Anda di halaman 1dari 9

Sebelumnya, telah lewat bahasan ringkas tentang al-ma’luum mind-

diin bidl-dlaruurah di Blog ini. Al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah


adalah perkara agama yang jelas lagi mutawatir, diketahui oleh semua
orang, dan disepakati para ulama secara pasti seperti rukun Islam
yang lima, pengharaman perkara-perkara yang keharamannya jelas
lagi mutawatir seperti zina, riba, dan yang lainnya [Manhaj Al-Imaam
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, hal. 199].
Kejahilan dalam perkara ini tidak dapat ditoleransi (diberikan ‘udzur)
berdasarkan ijmaa’.
Ibnul-Waziir rahimahullah berkata:
‫ وﺗﺴﺘﺮ ﺑﺎﺳﻢ اﻟﺘﺄوﻳﻞ ﻓﯿﻤﺎ ﻻ‬،‫ﻻ ﺧﻼف ﻓﻲ ﻛﻔﺮ ﻣﻦ ﺟﺤﺪ ذﻟﻚ اﻟﻤﻌﻠﻮم ﺑﺎﻟﻀﺮورة ﻟﻠﺠﻤﯿﻊ‬
‫ ﺑﻞ ﺟﻤﯿﻊ اﻟﻘﺮآن واﻟﺸﺮاﺋﻊ‬،‫ ﻛﺎﻟﻤﻼﺣﺪة ﻓﻲ ﺗﺄوﻳﻞ ﺟﻤﯿﻊ اﻷﺳﻤﺎء اﻟﺤﺴﻨﻰ‬،‫ﻳﻤﻜﻦ ﺗﺄوﻳﻠﻪ‬
‫واﻟﻤﻌﺎد اﻷﺧﺮوي ﻣﻦ اﻟﺒﻌﺚ واﻟﻘﯿﺎﻣﺔ واﻟﺠﻨﺔ واﻟﻨﺎر‬
“Tidak ada perbedaan pendapat atas kekufuran orang yang
mengingkari perkara-perkara yang telah diketahui secara pasti oleh
semua orang, dan menutupinya dengan nama ta’wil pada hal yang
tidak diperbolehkan untuk dita’wilkan, seperti orang-orang mulhid yang
mena’wilkan seluruh al-asmaa’ul-husnaa. Bahkan mena’wilkan seluruh
Al-Qur’an, syari’at Islam, dan sesuatu yang berhubungan dengan
akhirat seperti kebangkitan, kiamat, surga, dan neraka” [Iitsaarul-
Haqq ‘alal-Khalq, 2/268].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
‫اﻟﻌﻠﻢ ﻋِﻠْﻤﺎن‬:
(1) ‫ وأن‬،‫ ﻣﺜﻞُ اﻟﺼﱠﻠَﻮَاتِ اﻟﺨﻤﺲ‬......ُ‫ ﻻ ﻳَﺴَﻊُ ﺑﺎﻟِﻐﺎً ﻏﯿﺮَ ﻣﻐﻠﻮب ﻋﻠﻰ ﻋﻘْﻠِﻪ ﺟَﮫْﻠُﻪ‬،ٍ‫ﻋﻠﻢُ ﻋﺎﻣﱠﺔ‬
َ‫ وأﻧﻪ ﺣﺮﱠم‬،‫ وزﻛﺎةً ﻓﻲ أﻣﻮاﻟﮫﻢ‬،‫ وﺣﺞﱠ اﻟﺒﯿﺖ إذا اﺳﺘﻄﺎﻋﻮه‬،َ‫ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎس ﺻﻮمَ ﺷﮫْﺮ رﻣﻀﺎن‬w
‫ ﻣِﻤﱠﺎ ﻛُﻠﱢﻒَ اﻟﻌِﺒﺎدُ أنْ ﻳَﻌْﻘِﻠﻮه‬،‫ وﻣﺎ ﻛﺎن ﻓﻲ ﻣﻌﻨﻰ ھﺬا‬،‫ﻋﻠﯿﮫﻢ اﻟﺰﱢﻧﺎ واﻟﻘﺘْﻞ واﻟﺴﱠﺮِﻗﺔ واﻟﺨﻤْﺮ‬
‫ وأن ﻳَﻜُﻔﱡﻮا ﻋﻨﻪ ﻣﺎ ﺣﺮﱠمَ ﻋﻠﯿﮫﻢ ﻣﻨﻪ‬،‫وﻳﻌْﻤﻠﻮه وﻳُﻌْﻄُﻮه ﻣِﻦ أﻧﻔﺴﮫﻢ وأﻣﻮاﻟﮫﻢ‬.
‫ ﻳﻨﻘﻠﻪ‬،‫ وﻣﻮْﺟﻮداً ﻋﺎ ًﻣّﺎ ﻋﻨْﺪ أھﻞِ اﻹﺳﻼم‬،‫ﺼّﺎ ﻓﻲ ﻛﺘﺎب ﷲ‬ ً َ‫وھﺬا اﻟﺼﱢﻨْﻒ ﻛﻠﱡﻪ ﻣِﻦ اﻟﻌﻠﻢ ﻣﻮﺟﻮد ﻧ‬
‫ وﻻ ﻳﺘﻨﺎزﻋﻮن ﻓﻲ ﺣﻜﺎﻳﺘﻪ وﻻ‬،‫ ﻳَﺤْﻜﻮﻧﻪ ﻋﻦ رﺳﻮل ﷲ‬،‫ﻋَﻮَاﻣﱡﮫﻢ ﻋﻦ ﻣَﻦ ﻣﻀﻰ ﻣﻦ ﻋﻮاﻣﱢﮫﻢ‬
‫وﺟﻮﺑﻪ ﻋﻠﯿﮫﻢ‬.
ُ‫ وﻻ ﻳﺠﻮز ﻓﯿﻪ اﻟﺘﻨﺎزع‬،ُ‫ وﻻ اﻟﺘﺄوﻳﻞ‬،‫وھﺬا اﻟﻌﻠﻢ اﻟﻌﺎم اﻟﺬي ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﻓﯿﻪ اﻟﻐﻠﻂ ﻣِﻦ اﻟﺨﺒﺮ‬.
“Ilmu ada dua:
Pertama, ilmu umum, yaitu ilmu pasti yang tidak ada kelonggaran bagi
orang baaligh yang tidak kehilangan akalnya untuk tidak
mengetahuinya (jahil)….. Seperti kewajiban shalat lima waktu,
berpuasa di bulan Ramadlaan, haji ke Baitullah apabila mereka
mampu, menunaikan zakat harta mereka, serta haramnya zina,
pembunuhan, mencuri, minum khamr, dan perkara lainnya yang
termasuk dalam makna ini yang telah dibebankan kepada hamba-
hamba-Nya agar mereka mengetahuinya, mengamalkannya,
mentaatinya dengan jiwa dan harta mereka, serta mencegah hal-hal
yang telah diharamkan kepada mereka.
Semua jenis pengetahuan ini termasuk pengetahuan yang terdapat
dalam Kitabullah, diketahui secara umum di kalangan kaum muslimin,
orang-orang awam sekarang mengetahuinya dari orang-orang awam
terdahulu, mereka menceritakannya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, dan mereka tidak berselisih dalam cerita mereka tersebut
dan tidak pula dalam hal kewajiban yang dituntut kepada mereka
untuk mematuhinya.
Ilmu umum ini tidak mungkin keliru dalam pengkhabarannya dan
pena’wilannya, serta tidak boleh ada perselisihan di dalamnya….” [Ar-
Risaalah, hal. 357-359].
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
‫ ﻟﻜﻦ ﺑﻌﻀﻪ ﻛﺎن أظﮫﺮ‬،ً‫ وﻻ ﺣﺮاﻣﺎً إﻻ ﻣﺒﯿّﻨﺎ‬،ً‫وﻓﻲ اﻟﺠﻤﻠﺔ ﻓﻤﺎ ﺗﺮك ﷲ ورﺳﻮﻟﻪ ﺣﻼﻻ إﻻ ﻣﺒﯿﻨﺎ‬
،ّ‫ ﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﻓﯿﻪ ﺷﻚ‬،‫ ﻓﻤﺎ ظﮫﺮ ﺑﯿﺎﻧﻪ واﺷﺘﮫﺮ وﻋﻠﻢ ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻀﺮورة ﻣﻦ ذﻟﻚ‬،‫ﺑﯿﺎﻧﺎً ﻣﻦ ﺑﻌﺾ‬
‫وﻻ ﻳﻌﺬر أﺣﺪ ﻳﺠﮫﻠﻪ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﻳﻈﮫﺮ ﻓﯿﻪ اﻹﺳﻼم‬
“Dan secara umum, tidaklah Allah dan Rasul-Nya meninggalkan
sesuatu yang halal kecuali menjelaskannya, dan tidak pula
meninggalkan sesuatu yang haram kecuali menjelaskannya pula. Akan
tetapi sebagiannya lebih jelas dibandingkan sebagian yang lain. Maka
apa saja yang penjelasannya jelas, tersebar, diketahui termasuk
bagian dari perkara agama yang pasti dan tidak ada keraguan
padanya; maka tidak ada ‘udzur kejahilan bagi seorang pun yang
tinggal di negeri Islam” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 67].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
، ‫ ﻓَﺈِﻧﱠﻪُ ﻳُﻜَﻔﱠﺮُ ﺑِﻤُﺠَﺮﱠدِ ﺟَﺤْﺪِھَﺎ‬، ِ‫اﻷَﻣْﺼَﺎرِ ﺑَﯿْﻦَ أَھْﻞِ اﻟْﻌِﻠْﻢ‬ ْ ‫وَأَﻣﱠﺎ إذَا ﻛَﺎنَ اﻟْﺠَﺎﺣِﺪُ ﻟَﮫَﺎ ﻧَﺎﺷِﺌًﺎ ﻓِﻲ‬
َ
‫ وَھِﻲَ اﻟﺰﱠﻛَﺎةُ وَاﻟﺼﱢﯿَﺎمُ وَاﻟْﺤَﺞﱡ ؛ ِﻷﻧﱠﮫَﺎ ﻣَﺒَﺎﻧِﻲ‬، ‫اﻹﺳ َْﻼمِ ﻛُﻠﱢﮫَﺎ‬ ِ ْ ‫وَﻛَﺬَﻟِﻚَ اﻟْﺤُﻜْﻢُ ﻓِﻲ ﻣَﺒَﺎﻧِﻲ‬
ِ ْ ‫ و‬، ‫ إذْ ﻛَﺎنَ اﻟْﻜِﺘَﺎبُ وَاﻟﺴﱡﻨﱠﺔُ ﻣَﺸْﺤُﻮﻧَﯿْﻦِ ﺑِﺄَدِﻟﱠﺘِﮫَﺎ‬، ‫ وَأَدِﻟﱠﺔُ وُﺟُﻮﺑِﮫَﺎ َﻻ ﺗَﻜَﺎدُ ﺗَﺨْﻔَﻰ‬، ِ‫اﻹﺳ َْﻼم‬
ُ‫َاﻹﺟْﻤَﺎع‬ ِْ
ِ‫ ﻏَﯿْﺮُ ﻗَﺎﺑِﻞٍ ﻟِﻜِﺘَﺎب‬، ِ‫اﻷﺣْﻜَﺎم‬ َ ْ ِ‫ ﻳَﻤْﺘَﻨِﻊُ ﻣِﻦْ اﻟْﺘِﺰَام‬، ِ‫ِﻺﺳ َْﻼم‬ ‫ ﻓ ََﻼ ﻳَﺠْﺤَﺪُھَﺎ ﱠ‬، ‫ﻣُﻨْﻌَﻘِﺪٌ ﻋَﻠَﯿْﮫَﺎ‬
ِ ْ ‫إﻻ ﻣُﻌَﺎﻧِﺪٌ ﻟ‬
ِ‫اﻟﻠﱠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ و ََﻻ ﺳُﻨﱠﺔِ رَﺳُﻮﻟِﻪِ و ََﻻ إﺟْﻤَﺎعِ أُﻣﱠﺘِﻪ‬
“Adapun orang yang mengingkarinya jika ia tinggal di negeri yang
berada di antara para ulama, maka ia dikafirkan dengan sebab
pengingkarannya tersebut. Begitu juga hukum terkait rukun-rukun
Islam yaitu zakat, puasa, dan haji; karena ia termasuk pondasi dasar
yang menopang tegaknya Islam dan dalil-dalil kewajibannya bukanlah
sesuatu yang samar, sebab Al-Qur’an dan As-Sunnah banyak memuat
dalil-dalilnya. Begitu juga dengan ijmaa’ yang memperkuatnya. Maka,
tidak ada orang yang mengingkarinya kecuali orang yang menentang
Islam, mencegah penerapan hukum-hukumnya tanpa secara langsung
melakukan penentangan terhadap Kitabullah ta’ala, sunnah, dan ijmaa’
umat” [Al-Mughniy, 10/82].
Masih banyak perkataan semisal dari ulama.
Orang yang tidak memberikan ‘udzur kejahilan dalam perkara ‘aqidah
dan syirik akbar mengambil perkataan di atas dan kemudian mereka
terapkan secara mutlak. Dikarenakan kesyirikan dengan semua cabang
dan tingkatannya mereka anggap sebagai al-ma’luum minad-diin bidl-
dlaruurah secara mutlak, maka ‘tidak ada ampun lagi’ bagi para
pelakunya selain dihukumi musyrik lagi kafir.
Cara pendalilan seperti ini sangat inkonstitusional, karena perkara al-
ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah itu merupakan perkara yang relatif
(nisbi) tergantung pada jaman dan tempat. Mungkin satu perkara
termasuk al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah di suatu tempat,
namun tidak di tempat yang lain; atau masuk di suatu jaman tertentu,
namun tidak di jaman yang lain. Contoh:
Hingga era taabi’iin, pengetahuan Al-Qur’an adalah Kalaamullah,
bukan makhluk merupakan perkara dhaahir (jelas) yang diketahui oleh
semua orang.
‫ ﺳﻤﻌﺖ ﻋﻤﺮان‬: ‫ ﺳﻤﻌﺖُ أﺑﺎ زﻛﺮﻳﺎ ﻳﺤﯿﻰ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ اﻟﻌﻨﺒﺮي ﻳﻘﻮل‬: ‫أﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﷲ اﻟﺤﺎﻓﻆ ﻗﺎل‬
‫ ﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ‬: ‫ ﺳﻤﻌﺖ ﺳﻮﻳﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﯿﺪ ﻳﻘﻮل‬: ‫ﺑﻦ ﻣﻮﺳﻰ اﻟﺠﺮﺟﺎﻧﻲ ﺑﻨﯿﺴﺎﺑﻮر ﻳﻘﻮل‬
‫أﻧﺲ وﺣﻤﺎد ﺑﻦ زﻳﺪ وﺳﻔﯿﺎن ﺑﻦ ﻋﯿﯿﻨﺔ واﻟﻔﻀﻞ ﺑﻦ ﻋﯿﺎض وﺷﺮﻳﻚ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ وﻳﺤﯿﻰ ﺑﻦ‬
‫ﺳﻠﯿﻢ وﻣﺴﻠﻢ ﺑﻦ ﺧﺎﻟﺪ وھﺸﺎم ﺑﻦ ﺳﻠﯿﻤﺎن اﻟﻤﺨﺰوﻣﻲ وﺟﺮﻳﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ اﻟﺤﻤﯿﺪ وﻋﻠﻲ ﺑﻦ‬
‫ﻣﺴﮫﺮ وﻋﺒﺪة وﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ إدرﻳﺲ وﺣﻔﺺ ﺑﻦ ﻏﯿﺎث ووﻛﯿﻊ وﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻓﻀﯿﻞ وﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﯿﻢ ﺑﻦ‬
‫ﺳﻠﯿﻤﺎن وﻋﺒﺪ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ أﺑﻲ ﺣﺎزم واﻟﺪراوردي وإﺳﻤﺎﻋﯿﻞ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ وﺣﺎﺗﻢ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﯿﻞ‬
‫ وﻳﺰﻳﺪ‬،‫ اﻹﻳﻤﺎن ﻗﻮل وﻋﻤﻞ‬: ‫وﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ اﻟﻤﻘﺮي وﺟﻤﯿﻊ ﻣﻦ ﺣﻤﻠﺖ ﻋﻨﮫﻢ اﻟﻌﻠﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮن‬
‫ ﻓﮫﻮ ﻛﺎﻓﺮ‬،‫ إﻧﻪ ﻣﺨﻠﻮق‬: ‫ ﻣﻦ ﻗﺎل‬،‫ وﺻﻔﺔ ذاﺗﻪ ﻏﯿﺮ ﻣﺨﻠﻮق‬،‫ واﻟﻘﺮآن ﻛﻼم ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬،‫وﻳﻨﻘﺺ‬
‫ وأﻓﻀﻞ أﺻﺤﺎب رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ أﺑﻮ ﺑﻜﺮ وﻋﻤﺮ وﻋﺜﻤﺎن وﻋﻠﻲ‬،‫ اﻟﻌﻈﯿﻢ‬w‫ﺑﺎ‬
‫ وﻣﺎ رأﻳﺖ ﻣﺤﻤﺪﻳﺎ ﻗﻂ إﻻ‬،‫ وﺑﺬﻟﻚ أﻗﻮل وﺑﻪ أدﻳﻦ ﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ‬: ‫ ﻗﺎل ﻋﻤﺮان‬.‫رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫﻢ‬
‫وھﻮ ﻳﻘﻮﻟﻪ‬
Telah mengkhabarkan Abu ’Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Aku
mendengar Abu Zakariyyaa Yahyaa bin Muhammad Al-’Anbariy berkata
: Aku mendengar ’Imraan bin Muusaa Al-Jurjaaniy di Naisaabuur, ia
berkata : Aku mendengar Suwaid bin Sa’iid berkata : Aku mendengar
Maalik bin Anas, Hammaad bin Zaid, Sufyaan bin ’Uyainah, Al-Fadhl bin
’Iyaadl, Syariik bin ’Abdillah, Yahyaa bin Sulaim, Muslim bin Khaalid,
Hisyaam bin Sulaimaan Al-Makhzumiy, Jariir bin ’Abdillah Al-Humaid,
’Aliy bin Mus-hir, ’Abdah, ’Abdullah bin Idriis, Hafsh bin Ghiyaats,
Wakii’, Muhammad bin Fudlail, ’Abdurrahiim bin Sulaimaan,
’Abdul-’Aziiz bin Abi Haazim, Ad-Daraawardiy, Ismaa’iil bin Ja’far,
Haatim bin Ismaa’iil, ’Abdullah bin Yaziid Al-Muqriy, dan seluruh ulama
yang dikaruniai ilmu, mereka berkata : ”Iman adalah perkataan dan
perbuatan, bisa bertambah dan berkurang. Al-Qur’an adalah
Kalaamullah ta’ala, dan sifat Dzaat-Nya itu bukan termasuk makhluk.
Barangsiapa yang mengatakan makhluk, maka ia kafir terhadap Allah
Yang Maha Agung. Seutama-utama shahabat Rasulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, ’Umar, ’Utsmaan, dan ’Aliy
radliyallaahu ’anhum”. ’Imraan berkata : ”Dan dengan hal itu aku
berkata dan aku beragama dengan agama Allah ’azza wa jalla. Dan
tidaklah aku melihat satupun kaum muslimin yang mengikuti ajaran
Muhammad kecuali ia juga mengatakannya” [Diriwayatkan oleh Al-
Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 1/605-606 no. 542; shahih].
Namun setelah fitnah Mu’tazillah dan Jahmiyyah muncul dan
membesar, perkara ini kemudian menjadi samar bagi banyak orang
sehingga para ulama memberi ‘udzur bagi orang-orang jahil yang jatuh
dalam kekeliruan ini. Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah saat
ditimpa mihnah (ujian/cobaan) dari para Khaliffah ‘Abbaasiyyah yang
mendakwahkan ‘aqidah kufur Khalqul-Qur’aan, beliau berkata :
،‫ ﻓﻲ ﺣﻞ‬- ‫ اﻟﻤﻌﺘﺼﻢ‬:‫ ﻳﻌﻨﻲ‬- ‫ وﻗﺪ ﺟﻌﻠﺖ أﺑﺎ إﺳﺤﺎق‬،‫ﻛﻞ ﻣﻦ ذﻛﺮﻧﻲ ﻓﻔﻲ ﺣﻞ إﻻ ﻣﺒﺘﺪﻋﺎ‬
،‫( وأﻣﺮ اﻟﻨﺒﻲ‬22 :‫ )وَﻟْﯿَﻌْﻔُﻮا وَﻟْﯿَﺼْﻔَﺤُﻮا أَﻻ ﺗُﺤِﺒﱡﻮنَ أَنْ ﻳَﻐْﻔِﺮَ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟَﻜُﻢْ( )اﻟﻨﻮر‬:‫ورأﻳﺖ ﷲ ﻳﻘﻮل‬
‫ أﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﺑﺎﻟﻌﻔﻮ ﻓﻲ ﻗﺼﺔ ﻣﺴﻄﺢ‬،‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ‬.
‫ وﻣﺎ ﻳﻨﻔﻌﻚ أن ﻳﻌﺬب ﷲ أﺧﺎك اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺳﺒﺒﻚ ؟‬:‫ﻗﺎل أﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﷲ‬
“Setiap orang yang menyebut (kejelekan) tentang diriku, maka telah
aku halalkan (maafkan) kecuali mubtadi’. Dan aku telah memafkan
pula Abu Ishaaq – yaitu Al-Mu’tashim. Aku membaca firman Allah
(dalam Al-Qur’an) : ‘dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?’ (QS.
An-Nuur : 22). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr telah
memerintahkan untuk memafkan dalam kisah misthah. Apa
manfaatnya bagimu ketika Allah menyiksa saudaramu yang muslim
dengan sebab dirimu ?” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/261].
Di sini, Al-Imaam Ahmad tidak mengkafirkan Al-Mu’tashim
rahimahumallah yang terpengaruh ‘aqiidah Khalqul-Qur’aan dengan
sebab kebodohannya dan pengaruh orang-orang yang ada di
sekitarnya.
Al-Khaththaabiy rahimahullah menceritakan fenomena sebaliknya:
‫وَھَﻞْ إِذَا أَﻧْﻜَﺮَت طَﺎﺋِﻔَﺔ ﻣِﻦْ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﯿﻦَ ﻓِﻲ زَﻣَﺎﻧﻨَﺎ ﻓَﺮْض اﻟﺰﱠﻛَﺎة وَاﻣْﺘَﻨَﻌُﻮا ﻣِﻦْ أَدَاﺋِﮫَﺎ ﻳَﻜُﻮن‬
‫اﻷَزْﻣَﺎن ﻛَﺎنَ ﻛَﺎﻓِﺮًا‬ ْ ِ‫ َﻻ ﻓَﺈِنﱠ ﻣَﻦْ أَﻧْﻜَﺮَ ﻓَﺮْضَ اﻟﺰﱠﻛَﺎة ﻓِﻲ ھَﺬِه‬: ‫ﺣُﻜْﻤﮫﻢْ ﺣُﻜْﻢ أَھْﻞ اﻟْﺒَﻐْﻲ ؟ ﻗُﻠْﻨَﺎ‬
‫ وَاﻟْﻔَﺮْق ﺑَﯿْﻦ ھَﺆ َُﻻءِ وَأُوﻟَﺌِﻚَ أَﻧﱠﮫُﻢْ إِﻧﱠﻤَﺎ ﻋُﺬِرُوا ِﻷَﺳْﺒَﺎبٍ وَأُﻣُﻮر َﻻ ﻳَﺤْﺪُث ﻣِﺜْﻠﮫَﺎ‬. َ‫ﺑِﺈِﺟْﻤَﺎعِ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﯿﻦ‬
، ِ‫اﻷَﺣْﻜَﺎم ﺑِﺎﻟﻨﱠﺴْﺦ‬ ْ ‫ ﻣِﻨْﮫَﺎ ﻗُﺮْبُ اﻟْﻌَﮫْﺪ ﺑِﺰَﻣَﺎنِ اﻟﺸﱠﺮِﻳﻌَﺔ اﻟﱠﺬِي ﻛَﺎنَ ﻳَﻘَﻊ ﻓِﯿﻪِ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞ‬، ‫ﻓِﻲ ھَﺬَا اﻟﺰﱠﻣَﺎن‬
‫ِﺎﻹﺳ َْﻼمِ ﻗَﺮِﻳﺒًﺎ ﻓَﺪَﺧَﻠَﺘْﮫُﻢْ اﻟﺸﱡﺒْﮫَﺔ‬ ً ‫وَﻣِﻨْﮫَﺎ أَنﱠ اﻟْﻘَﻮْم ﻛَﺎﻧُﻮا ﺟُﮫ‬
ِ ْ ‫ﱠﺎﻻ ﺑِﺄُﻣُﻮرِ اﻟﺪﱢﻳﻦ وَﻛَﺎنَ ﻋَﮫْﺪھﻢْ ﺑ‬
‫اﻹﺳ َْﻼم وَاﺳْﺘَﻔَﺎضَ ﻓِﻲ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﯿﻦَ ﻋِﻠْﻢُ وُﺟُﻮب اﻟﺰﱠﻛَﺎة‬ ِ ْ ُ‫ ﻓَﺄَﻣﱠﺎ اﻟْﯿَﻮْم وَﻗَﺪْ ﺷَﺎعَ دِﻳﻦ‬. ‫ﻓَﻌُﺬِرُوا‬
‫ ﻓ ََﻼ ﻳُﻌْﺬَر أَﺣَﺪ ﺑِﺘَﺄْوِﻳﻞِ ﻳَﺘَﺄَوﱠﻟﻪُ ﻓِﻲ‬، ‫ وَاﺷْﺘَﺮَكَ ﻓِﯿﻪِ اﻟْﻌَﺎﻟِﻢ وَاﻟْﺠَﺎھِﻞ‬، ّ‫ﺣَﺘﱠﻰ ﻋَﺮَﻓَﮫَﺎ اﻟْﺨَﺎصّ وَاﻟْﻌَﺎم‬
َ‫اﻷُﻣﱠﺔ ﻋَﻠَﯿْﻪِ ﻣِﻦْ أُﻣُﻮر اﻟﺪﱢﻳﻦ إِذَا ﻛَﺎن‬ ْ ْ‫اﻷَﻣْﺮ ﻓِﻲ ﻛُﻞّ ﻣَﻦْ أَﻧْﻜَﺮَ ﺷَﯿْﺌًﺎ ﻣِﻤﱠﺎ أَﺟْﻤَﻌَﺖ‬ ْ َ‫ وَﻛَﺬَﻟِﻚ‬. ‫إِﻧْﻜَﺎرھَﺎ‬
‫ﻋِﻠْﻤﻪ ﻣُﻨْﺘَﺸِﺮًا ﻛَﺎﻟﺼﱠﻠَﻮَاتِ اﻟْﺨَﻤْﺲ وَﺻَﻮْم ﺷَﮫْﺮ رَﻣَﻀَﺎن و َِاﻻﻏْﺘِﺴَﺎل ﻣِﻦْ اﻟْﺠَﻨَﺎﺑَﺔ وَﺗَﺤْﺮِﻳﻢ اﻟﺰﱢﻧَﺎ‬
‫ِﺎﻹﺳ َْﻼمِ و ََﻻ‬ ِ ْ ‫اﻷَﺣْﻜَﺎم إ ﱠِﻻ أَنْ ﻳَﻜُﻮن رَﺟ ًُﻼ ﺣَﺪِﻳﺚ ﻋَﮫْﺪٍ ﺑ‬ ْ ْ‫وَاﻟْﺨَﻤْﺮ وَﻧِﻜَﺎح ذَوَات اﻟْﻤَﺤَﺎرِم وَﻧَﺤْﻮھَﺎ ﻣِﻦ‬
‫ وَﻛَﺎنَ ﺳَﺒِﯿﻠﻪ ﺳَﺒِﯿﻞ أُوﻟَﺌِﻚَ اﻟْﻘَﻮْم ﻓِﻲ‬، ‫ﻳَﻌْﺮِف ﺣُﺪُوده ﻓَﺈِﻧﱠﻪُ إِذَا أَﻧْﻜَﺮَ ﺷَﯿْﺌًﺎ ﻣِﻨْﮫَﺎ ﺟَﮫ ًْﻼ ﺑِﻪِ ﻟَﻢْ ﻳَﻜْﻔُﺮ‬
ِ‫ ﺑَﻘَﺎء اِﺳْﻢ اﻟﺪﱢﻳﻦ ﻋَﻠَﯿْﻪ‬.
“Dan apakah jika ada sekelompok orang dari kaum muslimin di jaman
kita kewajiban zakat dan enggan untuk menunaikannya dihukumi
dengan hukum orang yang membangkang (ahlul-baghiy) ?. Kami
berkata : Tidak, karena orang yang mengingkari kewajiban zakat di
jaman sekarang adalah kafir berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin.
Perbedaan antara orang-orang dahulu dan orang-orang di jaman
sekarang, karena mereka (orang-orang terdahulu) diberikan ‘udzur
karena beberapa sebab, dan perkara tersebut tidak lagi terjadi di
jaman sekarang. Di antara perkara yang menyebabkan diberikannya
‘udzur karena masa itu adalah masa awal diberlakukannya syari’at
dimana terkadang terjadi perubahan hukum dengan adanya
penghapusan. Diantara juga adalah mereka masih jahil tentang
perkara-perkara agama karena mereka baru masuk Islam sehingga
mereka dihinggapi syubhat dan diberikan ‘udzur.
Adapun di jaman sekarang, agama Islam telah tersebar dan ilmu
tentang wajibnya zakat telah tersiar secara luas pada kaum muslimin
hingga diketahui oleh baik orang umum maupun orang khusus, atau
ulama maupun orang awamnya yang jahil. Tidak diberikan ‘udzur
kepada seorang pun karena alasan ta’wil dalam pengingkarannya.
Begitu juga semua orang yang mengingkari perkara yang telah
disepakati oleh umat yang ia termasuk diantara perkara-perkara
agama yang ilmunya telah tersebar (di kalangan kaum muslimin secara
luas) seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlaan, mandi dari janabah,
serta haramnya zina, khamr, menikahi mahram dan yang lainnya; tidak
diberikan ‘udzur, kecuali bagi orang yang baru masuk Islam yang tidak
mengetahui ketentuan-ketentuannya, apabila ia mengingkari hal-hal
tersebut karena jahil maka tidak dikafirkan. Ia masih dianggap sebagai
orang Islam seperti orang-orang Islam lainnya” [Syarh Shahiih Muslim
lin-Nawawiy, 1/205].
Meskipun sebelumnya disebutkan perkataan Ibnu Qudaamah tentang
pengkafiran orang yang mengingkari perkara-perkara yang
dhaahir, namun ia memberikan penjelasan:
ُ‫ إذَا ﻛَﺎنَ ﻣِﻤﱠﻦْ َﻻ ﻳَﺠْﮫَﻞُ ﻣِﺜْﻠُﻪ‬، ‫و ََﻻ ﺧ َِﻼفَ ﺑَﯿْﻦَ أَھْﻞِ اﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓِﻲ ﻛُﻔْﺮِ ﻣَﻦْ ﺗَﺮَﻛَﮫَﺎ ﺟَﺎﺣِﺪًا ﻟِﻮُﺟُﻮﺑِﮫَﺎ‬
ٍ‫اﻹﺳ َْﻼمِ أَوْ ﺑَﺎدِﻳَﺔ‬
ِ ْ ِ‫ وَاﻟﻨﱠﺎﺷِﺊِ ﺑِﻐَﯿْﺮِ دَار‬، ِ‫اﻹﺳ َْﻼم‬ ِ ْ ِ‫ ﻛَﺤَﺪِﻳﺚ‬، َ‫ ﻓَﺈِنْ ﻛَﺎنَ ﻣِﻤﱠﻦْ َﻻ ﻳَﻌْﺮِفُ اﻟْﻮُﺟُﻮب‬، َ‫ذَﻟِﻚ‬
ْ‫ ﻓَﺈِن‬، ‫ وَﺗُﺜْﺒَﺖُ ﻟَﻪُ أَدِﻟﱠﺔُ وُﺟُﻮﺑِﮫَﺎ‬، َ‫ وَﻋُﺮﱢفَ ذَﻟِﻚ‬، ِ‫ ﻟَﻢْ ﻳُﺤْﻜَﻢْ ﺑِﻜُﻔْﺮِه‬، ِ‫اﻷَﻣْﺼَﺎرِ وَأَھْﻞِ اﻟْﻌِﻠْﻢ‬
ْ ْ‫ﺑَﻌِﯿﺪَةٍ ﻋَﻦ‬
َ‫ ﺟَﺤَﺪَھَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ذَﻟِﻚَ ﻛَﻔَﺮ‬.
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kekufuran
orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya,
apabila ia bukan termasuk orang yang jahil tentang kewajibannya.
Namun apabila ia termasuk orang yang tidak mengetahui
kewajibannya seperti orang yang baru masuk Islam dan tidak hidup di
negeri Islam (Daarul-Islaam), atau hidup di daerah terpencil dan jauh
dari ulama, maka ia tidak dikafirkan. Ia wajib diberi tahu dan
dijelaskan dalil-dalil kewaibannya. Apabila ia mengingkarinya setelah
itu, maka ia kafir” [Al-Mughniy, 10/82].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
‫ وﺟﮫﻞ ﻣﻦ اﻷﺣﻜﺎم ﻣﺎ ﻛﺎن‬،‫ﻓﻤﻦ ﻛﺎن ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ ﻳﻌﯿﺶ ﻓﻲ ﺟﻮ إﺳﻼﻣﻲ ﻋﻠﻤﻲ ﻣﺼﻔﻰ‬
‫ ﻓﮫﺬا ﻻ ﻳﻜﻮن ﻣﻌﺬوراً؛ ﻷﻧﻪ ﺑﻠﻐﺘﻪ اﻟﺪﻋﻮة‬-‫ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮل اﻟﻔﻘﮫﺎء‬-‫ﻣﻨﮫﺎ ﻣﻌﻠﻮﻣﺎً ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻀﺮورة‬
‫ أو ﺑﻠﻐﺘﻪ وأﺳﻠﻢ؛ وﻟﻜﻦ ﺧﻔﻲ‬،‫ وأﻣﺎ ﻣﻦ ﻛﺎن ﻓﻲ ﻣﺠﺘﻤﻊ ﻛﺎﻓﺮ ﻟﻢ ﺗﺒﻠﻐﻪ اﻟﺪﻋﻮة‬.‫وأﻗﯿﻤﺖ اﻟﺤﺠﺔ‬
‫ أو ﻟﻌﺪم وﺟﻮد ﻣﻦ ﻳﺒﻠﻐﻪ ذﻟﻚ ﻣﻦ أھﻞ اﻟﻌﻠﻢ‬،‫ﻋﻠﯿﻪ ﺑﻌﺾ ﺗﻠﻚ اﻷﺣﻜﺎم ﻟﺤﺪاﺛﺔ ﻋﮫﺪه ﺑﺎﻹﺳﻼم‬
‫ أوﻟﺌﻚ اﻟﺬﻳﻦ ﻳﻌﯿﺸﻮن ﻓﻲ ﺑﻌﺾ‬-‫ ﻋﻨﺪي‬-‫ وﻣﺜﻠﻪ‬.ً‫ﺑﺎﻟﻜﺘﺎب واﻟﺴﻨﺔ؛ ﻓﻤﺜﻞ ھﺬا ﻳﻜﻮن ﻣﻌﺬورا‬
‫ وﻟﻢ ﻳﻮﺟﺪ‬،‫ وﻏﻠﺐ ﻋﻠﯿﮫﺎ اﻟﺠﮫﻞ‬،‫اﻟﺒﻼد اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ اﻟﺘﻲ اﻧﺘﺸﺮ ﻓﯿﮫﺎ اﻟﺸﺮك واﻟﺒﺪﻋﺔ واﻟﺨﺮاﻓﺔ‬
‫ أو وﺟﺪ وﻟﻜﻦ ﺑﻌﻀﮫﻢ ﻟﻢ ﻳﺴﻤﻊ ﺑﺪﻋﻮﺗﻪ وإﻧﺬاره؛‬،‫ﻓﯿﮫﻢ ﻋﺎﻟﻢ ﻳﺒﯿﻦ ﻟﮫﻢ ﻣﺎ ھﻢ ﻓﯿﻪ ﻣﻦ اﻟﻀﻼل‬
‫ﻓﮫﺆﻻء أﻳﻀﺎً ﻣﻌﺬورون ﺑﺠﺎﻣﻊ اﺷﺘﺮاﻛﮫﻢ ﻣﻊ اﻷوﻟﯿﻦ ﻓﻲ ﻋﺪم ﺑﻠﻮغ دﻋﻮة اﻟﺤﻖ إﻟﯿﮫﻢ؛ ﻟﻘﻮﻟﻪ‬
‫ وﻧﺤﻮ ذﻟﻚ ﻣﻦ‬، (ً ‫ )وﻣﺎ ﻛﻨﺎ ﻣﻌﺬﺑﯿﻦ ﺣﺘﻰ ﻧﺒﻌﺚ رﺳﻮﻻ‬:‫ )ﻷﻧﺬرﻛﻢ ﺑﻪ وﻣﻦ ﺑﻠﻎ( وﻗﻮﻟﻪ‬:‫ﺗﻌﺎﻟﻰ‬
‫ اﻷدﻟﺔ‬......
“Maka barangsiapa dari kalangan kaum muslimin yang hidup di
lingkungan Islami yang diliputi oleh ilmu yang bersih (dari syirik dan
bid’ah), lalu ia jahil terhadap hukum-hukum yang termasuk
ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah – sebagaimana dikatakan para
fuqahaa’ - , maka tidak diberikan ‘udzur. Hal itu dikarenakan telah
sampai kepadanya dakwah dan tegak padanya hujjah. Adapun orang
yang tinggal di masyarakat kafir yang tidak sampai dakwah
kepadanya, atau telah sampai kepadanya lalu ia masuk Islam namun
tersembunyi baginya sebagian hukum-hukum tersebut dikarenakan
baru masuk Islam, atau karena ketiadaan orang yang
menyampaikannya dari kalangan ‘aalim terhadap Al-Qur’an dan As-
Sunnah; maka orang seperti ini diberikan ‘udzur. Dan orang yang
semisalnya – menurutku – adalah mereka yang hidup di negeri Islam
yang tersebar padanya kesyirikan, bid’ah, dan khurafaat, serta
dominannya kejahilan; tidak ada pada mereka seorang ulama yang
menjelaskan kesesatan yang ada pada mereka, atau ada ulama namun
sebagian mereka tidak mendengar dakwah dan peringatannya; maka
mereka semua juga diberikan ‘udzur seperti golongan orang-orang
sebelumnya dalam hal ketiadaan penyampaian dakwah yang hak
kepada mereka. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala : ‘supaya
dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-
orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya)’ (QS. Al-An’aam : 19). ‘dan
Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang
rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15) ……” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah,
7/113].
Apa yang dijelaskan Asy-Syaikh Al-Albaaniy sama seperti yang
dijelaskan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah:
،‫وﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ اﻟﻨﺎس ﻗﺪ ﻳﻨﺸﺄ ﻓﻲ اﻷﻣﻜﻨﺔ واﻷزﻣﻨﺔ اﻟﺬي ﻳﻨﺪرس ﻓﯿﮫﺎ ﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ ﻋﻠﻮم اﻟﻨﺒﻮات‬
‫ ﻓﻼ ﻳﻌﻠﻢ ﻛﺜﯿﺮًا ﻣﻤﺎ ﻳﺒﻌﺚ‬،‫ﺣﺘﻰ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻦ ﻳﺒﻠﻎ ﻣﺎ ﺑﻌﺚ ﷲ ﺑﻪ رﺳﻮﻟﻪ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺎب واﻟﺤﻜﻤﺔ‬
‫ وﻟﮫﺬا اﺗﻔﻖ اﻷﺋﻤﺔ ﻋﻠﻰ أن‬،‫ وﻣﺜﻞ ھﺬا ﻻ ﻳﻜﻔﺮ‬،‫ﷲ ﺑﻪ رﺳﻮﻟﻪ وﻻ ﻳﻜﻮن ھﻨﺎك ﻣﻦ ﻳﺒﻠﻐﻪ ذﻟﻚ‬
‫ ﻓﺄﻧﻜﺮ ﺷﯿﺌًﺎ ﻣﻦ‬،‫ وﻛﺎن ﺣﺪﻳﺚ اﻟﻌﮫﺪ ﺑﺎﻹﺳﻼم‬،‫ﻣﻦ ﻧﺸﺄ ﺑﺒﺎدﻳﺔ ﺑﻌﯿﺪة ﻋﻦ أھﻞ اﻟﻌﻠﻢ واﻹﻳﻤﺎن‬
‫ھﺬه اﻷﺣﻜﺎم اﻟﻈﺎھﺮة اﻟﻤﺘﻮاﺗﺮة ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻜﻔﺮه ﺣﺘﻰ ﻳﻌﺮف ﻣﺎ ﺟﺎء ﺑﻪ اﻟﺮﺳﻮل‬،
“Banyak diantara manusia yang hidup di tempat dan jaman yang telah
banyak terhapusnya ilmu-ilmu kenabian, hingga tidak tersisa lagi
orang yang menyampaikan apa-apa yang oleh karenanya Allah
mengutus Rasul-Nya berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah (As-Sunnah).
Sehingga banyak yang tidak mengetahui apa-apa yang menyebabkan
Allah mengutus Rasul-Nya (berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan
tidak ada yang menyampaikan hal tersebut. Hal yang seperti ini tidak
menjadikan dia kafir. Oleh karena itu para imam telah sepakat bahwa
barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ulama dan
iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu
dari hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi
kafir sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa
oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan
As-Sunnah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
‫ أو ﻛﺎن ﻳﻌﺒﺪ ﺷﯿﺨﻪ أو‬،‫ أو ﻳﻌﯿﻨﻪ‬،‫ أو ﻳﻐﯿﺜﻪ‬،‫ أو ﻳﻨﺼﺮه أو ﻳﮫﺪﻳﻪ‬،‫ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻳﻌﺘﻘﺪ أن ﺷﯿﺨﻪ ﻳﺮزﻗﻪ‬
‫ أو ﻣﻘﯿﺪا‬،‫ أو ﻛﺎن ﻳﻔﻀﻠﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ ﺗﻔﻀﯿﻼ ﻣﻄﻠﻘﺎ‬،‫ﻳﺪﻋﻮه وﻳﺴﺠﺪ ﻟﻪ‬
‫ أو ﻛﺎن ﻳﺮى أﻧﻪ ھﻮ أو ﺷﯿﺨﻪ ﻣﺴﺘﻐﻦ ﻋﻦ‬،‫ﻓﻲ ﺷﻲء ﻣﻦ اﻟﻔﻀﻞ اﻟﺬي ﻳﻘﺮب إﻟﻰ اﻟﻠّﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬
‫ وﻣﻨﺎﻓﻘﻮن إن ﻟﻢ‬،‫ ﻓﻜﻞ ھﺆﻻء ﻛﻔﺎر إن أظﮫﺮوا ذﻟﻚ‬،‫ﻣﺘﺎﺑﻌﺔ اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ﻳﻈﮫﺮوه‬.
‫ وﻓﺘﻮر آﺛﺎر‬،‫ ﻓﻠﻘﻠﺔ دﻋﺎة اﻟﻌﻠﻢ واﻹﻳﻤﺎن‬،‫ وإن ﻛﺎﻧﻮا ﻗﺪ ﻛﺜﺮوا ﻓﻲ ھﺬا اﻟﺰﻣﺎن‬،‫وھﺆﻻء اﻷﺟﻨﺎس‬
‫ وأﻛﺜﺮ ھﺆﻻء ﻟﯿﺲ ﻋﻨﺪھﻢ ﻣﻦ آﺛﺎر اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ وﻣﯿﺮاث اﻟﻨﺒﻮة ﻣﺎ ﻳﻌﺮﻓﻮن‬،‫اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻓﻲ أﻛﺜﺮ اﻟﺒﻠﺪان‬
‫ ﻳﺜﺎب اﻟﺮﺟﻞ‬:‫ وأﻣﻜﻨﺔ اﻟﻔﺘﺮات‬،‫ وﻓﻲ أوﻗﺎت اﻟﻔﺘﺮات‬.‫ وﻛﺜﯿﺮ ﻣﻨﮫﻢ ﻟﻢ ﻳﺒﻠﻐﮫﻢ ذﻟﻚ‬،‫ﺑﻪ اﻟﮫﺪى‬
‫ وﻳﻐﻔﺮ اﻟﻠّﻪ ﻓﯿﻪ ﻟﻤﻦ ﻟﻢ ﺗﻘﻢ اﻟﺤﺠﺔ ﻋﻠﯿﻪ ﻣﺎ ﻻ ﻳﻐﻔﺮ ﺑﻪ ﻟﻤﻦ‬،‫ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻣﻌﻪ ﻣﻦ اﻹﻳﻤﺎن اﻟﻘﻠﯿﻞ‬
‫ ) ﻳﺄﺗﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎس زﻣﺎن ﻻ ﻳﻌﺮﻓﻮن ﻓﯿﻪ‬:‫ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ اﻟﺤﺪﻳﺚ اﻟﻤﻌﺮوف‬،‫ﻗﺎﻣﺖ اﻟﺤﺠﺔ ﻋﻠﯿﻪ‬
‫ أدرﻛﻨﺎ آﺑﺎءﻧﺎ‬:‫ وﻳﻘﻮﻟﻮن‬.‫ واﻟﻌﺠﻮز اﻟﻜﺒﯿﺮة‬،‫ إﻻ اﻟﺸﯿﺦ اﻟﻜﺒﯿﺮ‬،‫ وﻻ ﻋﻤﺮة‬،‫ وﻻ ﺣﺠًﺎ‬،‫ وﻻ ﺻﯿﺎﻣًﺎ‬،‫ﺻﻼة‬
:‫ ﻣﺎ ﺗﻐﻨﻲ ﻋﻨﮫﻢ ﻻ إﻟﻪ إﻻ اﻟﻠّﻪ؟ ﻓﻘﺎل‬:‫ ﻻ إﻟﻪ إﻻ ﷲ ﻓﻘﯿﻞ ﻟﺤﺬﻳﻔﺔ ﺑﻦ اﻟﯿﻤﺎن‬:‫وھﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮن‬
(‫ ﺗﻨﺠﯿﮫﻢ ﻣﻦ اﻟﻨﺎر‬.
،‫ أن اﻟﻤﻘﺎﻟﺔ اﻟﺘﻲ ھﻲ ﻛﻔﺮ ﺑﺎﻟﻜﺘﺎب واﻟﺴﻨﺔ واﻹﺟﻤﺎع ﻳﻘﺎل ھﻲ ﻛﻔﺮ ﻗﻮﻻ ﻳﻄﻠﻖ‬:‫وأﺻﻞ ذﻟﻚ‬
،‫ﻛﻤﺎ دل ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ اﻟﺪﻻﺋﻞ اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ؛ ﻓﺈن ]اﻹﻳﻤﺎن[ ﻣﻦ اﻷﺣﻜﺎم اﻟﻤﺘﻠﻘﺎة ﻋﻦ اﻟﻠّﻪ ورﺳﻮﻟﻪ‬
‫ وﻻ ﻳﺠﺐ أن ﻳﺤﻜﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﺨﺺ ﻗﺎل‬.‫ﻟﯿﺲ ذﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﻳﺤﻜﻢ ﻓﯿﻪ اﻟﻨﺎس ﺑﻈﻨﻮﻧﮫﻢ وأھﻮاﺋﮫﻢ‬
‫ وﺗﻨﺘﻔﻰ ﻣﻮاﻧﻌﻪ‬،‫ذﻟﻚ ﺑﺄﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﺣﺘﻰ ﻳﺜﺒﺖ ﻓﻲ ﺣﻘﻪ ﺷﺮوط اﻟﺘﻜﻔﯿﺮ‬،
“Semisal orang yang berkeyakinan syaikhnya yang memberikan rizki
kepadanya, menolongnya, memberikan hidayah kepadanya,
membantunya atau menolongnya; atau orang yang menyembah
kepada syaikhnya, berdoa kepadanya, atau sujud kepadanya; atau
orang yang lebih mengutamakannya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam secara mutlak atau muqayyad (terbatas) pada suatu
keutamaan yang dapat mendekatkan kepada Allah ta’ala; atau orang
yang berpandangan bahwa ia atau syaikhnya adalah orang yang tidak
lagi dibebani kewajiban untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam; maka mereka semua adalah kafir jika menampakkannya,
dan munafik jika tidak menampakkannya.
Semua jenis orang tersebut ada banyak di jaman ini, yang disebabkan
oleh sedikitnya pendakwah yang menyerukan ilmu dan keimanan dan
kelemahan ilmu agama/risaalah di kebanyakan negeri. Dan
kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai ilmu agama/risalah dan
warisan kenabian sehingga dapat mengetahui petunjuk. Dan bahkan
banyak di antara mereka yang tidak sampai (kepada mereka) ilmu
agama/risalah dimaksud. Pada waktu dan tempat fatrah (kekosongan
penyampaian risalah), seseorang diberikan pahala atas sedikitnya iman
yang ia miliki. Dan Allah mengampuni orang yang belum tegak
padanya hujjah, sebagaimana Ia tidak mengampuni orang yang telah
tegak padanya hujjah. Terdapat dalam hadits yang ma’ruuf : ‘Akan tiba
satu jaman yang tidak diketahui padanya shalat, puasa, haji, dan
‘umar, kecuali ada seorang laki-laki tua dan wanita lemah yang
mengatakan : ‘Kami dapati ayah-ayah kami mengatakan : ‘Laa ilaha
illallaah’. Dikatakan kepada Hudzaifah bin Al-Yamaan : ‘Apakah kalimat
Laa ilaha illallaah mencukupi bagi mereka ?’. Ia menjawab : ‘Kalimat
itu dapat menyelamatkan mereka dari neraka’.
Pokok pembicaraan hal itu adalah : Bahwasannya perkataan yang
mengkonsekuensikan kekufuran berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah,
dan ijmaa’; maka dikatakan bahwa perkataan itu kufur secara mutlak,
sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah. Sesungguhnya
iman merupakan hukum-hukum yang bersumber dari Allah dan Rasul-
Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan berdasarkan hukum yang
berasal dari prasangka dan hawa nafsu manusia. Tidaklah
mengkonsekuensikan kekafiran bagi setiap orang yang mengatakan
perkataan kekafiran, hingga terpenuhi baginya syarat-syarat
pengkafiran dan tidak adanya faktor penghalangnya” [Majmuu’ Al-
Fataawaa, 35/164-165].
‫ﻓﺈﻧﺎ ﺑﻌﺪ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﻣﺎ ﺟﺎء ﺑﻪ اﻟﺮﺳﻮل ﻧﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻀﺮورة اﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺸﺮع ﻷﻣﺘﻪ أن ﺗﺪﻋﻮ أﺣﺪا ﻣﻦ‬
‫اﻷﻣﻮات ﻻ اﻷﻧﺒﯿﺎء وﻻ اﻟﺼﺎﻟﺤﯿﻦ وﻻ ﻏﯿﺮھﻢ ﻻ ﺑﻠﻔﻆ اﻻﺳﺘﻐﺎﺛﺔ وﻻ ﻳﻐﯿﺮھﺎ وﻻ ﺑﻠﻔﻆ اﻻﺳﺘﻌﺎذة‬
‫وﻻ ﻳﻐﯿﺮھﺎ ﻛﻤﺎ أﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺸﺮع ﻷﻣﺘﻪ اﻟﺴﺠﻮد ﻟﻤﯿﺖ وﻻ ﻟﻐﯿﺮ ﻣﯿﺖ وﻧﺤﻮ ذﻟﻚ ﺑﻞ ﻧﻌﻠﻢ أﻧﻪ ﻧﮫﻰ‬
‫ﻋﻦ ﻛﻞ ھﺬه اﻷﻣﻮر وأن ذﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﺸﺮك اﻟﺬي ﺣﺮﻣﻪ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ورﺳﻮﻟﻪ ﻟﻜﻦ ﻟﻐﻠﺒﺔ اﻟﺠﮫﻞ‬
‫وﻗﻠﺔ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺂﺛﺎر اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻓﻲ ﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ اﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺗﻜﻔﯿﺮھﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﺒﯿﻦ ﻟﮫﻢ ﻣﺎ‬
‫ﺟﺎء ﺑﻪ اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ و ﺳﻠﻢ ﻣﻤﺎ ﻳﺨﺎﻟﻔﻪ‬
“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kita mengetahui dengan pasti ( =
ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah) bahwa tidaklah disyari’atkan bagi
umatnya untuk berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang
shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh istighatsah, isti’adzah,
atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak disyari’atkan bagi umatnya
untuk sujud kepada mayit atau selain mayit, dan yang lainnya. Bahkan
kita mengetahui beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang semua
perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala
dan Rasul-Nya. Akan tetapi karena meratanya kebodohan dan
sedikitnya ilmu tentang atsar-atsar risalah pada kebanyakan orang-
orang yang hidup di masa belakangan (muta’akhkhiriin), maka kita
tidak langsung mengkafirkan mereka karena perkara tersebut, hingga
jelas bagi mereka syari’at yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam yang menyelisihi perbuatan mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-
Bakriy, 2/731].
Ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah yang berlaku di satu tempat dan
jaman yang tidak diberikan ruang udzur bagi orang yang jahil
terhadapnya, ternyata menjadi perkara yang samar (khafiy) di tempat
dan jaman berbeda saat kesyirikan, bid’ah, dan kebodohan
mendominasi.
Maka, nampaklah kekeliruan fundamental ‘mereka’ dalam menerapkan
pengkafiran orang yang jahil dalam al-ma’luum minad-diin bidl-
dlaruurah tanpa memberikan perinciannya.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 25122014 – 02:40].

Anda mungkin juga menyukai