Anda di halaman 1dari 24

Journal Reading

Predicting the Severity of Dengue Fever in Children on Admission


Based on Clinical Features and Laboratory Indicators: Application of
Classification Tree Analysis

Oleh:

Delila Maharani 1740312269

Preseptor:

dr. Iskandar Syarif, Sp.A (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUP. DR. M. DJAMIL

PADANG

2018

0
Prediksi Tingkat Keparahan Demam Dengue pada Anak Saat Masuk RS

Berdasarkan Manifestasi Klinis dan Indikator Laboratorium : Penerapan

dari Analisis Alur Klasifikasi

Abstrak
Latar Belakang: Demam dengue merupakan penyakit virus yang kembali muncul ke
permukaan, penyakit ini umumnya terjadi di daerah tropis dan subtropis. Manifestasi klinis dan
hasil pemeriksaan laboratorium dari infeksi dengue hampir sama dengan penyakit demam
lainnya, oleh karena itu tidak mudah untuk menentukan diagnosis serta tatalaksana secara cepat
dan tepat. Keterlambatan dalam penegakan diagnosis dapat mempengaruhi tatalaksana dan
meningkatkan risiko kematian. Diagnosis yang cepat dan tepat dapat memaksimalkan
pengelolaan kasus dan penggunaan sumber daya termasuk di dalamnya petugas rumah sakit,
kamar rawatan, dan perlengkapan perawatan intensif. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengembangkan model prediksi mengenai karakteristik dari tingkat keparahan demam dengue
berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium di saat awal pasien masuk
menggunakan data dan alat statistik.
Metode: Data yang digunakan adalah pasien anak dengan demam di Angkor Hospital for
Children, Kamboja. Didapatkan 1225 rekam medis pasien dengan demam, 198 pasien
diantaranya sudah didiagnosis dengan demam dengue. Penelitian ini menggunakan
Classification and Regression Tree (CART) untuk membuat alur prediksi dalam pengambilan
keputusan sesuai dengan tingkat keparahan dari demam dengue, sementara analisis regresi
dipakai untuk mengukur secara independen signifikansi pada setiap parameter yang ada di alur
pengambilan keputusan.
Hasil: Algoritma alur pengambilan keputusan dibuat menggunakan nilai hematokrit, Glasgow
Coma Score (GCS), protein urin, kreatinin dan hitung trombosit sehingga diharapkan dapat
memprediksi tingkat keparahan dengue dengan sensitivitas, spesifitas dan akurasi masing-
masing sebesar 60,5%, 65%, dan 64,1%, secara respektif.
Kesimpulan: Alur yang dideskripsikan pada jurnal ini, dibuat menggunakan lima tanda klinis
sederhana dan indikator laboratorium, sehingga diharapkan dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat keparahan kasus dengue pada pasien anak yang dimulai pada saat anak baru masuk
rawatan. Algoritma ini diharapkan bisa digunakan untuk menjadi guideline untuk rencana
pemantauan pasien yang lebih baik dan diharapkan dapat juga digunakan pada pasien dengan
demam di fasilitas kesehatan dengan sumber daya yang tidak memadai.

1
Kata Kunci: Alur klasifikasi, dengue, keparahan, kamboja, data, anak-anak
Latar Belakang

Demam dengue merupakan penyakit yang menyebabkan tingginya beban dan

mortalitas pada daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara, Afrika, Pasifik Barat dan

Amerika[1]. Virus dengue terdiri dari lima stereotype, yaitu DENV-1, DENV-2,

DENV-3, DENV-4, dan DENV-5, yang ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti [2-

5]. Diperkirakan 2,5 juta orang di dunia beresiko terkena dengue. Angka kejadian

infeksi dengue per tahunnya adalah 50 juta, 500.000 di antaranya masuk ke rumah sakit

dengan dengue yang berat dalam bentuk dengue high fever (DHF) atau dengue shock

syndrome (DSS), terutama pada anak-anak[5].

Infeksi dengue sering keliru dengan other fibrille illnesses (OFI), dikarenakan

pada dengue gejala klinis yang tidak khas dan manifestasi klinis yang serupa dengan

OFI. Pada stadium awal dengue, adanya demam yang tidak khas membuat penegakan

diagnosis menjadi lebih sulit, sehingga tatalaksana yang dilakukan tidak efektif

sehingga dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas [2,6]. Demam dengue yang

berat, jika tidak ditatalaksana dengan baik, dapat berujung pada kematian, terutama

pada anak-anak [7,8]. Sebagai tambahan, keterbatasan dari fasilitas laboratorium,

khususnya di daerah terpencil, pedesaan, dapat menyebabkan sulitnya membedakan

infeksi dengue dengan OFI [9]. Dengue merupakan salah satu penyakit menular melalui

vektor yang paling sering terjadi di Asia Tenggara, dan juga merupakan salah satu

penyakit virus yang ditularkan melalui nyamuk, serta berpotensi menjadi wabah di

bebagai belahan dunia[10].

Dengue pertama kali dimasukkan ke dalam program pengawasan nasional pada

tahun 1980. Sejak tahun 2000, terdapat setidaknya 10.000-40.000 kasus/tahun yang

dilaporkan oleh Dengue National Control Program[11] dari seluruh total populasi yaitu

2
sebesar 13,5 juta penduduk[12]. Namun demikian, insidensi yang sebenarnya di

Kamboja masih belum banyak dilaporkan dikarenakan sulitnya mendiagnosis infeksi

dengue, terutama data dari berbagai rumah sakit [13]. Dalam penelitian ini, data kohort

diambil dari pasien anak-anak yang masuk ke Angkor Hospital for Children, Siem

Reap, Kamboja dengan keluhan utama demam, dilakukan analisis retrospektif selama

satu tahun. Pendekatan ini menggunakan klasifikasi dan alur regresi atau CART, yang

pertama kali dikenalkan oleh Brieman dkk[14]. Ini merupakan alat yang biasa

digunakan dalam pengambilan data, sehingga dapat membentuk suatu algoritma yang

dapat memperkirakan nilai dari variabel target berdasarkan pada variabel tingkat

keparahan. Dalam penelitian ini, CART digunakan agar dapat memperkirakan tingkat

keparahan dari infeksi dengue berdasarkan pada manifestasi klinis dan indikator

laboratorium saat pasien pertama kali masuk. Model ini selanjutnya akan digunakan

untuk mengevaluasi tegaknya diagnosis.

Metode

Data dan Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah studi retrospektif menggunakan data yang berasal dari

investigasi demam pada anak-anak (“The fever study”) di Angkor Hospital for

Children, Kamboja (AHC) [15]. Di rumah sakit khusus anak, provinsi Siem Reap,

Kamboja terdapat 70 tempat untuk pasien dengan perawatan yang komprehensif

terhadap pasien anak yang kurang dari 16 tahun, dan termasuk juga pasien dengan

rawatan khusus di bidang medical dan surgical baik pada pasien rawat inap maupun

pasien rawat jalan. Untuk penelitian mengenai demam, kriteria inklusinya adalah usia

<16 tahun, suhu aksila yang tercatat ≥38.0C dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit,

dan sudah dilakukan informed consent oleh orangtua maupun pengasuhnya. Anak-anak

3
yang mengalami kenaikan suhu ≥48 jam setelah masuk rumah sakit atau telah menjalani

tindakan bedah dieksklusikan dikarenakan mereka bisa dipertimbangkan sudah

mengalami healthcare-associated infection [16,17]. Integrated Management of Illnes

(IMCI) digunakan untuk melakukan penilaian dan pembuatan keputusan apakah pasien

tersebut dirawat atau tidak[18].

Data diambil pada saat pasien masuk oleh dokter menggunakan formulir laporan

kasus khusus. Sampel darah pada saat masuk,dan jika memungkinkan, serologi saat

pasien dalam keadaan sehat diambil pada saat pasien pulang, atau setelah tujuh hari

setelah masuk rumah sakit, sampel tersebut diambil untuk dilakukan pemeriksaan

antibody IgM dan uji antigen NSI. Semua pasien dalam rawatan ditinjau kembali

sebanyak dua kali sehari untuk kelayakan dan kualitas data yang dikumpulkan. Data

diambil dari pasien yang dirawat mulai tanggal 12 Oktober 2009 sampai tanggal 12

Oktober 2010.

Diagnosis dengue didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium diagnostik

yaitu: 1) DENV NS1 antigen ELISA (Diagnosis Standar Korea) untuk mendeteksi

antigen spesifik dengue pada sampel serum, 2) Panbio Japanese encephalitis virus

(JEV) dan IgM dengue kombinasi ELISA (Diagnosis Standar Korea) digunakan untuk

mendeteksi anti-JEV dan anti-DENV spesifik antibodi IgM pada sampel serum, dan 3)

Dengue capture IgM ELISA (Teknologi Venture, Malaysia) digunakan untuk

mendeteksi anti-JEV dan antibodi IgM anti-DENV-spesifik di dalam specimen cairan

serebrospinal (CSF).

Pasien diklasifikasikan menjadi dua yaitu memiliki infeksi virus dengue dengan

NS1 antigen positif melalui ELISA, atau jika nilai dari akut dan sembuh menunjukkan

adanya peningkatan atau IgM anti-dengue yang statis (dan IgM anti-dengue lebih tinggi

4
dibandingkan IgM anti-Japanese encephalitis) pada ≥7 hari setelah pengambilan

sampel [15]. Hasil dari antigen-NS1 dan antibodi IgM dikombinasikan denan cara

Boolean menggunakan operasi AND/OR untuk memastikan bahwa seluruh spectrum

temporal dari tampilan pasien selama fase akut infeksi dengue tertutup dengan antigen

NS1 dapat muncul dalam serum pada fase awal infeksi dan antibodi IgM biasanya

muncul 2-5 hari setelah infeksi terjadi [19]. Rasio tingkat IgM anti-dengue dan anti-

JEV digunakan untuk menentukan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi dengue

atau Japanese Encephalitis Virus, yang mana antibodinya sering memiliki kesamaan

reaktivitas silang saat saling bersirkulasi di area yang sama. Anak-anak yang berusia

kurang dari 60 hari tidak dilakukan pemeriksaan infeksi virus dengue.

Semua kasus dengue yang telah terkonfirmasi selanjutnya akan dikategorikan

sebagai severe atau non-severe dengue. Dari literature yang didapatkan, revisi yang

terdapat pada klasifikasi WHO tahun 2009 merupakan penyempurnaan dari klasifikasi

WHO tahun 1997, namun demikian masih membutuhkan pelatihan, penyebaran

informasi yang sesuai, dan penelitian lebih lanjut dalam hal tanda-tanda bahaya pada

dengue yang berat [20]. Klasifikasi ini juga dianggap oleh banyak orang terlalu luas,

serta membutuhkan definisi spesifik dari tanda-tanda bahaya [21], shingga dapat

meningkatkan beban dari petugas kesehatan dan tidak cukup sederhana serta kurang

mudah digunakan[22]. Dalam penelitian ini, kasus dengue dikategorikan berdasarkan

tingkat keparahan dalam proses dua langkah. Langkah yang pertama adalah dengan

memperhitungkan semua kasus dengue yang dikonfirmasi dengan perawatan unit

perawatan intensif (ICU), bersamaan dengan klasifikasi dengue WHO 2009. Kedua, dua

factor penilaian dokter spesialis anak dapat dipertimbangkan untuk a) pengecualian

pada kasus yang diterima ICU yang mungkin diagnosis utamanya bukan severe dengue

5
dan b) Keterbatasan sumber daya menyebabkan ketidakmampuan untuk memasukkan

semua kasus yang tidak dirawat di ICU dan mungkin benar-benar memberikan tampilan

severe dengue akan tetapi tidak dirawat untuk beberapa alasan. Menilai tingkat

keparahan penyakit pada pasien ini sangat sulit karena hanya manifestasi klinis awal

dan indikator laboratorium yang terbatas pada saat masuk yaitu hasil awal hematokrit,

jumlah trombosit, jumlah sel darah putih (WBC), urea, kreatinin, dan alanine

aminotransferase (ALT) dan juga protein urin atau sel darah merah (RBC) yang positif.

Hasil dari rontgen thorax tidak tersedia untuk mengevaluasi efusi pleura, hasil USG

abdomen juga tidak tersedia untuk mendeteksi adanya cairan peritoneum (asites).

Adanya pendarahan tidak dilakukan penilaian selain dengan memeriksa sampel tinja

untuk darah. Penilaian kasus per kasus dan verifikasi oleh dua dokter dapat digunakan

sebagai referensi untuk prediksi.

Analisa data dan pembuatan dari model prediksi

Demografik dan karakteristik klinis kasus severe dan non-severe dengue

digambarkan menggunakan nilai rata-rata ± standar deviasi (SD) jika distribusi data

normal atau dengan median dan kisaran seballiknya. Perbandingan antara dua kelompok

dilakukan menggunakan uji t-test untuk variabel kontinu jika distribusi data normal,

sebaliknya digunakan uji Mann-Whitney. Uji chi-square digunakan untuk data

kategorial. Apabila nilai p<0,05 dianggap signifikan. CART dibuat untuk

memperkirakan tingkat keparahan kasus dengue berdasarkan gejala klinis awal dan

indikator laboratorium saat masuk. Algoritma J48 digunakan untuk membuat alur

keputusan dikarenakan algoritma ini bisa menangani data nominal, kategorial, dan

numerik, dan juga pada missing value. Penelitian ini, nilai negatif palsu lima kali lebih

besar dibandingkan nilai positif palsu , sebagai contoh kerugian salah diagnosis pada

6
pasien dengan severe dengue lima kali lebih besar dibandingkan kerugian pada kasus

non-severe dengue yang didiagnosis sebagai severe dengue. Pemotongan dan

penyesuaian parameter telah dilakukan untuk mengoptimalkan grafik prediksi dengan

cara menghindari alur yang terlalu rumit sehingga dapat meningkatkan akurasi dari alur

tersebut. Fungsi validasi silang 10x lipat oleh Weka, digunakan untuk mengestimasikan

akurasi sampel yang dieksklusi, sehingga data yang tersedia menjadi lebih terbatas.

Secara sederhana, cara ini membagi data menjadi sepuluh bagian, sembilan di antaranya

untuk percobaan, dan satu untuk diujikan. Alur ini dibentuk menggunakan berbagai

percobaan dan akan diujikan. Untuk menurunkan variabilitas, validasi silang dilakukan

berkali-kali menggunakan bagian-bagian yang berbeda, dan hasil validasi tersebut

dikombinasikan untuk mengestimasikan kinerja alurnya.

Segera sesudah alur tersebut diperoleh, nilai signifikan dari masing-masing faktor

prediksi diukur menggunakan kelipatan dari regresi logistik dengan metode “enter”

(contoh : semua variabel dimasukkan ke dalam model) sebagai hasil dari odds ratio

(OR) dan diperoleh angka 95% CI. Analisis deskriptif dan kelipatan regresi logistic

dihitung menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS), versi 18.0

dan versi CART yang digunakan adalah 3.6.10 (Universitas Waikato, New Zealand).

Parameter

Sebelum pengambilan data, dapat digunakan algoritma, dimana data yang

diinginkan harus sudah dikumpulkan dan dilakukan proses awal, yang melibatkan

pembersihan, penghapusan, pengelompokkan, dan pengubahan data. Pada awalnya

terdapat 24 variabel yang dipakai untuk analisis ini. Akan tetapi, tiga variabel

dieksklusikan dari analisis contoh hasil tes turniket lebih dari 15% datanya hilang

dimana nadi dan pernapasan ikut ke dalam parameter yang bergantung pada usia

7
sehingga yang terakhir harus dieksklusikan darai analisis karena tidak dapat digunakan

apabila dimasukkan ke dalam model. Untuk variabel lainnya yang kurang dari 15% nilai

yang hlang, ini diperhitungkan menggunakan satu demi satu pendekatan imputasi.

Keuntungan metode imputasi dibandingkan alur algoritma penggalian data dengan

CART [24] adalah metode ini memisahkan data yang hilang dari masalah prediksi,

sehingga memungkinkan metode prediksi yang lain untuk dipakai dalam mengimputasi

data [25]. Studi ini, beberapa data yang hilang dilakukan imputasi dengan nilai tunggal,

termasuk nilai rata-rata pada beberapa variabel (lama demam dalam hari, waktu

pengisian kapiler, GCS, dan hasil urea) dan nilai rata-rata dari yang lainnya (hematokrit,

kreatinin, ALT, laju pernapasan pada bayi, protein urin dan RBC, dan WBC, netrofil,

limfosit dan hitung trombosit).

Hasil

Terdapat 3.225 pasien yang masuk ke rumah sakit selama studi ini dilakukan,

1.361 (42,2%) sesuai dengan kriteria inklusi, 136 (10,0%) di antaranya tidak terdaftar,

,sehingga terdapat 1.225 yang terdiri dari 1180 anak, dengan 1.144 anak dengan episode

tunggal, 31 anak dengan dua kali episode, dan satu anak memiliki tiga kali episode, dan

empat anak dengan empat kali episode. Pasien didiagnosis utama dengan infeksi traktus

respitorius bawah (38,3%), penyakit demam yang belum jelas penyebabnya (25,5%)

atau penyakit diare (19,5%) [15]. Dari 1180 pasien anak yang terdaftar, 69 diantaranya

meninggal. Disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu: pneumonia dengan tidak

ditemukannya virus/kuman penyebab (12 kasus, 27,5%), infeksi virus dengue (sebelas

kasus, termasuk satu dengan diagnosis tambahan meiloidosis, dua dengan tifus, dan

empat dengan pneumonia klinis, 15,9%), dan meiliodosis (empat kasus, 5,8%). 941

8
episode non-dengue dan 86 episode yang tidak memiliki sampel dieksklusikan dari

analisis. Penjelasan lainnya bisa dilihat pada laporan asli[15].

Dari 198 episode yang terkonfirmasi, 43 diantaranya membutuhkan rawatan ICU,

dengan 29 diantaranya diklasifikasikan mengalami severe dengue berdasarkan

manifestasi klinisnya, didukung oleh dua pemeriksaan klinis lain. Sembilan orang

dengan episode severe dengue dimasukan dari perawatan biasa (bukan ICU), sehingga

total seluruhnya adalah 38 episode severe dengue. Terdapat sebelas pasien yang

meninggal selama rawatan di ICU dengan diagnosis infeksi virus dengue, namun

demikian biasanya dengue didiagnosis pertama kali secara tepat sebanyak satu dari lima

kasus. Oleh karena itu, hanya lima kasus yang dimasukkan pada kelompok severe

dengue. Skema penelitian ini dapat dilihat di Fig.1

Manifestasi klinis, termasuk darah di dalam tinja, pembesaran hati, rawatan ICU,

lamanya hari perawatan di ICU, rendah atau tingginya hematokrit, rendah atau

tingginya hitung sel darah putih, kreatinin yang meningkat ,urea yang meningkat,

menurunnya jumlah trombosit, meningkatnya kecepatan nadi, meningkatnya laju

9
respiratorius, menurunnya GCS, efusi pleura (hanya satu kasus), nyeri abdomen, protein

urin, eritrosit dalam urin, dan meningkatnya ALT, dapat dipertimbangkan untuk satu

persatu kasus yang akan diklasifikasikan oleh dokter sebagai severe dengue atau non-

severe dengue. Manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium dari 38 kasus yang

masuk dalam kategori severe dengue dapat dilihat pada tabel 1. Tiga tanda paling sering

diantara pasien-pasien dengan penyakit berat yang masuk dalam rawatan ICU (76,3%),

meningkatnya laju respiratorik (81,5%), dan meningkatnya denyut nadi (65,7%). Severe

dengue lebih sering terjadi pada anak-anak yang berusia kurang dari lima tahun. Muntah

dan nyeri abdomen secara signifikan lebih sering pada kelompok severe dengue, sama

halnya pada kecepatan nadi yang meningkat dan kecepatan respirasi yang meningkat,

meningkatnya waktu pengisian kapiler, dan rendahnya GCS.

10
Proporsi yang sangat signifikan pada pasien dengan severe dengue menunjukan hasil

penurunan hematokrit, peningkatan sel darah putih dan hitung limfosit, peningkatan

level ALT, bersamaan dengan terdapatnya sel darah merah di dalam urinnya (tabel 2).

Hasil akhir dari alur algoritma pengambilan keputusan termasuk di dalamnya lima

manifestasi klinis dan parameter laboratorium: hematokrit, GCS, protein urin, kreatinin,

dan hitung trombosit. Sensitivitas dan spesifitas dari model ini adalah 60,5% dan 65%

secara respektif (Fig.2). Akurasi dari model ini adalah 64,1% yang menggunakan

diagnosis klinis sebagai referensi dasar penilaiannya. Area yang berada di bawah kurva

receiver operating characteristic (ROC) untuk regresi logistic adalah 0,616. Alur akhir

pembuatan keputusan selanjutnya dibuat menggunakan analisis regresi logistic untuk

11
memperkirakan dampak yang mungkin terjadi pada masing-masing variabel terpilih di

dalam CART sebagaimana yang ditampilkan oleh OR dan 95% CI.

Tabel 3 menunjukkan perkiraan OR pada masing-masing parameter yang dipilih

oleh CART. Nilai hematokrit, GCS dan hitung trombosit yang rendah, serta positifnya

protein dalam urin, dan nilai kreatinin yang meningkat dapat dijadikan kemungkinan

dalam mendiagnosis severe dengue, dengan OR yang signifkan dengan range 1,47 –

13,73. Parameter yang dikaitkan secara statistik oleh severe dengue adalah 1) Nilai

hematokrit yang rendah (OR=7,114, 95% 3.00-16.87, p<0,001) dan 2) Nilai GCS yang

rendah (OR = 13,73, 95% CI = 3,46-54,5, p <0,001). Walaupun hitung trombosit (OR =

2,33, 95% CI = 0,95-5,76), nilai protein urin postif (OR = 1,83, 95% CI = 0,78-4,32)

dan terdapat peningkatan serum

kreatinin (OR = 1,47, 95% CI =

0,51-4,25) berhubungan dengan

peningkatan resiko tingkat

keparahan, akan tetapi faktor-faktor

tersebut tidak signifikan secara

statistik dengan analisis regresi

(tabel 3).

Diskusi

Dengan menggunakan pendekatan dalam pengumpulan data, penulis telah

mengembangkan algoritma tersebut menggunakan manifestasi klinis dan indikator

laboratorium sederhana untuk memprediksi tingkat keparahan dengue selama fase awal

penyakit. Algoritma akhir untuk memprediksi severe dengue (Fig.2) terdiri dari 6

komponen berdasarkan signifikansinya. Faktor yang paling signifikan dalam

12
memprediksi severe dengue adalah hematocrit yang rendah, diikuti dengan GCS 11 atau

lebih rendah sebagai pilihan kedua jika hematocrit lebih dari 28, adanya protein dalam

urin dan kreatinin diatas 84 µmol/l sebagai pilihan ketiga jika GCS diatas 11, dan hitung

trombosit 146.000 per mm3 atau kurang sebagai pilihan terakhir, jika terdapat protein

dalam urin dan kreatinin dibawah 84 µmol/l.

Dengan membandingkan algoritma yang penulis susun dengan yang dilaporkan

dalam penelitian sebelumnya, penulis menemukan persamaan dan perbedaan. Potts et al

menyusun algoritma untuk memprediksi DSS atau dengue dengan efusi pleura yang

signifikan[26]. Algoritma tersebut memiliki sensitivitas yang tinggi sekitar 97%.

Hematokrit dan trombosit yang rendah juga diidentifikasi sebagai faktor prediktif,

namun nilai cut-off yang digunakan dalam algoritma tersebut lebih ekstrim, yaitu untuk

hematocrit ≤ 28 vs ≤40, dan untuk hitung platelet ≤146.000 vs ≤160.200. Mekanisme

trombositopenia yang disebabkan oleh virus dengue cukup kompleks [27]. Penelitian

sebelumnya menyebutkan bahwa virus dengue kemungkinan berkontribusi dalam

supresi sumsum tulang dan destruksi trombosit [28, 29]. Untuk memenuhi guideline

WHO dalam mengklasifikasi pasien dengan DBD, diperlukan adanya trombositopenia

(hitung trombosit ≤100.000). Srikiatkhachorn et al menunjukkan bahwa

trombositopenia berhubungan dengan tingkat keparahan dengue dan tidak semua kasus

berat yang diklasifikasikan sebagai DBD berdasarkan kriteria WHO[30]. Meskipun

trombositopenia dapat menunjukkan infeksi severe dengue, nilai hitung trombosit yang

rendah juga banyak ditemukan pada OFI lain seperti malaria dan tifus [31]. Definisi

WHO 1997 mengenai DBD menyatakan bahwa hitung trombosit rendah (≤100.000),

bersamaan dengan peningkatan hematocrit ≥20% diatas nilai awal, merupakan indikasi

adanya kebocoran plasma. Sebaliknya, hasil dari penelitian ini dan penelitian yang

13
dilakukan oleh Potts menyatakan bahwa penurunan hematokrit sebagai tanda keparahan,

khususnya pada pasien dnegan perdarahan internal di saluran pencernaan[26]. Pada

hasil penelitian ini, juga menunjukkan nilai hematocrit yang lebih ekstrim dibandingkan

dengan penelitian sebelumnya (28% vs 40%) [27]. Meksipun Potts et al

mengidentifikasi hitung leukosit dan persentasi monosit penting, analisis penulis tidak

mengidentifikasi hasil monosit sebagai faktor signifikan jika diinklusikan dalam pohon

algoritma. Selain itu, Potts et al mengevaluasi predictor DSS dan dengue dengan efusi

pleura signfikan, dimana dalam peneltian penulis, severe dengue didiferensiasi

berdasakan gambaran klinis dan indikator laboratorium,

Penelitian lain, yang dilakukan oleh Tamibmaniam et al, menggunakan regresi

logistic sederhana, dan mengidentifikasi 3 parameter, termasuk muntah, efusi pleura,

dan tekanan darah sistolik rendah, untuk memprediksi severe dengue berdasarkan

kriteria WHO 2009 [32]. Penelitian ini tidak secara spesifik focus pada anak dan hanya

menginklusikan pasien perempuan. Sensitivitas dan spesifisitas yang didapat oelh

algoritma mereka adalah 81% dan 54%. Dari ketiga parameter yang diidentifikasi,

muntah merupakan parameter yang terdapat dalam penelitian ini, dan meskipun

awalnya signifikan pada kelompok kasus berat, namun tidak dimasukkan dalam pohon

algoritma akhir.

Meskipun menggunakan pendekatan yang sama untuk memprediksi luaran yang

sama pula dengan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, penulis

mengidentifikasi parameter tambahan yang berhubungan dengan keparahan dengue,

seperti GCS, protein urin, dan kreatinin serum. Terdapat beberapa penjelasan mengenai

perbedaan ini, yang akan dijelaskan selanjutnya.

14
GCS digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran (perubahan status mental)

[33]. Dari hasil penelitian ini, GCS ≤ 11 (dianggap sedang) merupakan faktor yang

signifikan. Rao et al menunjukkan bahwa pasien dengan ensefalitis dengue memiliki

GCS 7-8 dan direkomendasikan untuk intubasi dan dukungan ventilator mekanik

selama rawatan mereka [34].

Penelitian sebelumnya dimana protein urin berhubungan dengan DBD atau DSS

menggunakan ratio protein urin-kreatinin [35, 36], namun penulis hanya menggunakan

dipstick urin untuk pengukuran ini, adanya protein urin pada severe dengue dapat terjadi

akibat kebocoran plasma.

Peningkatan kadar kreatinin serum mengindikasikan disfungsi ginjal. Pada pasien

DBD, peningkatan serum kreatinin ringan sering ditemukan, berkebalikan dengan kadar

yang tinggi terlihat pada kasus severe dengue. Model penulis menunjukkan bahwa kadar

kreatinin serum >84 mmol/l (4.6 mg/dl) berhubungan dengan severe dengue, nilai yang

sama yang ditemukan pada pasien anak dnegan DBD di Thailand, yang memiliki

kreatinin serum rerata 4.9 mg/dl. Analisis juga menunjukkan bahwa 24 dari 25 pasien

dengan acute kidney injury (AKI) memiliki DSS sebagai diagnosis akhir. Dari 25 pasien

yang mengalami AKI sehubungan dengan DBD, 16 (64%) meninggal akibat syok,

bersamaan dengan kondisi lain seperti gagal heparm gagal napas, dan perdarahan berat

[37]. Penelitian pada pasien dewas amelaporkan insiden AKI sebesar 14.2% pada pasien

DBD, dan mengalami mortalitas dan morbiditas yang signidikan, rawatn RS yang lebih

lama, dan luaran ginjal yang buruk [38]. Diagnosis infeksi dengue dini, berdasarkan

karakteristik klinis dan laboratorium dan faktor resiko serta deteksi dini AKI

menggunakan kriteria yang tepat [39], dan monitoring tanda pperingatan untuk severe

dengue, penting jika AKI dan komplikasi lain ingin dicegah [40].

15
Meskipun 2 kriteria WHO tahun 1997 dan 2009 masih diperdebatkan dalam hal

kemampuan mereka untuk memdifirensiasikan dengue dari OFI dan untuk

mengklasifikasikan keparahan penyakit [20-22, 41, 42], masalah tersebut diperparah

oleh kurangnya data dari fasilitas yang kekurangan sumber daya, sehingga sulit untuk

mengaplikasikan kriteria tersebut. Misalnya, penulis kekurangan data mengenai lokasi

perdarahan, dan hanya dapat mendeteksi perdarahan saluran cerna berdasarkan

pemeriksaan feses. Selain itu, data tekanan darah dan tekanan nadi yang sempit untuk

mengindikasikan apakah pasien dalam keadaan syok [43], tidak ada data yang

menunjukkan kegagalan sirkulasi, dan tidak ada hasil ronthen toraks untuk

mengevaluasi efusi pleura atau USG abdomen untuk mendeteksi asites, yang mana

keduanya penting untuk mendeteksi kebocoran plasma. Guideline dengue WHO 1997

dan 2009 juga menginklusikan tes tourniquet sebagai alat diagnostic dengue pada fase

febris awal. Namun, tes tourniquet memiliki sensitivitas yang rendah untuk diagnosis

dengue, dimana hasil negative tidak mengeksklusikan infeksi dengue [44-46]. Tes

tourniquet tidak dilakukan pada mayoritas pasien sehingga tidak diinklusikan dalam

analisis.

Pada 2 pendekatan yang digunakan dalam penelitian, CART dan pendekatan

regresi logistic yang lebih konvensional, beberapa poin penting untuk disebutkan.

Pertama, focus pertama adalah untuk menentukan model pohon algoritma dari analisis

CART. CART bersifat non parametric, dan dapat memanipulasi data numerik yang

memiliki struktur multi-modal, ordinal atau non ordinal. CART tidak secara signifikan

dipengaruhi oleh outlier dalam variabel input. Output CART dalam bentuk pohon

algoritma mudah untuk diikuti dan memberikan informasi visual pada hirarki

kepentingan variabel mulai dari atas hingga bawah pohon algoritma, meskipun

16
menghitung atriks kepentingan dalam predictor CART tidak mudah. Sehingga, dalam

penelitian ini, penulis menghitung pentingnya setiap pohon predictor berdasarkan odds

ratio yang dinilai berdasarkan regresi logistik. Kedua, cara menentukan batas pohon

algoritma melalui dua pendekatan berbeda. Disaat logistic regresi menghasilkan batas

tunggal, pohon algoritma pada dasarnya membagi ruang data menjadi setengah

menggunakan batas keputusan linear, yang memberikan batas keputusan non linear.

Salah satu pendekatan mungkin dapat diaplikasikan dengan lebih baik tergantung pada

setting lokasinya. Terakhir, akurasi model diukur dengan cara yang berbeda untuk

kedua pendekatan. Untuk model pohon algoritma, akurasi out-of-sample diestimasikan

melalui validasi silang, yaitu fungsi validasi silang 10 kali lipat di Weka yang

memungkinkan peneliti untuk secara konvensional melakukan validasi silang dan secara

langsung melaporkan akurasi model. Namun, untuk regresi logistic, akurasi model

diestimasikan berdasarkan table kalsifikasi, yang menunjukkan jumlah yang diobservasi

terhadap hasil yang diprediksi, menggunakan nilai cut-off 0.5 untuk probabilitas

prediksi. Untuk semua alasan diatas, sulit untuk membandingkan manfaat relative kedua

metode yang digunakan dalam penelitian ini.

Terdapat beberapa keterbatasa penelitian ini dilihat dari data yang digunakan.

Pertama, data berasal dari 1 RS, indikator dengan sumber daya yang minim di region

Asia Tenggara dimana merupakan daerah endemik. Kedua, karena kurangnya hasul

antibody IgG, tidak dapat diinterpretasikan apakah kasus tersebut merupakan infeksi

dengue primer atau sekunder. Ketiga, algoritma yang didapatkan dari data yang

dikumpulkan dalam 48 jam rawatan pada anak berusia kurang dari 16 tahun. Jika model

digunakan pada pasien yang lebih tua atau di daerah yang ebrbeda. Kemungkinan

diperlukan beberapa penyesuaian.

17
Meskipun kohort pada 198 pasien dengan dengue yang terkonfirmasi masih kecil,

dengan subset yang lebih kecil lagi yaitu 38 kasus severe dengue, model simple yang

didapatkan kemungkinan bermanfaat karena menginklusikan sejumlah kecil variabel

prediktif yang kemungkinan tersedia pada setting yang sama. Selain itu, penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Carter et al menunjukkan bahwa DENV rapid test

diagnostic (RDT) memiliki sensitivitas rendah untuk diagnosis infeksi dengue [47].

Namun, perkembangan tes diagnostic untuk dengue telah berkembang pesat. Tes

NS1secara khusus telah banyak diguanakan pada berbagai fasilitas dengan sumebr daya

terbatas. Penggunaanya sederhana dengan akurasi yang dapat diterima. Jika diagnosis

decpat dengue penggunaan NS1 dapat dilakukan, maka algoritma penulis akan terbukti

sangat bermanfaat. Hal ini juga menekankan pentingnya anak untuk diperiksa segera

setelah dicurigai terinfeksi dengue, karena deteksi NS1 sangat optimal selama 7 hari

pertama. Algoritma ini akan lebih relevan dan berguna hika diagnosis cepat dengue

lebih sering digunakan. Dengan menggunakan algoritma sederhana penulis untuk

membantu mengidentifikasi dan memprediksi severe dengue, penulis meyakini bahwa

akan lebih banyak ruang untuk lebih focus pada oenyakit bakteri lain yang lebih serius,

yang banyak ditemukan pada fasilitas dengan sumber daya yang terbatas

Kesimpulan

Algoritma alur keputusan yang dibuat dengan menggunakan manifestasi klinis

dan indikator laboratorium yang sederhana, memiliki akurasi klasifikasi dalam

mendiagnosis demam severe dengue di antara pasien anak-anak dengan mengonfirmasi

adanya infeksi DENV. Model ini mendemonstrasikan pentingnya level hematokrit dan

trombosit dalam meninjau tingkat keparahan demam dengue, seperti yang diindikasikan

oleh kriteria WHO dan penelitian-penelitian sebelumnya. Algoritma ini menawarkan

18
cara sederhana dalam menentukan tingkat keparahan, termasuk hematokrit, GCS,

protein urin, kreatinin dan hitung trombosit, serta semua pemeriksaan yang dilakukan

saat pasien masuk. Model ini berpotensi untuk digunakan dalam pemantau pasien rawat

inap dan manajemen kasus demam pada pasien rawat jalan. Model ini membutuhkan

validasi yang lebih lanjut terhadap dataset yang lain dari studi kohort diklakukan dalam

berbagai pengaturan variabel, dengan tujuan membangun sebuah algoritma universal

untuk menjadi pandunan dokter dalam memanajemen kasus severe dengue pada sumber

daya yang terbatas.

Daftar Singkatan
AHC : Angkor Hospital for Children. AKI : Acute Kidney Disease, ALT : Alanine
aminotransferase; CART : Classification and regression tree; CI : confidence Interval; DHF :
Dengue hemorrhagic fever; DSS : Dengue Shock Syndrome; GCS : Glasgow Coma Score;
ICU : Intensive Care Unit; JEV : Japanese Encephalitis Virus; OFI : Other febrile illnesses;
OR : Odds Ratio; WBC : White Blood Cells.

Ucapan Terima Kasih


Penulis berterima kasih kepada semua pegawai dari Departement of Tropical Hygiene, Faculty
of Tropical Medicine, Mahidol University dan kepada Prof.Paul Newton dari Wellcome Trust-
Mahosot Hospital-Oxford Tropical Medicine Research, Lao PDR untuk dukungannya terhadap
studi ini.

Pembiayaan
Penelitian ini merupakan bagian dari Program Wellcome Trust Major Overseas di Asia
Tenggara (nomor : 106698/Z/14/Z)

Ketersediaan Data dan Material


Data anonim digunakan untuk pembuatan alur analisis klasifikasi dan regresi terdapat di dalam
penelitian ini. Data lain mengenai demam tersedia dari Angkor Hospital for Children
Instutional Review Board (IRB) untuk peneliti yang memenuhi kriteria untuk akses untuk data
rahasia (email: chheng@angkorhospital.org).

Kontribusi Penulis
KP, CP, dan WP berkontribusi terhadap konsep dan desain penelitian. SB, MC, PT, KC, SS, VK
dan ND berkoordinasi dengan Rumah Sakit Anak Angkor untuk mendapatkan data dan
menolong dalam proses awal data. KP dan WP membuat konsep penelitian. PC, PJ, SB, dan
LW merevisi secara kritis naskah untuk keperluan konten yang ilmiah. Semua penulis sudah
membaca dan menyetujui naskah akhir.

19
Persetujuan Etik dan Persetujuan untuk Berpartisipasi
Pokok penelitian ini adalah penyebab demam pada anak-anak di AHC dan telah disetujui pada
tanggal 24 September 2009 oleh Oxford Tropical Research Ethics Committee dan 2 Oktober
2009 oleh Angkor Hospital for Children Institutional Review Board. Studi terkini,
menggunakan data dasar dari berbagai penelitian mengenai demam, dan sudah diterima oleh
komite etik dari Faculty of Tropical Medicine, Universitas Mahidol.

Catatan Penerbit
Springer Nature tetap dalam posisi netral dan berkaitan dengan klaim yang berhubungan
dengan hukum dan afilisiasi instusional.

Tentang Penulis
1
Department of Tropical Hygiene (Biomedical and Health Informatics), Faculty of Tropical
Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. 2National Electronics and Computer
Technology Center (NECTEC), Bangkok, Thailand. 3Mahidol-Oxford Tropical Medicine
Research Unit, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. 4Centre
for Tropical Medicine and Global Health, Nuffield Department of Medicine, University of
Oxford, Oxford, UK. 5Institute of Child Health, University College London, London, UK.
6
Angkor Hospital for Children, Siem Reap, Cambodia.

Diterima : 29 Mei 2017 Disetujui : 22 Februari 2018


Dipublikasi secara online : 13 Maret 2018

Referensi
1. Tantawichien T. Dengue fever and dengue haemorrhagic fever in adolescents and adults.
Paediatrics and international child health. 2012;32(Suppl 1):22–7.
2. Tanner L, Schreiber M, Low JG, Ong A, Tolfvenstam T, Lai YL, Ng LC, Leo YS,Thi Puong
L, Vasudevan SG, et al. Decision tree algorithms predict the diagnosis and outcome of
dengue fever in the early phase of illness. PLoS Negl Trop Dis. 2008;2(3):e196.
3. Normile D. Tropical medicine. Surprising new dengue virus throws a spanner in disease
control efforts. Science (New York, NY). 2013;342(6157):415.
4. Dwivedi VD, Tripathi IP, Tripathi RC, Bharadwaj S, Mishra SK. Genomics, proteomics and
evolution of dengue virus. Briefings in functional genomics. 2017;16(4):217–27.
5. Guzman MG, Halstead SB, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Gubler DJ, Hunsperger E, Kroeger
A, Margolis HS, Martinez E, et al. Dengue: a continuing global threat. Nat Rev Microbiol.
2010;8(12 Suppl):S7–16.
6. Manock SR, Jacobsen KH, de Bravo NB, Russell KL, Negrete M, Olson JG, Sanchez JL,
Blair PJ, Smalligan RD, Quist BK, et al. Etiology of acute undifferentiated febrile illness in
the Amazon basin of Ecuador. Am J Trop Med Hyg. 2009;81(1):146–51.
7. Huy R, Buchy P, Conan A, Ngan C, Ong S, Ali R, Duong V, Yit S, Ung S, Te V, et al.
National dengue surveillance in Cambodia 1980-2008: epidemiological and virological
trends and the impact of vector control. Bull World Health Organ. 2010;88(9):650–7.

20
8. Sam SS, Omar SF, Teoh BT, Abd-Jamil J, AbuBakar S. Review of dengue hemorrhagic
fever fatal cases seen among adults: a retrospective study. PLoS Negl Trop Dis.
2013;7(5):e2194.
9. Potts JA, Thomas SJ, Srikiatkhachorn A, Supradish PO, Li W, Nisalak A, Nimmannitya S,
Endy TP, Libraty DH, Gibbons RV, et al. Classification of dengue illness based on readily
available laboratory data. Am J Trop Med Hyg. 2010;83(4):781–8.
10.WHO. World health organization:a global brief on vector-borne diseases. Geneva: World
Health Organization; 2014.
11.Duong V, Henn MR, Simmons C, Ngan C, Y B, Gavotte L, Viari A, Ong S, Huy R, Lennon
NJ, et al. Complex dynamic of dengue virus serotypes 2 and 3 in Cambodia following series
of climate disasters. Infection, genetics and evolution : journal of molecular epidemiology nd
evolutionary genetics in infectious diseases 2013, 15:77–86.
12.National Institute of Statistics, Ministry of Planning Phnom Penh, Cambodia. General
Population Census of Cambodia 2008. Cambodia: National Institut of Statistics, Ministry of
Planning Phnom Penh, Cambodia; 2008.
13.Vong S, Goyet S, Ly S, Ngan C, Huy R, Duong V, Wichmann O, Letson GW, Margolis HS,
Buchy P. Under-recognition and reporting of dengue In Cambodia: a capture-recapture
analysis of the National Dengue Surveillance System. Epidemiol Infect. 2012;140(3):491–9.
14.L Breiman J Friedman, CJ. Stone, R.A. Olshen: Classification and regression trees,
illustrated, reprint, revised edn: Taylor & Francis, 1984; 1984.
15.Chheng K, Carter MJ, Emary K, Chanpheaktra N, Moore CE, Stoesser N, Putchhat H, Sona
S, Reaksmey S, Kitsutani P, et al. A prospective study of the causes of febrile illness
requiring hospitalization in children in Cambodia. PLoS One. 2013;8(4):e60634.
16.Collins AS. Preventing health care-associated infections. In: Hughes RG, editor. Patient
safety and quality: an evidence-based handbook for nurses. Rockville (MD): Agency for
Healthcare Research and Quality; 2008.
17.Revelas A. Healthcare - associated infections: a public health problem Niger Med J.
2012;53(2):59–64.
18.Handbook WHO: Integrated management of childhood illness. World Health Organization:
2005.
19.Blacksell SD. Commercial dengue rapid diagnostic tests for point-of-care application: recent
evaluations and future needs? J Biomed Biotechnol. 2012;2012:151967.

20.Barniol J, Gaczkowski R, Barbato EV, da Cunha RV, Salgado D, Martinez E, Segarra CS,
Pleites Sandoval EB, Mishra A, Laksono IS, et al. Usefulness and applicability of the revised
dengue case classification by disease: multi-centre study in 18 countries. BMC Infect Dis.
2011;11:106.
21.Hadinegoro SR. The revised WHO dengue case classification: does the system need to be
modified? Paediatrics and international child health.2012;32(Suppl 1):33–8.
22.Kalayanarooj S. Dengue classification: current WHO vs. the newly suggested classification
for better clinical application? Journal of the Medical Association of Thailand = Chotmaihet
thangphaet. 2011;94(Suppl 3):S74–84.
23.Seni G, Elder J. Ensemble Methods in Data Mining: Improving Accuracy Through
Combining Predictions. Morgan & Claypool; 2010.
24.Feelders A. Handling missing data in trees: Surrogate splits or statistica imputation?
Principles of Data Mining and Knowledge Discovery 1999, 1704. Springer Berlin
Heidelberg.
25.Cevallos Valdiviezo H, Van Aelst S: Tree-based prediction on incomplete data using
imputation or surrogate decisions. ELSEVIER, Information Sciences 2015, 311:163–181.
26.Potts JA, Gibbons RV, Rothman AL, Srikiatkhachorn A, Thomas SJ, Supradish PO, Lemon
SC, Libraty DH, Green S, Kalayanarooj S. Prediction of dengue diseas severity among

21
pediatric Thai patients using early clinical laboratory indicators. PLoS Negl Trop Dis.
2010;4(8):e769.
27.Chuansumrit A: Pathophysiology and management of dengue hemorrhagic fever. 2006:3–11.
Blackwell Publishing.
28.Lei HY, Yeh TM, Liu HS, Lin YS, Chen SH, Liu CC. Immunopathogenesis of dengue virus
infection. J Biomed Sci. 2001;8(5):377–88.
29.Hottz E. Platelets in dengue infection. Drug Discovery Today. 2011;8(No. 1-2):e33-e38.
Elsevier.
30.Srikiatkhachorn A, Gibbons RV, Green S, Libraty DH, Thomas SJ, Endy TP, Vaughn DW,
Nisalak A, Ennis FA, Rothman AL, et al. Dengue hemorrhagic fever: the sensitivity and
specificity of the world health organization definition for identification of severe cases of
dengue in Thailand, 1994-2005. Clinical infectious diseases : an official publication of the
Infectious Diseases Society of America. 2010;50(8):1135–43.
31.Chadwick D, Arch B, Wilder-Smith A, Paton N. Distinguishing dengue fever from other
infections on the basis of simple clinical and laboratory features: application of logistic
regression analysis. Journal of clinical virology : the official publication of the Pan American
Society for Clinical Virology. 2006;35(2):147–53.
32.Tamibmaniam J, Hussin N, Cheah WK, Ng KS, Muninathan P. Proposal of a clinical
decision tree algorithm using factors associated with severe dengue infection. PLoS One.
2016;11(8):e0161696.
33.The TD. Clinical features of dengue in a large Vietnamese cohort:Instrinsically lower
platelet counts and greater risk for bleeding in adults than children. 2012;6(6):e1679. PLOS
Neglected Tropical Diseases.
34.Rao SM. Internal Medicine Inside. Herbert Open Access Journals; 2013. Khan MI, Anwar E,
Agha A, Hassanien NS, Ullah E, Syed IA, Raja A. Factors predicting severe dengue in
patients with dengue fever. Mediterranean journal of hematology and infectious diseases.
2013;5(1):e2013014.
35.Vasanwala FF, Puvanendran R, Fook-Chong S, Ng JM, Suhail SM, Lee KH. Could peak
proteinuria determine whether patient with dengue fever develop dengue
hemorrhagic/dengue shock syndrome?–a prospective cohort study. BMC Infect Dis.
2011;11:212.
36.Laoprasopwattana K, Pruekprasert P, Dissaneewate P, Geater A Vachvanichsanong P.
Outcome of dengue hemorrhagic fever-caused acute kidney injury in Thai children. J
Pediatr. 2010;157(2):303–9.
37.Mallhi TH, Khan AH, Adnan AS, Sarriff A, Khan YH, Jummaat F. Incidence, characteristics
and risk factors of acute kidney injury among dengue patients: a retrospective analysis. PLoS
One. 2015;10(9):e0138465.
38.Mallhi TH, Sarriff A, Adnan AS, Khan YH, Hamzah AA, Jummaat F, Khan AH. Dengue-
induced acute kidney injury (DAKI): a neglected and fatal complication of dengue viral
infection–a systematic review. J Coll Physicians Surg Pak. 2015;25(11):828–34.
39.Oliveira JF, Burdmann EA. Dengue-associated acute kidney injury. Clin Kidney J.
2015;8(6):681–5.
40.Gan VC, Lye DC, Thein TL, Dimatatac F, Tan AS, Leo YS. Implications discordance in
world health organization 1997 and 2009 dengue classifications in adult dengue. PLoS One.
2013;8(4):e60946
41.Basuki PS, Budiyanto, Puspitasari D, Husada D, Darmowandowo W, Ismoedijanto SS,
Yamanaka A. Application of revised dengue classification criteria as a severity marker of
dengue viral infection in Indonesia. The Southeast Asian journal of tropical medicine and
public health. 2010;41(5):1088–94.
42.WHO. World Health Organization:Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control. In: Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, New
Edition. edn. Geneva edn. Geneva : World Health Organization; 2009.

22
43.Cao XT, Ngo TN, Wills B, Kneen R, Nguyen TT, Ta TT, Tran TT, Doan TK, Solomon T,
Simpson JA, et al. Evaluation of the World Health Organization standard tourniquet test and
a modified tourniquet test in the diagnosis of dengue infection in Viet Nam. Tropical
medicine & international health : TM & IH. 2002;7(2):125–32.
44.Hammond SN, Balmaseda A, Perez L, Tellez Y, Saborio SI, Mercado JC, Videa E,
Rodriguez Y, Perez MA, Cuadra R, et al. Differences in dengue severity in infants, children,
and adults in a 3-year hospital-based study in Nicaragua. The American journal of tropical
medicine and hygiene. 2005;73(6):1063–70.
45.Mayxay M, Phetsouvanh R, Moore CE, Chansamouth V, Vongsouvath M, Sisouphone S,
Vongphachanh P, Thaojaikong T, Thongpaseuth S, Phongmany S, et al. Predictive
diagnostic value of the tourniquet test for the diagnosis of dengue infection in adults.
Tropical medicine & international health : TM & IH. 2011;16(1):127–33.
46.Carter MJ, Emary KR, Moore CE, Parry CM, Sona S, Putchhat H, Reaksmey S,
Chanpheaktra N, Stoesser N, Dobson AD, et al. Rapid diagnostic tests for dengue virus
infection in febrile Cambodian children: diagnostic accuracy and incorporation into
diagnostic algorithms. PLoS Negl Trop Dis. 2015;9(2):e0003424.

23

Anda mungkin juga menyukai