NS, Ullah E, Syed IA, Raja A. Factors predicting severe dengue in
patients with dengue fever. Mediterranean journal of hematology and infectious diseases.
2013;5(1):e2013014.
35.Vasanwala FF, Puvanendran R, Fook-Chong S, Ng JM, Suhail SM, Lee KH. Could peak
proteinuria determine whether patient with dengue fever develop dengue
hemorrhagic/dengue shock syndrome?–a prospective cohort study. BMC Infect Dis.
2011;11:212.
36.Laoprasopwattana K, Pruekprasert P, Dissaneewate P, Geater A Vachvanichsanong P.
Outcome of dengue hemorrhagic fever-caused acute kidney injury in Thai children. J
Pediatr. 2010;157(2):303–9.
37.Mallhi TH, Khan AH, Adnan AS, Sarriff A, Khan YH, Jummaat F. Incidence, characteristics
and risk factors of acute kidney injury among dengue patients: a retrospective analysis. PLoS
One. 2015;10(9):e0138465.
38.Mallhi TH, Sarriff A, Adnan AS, Khan YH, Hamzah AA, Jummaat F, Khan AH. Dengue-
induced acute kidney injury (DAKI): a neglected and fatal complication of dengue viral
infection–a systematic review. J Coll Physicians Surg Pak. 2015;25(11):828–34.
39.Oliveira JF, Burdmann EA. Dengue-associated acute kidney injury. Clin Kidney J.
2015;8(6):681–5.
40.Gan VC, Lye DC, Thein TL, Dimatatac F, Tan AS, Leo YS. Implications discordance in
world health organization 1997 and 2009 dengue classifications in adult dengue. PLoS One.
2013;8(4):e60946
41.Basuki PS, Budiyanto, Puspitasari D, Husada D, Darmowandowo W, Ismoedijanto SS,
Yamanaka A. Application of revised dengue classification criteria as a severity marker of
dengue viral infection in Indonesia. The Southeast Asian journal of tropical medicine and
public health. 2010;41(5):1088–94.
42.WHO. World Health Organization:Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control. In: Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, New
Edition. edn. Geneva edn. Geneva : World Health Organization; 2009.
22
43.Cao XT, Ngo TN, Wills B, Kneen R, Nguyen TT, Ta TT, Tran TT, Doan TK, Solomon T,
Simpson JA, et al. Evaluation of the World Health Organization standard tourniquet test and
a modified tourniquet test in the diagnosis of dengue infection in Viet Nam. Tropical
medicine & international health : TM & IH. 2002;7(2):125–32.
44.Hammond SN, Balmaseda A, Perez L, Tellez Y, Saborio SI, Mercado JC, Videa E,
Rodriguez Y, Perez MA, Cuadra R, et al. Differences in dengue severity in infants, children,
and adults in a 3-year hospital-based study in Nicaragua. The American journal of tropical
medicine and hygiene. 2005;73(6):1063–70.
45.Mayxay M, Phetsouvanh R, Moore CE, Chansamouth V, Vongsouvath M, Sisouphone S,
Vongphachanh P, Thaojaikong T, Thongpaseuth S, Phongmany S, et al. Predictive
diagnostic value of the tourniquet test for the diagnosis of dengue infection in adults.
Tropical medicine & international health : TM & IH. 2011;16(1):127–33.
46.Carter MJ, Emary KR, Moore CE, Parry CM, Sona S, Putchhat H, Reaksmey S,
Chanpheaktra N, Stoesser N, Dobson AD, et al. Rapid diagnostic tests for dengue virus
infection in febrile Cambodian children: diagnostic accuracy and incorporation into
diagnostic algorithms. PLoS Negl Trop Dis. 2015;9(2):e0003424.
23