Anda di halaman 1dari 21

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Pasien HIV AIDS

Rosliana Dewi, S.Kp., M.H.Kes., M.Kep.


Pemeriksaan Fisik

 Tidak ada gejala fisik spesifik pada infeksi HIV, gejala ringan mungkin muncul pada masa
serokonversi berupa flu-like syndrome, dan pada kondisi yang lebih dapat ditemukan
tanda-tanda infeksi oportunistik:
1. Keadaan umum tampak sakit berat
2. Ruam-ruam pada kulit
3. Oral thrush
4. Gangguan pernapasan
5. Herpes berulang
6. Gizi buruk (wasting syndrome)
7. Tuberkulosis ekstra paru
 Pemeriksaan fisik HIV dilakukan untuk mengetahui kondisi dan juga tanda-tanda pada
pasien HIV-AIDS
1. Suhu.
 Demam umum pada orang yang terinfeksi HIV, bahkan bila tidak ada gejala lain. Demam
kadang-kadang bisa menjadi tanda dari jenis penyakit infeksi tertentu atau kanker yang
lebih umum pada orang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh lemah.
2. Berat Badan
 Pemeriksaan berat badan dilakukan pada setiap kunjungan. Kehilangan 10% atau lebih
dari berat badan Anda mungkin akibat dari sindrom wasting, yang merupakan salah satu
tanda-tanda AIDS , dan yang paling parah Tahap terakhir infeksi HIV. Diperlukan bantuan
tambahan gizi yang cukup jika Anda telah kehilangan berat badan.
3. Mata.
 Cytomegalovirus (CMV) retinitis adalah komplikasi umum AIDS. Hal ini terjadi lebih sering pada
orang yang memiliki CD4 jumlah kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL). Termasuk gejala floaters,
penglihatan kabur, atau kehilangan penglihatan. Jika terdapat gejala retinitis CMV, diharuskan
memeriksakan diri ke dokter mata sesegera mungkin. Beberapa dokter menyarankan kunjungan
dokter mata setiap 3 sampai 6 bulan jika jumlah CD4 anda kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL).
4. Mulut
 Infeksi Jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada orang yang terinfeksi HIV.
Pemeriksakan gigi setidaknya dua kali setahun. Jika Anda beresiko terkena penyakit gusi (penyakit
periodontal), Anda perlu ke dokter gigi.
5. Kelenjar getah bening.
 Pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) tidak selalu disebabkan oleh HIV. Pada
pemeriksaan kelenjar getah bening yang semakin membesar atau jika ditemukan ukuran yang
berbeda, akan di periksa setiap kunjungan.
6. Perut.
 Pemeriksaan abdomen mungkin menunjukkan hati yang membesar (hepatomegali) atau
pembesaran limpa (splenomegali). Kondisi ini dapat disebabkan oleh infeksi baru atau mungkin
menunjukkan kanker.
7. Kulit.
 Kulit merupakan masalah yang umum untuk penderita HIV. pemeriksaan yang teratur dapat
mengungkapkan kondisi yang dapat diobati mulai tingkat keparahan dari dermatitis seboroik dapat
sarkoma Kaposi .
8. Ginekologi terinfeksi.
 Perempuan yang HIV memiliki lebih serviks kelainan sel daripada wanita yang tidak memiliki HIV.
Perubahan ini sel dapat dideteksi dengan tes Pap. Anda harus memiliki dua tes Pap selama tahun
pertama setelah anda telah didiagnosa dengan HIV. Jika kedua pemeriksaan Pap Smear hasilnya
normal, Anda harus melakukan tes Pap sekali setahun. Anda mungkin harus memiliki tes Pap lebih
sering jika Anda pernah memiliki hasil tes abnormal.
Pemeriksaan Penunjang

 Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium


HIV dilakukan pada semua orang dengan gejala klinis yang mengarah ke HIV/AIDS, dan
dilakukan juga untuk menyaring HIV pada semua remaja dan orang dewasa dengan
peningkatan risiko infeksi HIV, dan semua wanita hamil (Permenkes, 2014).

a) Darah rutin
 Darah rutin merupakan suatu jenis pemeriksaan penyaringan untuk menunjang diagnosa
suatu penyakit atau untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap sesuatu). Darah
rutin merupakan suatu jenis pemeriksaan penyaringan untuk menunjang diagnosa suatu
penyakit atau untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit.
Pemeriksaan ini juga sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada
pasien yang menderita suatu penyakit infeksi (Bastiansyah, 2008).
 Pemeriksaan darah rutin terdiri dari beberapa jenis parameter, yaitu :
1) Hemoglobin (Hb)
 Hemoglobin adalah suatu protein yang berada didalam darah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari
paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Kadar
normal hemoglobin, yaitu bayi baru lahir 17 – 22 g/dl, umur 1 minggu 15 – 20 g/dl, umur 1 bulan 11 – 15 g/dl, anak-
anak 11 – 13 g/dl, laki – laki dewasa 14 – 18 g/dl, perempuan dewasa 12 – 16 g/dl, laki – laki tua 12,4 – 14,9 g/dl,
perempuan tua 11,7 – 13,8 g/dl. Penurunan kadar Hemoglobin pada penderita HIV positif terjadi pada stadium III
karena kurangnya suplai oksigen ke sel.
2) Hematokrit (Ht)
 Hematokrit adalah perbandingan antara proporsi volume sampel darah dengan sel darah merah (eritrosit) yang
diukur dalam satuan persen, pengukuran ini bisa dihubungkan dengan tingkat kekentalan darah. Semakin tinggi
presentasenya maka darah semakin kental. Sebaliknya, jika semakin rendah presentasenya maka darah
semakin encer. Nilai normal hematokrit untuk pria berkisar 40,7% - 50,3% sedangkan untuk wanita berkisar 36,1% -
44,3%. Hematokrit pada penderita HIV positif mengalami penurunan disebabkan sistem imun yang semakin
melemah.
3) Leukosit (WBC/White Blood Cell)
 Leukosit sering disebut juga sel darah putih, leukosit merupakan komponen darah yang berperan dalam
memerangi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll. Nilai normal jumlah
leukosit berkisar 4.000– 10.000 sel/mm3. Penurunan jumlah leukosit pada penderita HIV positif terjadi pada stadium
III dan IV karena sel limfosit T ditekan oleh virus HIV.
4) Trombosit (Platelet)
 Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu dalam proses pembekuan darah dan
menjaga intergritas vaskuler. Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 – 400.000 sel/mm3darah.
 Trombosit yang tinggi disebut trombositosis, dan trombosit yang rendah disebut trombosipenia.Penurunan jumlah
trombosit pada penderita HIV positif terjadi pada stadium III karena megakariosit ditekan oleh virus HIV
sehingga trombosit yang dihasilkan mengalami penurunan.
5) Eritrosit (RBC/Red blood cell)
 Eritrosit atau sering disebut sel darah merah adalah bagian darah dengan komposisi yang sangat banyak
didalam darah. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat metabolisme makanan untuk dapat menghasilkan
energi serta mengangkut oksigen dan karbon dioksida. Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,5 juta – 6 juta
sel/mm3sedangkan pada wanita 4,5 juta – 5,5 juta sel/mm3. Eritrosit penderita HIV mengalami penurunan
(Nugraha, 2015).
b) Uji Imunologi
 Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan sebagai
test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau indirect
immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test
krining. Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan
persentase CD4+ dan CD8 + T limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk
diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi (Mariam, 2010).
1) Deteksi antibodi HIV
 Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA dengan
hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan hasilnya
dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence Assay).
Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes konfirmasi lanjutan, walaupun pada
pasien yang terinfeksi pada masa jendela (window period), tetapi harus ditindak lanjuti
dengan dilakukan uji virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi
pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan
HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda
klinik dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada
individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer
maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1.
Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di
konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1 (Mariam,
2010).
2) ELISA
 Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA. Untuk mengidentifikasi antibodi
terhadap HIV tes ELISA sangat sesitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga
menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan felse positif, antara lain adalah
penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false
positif. Tes yang lain biasanya digunakan untuk mengonfirmasi hasil ELISA. antara lain Western Blot (WB),
indirect inmunofluoresence assay (1IFA) ataupun radio-immuno- precipitation assay (RIPA).

 ELISA merupakan tes yang baik, tetapi hasilnya mungkin masih akan negatif sampai 6-12 minggu pasien
setelah terinfeksi. Jika terdapat tanda-tanda infeksi akut pada pasien dan hasil ELISA negatif, maka
pemeriksaan ELISA perlu diulang. Gejala infeksi akut yang mirip dengan gejala flu ini akan sembuh dan
pasen tidak menunjukan tanda-tanda terinfeksi virus HIV sampai dengan beberapa tahun. Periode ini
disebut periode laten dan berlangsung selama 8-10tahun. Selama periode laten, virus HIV terus menyerang
kekebalan tubuh penderita meskipun tidak tampak tanda dan gejala infeksi HIV. Stadium lanjut infeksi
HIV dimulai ketika pasien mulai mengalami penyakit AIDS. Gejala paling sering yang dijumpai pada
stadium ini adalah penurunan berat badan, diare dan kelemahan. Ada dua sistem klasifikasi yang bisa
dipakai yaitu menurut sistem klasifikasi WHO dan CDC.
3) Rapid test
 Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan
aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA
(Mariam, 2010).
4) Western blot
 Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji
Western blot menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western
blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot
menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak
mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan
usia lebih dari 18 bulan (Mariam, 2010).
 Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik
rerhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir atau
semua rantai protein ditemukan, berarti Western Blot positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan
seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi lagi setelah dua minggu dengan sampel yang
sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah 6 bulan. Jika
tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif.
5) Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
 Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit
lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan
akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan
fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan
antibodi HIV-1. (Mariam, 2010)
6) Tes Enzyme Immunoassay (EIA) antibodi HIV
 Tes ini berguna sebagai skrining maupun diagnosis HIV dengan mendeteksi antibodi untuk
HIV-1 dan HIV-2.
c) Uji Virologi
 Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam nukleat / nucleic
acid amplification test (NAAT), test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1
dan test untuk komponen virus.
1) Kultur HIV
 HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi
penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14
hari untuk aktivitas reverse transcriptasevirus atau untuk antigen spesifik virus.

 Metode kultur virus dan amplifikasi RNA atau DNA HIV­1 merupakan pemeriksaan yang paling sensitif
untuk mendeteksi infeksi awal, memonitor progresifitas penyakit pada infeksi HIV­1, menentukan   
inisiasi pengobatan dan mengukur respon terhadap terapi antiretroviral, namun metode pemeriksaan
tersebut memerlukan biaya lebih tinggi, waktu pemeriksaan lebih lama, memerlukan alat dan
keterampilan khusus.
2) HIV DNA kualitatif (EID)
 Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan antibodi HIV. Tes ini
digunakan untuk diagnosis pada bayi.
3) HIV RNA kuantitatif
 Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan untuk pemantauan
terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia.
4) Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
 Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18 bulan. Tes
virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan
HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak
lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan tes virologis paling awal pada umur 6 minggu. Tes ini sering
digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.
d) Uji antigen p24
 Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam keadaan bebas dalam
aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding
teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan
peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24 (Mariam 2010).

 Pada awal infeksi akut HIV­1 antigen p24 HIV­1 sudah terdapat di dalam sirkulasi darah sedangkan
antibodi anti­HIV­1 belum terbentuk, atau yang disebut dengan istilah window period. Pada periode ini
deteksi antibodi HIV­1 memberikan hasil negatif sedangkan deteksi antigen p24 memberikan hasil positif.
Pemeriksaan antigen p24 dapat digunakan untuk deteksi infeksi HIV pada masa window period tahap
awal, skrining darah pada masa window period, diagnosis infeksi HIV pada bayi baru lahir,11 dan
monitoring terapi anti viral.
 Pemeriksaan antigen p24 dapat memberikan manfaat untuk deteksi infeksi dini HIV, skrining darah
pada masa window period, diagnosis infeksi pada bayi baru lahir dan pada pemantauan terapi
antiretroviral. Obat antiretroviral dapat mengurangi level antigen p24 dalam sirkulasi, sehingga
antigen p24 dapat digunakan sebagai petanda yang berguna untuk mengevaluasi efektivitas terapi.

 Pemeriksaan antigen p24 HIV dapat dilakukan menggunakan peralatan yang sederhana, persiapan
sampel lebih sederhana, dan biaya yang lebih murah. Selain itu terdapat beberapa kelebihan dari
pemeriksaan antigen p24 dibandingkan pemeriksaan RNA virus, yaitu selama transportasi antigen
lebih stabil dan sedikit terpengaruh oleh variasi waktu dan berbagai kondisi fisik. Dan juga,
sensitivitas pemeriksaan antigen sangat sedikit dipengaruhi oleh variasi genetik, yang disebabkan
karena protein Gag p24 merupakan protein yang relatif conserve pada varian HIV­1, dan terihat dari
beberapa kit komersial yang banyak digunakan memiliki konsistensi yang baik pada pemeriksaan
berbagai subtipe HIV­1.
 Skrining untuk infeksi HIV adalah yang terpenting, karena seseorang yang terinfeksi mungkin tetap
asimtomatik selama bertahun-tahun saat infeksi berlangsung. Cakupan tes HIV yang tinggi akan
dapat menemukan orang dengan HIV/AIDS sehingga orang tersebut dapat diobati dengan
antiretroviral sehingga risiko penularan HIV orang itu pada orang lain menjadi amat rendah. Faktor
risiko infeksi HIV adalah sebagai berikut (Nasronudin, 2007).

 Perilaku berisiko tinggi, seperti hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa
menggunakan kondom; pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum secara
bersama tanpa sterilisasi yang memadai, hubungan seksual yang tidak aman seperti multipartner,
pasangan seks individu yang diketahui terinfeksi HIV, kontaks seks peranal.
1. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual (IMS).
2. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa tes penapisan.
3. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang tidak disterilisasi.
 Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV:
4. Konseling dan tes HIV sukarela (VCT = Voluntary Counseling & Testing)
 Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (PITC = Provider-Initiated Testing and
Counseling).
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
ditambahkan dan ditegaskan indikasi tes HIV, yaitu:
1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terjadi infeksi HIV
terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS
2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV.
 Tes HIV juga harus ditawarkan secara rutin kepada (Permenkes, 2014):
1. Populasi kunci (pekerja seks, pengguna NAPZA suntikan, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki,
waria) dan diulang minimal setiap 6 bulan sekali
2. Pasangan ODHA
3. Ibu hamil di wilayah epidemi meluas dan epidemi terkonsentrasi
4. Pasien TB
5. Semua orang yang berkunjung ke fasilitas kesehatan di daerah epidemi HIV meluas
6. Pasien IMS
7. Pasien hepatitis
8. Warga Binaan Pemasyarakatan
9. Lelaki Beresiko Tinggi (LBT).

Anda mungkin juga menyukai