Anda di halaman 1dari 21

Referat

REHABILITASI MEDIK PADA


RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh:
Ayu Paotonan, S.Ked

DI BAGIAN/SMF NEUROLOGI

FK SAMRATULANGI

2021
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN..................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan...........................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka....................................................................................3
2.1 Definisi.............................................................................................3
2.2 Epidemiologi...................................................................................3
2.3 Faktor Risiko...................................................................................4
2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi........................................................4
2.3.2 Dapat Dimodifikasi...................................................................5
2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi...................................................6
2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan
Diagnosis.........................................................................................10
2.5.1 Manifestasi Klinis.....................................................................10
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang............................................................11
2.5.3 Diagnosis..................................................................................11
2.6 Tatalaksana......................................................................................13
2.6.1 Pencegahan...............................................................................13
2.6.2 Penanganan...............................................................................14
2.7 Diagnosis Banding..........................................................................15
2.8 Rehabilitasi Medik pada RA...........................................................16
2.9 Prognosis.........................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

Perubahan – perubahan akan terjadi pada tubuh manusia berkaitan dengan makin
meningkatnya usia. Perubahan tubuh sejak awal kehidupan sampai usia lanjut pada semua
organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian tampak pula pada semua sistem muskuloskletal
dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan
reumatik. Salah satu dari golongan reumatik yang sering menyerang usia lanjut yang
menimbulkan gangguan muskuloskeletal adalah rheumatoid arthritis (Fitriani, 2009).
Penyakit reumatik yang biasa disebut artritis (radang sendi) dianggap sebagai suatu
keadaan yang sebenarnya terdiri atas lebih dari 100 tipe kelainan yang berbeda. Penyakit ini
dapat mengenai otot-otot skelet, ligamen, tendon, dan persendian pada laki – laki maupun
wanita dengan segala usia. Sebagian gangguan lebih besar kemungkinannya untuk terjadi
suatu waktu tertentu dalam kehidupan pasien. Dampak keadaan ini dapat mengancam jiwa
penderitanya atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan dan masalah yang disebabkan
oleh penyakit reumatik ini tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas
dan aktivitas hidup sehari – hari, tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas dapat
menimbulkan kegagalan organ dan kematian atau mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri,
keadaan mudah lelah, perubahan citra serta gangguan tidur (Kisworo, 2008).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Rheumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas
angka nasional yaitu 32,6% namun tidak diperinci jenis rematik secara detail (Nainggolan,
2009).
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik, usia
lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor hormonal, etnis dan faktor
lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan dan urbanisasi (Tobon et al, 2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila
tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang
progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15%
pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau
berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas.
Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level remisi, status
fungsional, dan derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan
sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak
penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya
terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak
terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan
pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis. Ada banyak alat ukur dan
kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan
kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria
ACR (American College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.
Penanganan yang dapat dilakukan berupa terapi medikamentosa dan rehabilitasi
medik yang tentunya juga berperan penting untuk meningkatkan mobilitas dan pengembalian
fungsi tubuh yang terkena dalam kata lain meningkatkan kualitas hidup pasien. Ada
beberapa Tindakan rehabilitasi yang dapat dilakukan yaitu okupasi terapi, pemakaian bidai.
Salah satu terapi okupasi yang dapat dilakukan adalah fisioterapi.
Peran fisioterapi pada kondisi rheumatoid arthritis yaitu dengan penerapan teknologi
fisioterapi dengan menggunakan terapi latihan (resisted active movement dan static
contraction) dan massage. Terapi latihan berupa resisted active movement ditujukan untuk
mengatasi gangguan fungsi dan gerak, sehingga pasien akan dapat beraktifitas seperti sedia
kala dan bermanfaat dalam memelihara lingkup gerak pergelangan kaki serta menambah
kekuatan otot. Sedangkan tehnik massage (stroking dan efflurage) dan terapi latihan berupa
static contraction bermanfaat dalam mengurangi pembengkakan pada pergelangan kaki.
Modalitas fisioterapi lain yang digunakan yaitu pemberian sinar infra red dapat
digunakan dalam pemulihan kaku sendi ankle. Pemberian sinar infra red dapat digunakan
dalam memberikan efek pengurangan nyeri, rileksasi otot dan melancarkan peredaran darah
(Jagmohan, 2005).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan
penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif.
Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi,
dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang
pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun
dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan,
sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan
pada bagian dalam sendi.
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan
banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak
sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala
karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang
baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat
untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

2.2 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis


Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu
dengan lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi
RA sekitar 1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan
Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar
0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa
Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di
Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah
didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia
diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan
0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto dari
seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan
9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et
al,2010).

Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas.


Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa
jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007
sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien.
Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi
penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci
jenis rematik secara detail. Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013)
memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga teratas diagnosa medis utama
para lansia yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan dan
pengobatan gratis di salah satu wilayah pedesaan di Bali.

2.3 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis


Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan
menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi:
2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA.
Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen
tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada
faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia. HLA-
DRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme
PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi
Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga
dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak
(Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk
timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan
beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA
hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun
dan sering pada usia diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio
3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum
jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh

2.3.2 Dapat Dimodifikasi


1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat
kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan
penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara
tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan
risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok
berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor (RF) yang
akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga
berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok
menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab
namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah
makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian
Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak
ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis
makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat
meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan
konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas
bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr
virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam
jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya
parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella,
dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun
risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan
paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi
ireguler, dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 30.

2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan
penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor
dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi
virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab
dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun
komplek dan reaksi imunitas selular. Terjadi pembentukan faktor rematoid,
suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun
komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui,
dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang
saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran
imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan.
Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya
menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya
atau mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang
dapat menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses
keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α,
IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan
stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas,
kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim
matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA


(Sumber: McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid
Arthritis. N Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19)
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari
pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP
dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat
pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen
luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80%
penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada
hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat
pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana
diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra
dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi
RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan
IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah
peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi.
Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen,
kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi
dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus
tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit
dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat
juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit
jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary-
adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).
Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
(Sumber: McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid
Arthritis. N Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19)

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di


bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah
jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang
sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi
sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh
darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah
trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan
menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat
dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur
dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra
dkk,2013).
2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid
Arthritis
2.5.1 Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau
bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan
keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan
berat badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi
pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya
juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,
panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada
leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,
pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang
didapatkan, namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan
perikard
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru
obstruktif dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis
yang sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika)
berupa kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan
skleromalase perforans
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan
spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan
neutropeni
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif
namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya
digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan
spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan
antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan
ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi
tulang, atau subluksasi sendi.
2.5.3 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil
pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.
Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat
ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang
digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik.
Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan
sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama
1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),
MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpo-
phalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan
atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi
yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di
atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain
kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor
dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6,
maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin
memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif) maupun
retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit)
(Putra dkk,2013).
Distribusi Sendi (0-5) Skor
1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 2
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 3
>10 sendi kecil 5
Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif 0
Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA 2
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA 3
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu 0
≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal 0
CRP abnormal ATAU LED abnormal 1

2.6 Tatalaksana
2.6.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi
risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang
menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami
perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun,
menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot
lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih
berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet
makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada
sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,
jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin
A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi
akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas
pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan
mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan
sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa
terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari.
(Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya
pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi
perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).

2.6.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga.
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut
(Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.
NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen,
piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses
destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin,
dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi
(Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari
sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil
menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui
pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah
nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan,
maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi,
contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan
sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan
Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io Digunakan sebagai lini
ditingkatkan setiap pertama
minggu hingga
4x500mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus
mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral 12,5- samping: rentan infeksi,
17,5mg/minggu intoleransi GIT,
dalam 8-12 minggu gangguan fungsi hati dan
hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan
tajam penglihatan, mual,
diare, anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan
hati, gejala GIT,
peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,
proteinuria, rash

2.7 Diagnosis Banding Rheumatoid Arthritis


RA harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati
reaktif yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan
penyakit jaringan ikat lainnya seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES),
yang mungkin
mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga harus
disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila dicurigai ada
artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu,
osteoartritis juga memiliki kemiripan gejala dengan RA.

2.8 Rehabilitasi Medik pada RA


Rehabilitasi Medik pada RA dimaksud untuk memperbaiki kualitas
hidup pada pasien. Meminimalisir gerakan sendi, mengistirahatkan sendi
yang terlibat dengan pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan
(peregangan), dan fisioterapi. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan
fisioterapi.
Peran fisioterapi pada kondisi rheumatoid arthritis yaitu dengan
penerapan teknologi fisioterapi dengan menggunakan terapi latihan (resisted
active movement dan static contraction) dan massage. Terapi latihan berupa
resisted active movement ditujukan untuk mengatasi gangguan fungsi dan
gerak, sehingga pasien akan dapat beraktifitas seperti sedia kala dan
bermanfaat dalam memelihara lingkup gerak pergelangan kaki serta
menambah kekuatan otot. Sedangkan tehnik massage (stroking dan efflurage)
dan terapi latihan berupa static contraction bermanfaat dalam mengurangi
pembengkakan pada pergelangan kaki.
Modalitas fisioterapi lain yang digunakan yaitu pemberian sinar infra
red dapat digunakan dalam pemulihan kaku sendi ankle. Pemberian sinar
infra red dapat digunakan dalam memberikan efek pengurangan nyeri,
rileksasi otot dan melancarkan peredaran darah (Jagmohan, 2005).
Pada salah satu penelitian yang dilakukan pada pasien dengan RA,
didapatkan penatalaksanaan rehabilitasi berupa fisioterapi infrared, terapi
latihan berupa RAM dan static contraction memberikan hasil yang cukup
signifikan dalam mengurangi gejala nyeri pada sendi (dengan skala VAS),
menambah kekuatan otot (dinilai dengan MMT) dan mengurangi oedema
(bengkak) pada persendian yang terkena dengan pengukuran antropometri.
dengan melakukan fisoterapi (Febriana, 2015).
2.9 Prognosis Rheumatoid Arthritis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan
pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga
tujuh puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua
tahun. Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas
juga meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak
mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang
berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas,
gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami
hendaya dalam 10 tahun ke depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12
minggu setelah gejala awal menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita
Selekta, 2014). Indikator prognostik buruk berupa banyak sendi yang
terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi
pada awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Fitriani, 2009. Perubahan Pada Lansia. Tersedia: http://heatlh.detik.com Diakses pada


tanggal 15 september 2014

Kisworo, 2008.NyeriSendi–SendiAkibatReumatik.Tersedia:
http://www.suaramerdeka.com/Diaksespadatanggal 15 september 2014.

Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia.


Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594

Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo- Epidemiology, and
Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019

Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.


Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20

Singh, Jagmohan; 2005; Texbook of Electrotherapy; Jaypee Brothers Media Publishers,


New Dehli.

Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis


Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan


Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
ISBN

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative
Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81

Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-


Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu
Wilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N


Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19

Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The


Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of
the British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The
Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan
Pasien Non Koperatif. Academia Edu
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
Febriana. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi pada kasus Rheumatoid Arthritis
Ankle Bilateral di RSUD Saras Husada Purworejo. Univ Muhammadiyah
Surakarta

Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di


Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594

Anda mungkin juga menyukai