Sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Ummu Habibah dan sudah tertera di buku
Pelajaran sekolah, maka saya akan menjelaskan hadits yang lainnya yaitu terkadang shalat
sunnah rawatib mu’akkadah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak
sepuluh rakaat sebagaimana di atas, akan tetapi shalat dua rakaat sebelum dhuhur.
ُّ َ ْ َ
ْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ الظ ْهر َس ْج َد َت َّ
يِ وبَعد َّها سجدت،ي ِ قبل- صل هللا عليه َوسلم- َصل ْيت َم َع َرسول هللا: عن ابن عمر رض هللا عنهما قال،
َ ْ َ َّ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َْ َ ْ َ ْ َ َ ََْ
المغ ِرب َوالعشاء َوالجم َعة ف َصل ْيت َم َع فأما،ي
ِ وبعد الجمعة سجدت،ي ِ وبعد العشاء سجدت،ي ِ و َّبعد المغ ِرب سجدت
متفق عليه. ف َب ْيته- صل هللا عليه وسلم-ب الن ي
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu berkata: «Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebelum dhuhur dua rakaat, dan setelahnya dua rakaat, setelah maghrib dua
rakaat, setelah shalat isya’ dua rakaat, setelah shalat jum’at dua rakaat, adapun shalat
maghrib, isya’, dan jum’at, maka aku shalat bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
rumahnya. (Muttafaq alaih)[2].
2. Shalat rawatib yang tidak mu’akkad : Dilakukan namun tidak terus-menerus : dua rakaat
sebelum ashar, maghrib, isya’, dan disunnahkan selalu shalat empat rakaat sebelum ashar.
Beberapa dalil yang mensyariatkannya dan keutamaan shalat sunnah rawatib akan saya jelaskan
secara ringkas pada penjelasan dibawah ini, yaitu :
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensyari'atkan shalat sunnah untuk meningkatkan amal manusia
dan menutupi segala kekurangan dan kesalahan yang ada, sebagaimana hal itu diperintahkan oleh
Allah dalam Kitab-Nya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
َ الس يي َئات ۚ َذ َٰ ل َك ذ ْك َر َٰى ل َّلذاكر َ ْ ال َح َس َنات ي ْذه َّ َ ً َ َ َ َّ َ َ َ َ َ َّ
ْ الل ْيل ۚ إ َّن َ
ين ِ
َّ ي َوأقم الصَلة طر ِف النه ِار وزلفا من
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebagian permulaan
malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-
perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. ” [Huud/11:114]
1. Keutamaan yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Habibah di atas adalah
bagi orang yang menjaga shalat-shalat sunnah rawatib dengan melaksanakannya secara kontinyu,
sebagaimana yang dipahami dan dikerjakan oleh Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, perawi hadits
di atas dan demikian yang diterangkan oleh para ulama.
B. Shalat Dhuha
1. Pensyari’atannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewasiatkan tiga perkara kepadaku: puasa tiga hari pada tiap bulan (tanggal 13, 14, 15 pada bulan
Hijriyyah), dua raka’at shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.”
2. Keutamaannya
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ْ َ ُ ٌَ َ َ َ ُ ٌَ َ َ َ ُ ٌَ َ َ ُ َ ًَ َ ُ َ َ ُ َ
َوكل تكب ْ َية، َوكل ت ْهل ْيلة َصدقة، َوكل ت ْحم ْيدة َصدقة، فكل ت ْسب ْي َحة َصـدقة،ي ْصبح َعل ك يل سال َم م ْن أ َحدك ْم َصدقة
َ َ ْ َ ٌ َ َ َ ْ ْ ْ َ ٌ َ َ ْ َ ٌَ َ
َوي ْج ِزى م ْن ذلك َرك َعتان َي ْركع َها م َن الض َح، َونه َع ِن المنك ِر َصدقة، َوأ ْمر بال َم ْعر ْوف َصدقة، َصدقة.
“Pada masing-masing ruas jari kalian terdapat hak shadaqah. Setiap tasbih adalah shadaqah.
Setiap tahmid adalah shadaqah. Setiap tahlil adalah shadaqah. Setiap takbir adalah shadaqah.
Memerintah kebaikan adalah shadaqah. Mencegah kemunkaran adalah shadaqah. Semua itu
tercukupi dengan mengerjakan shalat Dhuha dua raka’at.”
3. Bilangan Raka’atnya
Paling sedikit dua raka’at. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits tadi. Dan paling banyak
delapan raka’at.
Dari Ummu Hani’ Radhiyallahu anhuma, bahwa pada hari Fat-hu Makkah (penaklukan kota
Makkah), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi di rumahnya lalu shalat delapan raka’at.”
“Waktu shalat al-awwaabiin (Dhuha) adalah ketika anak unta merasa kepanasan di pagi hari.“
C. Shalat Witir
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
ْ ْ ْ َ َّ
هللا ِوت ٌر يحب ال ِوت َر إن.
“Sesungguhnya Allah itu ganjil (tunggal) dan menyukai orang yang shalat Witir.”[1]
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Sesungguhnya shalat witir itu tidak wajib. Dan tidak
sebagaimana shalat kalian yang wajib. Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Witir
kemudian berkata:
ْ ْ ْ َ َّ َ ْ ْ َ ْ ْ َ ْ َ َ
هللا ِوت ٌر يحب ال ِوت َر فإن،يا أهل القرآن أوتروا.
“Wahai ahlul Qur-an, shalat witirlah. Karena sesungguhnya Allah itu ganjil (tunggal) dan menyukai
orang yang shalat Witir.”[2]
2. Waktunya
Boleh mengerjakan shalat Witir setelah shalat ‘Isya’ hingga terbit fajar. Sedangkan pada sepertiga
malam terakhir adalah waktu yang paling utama.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat witir pada setiap bagian malam, baik di awal waktu, pertengahan, ataupun akhir malam.
Shalat Witir beliau selesai di waktu sahur.”[3]
Disunnahkan menyegerakan shalat witir pada awal malam bagi yang takut tidak bisa bangun pada
akhir malam. Sebagaimana disunnahkan mengakhirkannya pada akhir malam bagi yang merasa
yakin akan bangun di akhir malam.
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada Abu Bakar, ‘Kapan engkau shalat Witir?’ Dia menjawab: ‘Aku shalat Witir sebelum tidur.’
Beliau lalu bertanya pada ‘Umar, ‘Kapan engkau shalat Witir?’ Dia menjawab, ‘Aku tidur kemudian
shalat Witir.’” Dia (Abu Qatadah) berkata, “Beliau berkata kepada Abu Bakar: ‘Engkau telah
mengambilnya dengan hati-hati.’ Dan berkata kepada ‘Umar: ‘Engkau telah mengambilnya dengan
kekuatan.’[4]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat,
sedangkan aku tengah tidur terlentang di atas ranjang. Jika ingin shalat Witir, beliau
membangunkan aku, dan aku pun shalat Witir.”[5]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah shalat lebih dari sebelas raka’at, baik pada bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan.
Beliau shalat empat raka’at. Janganlah engkau tanyakan tentang baik dan panjangnya. Kemudian
beliau shalat empat raka’at lagi. Dan jangan engkau tanyakan tentang baik dan panjangnya. Setelah
itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tiga raka’at.”[7]
Juga dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat malam
sebanyak tiga belas raka’at. Beliau berwitir dengan lima raka’at dan tidak duduk kecuali pada
raka’at terakhir.”[8]
Jika berwitir dengan tiga raka’at, maka membaca surat yang disebutkan dalam hadits berikut ini
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca pada shalat witir: Sabbihisma Rabbikal A’laa (Al-A’laa), Qul yaa ayuhal kaafiruun (Al-
Kaafiruun), dan Qul huwallaahu Ahad (Al-Ikhlash), masing-masing untuk setiap raka’at.”[10]
َ َّ َ َ َ َ َ ْ َ َْ َْ
َّ َ َوقب،ت ْ َ َّ َ َّ َ َ َ َ َ َ ْ ّ َ
فإنك،ش َما قض ْيت َو َب ِارك ل فيما أعطي، َوت َولب ف ْي َم ْن ت َول ْيت، َو َعافب ف ْي َم ْن َعاف ْيت،الله َّم اهدن ف ْي َم ْن هد ْيت
َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َّ َ
َ َ َ َ ْ ْ َ
ت َب َاركت َرَّبنا َوت َعال ْيت، َوإنه ل َيذل َم ْن َوال ْيت،تقض ْـي َول يقض عل ْيك.
“Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau menunjuki orang yang mendapat petunjuk-Mu.
Jagalah aku sebagaimana Engkau menjaga orang yang mendapat penjagaan-Mu. Peliharalah aku
sebagaimana orang yang mendapat pemeliharaan-Mu. Berkahilah apa yang Engkau berikan
kepadaku. Lindungilah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan. Karena sesungguhnya
Engkaulah yang menetapkan, dan tidak ada sesuatu yang (dapat) mengatur-Mu. Sesungguhnya
tidak akan hina orang yang mentaati-Mu. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, ya Allah.”[11]
Berdasarkan hadits Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melaksanakan Qunut dalam shalat Witir sebelum ruku’.”[12]
Tidak disyari’atkan qunut dalam shalat wajib kecuali jika terjadi musibah dan bencana. Ketika itu,
Qunut dilakukan setelah ruku’, dan tidak dikhususkan untuk shalat wajib tertentu.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak
mendo’akan keburukan atau kebaikan bagi seseorang, maka beliau melaksanakan qunut setelah
ruku’.”[13]
Adapun qunut yang dilakukan pada shalat Shubuh secara terus menerus, maka itu adalah bid’ah
D. Shalat Jum’at
Allah mensyari’atkan bagi umat Islam beberapa perkumpulan untuk menguatkan hubungan dan
menjalin keakraban di atara mereka, ada pertemuan desa, yaitu shalat lima waktu, ada pertemuan
kota, yaitu shalat jum’at dan dua hari raya, dan ada pertemuan internasional, di waktu haji di
mekah, inilah pertemuan umat Islam, pertemuan kecil, sedang, dan besar.
َّ َ ْ َ َ َ َّ َ َّ
ف ْيـه خل َق،خ ْي َي ْوم طل َعت َعل ْيـه الش ْمس َي ْوم الجـم َعة: «عن أن هريرة رض هللا عنه أن النب َصل هللا َعل ْيه َو َسل َم قال
َّ َ َّ َ ْ ُْ َ َّ َ َ ْ ُ ْ َ َ
»أخرجه مسلم. اعة إّل ف َي ْوم الجـم َعة َوال تقوم الس، َوف ْيـه أخ ِر َج من َـها،الجنة وفيـه أدخل،آدم
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sebaik-baik hari dimana matahari terbit adalah hari jum’at, di hari itu Adam diciptakan, dan pada
hari itu dimasukkan ke surga, dan pada hari itu dikeluarkan darinya, dan tidak terjadi hari kiamat
kecuali pada hari juma’t[1]
Yang lebih baik antara adzan pertama untuk shalat jum’at dan adzan kedua ada tenggang waktu
yang cukup bagi umat Islam terutama yang jauh, orang yang tidur dan lalai untuk bersiap-siap
untuk shalat dengan melaksanakan adab-adabnya, dan sunnah-sunnahnya.
Shalat jum’at menggantikan shalat dhuhur, maka siapa yang telah shalah jum’at maka ia tidak
boleh shalat dhuhur setelahnya, dan wajib memelihara shalat jum’at, siapa yang meninggalkannya
sebanyak tiga kali karena meremehkannya maka Allah akan menutup hatinya.
1. Disunnahkan bagi orang yang hendak menghadiri shalat Jum’at agar mengamalkan beberapa
hadits berikut ini:
Dari Salman al-Farisi, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ َ َ ْ َ ْ َ ي َ ََ ََ ْ َْ َ
ث َّم َيخـرج فال يف يرق، أ ْو َي َمس م ْن ط ْيب َب ْيته، َويدهن م ْن دهنه،ل َيغتسل َرج ٌل َي ْو َم الجم َعة َو َيتط َّهر َما ْاستطاع م َن الط ْه ِر
ْ ْ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ َّ ْ َّ َ َ َ ْ َ َ ُ َ ّ َ َّ َْْ َ َْ
ي الجم َعة األخ َرى إل غفر له ما بينه وب، ث َّم َينصت إذا تكل َم اإل َمام،ب له ثم يصل ما كت،ي ِ بي اثن.
“Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci dengan sebaik-baiknya. Setelah itu
berminyak rambut atau memakai wangi-wangian dari rumahnya. Kemudian keluar (menuju
masjid), tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat sunnah semampunya. Lantas diam ketika
imam berkhutbah, melainkan diampuni dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at yang lain.”[1]
Dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, mengenakan
baju terbaiknya, dan mengenakan minyak wangi, jika ada. Kemudian menghadiri shalat Jum’at dan
tidak melangkahi orang-orang. Setelah itu shalat semampunya lantas diam ketika imam keluar
hingga selesai shalat. Maka itu semua adalah penghapus dosa antara Jum’at itu dan Jum’at
sebelumnya.”[2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
َ َ َ َْ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ ْ ْ َ ٌ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َ ْ َ َ َ
فإذا،اس َعل قد ِر َمنازلهم األ َّول فاأل َّول إذا كان َي ْوم الجم َعة كان َعل ك يل َباب م ْن أ ْب َواب ال َم ْسجد مالئكة يكتبون الن
ً َ َّ َ ًََ َّ َ َ ْ َ ْ َ ي َ َ س ْاإل َمام َطووا الصح َ َج َل
ث َّم، ث َّم كالذ ْي ي ْهدي َبق َرة، َو َمثل الم َه يج ِر ك َمثل الذ ْي ي ْهدي َبدنة،ف َو َجاؤ ْوا َي ْستمع ْون الذك َر
َ َ َْْ َّ َ َ َّ َّ َ َ َك َّالذ ْي ي ْهدي الك ْب.
َ ْ
ث َّم كالذ ْي ي ْهدي البيضة،اجة َ الد َج ث َّم كالذ ْي ي ْهدي،ش
“Jika hari Jum’at tiba, maka sepada tiap pintu-pintu masjid terdapat para Malaikat. Mereka
mencatat orang-orang berdasarkan kedudukan mereka. Yang datang pertama mendapat
kedudukan pertama. Jika imam duduk, maka mereka menutup lembar catatan dan masuk untuk
mendengar dzikir (khutbah). Perumpamaan orang yang datang di awal waktu ibarat orang yang
berkurban dengan unta. Setelah itu seperti orang yang berkurban dengan sapi. Kemudian seperti
orang yang berkurban dengan domba. Lalu seperti orang yang berkurban dengan ayam. Berikutnya
lagi seperti orang yang berkurban telur.“[3]
Dari Aus bin Aus, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya seutama-utama hari kalian adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan
dan diwafatkan. Pada hari itu pula sangkakala (kedua) ditiup dan manusia dimatikan (tiupan
sangkakala pertama.-ed.) pada hari itu perbanyaklah mengucap shalawat atasku. Karena
sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana shalawat kami sampai kepada engkau, padahal jasad engkau telah rusak?” Beliau
bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan bumi memakan (merusak) jasad
para Nabi.“[4]
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َْ َ ْ َ َْ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َْ ْ َْ ْ َ َْ َََ ْ َ
يِ من قرأ سورة الكهف ف يوم الجمعة أضاء له النور ما بي الجمعت.
“Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka terdapat cahaya yang
meneranginya di antara dua Jum’at.”[5]
Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
َ َ
ـاعة َب ْعد َصالة َ َل ي ْو َجد ف ْي َها َع ْب ٌد م ْسل ٌم َي ْس َأل،اع ًة
َ َف ْال َتمس ْو َها آخ َر َس،هللا َش ْي ًئا إ َّل َا َتاه إ َّياه َ ْ َي ْوم ْالجم َعة ا ْث َن َتـا َع
َ ش َة َس
ص ْ َْ
ِ الع.
“Hari Jum’at terdiri dari dua belas waktu. Tidak ada seorang hamba muslim pun yang saat itu
meminta pada Allah melainkan Allah mengabulkannya. Carilah ia (waktu yang mustajab) di
akhir waktu tersebut, yaitu setelah shalat ‘Ashar.”[6]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Dulu pada hari Jum’at orang-orang berbondong-
bondong dari rumah-rumah mereka dan dataran tinggi…”[7]
Dari az-Zuhri rahimahullah, “Dahulu penduduk Dzul Hulaifah berkumpul bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal jaraknya enam mil dari Madinah.”[8]
Dari ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, dia berkata, “Dahulu penduduk Mina menghadiri shalat
Jum’at di Makkah.”[9]
Al-Hafizh berkata dalam at-Talkhish (II/55), “Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan seseorang mendirikan shalat Jum’at di beberapa masjid
di Madinah. Tidak pula di desa-desa terdekat.”
4. Hari raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha) bertepatan dengan hari Jum’at[10]
Dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Id
kemudian memberi keringanan dalam shalat Jum’at. Beliau bersabda:
َْ َ ّ َ َْ َ َ ْ َ
ل فلي َص يل من شاء أن يص.
Disunnahkan agar imam mendirikan shalat Jum’at agar orang yang ingin melaksanakannya dan
orang yang tidak shalat ‘Id melaksanakannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ َّ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ ُ َ ْ َ
َوإنا م َج يمع ْون،ـاء أ ْج َزأه م َن الجم َعة فمن ش،اجت َم َع ف ْـي َي ْومك ْم هذا ع ْيدان قد.
“Pada hari ini telah berlangsung dua hari raya. Barangsiapa telah melakukan shalat ‘Id, maka dia
boleh meninggalkan shalat Jum’at. Namun, kami akan melakukan shalat Jum’at.”[12]
F. Shalat Ied
Shalat idul fitri dilakukan setelah selesai puasa bulan ramadhan, shalat idul adha dilakukan selesai
haji dan sepuluh hari bulan zulhijjah, keduanya termasuk kebaikan islam, umat islam
menunaikannya setelah melakukan dua ibadah yang agung sebagai syukur kepada Allah I.
Hukum shalat dua hari raya: sunnah mu’akkadah atas setiap muslim dan muslimah.
1. Waktu Shalat Ied.
Mulai matahari meninggi setinggi tombak hingga tergelincir, jika tidak tahu datangnya ied kecuali
setelah tergelincir matahari, maka shalat pada esok harinya, pada waktunya, dan tidak
menyembelih hewan kurban kecuali setelah selesai shalat ied.
Kemudian setelah membaca fatihah disunnahkan membaca surat al-A’la dengan keras pada rakaat
pertama, dan pada rakaat kedua setelah fatihah membaca surat al-Ghasyiyah, atau pada rakaat
pertama membaca surat Qaaf, dan pada rakaat kedua membaca surat (iqtarabatissaa’ah), suatu
kali membaca ini, dan suatu kali membaca yang itu.
Setelah salam, berkhutbah satu kali menghadap kepada jamaah, hendaklah isi khutbah adalah
memuji Allah, bersyukur kepadanya, menyanjungnya, mengingatkan wajibnya mengamlkan
syari’at Allah, mendorong mereka bersedekah, menganjurkan untuk berkurban dan menjelaskan
hukum-hukumnya kepada mereka.
Apabila hari raya bertepatan pada hai jum’at, maka siapa yang telah shalat ied gugur baginya shalat
jum’at, maka shalat dhuhur, adapun imam dan orang yang tidak shalat ied, maka wajib shalat
jum’at.
Apabila imam lupa salah satu takbir dan sudah mulai membaca maka gugur; karena takbir itu
sunnah dan telah lewat waktuya, dan tidak mengangkat tangan pada takbir-takbir tambahan pada
kedua rakaat di shalat ied dan shalat istisqa’.
Disunnahkan bagi imam menasihati wanita dalam khutbahnya, mengingatkan mereka akan
kewajibannya, dan menganjurkan mereka bersedekah.
Siapa yang mendapatkan shalat bersama imam sebelum salam pada shalat ied maka ia meneruskan
untuk menyempurnakan shalatnya, akan tetapi jika ia ketinggalan maka ia tidak perlu
mengqadha’nya.
Jika Imam telah selesai shalat, maka barang siapa yang ingin mendengarkan khutbah maka hal itu
baik dan utama akan tetapi jika ada yang ingin pergi maka hal itu juga boleh.
5. Waktu-waktu Takbir
Waktu takbir pada hari raya dimulai dari malam hari hingga shalat ‘ied ditunaikan.
Pada hari ‘Iedul Adha waktu takbir dimulai sejak masuk tanggal 10 Zulhijjah hingga tenggelam
matahari pada hari tanggal 13.
Sifat Takbir:
G. Shalat Tahajud
Hukum shalat Tahajjud adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Shalat
sunnah ini tetap berdasarkan dalil dari Al-Qur-an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan ijma' kaum Muslimin.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
ً َ َ َ َ ْ َ َٰ َ َ َ َ ً َ َ ْ َ َ َّ
ش أن َي ْب َعثك َربك َمق ًاما َم ْحمودا َوم َن الل ْيل فت َه َّجد به نافلة لك ع
“ Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat Tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan
bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat ke tempat yang terpuji ” [Al-Israa/17 :79]
َ ْ َ َْ َ َّ ً َ َ
كانوا قليَل م َن الل ْيل َما َي ْه َجعون َوباأل ْس َح ِار ه ْم َي ْست غفرون
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon
ampun (kepada Allah).” [Adz-Dzaariyaat/51 : 17-18]
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada Rabb-nya dengan
rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada
mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu
(bermacam-macam kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan
terhadap apaapkan yang telah mereka kerjakan.” [As-Sajdah/32: 16-17]
“Shalat yang paling utama setelah shalat yang fardhu adalah shalat di waktu tengah malam. ”
[1]
“ Sebaik-baik puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram,
dan sebaik-baik shalat setelah shalat yang fardhu adalah shalat malam. ” [2]
g) Shalat malam adalah wasiat yang pertama kali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sampaikan kepada penduduk Madinah ketika beliau memasukinya.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
“Memberi makan, ucapan santun, dan shalat di malam hari ketika orang lain tidur.” [6]
Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang
yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang
bukan mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal.
“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak
kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud
no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513).
Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas.
Ibunda ‘Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya,
َ َْ َ َ َّ َ َ َ َّ ُ ْ َ ٌ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َََ َ َ َ ْ ْ ََ
الن ي
ب – صل هللا عليه وسلم – فال يأمرنا به ورَّية أنت كنا نحيض مع
ِ أتج ِزى إحدانا صالتها إذا طهرت فقالت أحر
“Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah
engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi
shallallahu‘alaihi wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk
menggantinya” (HR. Al Bukhari no. 321).
“Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk
(tidak shalat) selama 40 hari” (HR. Ibnu Majah no. 530, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Ibnu Majah).
Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur untuk
meninggalkan shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas.
“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu
fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan
dalam safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).
“Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan.
Beliau besabda: ‘bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan‘” (HR. Muslim no. 698).
صلوا ف بيوتكم إذا كان فيه مشقة عل الناس من جهة المطر أو الزلق ف األسواق
“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang dirasakan
orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.”[1]
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu Bakar
untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).
“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah
sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (HR. Muslim no. 654).
Dalil-dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan
menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan
tidak hujan” (HR. Muslim no. 705).
Maka, orang yang sakit jika sakitnya membuat ia kesulitan untuk shalat pada waktunya
masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.
ارج ْع َف َص يل فإنك لم ت ي
صل
“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”
Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan
shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya
dengan bersabda:
ثم ْاستقبل الق ْب َلة ي،وء
فكي ْ الصالة
َ فأسبغ الوض َ
َّ مت إل…إذا ق
“Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…”
(HR. Bukhari 757, Muslim 397).
Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan baginya untuk shalat sambil
duduk, dan jika kesulitan untuk duduk maka sambil berbaring. Dari Imran bin
Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
ً َ َّ َّ َّ َ ْ
ً َص يل: فقال، وسلم عن الصالة
فإن، فإن لم تستطع فقاعدا، قائما ِ عليه هللا صل النب لت فسأ ، كانت ن َبواسي
َ
لم تستط ْع فعل َجنب
“Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika
tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan
berbaring menyamping” (HR. Al Bukhari, no. 1117).
Dalam riwayat lain disebutkan tambahan:
ً
فإن لم تستطع فمستلقيا
“Jika tidak mampu maka berbaring telentang”
Tambahan riwayat ini dinisbatkan para ulama kepada An-Nasa`i namun tidak terdapat dalam
Sunan An-Nasa`i. Namun para ulama mengamalkan tambahan ini, yaitu ketika orang sakit
tidak mampu berbaring menyamping maka boleh berbaring terlentang.
6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantu
Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap
menghadap kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya
untuk menghadapkan ia ke kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada kelonggaran
baginya untuk tidak menghadap kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:
فإذا،والمريض إذا كان عل الشير فإنه يجب أن يتجه إل القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إل القبلة
يخش من خروج وقت الصالة فإنه يصل عل،لم يستطع استقبال القبلة وليس عنده من يعينه عل التوجه إل القبلة
حسب حاله
“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap kiblat.
Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia tidak
mampu menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat,
dan ia khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai
keadaannya”[3]
a) Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak memungkinkan,
maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
b) Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka
tidak mengapa.
c) Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri.
Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan
diletakkan di atas tangan kiri.
d) Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
e) Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak
memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika
rukuk.
f) Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti
biasa.
2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk
Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil
berbaring. Shalat sambil berbaring ada dua macam:
1) Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak
bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat.
Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
2) Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan
berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan
kanan diletakkan di atas tangan kiri.
3) Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
4) Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua
tangan diluruskan ke arah lutut.
5) Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.
b. mustalqiyan (telentang)
Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:
1) Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat
sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap
kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
A. Jamak Takdim
Cara jamak takdim adalah mengerjakan shalat Ashar di waktu Zhuhur dan shalat Isya di
waktu Magrib, baik diqashar atau sempurna shalatnya.
Jamak takdim dalam madzhab itu karena:
1) Safar yang bisa mengqashar shalat bagi musafir
2) Hujan bagi orang mukim
Syarat jamak takdim yang belum disebutkan dalam Safinah An-Naja:
1) Tersisa waktu shalat pertama
2) Zhann (sangkaan) bahwa shalat pertama itu sah
3) Mengetahui diperbolehkan jamak shalat
Sehingga secara keseluruhan menjadi tujuh syarat untuk jamak shalat. Walaupun syarat
“tersisa waktu shalat pertama” tidak disetujui oleh Ibnu Hajar.
B. Jamak Takhir
Syarat jamak takhir adalah Safar yang bisa mengqashar shalat bagi musafir
Cara jamak takhir adalah melaksanakan shalat Zhuhur di waktu ‘Ashar atau shalat Magrib
di waktu ‘Isya.
Syarat jamak takhir adalah adanya niat takhir di waktu Zhuhur atau Magrib, sedangkan
yang tersisa dari waktu Zhuhur atau Magrib yang cukup untuk melaksanakan shalat secara
sempurna. Demikian menurut Ar-Ramli. Sedangkan menurut Ibnu Hajar: Cukup niat jamak
takhir sebelum keluarnya waktu yang pertama walaupun hanya tersisa untuk mengerjakan
satu rakaat. Apabila seseorang meninggalkan niat jamak takhir di waktu Zhuhur atau
Magrib, maka shalat pertama dilakukan di waktu kedua secara qadha’ dan berdosa (karena
menunda shalat) jika dilakukan sengaja dan tahu hukumnya.
َّ َ َ ْ ْ َ
و د َوام العذ ِر إل ت َمام الثان َية.َ
Maksudnya adalah adanya safar hingga selesainya shalat kedua, yaitu shalat Ashar atau
Isya. Apabila safar itu tidak berlanjut (sudah selesai), sehingga menjadi mukim di tengah
shalatnya, maka shalat pertama yaitu shalat Zhuhur atau Magrib menjadi niatan qadha’.
C. Qashar
Qashar adalah mengerjakan shalat fardhu lima waktu yang empat rakaat menjadi dua
rakaat. Syarat yang diperbolehkan mengqashar shalat bagi seorang musafir ada tujuh
syarat yaitu :
1) jarak safar (minimal) 2 marhalah (marhalatain),
2) safarnya mubah,
3) mengetahui qasharnya diperbolehkan,
4) niat qashar saat takbiratul ihram,
5) shalatnya jenis shalat 4 rakaat,
6) dalam keadaan safar hingga sempurna, dan
7) tidak menjadi makmum pada imam yang tamam (sempurna shalatnya) meski sebagian
rakaat saja.
Ada empat syarat tambahan yang belum disebutkan. Totalnya ada 11 syarat mengqashar
shalat. Syarat tambahan:
1) Adanya tujuan tempat tertentu walaupun hanya menunjuk arahnya seperti India.
2) Menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan niat qashar selama shalatnya, seperti niat
menyempurnakan shalat (shalat tamaam) dan ragu tentang niat qasharnya.
3) Perjalanan yang dilakukan dengan tujuan yang benar, seperti berhaji dan berdagang,
bukan sekadar bertamasya atau melihat-lihat.
4) Telah melampaui batas kota (negeri) di tempat yang mempunyai batas atau melampaui
bangunan-bangunan jika tidak ada batas kota.
Qashar shalat hanya disebabkan karena seseorang itu bersafar. Tidak boleh seseorang
mengqashar shalat pada selain safar. Adapun sebab menjamak shalat adalah karena
adanya hajat (kebutuhan) dan adanya uzur (halangan). Jika seseorang butuh untuk
menjamak shalat, maka ia boleh menjamaknya pada safar yang singkat atau safar yang
waktunya lama. Begitu pula seseorang boleh menjamak shalat karena alasan hujan dan
kesulitan semacam itu, karena sakit, dan sebab lainnya. Karena ingat sekali lagi, sebab
menjamak shalat adalah untuk menghilangkan kesulitan pada kaum muslimin. (Majmu’ah
Al-Fatawa, 22:292)
Referensi:
Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin
Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:274-276.
Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh
Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 1:584-586.
Sumber : https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html
Sumber : https://rumaysho.com/35034-bulughul-maram-shalat-inilah-keutamaan-shalat-sunnah-
rawatib-12-rakaat-dalam-sehari-semalam.html
Sumber : https://almanhaj.or.id/1743-shalat-dhuha-shalat-sunnah-wudhu-shalat-istikharah.html
Sumber: https://rumaysho.com/31774-safinatun-naja-aturan-shalat-jamak-dan-shalat-qashar.html
Sumber https://rumaysho.com/31774-safinatun-naja-aturan-shalat-jamak-dan-shalat-qashar.html