Anda di halaman 1dari 11

‫‪Amalan‬‬ ‫‪Aqidah‬‬

‫‪Hadits Arbain #38: Menjadi Wali‬‬


‫‪Allah dengan Amalan Wajib dan‬‬
‫‪Sunnah‬‬
‫‪ Muhammad Abduh Tuasikal, MSc  ‬‬ ‫‪• June 22, 2020‬‬ ‫‪ 0  16,129‬‬

‫‪ 9 minutes read‬‬

‫‪Menjadi wali Allah ternyata bisa dengan amalan wajib maupun amalan‬‬
‫‪sunnah. Begini penjelasannya dalam hadits Arbain #38.‬‬

‫‪Daftar Isi‬‬ ‫] ‪[ buka‬‬

‫‪Hadits Arbain #38‬‬


‫َع ْن َأِبي ُه َر ْيَرَة َرِض َي ُهللا َع ْن ُه ‪َ ،‬ق اَل ‪َ :‬ق اَل َرُس وُل ِهللا ﷺ ‪ِ« :‬إَّن َهللا َت َع اَلى‬
‫َق اَل ‪َ :‬مْن َع اَدى ِلي َو ِلّيًا َفَق ْد آَذْنُت ُه ِبالَح ْرِب ‪َ .‬وَم ا َتَق َّرَب ِإَل َّي َع ْبِد ْي ِبَشْي ٍء‬
‫َأَح َّب ِإَل َّي ِم َّم ا اْفَت َرْضُت َع َل ْيِه ‪َ .‬وَم ا َيَزاُل َع ْبِد ْي َيَتَق َّرُب ِإَل َّي ِبالَّن َو اِف ِل َح َّتى‬
‫ُأِح َّبُه ‪َ ،‬ف ِإَذا َأْح َبْبُت ُه ُكْنُت َس ْم َع ُه اَّل ِذ ي َيْسَم ُع ِبِه ‪َ ،‬و َبَصَرُه اَّل ِذ ي ُيْبِص ُر ِبِه ‪،‬‬
‫َو َيَدُه اَّل ِتي َيْبِط ُش ِبَه ا‪َ ،‬و ِرْج َل ُه اَّل ِتي َيْم ِش ي ِبَه ا‪َ .‬و َلِئْن َس َأَلِني َلُأْع ِط َيَّن ُه ‪،‬‬
‫‪َ.‬و َلِئْن اْس َت َع اَذِني َلُأِع ْيَذ َّن ُه » َرَو اُه الُبَخ اِرُّي‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘slaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa
yang menyakiti waliku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku
cintai selain apa yang Aku wajibkan baginya. Hamba-Ku senantiasa
mendekat diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku
mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya
yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia
gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku, pasti aku beri. Jika dia
meminta perlindungan kepada-Ku pasti aku lindungi.’” (HR. Bukhari) [HR.
Bukhari, no. 6502]

Baca Juga: Hadits Arbain #37: Berniat Baik dan Jelek, Namun Tidak
Terlaksana

Apa itu wali Allah?


Secara bahasa wali berarti “al-qorib”, yaitu dekat.

Dalam ayat disebutkan,

‫) اَّل ِذ يَن َآَم ُن وا َو َكاُن وا‬62( ‫َأَلا ِإَّن َأْو ِلَياَء الَّل ِه َلا َخ ْو ٌف َع َل ْيِه ْم َو َلا ُه ْم َيْح َزُن وَن‬
63( ‫)َيَّت ُق وَن‬

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap


mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63).

Dari ayat di atas, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang wali Allah,

‫َف َأْو ِلَياُء ِهللا ُه ُم الُم ْؤ ِم ُن ْو َن الُم َّت ُق ْو َن‬

“Wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa” (Al-Furqan bayna
Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-Syaithan, hlm. 25)

Sebagian ulama lainnya menyebutkan bahwa wali Allah adalah,

‫ُكُّل ُم ْؤ ِم ٍن َت ِقٍّي َل ْيَس ِبَنِبٍّي‬


“Setiap orang beriman dan bertakwa selain dari nabi.” (Disebutkan dalam
Minhaj As-Sunnah, 7:28 dan Fatawa Muhimmah li ‘Umum Al-Ummah karya
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hlm. 84)

Al-wali secara bahasa berarti al-qarib, artinya dekat. Sebagaimana


penyebutan dalam hadits berikut ini,

.‫َأْلِح ُق وا اْل َف َراِئَض ِبَأْه ِل َه ا َف َم ا َبِق َي َف ُه َو ِلَأْو َلى َر ُج ٍل َذَكٍر‬

“Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-
laki yang paling dekat dengan mayit.” (HR. Bukhari, no. 6746 dan Muslim, no.
1615)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Yang benar-benar


termasuk wali Allah adalah orang yang beriman kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman dengan ajaran yang beliau bawa, serta
mengikuti ajaran tersebut secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku
mencintai Allah dan wali-Nya, tetapi tidak mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tidaklah termasuk wali Allah. Bahkan jika menyelisihi Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah
Ta’ala berfirman,

‫ُق ْل ِإْن ُكْنُت ْم ُت ِح ُّبوَن الَّل َه َف اَّت ِبُع وِني ُيْح ِبْبُكُم الَّل ُه َو َيْغ ِف ْر َل ُكْم ُذ ُن وَبُكْم َو الَّل ُه‬
‫َغُف وٌر َر ِح يٌم‬

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya


Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’ Sesungguhnya Allah itu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran : 31)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

‫َأ‬ ‫َأ‬
‫ِاَّدَع ى َق ْو ٌم َّن ُه ْم ُيِح ُّبْو َن َهللا َف ْن َز َل ُهللا َه ِذِه الآَيَة ِم ْح َن ًة َل ُه ْم‬

“Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini
sebagai ujian bagi mereka”. Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat
tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Allah akan mencintainya. Namun, siapa yang mengklaim mencintai
Allah, tetapi tidak mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia tidaklah
termasuk wali Allah. Banyak orang menyangka dirinya atau selainnya
sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya. Bisa dilihat,
Yahudi dan Nashrani mengklaim bahwa mereka adalah wali Allah, yang
masuk surga hanyalah dari golongan mereka saja, mengaku bahwa mereka
adalah anak Allah dan kekasih-Nya, ternyata hanya klaim semata.” (Al-
Furqan Bayna Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-Syaithan, hlm. 30)

Wali Allah yang paling utama


Wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Lantas dari nabi dan rasul
yang paling utama adalah ‘ulul ‘azmi. Disebut ulul ‘azmi karena mereka itu
paling sabar dan memikul beban berat. ‘Azmi itu artinya sabar sebagaimana
disebutkan oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam syarh beliau terhadap kitab
Al-Furqan (hlm. 36). Ulul ‘azmi ini adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan
Muhammad shalawaatullahu ‘alaihim ajma’in. Ulul ‘azmi yang paling utama
adalah nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, penutup para
nabi, imamnya orang-orang bertakwa, sayyid anak adam, dan pemimpin
para nabi. Lihat bahasan ini dalam Al-Furqan, hlm. 28 dan 29.

Tingkatan Wali Allah


Patut dipahami, wali Allah itu ada dua macam:

1. As-saabiquun al-muqorrobun (wali Allah terdepan);

2. Al-abror ash-habul yamin (wali Allah pertengahan).

As-saabiquun al-muqorrobun adalah hamba Allah yang selalu mendekatkan


diri pada Allah dengan amalan sunnah, di samping melakukan yang wajib,
serta dia meninggalkan yang haram sekaligus yang makruh.

Al-abror ash-habul yamin adalah hamba Allah yang hanya mendekatkan diri
pada Allah dengan amalan yang wajib dan meninggalkan yang haram, ia
tidak membebani dirinya dengan amalan sunnah dan tidak menahan diri
dari berlebihan dalam yang mubah.

Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,


‫) ِإَذا‬3( ‫) َخ اِف َضٌة َراِف َع ٌة‬2( ‫) َل ْيَس ِلَو ْق َع ِتَه ا َكاِذ َبٌة‬1( ‫ِإَذا َو َق َع ِت اْل َو اِق َع ُة‬
‫ًّث‬ ‫َأ‬
‫) َو ُكْنُت ْم‬6( ‫) َفَكاَنْت َه َباًء ُم ْن َب ا‬5( ‫) َوُبَّس ِت اْل ِج َباُل َبًّس ا‬4( ‫ُر َّج ِت اْل ْرُض َر ًّج ا‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
‫) َو ْصَح اُب‬8( ‫) َف ْصَح اُب اْل َمْيَم َن ِة َم ا ْصَح اُب اْل َمْيَم َن ِة‬7( ‫ْزَو اًج ا َثَلاَث ًة‬
‫) ُأوَلِئَك‬10( ‫) َو الَّس اِبُق وَن الَّس اِبُق وَن‬9( ‫اْل َم ْش َأَم ِة َم ا َأْصَح اُب اْل َم ْش َأَم ِة‬
‫) َو َق ِليٌل ِم َن‬13( ‫) ُث َّل ٌة ِم َن اْلَأَّو ِليَن‬12( ‫) ِفي َج َّناِت الَّن ِع يِم‬11( ‫اْل ُم َق َّر ُبوَن‬
)14( ‫اْلَآِخ ِر يَن‬

“Apabila terjadi hari kiamat, tidak seorangpun dapat berdusta tentang


kejadiannya. (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan
(golongan yang lain), apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan
gunung-gunung dihancur luluhkan seluluh-luluhnya, maka jadilah ia debu
yang beterbangan, dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan.
Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah
sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu.
Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah
kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan
segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.” (QS. Al-Waqi’ah: 1-14).

Penyebutan dua macam wali ini juga ada dalam hadits qudsi yang dikaji kali
ini. Lihat Al-Furqan, hlm. 47 dan 51.

Baca Juga: Tingkatan Wali Allah

Sifat wali Allah As-Saabiquun Al-


Muqorrobun (Wali Allah Terdepan)
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Mereka itu mendekatkan diri kepada
Allah dengan menjadikan amalan mubah (yang hukumnya boleh) menjadi
suatu ketaatan, mereka menjadikan amalan tersebut untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Sehingga amalan mereka semuanya bernilai ibadah.” Lihat
Al-Furqan, hlm. 52.

Tingkatan Makrifat Menurut Sufi


Tentang firman Allah,

‫َو اْع ُبْد َر َّبَك َح َّتى َيْأِتَيَك اْل َيِقيُن‬


“Dan beribadahlah pada Allah sampai datang kepada kalian yakin (ajal atau
kematian).” (QS. Al-Hijr: 99).

Ibnu Katsir rahimahullah mengkritisi pemahaman kaum sufi mengenai ayat


ini, “Beribadahlah sampai yakin”, yaitu beribadahlah sampai pada tingkatan
makrifat. Ketika sudah sampai tingkatan makrifat, maka tidak ada lagi beban
syariat. Tidak lagi wajib shalat dan ibadah lainnya. Ibnu Katsir menyatakan
bahwa keyakinan semacam itu adalah kufur, sesat, dan jahil. Karena para
Nabi ‘alaihimush shalaatu was salaam, begitu pula para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling mengenal Allah. Mereka
tahu cara menunaikan kewajiban pada Allah. Mereka juga tahu
bagaimanakah sifat Allah yang mulia. Mereka tahu bagaimanakah
mengagungkan Allah dengan benar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4:666)

Walau mereka sudah sampai tingkatan makrifat (mengenal Allah seperti itu,
pen.), mereka ternyata paling rajin dan paling banyak ibadahnya pada Allah
Ta’ala. Mereka terus beribadah pada Allah hingga mereka meninggalkan
dunia. Jadi yang benar, makna al-yaqin di sini adalah al-maut (kematian)
sebagaimana dikemukakan sebelumnya.”

Mukjizat, Karamah, dan Ilmu Magis


Ada empat hal yang mesti dibedakan yaitu mukjizat, karamah, ilmu magis
(black magic), dan kejadian luar biasa pada para pendusta. Keempat hal ini
adalah kejadian luar biasa di luar kemampuan manusia.

Pertama, mukjizat

Mukjizat (aayatun nabi) adalah perkara di luar kebiasaan yang Allah


tampakkan pada nabi untuk mengokohkan dan membuktikan kebenaran
mereka sebagai seorang nabi. Contoh mukjizat adalah pada Nabi Isa. Nabi
Isa menghidupkan yang mati, bahkan mengeluarkannya dari kubur setelah
dimakamkan. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

‫ِإْذ َق اَل الَّل ُه َيا ِع يَس ى اْبَن َم ْر َيَم اْذُكْر ِنْع َم ِتي َع َل ْيَك َو َع َل ٰى َو اِلَد ِتَك ِإْذ‬
‫َأ‬
‫َّيْد ُتَك ِبُرو ِح اْل ُق ُد ِس ُت َكِّل ُم الَّناَس ِفي اْل َم ْه ِد َو َكْه ًلا ۖ َو ِإْذ َع َّل ْم ُتَك اْلِك َت اَب‬

ۖ
‫َو اْلِح ْكَم َة َو الَّت ْو َراَة َو اْلِإْنِج يَل ۖ َو ِإْذ َت ْخ ُل ُق ِم َن الِّط يِن َكَه ْيَئِة الَّط ْيِر ِبِإْذِني‬
‫َفَتْنُف ُخ ِفيَه ا َفَتُكوُن َط ْيًرا ِبِإْذِني ۖ َو ُت ْبِرُئ اْلَأ ْكَم َه َو اْلَأْبَرَص ِبِإْذِني ۖ َو ِإْذ‬
‫ُت ْخ ِر ُج اْل َمْو َت ٰى ِبِإْذِني ۖ َو ِإْذ َكَف ْفُت َبِني ِإْس َراِئيَل َع ْنَك ِإْذ ِج ْئ َت ُه ْم ِباْل َبِّيَن اِت‬
‫َفَق اَل اَّل ِذ يَن َكَف ُروا ِم ْن ُه ْم ِإْن َٰهَذ ا ِإَّلا ِس ْح ٌر ُم ِبيٌن‬

“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah


nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu
dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih
dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar
kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu
membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku,
kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang
sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan
orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit
sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang
mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu
Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di
kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain
melainkan sihir yang nyata”.” (QS. Al-Maidah: 110)

Kedua, karamah

Karamah adalah perkara luar biasa, tetapi bukan dari para nabi, yakni dari
pengikut para nabi atau dari kalangan wali Allah. Contohnya adalah pada
Maryam yang menggoyangkan batang kurma. Dalam ayat disebutkan,

‫َو ُهِّزي ِإَل ْيِك ِبِج ْذ ِع الَّن ْخ َلِة ُت َس اِق ْط َع َل ْيِك ُرَط ًبا َج ِنًّيا‬

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan
menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25). Buah
kurma yang masak itu tidak hancur. Ini namanya karamah. Begitu juga
Maryam bisa hamil (tanpa suami) hingga melahirkan adalah suatu karamah.
Dalam ayat disebutkan,

‫َو اَّل ِتي َأْح َصَنْت َف ْر َج َه ا َفَنَف ْخ َن ا ِفيَه ا ِم ْن ُروِح َن ا َوَج َع ْل َن اَه ا َو اْبَن َه ا آَيًة‬
‫ِلْل َع اَلِم يَن‬
“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu
Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan
anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (QS. Al-
Anbiya: 91)

Ketiga, ilmu magis (ilmu hitam)

Ilmu magis (sya’wadzah) adalah sesuatu yang Allah tampakkan pada orang
yang mengabdi pada jin. Ini sebagai bentuk ujian bagi dirinya dan orang
lain, yang membuat tukang sihir itu semakin sesat. Ilmunya datang dari
setan, sehingga yang memilikinya tidak disebut wali Allah, apalagi seorang
nabi.

Keempat, kejadian luar biasa pada para pendusta

Kejadian ini untuk membuat orang yang memilikinya semakin hina dan
menunjukkan kedustaannya. Ini seperti yang ada pada Musailamah Al-
Kadzdzab. Ia mengaku sebagai nabi di akhir-akhir hidup Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan punya banyak pengikut. Suatu hari ada petani yang
mendatangi Musailamah, mereka mengadukan padanya bahwa sumur
mereka kering, airnya hanya tersisa sedikit sekali. Mereka meminta kepada
Musailamah supaya mendatangi sumur tersebut lantas ia meludah ke dalam
sumur, seakan-akan ia mengembalikan air. Ia pun pergi, mereka lantas
memberikan pada Musailamah air, ia pun berkumur-kumur dengan air
tersebut kemudian ia memuntahkannya ke dalam sumur. Akhirnya di sumur
itu terdapat air. Ketika ia meludah lagi, air tersebut jadi kering lagi dan tidak
tersisa sedikit pun.

Karamah wali itu asalnya dari mana?


Ibnu Taimiyah dalam Al-Furqan (hlm. 158) menyatakan bahwa karamah wali
Allah diperoleh dari keberkahan karena mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, secara hakiki itu masuk dalam mukjizat yang ada para
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di halaman sebelumnya (hlm. 157) disebutkan bahwa wali Allah yang
bertakwa adalah yang mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mereka mengerjakan setiap perintah beliau dan meninggalkan apa
yang beliau larang.

Faedah hadits
1. Memusuhi wali Allah termasuk dosa besar.

2. Wali Allah itu ada dan tidak bisa diingkari.

3. Adanya peperangan dari dan terhadap Allah Ta’ala.

4. Hadits ini jadi dalil keutamaan wali Allah.

5. Adanya karamah wali, karena siapa saja yang memusuhi wali Allah,
Allah mengumumkan perang terhadapnya.

6. Allah memiliki sifat cinta, dan cinta Allah itu bertingkat-tingkat.

7. Amal saleh merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

8. Perintah Allah berupa amalan wajib dan amalan sunnah.

9. Amalan itu bertingkat-tingkat.

10. Yang Allah cintai adalah amalan wajib, kemudian amalan sunnah.

11. Yang mesti didahulukan adalah amalan wajib, kemudian amalan


sunnah, inilah asalnya.

12. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa semua bentuk


maksiat berarti menyatakan perang kepada Allah ‘azza wa jalla.”
(Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:335)

13. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Kewajiban badan yang paling agung
adalah menunaikan shalat.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:336).

14. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Amalan sunnah yang paling


mendekatkan diri kepada Allah adalah memperbanyak membaca,
mendengarkan, merenungkan, dan memahami Al-Qur’an.” (Jaami’
Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:342).

15. Manfaat amalan sunnah:

16. mendapatkan cinta Allah

17. mendapatkan ma’iyatullah (pertolongan Allah pada pendengaran,


penglihatan, tangan, dan kaki)

18. doanya mudah dikabulkan.


Kaedah dari hadits

1. Amalan wajib lebih didahulukan dari amalan tawaabi’ (amalan sunnah).

2. Cinta Allah itu bertingkat-tingkat.

Baca Juga:

Akan Dicintai Allah Jika Dua Sifat Ini Dimiliki

Ini Tanda Orang yang Tidak Cinta pada Allah

Referensi:

1. Al-Furqan bayna Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-Syaithan. Cetakan


kedua, Tahun 1424 H. Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad
bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam (Ibnu Taimiyyah). Penerbit
Maktabah Ar-Rusyd.

2. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama,


Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Jilid kedua.

3. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H.


Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

4. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-


Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.

5. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh


Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

6. Syarh Kitab Al-Furqan bayna Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-


Syaithan. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul
‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh. Penerbit Maktabah Darul Hijaz.

7. Syarh Riyadh Ash–Shalihin. Cetakan kedua, Tahun 1427 H. Syaikh


Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madar Al-Wathan li An-
Nasyr.

8. Tafsir Al–Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir.


Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Diselesaikan Selasa siang, 2 Dzulqa’dah 1441 H, 23 Juni 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

#hadits arbain #karamah wali #kisah maryam

#maryam #para wali #riyadhus sholihin wali Allah

#tafsir surat maryam #tingkatan wali Allah

#wali Allah

Anda mungkin juga menyukai