Anda di halaman 1dari 9

Ini adalah konsekuensi logis bagi kebanyakan mereka yang

meniadakan ‘udzur kejahilan secara mutlak dalam perkara syirik akbar.


Cara berpikir mudah, karena mereka meniadakan secara mutlak, maka
lawannya pun dianggap mewujudkannya secara mutlak, semua
perkara/kasus dan semua kondisi. Padahal tidak seperti itu.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya[1], beberapa
kondisi diberikannya ‘udzur kejahilan adalah:
1. Baru Masuk Islam.
2. Hidup di daerah terpencil/jauh yang tidak tersebar padanya ilmu
(syari’at) dan sebab-sebab untuk memperolehnya.
3. Hidup di negeri/tempat yang didominasi oleh kebodohan, jauh dari
ilmu dan ulama.
4. Hidup di Daarul-Harb (negeri kafir yang punya hak untuk
diperangi) dengan alasan-alasan yang diterima oleh syari’at.
5. Hidup di negeri/tempat yang banyak tersebar bid’ah yang
menyebabkannya tidak mampu untuk mengetahui agama yang shahih
sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
6. Kejahilan yang menjadi ‘udzur bagi orang awam pada hukum-
hukum tertentu yang hanya diketahui oleh ulama.
Oleh karena itu, kebalikannya, kondisi tidak diterimanya ‘udzur
kejahilan adalah jika orang tersebut tinggal di Daarul-Islaam yang
menerapkan hukum-hukum Islam. Maka, jika seorang baligh yang
hidup di tengah-tengah kaum muslimin di Daarul-Islaam tersebut
mengaku jahil terhadap permasalahan agama yang masuk al-
maa’luum minad-diin bidl-dlaruurah[2] di situ, tidak diberikan ‘udzur.
Atau ia hidup di lingkungan ilmu dan ulama.
Dalilnya adalah kisah Qudaamah bin Madh’uun radliyallaahu ‘anhu.
Setelah ada kesaksian valid bahwa Qudaamah bin Madh’uun minum
khamr:
،‫ ﻟَﻮْ ﺷَﺮِﺑْﺖَ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮنَ ﻣَﺎ ﻛَﺎنَ ﻟَﻜُﻢْ أَنْ ﺗَﺠْﻠُﺪُوﻧِﻲ‬:َ‫ ﻓَﻘَﺎل‬،" َ‫ " إِﻧﱢﻲ ﺣَﺎدﱡك‬:َ‫ﻓَﻘَﺎلَ ﻋُﻤَﺮُ ﻟِﻘُﺪَاﻣَﺔ‬
ِ‫ ﻟَﯿْﺲَ ﻋَﻠَﻰ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ آﻣَﻨُﻮا وَﻋَﻤِﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎت‬:‫ ﻗَﺎلَ اﻟﻠﱠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ‬:ُ‫ ﻗَﺎلَ ﻗُﺪَاﻣَﺔ‬،" ‫ " ﻟِﻢَ؟‬:ُ‫ﻓَﻘَﺎلَ ﻋُﻤَﺮ‬
َ‫ إِﻧﱠﻚَ إِذَا اﺗﱠﻘَﯿْﺖَ اﺟْﺘَﻨَﺒْﺖ‬،َ‫ " أَﺧْﻄَﺄْتَ اﻟﺘﱠﺄْوِﻳﻞ‬:ُ‫ ﻓَﻘَﺎلَ ﻋُﻤَﺮ‬،ُ‫ﺟُﻨَﺎحٌ ﻓِﯿﻤَﺎ طَﻌِﻤُﻮا إِذَا ﻣَﺎ اﺗﱠﻘَﻮْا وَآﻣَﻨُﻮا اﻵﻳَﺔ‬
َ‫ ﻓَﺄَﻣَﺮَ ﺑِﻘُﺪَاﻣَﺔَ ﻓَﺠُﻠِﺪ‬...... ،" َ‫ﻣَﺎ ﺣَﺮﱠمَ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﯿْﻚ‬، ......
‘Umar berkata kepada Qudaamah : “Sesungguhnya aku akan
menjatuhkan hukuman hadd kepadamu”. Qudaamah berkata :
“Seandainya aku minum sebagaimana yang mereka katakan, engkau
tidak berhal mencambukku”. ‘Umar berkata : “Kenapa ?”. Qudaamah
berkata : “Allah ta’ala telah berfirman : ‘Tidak ada dosa bagi orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena
memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka
bertakwa serta beriman’ (QS. Al-Maaidah : 93). ‘Umar berkata :
“Engkau keliru dalam menakwilkan ayat tersebut. Seandainya engkau
bertaqwa, niscaya engkau jauhi apa yang diharamkan Allah
terhadapmu”…… Kemudian ia memerintahkan Qudamah untuk
dicambuk…. [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 17076; shahih].
‘Umar tidak mentoleransi ketidaktahuan Qudaamah yang kemudian
menta’wilkan ayat. Hal itu dikarenakan ia hidup di tengah-tengah
masyarakat yang diberlakukan hukum pengharaman khamr. Selain itu,
ia juga pernah menjabat Gubernur Bahrain[3] yang tentunya sangat
dimungkinkan baginya untuk mengetahui hukum haramnya khamr.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
‫ وﺟﮫﻞ ﻣﻦ اﻷﺣﻜﺎم ﻣﺎ ﻛﺎن‬،‫ﻓﻤﻦ ﻛﺎن ﻣﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ ﻳﻌﯿﺶ ﻓﻲ ﺟﻮ إﺳﻼﻣﻲ ﻋﻠﻤﻲ ﻣﺼﻔﻰ‬
‫ ﻓﮫﺬا ﻻ ﻳﻜﻮن ﻣﻌﺬوراً؛ ﻷﻧﻪ ﺑﻠﻐﺘﻪ اﻟﺪﻋﻮة‬-‫ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮل اﻟﻔﻘﮫﺎء‬-‫ﻣﻨﮫﺎ ﻣﻌﻠﻮﻣﺎً ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻀﺮورة‬
‫وأﻗﯿﻤﺖ اﻟﺤﺠﺔ‬.......
“Maka barangsiapa dari kalangan kaum muslimin yang hidup di
lingkungan Islami yang diliputi oleh ilmu yang bersih (dari syirik dan
bid’ah), lalu ia jahil terhadap hukum-hukum yang termasuk
ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah – sebagaimana dikatakan para
fuqahaa’ - , maka tidak diberikan ‘udzur. Hal itu dikarenakan telah
sampai kepadanya dakwah dan tegak padanya hujjah.……” [Silsilah Al-
Ahaadiits Ash-Shahiihah, 7/113].
Adapun mengenai ‘udzur kejahilan dalam masalah syirik terkait jenis
kasusnya, gambarannya adalah:
“seorang muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat, mengakui
Allah adalah ilahnya dan Muhammad adalah Nabinya, ia beriman dan
mengakui ketidakbolehan berbuat syirik dan memalingkan
peribadahan/penyembahan kepada selain Allah, mengakui bahwa
menyembah selain Allah termasuk syirik akbar yang dapat
mengeluarkan dari Islam, namun kemudian ia tidak mengetahui bahwa
istighatsah kepada selain Allah yang ia lakukan termasuk kesyirikan,
begitu juga dengan permohonan doa/syafa’at, tabarruk, dan yang
lainnya”.[4]
Orang tersebut tidak mengetahui perincian sesuatu yang diwajibkan
Allah tentang syarat keikhlasan dalam peribadahan kepada Allah ta’ala.
Inilah yang menjadi objek diberikannya ‘udzur kejahilan dalam
masalah perincian masalah tauhid dan syirik.
Tentu hal ini berbeda dengan orang yang tidak mau mengikrarkan
wajibnya mentauhidkan Allah dalam ibadah, atau tidak mengetahui
kewajiban mentauhidkan Allah dalam ibadah, atau tidak mengetahui
bahwa berbuat syirik itu termasuk kekafiran yang dapat mengeluarkan
dari Islam.
Oleh karena itu jika kita tanyakan kepada sebagian kaum muslimin
yang beristighatsah di kuburan, bertawassul, bertabarruk, dan
meminta syafa’at di sana (sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-
orang Nahdliyyiin di tanah air) : “Kenapa kalian berbuat syirik kepada
Allah ?”. Maka mereka pun menjawab : “Kami berlindung kepada Allah
dari perbuatan syirik”. Mereka marah dengan ucapan[5] kita, karena
mereka menganggap apa yang mereka lakukan merupakan bagian dari
syari’at Islam yang diperbolehkan dan diperintahkan oleh Allah ta’ala
dan Rasul-Nya.
Bandingkan dengan perkataan orang-orang musyrik saat mereka
diajak mentauhidkan Allah ta’ala :
ٌ‫أَﺟَﻌَﻞَ اﻵﻟِﮫَﺔَ إِﻟَﮫًﺎ وَاﺣِﺪًا إِنﱠ ھَﺬَا ﻟَﺸَﻲْءٌ ﻋُﺠَﺎب‬
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja?
Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan” [QS. Shaad : 5].
Orang-orang musyrik (kafir asli) yang banyak disebukan dalam Al-
Qur’an adalah orang-orang yang memang tidak mau mentauhidkan
Allah, bahkan mengingkarinya, dan dengan sadar menetapkan
penyembahan terhadap berhala/objek selain Allah.
‫وَاﺗْﻞُ ﻋَﻠَﯿْﮫِﻢْ ﻧَﺒَﺄَ إِﺑْﺮَاھِﯿﻢَ * إِذْ ﻗَﺎلَ ﻷﺑِﯿﻪِ وَﻗَﻮْﻣِﻪِ ﻣَﺎ ﺗَﻌْﺒُﺪُونَ * ﻗَﺎﻟُﻮا ﻧَﻌْﺒُﺪُ أَﺻْﻨَﺎﻣًﺎ ﻓَﻨَﻈَﻞﱡ ﻟَﮫَﺎ‬
َ‫ﻋَﺎﻛِﻔِﯿﻦ‬
“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata
kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah?".
Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami
senantiasa tekun menyembahnya" [QS. Asy-Syu’araa : 69-71].
‫وَﻗَﺎﻟُﻮا ﻻ ﺗَﺬَرُنﱠ آﻟِﮫَﺘَﻜُﻢْ وَﻻ ﺗَﺬَرُنﱠ وَدًّا وَﻻ ﺳُﻮَاﻋًﺎ وَﻻ ﻳَﻐُﻮثَ وَﻳَﻌُﻮقَ وَﻧَﺴْﺮًا‬
“Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts,
ya'uq dan nasr" [QS. Nuuh : 23].
Orang-orang musyrik itu meyakini bahwa Allah bukanlah tuhan Yang
Esa sebagaimana firman-Nya:
ُ‫ﻳَﺎ أَھْﻞَ اﻟْﻜِﺘَﺎبِ ﻻ ﺗَﻐْﻠُﻮا ﻓِﻲ دِﻳﻨِﻜُﻢْ وَﻻ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮا ﻋَﻠَﻰ اﻟﻠﱠﻪِ إِﻻ اﻟْﺤَﻖﱠ إِﻧﱠﻤَﺎ اﻟْﻤَﺴِﯿﺢُ ﻋِﯿﺴَﻰ اﺑْﻦ‬
‫ﻣَﺮْﻳَﻢَ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﻪِ وَﻛَﻠِﻤَﺘُﻪُ أَﻟْﻘَﺎھَﺎ إِﻟَﻰ ﻣَﺮْﻳَﻢَ وَرُوحٌ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺂﻣِﻨُﻮا ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ وَرُﺳُﻠِﻪِ وَﻻ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮا ﺛَﻼﺛَﺔٌ اﻧْﺘَﮫُﻮا‬
ِ‫ﺧَﯿْﺮًا ﻟَﻜُﻢْ إِﻧﱠﻤَﺎ اﻟﻠﱠﻪُ إِﻟَﻪٌ وَاﺣِﺪٌ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ أَنْ ﻳَﻜُﻮنَ ﻟَﻪُ وَﻟَﺪٌ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﻓِﻲ اﻟﺴﱠﻤَﺎوَاتِ وَﻣَﺎ ﻓِﻲ اﻷرْض‬
‫وَﻛَﻔَﻰ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ وَﻛِﯿﻼ‬
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,
dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.
Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah
dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya
kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah
kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu
mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu)
lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha
Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi
adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara” [QS. An-
Nisaa’ : 171].
َ‫وَﻗَﺎﻟَﺖِ اﻟْﯿَﮫُﻮدُ ﻋُﺰَﻳْﺮٌ اﺑْﻦُ اﻟﻠﱠﻪِ وَﻗَﺎﻟَﺖِ اﻟﻨﱠﺼَﺎرَى اﻟْﻤَﺴِﯿﺢُ اﺑْﻦُ اﻟﻠﱠﻪِ ذَﻟِﻚَ ﻗَﻮْﻟُﮫُﻢْ ﺑِﺄَﻓْﻮَاھِﮫِﻢْ ﻳُﻀَﺎھِﺌُﻮن‬
َ‫ﻗَﻮْلَ اﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُوا ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞُ ﻗَﺎﺗَﻠَﮫُﻢُ اﻟﻠﱠﻪُ أَﻧﱠﻰ ﻳُﺆْﻓَﻜُﻮن‬
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang
Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan
mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang
kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka
sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
Mereka (kaum musyrikin) pun ‘ngeyel’ bahwa tidak mengapa
mensekutukan Allah ta’ala sebagaimana tergambar dalam talbiyyah
mereka waktu haji:
:َ‫ ﻗَﺎل‬،َ‫ ﻟَﺒﱠﯿْﻚَ َﻻ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻚ‬:َ‫ ﻛَﺎنَ اﻟْﻤُﺸْﺮِﻛُﻮنَ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮن‬:َ‫ ﻗَﺎل‬،‫ﻋَﻦِ اﺑْﻦِ ﻋَﺒﱠﺎسٍ رَﺿِﻲَ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻨْﮫُﻤَﺎ‬
َ‫ إ ﱠِﻻ ﺷَﺮِﻳﻜًﺎ ھُﻮَ ﻟَﻚ‬:َ‫ ﻓَﯿَﻘُﻮﻟُﻮن‬،" ْ‫ " وَﻳْﻠَﻜُﻢْ ﻗَﺪْ ﻗَﺪ‬:َ‫ﷲ ﻋَﻠَﯿْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢ‬ ُ ‫ﻓَﯿَﻘُﻮلُ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ‬
ِ‫ ھَﺬَا وَھُﻢْ ﻳَﻄُﻮﻓُﻮنَ ﺑِﺎﻟْﺒَﯿْﺖ‬:َ‫ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮن‬،َ‫ﺗَﻤْﻠِﻜُﻪُ وَﻣَﺎ ﻣَﻠَﻚ‬
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Dulu orang-
orang musyrik mengatakan : ‘LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku
memenuhi panggilan-Mu wahai Dzat yang tiada sekutu bagi-Mu). Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Celakalah kalian,
cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan”. Tapi mereka meneruskan
ucapan mereka : ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA
MALAKA (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia
tidak menguasai)”. Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf
di Baitullah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1185].
Sekali lagi pertanyaannya :
“Adakah keadaan kaum musyrikin tersebut sama dengan kaum
muslimin yang terjatuh dalam sebagian perkara kesyirikan tanpa
mereka sadari dan tanpa mereka memaksudkannya ?”.
Kesalahan (al-khaththa’) dan kejahilan (jahl) adalah sama maknanya
ditinjau dari segi keyakinan yang berbeda dengan kenyataan yang
seharusnya, atau melakukan perbuatan yang tidak semestinya
dilakukan tanpa bermaksud untuk menyelisihi [Al-Jahl bi-Masaailil-
I’tiqaad wa Hukmuhu, hal. 326]. Sementara itu Allah ta’ala berfirman
tentang doa orang mukmin yang melakukan kesalahan:
ْ‫ﻻ ﻳُﻜَﻠﱢﻒُ اﻟﻠﱠﻪُ ﻧَﻔْﺴًﺎ إِﻻ وُﺳْﻌَﮫَﺎ ﻟَﮫَﺎ ﻣَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ وَﻋَﻠَﯿْﮫَﺎ ﻣَﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒَﺖْ رَﺑﱠﻨَﺎ ﻻ ﺗُﺆَاﺧِﺬْﻧَﺎ إِنْ ﻧَﺴِﯿﻨَﺎ أَو‬
‫أَﺧْﻄَﺄْﻧَﺎ‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [QS. Al-Baqarah :
286].
Dalam Shahiih Muslim, doa tersebut telah Allah kabulkan:
:ْ‫ " أَﺗُﺮِﻳﺪُونَ أَنْ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮا ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎلَ أَھْﻞُ اﻟْﻜِﺘَﺎﺑَﯿْﻦِ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢ‬:َ‫ﷲ ﻋﻠَﯿْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢ‬ ُ ‫ﻗَﺎلَ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ‬
‫ ﺳَﻤِﻌْﻨَﺎ وَأَطَﻌْﻨَﺎ‬:‫ ﻗَﺎﻟُﻮا‬،ُ‫ وَإِﻟَﯿْﻚَ اﻟْﻤَﺼِﯿﺮ‬،‫ ﺳَﻤِﻌْﻨَﺎ وَأَطَﻌْﻨَﺎ ﻏُﻔْﺮَاﻧَﻚَ رَﺑﱠﻨَﺎ‬:‫ ﺑَﻞْ ﻗُﻮﻟُﻮا‬،‫ﺳَﻤِﻌْﻨَﺎ وَﻋَﺼَﯿْﻨَﺎ‬
َ‫ ﻓَﺄَﻧْﺰَلَ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻲ إِﺛْﺮِھَﺎ آﻣَﻦ‬،ْ‫ ﻓَﻠَﻤﱠﺎ اﻗْﺘَﺮَأَھَﺎ اﻟْﻘَﻮْمُ ذَﻟﱠﺖْ ﺑِﮫَﺎ أَﻟْﺴِﻨَﺘُﮫُﻢ‬،ُ‫ وَإِﻟَﯿْﻚَ اﻟْﻤَﺼِﯿﺮ‬،‫ﻏُﻔْﺮَاﻧَﻚَ رَﺑﱠﻨَﺎ‬
َ‫اﻟﺮﱠﺳُﻮلُ ﺑِﻤَﺎ أُﻧْﺰِلَ إِﻟَﯿْﻪِ ﻣِﻦْ رَﺑﱢﻪِ وَاﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮنَ ﻛُﻞﱞ آﻣَﻦَ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ وَﻣَﻼﺋِﻜَﺘِﻪِ وَﻛُﺘُﺒِﻪِ وَرُﺳُﻠِﻪِ ﻻ ﻧُﻔَﺮﱢقُ ﺑَﯿْﻦ‬
ُ‫ ﻧَﺴَﺨَﮫَﺎ اﻟﻠﱠﻪ‬،َ‫ ﻓَﻠَﻤﱠﺎ ﻓَﻌَﻠُﻮا ذَﻟِﻚ‬،ُ‫أَﺣَﺪٍ ﻣِﻦْ رُﺳُﻠِﻪِ وَﻗَﺎﻟُﻮا ﺳَﻤِﻌْﻨَﺎ وَأَطَﻌْﻨَﺎ ﻏُﻔْﺮَاﻧَﻚَ رَﺑﱠﻨَﺎ وَإِﻟَﯿْﻚَ اﻟْﻤَﺼِﯿﺮ‬
ْ‫ ﻓَﺄَﻧْﺰَلَ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﺰﱠ وَﺟَﻞﱠ " ﻻ ﻳُﻜَﻠﱢﻒُ اﻟﻠﱠﻪُ ﻧَﻔْﺴًﺎ إِﻻ وُﺳْﻌَﮫَﺎ ﻟَﮫَﺎ ﻣَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ وَﻋَﻠَﯿْﮫَﺎ ﻣَﺎ اﻛْﺘَﺴَﺒَﺖ‬،‫ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ‬
ْ‫ ﻧَﻌَﻢ‬:َ‫ ﻗَﺎل‬،‫رَﺑﱠﻨَﺎ ﻻ ﺗُﺆَاﺧِﺬْﻧَﺎ إِنْ ﻧَﺴِﯿﻨَﺎ أَوْ أَﺧْﻄَﺄْﻧَﺎ‬،
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah
kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab
(Yahudi dan Nashrani) : ‘Kami mendengar dan kami
mendurhakainya?’. Tetapi ucapkan : ‘Kami dengar dan kami taat,
ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali’. Mereka berkata : ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah
kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. Ketika
kaum tersebut membacanya, maka lisan-lisan mereka tunduk
dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya: 'Rasul telah beriman
kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun
(dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan:
"Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya
Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’ (QS. Al-Baqarah :
285). Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah
menghapusnya, lalu menurunkan: 'Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (QS.
Al-Baqarah : 286)’. Allah menjawab : ‘Ya’…..” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 125].
Menyamakan antara orang-orang musyrik dari kalangan kafir asli
dengan kaum muslimin yang terjatuh dalam kekeliruan karena
kejahilan mereka merupakan kedhaliman[6].
Oleh karena itu, para ulama memberikan ‘udzur kejahilan dan ta’wil
kepada Taqiyyuddin As-Subkiy, As-Suyuuthiy, Al-Haitsamiy, dan yang
lainnya yang terjatuh dalam perkara tawassul kepada para wali,
beristighatsah dengan mereka, dan yang lainnya [Nawaaqidlul-Iimaan
Al-I’tiqaadiyyah, 1/292]. Tidak ada ulama yang mengkafirkannya dan
menghukumi mereka sebagai musyrik – meski ketergelinciran mereka
adalah dalam masalah syirik - , kecuali ada yang akan memulainya di
masa sekarang.
Kekeliruan mereka (para ulama tersebut dan pengikutnya yang taqlid
kepada mereka) adalah diantaranya karena adanya syubhat dalam
memahami ayat:
َ‫وَﻣَﺎ أَرْﺳَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦْ رَﺳُﻮلٍ إِﻻ ﻟِﯿُﻄَﺎعَ ﺑِﺈِذْنِ اﻟﻠﱠﻪِ وَﻟَﻮْ أَﻧﱠﮫُﻢْ إِذْ ظَﻠَﻤُﻮا أَﻧْﻔُﺴَﮫُﻢْ ﺟَﺎءُوكَ ﻓَﺎﺳْﺘَﻐْﻔَﺮُوا اﻟﻠﱠﻪ‬
‫وَاﺳْﺘَﻐْﻔَﺮَ ﻟَﮫُﻢُ اﻟﺮﱠﺳُﻮلُ ﻟَﻮَﺟَﺪُوا اﻟﻠﱠﻪَ ﺗَﻮﱠاﺑًﺎ رَﺣِﯿﻤًﺎ‬
“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya
dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” [QS. An-
Nisaa’ : 64].
Mereka menyangka dengan ayat ini merupakan dalil diperbolehkannya
memohon ampun dengan perantaraan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, karena meyakininya beliau masih hidup di dalam kuburnya[7]
dan dapat mendengarkan[8] doa orang yang masih hidup. Ditambah
beberapa syubhat beberapa riwayat lemah semisal kisah ‘Utbiy[9] dan
Al-Imaam Maalik bin Anas yang berdoa menghadap kubur Nabi seraya
menganjurkan memohon syafa’at kepada beliau[10] [lihat
selengkapnya : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh
‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 429-437].
Semua syubhat ini tidak benar dan telah dijawab oleh para ulama kita,
walhamdulillah.
Jika yang semisal As-Subkiy, Al-Hatsamiy, dan As-Suyuthiy diberikan
‘udzur oleh para ulama[11] atas kesalahan ijtihad mereka, lantas
bagaimana dengan orang-orang yang kedudukannya lebih rendah
daripada mereka yang tidak mempunyai kapasitas intelektual dan
penelaahan seperti mereka ?[12]. Orang-orang ini menyangka telah
melaksanakan firman Allah ta’ala:
َ‫ﻓَﺎﺳْﺄَﻟُﻮا أَھْﻞَ اﻟﺬﱢﻛْﺮِ إِنْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻻ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮن‬
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl : 43].
Yaitu bertanya kepada kiyai, ulama, dan merujuk pada referensi yang
ada – meski ternyata mereka salah. Kembali ke pokok permasalahan
dalam judul, pemberian ‘udzur kejahilan ini tidak mutlak. Tidak akan
mungkin diberikan udzur kejahilan pada orang yang tidak mengetahui
eksistensi Allah[13]. Tidak pula akan diberikan ‘udzur kejahilan pada
orang yang sujud kepada matahari, bulan, dan patung/berhala karena
perbuatan ini tidak mengandung pengertian lain selain beribadah
kepadanya[14], dan ini kekafiran berdasarkan ijmaa’ [lihat : Al-Jahl bi-
Masaailil-I’tiqaad, hal. 439]. Tidak pula akan diberikan ‘udzur kejahilan
pada orang yang mengakui, mengikrarkan, dan meyakini bahwa Mirza
Ghulam Ahmad sebagai Nabi yang wajib diikuti. Hal ini dikarenakan
kejahilan tersebut mencabut pokok syahadat beserta akar-akarnya.
Maka, keliru orang yang menganggap jika kita memberikan ‘udzur
kejahilan dalam masalah kufur akbar dan syirik akbar, ini berlaku
secara mutlak, asal ada yang mengaku tidak tahu, maka diterima.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga dapat menjadi gambaran.
Wallaahu a’lam.
Tulisan ini banyak mengambil faedah dari:
1. Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq
bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy; Daarul-Wathan, Cet. 1/1417.
2. Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlawaabithut-Takfiir
‘indas-Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy; Daarul-
Muslim, Cet. 2/1422.
3. Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin
‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy; Namaa For Research and Studies Center,
Cet. 1/2012 M.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 26122014 – 01:48].
[1] Yaitu artikel : Beberapa Kondisi Ditetapkannya ‘Udzur Kejahilan.
[2] Silakan baca artikel terkait:
Al-Ma’luum minad-Diin bidl-Dlaruurah.
Kekeliruan Pendalilan Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Memutlakkan Perkara Al-
Ma’luum minad-Diin bidl-Dlaruurah.
[3] Riwayatnya :
َ‫ وَﺣَﻔْﺼَﺔ‬،َ‫أَنﱠ ﻋُﻤَﺮَ اﺳْﺘَﻌْﻤَﻞَ ﻗُﺪَاﻣَﺔَ ﺑْﻦَ ﻣَﻈْﻌُﻮنٍ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﺒَﺤْﺮَﻳْﻦِ وَﻛَﺎنَ ﺷَﮫِﺪَ ﺑَﺪْرًا وَھُﻮَ ﺧَﺎلُ ﻋَﺒْﺪِ اﻟﻠﱠﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮ‬
ْ‫رَﺿِﻲَ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻨْﮫُﻢ‬
Bahwasannya ‘Umar memperkerjakan Qudaamah bin Madh’uun sebagai
Gubernur di Bahrain. Ia (Qudaamah) turut serta dalam perang Badr, dan
merupakan paman dari ‘Abdullah bin ‘Umar dan Hafshah radliyallaahu ‘anhum”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4012].
[4] Lihat : Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq
bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 422 dan Isykaaliyyah Al-I’dzaar bil-Jahl
fil-Bahts Al-‘Aqdiy oleh Sulthaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Umairiy, hal. 28.
[5] Mereka menganggapnya : ‘tuduhan’.
[6] Silakan baca penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-
Sa’diy rahimahullah di : http://www.sahab.net/forums/index.php?
showtopic=146056.
Juga artikel : Membedakan Muslim dan Kafir (Asli) dalam Pemberian ‘Udzur.
[7] Berdasarkan hadits:
َ‫اﻷَﻧْﺒِﯿَﺎءُ أَﺣْﯿَﺎءٌ ﻓِﻲ ﻗُﺒُﻮرِھِﻢْ ﻳُﺼَﻠﱡﻮن‬
“Para Nabi hidup di kubur-kubur mereka melaksanakan shalat” [Shahiihul-
Jaami’ no. 2790].
[8] Ini merupakan cabang permasalahan apakah mayit dapat mendengar.
Silakan baca bahasan : Orang Mati Tidak Bisa Mendengar.
[9] Silakan baca pembahasannya dalam artikel : Kelemahan Kisah
Al-‘Utbiy tentang Tawassul.
[10] Silakan baca pembahasannya dalam artikel : Anjuran Al-Imam Maalik
bin Anas untuk Berdoa Menghadap Kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[11] Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
‫اﻟﻤﺆﻣﻦ ﺑﺎ“ ورﺳﻮﻟﻪ ﺑﺎطﻨﺎ وظﺎھﺮا اﻟﺬي ﻗﺼﺪ اﺗﺒﺎع اﻟﺤﻖ وﻣﺎ ﺟﺎء ﺑﻪ اﻟﺮﺳﻮل إذا أﺧﻄﺄ وﻟﻢ ﻳﻌﺮف اﻟﺤﻖ‬
‫ﻛﺎن أوﻟﻰ أن ﻳﻌﺬره ﷲ ﻓﻲ اﻵﺧﺮة ﻣﻦ اﻟﻤﺘﻌﻤﺪ اﻟﻌﺎﻟﻢ ﺑﺎﻟﺬﻧﺐ ﻓﺈن ھﺬا ﻋﺎص ﻣﺴﺘﺤﻖ ﻟﻠﻌﺬاب ﺑﻼ رﻳﺐ‬
‫وأﻣﺎ ذﻟﻚ ﻓﻠﯿﺲ ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻟﻠﺬﻧﺐ ﺑﻞ ھﻮ ﻣﺨﻄﻰء وﷲ ﻗﺪ ﺗﺠﺎوز ﻟﮫﺬه اﻷﻣﺔ ﻋﻦ اﻟﺨﻄﺄ واﻟﻨﺴﯿﺎن‬
"Seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya secara dhahir dan batin
serta berniat untuk mengikuti kebenaran dan apa-apa yang diturunkan kepada
Rasul; maka apabila ia bersalah dan belum mengerti kebenaran, maka dia
lebih utama untuk Allah berikan ‘udzur di akhirat daripada orang yang telah
mengetahui (kebenaran) namun sengaja melakukan dosa. Orang kedua ini
adalah orang yang telah bermaksiat yang berhak diadzab tanpa ada keraguan.
Adapun orang pertama, maka ia bukan orang yang sengaja melakukan dosa,
namun ia hanyalah seorang yang tersalah. Dan Allah telah memaafkan umat
ini dari kesalahan dan lupa yang mereka lakukan” [Minhajus-Sunnah, 5/250].
‫ ﺑﻞ‬،‫وﻗﺪ اﺗﻔﻖ أھﻞ اﻟﺴﻨﺔ واﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻋﻠﻰ أن ﻋﻠﻤﺎء اﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ ﻻ ﻳﺠﻮز ﺗﻜﻔﯿﺮھﻢ ﺑﻤﺠﺮد اﻟﺨﻄﺄ اﻟﻤﺤﺾ‬
‫ وﻟﯿﺲ ﻛﻞ ﻣﻦ ﻳﺘﺮك ﺑﻌﺾ ﻛﻼﻣﻪ‬،‫ﻛﻞ أﺣﺪ ﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ وﻳﺘﺮك إﻻ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ ﻓﺈن ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻲ ﻗﺎل ﻓﻲ دﻋﺎء اﻟﻤﺆﻣﻨﯿﻦ رَﺑﱠﻨَﺎ ﻻ َ ﺗُﺆَاﺧِﺬْﻧَﺎ إِن‬،‫ ﺑﻞ وﻻ ﻳﺄﺛﻢ‬،‫ﻟﺨﻄﺄ أﺧﻄﺄه ﻳﻜﻔﺮ وﻻ ﻳﻔﺴﻖ‬
(‫ ﻗﺪ ﻓﻌﻠﺖ‬:‫)أن ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻲ ﻗﺎل‬:‫ﻧﱠﺴِﯿﻨَﺎ أَوْ أَﺧْﻄَﺄْﻧَﺎ وﻓﻲ اﻟﺼﺤﯿﺢ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ‬.
“Dan Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa ulama kaum muslimin tidak boleh
dikafirkan atas sebab kesalahan murni. Bahkan setiap orang boleh diambil
ataupun ditinggalkan perkataannya kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Dan tidaklah setiap orang yang ditinggalkan sebagian perkataannya
karena kesalahannya dapat dikafirkan atau difasiqkan. Bahkan, (mungkin saja)
ia tidak berdosa; karena Allah ta’ala telah berfirman tentang doanya orang
mukminin : “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau
salah” (QS. Al-Baqarah : 286). Dan dari kitab Ash-Shahiih, dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bahwasannya Allah ta’ala telah berfirman
(tentang doa tersebut) : Telah Aku lakukan (yaitu mengampunimu)” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 35/100].
‫إن اﺳﺘﻔﺮغ وﺳﻌﻪ ﻓﻲ طﻠﺐ اﻟﺤﻖ ﻓﺈن ﷲ ﻳﻐﻔﺮ ﻟﻪ ﺧﻄﺄه وإن ﺣﺼﻞ ﻣﻨﻪ ﻧﻮع ﺗﻘﺼﯿﺮ ﻓﮫﻮ ذﻧﺐ ﻻ ﻳﺠﺐ‬
‫ان ﻳﺒﻠﻎ اﻟﻜﻔﺮ وإن ﻛﺎن ﻳﻄﻠﻖ اﻟﻘﻮل ﺑﺄن ھﺬا اﻟﻜﻼم ﻛﻔﺮ ﻛﻤﺎ أطﻠﻖ اﻟﺴﻠﻒ اﻟﻜﻔﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻗﺎل ﺑﺒﻌﺾ‬
‫ﻣﻘﺎﻻت اﻟﺠﮫﻤﯿﺔ ﻣﺜﻞ اﻟﻘﻮل ﺑﺨﻠﻖ اﻟﻘﺮآن أو إﻧﻜﺎر اﻟﺮؤﻳﺔ أو ﻧﺤﻮ ذﻟﻚ ﻣﻤﺎ ھﻮ دون إﻧﻜﺎر ﻋﻠﻮ ﷲ ﻋﻠﻰ‬
‫اﻟﺨﻠﻖ وأﻧﻪ ﻓﻮق اﻟﻌﺮش ﻓﺈن ﺗﻜﻔﯿﺮ ﺻﺎﺣﺐ ھﺬه اﻟﻤﻘﺎﻟﺔ ﻛﺎن ﻋﻨﺪھﻢ ﻣﻦ أظﮫﺮ اﻷﻣﻮر ﻓﺈن اﻟﺘﻜﻔﯿﺮ‬
‫اﻟﻤﻄﻠﻖ ﻣﺜﻞ اﻟﻮﻋﯿﺪ اﻟﻤﻄﻠﻖ ﻻ ﻳﺴﺘﻠﺰم ﺗﻜﻔﯿﺮ اﻟﺸﺨﺺ اﻟﻤﻌﯿﻦ ﺣﺘﻰ ﺗﻘﻮم ﻋﻠﯿﻪ اﻟﺤﺠﺔ اﻟﺘﻲ ﺗﻜﻔﺮ‬
‫ﺗﺎرﻛﮫﺎ‬
“Apabila ia telah mengerahkan segala daya upayanya dalam mencari
kebenaran, niscaya Allah akan mengampuni kesalahannya. Dan jika terdapat
kekurangan (dalam hal kesungguhannya), maka ini merupakan suatu dosa
yang tidak mengharuskan sampai pada tingkat kekafiran, meskipun perkataan
tersebut secara mutlak adalah perkataan kufur. Sebagaimana kaum salaf
memutlakkan kekafiran kepada siapa saja yang berkata dengan sebagian
perkataan Jahmiyyah; seperti perkataan Khalqul-Qur’aan (Al-Qur’an adalah
makhluk), atau mengingkari ru’yah (melihat kepada Allah kelak di akhirat),
atau yang lainnya selain dari pengingkaran terhadap ketinggian Allah di atas
para makhluk-Nya, dan bahwasannya Ia di atas ‘Arsy - karena sesungguhnya
pengkafiran terhadap orang yang mengatakan perkataan-perkataan ini
menurut mereka (salaf) termasuk dari hal-hal yang paling jelas. Dan
sesungguhnya pengkafiran secara muthlak seperti halnya ancaman secara
mutlak yang tidak melazimkan pengkafiran secara mu’ayyan (individu), hingga
tegak padanya hujjah yang mana bisa mengkafirkan orang yang
meninggalkannya” [Al-Istiqaamah, 1/164]
[12] Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
‫ ﻣﺜﻞ أﻻ ﺗﺒﻠﻐﻪ‬،‫ إﻣﺎ ﻟﻌﺪم ﺗﻤﻜﻨﻪ ﻣﻦ اﻟﻌﻠﻢ‬،‫ ﻓﻤﻦ ﺗﺮك ﺑﻌﺾ اﻹﻳﻤﺎن اﻟﻮاﺟﺐ ﻟﻌﺠﺰه ﻋﻨﻪ‬،‫وإذا ﺗﺒﯿﻦ ھﺬا‬
‫ وﻟﻢ ﻳﻜﻦ ذﻟﻚ ﻣﻦ اﻹﻳﻤﺎن واﻟﺪﻳﻦ‬،‫ أو ﻟﻌﺪم ﺗﻤﻜﻨﻪ ﻣﻦ اﻟﻌﻤﻞ ـ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﺄﻣﻮرًا ﺑﻤﺎ ﻳﻌﺠﺰ ﻋﻨﻪ‬،‫اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‬
،‫ واﻟﺨﺎﺋﻒ‬،‫ ﺑﻤﻨﺰﻟﺔ ﺻﻼة اﻟﻤﺮﻳﺾ‬،‫ وإن ﻛﺎن ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ واﻹﻳﻤﺎن اﻟﻮاﺟﺐ ﻓﻲ اﻷﺻﻞ‬،‫اﻟﻮاﺟﺐ ﻓﻲ ﺣﻘﻪ‬
‫ ﻓﺈن ﺻﻼﺗﮫﻢ ﺻﺤﯿﺤﺔ ﺑﺤﺴﺐ ﻣﺎ‬،‫ اﻟﺬﻳﻦ ﻳﻌﺠﺰون ﻋﻦ إﺗﻤﺎم اﻟﺼﻼة‬،‫ وﺳﺎﺋﺮ أھﻞ اﻷﻋﺬار‬،‫واﻟﻤﺴﺘﺤﺎﺿﺔ‬
‫ وإن ﻛﺎﻧﺖ ﺻﻼة اﻟﻘﺎدر ﻋﻠﻰ اﻹﺗﻤﺎم أﻛﻤﻞ وأﻓﻀﻞ‬،‫ وﺑﻪ أﻣﺮوا إذ ذاك‬،‫ﻗﺪروا ﻋﻠﯿﻪ‬
"Apabila hal ini telah jelas, maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian
keimanan yang wajib karena ketidakmampuannya, apakah karena tidak
mampu untuk mendapatkan pengetahuan seperti tidak sampainya risalah
kenabian, atau tidak mampu untuk mengamalkannya ; maka ia tidak
diperintahkan dengan apa-apa yang dia tidak mampu. Dan hal ini tidak
termasuk keimanan dan dien yang wajib pada dirinya, walaupun pada asalnya
hal itu termasuk dien dan keimanan yang wajib seperti shalatnya orang yang
sakit, shalatnya orang yang takut, shalatnya mustahadlah (wanita yang terus
menerus mengeluarkan darah selain hari-hari haidlnya – akibat penyakit/
sakit), dan selain mereka dari orang-orang yang mendapatkan ‘udzur yang
tidak mampu untuk menyempurnakan shalat. Shalatnya tetap sah sesuai
dengan kemampuannya. Dan dengan itulah mereka diperintahkan pada waktu
itu, walaupun shalatnya orang yang mampu untuk menyempurnakan lebih
sempurna dan afdlal" [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/478-479].
[13] Abu Haniifah rahimahullah berkata: “Tidak ada ‘udzur bagi seorang
pun atas kejahilannya tentang Penciptanya (Allah), karena kewajiban seluruh
makhluk adalah mengenal Rabb subhaanahu wa ta’ala dan mengesakan-Nya,
berdasar apa yang ia lihat berupa penciptaan langit dan bumi, penciptaan
dirinya, dan penciptaan seluruh makhluk Allah yang lain. Adapun perintah-
perintah agama, maka barangsiapa belum mengetahuinya dan ilmunya belum
sampai kepada dirinya, maka hujah secara hukum belum tegak atas
dirinya” [Badaai’ush-Shanaa’i’, 9/521].
[14] Sebagai suplemen, silakan baca juga artikel : Sujud kepada Manusia
dalam Rangka Penghormatan.

Anda mungkin juga menyukai