Anda di halaman 1dari 8

Para ulama telah menetapkan beberapa kondisi diberikannya ‘udzur

bagi seseorang karena kejahilannya. Diantara kondisi tersebut adalah


sebagai berikut:
1. Baru Masuk Islam.
Orang yang baru masuk Islam umumnya tidak mengetahui mayoritas
hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, apabila ia meninggalkan
perintah atau meninggalkan larangan dalam agama, diberikan ‘udzur
hingga jelas baginya hukum yang terkait dengan perintah atau
larangan tersebut dan ia belajar tentang syari’at Islam yang baru
dipeluknya.
Dalilnya adalah hadits:
‫ أن رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ ﻟﻤﺎ ﺧﺮج إﻟﻰ ﺧﯿﺒﺮ ﻣﺮ ﺑﺸﺠﺮة‬: ‫ﻋﻦ أﺑﻲ واﻗﺪ اﻟﻠﯿﺜﻲ‬
‫ﻟﻠﻤﺸﺮﻛﯿﻦ ﻳﻘﺎل ﻟﮫﺎ ذات أﻧﻮاط ﻳﻌﻠﻘﻮن ﻋﻠﯿﮫﺎ أﺳﻠﺤﺘﮫﻢ ﻓﻘﺎﻟﻮا ﻳﺎ رﺳﻮل ﷲ اﺟﻌﻞ ﻟﻨﺎ ذات‬
‫أﻧﻮاط ﻛﻤﺎ ﻟﮫﻢ ذات أﻧﻮاط ﻓﻘﺎل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ ﺳﺒﺤﺎن ﷲ ھﺬا ﻛﻤﺎ ﻗﺎل ﻗﻮم‬
‫ﻣﻮﺳﻰ أﺟﻌﻞ ﻟﻨﺎ إﻟﮫﺎ ﻛﻤﺎ ﻟﮫﻢ آﻟﮫﺔ واﻟﺬي ﻧﻔﺴﻲ ﺑﯿﺪه ﻟﺘﺮﻛﺒﻦ ﺳﻨﺔ ﻣﻦ ﻛﺎن ﻗﺒﻠﻜﻢ‬
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Al-
Makhzuumiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-
Zuhriy, dari Sinaan bin Abi Sinaan, dari Abu Waaqid Al-Laitsiy :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar
menuju Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang
musyrik yang bernama Dzaatu Anwaath yang digantungkan padanya
pedang-pedang mereka. Mereka (para shahabat) berkata : “Wahai
Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana
mereka mempunyai Dzaatu Anwaath”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Subhaanallaah (Maha Suci Allah), ini adalah
seperti perkataan kaum Musa : ‘Buatkanlah untuk kami tuhan
sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan’. Demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian benar-benar mengikuti jalan
orang-orang sebelum kalian” [Sunan At-Tirmidziy no. 2180. At-
Tirmidziy berkata : “Hasan shahih”].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thayaalisiy no. 1443, ‘Abdurrazzaaq no.
20763, Al-Humaidiy no. 871, Ibnu Abi Syaibah 15/101, Ahmad 5/218,
Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 4/no. 2338, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-
Sunnah no. 76, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 11185, Abu Ya’laa no.
1441, Ibnu Jariir dalam Tafsir-nya 9/45, Ibnu Hibbaan no. 6702, dan
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 3290-3294.
Dalam riwayat Ahmad, disebutkan lafadh permintaan shahabat:
ْ‫ وَﻛَﺎنَ اﻟْﻜُﻔﱠﺎرُ ﻳَﻨُﻮطُﻮنَ ﺑِﺴ َِﻼﺣِﮫِﻢ‬،ٍ‫ اﺟْﻌَﻞْ ﻟَﻨَﺎ ھَﺬِهِ ذَاتَ أَﻧْﻮَاطٍ ﻛَﻤَﺎ ﻟِﻠْﻜُﻔﱠﺎرِ ذَاتُ أَﻧْﻮَاط‬،ِ‫ﻳَﺎ ﻧَﺒِﻲﱠ اﻟﻠﱠﻪ‬
‫ وَﻳَﻌْﻜُﻔُﻮنَ ﺣَﻮْﻟَﮫَﺎ‬،ٍ‫ﺑِﺴِﺪْرَة‬
“Wahai Nabi Allah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath
sebagaimana orang kafir mempunyai Dzaatu Anwaath. Orang-orang
kafir menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut
seraya beri’tikaf di sekelilingnya”.
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
‫ ﻟﻤﺎ ﺟﻌﻠﻪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ ﻧﻈﯿﺮ‬،‫ وﻟﻮ ﻛﺎن ﻣﻨﻪ‬،‫ﻟﯿﺲ ﻣﺎ طﻠﺒﻮه ﻣﻦ اﻟﺸﺮك اﻷﺻﻐﺮ‬
‫ ﻛﻤﺎ أن ﻻ‬،‫ ﺑﻞ ھﻮ ﻣﻦ اﻟﺸﺮك اﻷﻛﺒﺮ‬،‫ﻗﻮل ﺑﻨﻲ إﺳﺮاﺋﯿﻞ }اﺟْﻌَﻞ ﻟَﻨَﺎ إِﻟَﮫﺎًَ{ وأﻗﺴﻢ ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ‬
‫ وإﻧﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻔﺮوا ﺑﻄﻠﺒﮫﻢ؛ ﻷﻧﮫﻢ ﺣﺪﺛﺎء ﻋﮫﺪ اﻹﺳﻼم‬،‫طﻠﺒﻪ ﺑﻨﻮ إﺳﺮاﺋﯿﻞ ﻣﻦ اﻷﻛﺒﺮ‬
“Apa yang mereka (para shahabat) minta itu bukanlah syirik ashghar -
meskipun hal itu termasuk bagian darinya – karena ketika Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyamakannya dengan perkataan Bani
Israaiil ‘buatkanlah kami tuhan-tuhan’, dan beliau bersumpah
mengenai hal itu. Bahkan, perbuatan mereka itu termasuk syirik akbar
– sebagaimana permintaan Bani Israaiil juga termasuk syirik akbar.
Hanya saja mereka (para shahabat) tidak dikafirkan dengan
permintaannya karena mereka termasuk orang-orang yang baru saja
masuk Islam” [Fathul-Majiid, hal. 146].
Beberapa faedah tentang hadits ini, silakan baca artikel : Faedah
Hadits Abu Waaqid Al-Laitsiy tentang Dzaatu Anwaath.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
ُ‫ إذَا ﻛَﺎنَ ﻣِﻤﱠﻦْ َﻻ ﻳَﺠْﮫَﻞُ ﻣِﺜْﻠُﻪ‬، ‫و ََﻻ ﺧ َِﻼفَ ﺑَﯿْﻦَ أَھْﻞِ اﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓِﻲ ﻛُﻔْﺮِ ﻣَﻦْ ﺗَﺮَﻛَﮫَﺎ ﺟَﺎﺣِﺪًا ﻟِﻮُﺟُﻮﺑِﮫَﺎ‬
ٍ‫اﻹﺳ َْﻼمِ أَوْ ﺑَﺎدِﻳَﺔ‬ِ ْ ِ‫ وَاﻟﻨﱠﺎﺷِﺊِ ﺑِﻐَﯿْﺮِ دَار‬، ِ‫اﻹﺳ َْﻼم‬ِ ْ ِ‫ ﻛَﺤَﺪِﻳﺚ‬، َ‫ ﻓَﺈِنْ ﻛَﺎنَ ﻣِﻤﱠﻦْ َﻻ ﻳَﻌْﺮِفُ اﻟْﻮُﺟُﻮب‬، َ‫ذَﻟِﻚ‬
ْ‫ ﻓَﺈِن‬، ‫ وَﺗُﺜْﺒَﺖُ ﻟَﻪُ أَدِﻟﱠﺔُ وُﺟُﻮﺑِﮫَﺎ‬، َ‫ وَﻋُﺮﱢفَ ذَﻟِﻚ‬، ِ‫ ﻟَﻢْ ﻳُﺤْﻜَﻢْ ﺑِﻜُﻔْﺮِه‬، ِ‫اﻷَﻣْﺼَﺎرِ وَأَھْﻞِ اﻟْﻌِﻠْﻢ‬
ْ ْ‫ﺑَﻌِﯿﺪَةٍ ﻋَﻦ‬
َ‫ﺟَﺤَﺪَھَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ذَﻟِﻚَ ﻛَﻔَﺮ‬
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kekafiran
orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya
apabila orang tersebut bukan termasuk orang yang jaahil akan perkara
itu. Namun apabila ia termasuk orang yang tidak mengetahui
kewajibannya seperti orang yang baru masuk Islam, orang yang hidup
bukan di negeri Islam, atau hidup di tempat yang terpencil atau jauh
dari ulama, maka tidak dihukumi kafir. Perlu diberitahukan kepadanya
perkara tersebut dan disebutkan dalil-dalil akan kewajibannya
kepadanya. Apabila ia mengingkarinya setelah itu, kafir” [Al-Mughniy,
10/82].
2. Hidup di daerah terpencil/jauh yang tidak tersebar padanya ilmu
(syari’at) dan sebab-sebab untuk memperolehnya.
Kejahilan dalam kondisi ini adalah sesuatu yang sulit dihindari
sehingga di sinilah munculnya pentingnya dakwah Islam dan mengajari
orang-orang untuk mempelajari agama mereka.
Dalilnya adalah hadits:
ٌ‫ ﻓ ََﻼﺟﱠﻪُ رَﺟُﻞ‬،‫ﷲ ﻋَﻠَﯿْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﺑَﻌَﺚَ أَﺑَﺎ ﺟَﮫْﻢِ ﺑْﻦَ ﺣُﺬَﻳْﻔَﺔَ ﻣُﺼَﺪﱢﻗًﺎ‬ ُ ‫ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ " أَنّ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠﱠﻰ‬
َ‫ اﻟْﻘَﻮَدَ ﻳَﺎ رَﺳُﻮل‬:‫ﷲ ﻋَﻠَﯿْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮا‬ ُ ‫ ﻓَﺄَﺗَﻮْا اﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠﱠﻰ‬،ُ‫ﻓِﻲ ﺻَﺪَﻗَﺘِﻪِ ﻓَﻀَﺮَﺑَﻪُ أَﺑُﻮ ﺟَﮫْﻢٍ ﻓَﺸَﺠﱠﻪ‬
ْ‫ ﻓَﻠَﻢ‬،‫ ﻟَﻜُﻢْ ﻛَﺬَا وَﻛَﺬَا‬:َ‫ ﻓَﻘَﺎل‬،‫ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺮْﺿَﻮْا‬،‫ ﻟَﻜُﻢْ ﻛَﺬَا وَﻛَﺬَا‬:َ‫ﷲ ﻋَﻠَﯿْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢ‬ ُ ‫ ﻓَﻘَﺎلَ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ ﺻَﻠﱠﻰ‬،ِ‫اﻟﻠﱠﻪ‬
َ‫ إِﻧﱢﻲ ﺧَﺎطِﺐٌ اﻟْﻌَﺸِﯿﱠﺔ‬:َ‫ﷲ ﻋَﻠَﯿْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢ‬ ُ ‫ ﻓَﻘَﺎلَ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ ﺻَﻠﱠﻰ‬،‫ ﻓَﺮَﺿُﻮا‬،‫ ﻟَﻜُﻢْ ﻛَﺬَا وَﻛَﺬَا‬:َ‫ ﻓَﻘَﺎل‬،‫ﻳَﺮْﺿَﻮْا‬
ِ‫ﷲ ﻋَﻠَﯿْﻪ‬
ُ ‫ ﻓَﻘَﺎلَ ﺻَﻠﱠﻰ‬،ِ‫ ﻓَﺨَﻄَﺐَ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﻪ‬،ْ‫ ﻧَﻌَﻢ‬:‫ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮا‬،ْ‫ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎسِ وَﻣُﺨْﺒِﺮُھُﻢْ ﺑِﺮِﺿَﺎﻛُﻢ‬
‫ أَرَﺿِﯿﺘُﻢْ؟‬،‫ ﻓَﻌَﺮَﺿْﺖُ ﻋَﻠَﯿْﮫِﻢْ ﻛَﺬَا وَﻛَﺬَا ﻓَﺮَﺿُﻮا‬،َ‫ إِنﱠ ھَﺆ َُﻻءِ اﻟﻠﱠﯿْﺜِﯿﱢﯿﻦَ أَﺗَﻮْﻧِﻲ ﻳُﺮِﻳﺪُونَ اﻟْﻘَﻮَد‬:َ‫وَﺳَﻠﱠﻢ‬
ْ‫ﷲ ﻋَﻠَﯿْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ أَنْ ﻳَﻜُﻔﱡﻮا ﻋَﻨْﮫُﻢ‬ ُ ‫ ﻓَﺄَﻣَﺮَھُﻢْ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ‬،ْ‫ ﻓَﮫَﻢﱠ اﻟْﻤُﮫَﺎﺟِﺮُونَ ﺑِﮫِﻢ‬،‫ َﻻ‬:‫ﻗَﺎﻟُﻮا‬
ِ‫ إِﻧﱢﻲ ﺧَﺎطِﺐٌ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎس‬:َ‫ ﻗَﺎل‬،ْ‫ ﻧَﻌَﻢ‬:‫ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮا‬،ْ‫ أَرَﺿِﯿﺘُﻢ‬:َ‫ ﻓَﻘَﺎل‬،ْ‫ ﺛُﻢﱠ دَﻋَﺎھُﻢْ ﻓَﺰَادَھُﻢ‬،‫ﻓَﻜَﻔﱡﻮا‬
:‫ ﻗَﺎﻟُﻮا‬،ْ‫ أَرَﺿِﯿﺘُﻢ‬:َ‫ﷲ ﻋَﻠَﯿْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻓَﻘَﺎل‬ ُ ‫ ﻓَﺨَﻄَﺐَ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ ﺻَﻠﱠﻰ‬،ْ‫ ﻧَﻌَﻢ‬:‫ ﻗَﺎﻟُﻮا‬،ْ‫وَﻣُﺨْﺒِﺮُھُﻢْ ﺑِﺮِﺿَﺎﻛُﻢ‬
ْ‫" ﻧَﻌَﻢ‬
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah sebagai petugas pemungut/
pengumpul zakat. Lalu ada seorang laki-laki yang memprotesnya
terkait dengan zakat yang diambilnya. Abu Jahm pun memukulnya
hingga kepalanya terluka. Kemudian orang-orang dari kaum laki-laki
itu mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (karenanya). Mereka
berkata : “Kami menginginkan qishaash wahai Rasulullah”. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bagi kalian demikian dan
demikian”. Namun mereka tidak meridlainya. Beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam kembali bersabda : “Bagi kalian demikian dan demikian”.
Lalu mereka pun meridlainya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhuthbah sore ini kepada
orang-orang untuk mengkhabarkan kepada mereka tentang keridlaan
kalian”. Mereka berkata : “Baik”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berkhuthbah dan bersabda : “Sesungguhnya mereka, orang-
orang Bani Laits mendatangiku menginginkan adanya qishash. Lalu
aku tawarkan kepada mereka demikian dan demikian, dan mereka pun
ridla. Apakah kalian (yaitu : orang-orang Bani Laits) ridla ?”. Mereka
menjawab : “Tidak”. (Mendengar itu), orang-orang Muhajirin berniat
menghajar mereka, namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan mereka untuk menahan diri. Mereka (kaum
Muhaajirin) pun menahan diri. Lalu beliau memanggil mereka (Bani
Laits) dan kemudian beliau menambahkan tebusannya, lalu bersabda :
“Apakah kalian ridla ?”. Mereka menjawab : “Ya”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku akan berkhuthbah
kepada orang-orang untuk mengkhabarkan kepada mereka tentang
keridlaan kalian”. Mereka berkata : “Ya”. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam berkhuthbah dan bersabda : “Apakah kalian ridla ?”. Mereka
menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4534, An-
Nasaa’iy no. 4778, Ibnu Maajah no. 2638, dan yang lainya;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud,
3/98-99].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits tersebut:
‫ وأﻧﻪ ﻻ ﻳﺨﺮج ﻣﻦ اﻹﺳﻼم ﺑﻤﺎ ﻟﻮ ﻓﻌﻠﻪ اﻟﻌﺎﻟﻢ اﻟﺬي ﻗﺎﻣﺖ ﻋﻠﯿﻪ‬،‫ﻓﻲ ھﺬا اﻟﺨﺒﺮ ﻋﺬر اﻟﺠﺎھﻞ‬
‫ وﺗﻜﺬﻳﺒﻪ ﻛﻔﺮ ﻣﺠﺮّد‬،‫اﻟﺤﺠﺔ ﻟﻜﺎن ﻛﺎﻓﺮاً؛ ﻷن ھﺆﻻء اﻟﻠﯿﺜﯿﯿﻦ ﻛﺬﺑﻮا اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻪ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻔﺮوا‬،‫ ﻟﻜﻨﮫﻢ ﺑﺠﮫﻠﮫﻢ وأﻋﺮاﺑﯿﺘﮫﻢ ﻋﺬروا ﺑﺎﻟﺠﮫﺎﻟﺔ‬،‫ﺑﻼ ﺧﻼف‬
“Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang ‘udzur bagi orang yang
jaahil, dan bahwasannya ia tidak keluar dari Islam dengan sesuatu
yang jika hal itu dilakukan oleh seorang ‘aalim yang telah ditegakkan
padanya hujjah niscaya akan menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang-
orang Bani Laits telah mendustakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
padahal mendustakan beliau itu adalah kekufuran tanpa ada
perselisihan. Akan tetapi mereka, dikarenakan kejahilan mereka dan
juga mereka termasuk orang-orang Arab pedalaman, diberikan ‘udzur
karena faktor kejahilan, sehingga tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa,
10/410-411].
Orang-orang Bani Laits adalah orang-orang yang tinggal di pedalaman.
3. Hidup di negeri/tempat yang didominasi oleh kebodohan, jauh dari
ilmu dan ulama.
Kondisi ini juga menyebabkan kejahilan menjadi suatu hal yang susah
untuk dihindari. Sungguh menjadi hal yang sangat menyedihkan, hal
ini banyak terjadi di beberapa negeri Islam yang ditinggali kaum
muslimin dewasa ini. Bahkan, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah pernah bercerita tentang kondisi di jamannya sebagai
berikut:
‫ أو ﻛﺎن ﻳﻌﺒﺪ ﺷﯿﺨﻪ أو‬،‫ أو ﻳﻌﯿﻨﻪ‬،‫ أو ﻳﻐﯿﺜﻪ‬،‫ أو ﻳﻨﺼﺮه أو ﻳﮫﺪﻳﻪ‬،‫ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻳﻌﺘﻘﺪ أن ﺷﯿﺨﻪ ﻳﺮزﻗﻪ‬
‫ أو ﻣﻘﯿﺪا‬،‫ أو ﻛﺎن ﻳﻔﻀﻠﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ ﺗﻔﻀﯿﻼ ﻣﻄﻠﻘﺎ‬،‫ﻳﺪﻋﻮه وﻳﺴﺠﺪ ﻟﻪ‬
‫ أو ﻛﺎن ﻳﺮى أﻧﻪ ھﻮ أو ﺷﯿﺨﻪ ﻣﺴﺘﻐﻦ ﻋﻦ‬،‫ﻓﻲ ﺷﻲء ﻣﻦ اﻟﻔﻀﻞ اﻟﺬي ﻳﻘﺮب إﻟﻰ اﻟﻠّﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬
‫ وﻣﻨﺎﻓﻘﻮن إن ﻟﻢ‬،‫ ﻓﻜﻞ ھﺆﻻء ﻛﻔﺎر إن أظﮫﺮوا ذﻟﻚ‬،‫ﻣﺘﺎﺑﻌﺔ اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ﻳﻈﮫﺮوه‬.
‫ وﻓﺘﻮر آﺛﺎر‬،‫ ﻓﻠﻘﻠﺔ دﻋﺎة اﻟﻌﻠﻢ واﻹﻳﻤﺎن‬،‫ وإن ﻛﺎﻧﻮا ﻗﺪ ﻛﺜﺮوا ﻓﻲ ھﺬا اﻟﺰﻣﺎن‬،‫وھﺆﻻء اﻷﺟﻨﺎس‬
‫ وأﻛﺜﺮ ھﺆﻻء ﻟﯿﺲ ﻋﻨﺪھﻢ ﻣﻦ آﺛﺎر اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ وﻣﯿﺮاث اﻟﻨﺒﻮة ﻣﺎ ﻳﻌﺮﻓﻮن‬،‫اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻓﻲ أﻛﺜﺮ اﻟﺒﻠﺪان‬
‫ ﻳﺜﺎب اﻟﺮﺟﻞ‬:‫ وأﻣﻜﻨﺔ اﻟﻔﺘﺮات‬،‫ وﻓﻲ أوﻗﺎت اﻟﻔﺘﺮات‬.‫ وﻛﺜﯿﺮ ﻣﻨﮫﻢ ﻟﻢ ﻳﺒﻠﻐﮫﻢ ذﻟﻚ‬،‫ﺑﻪ اﻟﮫﺪى‬
‫ وﻳﻐﻔﺮ اﻟﻠّﻪ ﻓﯿﻪ ﻟﻤﻦ ﻟﻢ ﺗﻘﻢ اﻟﺤﺠﺔ ﻋﻠﯿﻪ ﻣﺎ ﻻ ﻳﻐﻔﺮ ﺑﻪ ﻟﻤﻦ‬،‫ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻣﻌﻪ ﻣﻦ اﻹﻳﻤﺎن اﻟﻘﻠﯿﻞ‬
‫ ) ﻳﺄﺗﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎس زﻣﺎن ﻻ ﻳﻌﺮﻓﻮن ﻓﯿﻪ‬:‫ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ اﻟﺤﺪﻳﺚ اﻟﻤﻌﺮوف‬،‫ﻗﺎﻣﺖ اﻟﺤﺠﺔ ﻋﻠﯿﻪ‬
‫ أدرﻛﻨﺎ آﺑﺎءﻧﺎ‬:‫ وﻳﻘﻮﻟﻮن‬.‫ واﻟﻌﺠﻮز اﻟﻜﺒﯿﺮة‬،‫ إﻻ اﻟﺸﯿﺦ اﻟﻜﺒﯿﺮ‬،‫ وﻻ ﻋﻤﺮة‬،‫ وﻻ ﺣﺠًﺎ‬،‫ وﻻ ﺻﯿﺎﻣًﺎ‬،‫ﺻﻼة‬
:‫ ﻣﺎ ﺗﻐﻨﻲ ﻋﻨﮫﻢ ﻻ إﻟﻪ إﻻ اﻟﻠّﻪ؟ ﻓﻘﺎل‬:‫ ﻻ إﻟﻪ إﻻ ﷲ ﻓﻘﯿﻞ ﻟﺤﺬﻳﻔﺔ ﺑﻦ اﻟﯿﻤﺎن‬:‫وھﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮن‬
(‫ ﺗﻨﺠﯿﮫﻢ ﻣﻦ اﻟﻨﺎر‬.
،‫ أن اﻟﻤﻘﺎﻟﺔ اﻟﺘﻲ ھﻲ ﻛﻔﺮ ﺑﺎﻟﻜﺘﺎب واﻟﺴﻨﺔ واﻹﺟﻤﺎع ﻳﻘﺎل ھﻲ ﻛﻔﺮ ﻗﻮﻻ ﻳﻄﻠﻖ‬:‫وأﺻﻞ ذﻟﻚ‬
،‫ﻛﻤﺎ دل ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ اﻟﺪﻻﺋﻞ اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ؛ ﻓﺈن ]اﻹﻳﻤﺎن[ ﻣﻦ اﻷﺣﻜﺎم اﻟﻤﺘﻠﻘﺎة ﻋﻦ اﻟﻠّﻪ ورﺳﻮﻟﻪ‬
‫ وﻻ ﻳﺠﺐ أن ﻳﺤﻜﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﺨﺺ ﻗﺎل‬.‫ﻟﯿﺲ ذﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﻳﺤﻜﻢ ﻓﯿﻪ اﻟﻨﺎس ﺑﻈﻨﻮﻧﮫﻢ وأھﻮاﺋﮫﻢ‬
‫ وﺗﻨﺘﻔﻰ ﻣﻮاﻧﻌﻪ‬،‫ذﻟﻚ ﺑﺄﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﺣﺘﻰ ﻳﺜﺒﺖ ﻓﻲ ﺣﻘﻪ ﺷﺮوط اﻟﺘﻜﻔﯿﺮ‬
“Semisal orang yang berkeyakinan syaikhnya yang memberikan rizki
kepadanya, menolongnya, memberikan hidayah kepadanya,
membantunya atau menolongnya; atau orang yang menyembah
kepada syaikhnya, berdoa kepadanya, atau sujud kepadanya; atau
orang yang lebih mengutamakannya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam secara mutlak atau muqayyad (terbatas) pada suatu
keutamaan yang dapat mendekatkan kepada Allah ta’ala; atau orang
yang berpandangan bahwa ia atau syaikhnya adalah orang yang tidak
lagi dibebani kewajiban untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam; maka mereka semua adalah kafir jika menampakkannya,
dan munafik jika tidak menampakkannya.
Semua jenis orang tersebut ada banyak di jaman ini, yang
disebabkan oleh sedikitnya pendakwah yang menyerukan ilmu dan
keimanan dan kelemahan ilmu agama/risaalah di kebanyakan negeri.
Dan kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai ilmu agama/risalah
dan warisan kenabian sehingga dapat mengetahui petunjuk. Dan
bahkan banyak di antara mereka yang tidak sampai (kepada mereka)
ilmu agama/risalah dimaksud. Pada waktu dan tempat fatrah
(kekosongan penyampaian risalah), seseorang diberikan pahala atas
sedikitnya iman yang ia miliki. Dan Allah mengampuni orang yang
belum tegak padanya hujjah, sebagaimana Ia tidak mengampuni orang
yang telah tegak padanya hujjah. Terdapat dalam hadits yang
ma’ruuf : ‘Akan tiba satu jaman yang tidak diketahui padanya shalat,
puasa, haji, dan ‘umar, kecuali ada seorang laki-laki tua dan wanita
lemah yang mengatakan : ‘Kami dapati ayah-ayah kami mengatakan :
‘Laa ilaha illallaah’. Dikatakan kepada Hudzaifah bin Al-Yamaan :
‘Apakah kalimat Laa ilaha illallaah mencukupi bagi mereka ?’. Ia
menjawab : ‘Kalimat itu dapat menyelamatkan mereka dari neraka’.[1]
Pokok pembicaraan hal itu adalah : Bahwasannya perkataan yang
mengkonsekuensikan kekufuran berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah,
dan ijmaa’; maka dikatakan bahwa perkataan itu kufur secara mutlak,
sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah. Sesungguhnya
iman merupakan hukum-hukum yang bersumber dari Allah dan Rasul-
Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan berdasarkan hukum yang
berasal dari prasangka dan hawa nafsu manusia. Tidaklah
mengkonsekuensikan kekafiran bagi setiap orang yang mengatakan
perkataan kekafiran, hingga terpenuhi baginya syarat-syarat
pengkafiran dan tidak adanya faktor penghalangnya” [Majmuu’ Al-
Fataawaa, 35/164-165].
Itulah kondisi masyarakat di jaman beliau rahimahullah hidup. Jaman
dimana murid-murid beliau juga hidup, seperti Ibnu Katsiir, Adz-
Dzahabiy, Al-Mizziy, dan yang lainnya rahimahumullah.
Beliau rahimahullah juga berkata:
،‫ أو ﻧﺎﺷﺌًﺎ ﺑﺒﻠﺪ ﺟﮫﻞ‬،‫ وﻛﺎن ﺣﺪﻳﺚ اﻟﻌﮫﺪ ﺑﺎﻹﺳﻼم‬،‫ﻓﺈن ﻣﻦ ﺟﺤﺪ ﺷﯿﺌًﺎ ﻣﻦ اﻟﺸﺮاﺋﻊ اﻟﻈﺎھﺮة‬
‫ﻻ ﻳﻜﻔﺮ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﻠﻐﻪ اﻟﺤﺠﺔ اﻟﻨﺒﻮﻳﺔ‬
“Dan barangsiapa yang mengingkari sesuatu dari syari’at-syari’at yang
dhaahir sedangkan ia baru saja masuk Islam atau hidup di negeri
kebodohan, maka ia tidak dikafirkan hingga sampai kepadanya hujjah
nabawiyyah” [idem, 6/61].
‫ﻓﺈﻧﺎ ﺑﻌﺪ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﻣﺎ ﺟﺎء ﺑﻪ اﻟﺮﺳﻮل ﻧﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻀﺮورة اﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺸﺮع ﻷﻣﺘﻪ أن ﺗﺪﻋﻮ أﺣﺪا ﻣﻦ‬
‫اﻷﻣﻮات ﻻ اﻷﻧﺒﯿﺎء وﻻ اﻟﺼﺎﻟﺤﯿﻦ وﻻ ﻏﯿﺮھﻢ ﻻ ﺑﻠﻔﻆ اﻻﺳﺘﻐﺎﺛﺔ وﻻ ﻳﻐﯿﺮھﺎ وﻻ ﺑﻠﻔﻆ اﻻﺳﺘﻌﺎذة‬
‫وﻻ ﻳﻐﯿﺮھﺎ ﻛﻤﺎ أﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺸﺮع ﻷﻣﺘﻪ اﻟﺴﺠﻮد ﻟﻤﯿﺖ وﻻ ﻟﻐﯿﺮ ﻣﯿﺖ وﻧﺤﻮ ذﻟﻚ ﺑﻞ ﻧﻌﻠﻢ أﻧﻪ ﻧﮫﻰ‬
‫ﻋﻦ ﻛﻞ ھﺬه اﻷﻣﻮر وأن ذﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﺸﺮك اﻟﺬي ﺣﺮﻣﻪ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ورﺳﻮﻟﻪ ﻟﻜﻦ ﻟﻐﻠﺒﺔ اﻟﺠﮫﻞ‬
‫وﻗﻠﺔ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺂﺛﺎر اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻓﻲ ﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ اﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺗﻜﻔﯿﺮھﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﺒﯿﻦ ﻟﮫﻢ ﻣﺎ‬
‫ﺟﺎء ﺑﻪ اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﻪ و ﺳﻠﻢ ﻣﻤﺎ ﻳﺨﺎﻟﻔﻪ‬
“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kita mengetahui dengan pasti bahwa
tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk berdoa kepada orang mati,
baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh
istighatsah, isti’adzah, atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak
disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain
mayit, dan yang lainnya. Bahkan kita mengetahui beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam melarang semua perkara itu, karena termasuk
kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi
karena meratanya kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar-atsar
risalah pada kebanyakan orang-orang yang hidup di masa belakangan
(muta’akhkhiriin), maka kita tidak langsung mengkafirkan mereka
karena perkara tersebut, hingga jelas bagi mereka syari’at yang
dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi
perbuatan mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-Bakriy, 2/731].
4. Hidup di Daarul-Harb (negeri kafir yang punya hak untuk
diperangi) dengan alasan-alasan yang diterima oleh syari’at.
Seorang muslim yang hidup di Daarul-Harb diberikan ‘udzur dalam
kejahilannya dalam masalah agama dimana ia tidak mengetahui
kewajiban dan larangan yang berlaku padanya. Hal itu dikarenakan
hukum-hukum syari’at tidak tersebar di wilayah tersebut, dan untuk
mengetahui hukum-hukum Islam dalam kondisi tersebut menjadi
sesuatu yang sulit. Dalam kitab Ghamzu ‘Uyuunil-Bashaair (3/300)
disebutkan:
.‫ أي اﻟﺠﮫﻞ ﺑﺎﻟﺸﺮاﺋﻊ ﻣﻦ ﻣﺴﻠﻢ أﺳﻠﻢ ﻓﯩﯿﮫﺎ‬،‫اﻟﺠﮫﻞ ﻓﻲ دار اﻟﺤﺮب ﻣﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﮫﺎﺟﺮ‬
‫ ﻻ‬،‫وأﻧﻪ ﻳﻜﻮن ﻋﺬراً ﺣﺘﻰ ﻟﻮ ﻣﻜﺚ ﻓﯿﮫﺎ وﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ أن ﻋﻠﯿﻪ اﻟﺼﻼة واﻟﺰﻛﺎة وﻏﯿﺮھﻤﺎ وﻟﻢ ﻳﺆدھﻤﺎ‬
‫ ﻟﺨﻔﺎء اﻟﺪﻟﯿﻞ ﻓﻲ ﺣﻘّﻪ وھﻮ اﻟﺨﻄﺎب؛ ﻟﻌﺪم ﺑﻠﻮﻏﻪ ﺣﻘﯿﻘﺔ ﺑﺎﻟﺴﻤﺎع‬.....‫ﻳﻠﺰم ﻋﻠﯿﻪ ﻗﻀﺎؤھﻤﺎ‬
‫ ﺑﺨﻼف اﻟﺬﻣّﻲ إذا أﺳﻠﻢ ﻓﻲ دار اﻹﺳﻼم؛ ﻟﺸﯿﻮع‬،ً‫ ﻓﯿﺼﯿﺮ ﺟﮫﻠﻪ ﻋﺬرا‬،‫وﺗﻘﺪﻳﺮاً ﺑﺎﻟﺸﮫﺮة‬
‫اﻷﺣﻜﺎم واﻟﺘﻤﻜّﻦ ﻣﻦ اﻟﺴﺆال‬
“Kejahilan seorang muslim di Daarul-Harb yang tidak berhijrah - yaitu
kejahilan seorang muslim yang masuk Islam di negeri tersebut
terhadap hukum-hukum syari’at - , maka kejahilannya itu diberikan
‘udzur hingga seandainya ia tinggal padanya dalam keadaan tidak
mengetahui adanya kewajiban shalat, zakat, dan yang lainnya, dan ia
tidak menunaikannya. Tidak wajib baginya untuk mengqadla’-nya…..
Hal itu dikarenakan tersembunyinya dalil yang memerintahkannya,
yaitu khithaab; karena ketiadaan orang yang menyampaikannya dan
dalil yang telah tersiar. Maka, kejahilannya itu menjadi ‘udzur.
Berbeda halnya dengan kafir dzimmiy apabila ia masuk Islam di negeri
Islam, (maka tidak ada ‘udzur baginya) karena telah tersebarnya
hukum-hukum Islam dan sangat mungkin baginya untuk bertanya
(pada orang yang ilmu)” [selesai].
5. Hidup di negeri/tempat yang banyak tersebar bid’ah yang
menyebabkannya tidak mampu untuk mengetahui agama yang shahih
sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Orang tersebut tidak mendapatkan ulama selain ulama yang berbuat
bid’ah dan penyimpangan yang ia tidak mengetahui agama kecuali dari
mereka itu. Dalam kondisi ini, orang tersebut seperti muqallid yang
memiliki sedikit ilmu dan orang awam yang buta huruf. Para ulama
menyamakan jenis orang yang jahil ini dengan ahlul-fatrah, karena
ketiadaan penyampaian dakwah yang benar dan pengetahuan agama
yanghakiki kepada mereka [Haqiiqatul-Bid’ah wa Ahkaamuhaa oleh
Sa’iid bin Naashir Al-Ghaamidiy, 2/231].
6. Kejahilan yang menjadi ‘udzur bagi orang awam pada hukum-
hukum tertentu yang hanya diketahui oleh ulama.
Al-Qaadliy Husain rahimahullah dari kalangan Syaafi’iiyah
membenarkan bahwa setiap masalah yang detail lagi samar/
tersembunyi untuk diketahui dapat menjadi ‘udzur bagi orang awam
[Raf’ul-Haraj fisy-Syarii’atil-Islaamiyyah oleh Shaalih bin Humaid, hal.
237. Lihat pula Al-Asybah wan-Nadhaair oleh As-Suyuuthiy, hal. 210].
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
،‫ﻣﺎ ﻳﻨﻮب اﻟﻌﺒﺎد ﻣﻦ ﻓﺮوع اﻟﻔﺮاﺋﺾ وﻣﺎ ﻳﺨﺺ ﺑﻪ ﻣﻦ اﻷﺣﻜﺎم وﻏﯿﺮھﺎ ﻣﻤﺎ ﻟﯿﺲ ﻓﯿﻪ ﻧﺺ ﻛﺘﺎب‬
‫ ﻓﺈﻧﻤﺎ ھﻲ ﻣﻦ أﺧﺒﺎر اﻟﺨﺎﺻﺔ ﻻ‬،‫ وإن ﻛﺎﻧﺖ ﻓﻲ ﺷﻲء ﻣﻨﻪ ﺳﻨﺔ‬.‫وﻻ ﻓﻲ أﻛﺜﺮه ﻧﺺ ﺳﻨﺔ‬
‫ ھﺬه درﺟﺔ ﻣﻦ اﻟﻌﻠﻢ ﻟﯿﺲ ﺗﺒﻠﻐﮫﺎ‬،ً‫ وﻣﺎ ﻛﺎن ﻣﻨﻪ ﻳﺤﺘﻤﻞ اﻟﺘﺄوﻳﻞ وﻳﺴﺘﺪرك ﻗﯿﺎﺳﺎ‬،‫أﺧﺒﺎر اﻟﻌﺎﻣﺔ‬
‫اﻟﻌﺎﻣﺔ‬
“Hamba-hamba Allah tidak diperintahkan melaksanakan cabang-
cabang kewajiban, hukum-hukum syari’at yang bersifat khusus, dan
perkara lainnya yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Apabila terdapat suatu sunnah dalam perkara-perkara
tersebut, maka hal itu termasuk khabar khusus, bukan khabar umum.
Begitu juga masalah-masalah yang memerlukan penta’wilan dan
diketahui melalui qiyas, maka ini merupakan derajat ilmu yang tidak
diketahui oleh orang awam” [Ar-Risaalah, hal. 359-360].
Perkara-perkara yang samar/tersembunyi (khafiy), bukan dhaahir,
yang tidak diketahui kecuali melalui jalan yang khusus dari kalangan
ulama, maka orang yang mengingkarinya dari kalangan awam tidak
dikafirkan, akan tetapi apabila yang mengingkarinya dari kalangan
khusus (ulama), dapat dikafirkan [Al-‘Awaashim minal-Qawaashim
oleh Ibnul-Waziir, 4/174].
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya sebagai pemahaman dasar
dalam memahami ‘udzur kejahilan.
Wallahu a’lam.
Bahan bacaan:
1. Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu (tesis) oleh ‘Abdurrazzaaq
bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy.
2. Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah wa Dlwaabithut-Takfiir ‘indas-
Salaf oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy.
[abul-jauzaa’ – senayan, Jakarta – 19122014].

[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049; dishahihkan Dr. Basysyaar
‘Awwaad Ma’ruuf dalam tahqiiq dan takhriij-nya terhadap Sunan Ibni Maajah
5/510-511.
Perhatikan pendalilan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan hadits Hudzaifah
bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu tentang kondisi di akhir jaman. Ini sekaligus
‘mengajari’ sebagian orang yang beku dalam beristinbath yang menyatakan
dalil tersebut khusus berlaku di akhir jaman dan tidak cocok diterapkan untuk
kondisi sekarang. Itulah bedanya Syaikhul-Islaam rahimahullah dengan
mereka. Yang dijadikan ibrah adalah keadaan sedikitnya ilmu dan ulama
sehingga kebodohan merajalela.

Anda mungkin juga menyukai