Anda di halaman 1dari 32

Cerebral Palsy

Definisi Cerebral Palsy

Cerebral Palsy (CP) adalah gangguan motorik dan postural non-progresif dan

juga umumnya menyebabkan disabilitas fisik yang berat pada anak. Cerebral

palsy menggambarkan sekelompok gangguan permanen perkembangan gerakan

dan postur tubuh, menyebabkan keterbatasan aktivitas yang dikaitkan dengan

gangguan non-progresif yang terjadi di otak janin atau bayi yang sedang

berkembang.

Pada anak-anak, hubungan antara lesi pada sistem saraf pusat dan gangguan

fungsi bisa berubah. Abnormalitas pada tonus motorik dapat meningkat selama

tahun pertama kehidupan setelah kelahiran. Cerebral palsy dapat diklasifikasikan

berdasar keterlibatan alat gerak atau ekstremitas (monoplegia, hemiplegia,

diplegia, dan quadriplegia) dan karakteristik disfungsi neurologik (spastik,

hipotonik, distonik, athetonik, atau campuran). Manifestasi klinik yang tampak

seringkali berbeda, tergantung pada usia gestasi saat kelahiran, usia kronologis,

distribusi lesi dan penyakit akibat kelainan bawaan.

Epidemiologi

Berdsarkan Susenas (BPS) RI tahun 2012 lalu, tercatat sebanyak 532.130 anak

menderita CP atau sekitar 0,6% dari jumlah seluruh anak hasil survei Riskesdas

(Riset Kesehatan Dasar) yang di seleggarakan oleh kementrian kesehatan, prevalensi

anak dengan Cerebral Palsy adalah 0.09% dari jumlah anak usia 24-59 bulan. Hal

tersebut menunjukkan bahwa pravelansi Cerebral Palsy di Indonesia memiliki jumlah

besar yaitu 9 kasus dalam setiap 1000 kelahiran. (RI, 2014). Cerebral Palsy dengan

ketunadaksaan terjadi di Indonesia pada tahun 2018 dengan jumlah penduduk di

Indonesia dengan disabilitas mencapai 2.126.000 jiwa, dengan total jumlah Cerebral

Palsy sedang 717.312 dan Cerebral Palsy Berat 149.458 jiwa,sama dengan
menyumbang angka 47,4% dari keseluruhan jumlah difabel (Junianto.A, 2018).

Peningkatan jumlah penyandang Disabilitas ini tersebar di seluruh provinsi, salah

satu nya adalah Provinsi Jawa Timur. Menurut hasil Data Utama Riskesdas 2018

terdapat sekitar 10,6% penderita Cerebral Palsy dari seluruh jumlah penduduk di

Jawa Timur yang terdiri dari (6,5%) pada usia 5-17 tahun, (2,5%)pada usia 18-59

tahun dan (1,6%) pada usia lansia >60 tahun.


10

Klasifikasi Cerebral Palsy

Pada otak, terdapat 3 bagian yang saling bekerja sama untuk mengontrol kerja

otot yang berpengaruh terhadap terjadinya setiap gerakan dan postur tubuh yaitu

korteks serebri, ganglia basalis, dan cerebellum. Jika bagian dari otak ini

mengalami kerusakan, maka anak dapat mengalami cerebral palsy. Berdasarkan

derajat keparahan, CP dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkat, yaitu :

1. Mild

Pada tingkatan ini, anak bisa bergerak tanpa bantuan, anak tidak memiliki

keterbatasan dalam aktivitas sehari - hari.

2. Moderate

Pada tingkatan ini, anak membutuhkan alat bantu berupa brace, obat-

obatan, dan teknologi adaptif dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

3. Severe

Pada tingkatan ini, anak membutuhkan kursi roda dan memliki tantangan

yang berat dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Berdasarkan GMFCS (Gross Motor Function Classification System), yaitu

level 5 tingkat yang disesuaikan dengan level kemampuan dan keterbatasan,

tingkatan CP dibagi menjadi :

1. Level I

Anak tidak mengalami keterbatasan bahkan anak bisa berjalan.

2. Level II

Anak mengalami keterbatasan dalam berjalan terutama pada jarak tempuh

dan daya keseimbangan. Berbeda dengan level I, yang bahkan anak sudah bisa
11

melompat dan berlari, pada level II dibutuhkan alat bantu untuk memulai

mobilisasi saat pertama kali belajar berjalan.

3. Level III

Anak membutuhkan bantuan alat, misalnya berpegangan pada tangan

orang tua atau benda lain untuk berjalan di dalam ruangan, sedangkan untuk di

luar ruangan atau kegiatan sosialisasi di sekolah, anak membutuhkan alat bantu

beroda, dapat duduk dengan suport yang terbatas, dan bisa mengubah posisi badan

(transfer) dalam posisi berdiri.

4. Level IV

Anak dapat menggunakan mobilitas sendiri menggunakan alat / teknologi

penggerak. Ketika duduk, anak harus mendapatkan supoort, keterbatasan dalam

bergerak tanpa alat bantu, membutuhkan kursi roda untuk berpindah.

5. Level V
Anak memiliki keterbatasan dalam mengontrol kepala dan tubuh. Anak

membutuhkan bantuan fisik maupun peralatan berteknologi, biasanya pasif di

kursi roda manual.


12

Klasifikasi cerebral palsy berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan

dibagi dalam 6 kategori, adalah sebagai berikut :

1. CP spastik

Kerusakan pada bagian ini adalah yang terbanyak (70-80%), terjadi di traktus

kortikospinalis. Gambaran klinis yaitu anak mengalami kelumpuhan yang kaku,

refleks moro atau refleks menggenggam yang masih menetap, hiperrefleksia,

klonus, respon ekstensor babinski, refleks primitif persisten dan refleks overflow (

melintasi adduktor). CP spastik dibagi berdasarkan jumlah ekstremitas yang

terkena menjadi :

1) Monoplegi, kelumpuhan empat anggota gerak tetapi salah satu anggota

gerak lebih hebat dari sebelumnya.

2) Quadriplegia, kelumpuhan pada keempat anggota geraknya, dua kaki dan

dua tangan lumpuh. Gambaran seluruh tubuh dapat hipertonia atau trunk

hipotonia dengan ekstremitas hipertonia, disfungsi oromotor, kejang, kaki

maupun lengan saling dipengaruhi, meningkatnya risiko kesulitan kognitif.

3) Diplegia, kelumpuhan dua anggota gerak yang berhubungan, biasanya

kedua anggota gerak bawah. Keterlibatan upper motor neuron tampak di

kaki daripada lengan, pola scissoring gait, lutut tertekuk posisi valgus.

4) Hemiplegi, kelumpuhan pada satu sisi tubuh dan anggota gerak, misalnya

tangan kiri, kaki kiri. Pergerakan anggota gerak berkurang, bahu adduksi,

fleksi (menekuk) lengan pada siku, lengan tetap mengepal, fleksi hip

lemah dan dorsofleksi pergelangan kaki, otot tibialis posterior terlalu aktif,
13

sensasi terganggu. Lengan umumnya lebih dipengaruhi daripada kaki dan

disfungsi oromotor.

Gambar 2.2. Cerebral Palsy Tipe Spastik


Dikutip dari Najihah, et al., 2013

2. Koreo-athetoid

Istilah lain dari CP jenis ini adalah diskrinetik atau gerak, jadi tangan atau

kakinya bergerak melengkung-lengkung, sikapnya abnormal dan geraknya

involunter. Refleks neonatalnya menetap dan kerusakan terjadi di ganglia basalis.

3. Ataksik

Cerebral palsy jenis ini ditandai dengan gangguan koordinasi, biasanya

gangguan di tulang belakang, leher kaku, dan tampak melengkung. Anak terlihat

kehilangan keseimbangan terutama saat belajar duduk. Kerusakan terjadi di

serebellum (otak kecil).

4. Distonia

Kerusakan otak pada bagian korteks serebri dan di ganglia basalis. Anak

menunjukkan otot yang kaku dan ada juga yang terlihat lemas.
14

5. Balismus

CP jenis ini ditandai dengan gerakan yang tidak terkoordinasi atau involunter.

Kerusakan berada di ganglia basalis.

6. Campuran

Kerusakan bisa terjadi di daerah otak mana saja, dan merupakan jenis

cerebral palsy dengan semua gabungan jenis di atas.

Etiologi Cerebral Palsy

Cerebral palsy terjadi akibat kerusakan otak saat periode prenatal, perinatal,

dan postnatal. Sekitar 70-80% terjadi saat prenatal yaitu bayi lahir prematur dan

gangguan pertumbuhan saat kehamilan.

Penyebab cerebral palsy dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu :

1. Pranatal

- Malformasi kongenital.

- Infeksi kandungan yang dapat menyebabkan kelainan janin (misalnya

rubela, toksoplamosis, sitomegalovirus, atau infeksi virus lainnya).

- Asfiksia dalam kandungan (misalnya solusio plasenta, plasenta previa,

anoksi maternal, atau tali pusat yang abnormal).

2. Natal

- Anoksia / hipoksia

- Perdarahan intra kranial

- Trauma lahir
15

- Prematuritas

3 Postnatal

- Trauma kapitis

- Infeksi (misalnya meningitis bakterial, abses serebri, trombophlebitis,

ensefalomielitis)

- Kern ikterus

Tanda- Tanda Cerebral Palsy

Ada beberapa langkah yang bisa dijadikan acuan untuk mengetahui tanda-

tanda cerebral palsy, yaitu :

1. Gejala awal
Anak mengalami gangguan perkembangan motorik yang tidak normal, anak

mengalami keterlambatan tumbuh kembang seperti, tengkurap, merangkak,

duduk, berdiri dan berjalan. Terdapat abnormalitas tonus otot, anak dapat terlihat

sangat lemas dan ada juga yang mengalami peningkatan tonus setelah 2-3 bulan

pertama. Dampaknya anak akan menunjukkan postur abnormal pada satu sisi

tubuh.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan perkembangan motorik anak perlu dilakukan dan melihat

kembali riwayat medis anak dari mulai kehamilan ibu, proses kelahiran, dan

kesehatan anak dalam masa perkembangan. Dapat juga dilakukan pemeriksaan

refleks, dan mengukur perkembangan lingkar kepala anak.


16

3. Pemeriksaan neuroradiologik
Salah satunya adalah dengan melakukan CT-scan kepala untuk mengetahui

struktur jaringan otak serta menjabarkan area otak yang kurang berkembang, kista

abnormal, ataupun kelainan lainnya. Neuroimaging direkomendasikan dalam

evaluasi anak cerebral palsy jika etiologi tidak dapat ditemukan.

4. Pemeriksaan lainnya

Beberapa dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan EEG pada

anak-anak yang memiliki riwayat kejang untuk membantu melihat aktivitas

elektrik otak dan akan menunjukkan penyakit kejang tersebut.

Patofisiologi Cerebral Palsy

1. Cedera otak atau perkembangan otak yang abnormal

Cedera otak sebelum 20 minggu kehamilan dapat mengakibatkan defisit

migrasi neuronal; cedera antara minggu 26 dan 34 dapat mengakibatkan

leukomalacia periventricular, cedera antara minggu ke-34 dan ke-40 dapat

mengakibatkan cedera otak fokal dan multifokal.

2. Prematuritas dan pembuluh darah serebral


Antara minggu 26 dan 34 usia kehamilan, daerah white matter periventrikular

dekat ventrikel lateral yang paling rentan terhadap cedera. Karena daerah ini

membawa serat yang bertanggung jawab atas kontrol motor dan tonus otot kaki.

Cedera yang terjadi dapat berupa spasik diplegia.

Stres fisik pada bayi prematur dan ketidakmatangan pembuluh darah

otak dan otak dapat menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor resiko

yang signifikan untuk palsi serebral.

Sebelum matur, distribusi sirkulasi janin masih kurang baik, sehingga

terjadi hipoperfusi pada substantia alba periventrikular. Hipoperfusi dapat

mengakibatkan perdarahan matriks germinal atau leukomalasia periventrikular.

Antara minggu ke-19 dan 34 usia kehamilan, daerah substantia alba


17

periventrikular yang berdekatan dengan ventrikel lateral adalah daerah yang

paling rentan mengalami cedera. Karena daerah-daerah tersebut membawa serat

yang bertanggung jawab atas kontrol motorik dan tonus otot kaki. Cedera ini

dapat terjadi dengan manifestasi klinik seperti diplegi spastik (yaitu, kelemahan

tungkai, dengan atau tanpa keterlibatan lengan).

3. Periventrikular leukomalacia
18

Cedera asimetris untuk white matter periventrikuler dapat menghasilkan

satu sisi tubuh yang lebih terpengaruh dari yang lain. Gambaran keadaan dapat

seperti hemiplegia spastik tetapi lebih tampak sebagai kejang diplegia asimetris.

Kemampuan Duduk

Pada permulaan duduk, kontrol kepala bayi harus benar ketika trunk disangga

pada mid trunk, kepala dipertahankan selama 1 menit tanpa jeda dan anak bisa

membawa objek melewati midline tanpa kehilangan kontrol kepala. Anak

mungkin menyangga tangannya di lantai / kaki untuk mencondongkan lengannya,

tetapi tidak harus mampu meraih dan memelihara keseimbangan pada posisi

duduk.

Kemampuan duduk sendiri yang muncul di usia 5 bulan adalah tahap awal

perkembangan motorik sesuai dengan milestones. Hal ini merupakan tanda

berkembangnya kontrol postur dan sinergis otot. Posisi duduk akan mengurangi

lordosis lumbal, dan menambah atau meningkatkan aktivitas otot-otot belakang,

tekanan diskus, dan tekanan pada tuberositas ischiadicum. Pada saat duduk berat

badan terdistribusi pada tuberositas ischiadicum, dan meningkatnya tekanan

beban pada spinal.

Tahap awal perkembangan anak adalah gerak refleks. Perkembangan

selanjutnya, setelah refleks berkurang maka akan menjadi gerak sederhana dan

yang berperan adalah motorik kasar. Proses perkembangan harus melalui tahapan

yang berurutan, anak harus melewati setiap tahapan perkembangan agar anak

tidak mengalami kesulitan gerak selanjutnya. Perkembangan motorik adalah


19

proses yang aktif, dimana anak harus menumbuhkan keterampilan untuk

mencapai tujuan yang dipengaruhi oleh tubuh anak dan lingkungannya.

Kemampuan anak untuk duduk tanpa disupport berkembang pada anak

normal sebagai bagian dari urutan perkembangan motorik yang meliputi lying,

sitting, standing, walking, dan running. Tahapan fungsi dasar anak sebelum duduk

meliputi :

1. Kontrol kepala dan trunk, anak dalam posisi supine bisa mempertahankan

posisi simetris kemudian menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri tanpa

diikuti oleh gerak tubuh. Dengan adanya refleks primitif, head to body,

anak mulai mengembangkan kemampuan untuk memutar badannya ke

proses perkembangan selanjutnya.

2. Berguling, koordinasi dalam melakukan rotasi trunk penting terutama

untuk fungsi berguling. Refleks primitif seperti ATNR (Assymetric Tonic

Neck Reflex) dapat sangat bermanfaat untuk membantu anak memutar

badannya menuju ke proses berguling dimana rotasi bahu dan pelvis

menjadi bagian penting dalam proses ini.

3. Menumpu berat pada elbow dan tangan, dapat membantu anak untuk

memperkuat otot-otot ekstremitas atas yang menunjang dalam kemampuan

duduk.
20

4. Kontrol postur, penting dimiliki anak untuk mengatur posisi tubuh dengan

mekanisme keseimbangan yang adekuat untuk tujuan stabilisasi dan

orientasi.

Urutan perkembangan melibatkan reaksi neurologik postural dan perubahan

biomekanik tulang belakang, bahu, dan pelvic girdle. Kontrol kepala atau leher

harus diperhatikan pertama kali dalam urutan perkembangan yang kemudian

diikuti oleh perbaikan kontrol dan stabilitas trunk, kekuatan tubuh bagian atas,

kontrol postural dan adanya penumpuan berat badan secara simetris yang

didistribusikan ke kedua kaki.

Gambar 2.3. Posisi duduk dengan poor head control

Aspek lain yang menentukan posisi duduk anak adalah adanya stabilitas statis

dan stabilitas dinamis. Posisi duduk tanpa suport trunk akan menjadi tidak stabil

dan akan ada substitusi oleh grup otot yang menghasilkan kestabilan tubuh.

Stabilitas statis berperan dalam menjaga kestabilan tubuh terhadap gaya gravitasi,
21

sedangkan stabilitas dinamis berperan dalam kemampuan memindahkan pusat

gravitasi (stabilitas dinamis).

Terdapat beberapa posisi duduk, diantaranya W-sitting, side sitting, tailor

sitting, ring sitting, long sitting, dan crossed sitting. Ketika postur duduk

mengalami gangguan, anak memperlihatkan pola aktivasi proksimal-distal dan ko-

aktivasi berlebihan otot-otot antagonis. Kemampuan duduk penting dianalisa

karena duduk mempengaruhi perkembangan motorik kasar seperti berdiri dan

berjalan. Pada cerebral palsy, anak tidak mampu memposisikan hip dan knee

dalam posisi fleksi, dan terfiksasi pada adduksi serta endorotasi hip. Duduk dapat

dilakukan dengan adanya reaksi kompensasi satu / kedua tangan untuk

menyangga. Kemampuan duduk seorang anak cerebral palsy perlu dideteksi agar

dapat menentukan apakah anak menunjukkan postur asimetris ketika duduk

sehingga menyebabkan terjadinya pemendekan jaringan lunak dan munculnya

kecacatan .
22

Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas keseimbangan duduk, antara lain:


integrasi sistem sensorik (visual, vestibular, dan somatosensorik termasuk
proprioseptor), sistem muskuloskeletal (otot, sendi, dan jaringan lunak lain)
yang dimodifikasi / diatur dalam otak (kontrol motorik, sensorik, basal ganglia,
cerebelum, area assosiasi), persepsi, kognisi, dan emosi, motivasi, serta respon
otot-otot postural yang sinergis.

Level of Sitting Scale (LSS)

Level Item Penilaian


1 Unplaceable
2 Supported from Head Downward
3 Supported from Trunk and Shoulder or Trunk Downward
4 Supported at Pelvis
5 Maintains Position, Does Not Move
6 Shift Trunk Position Forward Re-erects
7 Shift Trunk Position Laterally Re-erects
8 Shift Trunk Position Backward Re-erects

Tabel 2.1. Item Penilaian Level of Sitting Scale (LSS)

Level of sitting scale (LSS) adalah termasuk dari Seated Postural Control

Measure (SPCM) yang digunakan untuk mengetahui kemampuan duduk anak

secara global. LSS merupakan modifikasi dari LSAS (Level of Sitting Ability

Scale). LSS dikembangkan oleh tim dokter dan peneliti dari Sunny Hill Health

Centre for Children.

LSS memiliki kemampuan untuk membantu fisioterapis dalam memutuskan

level bantuan yang dibutuhkan oleh anak dalam memelihara posisi duduk.
23

Terdapat 8 level berdasarkan jumlah suport yang dibutuhkan untuk memelihara

posisi duduk dan duduk mandiri tanpa suport, serta stabilitas anak ketika duduk.

Level I (tidak dapat duduk sendiri atau dapat duduk tetapi mendapat bantuan oleh

seorang terapis selama 30 detik) sampai level VIII (bisa duduk secara independent

selama 30 detik). Palisano, et al.,2008, mendokumentasikan reliabilitas interrater

dan test-retest.
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39

Anda mungkin juga menyukai