Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri menyebutkan dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah:
أف اتظعتبر في النية إ ا ىو ال لب النط باللساف ليس بنية وإ ا ىو مساعد على تنبيو ال لب فخط اللساف ال ض ما دامت ية ال لب
صحيحة وى ا اتضكم متف عليو عند ال افعية واتضنابلة أما اتظالكية واتضنفية فا ظ م ىب ما تحت اتطط
) إف التلفظ بالنية: إف التلفظ بالنية ليس شروعا في الصالة اال إذا اف اتظصلي موسوسا على أف اتظالكية قالوا: اتظالكية واتضنفية قالوا
إف التلفظ بالنية بدعة و ستحسن لدفع الوسوسة: ( خالؼ األولذ ل ير اتظوسوس و ندب للموسوس اتضنفية قالوا
“Sesungguhnya yang dianggap dalam niat itu adalah hati, ucapan lidah bukanlah niat, akan tetapi
membantu untuk mengingatkan hati, kekeliruan pada lidah tidak memudharatkan selama niat hati
itu benar, hukum ini disepakati kalangan Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali. Sedangkan
menurut Mazhab Maliki dan Hanbali -lihat menurut kedua Mazhab ini pada footnote-:
Mazhab Maliki dan Hanafi: Melafazkan niat tidak disyariatkan dalam shalat, kecuali jika orang
yang shalat itu was-was.
Mazhab Maliki: Melafazkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama bagi orang yang tidak
waswas, dianjurkan melafazkan niat bagi orang yang was-was.
Mazhab Hanafi: Melafazkan niat itu bid’ah, dianggap baik untuk menolak was-was
2. Shalat tapi lupa udah wudhu apa belum, nah ragu ragu terus sampe beberapa hari
kemudian. Apakah sebaiknya mengulang shalat atau tidak usah?
Fatwa Ulama: Ketika Ragu Sudah Batal Wudhu Atau Belum
https://muslim.or.id/24322-fatwa-ulama-ketika-ragu-sudah-batal-wudhu-atau-
belum.html
Soal:
Jika seseorang berwudhu, lalu waktu berlalu hingga datang waktu shalat. Dia
lupa sehingga tidak tahu apakah masih suci ataukah sudah batal. Maka mana
yang ia pilih?
Jawab:
Maka berdasarkan hal ini, jika seseorang sudah wudhu dan waktu berlalu
beberapa lama lalu ia ragu apakah masih dalam keadaan punya wudhu atau
tidak, hendaknya ia tetap shalat dan keraguan tersebut tidak menjadi masalah.
Karena al ashlu baqa-u at thaharah (hukum asalnya, status suci tetap ada).
3. Assalamu'alaikum. Pak Ustad, sehabis sholat tarawih kan biasanya langsung sholat
Witir (Penutup Sholat malam) Pertanyaan saya, apakah boleh melaksankan sholat
tahajud di waktu sahur? Jazakallah Khair Katsiron
“Setelah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunnah Lagi?”
Jawabannya, boleh. Asal tidak ada dua witir dalam satu malam
Pendapat ini adalah yang dipilih oleh mayoritas ulama seperti ulama-ulama Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi’iyah dan
pendapat ini juga menjadi pendapat An Nakho’i, Al Auza’i dan ‘Alqomah. Mengenai
pendapat ini terdapat riwayat dari Abu Bakr, Sa’ad, Ammar, Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.
Dasar dari pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama, ‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
ْْن َوه َُو َجالِسٌ َفإِ َذا أَ َرادَ أَن َ ر ُث َّم يsُ ت ُث َّم يُو ِت
ِ ُصلِّى َر ْك َع َتي ٍ ان َر َك َعا َ ث َع ْش َر َة َر ْك َع ًة ي
َ ُصلِّى َث َم َ َُصلِّى َثال َ َك
َ ان ي
ْح
ِ صبُّ صالَ ِة ال ِ ْن َبي َْن ال ِّندَا ِء َو
َ ْاإل َقا َم ِة مِن ِ صلِّى َر ْك َع َتي َ َيرْ َك َع َقا َم َف َر َك َع ُث َّم ُي.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam
semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1
raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil
duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau
membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan
iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)
Kedua, dari Ummu Salamah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melakukan shalat dua raka’at sambil duduk setelah melakukan witir (HR. Tirmidzi
no. 471. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketiga, dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اف ِم ْن ُك ْم أَنْ الَ َيسْ َت ْيقِ َظ مِنْ آخ ِِر اللَّي ِْل َف ْليُوتِرْ مِنْ أَ َّو ِل اللَّي ِْل ُث َّم ْل َيرْ قُ ْد
َ … َمنْ َخ
“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka
berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, …” (HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dipahami dari hadits ini bahwa jika orang tersebut
bangun di malam hari –sebelumnya sudah berwitiri sebelum tidur-, maka dia masih
diperbolehkan untuk shalat.
Adapun dalil yang mengatakan bahwa shalat witirnya tidak perlu diulangi adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ الَ ِو ْت َر
ان فِى لَ ْيلَ ٍة
“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no.
1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pendapat kedua, mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnah lagi
sesudah melakukan shalat witir kecuali membatalkan shalat witirnya yang pertama,
kemudian dia shalat dan witir kembali. Maksudnya di sini adalah jika sudah melakukan
shalat witir kemudian punya keinginan untuk shalat sunnah lagi sesudah itu, maka shalat
sunnah tersebut dibuka dengan mengerjakan shalat sunnah 1 raka’at untuk
menggenapkan shalat witir yang pertama tadi. Kemudian setelah itu, dia boleh
melakukan shalat sunnah (2 raka’at – 2 raka’at) sesuka dia, lalu dia berwitir kembali.
Inilah pendapat lainnya dari ulama-ulama Syafi’iyah. Mengenai pendapat ini terdapat
riwayat dari ‘Utsman, ‘Ali, Usamah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas. Dasar dari
pendapat ini adalah diharuskannya shalat witir sebagai penutup shalat malam. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari dua pendapat di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan
beberapa alasan berikut.
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah setelah beliau
mengerjakan shalat witir. Perbuatan beliau ini menunjukkan bolehnya hal tersebut.
Kedua, pendapat kedua yang membatalkan witir pertama dengan shalat 1 raka’at untuk
menggenapkan raka’at, ini adalah pendapat yang lemah ditinjau dari dua sisi.
1. Witir pertama sudah dianggap sah. Witir tersebut tidaklah perlu dibatalkan setelah
melakukannya. Dan tidak perlu digenapkan untuk melaksanakan shalat genap
setelahnya.
2. Shalat sunnah dengan 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi
tidaklah dikenal dalam syari’at.
Kesimpulan
Dari pembahasan kali ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.
Jika kita telah melakukan shalat tarawih ditutup witir bersama imam masjid, maka di
malam harinya kita masih bisa melaksanakan shalat sunnah lagi. Sehingga tidak ada
alasan untuk meninggalkan imam masjid ketika imam baru melaksanakan shalat tarawih
8 raka’at dengan niatan ingin melaksanakan shalat witir di rumah sebagai penutup
ibadah atau shalat malam. Ini tidaklah tepat karena dia sudah merugi karena
meninggalkan imam sebelum imam selesai shalat malam. Padahal pahala shalat bersama
imam hingga imam selesai shalat malam disebutkan dalam hadits, “Siapa yang shalat
bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam
penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Shahih).
Referensi: https://almanhaj.or.id/2217-tata-cara-sujud-sahwi.html
6. Bagaimana harus bersikap baik yang sedang sholat maupun yang ingin menjadi
makmum? jika Ketika kita ingin menjadi makmum namun ternyata orang yang sedang
sholat ini sholat sunnah
Jawab: Sebaiknya sikap kita adalah untuk mempersilahkan siapapun yang datang
untuk bermakmum kepada kita tanpa menolaknya walaupun berbeda jenis antara
sholat kita dengan sholat orang yang datang tersebut, sehingga kita tetap
melanjutlkan sholat sunnah tersebut sampai selesai
Penjelasan: Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagaimana disebutkan
oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Ustaimin yang artinya:
“Ada yang mengatakan tidak boleh bagi seseorang yang melakukan sholat fardhu
bermakmum di belakang seseorang yang melakukan sholat sunnah, karena tidak
mungkin sesuatu yang derajatnya lebih tinggi berada di belakang yang derajatnya
lebih rendah, sedangkan Sholat Fardhu derajatnya di atas sholat sunnah, bagaimana
mungkin seseorang yang melakukan sholat sunnah menjadi imam bagi orang yang
melakukan sholat fardhu. Dan Di antara para ulama ada juga yang mengatakan
bolehnya seseorang yang melakukan sholat fardhu bermakmum kepada yang
melakukan sholat sunnah, dan inilah pendapat yang Rajih (kuat)”.
(www.binothaimeen.net/content/9074)
Beliau merajihkan pendapat yang membolehkan dengan dalil bahwa Muadz bin Jabal
rhadiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika sholat Isya bersama Nabi ﷺsecara
berjamaah, kemudian Muadz pergi menuju kaumnya untuk mengimami kaumnya
melaksanakan sholat Isya tersebut, sedangkan Muadz menjadikan sholatnya ketika
menjadi imam tersebut sebagai sholat sunnah, dan Nabi ﷺtidak mengingkari hal
tersebut, sehingga berbeda niat dan jenis sholatnya Muadz rhadiyallahu ‘anhu
dengan sholat kaumnya. (lihat Hadits Riwayat Bukhari nomor: 5641 dan Muslim
nomor: 711).
Pertanyaan serupa yaitu: Jika seseorang sedang sholat sunnah, kemudian datang
seseorang bermakmum kepadanya apakah ini dibolehkan ?” pernah diajukan kepada
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Ustaimin :
, وال ينبغي له أن يأبى فيحرم نفسه ويحرم الداخل ثواب الجماعة, فإذا دخل معه القادم نوى الجماعة, نعم يجوز ذلك:فأجاب فضيلته بقوله
وما جاز في النفل جاز, وقد ثبت أن النبي صلي هللا عليه وسلم قام يصلي من الليل وحده فجاء ابن عباس – رضي هللا عنهما – فصلى معه
ألن األصل تساوي أحكامهما إال بدليل يدل على الخصوصيةsفي الفرض؛
“Maka Syaikh menjawab: Iya hal tersebut dibolehkan, apabila seseorang sholat
sunnah sendirian kemudian datang orang lain berniat sholat berjamaah maka tidak
sepantasnya ia menghalangi dirinya dan orang yang datang untuk mendapatkan
pahala sholat berjamaah, dan telah disebutkan bahwa suatu ketika Nabi ﷺpernah
sholat malam sendirian, maka Ibnu Abbas rhadiyallahu ‘anhuma datang dan
bermakmum kepada Nabi ﷺ. Dan apapun yang dibolehkan pada sholat sunnah maka
hal yang sama pun dibolehkan pada sholat fardhu, karena pada dasarnya adanya
kesamaan hukum antara keduanya kecuali jika ada dalil yang mengkhususkan.”
(Majmu’ Fatawa wa Rosail al-Utsaimin: 15/171).
Maka, dengan demikian sebaiknya sikap kita adalah untuk mempersilahkan siapapun
yang datang untuk bermakmum kepada kita tanpa menolaknya walaupun berbeda
jenis antara sholat kita dengan sholat orang yang datang tersebut, sehingga kita
tetap melanjutlkan sholat sunnah tersebut sampai selesai
1. Sholat di Jama'
a. Selama musim panas di Jerman, karena waktu shalat terlalu malam, kita
diperbolehkan menjama' shalat maghrib & isya'. Apa dasar hukum/hadis yang
mendasari jama shalat tersebut? 2) Dan mulai kapan kita bisa menjama' maghrib
& isya? dan setelahnya langsung tarawih
Pertanyaan:
Kami tinggal di Jerman. Saat ini waktu shalat isya jatuh pada pertengahan
malam, yaitu sekitar pukul 12 malam. Sedangkan waktu shalat subuh masuk
pada pukul tiga pagi. Bolehkah menggabungkan (men-jamak) shalat maghrib
dan isya’ karena sebab seperti ini? Karena kita tahu bahwa kaum muslimin di
sana merasa berat untuk menunggu datangnya waktu isya’. Karena mereka
memiliki tanggungan pekerjaan yang mengharuskan mereka bangun pagi-
pagi.
حيحsد ثبت في صsاء وقssار وقت العشsقة انتظssال حرج ان يجمع العشاء الى المغرب في مثل هذه الحال وذلك لمش
رsر والعصsع بين الظهsلم جمsه وسsه وعلى الsمسلم عن عبدهللا بن عباس رضي هللا عنهما ان النبي صلى هللا علي
لماذا جمع؟ قال اراد أال يحرج امته:وبين المغرب والعشاء في المدينه من غير خوف وال مطر فسألوا ابن عباس
اء الىssوا العشssاس ان يجمعssرج فال بssوم يلحقهم الحssؤالء القssان هss واذا ك. عssرك الجمssاالحرج في تssاي أال يلحقله
ده ليس فيssا بعssل أو مssف الليssفق إلى منتصss والظاهر لي حسب ما بلغني أن تأخر مغيب الش, المغرب جمع تقديم
.كل السنة بل في بعض الفصول فقط
Im Sommer verschiebt sich in unseren Regionen nicht nur die Zeit des Nachtgebets bis in die
Mitte der Nach…t, teilweise bleibt das in der Sunna etablierte islamrechtliche Merkmal (Ende der
Abenddämmerung) komplett aus. In Frankfurt einschließlich vom 31.5. bis einschließlich des
12.07. (43 Tage), in Hamburg einschließlich vom 14.5. bis einschließlich des 30.07. (79 Tage)
und in Berlin einschließlich des 18.5. bis einschließlich des 25.07. (69 Tage)1. Dies führt immer
wieder zu Fragen und Diskussionen über die Zeit des Nachtgebets in diesem Zeitraum, daher
diese Informationsschrift, um aufzuklären und unnötigen Diskussionen vorzubeugen.
Die normale Zeit des Nachtgebets tritt mit dem Ende der Dämmerung ein, also mit der absoluten
Dunkelheit. Von Ibn ‘Abbâs:
„Allahs Gesandter hat gesagt: “Jibrîl hat mich zweimal beim Hause im Gebet geleitet, und er (….)
und er betete beim ersten Mal ‘Ischâ (das Nachtgebet) mit mir, als die Dämmerung vergangen
war, (….) und er betete beim zweiten Mal das Nachtgebet mit mir, als ein Drittel der Nacht
vergangen war. (…)” Abu Dawud, Tirmidhi
Diese Zeit existiert de facto im Sommer in Deutschland nicht, bis auf einige kleinere Gebiete im
Süden Deutschlands. Erklärung dazu:
Zivile Dämmerung
Zu dieser Zeit können noch die meisten Außenaktivitäten ohne Zusatzlicht ausgeführt werden.
Ende der zivilen Dämmerung: Wenn die Sonne 6 Grad unter dem Horizont verschwunden ist.
Nautische Dämmerung
Der Himmel ist schon so dunkel, dass die helleren Sterne gut zu sehen sind. Der Horizont ist auf
See noch erkennbar. Ende: Wenn die Sonne 12 Grad unter dem Horizont verschwunden ist.
Astronomische Dämmerung
Immer mehr Sterne werden sichtbar, aber der Himmel ist immer noch zu hell, als dass ein
Astronom schon arbeiten könnte. Erst wenn die Sonne 18 Grad unter dem Horizont
verschwunden ist, ist das Dämmerlicht verschwunden. Damit erst ist die für den Beginn des
Nachtgebets erforderliche absolute Nacht eingetreten.
Rechtliche Herausforderung
Wie beten wir korrekt das Nachtgebet in dieser Zeit des Sommers, in welcher das islamrechtliche
Merkmal für das Eintreten der Nacht ausbleibt? Die korrektere Lösung der Gelehrten:
Zusammenfassung des Abend- und Nachtgebets im Sommer, da es generell nur zwei mögliche
zeitliche Formen gibt, ein Gebet korrekt zu verrichten:
4. Sholat tarawih
a. Pelaksanaan tarawih sebelum pandemi dan saat pandemi
Tidak ada bedanya, bisa dilakukan berjamaah dengan keluarga, atau teman, bisa dilakukan sendiri.
َفل َا، ث ّـَُمَّ يُ َصِلِّ ّـي أ َ ْربَ ًعا،َّع ْن ُح ْس ِن ِه ّـ ََّن َو ُطولِ ِه ّـَن
َ َفل َا تَ َس ْل، يُ َصِلِّ ّـي أ َ ْربَ ًعا،ع ْش َر َة َرك َْع ًة َ غيْ ِر ِه
َ عل َى ِإ ْح َدى َ ان َول َا ِفي
َ يد ِفي َر َم َض
ُ َان يَ ِز
َ َما ك
ث ّـَُمَّ يُ َصِلِّ ّـي ثَل َاث ًا،َّع ْن ُح ْس ِن ِه ّـ ََّن َو ُطولِ ِه ّـَن
َ تَ َس ْل
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah nambahi lebih dari 11 rakaat, baik di
dalam ramadhan maupun di luar ramadhan. Beliau shalat 4 rakaat, jangan kamu
tanya bagusnya dan panjangnya. Kemudian shalat lagi 4 rakaat, jangan kamu tanya
bagusnya dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. (HR. Bukhari 3569)
Ulama berbeda pendapat mengenai makna hadis di atas, kaitannya dengan tata cara
shalat tarawih yang paling afdhal,
Pertama, yang paling afdhal shalat dikerjakan 4 rakaat salam – 4 rakaat salam.
Meskipun boleh 2 rakaat – 2 rakaat, atau 6 rakaat salam atau lainnya. Ini adalah
pendapat Abu Hanifah.
وقال أبو حنيفة األفضل أن يصلي أربعا أربعا وإن شاء ركعتين وإن شاء ستا وإن شاء ثمانيا وتكره الزيادة على ذلك
Abu Hanifah mengatakan, yang afdhal shalatnya dikerjakan 4 rakaat – 4 rakaat. Jika
dia mau, boleh 2 rakaat. Jika dia mau, boleh 6 rakaat, dan jika dia mau, boleh 8
rakaat salam. Dan makruh lebih dari itu. (Tharhu at-Tatsrib, 3/74).
Ini merupakan pendapat jumhur ulama – Imam Malik, Imam as-Syafii, Imam
Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan yang lainnya –. Sementara Ibnu Abi
Syaibah menyebutkan bahwa ini juga pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Hasan al-Bashri, Said bin Jubair, Ikrimah (mantan budak Ibnu
Abbas), Salim putra Ibnu Umar, Muhammad bin Sirin, Ibrahim an-Nakhai dan yang
lainnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat 11 rakaat antara isya sampai
subuh. Beliau salam di setiap 2 rakaat, dan melakukan witir dengan 1 rakaat. (HR.
Ahmad 25105, Nasai 693, Ibnu Majah 1420, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
[2] Lebih sesuai dengan tata cara yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai tata cara shalat lail. Kemudian beliau menjelaskan,
ُتو ِت ُر ل َُه َما ق َْد َصَل ّـَّى، اح َد ًة ُّ َف ِإذَا َخ ِش َىأ َ َح ُدك ُُم ّـ، َصال َ ُة الَل ّـَّيْ ِل َمثْنَى َمثْنَى
ِ الُصبْ َح َصَل ّـَّى َرك َْع ًة َو
“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika kalian takut masuk waktu shubuh,
maka kerjakanlah satu raka’at, untuk menjadi witir bagi shalat-shalat sebelumnya.”
(HR. Bukhari 990 dan Muslim 749)
Karena itu, yang lebih afdhal dikerjakan 2 rakaat salam – 2 rakaat salam.
Sebagian ulama berpendapat, shalat tarawih yang dikerjakan 4 rakaat dengan salam
sekali tidak sah. Ini adalah pendapat Syafi’iyah. Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
وذلك ألن، وإال صارت نفال مطلقا، لو صلى في التراويح أربعا بتسليمة واحدة لم يصح فتبطل إن كان عامدا عالما:وقال الشافعية
التراويح أشبهت الفرائض في طلب الجماعة فال تغير عما ورد
Syafiiyah mengatakan, jika ada orang shalat tarawih 4 rakaat dengan salam sekali,
shalatnya tidak sah, dan batal. Jika dia lakukan dengan sengaja dan tahu tata
caranya. Jika tidak, maka shalat yang dia kerjakan menjadi shalat sunah mutlak.
Karena tarawih mirip dengan shalat wajib, dalam arti dianjurkan untuk dilakukan
secara berjamaah. Sehingga tidak boleh diubah dari riwayat yang ada. (al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah, 27/145).
[1] Tata cara shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu
salam di setiap 2 rakaat, bukanlah keharusan. Karena semata perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak diiringi perintah bukanlah keharusan.
[2] Tata cara shalat yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beragam.
Bahkan terkadang beliau shalat 6 rakaat sekaligus, atau 8 rakaat sekaligus.
Salah satu cuplikanya bisa kita simak keterangan Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika
beliau menjelaskan kepada keponakannya tentang tata cara shalat malam Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يها ِإَلاّـَّ ِفي ِ ُ ِجل
َ سف ْ َ ل َا ي،ات ٍ َويُ َصِلِّ ّـي ِت ْس َع َرك ََع،َُضأ َّ َويَتَ َو ّـ،ُ فَيَتَ َس ّـََّوك،اء أ َ ْن يَبْ َعث َُه ِم َن الَل ّـَّيْ ِل َ فَيَبْ َعث ُُه الَل ّـَّ ُه َما َش،ور ُه َ ـ َو َط ُه، ِس َواك َُه،كَُناّـَّ نُ ِع ّـُُّدل َُه
ث ّـَُمَّ يُ َس ِِّل ّـ ُم،وه
ُ ع ْ َـ ث ّـَُمَّ يَقْ ُع ُد فَيَ ْذك ُُر الَل ّـَّ َه َوي،اس َع َة
ُ ح َم ُد ُه َويَ ْد ِ َّ ث ّـَُمَّ يَقُو ُم فَيُ َص ّـ ِِّلالَتّـ، َول َا يُ َس ِِّل ّـ ُم،وه ث ّـَُمَّيَن ْ َه ُض
ُ ع ْ َ فَيَ ْذك ُُر الَل ّـَّ َه َوي،امن َ ِة
ُ ح َم ُد ُه َويَ ْد ِ َّالَثّـ
عل َيْ ِه ُ َفل ّـَََّما أ َ َس ّـ ََّن نَب ّـُُِّي الَل ّـَّ ِه َصَل ّـَّى، يَا ُبن َ ّـ ََّي،ع ْش َر َة َرك َْع ًة
َ الله َ َو ِتل َْك ِإ ْح َدى،ٌَاعد ِ ث ّـَُمَّ يُ َص ِِّل ّـي َرك َْعتَيْ ِن بَ ْع َد َما يُ َس ِِّل ّـ ُم َو ُه َو ق،يما يُ ْس ِم ُعنَا
ً ِتَ ْسل
َف ِتل َْك ِت ْس ٌع يَا بُن َ ّـ ََّي،يع ِه األ َ ّـََّو ِل ِ الَرك َْعتَيْ ِن ِمث َْل َص ِن َّ أ َ ْوتَ َر ب َِسبْ ٍع َو َصن َ َع ِفي ّـ،ح َم
ْ ََّو َسَل ّـَّ َم َوأ َ َخ َذ الَل ّـ
“Kami mempersiapkan siwak dan air wudhu beliau. Bila Allah membangunkan beliau
pada waktu yang dikehendaki di malam hari, beliau bersiwak dan berwudlu,
kemudian shalat sembilan raka’at tidak duduk tasyahud kecuali pada raka’at
kedelapan. Beliau berdzikir, memuji Allah, dan berdoa (membaca tasyahud),
kemudian beliau bangkit dan tidak salam meneruskan raka’at kesembilan. Kemudian
beliau duduk, berdzikir, memuji Allah, dan berdoa, kemudian salam dengan satu
salam yang terdengar oleh kami. Setelah itu beliau shalat dua raka’at sambil duduk.
Jadi jumlahnya sebelas raka’at wahai anakku. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah tua dan gemuk, beliau berwitir tujuh raka’at, kemudian dua raka’at
setelahnya dilakukan seperti biasa, maka jumlahnya sembilan wahai anakku” (HR.
Muslim 746).
. أن يصلي مثنى مثنى عشر ركعات ثم يوتر بواحدة: األولى: ويصليها على صفتين، يشرع للمسلم أن يوتر بإحدى عشرة ركعة
ً أن يصلي أربعا ً أربعا ً ثم يصلي ثالثا: الثاني.
“Dianjurkan bagi muslim untuk shalat witir 11 raka’at. Dia bisa mengerjakannya
dengan 2 cara:
(1) Dua raka’at salam – dua raka’at salam sebanyak 10 raka’at, lalu shalat witir satu
raka’at;
(2) Empat raka’at salam – empat raka’at, lalu shalat witir 3 raka’at.” (Bughyatul-
Mutathawwi’, hlm. 60-61)
a. Bagaimana sikap kita baiknya Ketika waktu sholat sudah masuk namun kita sedang
ditengah pekerjaan yang butuh izin terlebih dahulu, namun jika izin untuk sholat kita
tidak tahu apakah diperbolehkan karena atasan bukan orang muslim mungkin juga
kita lagi kelas tidak perlu izin namun takut ketinggalan informasi (Kondisi: pekerja
dan pelajar).
i. Apakah bertanya tapi Ketika tidak diizinkan, dikesempatan berikutnya kita
“berbohong” secara baik.
Dalam hukum dasar jerman dijamin adanya kebebasan menjalankan agama, jadi kita pada dasarnya
memiliki hak, dengan catatan tidak mengganggu hak orang lain, mis. shalat di tengah ruangan kantor,
atau sekolah.
ii. Untuk menghindari ketinggalan informasi, pelajar tersebut menjama’ sholat.
Berapa kali boleh dilakukan karena kelas ini punya jadwal rutin.
Yang lebih utama adalah menyiasati, misalkan dgn merekam saat kita sedang pause shalat
iii. Untuk menghindari ketinggalan informasi, pelajar sholat dikelas dalam
kondisi duduk, karena waktu itu waktunya pendek itu bagaimana hukumnya
apakah sah?
Shalat fardhu wajib dilakukan dgn berdiri jika tidak ada hajat atau kesulitan atau masyaqqah atau
uddur, selama memungkinkan.
iv.
v. Nah kalau sudah panjang waktunya, pelajar tersebut ingin mengejar sholat
awal waktu namun ingin menghindari ketinggalan informasi jadi sholat di
kelas dengan kondisi duduk, lalu sholat kembali (berdiri) ketika kelas sudah
selesai. Ini bagaimana hukumnya?
Orang yang mampu dengan mudah untuk berdiri (baik sakit maupun sehat selama
mudah untuk berdiri) tidak bolehshalat fardhu sambil duduk. Orang yang shalat
fardhu sambil duduk, padahal dia mampu berdiri maka shalatnya batal dan harus
diulangi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang seseorang yang
sakit wasir, sehingga sulit berdiri ketika shalat. Beliau menasehatkan,
“Shalatlah sambil berdiri, jika kamu tidak mampu sambil duduk, dan jika kamu tidak
mampu, sambil berbaring miring.” (HR. Bukhari 1117).
َفإِ َذا َبقِيَ مِنْ قِرَ ا َء ِت ِه َنحْ وٌ مِنْ َثالَثِينَ – أَ ْو أَرْ َبعِينَ – آي ًَة َقا َم َف َقرَ أَهَا، ٌ َف َي ْقرَ أ ُ َوه َُو جَ الِس،أَنَّ رَ سُو َل هَّللا ِ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َكانَ يُصَ لِّي جَ الِسًا
َ ُث َّم سَجَ د،ُ ُث َّم َيرْ َكع،َوه َُو َقا ِئ ٌم
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sambil duduk. Beliau membaca
al-Fatihah dan surat sambil duduk. Ketika yang beliau baca tinggal 30 atau 40 ayat,
beliau berdiri. Lalu beliau melanjutkan bacaan shalat sambil berdiri. Kemudian beliau
rukuk, kemudian sujud. (HR. Bukhari 1119 dan Muslim 731).