Anda di halaman 1dari 48

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6

2.3 Epidemiologi.............................................................................................8

2.4 Klasifikasi..................................................................................................9

2.5 Patofisiologi.............................................................................................10

2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................17

2.7 Diagnostik...............................................................................................36

2.8 Tatalaksana..............................................................................................37

2.9 Komplikasi..............................................................................................41

2.10 Prognosis.................................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................45

1
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Klasifikasi JIA Menurut Edmonton Tahun 2001...............................10

Gambar 2.2 Klasifikasi JIA Berdasarkan Subtipe.................................................10

Gambar 2.3 Kriteria progresifitas JIA menurut ACR............................................11

Gambar 2.5 Poin Penting Pada Anamnesis............................................................19

Gambar 2.6 Perbedaan karakteristik masing-masing diagnosis banding penyakit

sendi pada anak......................................................................................................25

Gambar 2.7 Kuisioner pGALS yang dapat untuk skrining sistem muskuloskeletal

pada pasien anak dengan kecurigaan artritis..........................................................28

Gambar 2.8 Pembengkakan dan kontraktur fleksi lutut kanan pasien yang

representatif dengan penyakit oligoartikular..........................................................31

Gambar 2.9 Penyakit poliarticular mempengaruhi sendi pergelangan tangan dan

tangan.....................................................................................................................31

Gambar 2.10 Perbedaan manifestasi klinis pada diagnosis banding JIA...............31

Gambar 2.11 Gambar X-Ray.................................................................................36

Gambar 2.12. Rekomendasi terbaru untuk tatalaksana pasien JIA........................41

2
BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri dan pembengkakan pada sendi adalah manifestasi umum dari

banyak penyakit muskuloskeletal dan rematik, serta berbagai kondisi non-

rematik. Diagnosis banding nyeri dan pembengkakan sendi pada anak

sangatlah luas dan mencakup kondisi jinak maupun serius. Penilaian anak

dengan nyeri sendi dan/atau pembengkakan harus dilakukan dengan segera,

terutama untuk kondisi dengan konsekuensi yang berpotensi serius.1

Diagnosis banding nyeri atau pembengkakan sendi pada masa kanak-

kanak sangat luas, mulai dari kondisi jinak hingga serius, beberapa di

antaranya dapat memiliki konsekuensi yang mendestruksi (misalnya, artritis

septik dan kondisi neoplastik) Kategori penyakit yang mungkin muncul

dengan nyeri dan/atau pembengkakan sendi termasuk dalam mnemonik

berikut, ARTHRITIS yang terdiri dari Avascular necrosis and epiphyseal

disorders, Reactive and postinfectious arthritis, Trauma, Hematologic

disorders, Rickets, metabolic and endocrine disorders, Infection, Tumors,

Idiopathic pain syndrome, Systemic rheumatic diseases.1

Selain diagnosis banding diatas, ada penyakit lain yang juga menjadi

diagnosis banding pasien anak dengan keluhan nyeri dan atau pembengkakan

sendi, yaitu Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA). JIA merupakan penyakit

reumatik yang paling sering ditemukan pada anak. JIA didefinisikan sebagai

adanya tanda objektif artritis pada sedikitnya satu sendi yang berlangsung

3
lebih dari 6 minggu pada anak usia kurang dari 16 tahun dan jenis artritis lain

pada anak telah disingkirkan.2

Istilah JIA merupakan istilah baru yang dikembangkan oleh

International League of Associations for Rheumatology (ILAR) untuk

mendiagnosis artritis kronik pada anak-anak, menggantikan istilah juvenile

rheumatoid arthritis (JRA). Penyakit ini merupakan penyakit aktif yang

dapat terus berlangsung sampai usia dewasa dengan akibat berpotensi

menyebabkan keterbatasan fungsional dan menurunkan kualitas hidup

seseorang. Sampai saat ini penyebab JIA belum diketahui, namun bukti-bukti

yang ada menunjukkan pengaruh faktor genetik dan respons autoimun

abnormal sehingga terjadi inflamasi dan destruksi sendi yang progresif.3

Insidensi dan prevalensi yang dilaporkan pada populasi Eropa berkisar

2 hingga 20 dan Amerika Utara berkisar 16 hingga 150 per 100.000. JIA

adalah penyakit reumatologis kronis yang paling umum pada masa kanak-

kanak, dengan prevalensi 1: 1000 anak-anak. Penyakit ini memiliki dua

puncak, satu pada 1 hingga 3 tahun dan satu pada 8 hingga 12 tahun, tetapi

dapat terjadi pada segala usia. Anak perempuan lebih sering terkena daripada

anak laki-laki, terutama dengan bentuk penyakit oligoarticular.3

Insidensi dan prevalensinya di seluruh dunia bervariasi bergantung pada

ras, kerentanan imunogenetik, dan lingkungan. Data dari dua Rumah Sakit

pusat di Inggris terdapat insidensi 10 per 100.000 populasi di bawah usia 16

tahun dan diperkirakan 1.000 kasus baru setiap tahunnya. Distribusi subtipe

kasus tersebut tidak diketahui. Data lain menyatakan insidensi artritis kronik

bervariasi 2–20/100.000 populasi. Sebuah survei di Michigan tahun 1960–

4
1970 mencatat minimal insidensi 9,2/100.000 anak per tahun. Estimasi di

Finlandia 6–8/100.000, di Norwegia insidensi 22,6/100.000, sebanyak 42%

dengan alel human leukocyte antigen B27 positif. Beberapa penelitian di

negara berkembang melaporkan prevalensi JIA bervariasi antara 16 dan

150/100.000 populasi, namun pada sebuah ulasan dinyatakan angka

prevalensi tersebut terlalu rendah. Survei berbasis komunitas di Australia

melaporkan bahwa prevalensi JIA berdasarkan pemeriksaan klinis yang

dilakukan oleh ahli reumatologi pada anak usia sekolah sebanyak 400

/100.000 populasi.4

Komplikasi dengan JIA terutama disebabkan oleh hilangnya fungsi

sendi yang terlibat sekunder akibat kontraktur, fusi tulang, atau hilangnya

ruang sendi. Terapi fisik dan pekerjaan, secara profesional dan melalui

program di rumah, sangat penting untuk menjaga dan memaksimalkan fungsi.

Komplikasi yang lebih serius berasal dari uveitis terkait; jika tidak diobati,

dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang serius atau kebutaan.

Sehingga, perlu pemahaman yang memadai bagi para klinisi tentang

gambaran diagnosis banding dari keluhan nyeri dan atau pembengkakan sendi

pada anak untuk membantu penegakkan diagnosisnya pada anak. 4

5
6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) merupakan penyakit reumatik yang

paling sering ditemukan pada anak. JIA didefinisikan sebagai adanya tanda

objektif artritis pada sedikitnya satu sendi yang berlangsung lebih dari 6

minggu pada anak usia kurang dari 16 tahun dan jenis artritis lain pada anak

telah disingkirkan.5

Istilah JIA merupakan istilah baru yang dikembangkan oleh International

League of Associations for Rheumatology (ILAR) untuk mendiagnosis artritis

kronik pada anak-anak, menggantikan istilah juvenile rheumatoid arthritis (JIA).

Penyakit ini merupakan penyakit aktif yang dapat terus berlangsung sampai usia

dewasa dengan akibat berpotensi menyebabkan keterbatasan fungsional dan

menurunkan kualitas hidup seseorang. Sampai saat ini penyebab JIA belum

diketahui, namun bukti-bukti yang ada menunjukkan pengaruh faktor genetik dan

respons autoimun abnormal sehingga terjadi inflamasi dan destruksi sendi yang

progresif.4

2.2 Etiologi

Etiologi penyakit autoimun ini tidak diketahui. Akan tetapi banyak

sekali faktor etiologi yang dapat menyebabkan gejala klinis JIA seperti

infeksi, autoimun, trauma, stres serta faktor imunogenetik.6

Untuk penyakit reumatik perbedaan tersebut berhubungan dengan

7
perkembangan sistim limfoid sampai masa remaja yang akan diikuti

kemudian oleh involusi bertahap. Selain itu terdapat pula perbedaan derajat

maturitas tulang pada setiap tahap perkembangan anak. Perbedaan fisis dan

biokimiawi tulang rawan dan tulang, anatomi serta peran suplai darah untuk

metafisis dan epifisis terhadap pertumbuhan tulang, akan sangat

mempengaruhi gambaran penyakit reumatik anak. Faktor lain seperti

imaturitas gonad, pajanan terhadap antigen, serta ekspresi imunogenetik

berperan pula terhadap manifestasi penyakit reumatik anak. Artritis pada

anak dapat disebabkan oleh berbagai penyakit yang mempunyai spektrum

sangat luas, yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi :

1) penyakit reumatik dan kondisi yang berhubungan,

2) artritis infeksi,

3) gangguan muskuloskeletal kongenital,

4) gangguan muskuloskeletal didapat non-reumatik,

5) penyakit keganasan, dan

6) penyakit lain seperti penyakit sickle cell, hemofilia dan koagulopati

lainnya, hipotiroidisme, sarkoidosis.

Penyakit reumatik anak sendiri terdiri lagi dari JRA/JKA atau JIA,

dermatomiositis, lupus eritematosa sistimik, penyakit jaringan ikat campuran,

vaskulitis sistimik, skleroderma, spondiloartropati, artritis yang berhubungan

dengan penyakit defisiensi imun, dan artritis reaktif (demam reumatik dan

artritis yang berhubungan dengan infeksi Gram negatif). Penyakit tersering

pada kelompok reumatik anak tersebut adalah JRA/JKA/JIA.2

8
2.3 Epidemiologi

Insidensi dan prevalensi yang dilaporkan pada populasi Eropa berkisar

2 hingga 20 dan Amerika Utara berkisar 16 hingga 150 per 100.000. JIA

adalah penyakit reumatologis kronis yang paling umum pada masa kanak-

kanak, dengan prevalensi 1: 1000 anak-anak. Penyakit ini memiliki dua

puncak, satu pada 1 hingga 3 tahun dan satu pada 8 hingga 12 tahun, tetapi

dapat terjadi pada segala usia. Anak perempuan lebih sering terkena daripada

anak laki-laki, terutama dengan bentuk penyakit oligoartikular.5

Insidensi dan prevalensinya di seluruh dunia bervariasi bergantung pada

ras, kerentanan imunogenetik, dan lingkungan. Data dari dua Rumah Sakit

pusat di Inggris terdapat insidensi 10 per 100.000 populasi di bawah usia 16

tahun dan diperkirakan 1.000 kasus baru setiap tahunnya. Distribusi subtipe

kasus tersebut tidak diketahui. Data lain menyatakan insidensi artritis kronik

bervariasi 2–20/100.000 populasi. Sebuah survei di Michigan tahun 1960–

1970 mencatat minimal insidensi 9,2/100.000 anak per tahun. Estimasi di

Finlandia 6–8/100.000, di Norwegia insidensi 22,6/100.000, sebanyak 42%

dengan alel human leukocyte antigen B27 positif. Beberapa penelitian di

negara berkembang melaporkan prevalensi JIA bervariasi antara 16 dan

150/100.000 populasi, namun pada sebuah ulasan dinyatakan angka

prevalensi tersebut terlalu rendah. Survei berbasis komunitas di Australia

melaporkan bahwa prevalensi JIA berdasarkan pemeriksaan klinis yang

dilakukan oleh ahli reumatologi pada anak usia sekolah sebanyak 400

/100.000 populasi.4

9
2.4 Klasifikasi

Menurut Edmonton pada tahun 2001, klasifikasi JIA direvisi kedua kalinya

menjadi3:

Gambar 2.1 Klasifikasi JIA Menurut Edmonton Tahun 2001 dibagi menjadi sistemik, oligoartritis,
poliartritis, artritis yang berkaitan dengan entesitis, psoriasis artritis dan artritis yang belum
diketahui3

Gambar 2.2 Klasifikasi JIA Berdasarkan Subtipe dibagi menjari oligoartikular, poliartikular
dengan RF negatif, poliartikular dengan RF positif, sistemik, psoriatis dan artritis yang berkaitan
dengan entesitis.3

10
Gambar 2.3 Kriteria progresifitas JIA menurut ACR dibagi menjadi Stadium I (awal), stadium II
(sedang), stadium III (berat) dan stadium IV (akhir) yang deskripsinya dapat dilihat pada gambar
diatas.3

2.5 Patofisiologi

Sampai kini penyebab JIA masih belum diketahui dan diakui pula bahwa

JIA sebetulnya merupakan sekumpulan penyakit yang tidak homogen. Terdapat

banyak sekali faktor etiologi yang dapat menyebabkan gejala klinis JIA dengan

berbagai faktor penyebab seperti infeksi, autoimun, trauma, stress, serta faktor

imunogenetik. Apa pun penyebabnya, patogenesis JIA kemungkinan melibatkan

pola respon host terhadap faktor penyebab tersebut.5

Dalam patofisiologi JIA, setidak-tidaknya ada 2 hal yang perlu

diperhitungkan yaitu hipereaktifitas yang berhubungan dengan HLA dan pencetus

lingkungan yang kemungkinannya adalah virus. Penyebab gejala klinis JIA antara

lain infeksi autoimun, trauma, stres, serta faktor imunogenetik.5

Pada JIA sistem imun tidak bisa membedakan antigen diri. Antigen pada

JIA adalah sinovia persendian. Hal ini terjadi karena genetik, kelainan sel T

supresor, reaksi silang antigen, atau perubahan struktur antigen diri. Peranan sel T

dimungkinkan karena adanya HLA tertentu. HLA-DR4 menyebabkan tipe

11
poliartikuler, HLA-DR5 dan HLA-DR8, HLA-B27 menyebabkan pausiartikuler.

Virus dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan struktur antigen diri ini.

Tampaknya ada hubungan antara infeksi virus hepatitis B, virus Eipstein Barr,

imunisasi Rubella, dan mikoplasma dengan JIA.5

Pada fase awal terjadi kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi sinovia.

Tahap berikutnya terjadi sembab pada sinovia, proliferasi sel sinovia mengisi

rongga sendi. Sel radang yang dominan pada tahap awal adalah netrofil, setelah

itu limfosit, makrofag dan sel plasma. Pada tahap ini sel plasma memproduksi

terutama IgG dan sedikit IgM, yang bertindak sebagai faktor rheumatoid yaitu

IgM anti IgG. Belakangan terbukti bahwa anti IgG ini jaga bisa dari klas IgG.

Reaksi antigen-antibodi menimbulkan kompleks imun yang mengaktifkan sistem

komplemen dengan akibat timbulnya bahan-bahan biologis aktif yang

menimbulkan reaksi inflamasi. Inflamasi juga ditimbulkan oleh sitokin, reaksi

seluler, yang menimbulkan proliferasi dan kerusakan sinovia. Sitokin yang paling

berperan adalah IL-18, bersama sitokin yang lain IL-12, IL-15 menyebabkan

respons Th1 berlanjut terus menerus, akibatnya produksi monokin dan kerusakan

karena inflamasi berlanjut.5

Pada fase kronik, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan

respons imun seluler. Kelainan yang khas adalah keruskan tulang rawan ligamen,

tendon, kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh produk enzim,

pembentukan jaringan granulasi. Sel limfosit, makrofag, dan sinovia dapat

mengeluarkan sitokin, kolagenase, prostaglandin dan plasminogen yang

mengaktifkan system kalokrein dan kinin-bradikinin. Prostaglandin E2 (PGE2)

merupakan mediator inflamasi dari derivat asam arakidonat, menyebabkan nyeri

12
dan kerusakan jaringan. Produk-produk ini akan menyebabkan kerusakan lebih

lanjut seperti yang terlihat pada Artritis Reumatoid kronik.5,7

Gambar 2.4 Jalur pensinyalan sitokin yang terlibat dalam JIA. Interaksi antara makrofag, sel T, sel
B, dan sel non-hematopoietik termasuk fibroblas penting dalam patogenesis JIA. Interaksi ini
difasilitasi oleh aksi sitokin yang menginduksi produksi sitokin proinflamasi lainnya. 5

Pada anak, proses kerusakan kartilago artikuler terjadi lebih lambat

dibandingkan pada dewasa, sehingga anak yang menderita JIA tidak pernah

mendapat cedera sendi permanen walaupun sinovitisnya lama. Penghancuran

sendi terjadi lebih sering pada anak dengan faktor reumatoid positif atau penyakit

tipe sistemik. Bila penghancuran sendi telah dimulai, dapat terjadi erosi tulang

subkhondral, penyempitan ruang sendi, penghancuran tulang, deformitas dan

subluksasi atau ankilosis persendian. Mungkin dijumpai tenosinovitis dan

miositis. Osteoporosis, periostitis, pertumbuhan epifisis yang dipercepat, dan

penutupan epifisis yang prematur dapat terjadi di dekat sendi yang terkena.5,8

Nodul reumatoid lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan orang

dewasa, terutama pada faktor reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan

fibrinoid yang dikelilingi oleh sel radang kronis. Pada pleura, perikardium dan

peritoneum dapat terjadi serositis fibrinosis non spesifik. Nodul reumatoid secara

13
histologis tampak seperti vaskulitis ringan dengan sedikit sel radang yang

mengelilingi pembuluh darah kecil.8,9

Terdapat 4 jenis patogenesis terjadinya JIA, yaitu :7,10

1. Berhubungan dengan molekul HLA dan non-HLA

Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JIA karena fungsi utama

dari gen ini sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JIA berbeda-

beda tergantung subtipe JIA. Secara spesifik oligoartritis dihubungkan dengan

genHLA-A2, HLA-DRB1*11, dan HLA-DRB1*08. Faktor reumatoid positif pada

poliartritis berhubungan dengan gen HLA–DR4 pada anak, dan begitu juga pada

dewasa. Selain itu, adanya gen HLA-B27 meningkatkan risiko entesitis terkait

artritis. Protein Tyrosine Phosphatase Nonreceptor 22 (PTPN22) mengkode suatu

fosfatase limfoid spesifik (lyp), suatu varian dalam pengkodean region di gen ini.

Gen ini dihubungkan dengan sejumlah penyakit autoimun yang juga telah

teridentifikasi sebagai suatu lokus untuk JIA. Efek dari PTPN22 ini bervariasi

antara masing-masing subtipe JIA tetapi secara umum lebih terkait daripada gen

HLA. Beberapa gen lainnya yaitu faktor makrofag inhibitor, IL-6, IL-10 dan TNF

α juga berhubungan dengan JIA. 7

2. Mediator inflamasi pada kerusakan sendi

Membran sinoval pada pasien JIA mengandung sel T, sel T yang

teraktivasi sel plasma, dan makrofag yang teraktivasi, yang didatangkan melalui

suatu proses neovaskularisasi. Antigen spesifik sel T berperan dalam patogenesis

subtipe artritis pada JIA. Sel T predominan adalah sel Th1. Sel ini akan

mengaktivasi sel B, monosit, makrofag dan fibroblas sinovial untuk memproduksi

immunoglobulin (Ig) dan mediator inflamasi. Sel B yang teraktivasi akan

14
memproduksi immunoglobulin termasuk faktor reumatoid dan antinuclear

antibody (ANA). Patogenesis yang tepat tentang faktor reumatoid belum

diketahui sepenuhnya, diduga melibatkan aktivasi komplemen melalui

pembentukan komplek imun.

Antinuclear antibody (ANA) dihubungkan dengan onset dini terjadinya

oligoartritis tetapi antibodi ini tidak spesifik untuk JIA. Makrofag yang

teraktivasi, limfosit, dan fibroblas memproduksi vascular endothelial growth

factor (VEGF) dan osteopontin yang menstimulasi terjadinya angiogenesis. Pada

pasien JIA, VEGF banyak ditemukan di jaringan sinovial. Osteopontin meningkat

di cairan sinovial dan berhubungan dengan neovaskularisasi. Tumor necrosis

factor (TNF) dan IL-1 diproduksi oleh monosit teraktivasi, makrofag dan

fibroblas sinovial. Mediator inflamasi ini sepertinya memiliki peran penting dalam

terjadinya JIA. Sitokin ini ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita JIA

dan telah diketahui menstimulasi sel mesenkim seperti fibroblas sinovial,

osteoklast dan khondrosit untuk melepas matrix metaloproteinase (MTP) yang

mengakibatkan kerusakan jaringan. Pada kelinci percobaan, injeksi IL-1 pada

sendi lutut mengakibatkan terjadinya degradasi pada kartilago.

Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin multifungsi yang memiliki aktivitas

biologik yang luas dalam regulasi respon imun, reaksi fase akut, hematopoesis

dan metabolisme tulang. Jumlah IL-6 yang beredar di sirkulasi meningkat pada

pasien JIA. Hal ini dihubungkan dengan hasil laboratorium dan manifestasi klinis

dari derajat aktivitas penyakit. Interleukin-6 (IL-6) menstimulasi hepatosit dan

menginduksi produksi protein fase akut seperti C-reactive Protein (CRP). Jadi,

peningkatan kadar IL-6 dalam serum berkorelasi dengan peningkatan CRP dalam

15
fase aktif penyakit. Interleukin-17 (IL-17) diproduksi oleh sel Th17 dan

menginduksi reaksi jaringan yang berlebihan karena memiliki reseptor yang

tersebar luas di seluruh tubuh. Bukti terbaru menunjukkan IL-17 mempunyai

peran penting dalam reaksi inflamasi autoimun. Interleukin-17 (IL-17) akan

meningkatkan sitokin proinflamasi di jaringan sendi, menstimulasi produksi TNF

dan IL-1, serta akan saling bersinergi untuk meningkatkan produksi IL-6, IL-8

dan IL-17 sehingga menyebabkan kerusakan sendi akibat proses inflamasi.

Interleukin-17 (IL-17) meningkat pada pasien JIA dengan penyakit yang aktif

dibandingkan dengan pasien yang mengalami remisi.

3. Profil inflamasi khas pada penyakit tipe sistemik

Patogenesis dari JIA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JIA dalam

berbagai bagian seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak adanya

autoantibodi dan sel T reaktif. Penderita dengan penyakit tidak menunjukkan

tanda-tanda dari limfosit mediated antigen yang merupakan respon imun spesifik.

Tanda-tanda klinis dari JIA tipe sistemik juga dihubungkan dengan granulositosis,

trombositosis, dan peningkatan regulasi reaktan fase akut yang menandakan

aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun didapat. Selama manifestasi awal dari

perjalanan penyakit ini, muncul infiltrasi perivaskular dari netrofil dan monosit

yang memproduksi sitokin proinflamasi yang berperan dalam proses patogenesis

penyakit.

Data terbaru menunjukkan IL-1 memiliki peran utama dalam gejala klinis

JIA tipe sistemik. Pengobatan dengan reseptor antagonis IL-1 telah menunjukkan

perbaikan gejala klinis dan laboratorium pada pasien yang resisten terhadap

pengobatan anti-TNF. Monosit yang teraktivasi pada pasien dengan gejala

16
sistemik memiliki jumlah IL-1 yang lebih tinggi, dimana sekresi dari TNF dan IL-

6 tidak terlalu meningkat. Anggota lain dari IL-1 yaitu IL-18 ditemukan

meningkat tajam pada pasien dengan onset usia yang lebih besar dibandingkan

dengan pasien JIA lainnya. Interleukin-18 (IL-18) ditemukan lebih meningkat

pada serum anak dengan tipe sistemik dibandingkan dengan tipe poliartikular dan

pausiartikular. Konsentrasi IL-18 juga meningkat pada pasien serositis dan

hepatosplenomegali.

Konsentrasi IL-6 ditemukan meningkat pada pasien dengan tipe sistemik

dan berhubungan dengan keterlibatan sendi. IL-6 juga meningkat pada cairan

sinovial pasien dengan tipe sistemik dibandingkan dengan pasien JIA tipe lainnya.

Produksi berlebihan IL-6 berhubungan dengan manifestasi ekstra artikular seperti

anemia mikrositik dan gangguan pertumbuhan. Pengobatan dengan monoklonal

antibodi yang langsung menyerang reseptor IL-6 menunjukan perbaikan klinis

pada reaktan fase akut pasien dengan tipe sistemik. Aktivasi dan proliferasi yang

tidak terkontrol pada limfosit T dan makrofag yang menyebabkan terjadinya

pelepasan dari sitokin inflamasi seperti TNF α, IL-1, dan IL-6 mengakibatkan

munculnya manifestasi klinis dan patologi pada macrofage activation syndome

(MAS).

4. Mediator anti inflamasi pada JIA

Dua sitokin anti-inflamasi yang paling dikenal pada JIA adalah IL-10 dan

IL-4. Interleukin-10 (IL-10) menunjukkan degradasi kartilago oleh antigen

stimulated mononuclear cell pada pasien dewasa dengan artritis. Polimorfonuklear

(PMN) dengan produksi IL-10 yang rendah berhubungan dengan artritis tipe

berat. IL-4 menghambat aktivasi sel Th1 dan penurunan produksi dari TNF α, IL

17
1 dan menghambat kehancuran kartilago. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10

menghambat produksi dari sitokin inflamasi seperti IL-6 dan IL-8. Interleukin-4

(IL-4) dan IL-10 yang tinggi pada sendi bermanifestasi sebagai pausiartikular

yang ringan dan non-erosif. Foxp3, CD4, CD25, dan sel T regulasi penting untuk

pengontrolan inflamasi. Defek pada X-linked pada foxp3 merupakan penyebab

dari kondisi multipel autoimun disebut juga imunodisregulasi, poliendokrinopati,

dan enteropati (IPEX syndrome). Kerusakan pada sel T regulasi juga merupakan

penyebab adanya kegagalan toleransi pada penyakit autoimun, meskipun belum

ada bukti yang menunjukkan adanya defek pada sel T regulasi pada JIA.

Penurunan jumlah sel T regulasi menyebabkan oligoartritis yang lebih berat. Pada

pasien dengan JIA ditemukan peningkatan jumlah T regulasi yang lebih tinggi di

sendi dibandingkan darah tepi, yang mengindikasikan terjadinya suatu proses

inflamasi.

2.6 Manifestasi Klinis

2.6.1 Anamnesis

Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang mendetail merupakan

langkah awal dalam menentukan diagnosis anak dengan nyeri dan/atau

pembengkakan sendi. Secara khusus, tanda dan gejala yang menjadi perhatian

(yaitu, tanda bahaya atau tanda bahaya yang menunjukkan kondisi serius yang

mendasarinya) harus dicari. Terdapat beberapa elemen penting dari anamnesis

yaitu1:

18
Gambar 2.5 Poin Penting Pada Anamnesis terkait dengan keluhan artritis pada anak yang terdiri
dari: 1.jumlah sendi yang terdampak, 2.karakter nyeri, 3,faktor presipitasi 4. Adanya simptom lain
yang terkait dan 5. Pola simptom.1

a. Inflamasi sendi: gerakan sendi terbatas, nyeri bila digerakan dan teraba

panas.1

- Menentukan lokasi nyeri/pembengkakan penting untuk mengembangkan

daftar diagnosis banding yang rasional dan untuk mengarahkan evaluasi dan

pengobatan selanjutnya. Keterlibatan sendi tunggal lebih memperlihatkan

untuk proses akut dan memerlukan evaluasi yang lebih urgent daripada

keterlibatan beberapa sendi. Mungkin sulit untuk meminta anak-anak

melokalisasi rasa sakit secara akurat, terutama anak-anak yang lebih kecil.2

Ada tumpang tindih antara penyebab nyeri dan pembengkakan

monoartikular dan poliartikular. Namun, penting untuk menentukan jumlah

sendi yang terlibat karena infeksi merupakan penyebab yang relatif umum dari

19
nyeri akut dan pembengkakan pada satu sendi, yang dapat mengakibatkan

kerusakan tulang rawan dalam beberapa hari jika tidak diobati. Akibatnya,

pasien dengan keterlibatan monoartikular perlu dinilai segera untuk

memastikan bahwa terapi dapat dimulai secepat mungkin pada mereka yang

diduga memiliki infeksi bakteri sebagai penyebab gejala mereka.1

- Keterlibatan sendi tunggal: Infeksi bakteri (misalnya, artritis septik dan

osteomielitis, infeksi jaringan lunak yang berdekatan seperti abses dan

piomiositis, atau sebagian infeksi yang lebih umum seperti parvovirus) dan

trauma yang signifikan (misalnya, fraktur atau hemarthrosis) adalah penyebab

penting nyeri pada satu sendi yang harus dipertimbangkan tanpa penundaan,

seperti yang dibahas di atas. Penyebab umum lainnya dari nyeri dan/atau

pembengkakan monoartikular termasuk osteonekrosis (yaitu, penyakit Legg-

Calvé-Perthes), JIA oligoartikular, Artritis Lyme, dan beberapa kasus artritis

reaktif. Penyebab yang lebih jarang termasuk osteoid osteoma dan sinovitis

villonodular berpigmen. 1

- Keterlibatan multipel sendi : karena infeksi bakteri dan trauma

signifikan jarang mengenai sendi multipel, ada sedikit urgensi untuk

mengevaluasi anak dengan keterlibatan poliartikular. Penyebab nyeri sendi

multipel dan/atau pembengkakan termasuk gangguan jaringan ikat, seperti

SLE, JIA, dan artritis terkait penyakit radang usus.1

- Frekuensi, durasi, dan pola - Nyeri dan pembengkakan dapat dicirikan

berdasarkan frekuensi, durasi, dan polanya. Nyeri/pembengkakan yang

persisten, intermiten, dan berpindah. Nyeri persisten merupakan karakteristik

peradangan pada ruang sendi yang biasa terlihat pada pasien artritis yang

20
disebabkan oleh infeksi atau gangguan reumatologi atau nyeri tulang akibat

proses neoplastik. Nyeri intermiten, terutama yang terkait dengan aktivitas,

lebih mungkin disebabkan oleh masalah mekanis (misalnya, nyeri

patellofemoral, cedera meniskus atau ligamen lutut, atau gangguan

pelampiasan rotator cuff di bahu). Selain itu, nyeri berulang dan

pembengkakan pada satu atau dua sendi besar yang diikuti dengan resolusi

spontan, terutama di lutut, merupakan karakteristik dari Lyme arthritis. Nyeri

sendi migrasi adalah nyeri yang berlangsung selama beberapa hari di satu atau

lebih sendi dan kemudian sembuh sementara sendi lain yang sebelumnya tidak

terpengaruh menjadi nyeri. Ini dapat dilihat pada pasien dengan demam

rematik akut atau artritis reaktif poststreptokokus, vaskulitis imunoglobulin A

(IgA) (purpura Henoch-Schönlein), dan leukemia atau limfoma masa kanak-

kanak. 1

-Waktu onset: Variasi diurnal merupakan ciri pembeda yang penting dari

berbagai penyebab nyeri sendi yang membantu dalam mengidentifikasi

diagnosis yang mendasari. Nyeri sendi akibat radang sendi, seperti JIA,

biasanya memburuk di awal hari dan membaik sepanjang hari dengan gerakan

dan aktivitas. Sebaliknya, nyeri karena trauma atau penyebab mekanis

(misalnya, hipermobilitas, robekan meniskus, nyeri patellofemoral, atau

penyakit Legg Calvé-Perthes biasanya ringan atau tidak ada di pagi hari dan

memburuk dengan aktivitas atau mungkin hanya terjadi setelah peningkatan

aktivitas fisik. Nyeri muncul biasanya terjadi pada anak yang sehat, dengan

nyeri yang dapat mempengaruhi sendi biasanya dimulai pada akhir hari dan

hingga tengah malam, tetapi tidak pada siang hari. Meskipun tumor tulang juga

21
dapat menyebabkan nyeri nokturnal, anak juga merasakan nyeri pada siang hari

ketika tumor hadir.1 

Nyeri atau kekakuan sendi yang diperparah oleh periode istirahat (disebut

gelling artikular atau tidak aktif) adalah tipikal radang sendi kronis, seperti

terlihat pada beberapa kasus JIA atau SLE. Pertanyaan penting untuk

ditanyakan adalah apakah anak tampak kaku di pagi hari dengan resolusi

bertahap atau perbaikan selama aktivitas hari itu. Beberapa orang tua akan

secara sukarela mengatakan bahwa anak mereka "terlihat seperti orang tua"

setelah bangun di pagi hari. Anak-anak yang sangat kecil mungkin mudah

tersinggung saat bangun tidur dan meminta untuk digendong sampai mereka

merasa lebih baik. Anak-anak yang terkena mungkin memiliki keluhan /

temuan serupa di kemudian hari setelah tidur siang, periode tidak aktif (seperti

perjalanan panjang dengan mobil), atau bahkan duduk di meja di kelas.1

b. Gejala yang sering pada anak kecil adalah kekakuan sendi pada pagi hari.1

Nyeri dan pembengkakan dicirikan oleh lokasi, keparahan, frekuensi,

durasi, dan faktor yang memperburuk atau meringankan temuan. Kekakuan

sendi juga merupakan ciri umum tetapi, seperti nyeri, bersifat subjektif dan

mungkin sulit untuk diukur. Pertanyaan-pertanyaan berikut membantu untuk

mengkarakterisasi nyeri sendi dan pembengkakan anak1:

● Seberapa parah rasa sakit, bengkak, atau kaku?

● Di mana lokasi nyeri, kaku, atau bengkak?

● Berapa banyak dan sendi mana yang terlibat?

● Kapan dan untuk berapa lama sendi terasa nyeri, kaku, atau bengkak?

● Seberapa cepat rasa sakit, bengkak, atau kaku muncul?

22
● Apa yang membuat rasa sakit, bengkak, atau kaku menjadi lebih baik

atau lebih buruk? 

c. Ekspresi nyeri pada anak lebih kecil bisa berupa perubahan postur tubuh.1

Anak kecil dan bayi mungkin mengalami kesulitan mengungkapkan adanya

nyeri dan mungkin tidak mengeluh nyeri sendi bahkan ketika ada tanda-tanda

peradangan dan pembengkakan sendi yang jelas. Dalam kasus yang melibatkan

ekstremitas bawah, anak kecil dapat menunjukkan rasa sakit sebagai penolakan

untuk berjalan atau berjalan dengan pincang, dan, pada mereka yang melibatkan

ekstremitas atas, pasien dapat membatasi gerakan dan penggunaan lengan yang

terlibat. 1,11

Pada remaja akan mengeluh nyeri yang luar biasa, sering disertai dengan

ketidakmampuan untuk berjalan. Nyeri yang membangunkan anak di tengah

malam umumnya parah dan merupakan petunjuk diagnostik yang berguna karena

lebih sering terlihat pada pasien dengan nyeri tulang akibat tumor jinak, seperti

osteoid osteoma, atau keganasan, seperti leukemia. Meskipun kondisi jinak

lainnya seperti nyeri muncul juga biasanya terjadi pada malam hari, anak-anak ini

selalu baik-baik saja di siang hari. Gejala sendi yang signifikan cenderung

mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti berjalan jauh, berpartisipasi dalam

olahraga atau pendidikan jasmani, dan memainkan alat musik. Keterlibatan sendi

kecil tangan dapat mengganggu kemampuan menulis, mengancingkan pakaian,

dan membuka toples dan botol. 1,11

d. Pada awitan sistemik ditemukan demam tinggi intermiten selama 2

minggu atau lebih. 1

23
Adanya demam mempersempit diagnosis banding secara signifikan. Jika ada

riwayat demam, penting untuk memastikan waktu dan pola demam serta

ketinggian suhu yang meningkat. Demam dapat mendahului atau muncul

bersamaan dengan gejala sendi pada anak yang penyakitnya disebabkan oleh

infeksi bakteri. Demam tinggi (suhu lebih dari 38°C) pada pasien dengan penyakit

monoartikular adalah tipikal dari infeksi bakteri pada sendi atau tulang. Namun,

infeksi subakut atau infeksi yang telah diobati mungkin tidak disertai dengan

demam yang signifikan. Demam juga mungkin muncul selama penyakit yang

mendahului perkembangan artritis reaktif.1,8

Demam juga berhubungan dengan penyakit tidak menular termasuk juvenile

idiopathic arthritis (JIA), penyakit Kawasaki, vaskulitis, dan lupus eritematosus

sistemik (SLE). Dalam beberapa kondisi, pola demam merupakan petunjuk

penting untuk diagnosis, seperti yang ditunjukkan pada contoh berikut1,5:

-JIA sistemik dikaitkan dengan pola demam quotidian. Lonjakan demam tinggi

setiap hari sering terjadi pada sore atau malam hari, dengan suhu kembali

normal atau bahkan di bawah normal di antara demam, biasanya di pagi hari

-Demam pada pasien dengan SLE memiliki onset bertahap dan biasanya

derajat rendah dan intermiten.

e. Gejala umum lain adalah tidak nafsu makan, berat badan menurun, dan

pada gejala yang berat bisa terjadi gangguan tidur di malam hari karena nyeri.

Gambar dibawah ini menunjukkan perbedaan karakterikstik dari masing-

masing diagnosis banding yang dapat kita bedakan melalui anamnesis.

24
Gambar 2.6 Perbedaan karakteristik masing-masing diagnosis banding penyakit sendi pada anak
yang dapat dibedakan melalui anamnesis.12

2.6.2 Pemeriksaan Fisik1,4,11

Pemeriksaan fisik — Kelainan yang terdeteksi oleh pemeriksaan fisik

merupakan petunjuk penting untuk diagnosis dan membantu membedakan kondisi

parah yang memerlukan intervensi medis mendesak dari gangguan yang lebih

jinak.Selain pemeriksaan umum yang menyeluruh, pemeriksaan muskuloskeletal

lengkap meliputi:

- Keadaan umum termasuk tumbuh kembang dan tanda vital

- Perhatian yang lebih ke jantung, paru, kukit dan mata dikarenakan organ

organ tersebut lebih sering terkena dampak pada apsien anak dengan nyeri

dan atau pembengkakan sendi. Pada beberapa kasus, abnormalitas dari

organ tersebut dapat menunjukkan etiologi yang mendasarinya

- Mendeteksi seluruh sistem musculoskeletal dan berfokus pada bagian yang

bengkak, dapat juga terjadi nyeri alih yang sering ditemukan pada anak,

25
maka dari itu diperlukan pemeriksaan yang detail pada sendi yang

proksimal dan distal pada area yang nyeri.

- Evaluasi kekuatan motorik (baik proksimal maupun distal) karena kondisi

neuromuskular dan miopati inflamasi juga dapat menyebabkan gejala

sendi yang mirip.

- Skrining muskuloskeletal — Pemeriksaan Pediatric Gait Arms Legs

Spine (pGALS) adalah skrining sederhana untuk kelainan muskuloskeletal

yang dapat dilakukan dalam hitungan menit. Ini adalah pemeriksaan

skrining yang menggunakan manuver fisik sederhana, termasuk

pengamatan gaya berjalan, untuk menilai kelainan musculoskeletal. Isi

dari kuisioner tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5 dibawah ini:

26
27
Gambar 2.7 Kuisioner pGALS yang dapat untuk skrining sistem muskuloskeletal pada
pasien anak dengan kecurigaan artritis.1

- Pemeriksaan sendi terarah: Jika sendi yang terkena sangat nyeri,

penilaiannya harus dilakukan sampai akhir untuk mendorong kerja sama

dengan evaluasi lainnya. Pemeriksaan sendi dimulai dengan inspeksi dan

dilanjutkan ke palpasi dan estimasi rentang gerak aktif dan pasif (ROM).

28
- Inspeksi — Pengamatan adalah langkah pertama dalam pemeriksaan sendi.

Jika lokasi nyeri sendi asimetris atau lebih buruk di satu sisi daripada yang

lain, bandingkan kedua ekstremitas, cari perbedaan ukuran dan bentuknya.

Apakah anak memegang sendi yang terkena pada posisi tertentu yang

nyaman? Jika sendi tampak lebih besar dari artikulasi kontralateral yang

sesuai, penilaian lebih lanjut akan diperlukan untuk menentukan apakah

efusi sendi, penebalan sinovial, edema jaringan lunak di atas sendi,

pertumbuhan tulang yang berlebihan, atau beberapa kombinasi dari

kelainan ini telah menyebabkan peningkatan ukuran sendi. Bahkan jika

hanya satu sendi yang nyeri, seluruh ekstremitas harus diperiksa untuk

mendeteksi adanya atrofi otot, perbedaan panjang, dan/atau asimetri

umum. Kulit di atas sendi harus diperiksa untuk melihat adanya bekas

luka, memar, dan perubahan warna, yang dapat disebabkan oleh ruam atau

peradangan.

- Palpasi — Langkah pertama adalah menilai perbedaan suhu kulit di atas

sendi yang terkena. Peningkatan kehangatan sendi yang terkena

dibandingkan dengan sisi yang tidak terkena dapat mengindikasikan

peradangan akibat infeksi atau gangguan reumatologi. Palpasi "entheses"

(titik insersi ligamen, tendon, atau kapsul sendi ke tulang) sangat penting

dalam menentukan subtipe JIA (biasanya terkait dengan artritis terkait

enthesitis atau spondyloarthritis) dan kadang-kadang pada penyakit

muskuloskeletal dan rematik lainnya. Peradangan pada titik-titik

penyisipan ini disebut sebagai "entesitis." Jika osteomielitis dicurigai,

palpasi tulang harus dilakukan dengan hati-hati, dan harus dimulai dari

29
daerah yang nyeri dan bergerak ke arah itu perlahan. Pada anak demam,

nyeri hebat di area tulang yang terlokalisir ("titik nyeri tekan") merupakan

indikasi kemungkinan osteomielitis. Pada anak yang tidak demam, ada

diagnosis banding yang luas untuk nyeri tekan titik tulang, termasuk

fraktur, periostitis, neoplasia jinak atau ganas, dan entesitis. Osteomielitis

subakut juga mungkin terjadi pada anak tanpa demam

- Jika ada pembengkakan, palpasi dapat membantu menentukan sifat

pembesaran. Sebuah kualitas kistik atau berfluktuasi untuk pembengkakan

menunjukkan pengumpulan cairan yang mungkin menunjukkan efusi

sendi, ganglion, kista meniscal, pembengkakan bursal, atau abses.

Konsistensi kenyal atau kenyal menunjukkan penebalan sinovial,

sedangkan rasa keras seperti tulang dapat menunjukkan pertumbuhan

tulang yang berlebihan (misalnya tumor tulang atau eksostosis). Pada JIA,

tanda-tanda yang dapat kita temukan adalah:

a. Sendi teraba hangat, biasanya tidak terlihat eritem


b. Pembengkakan atau efusi sendi
c. Gerakan sendi terbatas
d. Tipe awitan poliartritis: artritis lebih dari 4 sendi, biasanya
mengenai sendi–sendi jari dan simetris, dapat juga mengenai
sendi lutut, pergelangan kaki, dan siku.
e. Tipe awitan oligoartritis: tanda artritis ditemukan pada 4 sendi
atau kurang, sendi besar lebih sering terkena dan biasanya di
daerah tungkai.
f. Tipe awitan sistemik: suhu tubuh >39C, tanda artritis, biasanya
disertai kelainan sistemik lain seperti ruam reumatoid serta
kelainan viseral (hepatosplenomegali, serositis, limfadenopati).

30
Gambar 2.8 Pembengkakan dan kontraktur fleksi lutut kanan pasien yang representatif dengan
penyakit oligoartikular.1

Gambar 2.9 Penyakit polyarticular mempengaruhi sendi pergelangan tangan dan tangan. Sendi
interphalangeal proksimal dan distal eritematosa. Ada kontraktur fleksi jari.1

Gambar dibawah ini adalah perbedaan karakterikstik keluhan dan temuan

klinis dari berbagai diagnosis banding nyeri dan atau pembengkakan sendi pada

anak.12

Gambar 2.10 Perbedaan manifestasi klinis pada diagnosis banding JIA.12

31
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

2.6.3.1 Laboratorium13,14

Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Pemeriksaan laboratorium dipakai

sebagai penunjang diagnosis. Bila ditemukan Anti Nuclear Antibody (ANA),

Faktor Reumatoid (FR) dan peningkatan C3 serta C4 maka diagnosis JIA menjadi

lebih sempurna. Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat.

Anemia pada umumnya dijumpai, biasanya dengan angka retikulosit rendah dan

uji Coomb negatif. Selain itu ditemukan peningkatan sel darah putih.

Trombositosis dapat terjadi terutama pada penyakit. Analisis urin normal, selama

terapi non-steroid mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel tubuler ginjal.

Terdapat kenaikan fraksi α2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan

albumin. Salah satu atau semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.

ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor rheumatoid-

negatif (25%), faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%)

tetapi jarang, pada mereka yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe

II. Penemuan ANA tidak berkolerasi dengan keparahan penyakit. Faktor

reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JIA dan berkolerasi dengan JIA yang

mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering dihubungkan

dengan penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanak-kanak, artritis

destruksi berat, dan nodulus reumatoid.

Cairan sinovial pada JIA tampak seperti berawan dan biasanya berisi jumlah

protein yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm3; sel-sel

tersebut terutama netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin rendah;

kadar komplemen mungkin normal atau menurun. Faktor reumatoid adalah

32
kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada JIA

lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear

Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada JIA. Kekerapannya lebih tinggi pada

penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis.

Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe

oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35

lebih sering ditemukan di Australia.

Reaktan fase akut (laju sedimentasi eritrosit atau protein C-reaktif)

meningkat, penanda peradangan yang relatif tidak spesifik ini menunjukkan

infeksi bakteri, penyakit rematik, atau keganasan. Namun, anak-anak dengan

penyakit inflamasi, seperti JIA, dapat memiliki reaktan fase akut yang normal.

Kimia serum, terutama tes fungsi hati dan ginjal jika terdapat nilai abnormal

mungkin menunjukkan kemungkinan gangguan sistemik, seperti SLE atau

vaskulitis. Peningkatan kadar creatine kinase (CK) mungkin merupakan indikasi

myositis. Serum laktat dehidrogenase (LDH) yang mengalami peningkatan kadar

mungkin menunjukkan adanya neoplasma ganas. Urinalisis mungkin diperlukan

untuk mendeteksi kelainan saluran kemih yang mungkin terlihat pada beberapa

kelainan reumatologi seperti SLE, vaskulitis, dan vaskulitis IgA atau untuk

mendeteksi infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan artritis septik pada

anak yang lebih muda. Evaluasi lebih lanjut tergantung pada apakah gejala sendi

akut atau kronis.

Kultur tenggorokan, darah, tinja, dan/atau urin pada pasien dengan temuan

klinis lokal dan peradangan sendi multipel yang mengarah ke kecurigaan artritis

reaktif seperti demam rematik akut. Tes serologi untuk penyakit Lyme pada anak-

33
anak yang tinggal atau telah mengunjungi daerah endemik karena salah satu

manifestasi lanjut atau kronis yang paling umum dari penyakit Lyme adalah

pauciarthritis akut. Titer antistreptolisin-O (ASTO) atau penelitian serupa mencari

bukti infeksi streptokokus baru-baru ini pada anak yang dicurigai menderita

artritis reaktif (misalnya, ARF atau artritis reaktif pascastreptokokus).

Tes antibodi antinuklear (ANA) bukanlah tes yang cukup sensitif atau

spesifik untuk digunakan untuk tujuan skrining umum. Ini jarang membantu

dalam diagnosis awal gejala muskuloskeletal dan biasanya disediakan untuk tim

reumatologi pediatrik yang menyelidiki seorang anak yang diduga menderita

penyakit inflamasi multisistem seperti SLE. Titer ANA yang lebih tinggi lebih

sering terlihat pada anak-anak dengan penyakit autoimun. Sebagian besar anak

dengan JIA memiliki tes autoantibodi negatif, dan banyak anak sehat memiliki

titer ANA rendah yang tidak terkait dengan patologi. Faktor reumatoid (RF) dan

antibodi peptida anti-sitrulinasi (ACPA) adalah penanda untuk penyakit yang

berpotensi lebih parah dan hasil yang buruk pada JIA tetapi hanya boleh

dilakukan pada pasien dengan diagnosis JIA yang telah ditetapkan.

Tes antigen leukosit manusia (HLA) B27 bukanlah tes yang cukup sensitif

atau spesifik untuk digunakan untuk tujuan skrining umum. Penggunaannya

dilakukan untuk anak-anak yang sudah berada di bawah perawatan tim

reumatologi pediatrik. Sementara kehadiran antigen ini dikaitkan dengan

peningkatan risiko radang sendi terkait entesitis, spondilitis ankilosa remaja,

radang sendi psoriatik, radang sendi yang terkait dengan penyakit radang usus,

dan radang sendi reaktif, itu adalah tes skrining umum yang buruk. Sembilan

persen orang Kaukasia membawa gen ini dan hampir semuanya sehat dan tidak

34
pernah menderita radang sendi, sementara ada orang lain (terutama mereka yang

keturunan Afrika) yang tidak memiliki HLA-B27 tetapi masih terus

mengembangkan ankylosing spondylitis dan kondisi terkait yang berhubungan

dengan berbagai penyakit. penanda genetik.

2.6.3.2 Pencitraan8,9

Pemeriksaan radiologi JIA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh

kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang

terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi,

pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti

formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2

tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang

rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal.

Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada JIA walaupun dengan

pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.

Tidak semua sendi kelompok JIA menunjukkan gambaran erosi, biasanya

hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi

hanya didapatkan pada kelompok poliartikular. Gambaran agak khas pada tipe

oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada fase lanjut, pengecilan

diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman

dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas

untuk JIA sistemik, yaitu a).tulang panjang yang memendek, melengkung, dan

melebar, b).metafisis mengembang, dan c). fragmentasi iregular epifisis pada

masa awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.

35
Gambar 2.11 Gambar X-Ray sendi pergelangan tangan pada seorang anak perempuan berusia 7
tahun yang di diagnosis JIA tipe pausiartikular sejak usia 3 tahun. Gangguan pertumbuhan ulnar
dengan subluksasi ke tulang karpal, fraktur kompresi pada epifisis radius distal, destruksi dan fusi
tulang metacarpal7

Pemeriksaan foto rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang

atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto rontgen biasa

kelainan tulang dan sendi JIA dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi

dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang

spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik

di tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan

inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk

mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah

dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul dan bahu.

Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai

penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus

tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat

membedakan inflamasi sinovial dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat

digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis.

36
Berlawanan dengan foto rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk

mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain

itu dapat menilai progresifitas penyakit.

2.7 Diagnostik

Kriteria diagnosis untuk klasifikasi JIA menurut American College of

Rheumatology (ACR) terdiri dari2:

1. Usia onset < 16 tahun

2. Artritis pada satu sendi atau lebih yang ditandai oleh bengkak atau efusi

sendi, atau oleh dua dari gejala kelainan sendi berikut: Gerakan sendi

terbatas, nyeri atau sakit pada Gerakan sendi, dan peningkatan suhu di

daerah sendi

3. Lama sakit > 6 minggu

4. Jenis onset penyakit dalam 6 bulan pertama diklasifikasikan sebagai :

a. Pausiarikular (oligoartritis): 4 sendi atau kurang

b. Poliartritis : 5 sendi atau lebih

c. Penyakit sistemik : artritis disertai demam intermitten

5. Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan

Selain ACR, terdapat juga kriteria diagnosis untuk klasifikasi JIA

berdasarkan European League Against Rheumatism (EULAR) yaitu15,16 :

1. Usia onset < 16 tahun

2. Artritis pada satu sendi atau lebih yang ditandai oleh bengkak atau efusi

sendi, atau oleh dua dari gejala kelainan sendi berikut: Gerakan sendi

terbatas, nyeri atau sakit pada Gerakan sendi, peningkatan suhu di

daerah sendi

37
3. Lama sakit > 3 bulan

4. Jenis onset penyakit setelah 6 bulan dikalsifikasikan sebagai:

a. Pausiartikular (oligoartritis): 4 sendi atau kurang

b. Poliartritis (5 sendi atau lebih), FR negatif

c. Poliartritis (5 sendi atau lebih) FR positif

d. Spondylitis angkilosis

e. Artritis psoriatic

f. Penyakit sistemik: artritis disertai demam intermitten

5. Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan

2.8 Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan artritis kronik adalah: meredakan nyeri,

mengembalikan fungsi, mencegah deformitas, dan mengontrol inflamasi. Tujuan

jangka panjang adalah meminimalisasi efek samping pengobatan, meningkatkan

proses tumbuh kembang, rehabilitasi dan edukasi.17

Terapi OAINS masih merupakan terapi lini pertama pada JIA karena

bersifat analgetik dan antiinflamasi, namun tidak mengubah perjalanan penyakit

maupun mencegah progresivitas penyakit. Pediatric Rheumatology Collaborative

Study Group (PRCSG) menyatakan bahwa 65% penderita JIA berespons terhadap

OAINS dalam waktu 1 bulan. Efek samping obat yang paling sering terjadi yaitu

gangguan gastrointestinal yang dapat berupa gastritis atau gastroduodenitis,

sedangkan yang jarang ditemukan gangguan ginjal, jantung, dan sebagainya.

Meskipun obat-obatan DMARDs (terutama metotreksat) terbukti efektif untuk

terapi JIA, namun tetap memiliki berbagai kekurangan. Seperti obat

38
imunosupresan dan sitotoksik lainnya, pemberian DMARDs dapat menurunkan

daya tahan tubuh, bersifat merusak jaringan normal, bahkan diduga dapat

menyebabkan keganasan apabila digunakan dalam jangka lama.18

2.8.1 Medikamentosa6

Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif.

a. Obat anti inflamasi non steroid (AINS):

-Asam asetil salisilat: dosis 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3-4 kali pemberian;

diberikan 1-2 tahun sampai gejala klinis menghilang

-Naproksen: dosis 10-15mg/kgBB dibagi dua; diberikan untuk mengontrol

nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak yang tidak responsif terhadap asam

asetilsalisilat atau sebagai pengobatan inisial.

-Analgetik lain: asetaminofen dapat bermanfaat mengontrol nyeri dan

demam terutama pada penyakit sistemik namun tidak boleh diberikan jangka

panjang karena menimbulkan kelainan ginjal.

b. Obat antireumatik kerja lambat seperti hidroksiklorokuin, preparat

emas (oral atau suntikan), penisilamin dan sulfasalazin. Obat ini hanya diberikan

untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukkan perbaikan dengan AINS.

Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan pada anak besar,

dosis awal 6-7mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5

mg/kgBB/hari. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan maka

hidroksiklorokuin harus dihentikan.

c. Kortikosteroid jika terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis

kronik, atau untuk suntikan intra-artikular. Untuk sistemik berat yang tidak

39
terkontrol diberikan prednison 0,25-1mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimum 40

mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila ada perbaikan klinis

maka dosis diturunkan perlahan dan kemudian dihentikan. Kortikosteroid intra-

artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak berespons dengan AINS

atau sebagai terapi suportif untuk sendi yang sudah mengalami inflamasi dan

kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga dapat diberikan pada poliartritis bila

satu atau beberapa sendi tidak berespons dengan AINS. Triamsinolon

heksasetonid merupakan pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar.

d. Kombinasi AINS dengan steroid pulse therapy dapat digunakan

untuk artritis onset sistemik. Metilprednisolon dengan dosis 15-30

mg/kgBB/pulse. Protokol yang diberikan adalah single pulse dengan jarak 1 bulan

dengan pulse berikutnya, atau 3 pulse diberikan berurutan dalam 3 hari dalam 1

bulan, atau 3 pulse diberikan secara berselang dalam 1 bulan. Selama pemberian

terapi ini harus dilakukan monitoring kardiovaskular dan keseimbangan cairan

dan elektrolit.

e. Imunosupresan diberikan dalam protokol eksperimental untuk

keadaan berat yang mengancam kehidupan walaupun beberapa pusat reumatologi

sudah memakainya dalam protokol baku. Obat yang dipakai adalah azathioprin,

siklofosfamid, klorambusil dan metotreksat. Yang paling sering digunakan adalah

metotreksat yang diindikasikan untuk poliartritis berat atau gejala sistemik yang

tidak membaik dengan AINS, hidroksiklorokuin atau garam emas. Dosis inisial

5mg/m2/minggu; bila respons tidak adekuat setelah 8 minggu, dosis dapat

dinaikkan menjadi 10mg/m2/minggu. Lama pengobatan 6 bulan dianggap

adekuat.

40
Ada beberapa tatalaksana yang direkomendasikan terbaru untuk

mentatalaksana JIA dari ACR pada tahun 2019 seperti yang disajikan dalam

gambar berikut 17,19:

Gambar 2.12. Rekomendasi terbaru untuk tatalaksana pasien JIA.17,19

2.8.2 Bedah

Tindakan bedah diperlukan untuk koreksi kecacatan sendi.

2.8.3 Suportif

Edukasi pasien dan keluarga: pengenalan dan tata laksana dini merupakan

hal penting untuk mencegah deformitas yang lebih luas. Pengertian tentang

penyakit JIA pada keluarga dan lingkungan sangat diperlukan untuk mencegah

gangguan emosi pada pasien.

41
2.8.4 Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya)

a. Rehabilitasi medik untuk mencegah kekakuan dan kecacatan sendi

b. Ahli ortopedi

c. Konsultasi berkala ke spesialis mata (3 bulan sekali) untuk deteksi

dini uveitis

d. Psikiater untuk pencegahan atau pengobatan gangguan emosi

akibat kronisitas penyakit

e. Konsultasi ke subbagian lain bila ada keterlibatan organ lain

2.8.5 Pemantauan

a. Pemantauan terapi mencakup pemantauan efek samping (misalnya,

gangguan gastrointestinal pada terapi asam salisilat) dan efektivitas

pengobatan. Pemantauan aktivitas penyakit dapat dilakukan dengan

pemeriksaan laboratorium (LED, CRP).

b. Pemantauan tumbuh kembang: pemantauan perkembangan fisik

dan mental dilakukan setiap bulan untuk deteksi dini gangguan tumbuh

kembang akibat pengobatan maupun penyakitnya sendiri.

2.9 Komplikasi

Beberapa komplikasi penting dapat terjadi akibat JIA. Namun dengan

tetap memantau keadaan anak dan pemberian pengobatan dapat menurunkan

resiko dari komplikasi-komplikasi berikut9,18:

1. Komplikasi pada mata

Uveitis (inflamasi pada mata) merupakan komplikasi yang sering tanpa

gejala. Biasanya terjadi pada anak perempuan yang memiliki hasil ANA positif.

Bila kondisi ini tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya

42
katarak, glaukoma bahkan kebutaan. Uveitis terkait JIA biasanya asimptomatik.

Skrining terhadap uveitis telah dilakukan selama beberapa tahun dan telah

membantu menurunkan prevalensi pasien yang kehilangan penglihatan.

2. Deformitas tulang

Inflamasi sinovitis dan efek destruksinya pada sendi dapat menyebabkan

berbagai komplikasi neurologis pada pasien rheumatoid arthritis. Kompresi yang

berlokasi pada saraf median di pergelangan tangan merupakan neuropati yang

paling banyak dilaporkan pada pasien rheumatoid arthritis dewasa. Dalam suatu

penelitian didapatkan bahwa saraf median tidak terpengaruh pada pasien dengan

JIA. Namun, perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih besar sehingga

dapat mengevaluasi struktur pada carpal tunner.

3. Gangguan pertumbuhan

JIA dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tulang anak.

Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati JIA, terutama kortikosteroid,

juga dapat menghambat pertumbuhan, menyebabkan diskrepensi panjang tungkai,

kaki tidak sama panjang, dan deformitas tulang.

4. Kontraktur sendi

Pada lutut, dapat terjadi kekakuan lutut, deformitas sendi dan kerusakan

sendi. Komplikasi pada tulang leher mengakibatkan anak mengalami kesulitan

menekukkan kepala ke depan. Komplikasi pada tulang punggung berupa

keterbatasan gerakan punggung.

6. Lainnya

Perkarditis dapat terjadi dengan gejala terseringnya berupa nafas pendek

yang tidak dapat dijelaskan. Dapat juga terjadi anemia atau kelainan darah

43
sejenisnya. Inflamasi dari arteri pada tangan dan kaki yang dapat mengganggu

sirkulasi dan menyebabkan kerusakan serius pada jari tangan dan jari kaki. Selain

itu pernah juga dilaporkan terjadinya inflamasi hepar.

2.10 Prognosis9,13,20

Pada kebanyakan kasus, JIA berespon secara lambat terhadap terapi yang

cocok. JIA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien yang menderita artritis

hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik dari pada mereka yang

telah menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk disembuhkan.

Walaupun hal ini dapat menjadi masalah yang serius, namun hanya sedikit orang

yang meninggal karenanya. Prognosis bervariasi berdasarkan kepada bentuk JIA.

Lebih dari 50% pasien berkembang menjadi lesi sendi yang berat dengan

poliartikuler seropositif, 25% berkembang menjadi bentuk sistemik, dan 10-20%

berupa poliartikuler seronegatif.

Penyebab utama morbiditas pada JIA poliartikuler dan sistemik adalah

penyakit sendi kronis. Sekitar 20% anak yang menderita penyakit pausiartikuler

tipe I nantinya berkembang menjadi poliartritis berat. Pada penyakit

pausiartikuler, morbiditas utama adalah iridosiklitis kronis pada penderita tipe I

dan selanjutnya spondiloartropati pada penderita tipe II. Dalam perjalanan

penyakit mungkin terdapat eksaserbasi, remisi, atau gejala-gejala dapat

berlangsung selama bertahun-tahun dengan artritis ringan atau berat yang

menyebabkan penghancuran sendi dan deformitas permanen sehingga

menyebabkan timbulnya cacat. Penyakit tidak selalu mereda pada masa pubertas.

Beberapa penderita terus menderita artritis aktif sampai dewasa, dan beberapa

44
penderita mengalami eksaserbasi sesudah penyakit yang dalam waktu bertahun-

tahun tampak mereda secara sempurna.

Penderita dengan poliartritis faktor reumatoid-positif dan JIA sistemik

mempunyai prognosis yang paling jelek terhadap fungsi sendi. Namun, prognosis

terhadap keseluruhan baik. Sekurang-kurangnya 75% penderita JIA akhirnya

mengalami penyembuhan lama tanpa deformitas sisa atau kehilangan fungsi.

Hanya sedikit yang tetap dengan cacat deformitas sendi. Kelemehan pada

penderita terutama diakibatkan oleh penyakit sendi pinggul berat, sebagaimana

hilangnya visus karena iridosiklitis. Di Eropa, amiloidosis mengenai sekitar 5%

penderita JIA tetapi di Amerika Serikat komplikasi ini jarang ditemui.

Dengan terapi yang tepat, anak dengan segala bentuk dari artritis akan

selalu membaik seiring waktu. Sebagian besar anak dengan artritis tumbuh normal

tanpa kesulitan berarti. Biasanya untuk kasus berat dengan pengobatan yang tepat,

terapi fisik dan okupasi yang tepat dan operasi yang tepat bila diperlukan,

sebenarnya tidak satu pun pasien yang membutuhkan kursi roda. Anak dengan

penyakit onset sistemik cenderung berespon baik dengan pengobatan medis atau

berkembang menjadi poliartikular berat yang cenderung resisten dengan

pengobatan medis, dengan penyakit persisten hingga dewasa. Saat ini telah

banyak kemajuan signifikan dalam pengobatan anak dengan artritis. Kemajuan

pengobatan selama 20 tahun terakhir ini terutama dengan ditemukannya steroid

intraartikular, metotreksat, dan pengobatan biologik telah didapatkan kemajuan

dramatis dari prognosis anak dengan artritis. Hampir semua anak dengan JIA

dapat hidup produktif. Namun, banyak pasien, khususnya yang memiliki penyakit

45
poliartikular, mungkin memiliki masalah penyakit aktif saat dewasa, dengan

mencapai remisi terus-menerus pada sebagian kecil pasien.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Kimura Y, Southwood TR. Evaluation of the Child with Joint Pain and/or
Swelling; 2021. https://www.uptodate.com/contents/evaluation-of-the-child-with-
joint-pain-and-or-swelling/printwww.uptodate.com
2. Akib Arwin AP. Aritis Idiopatik Juvenil Kesepakatan Baru Klasifikasi dan
Kriteria Diagnosis Penyakit Artritis pada Anak. 2003;5(2).
3. Garna Herry, Nataprawira H M. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran. Vol 5.; 2014.
4. Ghrahani R, Setiabudiawan B, Sapartini G, Puspasari H. Distribusi Subtipe
Juvenile Idiopathic Arthritis DiBandung. Vol 44.; 2012.
5. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestations of juvenile
rheumatoid arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010;53(11):921-930.
doi:10.3345/kjp.2010.53.11.921
6. Pudjiadi Badriul AH, Setyo H, Nikmah H, et al. Pedoman peyalanan medis ikatan
dokter anak Indonesia. Edisi II.; 2011.
7. Wardhani E. Juvenile rheumatoid arthritis; 2013.
8. Woo P, Laxer RM, Sherry DD. Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA). Dalam:
Pediatric Rheumatology in Clinical Practice. Springer. Published online 2007:23-
46.
9. Shiel, William C. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Published online 2013.
10. Vardiabasis N v., Schlechter JA. Definitive Diagnosis of Children Presenting to A
Pediatric Emergency Department With Fever and Extremity Pain. Journal of
Emergency Medicine. 2017;53(3):306-312. doi:10.1016/j.jemermed.2017.05.030
11. Diwasasri A, Sumadiono S, Mulatsih S. Outcome predictors in patients with
juvenile idiopathic arthritis receiving intraarticular corticosteroid therapy.
Paediatrica Indonesiana. 2019;59(5):237-243. doi:10.14238/pi59.5.2019.237-43
12. Marcdante KJ, Kliegman R. Nelson Essentials of Pediatrics. 7th ed.; 2015.
13. Rudolph MA. Artritis Reumatoid Juvenilis. Dalam: Buku Ajar Pediatrik Rudolph.
Vol 1. 20th ed. (Rudolph MA, Deborah Welt Kredich, eds.).; 2006.
14. Philip Kahn. Juvenile idiopathic arthritis - an update on pharmacotherapy.
PubMed. 2011;3(69):264-276.
15. Pribadi R, Akib A, Taralan Tambunan. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil
(AIJ) Berdasarkan Klasifikasi International League Against Rheumatism (ILAR).
Sari Pediatri. 2008;9(6).

47
16. Kurniati I. Juvenile Idiopathic Arthritis DD/ Artritis Ec Lupus Eritematosus
Sistemik dan Anemia EC Inflamasi Kronis. 4(2020).
17. Ringold S, Angeles-Han ST, Beukelman T, et al. 2019 American College of
Rheumatology/Arthritis Foundation Guideline for the Treatment of Juvenile
Idiopathic Arthritis: Therapeutic Approaches for Non-Systemic Polyarthritis,
Sacroiliitis, and Enthesitis. Arthritis and Rheumatology. 2019;71(6):846-863.
doi:10.1002/art.40884
18. Pavo MR, de Inocencio J. Pediatrician Beliefs about Juvenile Idiopathic Arthritis
May Result in Referral Delays: A Spanish National Survey. Journal of Pediatrics.
2019;209:236-239.e2. doi:10.1016/j.jpeds.2018.12.038
19. Angeles-Han ST, Ringold S, Beukelman T, et al. 2019 American College of
Rheumatology/Arthritis Foundation Guideline for the Screening, Monitoring, and
Treatment of Juvenile Idiopathic Arthritis–Associated Uveitis. Arthritis and
Rheumatology. 2019;71(6):864-877. doi:10.1002/art.40885
20. Kim KH, Kim DS. Juvenile idiopathic arthritis: Diagnosis and differential
diagnosis. Korean Journal of Pediatrics. 2010;53(11):931-935.
doi:10.3345/kjp.2010.53.11.931
 

48

Anda mungkin juga menyukai