Anda di halaman 1dari 6

.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi


wasallam  bersabda, "Semua umatku masuk syurga, melainkan orang yang enggan." Beliau
ditanya, 'Siapakah orang yang enggan, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, "Barang siapa
yang taat kepadaku, maka ia masuk syurga dan barang siapa yang durhaka kepadaku, maka
sungguh dialah orang yang enggan."
(HR. Bukhari).
[Shahih: Al-Bukhari (7280)].

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku,


niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim
(pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak
mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang
berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan
agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan,
perbuatan dan keadaannya

Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh
manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang
mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“[9]. [9] HR Ibnu Majah
(no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat
lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih
sunan Ibnu Majah” (no. 173).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Wahai, anakku! Jika kamu mampu
pada pagi sampai sore hari di hatimu tidak ada sifat khianat pada seorangpun, maka perbuatlah,”
kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku lagi: “Wahai, anakku! Itu
termasuk sunnahku. Dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah mencintaiku.
Dan barangsiapa yang telah mencintaiku, maka aku bersamanya di Surga“.[2] 2]. HR at
Tirmidzi, kitab al Ilmu, Bab Ma Jaa fil Akhdzi bi Sunnah Wajtinaab al Bida’, no. 2678.
Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu anhu, Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassalam bersabda,“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku,
kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-
orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun,” (HR Ibnu
Majah: 209).
7. Mengamalkan Dan Mendakwahkan Sunnah Nabi Merupakan Amalan Yang Besar. Pelakunya
akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya. Ini ditunjukkan oleh
banyak hadits shahîh, antara lain: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم ْن َدعَا ِإلَى هُدًى َكانَ لَهُ ِم ْن‬ َ ِ ‫ع َْن َأبِي هُ َري َْرةَ َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬
ُ‫ضاَل لَ ٍة َكانَ َعلَ ْي ِه ِم ْن اِإْل ْث ِم ِم ْث ُل آثَ ِام َم ْن تَبِ َعهُ اَل يَ ْنقُص‬ ‫ُأ‬ ‫ُأ‬
َ ‫ُور ِه ْم َش ْيًئا َو َم ْن َدعَا ِإلَى‬
ِ ‫ك ِم ْن ج‬ ِ ‫اَأْلجْ ِر ِم ْث ُل ج‬
َ ِ‫ُور َم ْن تَبِ َعهُ اَل يَ ْنقُصُ َذل‬
‫ك ِم ْن آثَا ِم ِه ْم َش ْيًئا‬
َ ِ‫ َذل‬Dari Abu Hurairah bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Barangsiapa mengajak menuju petunjuk, (maka) ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-
orang yang mengikutinya, itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa
mengajak menuju kesesatan, (maka) ia menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang
mengikutinya, itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. [HR Muslim, no. 2674]
2. Menunjukkan Bukti Kecintaan Kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Seseorang tidak menjadi orang beriman yang sempurna hingga ia mencintai Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
َ‫اَل يُْؤ ِمنُ َأ َح ُد ُك ْم َحتَّى َأ ُكون‬
َ‫اس َأجْ َم ِعين‬
ِ َّ‫ َأ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬Tidaklah beriman –dengan keimanan yang sempurna- salah
seorang dari kamu sehingga aku menjadi yang paling ia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan
seluruh manusia. [HR Bukhâri, no. 15; Muslim, no. 44, dari Anas bin Malik].
ahwasanya Hidayah (Petunjuk) Agar Terhindar Dari Kesesatan Hanya Dengan Mengikuti
Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Allâh Ta’ala berfirman: َ‫قُلْ َأ ِطيعُوا هللا‬
ُ‫غ ْال ُمبِين‬
ُ َ‫ُول ِإالَّ ْالبَال‬
ِ ‫َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل فَِإن تَ َولَّوْ ا فَِإنَّ َما َعلَ ْي ِه َما ُح ِّم َل َو َعلَ ْي ُكم َّما ُح ِّم ْلتُ ْم َوِإن تُ ِطيعُوهُ تَ ْهتَدُوا• َو َما َعلَى ال َّرس‬
Katakanlah: “Ta’atlah kepada Allâh dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka
sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu
adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk. Dan tiada lain kewajiban Rasul hanya menyampaikan (amanat Allâh) dengan terang”.
[an-Nuur/24:54].
4. Menjaga Keselamatan Dari Perselisihan Dan Perpecahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah berwasiat untuk berpegang dengan Sunnahnya dan Sunnah Khulafaur- Rasyidin sebagai
solusi jika terjadi perselisihan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِ ‫وصي ُك ْم بِتَ ْق َوى هَّللا‬ ِ ‫ُأ‬
َ‫َّاش ِدين‬ •َ ‫ت َو ُسنَّ ِة ْال ُخلَفَا ِء ْال َم ْه ِدي‬
ِ ‫ِّين الر‬ ْ ‫َوال َّس ْم ِع َوالطَّا َع ِة َوِإ ْن َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا فَِإنَّهُ َم ْن يَ ِعشْ ِم ْن ُك ْم بَ ْع ِدي فَ َسيَ َرى‬
ِ َّ‫اختِاَل فًا َكثِيرًا فَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسن‬
ٌ‫ضاَل لَة‬َ ‫ور فَِإ َّن ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعةٌ َو ُك َّل بِ ْد َع ٍة‬ ‫ُأْل‬ ِ ‫ تَ َم َّس ُكوا بِهَا َوعَضُّ وا َعلَ ْيهَا بِالنَّ َوا ِج ِذ َوِإيَّا ُك ْم َو ُمحْ َدثَا‬Aku wasiatkan
ِ ‫ت ا ُم‬
kepada kamu untuk bertakwa kepada Allâh; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum
Muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barangsiapa hidup
setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak; maka wajib kamu berpegang kepada
Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan
giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua
perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. [HR Abu
Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah].
5. Terselamatkan kan dari sikap ghuluw dan taqshir
Seseorang tidak akan selamat dari sikap ghuluw (melewati batas) dan taqshir (meremehkan) ini
kecuali dengan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antara bahaya ghuluw
(melewati batas) dalam beragama, seperti ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dari hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu: « ‫ت‬ ْ َ‫ِإ َّن َأ ْخ َوفَ َما َأخَافُ َعلَ ْي ُك ْم َر ُج ٌل قَ َرَأ ْالقُرْ آنَ َحتَّى ِإ َذا ُرِئي‬
ُ ‫ قُ ْل‬:‫ال‬
َّ ِ‫ يَا نَب‬:‫ت‬
‫ي‬ َ َ‫ ق‬،»‫ك‬ِ ْ‫ َو َر َماهُ بِال ِّشر‬،‫ْف‬ ِ ‫ َو َس َعى َعلَى َج‬،‫ ا ْن َسلَ َخ ِم ْنهُ َونَبَ َذهُ َو َرا َء ظَه ِْر ِه‬،‫ َو َكانَ ِردًْئا لِِإْل ْساَل ِم‬،‫بَ ْه َجتُهُ َعلَ ْي ِه‬
ِ ‫ار ِه بِال َّسي‬
‫ «بَ ِل الرَّا ِمي‬:‫ال‬ َ َ‫ ْال َمرْ ِم ُّي َأ ِم الرَّا ِمي؟ ق‬،‫ك‬ِ ْ‫ َأيُّهُ َما َأوْ لَى بِال ِّشر‬،ِ ‫“ »هَّللا‬Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan
atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah
nampak kebagusannya terhadap al-Qur’ân dan ia menjadi pembela Islam, ia terlepas dari al-
Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang
dan menuduhnya dengan kemusyrikan”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai Nabi Allâh, siapa
yang lebih pantas dengan kemusyrikan, penuduh atau orang yang dituduh?” Beliau menjawab,
“Penuduhnya.” [HR Bukhâri dalam at-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, dan al-Bazzar. Lihat ash-
Shahîhah, no. 3201, karya al-Albani].
10. Menjadi Faktor Yang Memasukkan Ke Dalam Surga. Mentaati Rasul merupakan jalan ke
surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‫ُكلُّ ُأ َّمتِي يَ ْد ُخلُونَ ْال َجنَّةَ ِإاَّل َم ْن َأبَى قَالُوا يَا َرسُو َل هَّللا ِ َو َم ْن‬
َ ‫“ يَْأبَى قَا َل َم ْن َأطَا َعنِي َد َخ َل ْال َجنَّةَ َو َم ْن ع‬Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang
‫َصانِي فَقَ ْد َأبَى‬
enggan!” Para sahabat bertanya: “Wahai, Rasûlullâh! Siapakah yang enggan?” Beliau menjawab:
“Siapa saja mentaatiku, ia masuk surga, dan siapa saja bermaksiat kepadaku, maka ia benar-
benar enggan (masuk surga)”. [HR Bukhari, no. 7280, dari Abu Hurairah].
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW telah mengisyaratkan bahwa ilmu yang diwariskan oleh
para nabi kepada para pengikutnya akan diambil oleh mereka dengan kadar yang berbeda-beda.
Maka nabi pun memerintahkan untuk mengambil sebanyak-banyaknya dan jangan merasa cukup
dengan yang telah dimiliki. Rasulullah SAW bersabda:
‫وإن العلماء ورثة األنبياء وإن األنبياء لم يورثوا دينارا وال درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر‬
“Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidak
mewarisi dinar atau pun dirham namun mereka mewarisi ilmu, maka barangsiapa yang
mengambilnya, ia telah mengambil dengan kadar yang banyak.” (HR. Ahmad, Abu Daud,
Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dan Al Baihaqi dari Abu Ad Darda’).
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri dalam kitab syarh Sunan Tirmizinya, Tufah Al Ahwazi bi
Syarhi Sunan At Tirmizi berkata, “Boleh saja maksud dari 'mengambil' dalam hadit ini adalah
perintah yakni maka berangsiapa yang ingin mengambilnya (ilmu) maka ambillah dengan kadar
yang banyak dan jangan merasa cukup dengan yang sedikit. (Tufah Al Ahwazi bi Syarhi Sunan
At Tirmizi7/377).
Ulama menyimpulkan bahwa terdapat tingkatan-tingkatan keilmuan di antara fuqaha. Di antara
ulama yang telah menyimpulkan tingkatan tersebut adalah Ibnu Ash Shalah. Bahkan tingkatan
fuqaha yang diurai oleh Ibnu Ash Shalah dalam kitabnya Adab Al Mufti wa Al Mustafti banyak
diikuti oleh ulama lainnya.
Berikut 5 tingkatan fuqaha menurut imam Ibnu Ash Shalah (Adab Al Mufti wa Al Mustafti 87):
Tingkatan Pertama:
Tingkatan fuqaha yang mustaqil (tidak terikat) dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat dari
dalil-dalilnya yang terperinci tanpa bersandar atau taqlid kepada siapapun dalam masalah-
masalah ushul ataupun furu’. Fuqaha dalam tingkatan inilah yang menetapkan dasar-dasar dan
kaedah-kaedah mazhab, apakah dengan cara langsung (nash) atau disimpulkan oleh pengikut-
pengikutnya dari masalah-masalah furu’ yang mereka sampaikan.
Untuk tingkatan ini, ulama menisbatkan beberapa nama bagi mereka seperti; ‘Al Mujtahid
AlMuthlaq’, ‘Al Mujtahid fi Asy Syar’i’, ‘Al Mujtahid Al Mustaqil’,‘ Al Mufti Al Muthlaq’, dan
‘Al Mufti Al Mustaqil’.
Sedangkan ulama-ulama yang menempati tingkatan ini di antaranya; Fuqaha dari kalangan
Shahabat (exp: Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dll ridhwanullahu’alaihim) dan Tabi’in
(exp: ‘Atha’ bin Abi Rabbah, Ibrahim An Nakha’i, Said bin Musayyib dll), 4 imam mazhab (Abu
Hanifah Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal), dan imam-imam lainnya yang semasa dengan mereka atau yang datang
setelah mereka (exp: Al Awza’i, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir Ath
Thabari, dll). Rahimahumullah lil jami’.
Tingkatan Kedua
Para fuqaha yang menyimpulkan hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Namun secara umum mereka secara konsisten masih berpegang pada dasar-dasar mazhab salah
satu imam dari imam-imam mujtahid (mutlaq). Meskipun dalam beberapa masalah furu’ atau
rincian dalil kadangkala mereka berbeda dengan imam mujtahidnya.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘Al Mujtahid Al Muntasib’,
‘Al Mufti Al Muntasib’, ‘Al Mujtahid fi Al Mazhab’, 'Mujtahid Al Mazhab’, dan ‘Al Mujtahid
Al Muqayyad’.
Para ulama yang berada pada tingkatan ini seperti; Abu Yusuf, Muhammad bin Al Hasan Asy
Syaibani, dan Zufar bin Al Huzail dari kalangan Al Hanafiyyah. Ibnu Al Qasim, Ibnu Abd Al
Hakam, Ibnu Wahb dan Asyhab dari kalangan Al Malikiyyah. Az Za’farani, Al Muzani, Ibnu Al
Mundzir, Ibnu Juraiz, Muhammad bin Nashr Al Marwazi dan Ibnu Khuzaimah dari kalangan
Asy Syafi’iyyah. Shalih bin Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar Al Khallal, Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Qayyim, Al Qadhi Abu Ya’la, Ibnu Hamid, dan Al Qadhi Abu Ali bin Abi Musa dari kalangan
Al Hanabilah. Rahimahumullah lil jami’.
Tingkatan Ketiga
Para fuqaha yang menyimpulkan hukum-hukum syariat yang bersifat amali dari dalil-dalilnya
yang terperinci namun tidak ditemukan secara nash dari imam-imam mujtahid sembari secara
konsisten tetap mendasarkan kesimpulan hukumnya kepada dasar-dasar yang telah ditetapkan
imam-imam mazhab.
Selain itu merekapun melakukan ilhaq (menetapkan hukum sesuai dengan hukum yang telah ada
nashnya) atas sebuah masalah yang belum ada nashnya kepada masalah yang telah ada nashnya
dari imam-imam mujtahid. Para ulama menyebut aktifitas ini dengan sebutan ‘At Takhrij ‘Ala
Nash Al Imam’, atau ‘Takhrij Al Furu’ ‘Ala Al Furu’’.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘Al Mukharrijun’ atau
‘Mukharrij Al Mazhab’.
Sedangkan kesamaan antara fuqaha tingkatan ini dengan fuqaha tingkatan sebelumnya hanya
dari sisi pengambilan dasar-dasar (ushul) mazhab imam mujtahid.
Dan keduanya berbeda dari sisi hasil ijtihad imam sebelumnya. Di mana ulama dari kalangan
mujtahid muntasib berijtihad dalam masalah-masalah yang diperbincangkan imam mujtahid
mutlaq bahkan dalam beberapa masalah, kesimpulan hukum yang mereka ambil dapat berbeda
dengan imam mujtahid mutlak demikian pula dari sisi pengambilan dalil.
Sedangkan fuqaha tingkatan ketiga berijtihad atas permasalahan yang belum terdapat pendapat
imam mujtahid di dalamnya. Sedangkan dalam permasalahan yang telah ada pendapatnya dari
imam mujtahid maka mereka mencukupkan diri atas pendapat imam.
Para ulama yang berada pada tingkatan ini seperti; Ahmad bin ‘Amr Al Khassaf, Abu Ja’far At
Thahawy, Abu Al Hasan Al Karkhy, Syams Al A’immah Al Hulwani, As Sarkhasi, Fakhr Al
Islam Al Bazdawi, Fakruddin Qadhi Khan, dan Al Hasan bin Ziyad dari kalangan Al
Hanafiyyah. Muhammad bin Abdillah Al Abhari, Ibnu Abi Zaid, dan Ibnu Abi Zamanain
Muhammad bin Abdullah, dari kalangan Al Malikiyyah. Al Marwazi, Abu Hamid Al Isfirayaini,
dan Abu Ishak Asy Syairazi dari kalangan Asy Syafi’iyyah, Ibnu Al Qadhi Abu Ya’la Asy
Syahid Abu Al Hasan, dan Abu Ya’la Ash Shaghir dari kalangan Al Hanabilah.
Rahimahumullah lil jami’.
Tingkatan Keempat
Para fuqaha yang melakukan usaha tarjih (menguatkan pendapat) imammazhab atas pendapat
lain. Atau mentarjih salah satu pendapat dari beragampendapat, riwayat, dan takhrij dalam satu
mazhab. Berdasarkan dasar-dasar yangtelah ditentukan oleh imam mujtahid. Namun mereka
tidak melakukan usahaistinbat hukum (furu’) yang tidak terdapat nashnya secara langsung dari
imammujtahid.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘MujtahidAt Tarjih’,
‘Mujtahid Al Futya’ atau ‘Mujtahid At Tanqih’.
Adapun para ulama yang berada pada tingkatan ini antara lain; Ahmad binMuhammad Abu Al
Husain Al Qaduri, Al Kasani, dan Al Marghinani dari kalangan AlHanafiyyah. Muhammad bin
Ali Al Marizi, Ibnu Rusyd, Al Lakhmi, Ibnu Al ‘Araby,Al Qarafi, dan Asy Syatibi dari kalangan
Al Malikiyyah. Abu Hamid Al Ghazali,dan An Nawawy dari kalangan Asy Syafi’iyyah. Ibnu
Qudamah dari kalangan AlHanabilah. Rahimahumullah lil jami’.
Tingkatan kelima
Para fuqaha yang hanya melakukan usaha hifz al mazhab/menghafal pendapat mazhab,
menyampaikan, dan memberikan penjelasan pendapat mazhab tersebut dalam kitab-kitab ‘al
wadhihat’ dan ‘al musykilat’. Sedangkan pada diri mereka terdapat ketidak mampuan dalam
menetapkan dalil atau melakukan qiyas (analogi) atas dalil tersebut. Sebagaimana mereka tidak
mampu melakukan tarjih di antara beragam pendapat dan riwayat dalam sebuah mazhab atau
antar mazhab.
Para ulama menyebut para fuqaha pada tingkatan ini dengan sebutan ‘Al Muqallidun’.
Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari kelima tingkatan fuqaha di atas, jika disebutkan
kata ‘Al Mujtahidun’ maka masuk di dalamnya empat tingkatan pertama. Sedangkan jika
disebutkan kata ‘Al Muqallidun’ maka ini merupakan tingkatan yang kelima.
Hanya saja yang membedakan empat tingkatan mujtahid di atas adalah dari sisi usaha ijtihad
yang dilakukan.
Fuqaha tingkatan pertama adalah orang-orangyang berijtihad langsung tanpa terikat dengan
dasar-dasar apapun dari ulama lainnya (langsung membaca dalil).
Fuqaha tingkatan kedua, mereka berijtihad dalam masalah furu’ secara mutlak namun secara
umum mereka terikat dengan ijtihad-ijtihad fuqaha tingkatan pertama dalam masalah ushul
(dasar-dasar).
Fuqaha tingkatan ketiga, meraka berijtihad di satu sisi tapi di sisi lain mereka melakukan taqlid;
ijtihad mereka terkait dengan masalah furu’ yang belum ada nashnya secara langsung dari imam
sedangkan masalah yang telah ada nash imam maka mereka menerima secara langsung.
Fuqaha tingkatan keempat, pada dasarnya mereka adalah muqallid, hanya saja mereka
melakukan ijtihad yang terikat dengan pendapat mazhab dari sisi tarjih antara beragam pendapat
dalam mazhab.
Dikutip dari kitab: Takhrij Al Furu’ ‘ala Al Ushul: DirasiahTarikhiyyah Manhajiyyah
Tathbiqiyyah, karya: Utsman bin Muhammad Al Akhdhar Syausyan, h. 383-395.
َ ‫اختَلَفَ الَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِكت‬
Q.S. Ali Imran [3]: 19‫َاب ِإاَّل ِمن بَ ْع ِد َما َجا َءهُ ُم ْال ِع ْل ُم بَ ْغيًا بَ ْينَهُ ْم ۗ َو َمن‬ ْ ‫ِإ َّن ال ِّدينَ ِعن َد هَّللا ِ اِإْل ْساَل ُم ۗ َو َما‬
‫ب‬ ْ ‫هَّللا‬ َّ
ِ ‫ت ِ فِإن َ َس ِري ُع ال ِح َسا‬ َ ‫هَّللا‬ ُ ْ
ِ ‫يَكفرْ بِآيَا‬
Artinya: “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang
telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka.
Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-
Nya.”
Q.S. Ali Imran [3]: 103
‫ص ُموا بِ َح ْب ِل هَّللا ِ َج ِميعًا َواَل تَفَ َّرقُوا ۚ َو ْاذ ُكرُوا نِ ْع َمتَ هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم ِإ ْذ ُكنتُ ْم َأ ْعدَا ًء فََألَّفَ بَ ْينَ قُلُوبِ ُك ْم فََأصْ بَحْ تُم بِنِ ْع َمتِ ِه ِإ ْخ َوانًا َو ُكنتُ ْم‬
ِ َ‫َوا ْعت‬
ُ َّ َ ُ َ ‫هَّللا‬ َ ٰ ْ ُ َ
َ ِ‫ار فَ نقَذكم ِّمنهَا ۗ َكذل‬ ‫َأ‬ َّ ْ َ
َ‫ك يُبَيِّنُ ُ لك ْم آيَاتِ ِه ل َعلك ْم تَ ْهتَ ُدون‬ ِ ‫ َعل ٰى َشفَا ُحف َر ٍة ِّمنَ الن‬.
rtinya: “Dan berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu
menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar
kamu mendapat petunjuk.”
Q.S. Ali Imran [3]: 105
ِ ‫َات ۚ َوُأو ٰلَِئكَ لَهُ ْم َع َذابٌ ع‬
‫َظي ٌم‬ ُ ‫اختَلَفُوا ِمن بَ ْع ِ•د َما َجا َءهُ ُم ْالبَيِّن‬
ْ ‫ َواَل تَ ُكونُوا َكالَّ ِذينَ تَفَ َّرقُوا َو‬.

Artinya: “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih
setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang
mendapat azab yang berat,”
Q.S. Al-Anfal [8]: 73

Anda mungkin juga menyukai