Anda di halaman 1dari 17

Halaqah yang ke-106 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Fadhlul Islām yang ditulis

oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb rahimahullāh.

Beliau mengatakan

‫َباُب َما َج اَء ِفي ُغ ْر َبِة اِإلْس َالِم َو َفْض ِل الُغَر َباِء‬

Bab apa-apa yang datang, maksudnya adalah dalil-dalil yang datang, yang berisi tentang
akan terjadinya ‫ ُغ ْر َبة اِإلْس َالم‬keasingan agama Islam ‫ َو َفْض ِل الُغَر َباِء‬dan dalil-dalil tentang
keutamaan orang-orang yang asing yaitu orang yang asing karena dia berpegang teguh
dengan Islam.

Beliau mengatakan rahimahullāh

‫َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َر ِض َي الَّلُه َع ْنُه َمْر ُفوًع ا‬

Dan dari Abu Hurairah semoga Allāh ‫ ﷻ‬meridhoi beliau diangkat sampai Nabi ‫ﷺ‬

‫َبَدَأ اِإلْس اَل ُم َغ ِر يًبا‬

Islam ini mulai dalam keadaan asing, diutus Nabi ‫ ﷺ‬dalam keadaan beliau sendiri di
tengah-tengah kaum yang mereka setelah bertahun-tahun atau ratusan tahun berada di
dalam alam jahiliyah, rata-rata mereka menyekutukan Allāh ‫ﷻ‬, dan rusak akhlaknya,
rusak ibadahnya kemudian datang Nabi ‫ ﷺ‬dengan membawa Islam yang isinya
sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran jahiliyah, diantaranya dan yang paling utama
adalah Islam mengajak untuk mengesakan Allāh ‫ ﷻ‬sementara orang-orang jahiliyah
dan ajaran jahiliyah isinya adalah menyekutukan Allāh ‫ ﷻ‬dengan yang lain sehingga
mereka mengatakan

36:‫َأِئَّنا َلَتاِر ُك ٓو ْا َءاِلَهِتَنا ِلَشاِع ٖر َّمۡج ُنوِۢن [ الّص اّفات‬

Apakah kami meninggalkan tuhan-tuhan kami karena seorang tukang syair yang gila.
Jelas bahwasanya ketika Islam datang itu dalam keadaan gharīban, dalam keadaan dia
aneh, dalam keadaan asing, apakah kami meninggalkan tuhan-tuhan kami karena hanya
seorang tukang syair.

Kemudian juga di antara ajaran Islam akan datangnya hari akhir padahal mereka
beranggapan bahwasanya orang kalau sudah meninggal dunia, sudah, tidak ada di sana
kehidupan yang lain.

29:‫ِإۡن ِهَي ِإاَّل َح َياُتَنا ٱلُّدۡن َيا [ األنعام‬


Tidaklah dia kecuali kehidupan kita ini saja, tidak ada kehidupan yang lain, dan ketika
Beliau ‫ ﷺ‬datang diutus maka di antara dakwah beliau adalah mengajak mereka
untuk beriman dengan hari akhir dan ini adalah sesuatu yang aneh.
Kemudian beliau berdakwah dengan gigihnya dan dengan kesabarannya dan tentunya
itu semua adalah dengan taufik dari Allāh ‫ﷻ‬, satu persatu diantara orang-orang
tersebut, diantara orang-orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allāh ‫ﷻ‬, mereka
masuk ke dalam agama Islam.

Satu mengenal tentang tauhid kemudian dia dakwahkan kepada keluarganya, yang
satunya dakwahkan kepada orang-orang yang berada di bawahnya, budak-budaknya,
atau orang yang punya kenalan saudagar yang lain, pedagang yang lain dia dakwahkan
sehingga satu persatu diantara mereka mengenal agama Islam sampai akhirnya Allāh
‫ ﷻ‬memberikan taufik bertemu dengan orang-orang Madinah yang mereka berhaji
dan ternyata mereka juga menerima Islam yang dibawa oleh Nabi ‫ﷺ‬.

Tersebarlah Islam di kota Madinah, kemudian Nabi ‫ ﷺ‬berhijrah, kemudian terjadilah


perjanjian Hudaibiyah, kemudian terjadilah dibukanya kota Mekkah dan akhirnya negeri
Mekkah yang sebelumnya adalah negeri yang kufur menjadi negeri Islam. Ketika mereka
masuk Islam maka orang orang arab badui banyak diantara mereka yang berbondong-
bondong mengirim utusan menyatakan bahwasanya Qobilah mereka masuk ke dalam
agama Islam.

Sehingga tersebarlah agama islam dari utara ke selatan, dari timur ke barat, bukan
sesuatu yang asing lagi, tersebar, masyhur bahkan yang asing adalah orang-orang yang
tidak Islam. Semuanya rata-rata adalah muslimin, yang tidak islam ini sangat sedikit dan
mereka terisolir dan mereka terpojokan, kalah dengan dzuhurnya Islam.

Kemudian Nabi ‫ ﷺ‬mengabarkan bahwasanya

‫َو َسَيُعوُد َغ يًبا َك َما َبَدَأ‬


‫ِر‬

Dan Islam itu kelak akan menjadi kembali asing. ‫ َو َسَيُعوُد‬dulu asing dan sekarang tidak
asing maka ketahuilah bahwasanya Islam akan kembali asing sebagaimana ketika dia
mulai. Tauhid sebelumnya asing kemudian sesuatu yang masyhur maka akan datang
waktunya dimana orang akan menganggap asing ajaran tauhid bahkan di antara umat
Islam sendiri.

Orang yang berdakwah kepada tauhid ini adalah sangat jarang demikian pula orang
yang berpegang teguh dengan Islam yang murni yang jauh dari kebid’ahan yang
sebelumnya inilah suatu yang masyhur di zaman dahulu maka suatu hari, dan mungkin
ini termasuk diantara zamannya, akan datang waktu di mana orang akan menganggap
asing sunnah-sunnah Nabi ‫ﷺ‬.
Akan kembali asing Islam sebagaimana datangnya, sedikit sekali orang yang berpegang
teguh dengan Islam, berpegang teguh dengan tauhid maka orang yang berpegang
teguh dengan tauhid digelari dan dijuluki dengan berbagai gelar, orang yang berpegang
teguh dengan sunnah Nabi ‫ﷺ‬, menghidupkan sunnah Nabi ‫ﷺ‬, di cap dengan
berbagai cap, dikatakan dia adalah radikal atau dikatakan dia tidak sosial atau dia adalah
orang yang tidak bermasyarakat, orang yang kaku dan yang mengucapkan adalah
orang-orang Islam sendiri.

Dan ucapan Beliau ‫ﷺ‬

‫َو َسَيُعوُد َغ ِر يًبا‬

Menunjukkan tentang akan adanya keasingan Islam, sehingga di dalam bab tadi

‫َباُب َما َج اَء ِفي ُغ ْر َبِة اِإلْس َالِم‬

bab apa-apa yang datang, maksudnya adalah dalil-dalil yang datang tentang akan
terjadinya ‫ُغ ْر َبِة اِإلْس َالِم‬

‫َو َسَيُعوُد َغ ِر يًبا‬

Ini menunjukkan tentang akan adanya ‫ ُغ ْر َبِة اِإلْس َالِم‬akan datangnya keanehan dan
keasingan Islam

Kemudian Beliau ‫ ﷺ‬mengatakan

‫َفُطوَبى ِلْلُغَر َباِء‬

Maka thūbā bagi orang-orang yang asing, yang asing dengan sebab dia berpegang
teguh dengan Islam tadi. Dan di sini disebutkan tentang keutamaan al-ghurobā’
sehingga di dalam hadits ini disebutkan tentang akan datangnya keasingan di dalam
Islam dan disebutkan tentang keutamaan orang-orang yang asing

‫ُغ ْر َبِة اِإلْس َالِم َو َفْض ِل الُغَر َباِء‬

inilah judul bab ini. Dan didalam hadits ini disebutkan dua sekaligus akan datangnya
keanehan dan keasingan islam dan disebutkan tentang keutamaan orang-orang yang
asing.

Dan makna ‫ ُطوَبى‬ini adalah muannats dari ‫أطيب‬, wazannya adalah ‫أفعل‬, muannatsnya ‫ُطوَبى‬
wazannya ‫ أفعل – فعلى‬,‫ أفعل – أطيب – ُطوَبى‬,‫فعلى‬
‫َفُطوَبى ِلْلُغَر َباِء‬

berarti dia adalah isim tafdhil, ‫ ُطوَبى‬berarti dia adalah yang ‫أطيب‬, yang paling baik.

Ada yang menafsirkan thūbā di sini adalah surga karena dialah yang paling ‫أطيب‬, dan ada
yang mengatakan ini adalah nama pohon yang ada di surga dan seandainya dia
maknanya adalah surga maksudnya adalah dia masuk ke dalam surga, dan kalau
maknanya adalah pohon yang ada di surga maka tidaklah mendapatkan pohon tersebut
kecuali orang yang masuk ke dalam surga.
Maka tentunya ini adalah ḥats, dorongan yang sangat besar dari Nabi ‫ﷺ‬, janji dari
beliau bahwasanya orang-orang yang asing tadi dengan sebab berpegang teguh
dengan Islam, janji dari beliau bahwasanya Allāh ‫ ﷻ‬akan memberikan kepadanya
surga dan tentunya ini adalah janji yang sangat besar dan surga ini adalah kenikmatan
yang besar di dalamnya ada

‫ُأ‬ ‫َأ‬
‫َم َال َع ْيٌن َر ْت َو َال ُذٌن َسِمَع ْت َو َال َخ َطَر َع َلى َقْلِب َبَش ِر‬

belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas dalam hati manusia
Di dalamnya ada seluruh kenikmatan dinamakan dengan dārunna’im, negeri yang isinya
seluruhnya adalah kenikmatan dari awal, dari seluruh penjuru, semuanya adalah
kenikmatan, tidak ada di dalamnya kesusahan sedikitpun, di dalamnya ada kenikmatan
yang tidak pernah dilihat oleh mata, karena terkadang kenikmatan dilihat oleh mata.

Dan didunia ini banyak kenikmatan yang sudah dilihat oleh mata manusia, kalau bukan
dengan mata kita mungkin dilihat oleh mata orang lain yang ada diseluruh penjuru
dunia ini. Ketahuilah bahwasanya nikmat yang ada di surga itu belum pernah dilihat oleh
mata, seluruh mata yang melihat dari sejak zaman dulu sampai sekarang, dan masing-
masing mereka melihat kenikmatan, maka yang ada di sana jauh lebih besar tidak
pernah dilihat oleh mata

‫َو َال ُأُذٌن َسِمَع ْت‬

Dan tidak pernah didengar oleh telinga.

Di sana ada kenikmatan, kita tidak pernah melihatnya tapi kita hanya sekedar
mendengar saja diceritakan oleh si Fulan di daerah sana ada pemandangan yang indah
demikian dan demikian, belum pernah kita lihat tapi kita hanya sekedar mendengar dan
kita membayangkan betapa indahnya daerah tersebut.

Ketahuilah bahwasanya di sana ada kenikmatan yang jauh lebih besar belum pernah kita
dengarkan dengan telinga kita

‫َو َال َخ َطَر َع َلى َقْل ِب َبَشر‬


Dan tidak pula pernah terbetik di dalam hati manusia.

Ada disana kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar
oleh telinganya, tapi mungkin seseorang membayangkan bahwa seandainya demikian
dan demikian, seandainya di sini ada ini, seandainya di rumah ini ada fasilitas ini, dan
seterusnya. Terbersit dalam hatinya demikian cuma belum pernah dia lihat, belum
pernah dia dengar, dan menunjukkan tentang besarnya kenikmatan yang ada di dalam
surga.

Maka Nabi ‫ ﷺ‬mendorong bersabar, bersabarlah menjadi orang-orang yang asing,


jangan kita ikut melarut bersama orang-orang yang mereka menyimpang dari Al-Islam.
Pahit memang, panas memang berpegang di atas Islam yang murni yang dibawa oleh
Nabi ‫ﷺ‬, namun ketahuilah bahwasanya akhirnya adalah thūbā, akhirnya adalah
surga. Sebentar kepahitan tersebut dan keasingan tersebut, kesusahan tersebut dan
dibalas oleh Allāh ‫ ﷻ‬dengan pahala yang jauh lebih besar yaitu masuk ke dalam
negeri kenikmatan selama-lamanya.

Tentunya ini adalah dorongan bagi kita semua untuk terus Istiqomah di atas Islam ini
dan jangan kita mundur ke belakang dan mengikuti was-was dari setan, dari kalangan Jin
maupun dari kalangan manusia.

‫َر َو اُه ُمْسِلٌم‬

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imām Muslim.

Halaqah yang ke-107 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Fadhlul Islām yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb rahimahullāh.

Beliau mengatakan rahimahullah

‫ «الُّنـَّز اُع ِمَن الَقَباِئل‬:‫ َو َم ِن الُغَر َباُء؟ َقاَل‬: ‫ َو ِفيِه‬، ‫َو َر َو اُه َأْح َمُد ِمْن َح ِد يِث اْب ِن َمْسُعوٍد‬

Beliau mendatangkan riwayat Imām Ahmad tapi dari hadits Abdullah ibn Mas’ud

‫َع ْن َأِبي اَأْلْح َو ِص َع ْن َع ْبِد الَّلِه ْب ِن َمْسُعوٍد َر ِض َي الَّلُه َع ْنُه َقاَل َقاَل َر ُسوُل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَّن اِإْلْس اَل َم َبَدَأ َغ ِر يًبا‬
‫َو َسَيُعوُد َغ ِر يًبا َك َما َبَدَأ َفُطوَبى ِلْلُغَر َباِء ِقيَل َو َمْن اْل ُغَر َباُء‬

Para sahabat ‫ َر ِض َي الَّلُه َع ْنهم‬adalah orang-orang yang semangat dengan kebaikan, apalagi
di sini dikabarkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬tentang tūbā, surga bagi orang-orang yang asing,
maka sucinya hati mereka dan semangatnya mereka untuk masuk ke dalam surga dan
terhindar dari neraka menjadikan mereka bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti ini.
Mereka mengatakan

‫َو َمْن اْلُغَر َباُء‬

siapakah orang-orang yang asing tersebut, sebagaimana ketika Nabi ‫ﷺ‬


mengabarkan tentang perpecahan umat dan beliau mengatakan ‫ ُك ُّلُهْم ِفي الَّناِر‬semuanya
masuk ke dalam neraka ‫ ِإاَّل َو اِحَدًة‬kecuali satu golongan, langsung para sahabat
mengatakan ‫ َو َمْن ِهَي‬siapakah mereka ya Rasulullah ‫ﷺ‬. Ini permasalahannya sudah
surga dan juga neraka, kalau hadits iftiraqul ummah ancaman neraka bagi orang-orang
yang memecahkan dirinya dari jamaahnya Rasulullah ‫ﷺ‬, adapun di sini keutamaan
bagi orang-orang yang asing, yang terus berpegang teguh dengan Islam yang dibawa
oleh Nabi ‫ﷺ‬, maka mereka bertanya

‫َو َمْن اْلُغَر َباُء‬

Siapakah orang-orang yang asing tadi ya Rasulullah ‫ﷺ‬

‫ «الُّنـَّز اُع ِمَن الَقَباِئل‬:‫َقاَل‬

mereka adalah orang-orang yang berasal dari berbagai qabilah, ‫ ُّنـَّز اُع‬maksudnya adalah
yang diambil ‫ ِمَن الَقَباِئل‬dari berbagai kabilah, syarat bahwasanya orang-orang yang
berpegang teguh dengan Islam di zaman yang dikabarkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬di sini
mereka bukan berasal dari kabilah tertentu saja tapi mereka berbagai suku, orang-orang
Islam dari berbagai daerah. Apa yang menyatukan mereka, Islam, menunjukkan
bahwasanya guroba’ tidak dibatasi dengan suku tertentu atau keturunan tertentu, dari
kalangan ahlul bait saja atau hanya orang Indonesia saja atau hanya orang Arab saja,
tidak.

Tapi mereka berasal dari berbagai negeri, dari berbagai kabilah, dan demikian ahlul
sunnah sebagaimana dikabarkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬di sini dan kita lihat secara kenyataan
bahwasanya ahlus sunnah wal jama’ah mereka bermacam-macam dari berbagai qobilah,
dan yang menyatukan mereka adalah Islam yang murni yang dibawa oleh Nabi .‫ﷺ‬
‫ الُّنـَّز اُع ِمَن الَقَباِئل‬ini menunjukkan tentang sifat diantara sifat-sifat orang-orang yang
dianggap asing tadi. Berarti keasingan mereka bukan karena berasal dari kabilah tertentu
tapi asingnya adalah dengan sebab Islam yang mereka pegang Islam, Islam yang mereka
amalkan itulah sebab keasingan mereka.

Dan hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah ibn Mas’ud dan dihukumi sebagai isnad yang
sahih.

‫َو ِفي ِر َو اَيٍة‬


Di dalam sebuah riwayat Beliau ‫ ﷺ‬menyebutkan sifat juga, sifat orang-orang yang
asing tadi

‫الُغَر َباُء اَّلِذيَن َيْص ُلُح وَن ِإَذا َفَسَد الَّناُس‬

Riwayat ini adalah dari Abdurrahman Ibnu Sannah

‫َأَّنُه َسِمَع الَّنِبَّي َص َّلى الَّلُه َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل َبَدَأ اِإْلْس اَل ُم َغ ِر يًبا ُثَّم َيُعوُد َغ ِر يًبا َك َما َبَدَأ َفُطوَبى ِلْلُغَر َباِء ِقيَل َيا َر ُسوَل الَّلِه َو َمْن‬
‫اْل ُغَر َباُء َقاَل اَّلِذيَن ُيْص ِلُح وَن ِإَذا َفَسَد الَّناُس‬

Inilah haditsnya Sahl ibn Sa’ad as-Saidiy atau dari hadits beberapa sahabat Abu Darda,
Abu Umamah, Anas Bin Malik, Watsilah ibn Atsqa juga disebutkan tentang lafadz ini.

‫اَّلِذيَن َيْص ُلُح وَن ِإَذا َفَسَد الَّناُس‬

Didalam sebuah riwayat disebutkan

‫الُغَر َباُء اَّلِذيَن َيْص ُلُح وَن ِإَذا َفَسَد الَّناُس‬

Tapi ‫ ِفي ِر َو اَيٍة‬disini bukan dari Abdullah ibn Mas’ud, ada dari Abu Darda dan ada dari
Abdurrahman Ibnu Sannah dan seterusnya.

Disebutkan tentang sifat diantara sifat-sifat orang-orang yang asing tadi, kalau
sebelumnya adalah mereka ini berasal dari berbagai qobilah maka disebutkan di dalam
riwayat ini bahwasanya mereka adalah

‫اَّلِذيَن َيْص ُلُح وَن ِإَذا َفَسَد الَّناُس‬

Mereka ini adalah orang-orang yang ‫ َيْص ُلُح وَن‬orang-orang yang baik, orang-orang yang
sholeh. Kenapa mereka menjadi orang yang sholeh, karena mereka berpegang dengan
Islam, karena Islam orang yang berpegang teguh dengannya maka dia akan baik, maka
dia akan sholeh. Al-ghuraba’ mereka adalah orang-orang yang sholeh yaitu berpegang
teguh dengan Islam yang murni yang dengannya mereka menjadi orang yang sholeh

‫ِإَذا َفَسَد الَّناُس‬

Ketika manusia sudah rusak, yaitu kebanyakan manusia mereka rusak, bukan karena
rusak secara dunia tapi rusak secara agama, banyak diantara mereka yang sudah rusak
sementara orang-orang yang ghuroba’ ini mereka dalam keadaan berpegang teguh
dengan agamanya.
Dan tidak mungkin dia bisa menjadi orang yang ‫ َيْص ُلُح وَن‬menjadi orang yang berpegang
teguh dengan agama, kecuali pertama dia menuntut ilmu, kemudian yang kedua dia
mengamalkan ilmu tersebut barulah dia menjadi orang-orang yang ‫ َيْص ُلُح وَن‬karena kalau
ingin berpegang teguh dengan Islam harus belajar, dari situlah maka dia bisa
mengamalkan.

Halaqah yang ke-108 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Fadhlul Islām yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb rahimahullāh.

Kemudian beliau mengatakan

‫ «َفُطوَبى َيْو َمِئٍذ ِللُغَر َباِء ِإَذا َفَسَد الَّناُس‬: ‫ َو ِفيِه‬، ‫ ِمْن َطِر يِق َسْعِد ْب ِن َأِبي َو َّقاٍص‬:‫َو َر َو اُه َأْح َمُد‬

Ini haditsnya Sa’ad bin Abi Waqqash disebutkan oleh mu’allif

‫َع ِن اْب ٍن ِلَسْع ِد ْب ِن َأِبي َو َّقاٍص‬

Dari anak Sa’ad bin Abi Waqqash

‫َقاَل َسِم ْعُت َأِبي‬

Dia mengatakan aku mendengar bapakku, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash

‫َيُقوُل‬

Beliau mengatakan

‫َسِم ْعُت َر ُسوَل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َع َلْيِه َو َس َّلَم َو ُهَو َيُقوُل ِإَّن اِإْليَماَن َبَدَأ َغ ِر يًبا َو َسَيُعوُد َك َما َبَدَأ َفُطوَبى َيْو َمِئٍذ ِلْلُغَر َباِء ِإَذا َفَسَد الَّناُس‬

Maka tūbā pada hari tersebut bagi orang-orang yang ghuroba’ ketika manusia dalam
keadaan rusak. Ta’liq dari Syuaib Al-Arnauth isnad yang diriwayatkan oleh Imām Ahmad
dari Saad bin Abi Waqqash ini adalah isnad yang jayyid dan jahalahnya anak dari Sa’ad
tadi karena disebutkan

‫َع ِن اْب ٍن ِلَسْع ِد ْب ِن َأِبي َو َّقاٍص‬

Dari seorang anak Sa’ad bin Abi Waqqash, siapakah anak tersebut? Tidak disebutkan

Disini disebutkan ‫ َع ِن اْب ٍن‬dari seorang anak dari Saad bin Abi Waqqash. Para ulama
menyebutkan bahwasanya seluruh anak-anak dari Sa’ad bin Abi Waqqash yang
meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash semuanya tsiqah, mereka adalah para tabi’in
yang tsiqah. Jadi ketika disebutkan anaknya tidak akan memudhoroti apakah yang
meriwayatkan adalah anak yang itu atau yang ini semuanya sama karena semuanya
tsiqah.

Kemudian disebutkan di dalam sebuah riwayat, yaitu di dalam riwayatnya Ibnu Mandah
penyebutan nama anak tadi dia adalah ‘Amir Bin Sa’ad dan beliau adalah termasuk rowi-
rowi yang dikeluarkan oleh al-Imām al-Bukhari dan juga Muslim di dalam shahihain.

Apa faedah dari penyebutan ziyadah ini

‫َفُطوَبى َيْو َمِئٍذ ِلْل ُغَر َباِء ِإَذا َفَسَد الَّناُس‬

Apa faidahnya? Kalau yang tadi ‫ َفُطوَبى ِلْلُغَر َباِء‬sudah kita sebutkan tafsir dari sebagian
ulama makna tūbā, jannah atau syajarah fil jannah, kapan itu, yaumul qiyamah, itu tūbā
yang ada di hari kiamat. Ternyata didalam riwayat ini mereka juga mendapatkan pahala
yang didahulukan di dunia

‫َفُطوَبى َيْو َمِئٍذ‬

mereka juga mendapatkan tūbā di hari tersebut, ini dorongan bagi kita bahwasanya kita
juga akan mendapatkan pahala tūbā ini di hari tersebut ketika kita dianggap asing oleh
manusia. Sehingga ada yang menafsirkan tūbā ini karena dia berasal dari ‫أطيب‬, sesuatu
yang paling baik, bahwasanya kehidupan orang-orang ghuroba’ tadi adalah kehidupan
yang thayyibah, kehidupan yang paling baik, jadi bukan hanya mereka mendapatkan
kebaikan dan sesuatu yang sangat baik di akhirat tapi juga dijadikan bahwasanya mereka
akan mendapatkan tūbā di hari-hari mereka dianggap asing tadi.

Orang mungkin melihat susah kayanya menjadi seorang sunni, menjadi seorang salafi,
kok hidup kayaknya jadi ribet, itu pandangan mereka. Menganggap kita ini
menyusahkan diri kita sendiri, pergi harus pakai mahrom, memakai pakaian harus
demikian, harus duduk belajar, kayaknya tidak ada kesenangan hidup, itu pandangan
mereka.

Padahal Allāh ‫ ﷻ‬justru memberikan di dalam kehidupan kita kehidupan yang


thoyyibah, kehidupan yang baik, bahkan dia adalah tūbā, kehidupan yang paling baik
karena kita berpegang teguh dengan syariat Islam yang didalamnya ada maslahat bagi
manusia, diturunkan oleh Allāh ‫ ﷻ‬yang Maha Mengetahui, yang Maha Bijaksana.
Orang yang berpegang teguh dengan Islam yang murni tadi maka dia akan
mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan hidup.

Jadi kalau kita benar-benar kāffah di dalam Islam kita, maka kita akan mendapatkan apa
yang dijanjikan, akan mendapatkan tūbā baik di dunia maupun di akhirat, adapun kalau
kita masih termasuk golongan orang yang masih separuh-separuh, Islamnya tidak kaffah,
masih melakukan bid’ah, masih melakukan syirik yang asghor misalnya, maka jangan
harap dia mendapatkan apa yang dijanjikan di sini.

Orang yang mendapatkan tūbā maka mereka adalah orang-orang yang benar-benar
ghuroba’, ghuroba’nya adalah dengan sebab mereka mengamalkan Islam itu sendiri,
maka mereka akan mendapatkan kehidupan yang baik

‫َمْن َع ِمَل َص اِلًح ا ِّمْن َذَك َاْو ُاْن ٰث ى َو ُهَو ُم ْؤ ِمٌن َفَلُنْح َيَّنٗه َح ٰي وًة َط َبًۚة‬
‫ِّي‬ ‫ِي‬ ‫ٍر‬
An-Nahl: 97

Sungguh kami akan menghidupkan mereka dengan kehidupan yang baik, dengan sebab
mereka mengikuti Islam yang dibawa oleh Nabi ‫ﷺ‬.

Kemudian beliau mengatakan

‫ «ُطوَبى ِلْل ُغَر َباء اَّلِذيَن ُيْص ِلُح وَن َما َأْف َسَد الَّناُس ِمْن ُس َّنِتي‬:‫ َع ْن َج ِّدِه‬، ‫ َع ْن َأِبيِه‬، ‫ ِمْن َح ِد يِث َك ِثيِر ْب ِن َع ْبِد الَّلِه‬: ‫َو ِلْل ِتْر ِمِذ ِّي‬

Ini yang dimaksud oleh beliau

‫َح َّدَثِني َك ِثيُر ْبُن َع ْبِد الَّلِه ْب ِن َع ْم ِر و ْب ِن َع ْو ِف ْب ِن َز ْيِد ْب ِن ِم ْل َح َة َع ْن َأِبيِه َع ْن َج ِّدِه‬


‫ْأ‬ ‫ْأ‬ ‫َأ‬
‫َّن َر ُسوَل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِإَّن الِّديَن َلَي ِر ُز ِإَلى اْل ِحَج اِز َك َما َت ِر ُز اْل َح َّيُة ِإَلى ُج ْح ِر َها َو َلَيْعِقَلَّن الِّديُن ِمْن اْل ِحَج اِز‬
‫َمْعِقَل اُأْلْر ِو َّيِة ِمْن َر ْأ ِس اْل َج َبِل ِإَّن الِّديَن َبَدَأ َغ ِر يًبا َو َيْر ِج ُع َغ ِر يًبا َفُطوَبى ِلْلُغَر َباِء اَّلِذيَن ُيْص ِلُح وَن َما َأْف َسَد الَّناُس ِمْن َبْعِد ي ِمْن‬
‫ُس َّنِتي‬

Ini lafadznya

‫اَّلِذيَن ُيْص ِلُح وَن َما َأْف َسَد الَّناُس ِمْن َبْعِد ي ِمْن ُس َّنِتي‬

Dikeluarkan juga oleh ath-Thabrani, juga oleh Abu Nu’aim di dalam Hilyatul Aulia dan
Syaikh al-Albani beliau menghukumi hadits ini dengan dhaifun jiddan, meskipun At-
Tirmidzi beliau mengatakan hasan sahih.

Kenapa belum mendatangkan lafadz ini, apa yang beda dengan sebelumnya.
Bahwasanya rusaknya bukan karena dunia, hancurnya dunia, ekonomi yang rusak dan
seterusnya tapi karena sebab Islam yang mereka tinggalkan sehingga mereka rusak.

Sisi yang lain, jadi orang-orang yang ghuroba’ tadi mereka bukan berarti berdiam diri,
sholeh untuk dirinya sendiri, tidak, mereka juga memikirkan orang lain dan ini
menambah keanehan juga, dia bukan hanya sekedar shaleh terhadap dirinya sendiri tapi
di tengah-tengah manusia yang rusak tadi dia sempat mengajak berusaha untuk
memperbaiki orang lain, mendakwahi mereka, ini sesuatu yang aneh.
Sekedar dia berpegang teguh dengan Islam, shalat berjamaah, melakukan adab-adab
islam, itu sudah keanehan ditambah lagi dia mengajak orang lain untuk baik,
memperbaiki apa yang dirusak oleh manusia, ‫ ِمْن ُس َّنِتي‬mereka merusak sunnah Nabi
‫ ﷺ‬menggantinya dengan bid’ah, ini merusak.

Sementara mereka yaitu orang-orang yang ghuroba’ tadi mereka sibuk untuk ‫ُيْص ِلُح وَن‬,
apa yang dirusak oleh manusia, dicemari sunnah Nabi ‫ﷺ‬, mereka jelaskan dengan
ilmu, ini bukan termasuk sunnah Nabi ‫ﷺ‬, disingkirkan, ini adalah bid’ah, ini yang
sunnah yang murni ini, kerjakan dan amalkan yang murni saja, jauhkan yang bid’ah ini,
berarti ini adalah

‫ُيْص ِلُح وَن َما َأْف َسَد الَّناُس‬

Ini menunjukkan tentang sifat yang lain dari ghuroba’ tadi bahwasanya mereka bukan
hanya orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, mementingkan dirinya sendiri tapi
mereka juga berdakwah, berusaha untuk memperbaiki apa yang dirusak oleh manusia.

Dan ini yang menjadi kelebihan salafiyyun, ahlussunnah wal jama’ah, ketika mereka
mendapatkan hidayah maka mereka berusaha untuk menyampaikan hidayah ini kepada
orang lain termasuk di antaranya adalah orang-orang yang paling dekat dengan dirinya,
dia sampaikan dakwah ini kepada orang tuanya, kepada istrinya, kepada anaknya,
kepada teman-temannya dahulu, kepada teman kantornya, kepada teman-temannya
sekampung, berusaha untuk menyampaikan dakwah ini kepada mereka, maka inilah
keadaan orang-orang yang asing di hari-hari tersebut.

Jadi inilah kenapa Syaikh rahimahullah membawakan riwayat-riwayat ini, karena masing-
masing dari riwayat-riwayat tadi ada faedahnya yang tidak dimiliki oleh yang lain.

Halaqah yang ke-109 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Fadhlul Islām yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb rahimahullāh.

Beliau mengatakan rahimahullāh

‫ َك ْيَف َتُقوُل ِفي َهِذِه اآلَيِة‬،‫ َيا َأَبا َثْع َلَبَة‬: ‫ َفُقْل ُت‬،‫ َس َأْل ُت َأَبا َثْع َلَبَة الُخ َش ِنَّي‬:‫ َقاَل‬،‫َو َع ْن َأِبي ُأَمَّيَة الَّشْعَباِنِّي‬

Dari Abu Umayyah, beliau mengatakan aku bertanya kepada Abā Tsa’labah, Asy-
Sya’bānī, kemudian aku berkata, wahai Abā Tsa’labah bagaimana pendapatmu tentang
firman Allāh ‫ﷻ‬

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذيَن َءاَمُنوْا َع َلۡي ُك ۡم َأنُفَس ُك ۖۡم اَل َيُض ُّر ُك م َّمن َض َّل ِإَذا ٱۡه َتَدۡي ُتۚۡم‬
[Al Ma”idah:105]
Wahai orang-orang yang beriman ‫َع َلۡي ُكۡم َأنُفَس ُكۖۡم‬, hendaklah kalian memperhatikan diri kalian
sendiri, tidak akan memudhoroti kalian orang yang sesat apabila kalian mendapatkan
hidayah, hendaklah kalian memperhatikan diri kalian sendiri tidak akan menyesatkan
kalian orang yang tersesat apabila kalian mendapatkan hidayah, kalau kita yang
memahami atau orang yang semisal dengan kita, seakan-akan hidup sendiri tidak perlu
memperhatikan orang lain.

‫َع َلۡي ُكۡم َأنُفَس ُكۖۡم‬

Hendaklah kalian perhatian terhadap diri kalian sendiri, tidak akan memudhoroti kalian
orang yang sesat apabila kalian mendapatkan petunjuk. Seakan-akan sendiri-sendiri,
egoisme, ana mendapatkan hidayah, ana kenal sunnah, ya sudah aku memperhatikan
diriku sendiri dan keluarga ana, adapun orang lain tersesat, mau masuk neraka itu
urusannya. Ada sebagian orang yang memahami demikian, mungkin bukan kita saja,
bahkan sebagian orang, sebagian salaf ada yang memahami demikian tapi ternyata
pemahaman yang benar bukan seperti itu

‫ َأَما َو الَّلِه َلَقْد َس َأْلَت َع ْن َها َخ ِبيًر ا‬:‫َقاَل‬

Kemudian Abu Tsa’labah mengatakan, ketahuilah demi Allāh ‫ ﷻ‬sungguh engkau, Abu
Umayyah, telah bertanya orang yang pengalaman, artinya kamu tidak salah alamat,
bertanya tentang ayat ini kepada saya itu bukan salah alamat, engkau bertanya kepada
orang yang memang tahu, dan ini bukan sombong, bukan memamerkan dirinya tapi ini
termasuk

‫َو َأَّما ِبِنۡع َمِة َر ِّبَك َفَح ِّد ۡث‬

Dan menunjukkan bahwasanya kalau kita ingin bertanya, bertanyalah kepada orang yang
memang antum memperkirakan dia tahu ilmunya, sesuai dengan qara’in, takhususnya
apa misalnya, antum lihat bertanya kepada orang yang memang pas untuk ditanya,
kalau tidak maka kita akan menyesal sendirian.

‫َو الَّلِه‬, demi Allāh ‫ ﷻ‬engkau telah bertanya tentang ayat ini kepada orang yang
pengalaman, orang yang punya ilmu tentang masalah ayat ini, karena makna khobir
artinya adalah ālim (mengetahui) dan maknanya lebih dalam karena khobir berarti dia
mengetahui perkara-perkara yang dalam, dia adalah ilm wa ziyadah (ilmu dan ada
tambahannya) yaitu mengetahui perkara-perkara yang dalam, artinya beliau yaitu Abu
Tsa’labah mengetahui tentang makna ayat ini secara mendalam

‫َس َأْل ُت َع ْن َها َر ُسوَل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َع َلْيِه َو َس َّلَم‬

Aku bertanya kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬tentang ayat ini, ini sebabnya, kenapa beliau
mengatakan ‫ َس َأْل َت َع ْن َها َخ ِبيًر ا‬karena beliau telah mendengar ilmunya dari Rasulullah ‫ﷺ‬,
dan Beliau ‫ ﷺ‬memang diutus oleh Allāh ‫ ﷻ‬untuk menerangkan kepada manusia
apa yang diturunkan kepada mereka

‫َأ‬
‫َو نَز ۡل َنٓا ِإَلۡي َك ٱلِّذ ۡك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس‬

dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Quran supaya engkau menjelaskan kepada
manusia

‫َما ُنِّز َل ِإَلۡي ِهۡم‬


[An Nahl:44]

Apa yang diturunkan kepada mereka, yaitu Al-Quran. Makanya Abu Tsa’labah tadi
bertanya langsung kepada Nabi ‫ ﷺ‬apa makna ayat ini, maksudnya adalah kok
sepertinya maknanya adalah sendiri-sendiri, ternyata apa kata Nabi ‫ﷺ‬

‫ َو َتَناَهْو ا َع ِن الُم ْن َك ِر‬، ‫ «َبِل اْئ َتِمُر وا ِبالَمْعُر وِف‬:‫َفَقاَل‬

Beliau menjelaskan, bahkan hendaklah kalian beramar ma’ruf nahi mungkar, karena
seakan-akan ayat tadi tidak beramar ma’ruf nahi mungkar, Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan ‫َبل‬
bahkan hendaklah kalian terus beramar ma’ruf nahi mungkar, karena keumuman ayat

‫ۡأ‬ ‫ُأ ُأ‬


‫ُكنُتۡم َخ ۡي َر َّمٍة ۡخ ِر َج ۡت ِللَّناِس َت ُمُر وَن ِبٱۡل َمۡع ُر وِف َو َتۡن َهۡو َن َع ِن ٱۡل ُمنَك ِر‬

Terus hendaklah kalian beramar ma’ruf nahi mungkar seperti

‫ُيْص ِلُح وَن َما َأْف َسَد الَّناُس‬

memperbaiki apa yang dirusak oleh manusia, bersabar kita, mereka merusak, kita
perbaiki. Inilah keanehan ahlussunnah, mereka terus memperbaiki apa yang dirusak oleh
manusia dan mereka sabar dan mengharap pahala dari Allāh ‫ ﷻ‬dalam melakukan itu
semua.

Hendaklah kalian menyeru kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.

Halaqah yang ke-110 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Fadhlul Islām yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb rahimahullāh.

‫َباُب َما َج اَء ِفي ُغ ْر َبِة اِإلْس َالِم َو َفْض ِل الُغَر َباِء‬

Bab apa-apa yang datang, maksudnya adalah dalil-dalil yang datang, yang berisi tentang
akan terjadinya ‫ ُغ ْر َبة اِإلْس َالم‬keasingan agama Islam dan dalil-dalil tentang keutamaan
orang-orang yang asing yaitu orang yang asing karena dia berpegang teguh dengan
Islam.

Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan bahkan hendaklah kalian terus beramar ma’ruf nahi mungkar.
Inilah keanehan ahlussunnah, mereka terus memperbaiki apa yang dirusak oleh manusia
dan mereka sabar dan mengharap pahala dari Allāh ‫ ﷻ‬dalam melakukan itu semua.

Hendaklah kalian menyeru kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran

‫َح َّتى ِإَذا َر َأْي َت ُش ًّح ا ُم َطاًع ا‬

Sampai ketika kalian melihat ada kebakhilan yang sangat yang diikuti oleh manusia,
banyak orang yang bakhil, sudah tidak melihat orang-orang yang senang bersedekah,
rata-rata kebakhilan yang sangat dan kebakhilan tersebut diikuti, menunjukkan
bahwasanya terkadang kalau misalnya seseorang menemukan kebakhilan di dalam
dirinya tetapi tidak dia ikuti maka itu adalah bukan perbuatan yang tercela, kadang fitrah
kita ada di dalam dirinya kebakhilan terhadap uang yang dia miliki, harta yang dia miliki,
ada.

Tapi kita berusaha untuk memeranginya, kita keluarkan, kita paksa untuk mengeluarkan
maka ini tidak tercela yang demikian. Seseorang tidak berdosa kalau memang dia
berusaha untuk apa melawan tapi kalau sudah kebatilan tadi diikuti akhirnya seseorang
menahan dirinya dari infaq, sama sekali dia tidak berinfak, bersedekah maka inilah yang
tercela.

Sampai ketika kalian melihat kebakhilan-kebakhilan tadi diikuti oleh manusia dan ditaati
oleh manusia, banyak orang yang tidak bersedekah

‫َو َهًو ى ُمَّتَبًعا‬

Dan engkau melihat banyak hawa nafsu yang diikuti, tersebar orang-orang yang
mengikuti hawa nafsunya, hawa perutnya, hawa kemaluannya, hawa matanya, hawa
telinganya, hawa mulutnya, banyak diantara manusia mengikuti hawa nafsunya, jarang
diantara mereka yang bisa menahan diri dari hawa nafsunya

‫َو ُدْنَيا ُم ْؤ َثَر ًة‬

Dan engkau melihat dunia mulai didahulukan daripada akhirat

16:‫َبۡل ُتۡؤ ِثُر وَن ٱۡل َح َيٰو َة ٱلُّدۡن َيا [ األعـلى‬


Akan tapi kalian mendahulukan kehidupan dunia. Banyak orang yang lalai dengan
kehidupan akhiratnya, tidak memperhatikan keselamatan dia di akhirat yang penting dia
kenyang di dunia, yang penting dia bisa mendapatkan ini di dunia

‫َو ِإْع َج اَب ُك ِّل ِذ ي َر ْأ ٍي ِبَر ْأ ِيِه‬

Dan engkau melihat banyaknya orang yang ta’ajub dengan pendapatnya, setiap orang
yang memiliki pendapat dia ta’ajub dengan pendapatnya, banyak sekali yang demikian
di hari-hari seperti ini, setiap orang bisa membuat akun, bisa mengeluarkan pendapat,
dengan bebasnya dia menyampaikan pendapatnya dan masing-masing merasa kagum
dengan apa yang dia sampaikan, apa yang dia miliki

Kalau melihatnya demikian

‫َفَع َلْيَك ِبَنْف ِس َك‬

Maka hendaklah engkau berpegang dengan dirimu sendiri, dalam keadaan seperti ini
artinya kapan kita ‫ َفَع َلْيَك ِبَنْف ِس َك‬setelah kita berusaha beramar ma’ruf nahi mungkar,
kemudian setelah terjadi kerusakan yang banyak dengan keadaan-keadaan yang tadi
disebutkan, kebakhilan yang diikuti, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang mulai di
dahulukan daripada akhirat, ta’ajubnya setiap orang yang punya pendapat dengan
pendapatnya ‫َفَع َلْيَك ِبَنْف ِس َك‬, maka hendaklah engkau memperhatikan dirimu

‫َو َدْع َع ْن َك الَعَو اَّم‬

Dan hendaklah engkau tinggalkan orang-orang awam

‫َأ‬
‫َفِإَّن ِمْن َو َر اِئُك ْم َّياَم الَّص ْب ِر‬

Karena sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, maksudnya adalah


hari-hari yang sangat parah, yang sangat dahsyat yang membutuhkan kesabaran yang
ekstra dari kalian. Sampai disebutkan di sini syiddahnya dan sangat pedih nya dan
sangat parahnya hari-hari tersebut

‫الَّص ْبُر ِفيِه ِم ْث ُل َقْبٍض َع َلى الَج ْم ِر‬

Orang yang berpegang dengan agamanya di hari-hari tersebut, bukan hanya satu hari
tapi berhari-hari, orang yang berpegang dengan agamanya yaitu menjalankan Islam
yang murni, bertauhid, mengikuti sunnah, berdakwah kepada sunnah di hari-hari
tersebut itu diibaratkan seperti orang yang menggenggam bara api.
Bagaimana orang yang menggenggam bara api dia akan merasakan panasnya, kulit ini
adalah yang paling merasakan ketika terjadi panas atau terjadi dingin, dialah yang
pertama kali akan merasakan. Orang yang berpegang teguh dengan agama di saat itu
seperti orang yang memegang bara api yaitu sangat pedih, sangat panas, sangat berat.

Dikucilkan, dikatakan demikian dan demikian, berat hidup di hari-hari tersebut


diibaratkan seperti orang yang memegang bara api. Kalau dia pegang maka terus dia
akan merasakan panasnya tapi kalau dia lepas bara api tadi dia akan merasa enak
sementara dianggap oleh orang lain, itu sementara saja, akhirnya belum tentu dia akan
terus-menerus dianggap oleh orang lain karena Allāh ‫ ﷻ‬Dia-lah yang membolak-
balikkan hati manusia. Dan disebutkan dalam hadits, orang yang melakukan sesuatu
untuk mendapatkan ridho manusia dengan membuat marah Allāh ‫ ﷻ‬maka Allāh
‫ ﷻ‬akan marah kepadanya.

‫َمْن ِاْل َتَمَس ِر َض ا الَّناِس ِبَسَخ ِط الَّلِه‬

Barangsiapa yang mencari ridho manusia dengan kemarahan dari Allāh ‫ﷻ‬, dia sudah
merasa kepanasan, dia lepas, ingin mendapatkan ridho manusia, legah sebentar tapi
belum tentu dia akan terus diridhoi oleh manusia, karena hati manusia di tangan Allāh
‫ﷻ‬

Barangsiapa yang mencari ridho manusia dengan cara membuat Allāh ‫ ﷻ‬murka maka
Allāh ‫ﷻ‬

‫َسِخ َط الَّلُه َع َلْيِه‬

Allāh ‫ ﷻ‬akan murka kepada orang tersebut, bukan hanya itu

‫َو َأْسَخ َط َع َلْيِه الَّناَس‬

dan akan menjadikan manusia tadi membenci kepada orang tersebut.

Diberikan sesuatu yang berlawanan dari keinginannya, berarti dia rugi dua kali atau
lebih. Pertama dia tinggalkan al-haq kemudian yang kedua mendapatkan kemarahan
dari Allāh ‫ ﷻ‬kemudian ketiga manusia akan membencinya. Dan ini banyak kejadian
yang demikian, justru orang-orang yang dia meninggalkan ridho Allāh ‫ ﷻ‬untuk
mendapatkan ridho manusia akhirnya dia justru malah dibenci oleh manusia itu sendiri.

Maka Beliau ‫ ﷺ‬mengatakan

‫ِم ْث ُل َقْبٍض َع َلى الَج ْم ِر‬


dia seperti orang yang memegang bara api, kalau dia pegang terus maka dia akan pedih
merasakan panasnya dan kalau dia lepaskan maka dia akan melepaskan agamanya.

Anda mungkin juga menyukai