Oleh:
Ayu Paotonan, S.Ked
DI BAGIAN/SMF NEUROLOGI
FK SAMRATULANGI
2021
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN..................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan...........................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka....................................................................................3
2.1 Definisi.............................................................................................3
2.2 Epidemiologi...................................................................................3
2.3 Faktor Risiko...................................................................................4
2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi........................................................4
2.3.2 Dapat Dimodifikasi...................................................................5
2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi...................................................6
2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan
Diagnosis.........................................................................................10
2.5.1 Manifestasi Klinis.....................................................................10
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang............................................................11
2.5.3 Diagnosis..................................................................................11
2.6 Tatalaksana......................................................................................13
2.6.1 Pencegahan...............................................................................13
2.6.2 Penanganan...............................................................................14
2.7 Diagnosis Banding..........................................................................15
2.8 Rehabilitasi Medik pada RA...........................................................16
2.9 Prognosis.........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan – perubahan akan terjadi pada tubuh manusia berkaitan dengan makin
meningkatnya usia. Perubahan tubuh sejak awal kehidupan sampai usia lanjut pada semua
organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian tampak pula pada semua sistem muskuloskletal
dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan
reumatik. Salah satu dari golongan reumatik yang sering menyerang usia lanjut yang
menimbulkan gangguan muskuloskeletal adalah rheumatoid arthritis (Fitriani, 2009).
Penyakit reumatik yang biasa disebut artritis (radang sendi) dianggap sebagai suatu
keadaan yang sebenarnya terdiri atas lebih dari 100 tipe kelainan yang berbeda. Penyakit ini
dapat mengenai otot-otot skelet, ligamen, tendon, dan persendian pada laki – laki maupun
wanita dengan segala usia. Sebagian gangguan lebih besar kemungkinannya untuk terjadi
suatu waktu tertentu dalam kehidupan pasien. Dampak keadaan ini dapat mengancam jiwa
penderitanya atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan dan masalah yang disebabkan
oleh penyakit reumatik ini tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas
dan aktivitas hidup sehari – hari, tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas dapat
menimbulkan kegagalan organ dan kematian atau mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri,
keadaan mudah lelah, perubahan citra serta gangguan tidur (Kisworo, 2008).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Rheumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas
angka nasional yaitu 32,6% namun tidak diperinci jenis rematik secara detail (Nainggolan,
2009).
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik, usia
lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor hormonal, etnis dan faktor
lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan dan urbanisasi (Tobon et al, 2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila
tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang
progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15%
pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau
berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas.
Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level remisi, status
fungsional, dan derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan
sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak
penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya
terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak
terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan
pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis. Ada banyak alat ukur dan
kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan
kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria
ACR (American College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.
Penanganan yang dapat dilakukan berupa terapi medikamentosa dan rehabilitasi
medik yang tentunya juga berperan penting untuk meningkatkan mobilitas dan pengembalian
fungsi tubuh yang terkena dalam kata lain meningkatkan kualitas hidup pasien. Ada
beberapa Tindakan rehabilitasi yang dapat dilakukan yaitu okupasi terapi, pemakaian bidai.
Salah satu terapi okupasi yang dapat dilakukan adalah fisioterapi.
Peran fisioterapi pada kondisi rheumatoid arthritis yaitu dengan penerapan teknologi
fisioterapi dengan menggunakan terapi latihan (resisted active movement dan static
contraction) dan massage. Terapi latihan berupa resisted active movement ditujukan untuk
mengatasi gangguan fungsi dan gerak, sehingga pasien akan dapat beraktifitas seperti sedia
kala dan bermanfaat dalam memelihara lingkup gerak pergelangan kaki serta menambah
kekuatan otot. Sedangkan tehnik massage (stroking dan efflurage) dan terapi latihan berupa
static contraction bermanfaat dalam mengurangi pembengkakan pada pergelangan kaki.
Modalitas fisioterapi lain yang digunakan yaitu pemberian sinar infra red dapat
digunakan dalam pemulihan kaku sendi ankle. Pemberian sinar infra red dapat digunakan
dalam memberikan efek pengurangan nyeri, rileksasi otot dan melancarkan peredaran darah
(Jagmohan, 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi
risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang
menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami
perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun,
menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot
lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih
berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet
makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada
sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,
jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin
A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi
akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas
pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan
mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan
sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa
terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari.
(Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya
pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi
perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).
2.6.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga.
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut
(Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.
NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen,
piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses
destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin,
dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi
(Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari
sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil
menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui
pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah
nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan,
maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi,
contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan
sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan
Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io Digunakan sebagai lini
ditingkatkan setiap pertama
minggu hingga
4x500mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus
mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral 12,5- samping: rentan infeksi,
17,5mg/minggu intoleransi GIT,
dalam 8-12 minggu gangguan fungsi hati dan
hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan
tajam penglihatan, mual,
diare, anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan
hati, gejala GIT,
peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,
proteinuria, rash
Kisworo, 2008.NyeriSendi–SendiAkibatReumatik.Tersedia:
http://www.suaramerdeka.com/Diaksespadatanggal 15 september 2014.
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo- Epidemiology, and
Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019
Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative
Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81