“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari
kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung
dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika
berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah
apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang
kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.”
(H.R. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan[1])[2]
Allah ﷻmenurunkan perintah shalat bersamaan dengan pahala bagi yang
menunaikan dan ancaman bagi yang meninggalkannya, seiring dengan itu,
muncullah berbagai motif manusia dalam menjalankan ibadah shalat. Tidak
sedikit orang yang melaksanakan shalat hanya sebatas menggugurkan
kewajiban, namun banyak juga orang yang melaksanakan ibadah shalat
sebagai bentuk penghambaan seorang hamba pada Tuhannya.
Orang-orang yang menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban,
cenderung akan tertanam sifat munafik dalam hatinya. Sebagaimana Allah
berfirman,
َ َّ َ ْ ُ َ ُ ٰ َ ُ ْ ُ َ ٰ َّ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ ُ َ َ ُ َ َ َّ ْ ُ ٰ ْ َ ُ ٰ ُ ْ َ ه
وة قاموا كسالىۙيراۤءون الناس
ِ ِان المن ِف ِقين يخ ِدعون اّٰلل وهو خ ِادعهمْۚ واِ ذا قاموْٓا ِالى الصل
ً ْ َ َّ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ه
ولا يذك ُرون اّٰلل ِالا ق ِليلا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka
berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-
Nisa: 142)
Orang-orang munafik itu hendak menjalankan shalat maka mereka akan
merasa berat dan berlambat-lambat, tidak ada semangat dan rasa ingin
yang mendorong mereka untuk menjalankannya; sebab mereka tidak
mengharapkan pahala di akhirat dan tidak takut terhadap siksaan Allah,
karena mereka tidak memiliki keimanan. Mereka hanya takut kepada
manusia dan berharap agar dilihat oleh orang-orang beriman sehingga
dapat dianggap sebagai golongan mereka. Mereka hanya menjalankan
shalat sesekali saja; apabila tidak ada yang melihat mereka, maka mereka
tidak menjalankan shalat; namun jika mereka bersama dengan orang
banyak maka mereka akan menjalankan shalat hanya untuk riya’.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu berkata bahwa terdapat enam hal
dalam shalat, yang termasuk tanda kemunafikan, sebagai berikut:[3]
SUATU hari Sayyidina Umar bin Khatthab pergi ke kebun kurma miliknya.
Ketika pulang dari sana, Umar mendapati sejumlah orang telah tuntas
menunaikan sembahyang Ashar.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, aku ketinggalan shalat jamaah!” sontak Umar.
Khalifah kedua ini kecewa bukan main, lantaran tak sempat menunaikan shalat
jamaah bersama mereka.
Kisah ini diriwayatkan ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma seperti tertuang
dalam kitab Anîsul Mu’minîn karya Shafuk Sa’dullah al-Mukhtar.
َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ََْ َ َْ ُ َ َ ُْ َ َ َ ْ ُ ْ َ ََّ ً َ َ ُ َ
ََّ َ ْ
: يا رسول اهللِ وكيف يس ِرق ِمن صلا ِت ِه؟ قال: قالوا،اس س ِرقة ال ِذي يس ِرق ِمن صلا ِت ِهِ أسوأ الن
َ ُ ْ ُ ُ َ َ َ ُ ْ ُ ُ َُّ ُ َ
.لا ي ِتم ركوعها ولا سجودها
“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah
berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (HR Ahmad no 11532)
Nabi ﷺmenganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan
lebih parah daripada mencuri harta. Thuma’ninah ketika mengerjakan shalat
adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah.[6]
َ ُ َ ُ ُ ْ ْ ْ ُ َ َ َ َ َ ُ َ
َ َ َّ َ َ َّ َ
ْالصلاة فك َّب ْر ث ََّم اق َرأ َما تيس َر َم َعك م ْن الق ْرآن ث ََّم ْارك ْع حتى تط َمئن َراك ًعا ث ََّم ْارفع
َ َّ ْ َ َ ََّ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِإذا ق ْمت ِإلى
ََّ َ ْ ُ ْ ََّ ُ ً َ ََّ َ ْ َ ََّ َ ْ َ ْ ََّ ُ ً َ ََّ َ ْ َ ََّ َ ْ ُ ْ ََّ ُ ً َ َ َ ْ َ ََّ َ
اجدا ثم ارفع حتى تطم ِئن جا ِلسا ثم اسجد حتى ِ حتى تعت ِدل ق ِائما ثم اسجد حتى تطم ِئن س
َ َّ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ََّ ُ ً َ َت ْط َمئ ََّن
اجدا ثم افعل ذ ِلك ِفي صل ِاتك ك ِلها ِ س ِ
“Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat
al Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian rukuklah sampai benar-benar
rukuk dengan tumakninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri
tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tumakninah, lalu
angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan
tumakninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian
lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu” (HR Bukhari 757 dan Muslim
397 dari sahabat Abu Hurairah)
Para ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang
ruku’ dan sujud namun tulangnya belum lurus, maka shalatnya tidak sah
dan dia wajib mengulangnya
ْ ُ ْ َّ ُ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ
النداء فلم يأ ِت فلا صلاة له ِإلا ِمن عذر
ِ من س ِمع
“Barangsiapa mendengar seruan adzan tapi tidak memenuhinya, maka tidak
ada shalat baginya kecuali karena udzur”.[Hadits Riwayat Ibnu Majah 793,
Ad-Daru Quthni 1/421,422, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/246]
Ibnu Abbas radhiyallau ‘anhu, mengatakan, “Aku melihat bahwa kami (para
sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang
munafik, atau sedang sakit” (H.R. Muslim no. 654).[8]