Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN NEUROLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

CEREBRAL PALSY

OLEH:

Syapitri Syamsul

111 2019 2086

PEMBIMBING :

dr. Erni Pancawati, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Syapitri Syamsul

Stambuk : 111 20192086

Judul : Gangguan Obsesif Kompulsif

Hari/Tanggal : / Juli 2020

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian


Neurologi Fakultas Kedokteran, Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Juli 2020

Pembimbing

dr. Erni Pancawati, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Pujisyukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul “Cerebral Palsy”. Penulisan referat ini dibuat sebagai salah satu syarat
untuk mengikuti ujian Program Studi Profesi Dokter di bagian Kepaniteraan
Klinik Ilmu Neurologi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini terdapat banyak
kekurangan, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dan berbagai pihak dan
dokter dan konsulen, akhirnya penyusunan referat ini dapat terselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Erni
Pancawati, Sp.S selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini dalam
memberikan motivasi, arahan, serta saran-saran yang berharga kepada penulis
selama proses penyusunan. Terimakasih pula yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut membantu
penyusunan referat ini.

Makassar, Juli 2020

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cerebral Palsy pertama kali dijelaskan pada tahun 1862 oleh seorang ahli bedah
ortopedi bernama william James Little. Sebuah gangguan motorik yang di sebabkan
oleh kerusakan yang tidak progresif pada perkembangan otak. Pada dasarnya
cerebral palsy akan menunjukkan berbagai macam gangguan klinis dari kerusakan
korteks serebral atau kerusakan subkortikal yang terjadi selama awal tahun
kehidupan. Cerebral palsy sangat beresiko tinggi terjadi pada bayi premature. (1)
Cerebral palsy merupakan suatu kondisi umum perkembangan saraf yang
dihadapi oleh dokter anak. Kondisi ini dapat terjadi dengan sendirinya dengan
banyak spektrum klinis yang berbeda. penyebab dan faktor risikonya banyak dan
sangat penting untuk mengetahui interaksi dari berbagai macam faktor yang dapat
menyebabkan cerebral palsy. Dalam banyak kasus, penyebab cerebral palsy
mungkin tidak tampak. Kondisi tersebut menimbulkan tantangan diagnostik dan
terapeutik kepada dokter dengan tingkat keterlibatan mulai dari ringan dengan cacat
minimal sampai parah, terkait dengan beberapa kondisi komorbiditas. Ini adalah
salah satu dari tiga kecacatan perkembangan jangka panjang yang paling umum. Dua
hal lainnya adalah autism dan retardasi mental yang meyebabkan kesulitan yang
cukup besar sehingga mempengaruhi individu dan keluarganya. (2)
Cerebral palsy selalu dikaitkan dengan banyak defisit seperti keterbelakangan
mental, gangguan bicara,bahasa dan oromotor. Penilaian menyeluruh terhadap
perkembangan saraf anak dengan Cerebral Palsy harus mencakup evaluasi terkait
defisit sehingga Program intervensi dini yang komprehensif dapat direncanakan dan
dilaksanakan.(2)

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi Otak


Otak manusia kira-kira merupakan 2 % dari berat badan orang dewasa. Otak
merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia
dan terutama berasal dari metabolisme glukosa. Secara fungsional dan anatomis otak
dibagi menjadi:
a. Otak besar (cerebrum)
Cerebrum adalah bagian otak yang paling besar dan terbagi atas dua belahan
yaitu: hemisfer kiri dan kanan. Kedua hemisfer dipisahkan oleh fisura
longitudinalis mayor dan sebagian dipersatukan oleh pita serabut saraf yang
melebar (korpus kolosum). Bila otak dibelah secara vertical tampak bagian otak
sebelah luar berwarna abu-abu (gray matter) dan otak bagian dalam berwarna
putih (white matter). Di dalam white matter tertanam massa gray matter yan
disebut ganglia basalis. Yang termasuk ganglia basalis yaitu klaustrum, putamen,
globus palidus, nucleus kaudatus dan amigdala. Kapsula interna berada di dalam
ruang yang dibatasi oleh thalamus, nucleus kaudatus dan nucleus lentikularis.
Daerah ini penting sebagai jalur lintas bagi semua serabut saraf yang
menghubungka serebrum dengan bagian susunan saraf pusat lainnya.

Gambar 2.1. potongan horizontal serebrum


5
Serebrum terdiri dari dua hemisfer yaitu kiri dan kanan, dibagi ke dalam empat
lobus yang dibatasi oleh gyrus da sulkus yaitu
- Lobus frontal berfungsi mengontrol perilaku individu, membuat keputusan,
kepribadian dan menahan diri.
- Lobus parietal merupakan lobus sensori berfungsi menginterpretasikan
sensasi, berfungsi mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak
bagian tubuhnya.
- Lobus temporal berfungsi menginterpretasikan sensasi kecap, bau,
pendengaran dan ingatan jangka pendek.
- Lobus oksipital bertanggung jawab menginterpretasikan penglihatan

Gambar 2.2. Lobus otak


b. Otak kecil (cerebellum)
Cerebellum terletak dibelakang fossa kranialis dan melekat ke bagian belakang
batang otak. Cerebellum berperan penting dalam menjaga keseimbangan dan
mengatur koordinasi gerakan yang diterima dari segmenn posterior medulla
spinalis yang memberi informasi tentang keregangan otot dan tanda serta posisi-
posisi sendi.

6
Gambar 2.3. Permukaan posrterior cerebellum

Gambar 2.4. Potongan sagital cerebellum

c. Batang otak
Menghubungkan medulla spinalis dengan serebrum terdiri dari medulla
oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah).
o Medulla oblongata adalah bagian otak yang langsung menyambung dengan
medulla spinalis. Berkas saraf yang berjalan disini berasal dari serebrum dan
berfungsi untuk pergerakan otot rangka. Selain traktus piramidalis ada
kelumpuhan sel-sel saraf yang terdapat di medulla oblongata yakni pusat otot

7
yang mengontrol fungsi vital seperti pernafasan, denyut jantung
dan tonus pembuluh darah.
o Pons
o Mesensefalon merupakan bagian otak yang sempit terletak antara
medulla oblongata dan diensefalon. Pada mesensefalon terdapat
formatio retikularis, suatu rangkaian penting yang antara lain
mengatur irama tidur dan bangun, mengontrol refleks menelan dan
muntah.
d. Diensefalon
Dibagi menjadi empat wilayah :
o Thalamus
Thalamus merupakan stasiun pemancar yang menerima impuls
aferen dari seluruh tubuh lalu memprosesnya dan meneruskannya
ke segmen otak yang lebih tinggi.
o Hipotalamus
Hipothalamus berkaitan dengan pengatura rangsangan susunan
saraf autonom perifer yang menyertai tingkah laku dan emosi.
o Subtalamus
Fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada
subtalamus dapat menimbulkan diskinesia dramatis yang disebut
hemibalismus yang ditandai oleh gerakan kaki atau tangan yang
terhempas kuat pada satu sis tubuh. Gerakan involunter biasanya
lebih nyata pada tangan dan kaki.
o Epitalamus
Epitalamus dengan sistim limbik dan berperan pada beberapa
dorongan emosi dasar dan integrasi informasi olfaktorius

2.2 Definisi
Cerebral palsy merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan
motorik dan postur tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan
otak sejak dalam kandungan atau di masa kanak-kanak. Kelainan tersebut
biasanya disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi,
tingkah laku, epilepsi, dan masalah muskuloskeletal. Cerebral berarti bahwa
penyebab kesulitannya berada di otak, bukan di otot. Palsy dapat berarti
memiliki kesulitan dengan pergerakan dan postur tubuh.
Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur
3 tahun, yaitu manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama
hingga 1 tahun dan umumnya diikuti spastisitas. Cerebral palsy merupakan
penyakit yang tidak progresif. Pengaruh gangguan otak terhadap pergerakan
dan postur tidak hilang. Namun, efeknya pada tubuh bisa menjadi lebih atau
kurang jelas seiring berjalannya waktu. Misalnya pada penderita cerebral
palsy yang dapat menjadi semakin lebih baik dalam mengelola kesulitan
mereka sebagai hasil dari intervensi terapi.2, 4

2.3 Epidemiologi
Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per
1.000 kelahiran hidup dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur.
Di negara maju, prevalensi cerebral palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus
per 1.000 kelahiran hidup sedangkan di negara berkembang berkisar antara
1,5-5,6 kasus per 1.000 kelahiran hidup.2
Beberapa instansi kesehatan di Indonesia sudah mulai bisa mendata
kasus cerebral palsy, antara lain yaitu YPAC (Yayasan Pendidikan Anak
Cacat) cabang Surakarta jumlah anak dengan kondisi cerebral palsy pada
tahun 2001 berjumlah 313 anak, tahun 2002 berjumlah 242 anak, tahun 2003
berjumlah 265 anak, tahun 2004 berjumlah 239 anak, sedangkan tahun 2005
berjumlah 118 anak, tahun 2006 sampai dengan bulan Desember berjumlah
112 anak, sedangkan tahun 2007 sampai dengan bulan Desember yaitu
berjumlah 198 anak. Pada klinik tumbuh kembang Rumah Sakit dr. Kariadi
Semarang sepanjang tahun 2005 mencatat kunjungan pasien anak dengan
diagnosis cerebral palsy sebanyak 2,16%.

2.4 Etiologi dan faktor resiko


Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal, perinatal,

2
dan pascanatal.
1. Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan menyebabkan kelainan pada
janin, misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubella, dan penyakit
inklusi sitomegalik. Kelainan yang mencolok biasanya gangguan
pergerakan dan retardasi mental. Anoksia dalam kandungan, terkena
radiasi sinar x, dan intoksikasi kehamilan dapat menimbulkan
cerebral palsy.
2. Perinatal
a. Anoksia/hipoksia
Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal
ialah trauma kepala. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya
anoksia. Hal ini terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal,
disproporsi sefalo-pelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi
plasenta, partus menggunakan instrumen tertentu, dan lahir
dengan seksio kaesar.
b. Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama
sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang
mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernapasan, dan
peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi
di ruang subarakhnoid akan menyebabkan penyumbatan cairan
serebrospinal sehingga mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di
ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul
kelumpuhan spatis.
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita
perdarahan otak lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan
karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah, dan lain-
lain masih belum sempurna.
d. Ikterus

3
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan
jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia
basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.
e. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat
atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala
sisa berupa cerebral palsy.
3. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu
perkembangan dapat menyebabkan cerebral palsy. Misalnya pada
trauma kapitis, meningitis, ensefalitis, dan luka parut pada otak pasca-
operasi.7
Faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP
semakin besar antara lain adalah: 2
a. Letak sungsang.
b. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan
merupakan tanda awal yang menunjukkan adanya masalah
kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara normal.
Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.
c. Apgar score rendah
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.

d. BBLR dan prematuritas.


Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir
<2500gram dan bayi lahir dengan usia kehamilan <37 minggu.
Resiko akan meningkat sesuai dengan rendahnya berat lahir dan usia
kehamilan.

e. Kehamilan ganda.

f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP

4
memperlihatkan malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar
kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam
kandungan.
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir
kehamilan.
Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan
peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.
h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.

2.5 Klasifikasi
1. Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas, yaitu:
a. Monoplegia, hanya satu anggota tubuh yang terserang (jarang
terjadi).
b. Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya
satu sisi.
c. Triplegia, menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah
satu kaki.
d. Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi
lebih berat pada bagian di bawah pinggang.
e. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang
semuanya.
2. Berdasarkan karakteristik disfungsi neurologis, yaitu
a. Spastik
Spastik merupakan bentuk terbanyak (70-80%). Otot
mengalami kekakuan dan secara permanen akan menjadi
kontraktur. Jika tungkai mengalami spastisitas, maka pada saat
berjalan akan tampak bergerak kaku dan lurus.

5
b. Atetosis
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal.
Karakteristik yang ditampakkan adalah gerakan-gerakan
yang involunteer dengan ayunan yang melebar. Atetosis
dibagi menjadi:
 Distonik, umumnya menyerang kaki dan lengan bagian
proksimal. Gerakan yang dihasilkan lambat dan
berulang-ulang.
 Diskinetik, didominasi oleh abnormalitas bentuk atau
gerakan-gerakan. involunteer, tidak terkontrol,
berulang-ulang, dan biasanya melakukan gerakan
stereotype.
c. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebellum dan yang berhuungan
dengannya. Cerebral palsy tipe ini mengalami abnormalitas
bentuk postur tubuh dan/atau disertai dengan abnormalitas
gerakan.
d. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan
atetosis.8
3. Gross Motor Function Classification System (GMFCS)
GMFCS terdiri dari 5 level yang menggambarkan gerak motorik
kasar pada anak-anak dengan cerebral palsy.
a. Level 1
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki
tangga tanpa hambatan. Anak-anak juga bisa berlari dan melompat
namun kecepatan, keseimbangan, dan koordinasinya terganggu.
b. Level 2
Anak-anak mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta
menaiki tangga dengan berpegangan pada alat bantu tetapi memiliki
keterbatasan berjalan di permukaan yang tidak rata maupun pada

6
tempat yang ramai atau sempit. Anak-anak tersebut memiliki
kemampuan yang minimum untuk berlari dan melompat.
c. Level 3
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah menggunakan
alat bantu, menaiki tangga dengan berpegangan, dan bisa
menggunakan kursi roda sendiri atau ditransportasikan pada jarak
yang jauh dan di luar rumah pada permukaan yang tidak rata.
d. Level 4
Anak-anak bisa berjalan pada jarak yang dekat dengan
menggunalan walker atau dengan kursi roda di rumah, sekolah, dan
komunitas.
e. Level 5
Memiliki pergerakan yang sangat terbatas dan kemampuan
untuk mempertahankan postur kepala dan badan terganggu. Semua
fungsi motorik terganggu. Anak-anak ini tidak bisa bergerak sendiri
dan harus ditransportasikan.9
4. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional.
a. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari-
hari sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali
membutuhkan bantuan khusus.
b. Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan
bermacam-macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar
dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak atau berbicara.
Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat
mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat
bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
c. Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik
dan tidak mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain.

7
Pertolongan atau pendidikan khusus yang diberikan sangat Sedikit
hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dalam rumah
perawatan khusus. Rumah perawatan khusus ini hanya untuk
penderita dengan retardasi mental berat, atau yang akan
menimbulkan gangguan sosial-emosional baik bagi keluarganya
maupun lingkungannya.

2.6 Patofisiologi
Brain pathophysiology
CP dapat menjadi dampak dari setiap kejadian yang
mempengaruhi perkembangan otak janin dan janin. Faktor risiko
yang dilihat adalah reformasi kelahiran, pemulihan pertumbuhan
janin, kehamilan multipel, kelahiran janin atau neonatal,
hipotiroidisme ibu yang tidak disetujui, stroke perinatal, dan
trombofilia.10 Kelahiran prematur sebagai faktor risiko yang paling
penting. Risiko CP meningkat dengan usia kehamilan yang lebih
rendah dan berat lahir yang lebih rendah, dengan bayi miskin yang
diterima sebelum minggu ke-28 kira-kira 50 kali dari kelahiran
penuh, mencapai hingga 15% di antara neonatus antara kehamilan 24
dan 27 minggu. Pada bayi yang sangat prematur, mereka yang
mengalami kerusakan pada white-matter memiliki risiko CP yang
signifikan lebih tinggi. Paradoksnya, terkait erat dengan kehamilan,
sebagian besar bayi dengan CP lahir dengan cukup bulan.10

Meskipun asfiksia kelahiran sering dianggap sebagai penyebab


umum, sekitar 75% CP disebabkan oleh sebab prenatal, dengan
hipoksia perinatal yang menyebabkan kurang dari 10% kasus.
Infeksi atau cedera dapat berkontribusi pada kurang dari 20% kasus,
tanpa penyebab yang dapat ditemukan ditemukan pada 30% pasien.
Dalam sekitar 90% kasus, CP hasil dari cedera pada jaringan otak
yang abnormal dari perkembangan otak yang abnormal.10 Lokasi lesi
otak yang berhasil setelah mengalami pemulihan dengan usia

8
kehamilan, dan diselesaikan dengan berbagai pemikiran klinis. Pada
bayi prematur, white matter preventikular dalam adalah yang paling
rentan, dengan leukomalacia periventrikular umum terlihat pada CP
yang berkaitan dengan prematuritas. Atau, pada bayi cukup bulan,
korteks serebral dan perubahan subkortikal yang mendasari lebih
jelas. Karena CP paling sering terlibat oleh interaksi beberapa faktor,
dianggap sebagai hasil dari penelitian patofisiologis yang umum,
dengan cadangan yang direkomendasikan sebagai jalur umum akhir
yang ditujukan untuk melindungi otak permanen.10

Skeletal muscle changes


Meskipun CP disebabkan oleh lesi otak primer, fungsi
signifikan oleh sistem neuromuskuler perifer. Kontraktur otot yang
sering terjadi dan otot-otot dari anak-anak dengan CP lebih pendek,
lebih kecil, dan memiliki serat otot dengan diameter yang lebih
besar, meningkatkan kekuatan yang berkurang pada anak-anak ini.
Pada mereka dengan kontraktur, sarkomer (unit fungsional
kontraksi) lebih sedikit, dan diperpanjang tidak normal. Temuan ini
agak paradoks karena otot itu sendiri dipersingkat. Dasar mekanistik
tidak pasti, tetapi sarkomer yang panjang diharapkan akan
berkontribusi pada pembentukan angkatan yang lemah dan
kelemahan fungsional. Selain itu, hipertrofi matriks ekstraseluler
sepenuhnya konsisten, menyebabkan peningkatan kekakuan otot.
Khususnya, berkurangnya jumlah stem sel otot yang juga telah
ditemukan. Sel-sel "satelit" ini dianggap sebagai sel prekursor yang
bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan regenerasi otot,
karenanya angka yang rendah dapat menjelaskan pengurangan
ukuran serat dengan gangguan pertumbuhan otot berikutnya.10
2.7 Manifestasi klinis
Manifestasi klinisnya tampak gangguan motorik berupa kelainan
fungsi dan lokalisasi serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan

9
gambaran klinis cerebral palsy. Kelainan fungsi morik terdiri dari:
1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan
klonus dan refleks Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi
itu menetap dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan
tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu
gabungan otot, karena itu tampak sikap yang khas dengan
kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam adduksi,
fleksi pada sendi siku, dan pergelangan tangan dalam pronasi serta
jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak
tangan. Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada sendi paha dan
lutut, kaki dalam plantar fleksi, dan telapak kaki berputar ke dalam.
Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada waktunya.
Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Golongan
spastisitas ini meliputi ⅔ – ¾ penderita cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan
besarnya kerusakan, yaitu:
 Monoplegia/monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah satu
anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
 Hemiplegia/hemiparesis
kelumpuhan lengan dan tungkai di sisi yang sama.
 Diplegia/diparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih
hebat daripada lengan.
 Tetraplegia/tetraparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lengan lebih atau
sama hebatnya dibandingkandengantungkai.
2. Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak flaksid dan
berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan

10
pada lower motor neuron. Menjelang usia 1 tahun barulah terjadi
perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan
berbaring tampak flaksid dan sikapnya seperti kodok terlentang tetapi
bila dirangsang atau mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi
spastik. Refleks otot yang normal dan refleks Babinski negatif tetapi
yang khas ialah refleks neonatal dan tonic neck reflex menetap.
Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh
asfiksia perinatal atau ikterus. Golongan ini meliputi 10-20% dari
kasus cerebral palsy.
3. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan
yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan
pertama tampak bayi flaksid tetapi sesudah itu barulah muncul
kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya
perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan
ataksia. Kerusakan terletak pada ganglia basal dan disebabkan oleh
asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus. Golongan ini
meliputi 5-15% dari kasus cerebral palsy.
4. Ataksia
Ataksia ialah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan
ini biasanya flaksid dan menunjukkan perkembangan motorik
yang terlambat. Kehilangan keseimbangan tampak bila mulai
belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua
pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak di
cerebellum. Terdapat kira-kira 5% dari
kasus cerebral palsy.
5. Gangguan pendengaran
Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi
nada tinggi sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada
golongan koreo atetosis dan pada 5-10% anak dengan cerebral
palsy.

11
6. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental.
Gerakan yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah
menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit
membentuk kata-kata dan
sering tampak anak berliur.
7. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan
kelainan refraksi. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi
katarak. Hampir 25% penderita cerebral palsy menderita kelainan
mata.7

2.8 Diagnosis
Cerebral palsy merupakan diagnosis klinis yang dibuat
berdasarkan kewaspadaan terhadap faktor risiko, screening
perkembangan regular pada bayi-bayi yang berisiko tinggi, dan
pemeriksaan neurologis. Seperti dalam semua kondisi medis, pendekatan
yang sistemastis berfokus pada riwayat maternal, obstetrik, dan perinatal,
tinjau perkembangan mental dan fisik anak (developmental milestones),
dan pemeriksaan neurologi seara menyeluruh serta observasi anak dalam
berbagai posisi seperti tengkurap, telentang, duduk, berdiri, berjalan, dan
berlari.
Tidak memungkinkan untuk mendiagnosis cerebral palsy pada
bayi berusia kurang dari 6 bulan kecuali pada kasus yang sangat parah.
Pola dari berbagai bentuk cerebral palsy muncul perlahan-lahan dengan
petunjuk awal adanya keterlambatan dalam perkembangan mental dan
fisik anak dan tonus otot yang abnormal. Pada cerebral palsy, riwayatnya
tidak progresif. Milestones sekali mendapatkan tidak ditemukan adanya
regresi pada cerebral palsy. Tonus bisa hipertonik atau hipotonia. Banyak
hipotonia dini berubah menjadi spastisitas atau distonia pada usia 2-3
tahun.

12
Tanda-tanda awal meliputi adanya preferensi tangan pada tahun
pertama, kelainan tonus berupa spastisitas atau hipotonia dengan berbagai
distribusi, adanya refleks neonatus yang abnormal, keterlambatan dalam
refleks melindungi dan postural, dan pergerakan yang tidak simetris.
Refleks primitif seharusnya menghilang secara bertahap pada usia 6
bulan. Di antara refleks primitif yang paling berguna secara klinis adalah
Moro, Tonic labyrinthine, dan Asymmetric Tonic Neck Reflex
(ATNR). Pada banyak kasus, diagnosis cerebral palsy tidak
memungkinkan hingga usia 12 bulan.
Pada pemeriksaan lebih lanjut pada anak-anak dengan cerebral
palsy, EEG dilakukan apabila terdapat riwayat epilepsi. Neuroimaging
dilakukan jika belum dilakukan pada masa nenonatus yang mendukung
etiologi cerebral palsy. MRI lebih dianjurkan disbanding CT-scan
Pemeriksaan genetik dan metabolik jika terdapat bukti kemunduran atau
kompensasi metabolik, riwayat keluarga dengan gangguan neurologis di
masa kanak-kanak berhubungan dengan cerebral palsy. Pemeriksaan
untuk menentukan koagulopati pada anak-anak dengan strok juga
penting.
Evaluasi lengkap pada anak dengan cerebral palsy meliputi
pemeriksaan penglihatan, berbicara, pendengaran, sensoris, epilepsi, dan
fungsi kognitif. Evaluasi ortopedi suatu keharusan karena
ketidakseimbangan otot dan spastisitas menyebabkan subluksasi/dislokasi
panggul, deformitas equina, kontraktur, dan skoliosis.11

2.9 Penatalaksanaan
Prinsip Terapi:
- Meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak yang terkena cerebral
palsy
- Memberikan fasilitas rehabilitasi dini
- Meningkatkan kapasitas fungsional anak untuk menjadi mandiri
- Menurunkan komplikasi cerebral palsy

13
Intervensi:
- Mengurangi spastisitas otot
- Mengontrol kejang karena kebanyakan resisten terhadap pengobatan
antiepilepsi yang konvensional
- Mencegah masalah ortopedi seperti subluksasi panggul, skoliosis,
deformitas equina, dan lain-lain.
- Meningkatkan kognitif, pembelajaran, dan memori untuk penerimaan
yang lebih baik12
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptomatik. Pada keadaan ini perlu
kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog,
psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi,
occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa, dan orang tua
penderita.
Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut
membantu program latihan di rumah untuk mencegah kontraktur perlu
diperhatikan posisi penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita
yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi
ini dilakukan sepanjang penderita hidup.

Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan
untuk dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi
kelainan tersebut. Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada
penderita dengan pergerakan koreo-atetosis yang berlebihan.
Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat
kecerdasannya di sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah
biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Mereka sebaiknya
diperlakukan sama seperti anak yang normal, yaitu pulang ke rumah
dengan kendaraan bersama-sama sehingga mereka tidak merasa
diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah
melindungi anak secara berlebihan dan untuk ini pekerja social dapat

14
membantu di rumah dengan nasehat seperlunya.
Farmakoterapi
Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan
rumat yang sesuai dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal,
dilantin, dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan,
obat dari golongan benzodiazepine dapat menolong, misalnya
diazepam, klordiazepoksid (Librium), nitrazepam (mogadon). Pada
keadaan koreoatetosis diberikan artan. Imipramine (tofranil)
diberikan kepada penderita dengan depresi.7

2.10 Pencegahan
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga
kejadian CP pun bisa dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah
atau diterapi antara lain: 3
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan
alat pengaman pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung
kepala saat bersepeda, dan eliminasi kekerasan fisik pada anak.
Sebagai tambahan, pengamatan optimal selama mandi dan
bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi
baru lahir dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat
dilakukan transfusi tukar. Inkompatibilitas faktor rhesus mudah
diidentifikasi dengan pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak.
Inkompatibilitas tersebut tidak selalu menimbulkan
masalah pada kehamilan pertama, karena secara umum tubuh ibu
hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak
diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian besar kasus-
kasus, serum khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat
mencegah produksi antibodi tersebut. Pada kasus yang jarang,
misalnya jika pada ibu hamil antibodi tersebut berkembang
selama kehamilan pertama atau produksi antibodi tidak dicegah,

15
maka perlu pengamatan secara cermat perkembangan bayi dan
jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan
atau melakukan transfusi tukar setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan
imunisasi sebelum hamil.

2.11 Prognosis
Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah
baik; makin banyak gejala penyertanya (retardasi mental, bangkitan
kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran) dan makin berat gejala
motoriknya, makin buruk prognosisnya.

16
BAB III

KESIMPULAN

Cerebral palsy (CP) adalah suatu kelainan dari fungsi motorik


(sebagai lawan dari fungsi mental) dan nada postural yang diperoleh pada
usia dini, bahkan sebelum kelahiran. Tanda dan gejala cerebral palsy
biasanya menunjukkan pada tahun pertama kehidupan.
Seorang anak berkembang sesuai dengan tahapan perkembangannya,
walau pun dengan berbeda – beda tahap perkembangannya. Bila dijumpai
keterlambatan dalam perkembangan si anak maka harus dilakukan tindakan –
tindakan latihan yang diperlakukan oleh si anak.
Pencegahan untuk beberapa etiologi penyebab cerebral palsy dapat
dilakukan. Untuk mengatasi permasalahan yang dijumpai pada anak yang
mengalami keterlambatan perkembangan mototrik, dan berikan latihan –
latihan yang tujuannya untuk mengatasi anak yang mengalami keterlambatan
perkembangan terutama pada pergerakannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Netter, F. H. 2019. Atlas of Human Anatomy . 7th edition. Philadelphia:


Saunders. 104-114
2. Wibowo, Alinda R., & Saputra, Deddy R., 2012. Prevalens dan Profil Klinis
pada Anak Palsi Serebral Spastik dengan Epilepsi. Sari Pediatri.Volume
14.
3. Merlina, M., Kusnadi, Y., & Artati. 2012. Prospek Terapi Sel Punca untuk
Cerebral Palsy. Cermin Dunia Kedokteran 198. Volume 39.
4. Jan, M. M. S. 2006. Cerebral Palsy: Comprehensive Review and Update.
Ann Saudi Med. Volume 26.
5. Oxford University Student Union (OUSU). Cerebral Palsy Fact Sheet.
United Kingdom: University of Oxford.
6. Maimunah, S. 2014. Studi Eksploratif tentang Konsep Diri dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhi pada Remaja Cerebral Palsy. Pendidikan yang
Memberdayakan. Jakarta.
7. Selina, H., Priambodo, W. S., & Sakundarno, M. 2012. Gangguan Tidur
pada Anak Palsi Serebral. Medica Hospitalia.Volume 1.
8. Dahlan, A. & Aminullah, A. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Volume 11.
9. Poetry, R. V., Ramli, A. H. & Pratiwi, A. Resiliensi pada Mahasiswa Baru
Penyandang Cerebral Palsy(CP). Universitas Brawijaya. Malang.
10. Prue Morgan And Jennifer L. Mcginley. 2018. Cerebral Palsy. Handbook of
Clinical Neurology, Vol. 159 (3rd series). Elsevier
11. Graham, H. K. 2015. Classifying Cerebral Palsy. Asia-Pacific Childhood
Disability Update.
12. Kejadian Cerebral Palsy. Semarang: Universitas Diponegoro.
13. Sankar, C. & Mundkur, N. 2015. Cerebral Palsy−Definition, Classification,
Etiology and Early Diagnosis. Indian J. Pediatric. Volume 72.
14. Kuldeep, C. R. 2014. Recent Advances in Ayuverdic Management of
Cerebral Palsy Affected Children. Int. J. Res. Ayurveda Pharm. Volume

18

Anda mungkin juga menyukai