Anda di halaman 1dari 21

Podcast Fiqih Minoritas – Sholat

1. apakah niat sholat boleh tidak dilafadzkan?


a. Jadi hanya di dalam hati (saya niat sholat tarawih 2 rakaat sunah karena Allah
ta'ala) Terimakasih

Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri menyebutkan dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah:
‫أف اتظعتبر في النية إ ا ىو ال لب النط باللساف ليس بنية وإ ا ىو مساعد على تنبيو ال لب فخط اللساف ال ض ما دامت ية ال لب‬
‫صحيحة وى ا اتضكم متف عليو عند ال افعية واتضنابلة أما اتظالكية واتضنفية فا ظ م ىب ما تحت اتطط‬
) ‫ إف التلفظ بالنية‬: ‫ إف التلفظ بالنية ليس شروعا في الصالة اال إذا اف اتظصلي موسوسا على أف اتظالكية قالوا‬: ‫اتظالكية واتضنفية قالوا‬
‫ إف التلفظ بالنية بدعة و ستحسن لدفع الوسوسة‬: ‫( خالؼ األولذ ل ير اتظوسوس و ندب للموسوس اتضنفية قالوا‬
“Sesungguhnya yang dianggap dalam niat itu adalah hati, ucapan lidah bukanlah niat, akan tetapi
membantu untuk mengingatkan hati, kekeliruan pada lidah tidak memudharatkan selama niat hati
itu benar, hukum ini disepakati kalangan Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali. Sedangkan
menurut Mazhab Maliki dan Hanbali -lihat menurut kedua Mazhab ini pada footnote-:
Mazhab Maliki dan Hanafi: Melafazkan niat tidak disyariatkan dalam shalat, kecuali jika orang
yang shalat itu was-was.
Mazhab Maliki: Melafazkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama bagi orang yang tidak
waswas, dianjurkan melafazkan niat bagi orang yang was-was.
Mazhab Hanafi: Melafazkan niat itu bid’ah, dianggap baik untuk menolak was-was

2. Shalat tapi lupa udah wudhu apa belum, nah ragu ragu terus sampe beberapa hari
kemudian. Apakah sebaiknya mengulang shalat atau tidak usah?
Fatwa Ulama: Ketika Ragu Sudah Batal Wudhu Atau Belum
https://muslim.or.id/24322-fatwa-ulama-ketika-ragu-sudah-batal-wudhu-atau-
belum.html

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal:

Jika seseorang berwudhu, lalu waktu berlalu hingga datang waktu shalat. Dia
lupa sehingga tidak tahu apakah masih suci ataukah sudah batal. Maka mana
yang ia pilih?

Jawab:

Jika seseorang berwudhu secara sempurna, maka statusnya tetap suci


walaupun beberapa berlalu beberapa lama. Jika ia ragu apakah sudah batal
atau belum, maka tidak perlu menghiraukan keraguan tersebut. Bahkan
hendaknya ia menetapkan dalam hatinya hal yang ia yakini bahwa ia dalam
keadaan suci (karena sudah berwudhu, pent.). Karena terdapat hadits shahih
dalam Shahihain, dari hadits Abdullah bin Zaid, bahwa ada lelaki yang
mengadu kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang ia merasa ragu
apakah terjadi sesuatu (yang membatalkan) dalam shalatnya. Maka Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ً ‫ال ينصرف حتى يسمع صو ًتا أو يجد ريحا‬

“jangan membatalkan shalat, kecuali ia mendengar suara (kentutnya) atau


terdapat angin (dari kentutnya)”

Maka berdasarkan hal ini, jika seseorang sudah wudhu dan waktu berlalu
beberapa lama lalu ia ragu apakah masih dalam keadaan punya wudhu atau
tidak, hendaknya ia tetap shalat dan keraguan tersebut tidak menjadi masalah.
Karena al ashlu baqa-u at thaharah (hukum asalnya, status suci tetap ada).

3. Assalamu'alaikum. Pak Ustad, sehabis sholat tarawih kan biasanya langsung sholat
Witir (Penutup Sholat malam) Pertanyaan saya, apakah boleh melaksankan sholat
tahajud di waktu sahur? Jazakallah Khair Katsiron
“Setelah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunnah Lagi?”
Jawabannya, boleh. Asal tidak ada dua witir dalam satu malam

Mengenai masalah ini, ada dua pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama, mengatakan bahwa boleh melakukan shalat sunnah lagi


sesukanya, namun shalat witirnya tidak perlu diulangi.

Pendapat ini adalah yang dipilih oleh mayoritas ulama seperti ulama-ulama Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi’iyah dan
pendapat ini juga menjadi pendapat An Nakho’i, Al Auza’i dan ‘Alqomah. Mengenai
pendapat ini terdapat riwayat dari Abu Bakr, Sa’ad, Ammar, Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.
Dasar dari pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama, ‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

ْ‫ْن َوه َُو َجالِسٌ َفإِ َذا أَ َرادَ أَن‬ َ ‫ر ُث َّم ي‬sُ ‫ت ُث َّم يُو ِت‬
ِ ‫ُصلِّى َر ْك َع َتي‬ ٍ ‫ان َر َك َعا‬ َ ‫ث َع ْش َر َة َر ْك َع ًة ي‬
َ ‫ُصلِّى َث َم‬ َ َ‫ُصلِّى َثال‬ َ ‫َك‬
َ ‫ان ي‬
‫ْح‬
ِ ‫صب‬ُّ ‫صالَ ِة ال‬ ِ ‫ْن َبي َْن ال ِّندَا ِء َو‬
َ ْ‫اإل َقا َم ِة مِن‬ ِ ‫صلِّى َر ْك َع َتي‬ َ ‫ َيرْ َك َع َقا َم َف َر َك َع ُث َّم ُي‬.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam
semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1
raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil
duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau
membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan
iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)

Kedua, dari Ummu Salamah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melakukan shalat dua raka’at sambil duduk setelah melakukan witir (HR. Tirmidzi
no. 471. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketiga, dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اف ِم ْن ُك ْم أَنْ الَ َيسْ َت ْيقِ َظ مِنْ آخ ِِر اللَّي ِْل َف ْليُوتِرْ مِنْ أَ َّو ِل اللَّي ِْل ُث َّم ْل َيرْ قُ ْد‬
َ ‫… َمنْ َخ‬
“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka
berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, …” (HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dipahami dari hadits ini bahwa jika orang tersebut
bangun di malam hari –sebelumnya sudah berwitiri sebelum tidur-, maka dia masih
diperbolehkan untuk shalat.

Adapun dalil yang mengatakan bahwa shalat witirnya tidak perlu diulangi adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِ ‫الَ ِو ْت َر‬
‫ان فِى لَ ْيلَ ٍة‬
“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no.
1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Pendapat kedua, mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnah lagi
sesudah melakukan shalat witir kecuali membatalkan shalat witirnya yang pertama,
kemudian dia shalat dan witir kembali. Maksudnya di sini adalah jika sudah melakukan
shalat witir kemudian punya keinginan untuk shalat sunnah lagi sesudah itu, maka shalat
sunnah tersebut dibuka dengan mengerjakan shalat sunnah 1 raka’at untuk
menggenapkan shalat witir yang pertama tadi. Kemudian setelah itu, dia boleh
melakukan shalat sunnah (2 raka’at – 2 raka’at) sesuka dia, lalu dia berwitir kembali.

Inilah pendapat lainnya dari ulama-ulama Syafi’iyah. Mengenai pendapat ini terdapat
riwayat dari ‘Utsman, ‘Ali, Usamah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas. Dasar dari
pendapat ini adalah diharuskannya shalat witir sebagai penutup shalat malam. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صالَ ِت ُك ْم ِباللَّي ِْل ِو ْترً ا‬


َ ‫اجْ َعلُوا آخ َِر‬
“Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan
Muslim no. 751)

Pendapat yang Terkuat

Dari dua pendapat di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan
beberapa alasan berikut.

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah setelah beliau
mengerjakan shalat witir. Perbuatan beliau ini menunjukkan bolehnya hal tersebut.

Kedua, pendapat kedua yang membatalkan witir pertama dengan shalat 1 raka’at untuk
menggenapkan raka’at, ini adalah pendapat yang lemah ditinjau dari dua sisi.

1. Witir pertama sudah dianggap sah. Witir tersebut tidaklah perlu dibatalkan setelah
melakukannya. Dan tidak perlu digenapkan untuk melaksanakan shalat genap
setelahnya.

2. Shalat sunnah dengan 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi
tidaklah dikenal dalam syari’at.

Dengan dua alasan inilah yang menunjukkan lemahnya pendapat kedua.

Kesimpulan

Dari pembahasan kali ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.

Pertama, bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesudah shalat witir.


Kedua, diperbolehkannya hal ini juga dengan alasan bahwa shalat malam tidak ada
batasan raka’at sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al
Fatawa, 22/272).

Jika kita telah melakukan shalat tarawih ditutup witir bersama imam masjid, maka di
malam harinya kita masih bisa melaksanakan shalat sunnah lagi. Sehingga tidak ada
alasan untuk meninggalkan imam masjid ketika imam baru melaksanakan shalat tarawih
8 raka’at dengan niatan ingin melaksanakan shalat witir di rumah sebagai penutup
ibadah atau shalat malam. Ini tidaklah tepat karena dia sudah merugi karena
meninggalkan imam sebelum imam selesai shalat malam. Padahal pahala shalat bersama
imam hingga imam selesai shalat malam disebutkan dalam hadits, “Siapa yang shalat
bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam
penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Shahih).

Ketiga, adapun hadits Bukhari-Muslim yang mengatakan “Jadikanlah penutup shalat


malam kalian adalah shalat witir”, maka menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat
malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan bukanlah wajib karena terdapat dalil
pemaling dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah,
395).

4. Tips sholat khusyu


Inti dari shalat adalah zikir mengingat Allah Swt, sebagaimana firman Allah Swt.
‫َوأَق ِِم ال اَّل صاَل َة ِل ي‬
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”. (Qs. Thaha *20+: 14).
Oleh sebab itu Allah Swt mengecam orang yang shalat tetapi tidak mengingat Allah:
) 5 ) َ‫( الاَّل نَ ُى ْم عَ نْ صَ اَل ِِت ْم سَ اىُوف‬4 ) ‫َفػ َو ٌل ل ِْلمُصَ ل ِّد‬
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya”. (Qs. al-Ma’un *107+: 4-5).
Zikir mengingat Allah Swt dalam shalat tidak dibangun sejak Takbiratul-Ihram, akan tetapi jauh
sebelum itu. Rasulullah Saw sudah mengajarkan kekhusyu’an hati sejak berwudhu’.
Memahami makna lafaz yang dibaca dalam shalat. Pemahaman tersebut mendatangkan
kekhusyu’an di dalam hati.
Merasakan dialog dengan Allah Swt. Ketika sedang membaca al-Fatihah, seorang hamba
sedang berdialog dengan Tuhannya. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan
‫ َقا َؿ‬.( ‫اتضمْ ُد لِلاَّل ِو رَ ِّد ب ْالعَ الَ ِم‬
َْ ) ‫ت ال اَّل صالَ َة بػ ْ َي ِن َوبػ عَ ْبدِى صْ فَ َولِعَ ْبدِى مَا سَ َؿ فَ َذا َقا َؿ ْالعَ ْب ُد‬
ُ ْ‫َقا َؿ اللاَّل وُ َتػعَ الَذ َقسَ م‬
‫اللاَّل وُ َتػعَ ا َلذ‬
َ ْ ‫تِزدَ نِّ ِ عَ ْبدِى َوإِ َذا َقا َؿ )الاَّل‬
- ‫ َقا َؿ َتغاَّل دَ نِّ ِ عَ ْبدِى‬.( ‫َِْْ ِو الدِّد ِن‬s ‫ َوإِ َذا َقا َؿ )مَالِكِ ػ‬.‫ َقا َؿ اللاَّل وُ َتػ عَ الَذ أَ ْثػ َ ِن عَ َل اَّل ى عَ ْبدِى‬.( ‫تز ِن الاَّل ِيم‬ sََِ
‫َو َقا َؿ َماَّل ًة‬
‫ فَ َذا َقا َؿ )ا ْى ِد ا ال ِّد‬. ‫ َقا َؿ ىَ ا بػ ْ َي ِن َوبػ عَ ْبدِى َولِعَ ْبدِى مَا سَ َؿ‬.( ‫ؾ سْ َت ِع‬ ‫اََّل‬
َ ‫ؾ ػ َْع ُب ُد َوإِ اَّل ا‬
َ ‫ فَ َذا َقا َؿ )إِ اَّل ا‬- ‫َفػاَّل وضَ إِ لذ عَ ْبدِى‬
َ ‫ص‬
‫اط‬
ِ ‫اط الاَّل نَ أَ ػعَ مْ تَ عَ لَيْ ْم اَي ِْر ْال َم ضُو‬
.» ‫ َقا َؿ ىَ ا لِعَ ْبدِى َولِعَ ْبدِى مَا سَ َؿ‬.( ‫ب عَ لَيْ ْم َوالَ ال اَّل ضال ِّد‬ َ ‫ص‬ ِ ‫ْالمُسْ تَ ي َم‬
Allah berfirman: “Aku membagi shalat itu antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, bagi
hamba-Ku apa yang ia mohonkan.
Ketika hamba-Ku itu mengucapkan: [ ‫اتضمْ ُد لِلاَّل ِو رَ ِّد ب ْالعَ ا َل ِم‬
َْ ] (segala puji bagi Allah Rabb semesta
alam). Allah menjawab: [ ‫تِزدَ نِّ ِ عَ ْبدِى‬ sََِ ] (hamba-Ku memuji Aku).
Ketika orang yang shalat itu mengucapkan: [ ‫تز ِن الاَّل ِيم‬ َ ْ ‫( ] الاَّل‬Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang).
Allah menjawab: [ ‫( ] أَ ْثػ َ ِن عَ َل اَّل ى عَ ْبدِى‬hamba-Ku menghormati Aku).
Ketika orang yang shalat itu mengucapkan: [ ‫َِْْ ِو الدِّد ِن‬s ‫( ] مَالِكِ ػ‬Raja di hari pembalasan). Allah
menjawab: [ ‫ عَ ْبدِى‬sِِّ‫( ] َتغاَّل دَ ن‬hamba-Ku mengagungkan Aku). Dan [ ‫( ] َفػاَّل وضَ إِ اََّل لذ عَ ْبدِى‬hamba-Ku
melimpahkan (perkaranya) kepada-Ku).
َ ‫ؾ ػ َْع ُب ُد َوإِ اَّل ا‬
Ketika orang yang shalat itu mengucapkan: [ ‫ؾ سْ َت ِع‬ َ ‫( ] إِ اَّل ا‬kepada Engkau kami
menyembah dan kepada Engkau kami meminta tolong).
Allah menjawab: [ ‫( ] ىَ ا بػ ْ َي ِن َوبػ عَ ْبدِى َولِعَ ْبدِى مَا سَ َؿ‬ini antara Aku dan hamba-Ku, ia mendapatkan
apa yang ia mohonkan).
Ketika orang yang shalat itu mengucapkan: [ ‫ب‬ ِ ‫اط الاَّل نَ أَ ػ عَ مْ تَ عَ لَيْ ْم اَي ِْر ْال َم ضُو‬
َ ‫ص‬ِ ‫اط ْالمُسْ تَ ي َم‬
َ ‫ا ْى ِد ا ال ِّد ص‬
‫( ] عَ لَيْ ْم َوالَ ال اَّل ضال ِّد‬tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan yang telah Engkau berikan kepada
mereka, bukan jalan orang yang engkau murkai dan bukan pula jalan orang yang sesat).
Allah menjawab: [ ‫( ] ىَ ا لِعَ ْبدِى َولِعَ ْبدِى مَا سَ َؿ‬ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku itu mendapatkan
apa yang ia mohonkan). (HR. Muslim).
Merasakan seolah-olah itulah shalat terakhir yang dilaksanakan menjelang kematian
tiba sehingga tidak ada kesempatan untuk beramal shaleh sebagai bekal menghadap Allah Swt

5. Bagaimana tata cara sujud syahwi


TATA CARA SUJUD SAHWI Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Sujud sahwi adalah
suatu istilah untuk dua sujud yang dikerjakan oleh orang yang shalat, fungsinya untuk menambah
celah-celah yang kurang dalam shalatnya karena lupa. Faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang harus mengerjakan sujud sahwi ada tiga macam : penambahan, pengurangan dan
ragu-ragu 1. Penambahan Apabila seorang yang shalat menambah shalatnya, baik menambah
berdiri, duduk, rukuk atau sujud secara sengaja, maka shalatnya batal (tidak sah). Jika dia
melakukannya karena lupa dan dia tidak ingat bahwa dia telah menambah shalatnya hingga
selesai shalat, maka dia tidak terkena beban apa pun kecuali hanya mengerjakan sujud sahwi,
sedangkan shalatnya tetap sah. Tetapi jika dia telah menyadari adanya tambahan tersebut di
saat dia masih mengerjakan shalat, maka dia wajib kembali kepada posisi yang benar, lalu
mengerjakan sujud sahwi, dan shalatnya tetap sah. Sebagai contoh Ada seseorang telah
mengerjakan shalat dzuhur 5 (lima) rakaat, tetapi dia baru mengingatnya kembali setelah posisi
tasyahud (akhir), maka dia harus menyempurnakan tasyahudnya (terlebih dahulu), lalu salam,
kemudian baru sujud sahwi dan salam lagi. Jika dia baru mengingatnya kembali setelah salam,
maka dia harus segera mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia mengingatnya di
saat masih mengerjakan rakaat yang ke lima, maka dia harus segera duduk pada saat itu juga,
lalu bertasyahud dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Dalilnya ada hadits Abdullah
bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu [1] ‫(ومَا‬ َ ‫صالَةِ؟ َف َقا َل‬ َّ ‫ أَ ِزيْدَ فِي ال‬: ‫ َفقِ ْي َل َل ُه‬،‫ض ْهرَ َخمْ سًا‬ ُّ ‫أَنَّ ال َّن ِبيِّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم صَ لَّى ال‬
)‫ْن ُث َّم سَ لَّمَز (رواه الجماعة‬ ِ ‫ َفسَجَ دَ سَ جْ دَ َتي‬،‫ صَ لَيْتَ َخمسًا‬: ‫َذاكَ ؟) َقالُ ْوا‬
ِ ‫ َف َث َنى ِرجْ لَ ْي ِه َواسْ َت ْق َب َل القِ ْبلَ َة َفسَجَ دَ سَ جْ دَ َتي‬: ‫ َوفِي ِر َوا َي ٍة‬.‫ْن َبعْ دَ مَا سَ لَّ َم‬
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dzuhur 5 (lima) rakaat. Maka
ada yang bertanya kepada beliau : “Apakah shalat sengaja ditambah? Beliau menjawab :
“Memangnya apa yang terjadi?” Kemudian mereka (para sahabat) menjawab: “Anda telah
mengerjakan shalat (dzuhur) lima rakaat. “Maka beliau langsung sujud dua kali kemudian salam”
Dalam riwayat lain disebutkan : “Maka beliau langsung melipat kedua kakinya dan menghadap
kiblat, kemudian sujud dua kali dan salam” [HR Al-Jama’ah] [2] Salam Sebelum Sempurna Shalat
Salam sebelum sempurna (selesai) shalat, juga termasuk penambahan dalam shalat [3]. Oleh
karena itu, apabila seorang yang shalat dengan sengaja salam sebelum selesai shalat, maka
shalatnya batal. Jika dia mengerjakannya karena lupa dan dia baru mengingatnya kembali
setelah rentang waktu yang lama, maka dia harus mengulangi shalatnya. Tetapi jika dia telah
mengingatnya kembali hanya dalam rentang waktu beberapa saat saja, seperti dua atau tiga
menit, maka dia hanya perlu menyempurnakan shalatnya saja dan salam, kemudian baru sujud
sahwi dan salam lagi. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. ‫أَنَّ ال َّن ِبيَّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه‬
‫م ال َّن ِبيُّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه‬sَ ‫و َقا‬،
َ ُ‫صالَة‬
َّ ‫ت ال‬ ِ ‫ب ْالمَس‬
ِ َ‫قُصِ ر‬: َ‫ج ِد َيقُ ْولُ ْون‬ ِ ‫ان مِنْ أَب َْوا‬
ِ َ‫ َف َخرَ جَ السُّرْ ع‬،‫ْن‬ ِ ‫الظ ْهرَ أَ ِو ْالعَ صْ رَ َفسَ لَّ َم مِنْ رَ ْكعَ َتي‬ ُّ ‫َوسَ لَّ َم صَ لَّى ِب ِه ُم‬
‫صالَةُ؟ َف َقا َل ال َّن ِبيُّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه‬ َّ ‫ت ال‬
ِ َ‫صر‬ ِ ُ‫ أَ َنسِ يْتَ أَم ق‬،ِ ‫ يَارَ س ُْو َل هَّللا‬: ‫ َف َقاْ َم رَ ُج ٌل َف َقا َل‬، ٌ‫ج ِد َفا َّت َكا َّ عَ لَ ْيهَا َكأ َ َّنس ُه غَ ضْ َبان‬
ِ ْ‫َوسَ لَّ َم إِلَى َخ َشبَة فِي ْال َمس‬
ُّ‫ َف َت َق َّد َم ال َّن ِبيْي‬s،‫ َنعَ ْم‬: ‫ (أَحَ ُّق مَا َيقُ ْولُ؟) َقالُ ْوا‬: ‫ َف َقا َل ال َّن ِبيُّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم لِلصَّحَ ا َب ِة‬، َ‫ َبلَى َق ْد َنسِ يْت‬: ‫َوسَ لَّ َم (لَ ْم أَ ْنسَ َولَ ْم ُت ْقصَ رُ) َف َقا َل الرَّ ُج ُل‬
)‫ (متفق عليه‬.‫ْن ُث َّم سَ لَّ َم‬ ِ ‫ ُث َّم سَ جَ دَ سَ جْ دَ َتي‬،‫“ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َفصَ لَّى مَا َبقِيَ مِنْ صَ الَ ِت ِه ُث َّم سَ لَّ َم‬Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur atau ashar bersama para sahabatnya. Tetapi
baru dua rakaat, beliau telah salam. Maka orang-orangpun bergegas keluar dari pintu-pintu
masjid seraya mengatakan : “Shalat telah diqashar (diringkas)”. Sementara Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bangkit dan berjalan mendekati sebatang kayu yang berada di dalam masjid,
lalu beliau menyandarkan diri kepadanya seakan-akan beliau sedang marah. (Melihat hal itu),
maka ada seorang laki-laki lalu berdiri seraya mengatakan : Wahai Rasulullah, apakah engkau
lupa atau memang sengaja mengqashar shalat? Beliau menjawab: “Aku tidak lupa dan tidak pula
berniat mengqasharnya”. Laki-laki tadi menegaskan : “Benar, sungguh Anda telah lupa”.
Kemudian beliau menanyakan hal itu kepada para sahabatnya yang lain: “Benarkah apa yang
dikatakannya?” Mereka menjawab :benar. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
maju ke depan, lalu beliau menyempurnakan rakaat shalat yang belum dikerjakannya kemudian
salam. Selanjutnya beliau sujud dua kali kemudian salam lagi” [Mutafaqun Alaihi] [4] Apabila
seorang imam telah salam sebelum sempurna shalatnya, sedangkan di antara para makmum
ada orang-orang yang masbuk (belum mengerjakan beberara raka’at shalatnya), maka mereka
harus bangkit untuk menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi. Namun bila kemudian
imam tersebut ingat kembali bahwa shalatnya kurang lengkap, lalu dia bangkit untuk
menyempurnakan shalatnya, dalam kondisi seperti ini, maka bagi para makmum yang telah
menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi diberikan dua pilihan. Dia boleh berasumsi
bahwa mereka telah menyempurnakan shalatnya, lalu hanya mengerjakan sujud sahwi atau
mereka kembali bersama imam dan mengikutinya lagi. (Jika pilihan kedua ini yang mereka pilih),
maka bila imam telah salam lagi, mereka harus kembali lagi menyempurnakan shalatnya yang
tertinggal tadi, kemudian setelah salam baru mengerjakan sujud sahwi. Hal ini lebih utama dan
lebih berhati-hati 2. Pengurangan Pengurangan dalam mengerjakan shalat ada beberapa
macam, di antaranya adalah sebagai berikut: A. Kekurangan Rukun-Rukun Dalam Shalat Apabila
seorang yang shalat mengurangi (tidak mengerjakan) salah satu rukun shalat, jika yang kurang
tadi adalah takbiratul ihram, maka tidak ada shalat baginya, baik ketika dia meninggalkannya
karena sengaja maupun karena lupa, sebab shalatnya belum dianggap dimulai. Jika yang kurang
tadi bukan takbiratul ihram, dia sengaja meninggalkannya, maka shalatnya batal. Tetapi jika dia
meninggalkannya karena lupa, bila dia telah sampai pada rakaat kedua maka dia harus
membiarkan rukun shalat yang tertinggal tadi dan mengerjakan rakaat berikutnya sebagaimana
posisinya. Tetapi jika dia belum sampai pada rakaat kedua, maka dia wajib mengulangi kembali
rukun shalat yang tertinggal tadi, kemudian menyempurnakannya dan rukun-rukun setelahnya.
Dalam kedua kondisi ini, maka dia wajib mengerjakan sujud sahwi setelah salam. Sebagai
contoh. Misalnya seorang lupa tidak mengerjakan sujud kedua pada rakaat pertama, kemudian
dia baru mengingatnya pada saat dia sedang duduk di antara dua sujud pada rakaat kedua,
maka dia harus membiarkan rakaat pertama yang telah dikerjakannya tadi lalu melanjutkan
rakaat kedua sebagaimana mestinya. Sedangkan rakaat yang telah dia kerjakan tadi, telah
dianggap sebagai rakaat pertama dan dia tinggal menyempurnakan shalatnya. Setelah itu salam,
dilanjutkan sujud sahwi dan salam lagi. Kasus lain. Misalnya seseorang lupa tidak mengerjakan
sujud kedua dan duduk sebelum sujud pada rakaat pertama, kemudian dia baru mengingatnya
kembali setelah berdiri dari rukuk (I’tidal) pada rakaat kedua, maka dia harus kembali duduk dan
sujud, kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam
lagi. B. Adanya Kekurangan Dalam Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Shalat Apabila seorang yang
shalat dengan sengaja tidak mengerjakan salah satu dari hal-hal yang diwajibkan dalam shalat,
maka shalatnya batal. Jika dia mengerjakannya karena kelupaan, kemudian dia baru
mengingatnya kembali sebelum mengerjakan kewajiban kewajiban shalat yang lainnya, maka dia
harus menyempurnakan kewajiban yang kelupaan tadi dan dia tidak terkena beban apapun. Jika
dia baru mengingatnya kembali setelah tidak pada posisinya tetapi belum sampai pada rukun
shalat berikutnya, maka dia harus kembali dan mengerjakan kewajiban shalat yang terlupakan
tadi, kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam. Setelah itu hendaknya dia bersujud
sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia baru mengingatnya setelah sampai pada rukun shalat
berikutnya, maka gugurlah dan dia tidak boleh kembali untuk mengerjakan rakaat yang
terlupakan tadi, kemudian dia diharuskan melanjutkan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi
sebelum salam. Sebagai contoh Misalnya seseorang langsung bangkit dari sujud kedua pada
rakaat kedua untuk mengerjakan rakaat ketiga karena lupa (tidak ingat) tasyahud awal, tetapi
kemudian dia mengingatnya sebelum berdiri, maka dia harus tetap duduk dan mengerjakan
tasyahud awal, kemudian menyempurnakan shalatnya dan dia tidak terkena beban apapun. Jika
dia baru mengingatnya kembali setelah bangkit, tetapi belum sampai berdiri dengan sempurna,
maka dia harus kembali, lalu duduk dan mengerjakan tasyahud, kemudian menyempurnakan
shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia baru mengingatnya
kembali setelah berdiri dengan sempurna, maka gugurlah kewajiban baginya untuk mengerjakan
tasyahud yang terlupakan tadi dan dia tidak boleh kembali untuk mengerjakan tasyahud tersebut.
Selanjutnya dia hanya tinggal menyempurnakan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi
sebelum salam. Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lain-
lainnya [5] dari Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu a’nhu. ‫الظ ْهرَ َف َقا َم فِي‬ ُّ ‫أَنَّ ال َّن ِبيَّ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم صَ لَّى ِب ِه ُم‬
َ ُ
‫ْن‬ِ ‫ْن َولَم َيجْ لِسْ (للِ َّت َش ُه ِد ْالأل َّول) َف َقا َم ال َّناسَ مَعَ ُه حَ َّتى إِ َذا َقضَ ى الصَ الَ َة َوا ْن َت َظرَ ال َّناسُ َتسْ لِي َم ُه َكبَّرَ َوه َُو جَ الِسُ َفسَجَ دَ سَ جْ دَ َتي‬ ِ ‫الرَّ ْكعَ َتي‬
ِ ‫ْن األو لَ َيي‬
‫“ َق ْب َل أَنْ يُسَ لِّ َم ُث َّم سَ لَّ َم‬Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur bersama
para sahabat, kemudian beliau langsung berdiri pada rakaat kedua yang pertama dan beliau
tidak duduk (yakni tasyahud awal), maka orang-orang pun juga ikut berdiri bersama beliau
hingga shalat usai. Kemudian semua orang menunggu-nunggu beliau salam, tetapi beliau
bertakbir lagi padahal beliau sedang duduk, kemudian beliau bersujud dua kali sebelum salam,
kemudian setelah itu baru beliau salam” 3. Ragu-Ragu Asy-Syak adalah keraguan antara dua
perkara, mana diantara keduanya yang benar. Ragu-ragu yang tidak perlu dihiraukan dalam
semua ibadah adalah dalam tiga kondisi. 1. Apabila keraguan itu hanya berupa angan-angan
belaka yang tidak nyata, seperti perasaan was-was. 2. Apabila seseorang sering sekali
dihinggapi perasaan ragu-ragu, sehingga setiap kali dia ingin melaksanakan suatu ibadah pasti
akan ragu-ragu. 3. Apabila keragu-raguan itu muncul setelah melaksanakan suatu ibadah. Maka
dia tidak perlu menghiraukan perasaan ragu-ragu tersebut selama perkaranya belum jelas dan
dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya. Sebagai contoh Misalnya
seseorang telah mengerjakan shalat zhuhur. Tetapi setelah selesai mengerjakan shalat dia
merasa ragu-ragu, apakah dia shalat tiga rakaat atau empat rakaat. Maka dia tidak perlu
menggubris perasaan ragu-ragu ini kecuali bila dia telah merasa yakin bahwa dia memang shalat
tiga rakaat. Apabila dia tahu bahwa shalatnya tiga rakaat, maka dia harus menyempurnakan
shalatnya jika rentang waktu (dengan shalatnya tadi) masih berdekatan, lalu salam, kemudian
sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia baru mengingatnya kembali setelah terpaut waktu
yang lama, maka dia harus mengulangi kembali shalatnya. Sedangkan merasa ragu selain dalam
tiga kondisi tersebut, maka perlu dipertimbangkan (diperhatikan). Ragu-ragu dalam shalat tidak
akan terlepas dari dua kondisi dibawah ini. 1. Dia bisa menentukan salah satu yang lebih rajih
(kuat/benar) di antara dua perkara, maka dia harus mengerjakan apa yang menurutnya lebih rajih
tersebut, kemudian menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam
lagi. Sebagai contoh Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat zhuhur, kemudian dia
merasa ragu-ragu dalam salah satu rakaatnya, apakah ia berada di rakaat kedua atau ketiga.
Jika perkiraannya lebih condong bahwa itu rakaat ketiga, maka dia harus menganggapnya
sebagai rakaat ketiga dan setelah itu dia tinggal menambah satu rakaat lagi dan salam,
kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Dalilnya adalah sebuah hadits yang disebutkan dalam
Ash-Shahahain dan yang lain, dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
ِ ‫ ُث َّم َيسْ ُج ُد سَ جْ دَ َتي‬،‫ ُث َّم لِيُسَ لِّ ْم‬،ِ‫ك أَحَ ُد ُك ْم قِي صَ الَ ِت ِه َف ْل َي َتحَ رَّ الص ََّوابَ َف ْل ُي ِت َّم عَ لَ ْيه‬
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. ‫ْن‬ َّ ‫إِ َذا َث‬
)‫“ (هذا لَفظ البخاري‬Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya, maka
hendaklah dia menentukan sendiri yang menurutnya benar, lalu menyempurnakan dengan
pilihannya tadi dan salam, kemudian sujud dua kali” [Ini adalah lafazh Al-Bukhari] [6] 2. Dia tidak
bisa menentukan salah satu yang lebih rajih di antara dua perkara tersebut, maka minimal dia
mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya. Kemudian menyempurnakan shalatnya
sesuai dengan yang diyakininya tadi, lalu sebelum salam sujud sahwi, kemudian baru salam.
Sebagai contoh. Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat Ashar, kemudian dia merasa
ragu dalam salah satu rakaat, apakah itu rakaat kedua atau ketiga dan dia tidak memiliki
perkiraan yang paling mungkin, rakaat kedua atau ketiga. Maka dia harus menganggapnya
sebagai rakaat kedua, kemudian mengerjakan tasyahud awal, dan setelah itu dia tinggal
mengerjakan dua rakaat lagi, kemudian sujud sahwi dan salam. Dalilnya adalah sebuah hadits
yangb diriwayatkan oleh Muslim [7] dari Abu Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda. َ‫َطرَ ِح ال َّشك‬ ْ ‫ك أَحَ ُد ُك ْم فِي صَ الَ ِت ِه َفلَم ي َْدر َك ْم صَ لَّى َثالَ ًثا َأ ْم أَرْ َبعًا؟ َف ْلي‬ َّ ‫إِ َذا َث‬
ِ ِ
‫ان‬ َ ‫َرْ ب ٍَع َكا َن َتا َترْ غِ ْيمًا لِل َّشي‬sَِ‫ َوإِنْ َكانَ صَ لَّى إِ ْتمَامًاِأل‬،ُ‫ َفإِنْ َكانَ صَ لَّى َخمْ سًا َش َفعْ نَ لَ ُه صَ الَ ُته‬،‫ْن َق ْب َل أَنْ يُسَلِّ َم‬
ِ ‫ْط‬ ِ ‫ْن عَ لَى َمااسْ َت ْي َقنَ ُث َّم َيسْ ُج ُد سَ جدَ َتي‬ِ ‫َو ْل َيب‬
“Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu berapa
rakaat dia shalat, tiga atau empat rakaat, maka hendaknya dia membuang keraguan tersebut
dan hendaknya dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya, kemudian sujud dua kali
sebelum salam. Jika dia ternyata shalat lima rakaat, maka shalatnya tersebut akan menjadi
syafaat baginya, sedangkan jika ternyata dia shalat tepat empat rakaat, maka kedua sujudnya
bisa membuat marah syetan”. Sebagai contoh. Apabila seseorang datang, sedangkan imam baru
mengerjakan rukuk, maka dia harus segera mengerjakan takbiratul ihram dan bediri dengan
sempurna, kemudian baru rukuk. Pad saat seperti itu, maka dia tidak akan terlepas dari tiga
kondisi. 1. Dia benar-benar merasa yakin bahwa dia telah mendapatkan rukuk bersama imam
sebelum imam tersebut bangkit dari rukuknya, sehingga dia dikategorikan telah mendapat satu
rakaat dan gugur kewajiban membaca surat al-fatihah. 2. Dia benar-benar merasa yakin bahwa
imam tersebut telah bangkit dari rukuknya sebelum dia mendapatkannya, sehingga dia
dikategorikan tidak mendapatkan rakaat tersebut 3. Dia merasa ragu-ragu, apakah dia telah
mendapatkan rukuk bersama imam sehingga dia dikategorikan telah mendapatkan satu rakaat
atau imam tersebut telah bangkit dari rukuknya sebelum dia menjumpainya, sehingga dia
dikategorikan tidak mendapatkan satu rakaat. Jika dia bisa menentukan mana yang lebih rajih
antara dua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang menurutnya
lebih rajah tadi, lalu menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam
lagi. Kecuali jika dia tidak meninggalkan salah satu dari hal-hal yang diwajibkan dalam shalat,
maka dia tidak perlu mengerjakan sujud sahwi. Jika dia tidak bisa menentukan mana yang lebih
rajah antara kedua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang
diyakininya (yakni dia tidak mendapatkan rakaat tersebut), lalu dia harus menyempurnakan
shalatnya dan sujud sahwi sebelum salam, kemudian baru salam. Faedah Apabila seseorang
merasa ragu-ragu dalam shalatnya, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang
diyakininya atau yang menurutnya lebih rajih sebagaimana yang telah dijelaskan secara
mendetail di atas. Namun bila akhirnya dia yakin bahwa apa yang dikerjakannya itu ternyata
sesuai dengan kenyataan, tidak menambah ataupun mengurangi, maka menurut pendapat
madzhab yang popular dia telah gugur kewajiban (tidak perlu lagi) mengerjakan sujud sahwi
karena factor yang mengharuskan dia harus mengerjakan sujud sahwi yaitu keragu-raguan
sudah tidak ada lagi. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa dia belum gugur mengerjakan
sujud sahwi untuk membuat syetan marah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. ‫ان‬ َ ‫َرْ ب ٍَع َكا َن َتا َترْ غِ ْيمًا لِل َّشي‬s‫ًاِأل‬
ِ ‫ْط‬ َِ ‫“ َوإِنْ َكانَ صَ لَّى إِ ْتمَام‬.. Sedangkan jika ternyata shalatnya tepat empat
rakaat, maka kedua sujud tersebut membuat marah syetan” [8] Disamping itu, karena ada
sebagian dari shalatnya yang dikerjakan dengan perasaan ragu-ragu. Inilah pendapat yang lebih
rajih (kuat). Sebagai contoh. Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat, kemudian
timbullah keraguan dalam salah satu rakaatnya, apakah ia dalam rakaat kedua atau ketiga?
Karena dia tidak bisa menentukan mana yang lebih rajih antara kedua perkara tersebut, maka
dia menganggapnya sebagai rakaat yang kedua, lalu dia menyempurnakan shalatnya. Namun
akhirnya jelaslah baginya bahwa itu memang benar-benar rakaat kedua, maka menurut pendapat
madzhab yang popular, dia tidak wajib sujud sahwi, sedangkan menurut pendapat kedua yang
menurut kami lebih rajih hendaknya dia mengerjakan sujud sahwi sebelum salam. [Disalin dari
buku Tata Cara Sujud Sahwi, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah
Mutsanna Abdul Qohhar, Penerbit Pustaka At-Tibyan. Jl. Kyai Mojo 58, Solo, 57117] ________
Footnote [1]. HR Mutafaqun Alaih. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam (kitab) As-Shalah, bab :
maa ja’a fie al-qiblah, (404) yang redaksionalnya sangat pendek, dan pada hadits (401)
redaksionalnya sangat panjang, dalam (kitab) As-Sahwi (1227) dan juga dalam pembahasan-
pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam kitab Al-Masajid, bab :
As-Sahwi fie Ash-Shalah (91) dan (572). [2]. Para perawi al-Jama’ah lainnya : Abu Dawud
meriwayatkannya dalam (kitab) Ash-Shalah, bab : Idza shalla khamsan, (2019) dan (1020), At-
Tirmidzi meriwayatkannya dalam bab : maa ja’a fie sajdatai as-sahwi ba’da as-salam wa al-kalam
(392). An-Nasaa-i meriwayatkannya dalam ; As-Sahwi, bab : At-Taharry (III/33), (1242) dan
1243), dan Ibnu Majah dalam Iqamah ash-Shalah, bab : ma ja’a fiiman syakka fie shalatihi
(1211). [3]. Hal ini juga dikategorikan menambah dalam shalat karena ia telah menambah salam
pada saat dia masih mengerjakan shalat. [4]. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam : Ash-Shalah,
bab : Tasybik al-Ashabi’ fie al-Masjid wa Ghairihi, (482) redaksionalnya sangat pendek, (714) dan
(715) dalam : As-Sahwi (1226) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam
Muslim meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalat (97) dan (573). [5].
HR Al-Bukhari : Al-Adzan bab : man lam yara at-Tasyahud wajiban..(829), dalam : As-Sahwi
(1223,1225) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim
meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fii ash-Shalah (85) dan (570) [6]. HR Al-
Bukhari dalam : Ash-Shalah, bab : At-Tawajjuh Nahwa Al-Qiblah (401) dan Muslim dalam Al-
Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalah (89) dan (572) [7]. HR Muslim dalam :Al-Masajid, bab
As-Sahwu fie ash-Shalah, (88) dan (571)

Referensi: https://almanhaj.or.id/2217-tata-cara-sujud-sahwi.html

6. Bagaimana harus bersikap baik yang sedang sholat maupun yang ingin menjadi
makmum? jika Ketika kita ingin menjadi makmum namun ternyata orang yang sedang
sholat ini sholat sunnah
Jawab: Sebaiknya sikap kita adalah untuk mempersilahkan siapapun yang datang
untuk bermakmum kepada kita tanpa menolaknya walaupun berbeda jenis antara
sholat kita dengan sholat orang yang datang tersebut, sehingga kita tetap
melanjutlkan sholat sunnah tersebut sampai selesai

Penjelasan: Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagaimana disebutkan
oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Ustaimin yang artinya:

“Ada yang mengatakan tidak boleh bagi seseorang yang melakukan sholat fardhu
bermakmum di belakang seseorang yang melakukan sholat sunnah, karena tidak
mungkin sesuatu yang derajatnya lebih tinggi berada di belakang yang derajatnya
lebih rendah, sedangkan Sholat Fardhu derajatnya di atas sholat sunnah, bagaimana
mungkin seseorang yang melakukan sholat sunnah menjadi imam bagi orang yang
melakukan sholat fardhu. Dan Di antara para ulama ada juga yang mengatakan
bolehnya seseorang yang melakukan sholat fardhu bermakmum kepada yang
melakukan sholat sunnah, dan inilah pendapat yang Rajih (kuat)”.
(www.binothaimeen.net/content/9074)

Beliau merajihkan pendapat yang membolehkan dengan dalil bahwa Muadz bin Jabal
rhadiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika sholat Isya bersama Nabi ‫ ﷺ‬secara
berjamaah, kemudian Muadz pergi menuju kaumnya untuk mengimami kaumnya
melaksanakan sholat Isya tersebut, sedangkan Muadz menjadikan sholatnya ketika
menjadi imam tersebut sebagai sholat sunnah, dan Nabi ‫ ﷺ‬tidak mengingkari hal
tersebut, sehingga berbeda niat dan jenis sholatnya Muadz rhadiyallahu ‘anhu
dengan sholat kaumnya. (lihat Hadits Riwayat Bukhari nomor: 5641 dan Muslim
nomor: 711).
Pertanyaan serupa yaitu: Jika seseorang sedang sholat sunnah, kemudian datang
seseorang bermakmum kepadanya apakah ini dibolehkan ?” pernah diajukan kepada
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Ustaimin :

,‫ وال ينبغي له أن يأبى فيحرم نفسه ويحرم الداخل ثواب الجماعة‬,‫ فإذا دخل معه القادم نوى الجماعة‬,‫ نعم يجوز ذلك‬:‫فأجاب فضيلته بقوله‬
‫وما جاز في النفل جاز‬, ‫وقد ثبت أن النبي صلي هللا عليه وسلم قام يصلي من الليل وحده فجاء ابن عباس – رضي هللا عنهما – فصلى معه‬
‫ ألن األصل تساوي أحكامهما إال بدليل يدل على الخصوصية‬s‫في الفرض؛‬

“Maka Syaikh menjawab: Iya hal tersebut dibolehkan, apabila seseorang sholat
sunnah sendirian kemudian datang orang lain berniat sholat berjamaah maka tidak
sepantasnya ia menghalangi dirinya dan orang yang datang untuk mendapatkan
pahala sholat berjamaah, dan telah disebutkan bahwa suatu ketika Nabi ‫ ﷺ‬pernah
sholat malam sendirian, maka Ibnu Abbas rhadiyallahu ‘anhuma datang dan
bermakmum kepada Nabi ‫ﷺ‬. Dan apapun yang dibolehkan pada sholat sunnah maka
hal yang sama pun dibolehkan pada sholat fardhu, karena pada dasarnya adanya
kesamaan hukum antara keduanya kecuali jika ada dalil yang mengkhususkan.”
(Majmu’ Fatawa wa Rosail al-Utsaimin: 15/171).

Maka, dengan demikian sebaiknya sikap kita adalah untuk mempersilahkan siapapun
yang datang untuk bermakmum kepada kita tanpa menolaknya walaupun berbeda
jenis antara sholat kita dengan sholat orang yang datang tersebut, sehingga kita
tetap melanjutlkan sholat sunnah tersebut sampai selesai

Read more https://konsultasisyariah.com/35873-saat-shalat-sunnah-ada-yang-


bermakmum-shalat-wajib.html

1. Sholat di Jama'
a. Selama musim panas di Jerman, karena waktu shalat terlalu malam, kita
diperbolehkan menjama' shalat maghrib & isya'. Apa dasar hukum/hadis yang
mendasari jama shalat tersebut? 2) Dan mulai kapan kita bisa menjama' maghrib
& isya? dan setelahnya langsung tarawih

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin


rahimahullah

Permasalahan seperti ini pernah ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin


Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah.
‫ا أن‬ss‫رة ليالَ وبم‬ss‫ة عش‬ss‫اعة الثاني‬ss‫ل أي في الس‬ss‫ف اللي‬ss‫اء الى منتص‬ss‫ لدينا في المانيا يتأخر وقت صالة العش‬:‫السؤال‬
‫دخول وقت صالة الفجر الساعة الثالثة صباحا َ فهل يجوز جمع العشاء مع المغرب لهذا السبب اذا علمنا ان الناس‬
.‫يشق عليهم انتظار دخول وقت العشاء الرتباطهم بأعمالهم التي يجب أن يستيقظوا الها مبكرين‬

Pertanyaan:

Kami tinggal di Jerman. Saat ini waktu shalat isya jatuh pada pertengahan
malam, yaitu sekitar pukul 12 malam. Sedangkan waktu shalat subuh masuk
pada pukul tiga pagi. Bolehkah menggabungkan (men-jamak) shalat maghrib
dan isya’ karena sebab seperti ini? Karena kita tahu bahwa kaum muslimin di
sana merasa berat untuk menunggu datangnya waktu isya’. Karena mereka
memiliki tanggungan pekerjaan yang mengharuskan mereka bangun pagi-
pagi.

Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah:

‫حيح‬s‫د ثبت في ص‬s‫اء وق‬ss‫ار وقت العش‬s‫قة انتظ‬ss‫ال حرج ان يجمع العشاء الى المغرب في مثل هذه الحال وذلك لمش‬
‫ر‬s‫ر والعص‬s‫ع بين الظه‬s‫لم جم‬s‫ه وس‬s‫ه وعلى ال‬s‫مسلم عن عبدهللا بن عباس رضي هللا عنهما ان النبي صلى هللا علي‬
‫ لماذا جمع؟ قال اراد أال يحرج امته‬:‫وبين المغرب والعشاء في المدينه من غير خوف وال مطر فسألوا ابن عباس‬
‫اء الى‬ss‫وا العش‬ss‫اس ان يجمع‬ss‫رج فال ب‬ss‫وم يلحقهم الح‬ss‫ؤالء الق‬ss‫ان ه‬ss‫ واذا ك‬. ‫ع‬ss‫رك الجم‬ss‫االحرج في ت‬ss‫اي أال يلحقله‬
‫ده ليس في‬ss‫ا بع‬ss‫ل أو م‬ss‫ف اللي‬ss‫فق إلى منتص‬ss‫ والظاهر لي حسب ما بلغني أن تأخر مغيب الش‬, ‫المغرب جمع تقديم‬
.‫كل السنة بل في بعض الفصول فقط‬

Tidak masalah men-jamak shalat isya’ di waktu maghrib dalam kondisi


semacam ini. Hal ini karena adanya kesulitan (masyaqqah) ketika menunggu
waktu shalat isya’. Terdapat sebuah hadits di Shahih Muslim, dari sahabat
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah men-jamak antara shalat dzuhur dan ashar; shalat maghrib dan
isya di kota Madinah, bukan karena ketakutan (khouf) dan bukan pula karena
hujan. Para sahabat pun bertanya kepada Ibnu ‘Abbas,”Mengapa beliau
menjamak?” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ”Beliau ingin supaya
tidak memberatkan umatnya.” Maksudnya, beliau tidak ingin menyusahkan
umatnya dikarenakan tidak menjamak.
Oleh karena itu, jika masyarakat mengalami kesulitan, maka tidak mengapa
men-jamak antara shalat maghrib dan isya’ dalam bentuk jamak taqdim
(dikerjakan pada waktu maghrib, pen.). Dan yang tampak bagi saya, sesuai
dengan apa yang sampai kepadaku, bahwa berakhirnya syafaq (cahaya
kemerahan di ufuk; ini adalah tanda masuknya waktu shalat isya, pen.)
sampai pertengahan malam atau setelahnya, tidaklah terjadi di sepanjang
tahun, melainkan hanya terjadi di beberapa musim saja. [1]

Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat untuk kaum muslimin.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25537-bolehkah-


menjamak-shalat-maghrib-dan-isya-di-musim-panas.html
https://www.iisev.de/wissensportal/artikel/die-zusammenlegung-der-gebete-im-sommer/

Im Sommer verschiebt sich in unseren Regionen nicht nur die Zeit des Nachtgebets bis in die
Mitte der Nach…t, teilweise bleibt das in der Sunna etablierte islamrechtliche Merkmal (Ende der
Abenddämmerung) komplett aus. In Frankfurt einschließlich vom 31.5. bis einschließlich des
12.07. (43 Tage), in Hamburg einschließlich vom 14.5. bis einschließlich des 30.07. (79 Tage)
und in Berlin einschließlich des 18.5. bis einschließlich des 25.07. (69 Tage)1. Dies führt immer
wieder zu Fragen und Diskussionen über die Zeit des Nachtgebets in diesem Zeitraum, daher
diese Informationsschrift, um aufzuklären und unnötigen Diskussionen vorzubeugen.

Die normale Zeit des Nachtgebets tritt mit dem Ende der Dämmerung ein, also mit der absoluten
Dunkelheit. Von Ibn ‘Abbâs:

„Allahs Gesandter hat gesagt: “Jibrîl hat mich zweimal beim Hause im Gebet geleitet, und er (….)
und er betete beim ersten Mal ‘Ischâ (das Nachtgebet) mit mir, als die Dämmerung vergangen
war, (….) und er betete beim zweiten Mal das Nachtgebet mit mir, als ein Drittel der Nacht
vergangen war. (…)” Abu Dawud, Tirmidhi

Diese Zeit existiert de facto im Sommer in Deutschland nicht, bis auf einige kleinere Gebiete im
Süden Deutschlands. Erklärung dazu:

Es gibt drei Dämmerungsarten:

Zivile Dämmerung

Zu dieser Zeit können noch die meisten Außenaktivitäten ohne Zusatzlicht ausgeführt werden.
Ende der zivilen Dämmerung: Wenn die Sonne 6 Grad unter dem Horizont verschwunden ist.

Nautische Dämmerung
Der Himmel ist schon so dunkel, dass die helleren Sterne gut zu sehen sind. Der Horizont ist auf
See noch erkennbar. Ende: Wenn die Sonne 12 Grad unter dem Horizont verschwunden ist.

Astronomische Dämmerung

Immer mehr Sterne werden sichtbar, aber der Himmel ist immer noch zu hell, als dass ein
Astronom schon arbeiten könnte. Erst wenn die Sonne 18 Grad unter dem Horizont
verschwunden ist, ist das Dämmerlicht verschwunden. Damit erst ist die für den Beginn des
Nachtgebets erforderliche absolute Nacht eingetreten.

Rechtliche Herausforderung
Wie beten wir korrekt das Nachtgebet in dieser Zeit des Sommers, in welcher das islamrechtliche
Merkmal für das Eintreten der Nacht ausbleibt? Die korrektere Lösung der Gelehrten:
Zusammenfassung des Abend- und Nachtgebets im Sommer, da es generell nur zwei mögliche
zeitliche Formen gibt, ein Gebet korrekt zu verrichten:

2. Die Gebete in ihrer Zeit verrichten,


3. Ein Gebet zusammengefasst entweder vorgezogen oder in die nächste Gebetszeit
aufgeschoben zu beten

4. Sholat tarawih
a. Pelaksanaan tarawih sebelum pandemi dan saat pandemi
Tidak ada bedanya, bisa dilakukan berjamaah dengan keluarga, atau teman, bisa dilakukan sendiri.

b. Tips konsisten tarawih


Jika ada teman, cari teman. Jika sendiri, sadari dan resapi keutamaan qiyamul lail “man qama imanan
wah tisaban”
c. Bagaimana Tarawih sendiri: niat sendiri
dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang menceritakan shalat malam yang dikerjakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ َفل َا‬،‫ ث ّـَُمَّ يُ َصِلِّ ّـي أ َ ْربَ ًعا‬،َّ‫ع ْن ُح ْس ِن ِه ّـ ََّن َو ُطولِ ِه ّـَن‬
َ ‫ َفل َا تَ َس ْل‬،‫ يُ َصِلِّ ّـي أ َ ْربَ ًعا‬،‫ع ْش َر َة َرك َْع ًة‬ َ ‫غيْ ِر ِه‬
َ ‫عل َى ِإ ْح َدى‬ َ ‫ان َول َا ِفي‬
َ ‫يد ِفي َر َم َض‬
ُ ‫َان يَ ِز‬
َ ‫َما ك‬
‫ ث ّـَُمَّ يُ َصِلِّ ّـي ثَل َاث ًا‬،َّ‫ع ْن ُح ْس ِن ِه ّـ ََّن َو ُطولِ ِه ّـَن‬
َ ‫تَ َس ْل‬

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah nambahi lebih dari 11 rakaat, baik di
dalam ramadhan maupun di luar ramadhan. Beliau shalat 4 rakaat, jangan kamu
tanya bagusnya dan panjangnya. Kemudian shalat lagi 4 rakaat, jangan kamu tanya
bagusnya dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. (HR. Bukhari 3569)
Ulama berbeda pendapat mengenai makna hadis di atas, kaitannya dengan tata cara
shalat tarawih yang paling afdhal,

Pertama, yang paling afdhal shalat dikerjakan 4 rakaat salam – 4 rakaat salam.
Meskipun boleh 2 rakaat – 2 rakaat, atau 6 rakaat salam atau lainnya. Ini adalah
pendapat Abu Hanifah.

Al-Iraqi dalam kitabnya Tharhu at-Tatsrib menukil pendapat Abu Hanifah,

‫وقال أبو حنيفة األفضل أن يصلي أربعا أربعا وإن شاء ركعتين وإن شاء ستا وإن شاء ثمانيا وتكره الزيادة على ذلك‬

Abu Hanifah mengatakan, yang afdhal shalatnya dikerjakan 4 rakaat – 4 rakaat. Jika
dia mau, boleh 2 rakaat. Jika dia mau, boleh 6 rakaat, dan jika dia mau, boleh 8
rakaat salam. Dan makruh lebih dari itu. (Tharhu at-Tatsrib, 3/74).

Kedua, yang paling afdhal adalah 2 rakaat salam – 2 rakaat salam

Ini merupakan pendapat jumhur ulama – Imam Malik, Imam as-Syafii, Imam
Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan yang lainnya –. Sementara Ibnu Abi
Syaibah menyebutkan bahwa ini juga pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Hasan al-Bashri, Said bin Jubair, Ikrimah (mantan budak Ibnu
Abbas), Salim putra Ibnu Umar, Muhammad bin Sirin, Ibrahim an-Nakhai dan yang
lainnya.

Dan pendapat kedua ini yang lebih benar. Dengan alasan,

[1] Penjelasan A’isyah radhiyallahu ‘anha mengenai makna pernyataan beliau 4


rakaat – 4 rakaat. Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

‫ع ْش َر َة َرك َْع ًة يُ َسلِ ّ ُم ِفى ك ّ ُِل اثْنَتَيْ ِن‬


َ ‫ج ِر ِإ ْح َدى‬ َ ‫ يُ َصلِ ّى َما بَيْ َن أ َ ْن يَفْ ُر‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ِى‬
ْ َ‫غ ِم ْن َصال َ ِة ال ِْع َشا ِء ِإل َى الْف‬ ُّ ‫َان النَّب‬
َ ‫ك‬
ِ ‫َويُو ِت ُر ب َِو‬
‫اح َد ٍة‬

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat 11 rakaat antara isya sampai
subuh. Beliau salam di setiap 2 rakaat, dan melakukan witir dengan 1 rakaat. (HR.
Ahmad 25105, Nasai 693, Ibnu Majah 1420, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

[2] Lebih sesuai dengan tata cara yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai tata cara shalat lail. Kemudian beliau menjelaskan,

‫ ُتو ِت ُر ل َُه َما ق َْد َصَل ّـَّى‬، ‫اح َد ًة‬ ُّ‫ َف ِإذَا َخ ِش َىأ َ َح ُدك ُُم ّـ‬، ‫َصال َ ُة الَل ّـَّيْ ِل َمثْنَى َمثْنَى‬
ِ ‫الُصبْ َح َصَل ّـَّى َرك َْع ًة َو‬

“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika kalian takut masuk waktu shubuh,
maka kerjakanlah satu raka’at, untuk menjadi witir bagi shalat-shalat sebelumnya.”
(HR. Bukhari 990 dan Muslim 749)

Karena itu, yang lebih afdhal dikerjakan 2 rakaat salam – 2 rakaat salam.

Jika dikerjakan 4 rakaaat salam, apakah shalatnya batal?

Sebagian ulama berpendapat, shalat tarawih yang dikerjakan 4 rakaat dengan salam
sekali tidak sah. Ini adalah pendapat Syafi’iyah. Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

‫ وذلك ألن‬،‫ وإال صارت نفال مطلقا‬،‫ لو صلى في التراويح أربعا بتسليمة واحدة لم يصح فتبطل إن كان عامدا عالما‬:‫وقال الشافعية‬
‫التراويح أشبهت الفرائض في طلب الجماعة فال تغير عما ورد‬

Syafiiyah mengatakan, jika ada orang shalat tarawih 4 rakaat dengan salam sekali,
shalatnya tidak sah, dan batal. Jika dia lakukan dengan sengaja dan tahu tata
caranya. Jika tidak, maka shalat yang dia kerjakan menjadi shalat sunah mutlak.
Karena tarawih mirip dengan shalat wajib, dalam arti dianjurkan untuk dilakukan
secara berjamaah. Sehingga tidak boleh diubah dari riwayat yang ada. (al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah, 27/145).

Namun ini pendapat yang lemah. Dengan pertimbangan,

[1] Tata cara shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu
salam di setiap 2 rakaat, bukanlah keharusan. Karena semata perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak diiringi perintah bukanlah keharusan.

[2] Tata cara shalat yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beragam.
Bahkan terkadang beliau shalat 6 rakaat sekaligus, atau 8 rakaat sekaligus.

Salah satu cuplikanya bisa kita simak keterangan Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika
beliau menjelaskan kepada keponakannya tentang tata cara shalat malam Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫يها ِإَلاّـَّ ِفي‬ ِ ُ ِ‫جل‬
َ ‫سف‬ ْ َ‫ ل َا ي‬،‫ات‬ ٍ ‫ َويُ َصِلِّ ّـي ِت ْس َع َرك ََع‬،ُ‫َضأ‬ َّ‫ َويَتَ َو ّـ‬،ُ‫ فَيَتَ َس ّـََّوك‬،‫اء أ َ ْن يَبْ َعث َُه ِم َن الَل ّـَّيْ ِل‬ َ ‫ فَيَبْ َعث ُُه الَل ّـَّ ُه َما َش‬،‫ور ُه‬ َ ‫ـ َو َط ُه‬،‫ ِس َواك َُه‬،‫كَُناّـَّ نُ ِع ّـُُّدل َُه‬
‫ ث ّـَُمَّ يُ َس ِِّل ّـ ُم‬،‫وه‬
ُ ‫ع‬ ْ َ‫ـ ث ّـَُمَّ يَقْ ُع ُد فَيَ ْذك ُُر الَل ّـَّ َه َوي‬،‫اس َع َة‬
ُ ‫ح َم ُد ُه َويَ ْد‬ ِ َّ‫ ث ّـَُمَّ يَقُو ُم فَيُ َص ّـ ِِّلالَتّـ‬،‫ َول َا يُ َس ِِّل ّـ ُم‬،‫وه ث ّـَُمَّيَن ْ َه ُض‬
ُ ‫ع‬ ْ َ‫ فَيَ ْذك ُُر الَل ّـَّ َه َوي‬،‫امن َ ِة‬
ُ ‫ح َم ُد ُه َويَ ْد‬ ِ َّ‫الَثّـ‬
‫عل َيْ ِه‬ ُ ‫ َفل ّـَََّما أ َ َس ّـ ََّن نَب ّـُُِّي الَل ّـَّ ِه َصَل ّـَّى‬،‫ يَا ُبن َ ّـ ََّي‬،‫ع ْش َر َة َرك َْع ًة‬
َ ‫الله‬ َ ‫ َو ِتل َْك ِإ ْح َدى‬،ٌ‫َاعد‬ ِ ‫ ث ّـَُمَّ يُ َص ِِّل ّـي َرك َْعتَيْ ِن بَ ْع َد َما يُ َس ِِّل ّـ ُم َو ُه َو ق‬،‫يما يُ ْس ِم ُعنَا‬
ً ِ‫تَ ْسل‬
‫ َف ِتل َْك ِت ْس ٌع يَا بُن َ ّـ ََّي‬،‫يع ِه األ َ ّـََّو ِل‬ ِ ‫الَرك َْعتَيْ ِن ِمث َْل َص ِن‬ َّ‫ أ َ ْوتَ َر ب َِسبْ ٍع َو َصن َ َع ِفي ّـ‬،‫ح َم‬
ْ َّ‫َو َسَل ّـَّ َم َوأ َ َخ َذ الَل ّـ‬

“Kami mempersiapkan siwak dan air wudhu beliau. Bila Allah membangunkan beliau
pada waktu yang dikehendaki di malam hari, beliau bersiwak dan berwudlu,
kemudian shalat sembilan raka’at tidak duduk tasyahud kecuali pada raka’at
kedelapan. Beliau berdzikir, memuji Allah, dan berdoa (membaca tasyahud),
kemudian beliau bangkit dan tidak salam meneruskan raka’at kesembilan. Kemudian
beliau duduk, berdzikir, memuji Allah, dan berdoa, kemudian salam dengan satu
salam yang terdengar oleh kami. Setelah itu beliau shalat dua raka’at sambil duduk.
Jadi jumlahnya sebelas raka’at wahai anakku. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah tua dan gemuk, beliau berwitir tujuh raka’at, kemudian dua raka’at
setelahnya dilakukan seperti biasa, maka jumlahnya sembilan wahai anakku” (HR.
Muslim 746).

Dr. Muhammad bin Umar Bazmul mengatakan,

. ‫ أن يصلي مثنى مثنى عشر ركعات ثم يوتر بواحدة‬: ‫األولى‬: ‫ ويصليها على صفتين‬، ‫يشرع للمسلم أن يوتر بإحدى عشرة ركعة‬
ً ‫ أن يصلي أربعا ً أربعا ً ثم يصلي ثالثا‬: ‫الثاني‬.

“Dianjurkan bagi muslim untuk shalat witir 11 raka’at. Dia bisa mengerjakannya
dengan 2 cara:

(1) Dua raka’at salam – dua raka’at salam sebanyak 10 raka’at, lalu shalat witir satu
raka’at;

(2) Empat raka’at salam – empat raka’at, lalu shalat witir 3 raka’at.” (Bughyatul-
Mutathawwi’, hlm. 60-61)

Read more https://konsultasisyariah.com/27961-hukum-tarawih-4-4-3.html

5. Sholat awal waktu


Kita wajib memperhatikan shalat-shalat kita, karena yang pertama kali dihisab pada hari kiamat
adalah shalat, Rasulullah Saw bersabda:
َ ‫ت َفػ ْد أَ ْفػ لَحَ َوأَ ْت‬
ْ َ‫ؾحَ َوإِفْ َفسَ د‬
ِ ‫ت َفػ ْد َخابَ َو َخ‬
‫س فَ فِ ا‬ ْ َ‫َْو ا ْل يَا َم ِة مِنْ عَ َمل ِِو صَ الَ ُتوُ ف‬sََْ ‫إِ اَّل ف أَاَّل و َؿ مَا اسَ بُ ِب ِو ْالعَ ْب ُد ػ‬
ْ َ‫ف صَ لُح‬
ْ‫ػػ صَ مِن‬ ‫َت‬
ُ
ِ ‫ظ وا َى ْل لِعَ ْبدِى مِنْ َت َط ُّو ٍع َفػيُكَ اَّل م َل ا مَا ا ػ َتػ صَ مِنَ ْالفَ ضَ ِة ُثاَّل ُكوفُ سَ ا‬
‫ئ عَ َمل ِِو‬ ُ ‫فَ ضَ ت ِِو َشىْ ٌء َقا َؿ الاَّل بُّ عَ اَّل ل َوجَ اَّل ل ا‬

َ‫عَ لَى َذلِك‬


“Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat dari amalnya
adalah
shalatnya. Jika shalatnya baik, maka ia menang dan berhasil. Jika shalatnya rusak, maka ia telah
sia-sia
dan rugi. Jika ada kekurangan pada shalatnya, Allah berfirman: “Perhatikanlah, apakah hamba-
Ku itu
melaksanakan shalat-shalat sunnat, maka disempurnakan kekurangan itu”. Demikianlah seluruh
amalnya”. (HR. at-Tirmidzi).

a. Bagaimana sikap kita baiknya Ketika waktu sholat sudah masuk namun kita sedang
ditengah pekerjaan yang butuh izin terlebih dahulu, namun jika izin untuk sholat kita
tidak tahu apakah diperbolehkan karena atasan bukan orang muslim mungkin juga
kita lagi kelas tidak perlu izin namun takut ketinggalan informasi (Kondisi: pekerja
dan pelajar).
i. Apakah bertanya tapi Ketika tidak diizinkan, dikesempatan berikutnya kita
“berbohong” secara baik.
Dalam hukum dasar jerman dijamin adanya kebebasan menjalankan agama, jadi kita pada dasarnya
memiliki hak, dengan catatan tidak mengganggu hak orang lain, mis. shalat di tengah ruangan kantor,
atau sekolah.
ii. Untuk menghindari ketinggalan informasi, pelajar tersebut menjama’ sholat.
Berapa kali boleh dilakukan karena kelas ini punya jadwal rutin.
Yang lebih utama adalah menyiasati, misalkan dgn merekam saat kita sedang pause shalat
iii. Untuk menghindari ketinggalan informasi, pelajar sholat dikelas dalam
kondisi duduk, karena waktu itu waktunya pendek itu bagaimana hukumnya
apakah sah?
Shalat fardhu wajib dilakukan dgn berdiri jika tidak ada hajat atau kesulitan atau masyaqqah atau
uddur, selama memungkinkan.
iv.
v. Nah kalau sudah panjang waktunya, pelajar tersebut ingin mengejar sholat
awal waktu namun ingin menghindari ketinggalan informasi jadi sholat di
kelas dengan kondisi duduk, lalu sholat kembali (berdiri) ketika kelas sudah
selesai. Ini bagaimana hukumnya?

Orang yang mampu dengan mudah untuk berdiri (baik sakit maupun sehat selama
mudah untuk berdiri) tidak bolehshalat fardhu sambil duduk. Orang yang shalat
fardhu sambil duduk, padahal dia mampu berdiri maka shalatnya batal dan harus
diulangi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang seseorang yang
sakit wasir, sehingga sulit berdiri ketika shalat. Beliau menasehatkan,

‫ فإِن لم تستطع فعلى جَ نب‬،ً‫ فإِن لم تستطع فقاعدا‬،ً‫صَ ِّل قائما‬

“Shalatlah sambil berdiri, jika kamu tidak mampu sambil duduk, dan jika kamu tidak
mampu, sambil berbaring miring.” (HR. Bukhari 1117).

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha,

‫ َفإِ َذا َبقِيَ مِنْ قِرَ ا َء ِت ِه َنحْ وٌ مِنْ َثالَثِينَ – أَ ْو أَرْ َبعِينَ – آي ًَة َقا َم َف َقرَ أَهَا‬، ٌ‫ َف َي ْقرَ أ ُ َوه َُو جَ الِس‬،‫أَنَّ رَ سُو َل هَّللا ِ صَ لَّى هللاُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َكانَ يُصَ لِّي جَ الِسًا‬
َ‫ ُث َّم سَجَ د‬،ُ‫ ُث َّم َيرْ َكع‬،‫َوه َُو َقا ِئ ٌم‬

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sambil duduk. Beliau membaca
al-Fatihah dan surat sambil duduk. Ketika yang beliau baca tinggal 30 atau 40 ayat,
beliau berdiri. Lalu beliau melanjutkan bacaan shalat sambil berdiri. Kemudian beliau
rukuk, kemudian sujud. (HR. Bukhari 1119 dan Muslim 731).

Read more https://konsultasisyariah.com/21956-hukum-shalat-sambil-duduk.html

Read more https://konsultasisyariah.com/21956-hukum-shalat-sambil-duduk.html

Anda mungkin juga menyukai