Anda di halaman 1dari 60

SIFAT SHALAT NABI

Diambil dari rumaysho.com

Bagian 1
Berangkat Menuju Masjid
Berikut adalah keterangan mengenai sifat shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
yang asalnya pembahasan ini berasal dari pembahasan Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As Sadi lalu dikembangkan dengan menambahkan dari berbagai sumber
lainnya.
Pembahasan ini dimulai dari adab menuju ke masjid.
1- Disunnahkan ketika menuju shalat dengan keadaan tenang dan tidak tergesagesa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika kalian mendegar iqomah, maka berjalanlah menuju shalat. Namun tetaplah
tenang dan khusyu menuju shalat, jangan tergesa-gesa. Apa saja yang kalian dapati
dari imam, maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.
(HR. Bukhari no. 636 dan Muslim no. 602).
Jadi dilarang tergesa-gesa ketika hendak pergi ke masjid. Bahkan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam juga melarang melakukan tasybik yaitu menjalinkan jari jemari.
Dari Kaab bin Ujroh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu memperbagus wudhunya,


kemudian keluar menuju masjid dengan sengaja, maka janganlah ia menjalin jarijemarinya karena ia sudah berada dalam shalat. (HR. Tirmidzi no. 386, Ibnu Majah
no. 967, Abu Daud no. 562. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini
hasan).

Menjalin jari-jemari (tasybik)


2- Ketika masuk masjid meminta rahmat pada Allah dengan membaca dzikir dan
doa,

Bismillah wassalaamu ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwaaba


rohmatik (Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah,
ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah padaku pintu rahmat-Mu). (HR. Ibnu Majah
no. 771 dan Tirmidzi no. 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketika keluar masjid meminta karunia Allah dengan membaca dzikir dan doa,

Bismillah wassalaamu ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwabaa


fadhlik (Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah,
ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah padaku pintu karunia-Mu). (HR. Ibnu Majah
no. 771 dan Tirmidzi no. 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
3- Mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan mendahulukan kaki kiri ketika
keluarnya.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat menyukai mendahulukan yang


kanan ketika memakai sendal, ketika menyisir rambut dan ketika bersuci, juga
dalam setiap perkara (yang baik-baik). (HR. Bukhari no. 186 dan Muslim no. 268).
Yang dimaksud tarojjul dalam hadits -kata Ibnu Hajar- adalah menyisir dan
meminyaki rambut, sebagaimana disebut dalam Al Fath, 1: 270.
Kaedah dalam masalah mendahulukan yang kanan telah disebutkan oleh Imam
Nawawi. Beliau rahimahullah mengatakan, Mendahulukan yang kanan adalah ketika
melakukan sesuatu yang mulia (pekerjaan yang baik), yaitu saat menggunakan
pakaian, celana, sepatu, masuk masjid, bersiwak, bercelak, memotong kuku,
memendekkan kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut,
memberi salam dalam shalat, mencuci anggota wudhu, keluar kamar mandi, makan,
minum, bersalaman, mengusap hajar Aswad, atau perkara baik semisal itu, maka
disunnahkan mendahulukan yang kanan.
Sedangkan kebalikan dari hal tadi seperti masuk kamar mandi, keluar dari masjid,
membuang ingus, istinja (cebok), melepas baju, celana dan sepatu, dan semisal itu
disunnahkan mendahulukan yang kiri. (Syarh Shahih Muslim, 3: 143).
Masih berlanjut, moga Allah mudahkan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Bagian 2
Posisi Tangan Ketika Sedekap

Contohlah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat. Saat ini
kita akan lihat kembali sifat shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mulai dari
takbiratul ihram hingga perkara sedekap saat shalat.

4- Jika telah berdiri melaksanakan shalat, lakukanlah takbiratul ihram dengan


mengucapkan, Allahu akbar (artinya: Allah Maha Besar).
Dari Abu Said Al Khudri, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,









Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat
adalah ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam. (HR.
Tirmidzi no. 238 dan Ibnu Majah no. 276. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini
hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
5- Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak atau ujung telinga
(cuping telinga). Mengangkat tangan seperti ini dilakukan pada empat keadaan yaitu
saat:
a- Takbiratul ihram
b- Ruku
c- Bangkit dari ruku
d- Berdiri dari tasyahud awwal
Di antara dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, turun
ruku dan bangkit dari ruku adalah hadits dari Abdullah bin Umar, ia berkata,







Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar
pundaknya ketika memulai (membuka shalat), ketika bertakbir untuk ruku, ketika
mengangkat kepalanya bangkit dari ruku juga mengangkat tangan, dan saat itu
beliau mengucapkan samiallahu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu. Beliau
tidak mengangkat tangannya ketika turun sujud. (HR. Bukhari no. 735 dan Muslim
no. 390).
Juga diterangkan dalam hadits Abu Humaid As Saidi mengenai mengangkat tangan
saat bangkit dari tasyahud awwal, ia berkata,















Kemudian Rasul shallallahu alaihi wa sallam bangkit, kemudian ia melakukan
rakaat kedua seperti rakaat pertama. Sampai beliau selesai melakukan dua rakaat,
beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan
pundaknya sebagaimana yang beliau lakukan saat takbiratul ihram (ketika memulai
shalat). (HR. Tirmidzi no. 304 dan Abu Daud no. 963. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa sanad hadits inishahih).
Hadits di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa mengangkat tangan itu sejajar
dengan pundak. Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh mengangkat tangan
hingga ujung telinga yaitu hadits,


- -










.
.






Dari Malik bin Al Huwairits, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar kedua telinganya. Jika
ruku, beliau mengangkat kedua tangannya juga sejajar kedua telinganya. Jika
bangkit dari ruku, beliau mengucapkan samiallahu liman hamidah, beliau
melakukan semisal itu pula. (HR. Muslim no. 391).
6- Lalu sedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.
Dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata bahwa,




- -




Ia melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika
memulai shalat dan beliau bertakbir (Hammam menyebutkan beliau mengangkatnya
sejajar telinga), lalu beliau memasukkan kedua tangannya di bajunya, kemudian
beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. (HR. Muslim no. 401).
Meletakkan tangan kanan di sini bisa pada telapak tangan, pergelangan atau lengan
tangan kiri. Dalam hadits Wail bin Hujr juga disebutkan,

Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di


pergelangan tangan, atau di lengan tangan kiri. (HR. Ahmad 4: 318. Syaikh Syuaib
Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Bisa juga tangan kanan menggenggam tangan kiri (yang dimaksud pergelengan
tangan kiri) sebagaimana disebutkan dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata,















Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau berdiri
dalam shalat, tangan kanan beliau menggenggam tangan kirinya. (HR. An Nasai no.
8878 dan Ahmad 4: 316. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih).
7- Saat sedekap, tangan diletakkan di pusar, bawah pusar atau di dada.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa meletakkan tangan ketika sedekap tidak pada
tempat tertentu. Jadi sah-sah saja meletakkan tangan di dada, di pusar, di perut atau
di bawah itu. Karena yang dimaksud mencontoh Nabi shallallahu alaihi wa sallam di
sini adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Sedangkan yang lebih dari
itu dengan menentukan posisi tangan sedekap tersebut butuh pada dalil. Meletakkan
tangan di dada maupun di bawah pusar sama-sama berasal dari hadits yang dhoif.
(Lihat penjelasan guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Athorifi dalam karya
beliau Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, hal. 87-90).
Semoga berkelanjutan lagi pada serial berikutnya. Moga Allah mudahkan.

Bagian 3
Membaca Iftitah dan Taawudz

Saat ini Rumaysho.Com akan melanjutkan kembali tentang sifat shalat nabi. Yang
kita bahas kali ini adalah mengenai membaca doa istiftah dan taawudz.
8- Membaca doa istiftah.
Di antara doa istiftah yang bisa dibaca adalah,





Subhaanakallahumma wa bi hamdika wa tabaarokasmuka wa taala jadduka wa laa
ilaha ghoiruk (artinya: Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah
Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang

berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. (HR. Muslim no. 399, Abu Daud no.
775, Tirmidzi no. 242, Ibnu Majah no. 804).
Ibnu Taimiyah menyatakan, Disunnahkan membaca doa istiftah tersebut dalam
shalat wajib. Sedangkan doa istiftah yang lain dianjurkan oleh sebagian ulama untuk
dibaca pada shalat nafilah (shalat sunnah). (Kitab Shifatish Shalah min Syarhil
Umdah karya Ibnu Taimiyah, hal. 86).
Doa istiftah lain yang bisa diamalkan,










Allahumma baaid baynii wa bayna khothoyaaya kamaa baaadta baynal masyriqi
wal maghrib. Allahumma naqqinii min khothoyaaya kamaa yunaqqots tsaubul
abyadhu minad danas. Allahummagh-silnii min khothoyaaya bil maa-i wats tsalji wal
barod (artinya: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku,
sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku
dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya
Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun). (HR.
Bukhari no. 744, Muslim no. 598, An Nasai no. 896, lafaznya adalah dari An Nasai)
Ibnu Taimiyah berkata, Jika ada yang lupa membaca doa istiftah pada tempatnya,
maka ia tidak perlu mengganti di rakaat kedua. (Kitab Shifatish Shalah, hal. 97).
9- Membaca taawudz.
Bacaan taawudz yang bisa dibaca,












Audzu billahis samiiil aliim, minasy syaithoonir rojiim min hamzihi wa nafkhihi wa
naftsih (artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha
mengetahui dari gangguan syaitan yang terkutuk, dari kegilaannya,
kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela). (HR. Abu Daud no. 775 dan
Tirmidzi no. 242. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan sanad hadits ini hasan.
Pengertian min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih, lihat Kitab Shifatish Shalah min
Syarhil Umdah, hal. 104).
Bisa pula mencukupkan taawudz dengan membaca,

Audzu billahi minasy syaithooni minasy syaithonir rojiim (artinya: aku berlindung
kepada Allah dari setan yang terkutuk). Hal ini berdasarkan keumuman ayat yang
memerintahkan membaca taawudz baik di dalam maupun di luar shalat ketika
memulai membaca Al Quran,













Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada
Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS. An Nahl: 98). (Lihat Kitab Shifatish Shalah,
hal. 101).
Taawudz dibaca pada rakaat pertama sebelum memulai membaca surat setelah
membaca doa istiftah. Ibnu Taimiyah berkata, Jika seseorang meninggalkan
membaca taawudz di rakaat pertama, maka hendaklah ia membacanya di rakaat
kedua. (Kitab Shifatish Shalah, hal. 97).
Semoga bermanfaat bagi pengunjung setia Rumaysho.Com

Bagian 4
Membaca Al Fatihah

Sifat shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kali ini membahas tentang hukum
menjaherkan (mengeraskan) basmalah dan hukum membaca surat Al Fatihah.
10- Setelah membaca taawudz, dilanjutkan membaca basmalah, yaitu bismillahir
rahmanir rahiim (artinya: dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi
Maha penyayang).
Basmalah tidak dikeraskan, cukup bacaan untuk diri sendiri (lirih). Dari Aisyah, ia
berkata,






- -



(



)



Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa membuka shalatnya dengan takbir
lalu membaca alhamdulillahi robbil alamin. (HR. Muslim no. 498).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi ketika menjelaskan hadits di atas
dalam Umdatul Ahkam, beliau berkata, Ini adalah dalil bahwa bacaan basmalah
tidaklah dijahrkan (dikeraskan). (Syarh Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sadi, hal.
161).
Juga dalil lainnya adalah hadits Anas, di mana ia berkata,



- -

(







)







Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, juga bersama
Abu Bakr, Umar dan Utsman, aku tidak pernah mendengar salah seorang dari
mereka membaca bismillahir rahmanir rahiim. (HR. Muslim no. 399). Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, Yang sesuai sunnah, basmalah dibaca sebelum surat
Al Fatihah dan bacaan tersebut dilirihkan (tidak dikeraskan). (Kitab Shifatish Shalah
min Syarhil Umdah karya Ibnu Taimiyah, hal. 105).
11- Membaca surat Al Fatihah.
Membaca Al Fatihah diwajibkan berdasarkan hadits dari Ubadah bin Ash
Shoomit radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,









Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah. (HR. Bukhari no. 756
dan Muslim no. 394).
Membaca Al Fatihah di sini berlaku bagi imam dan orang yang shalat dan sendirian.
Sedangkan makmum dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh) tidak
membaca Al Fatihah, ia cukup mendengarkan, inilah pendapat yang lebih kuat.
Karena Allah Taala memerintahkan,











Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al Araf: 204).
Abu Hurairah berkata,




- -

.

.

Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami
mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: Apakah salah seorang
dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)? Seorang laki-laki menjawab,
Saya. Beliau lalu bersabda: Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al
Qur`an? (HR. Abu Daud no. 826 dan Tirmidzi no. 312. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Masud berkata,











Diamlah saat imam membaca Al Quran karena dalam shalat itu begitu sibuk.
Cukup bagimu apa yang dibaca oleh imam. (HR. Ath Thobroni 9: 264)
Ibnu Umar berkata,






Hendaklah diam ketika imam mengeraskan bacaannya dalam shalat. Dan
janganlah baca bersamanya. (HR. Abdur Rozaq, 2: 139).
Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi berkata, Inilah yang diamalkan oleh
mayoritas sahabat Nabi yaitu diamalkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Ibnu Umar,
Abu Hurairah dan Aisyah. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini di
antara para sahabat dengan perkataan yang shahih dan tegas. Hampir-hampir saja
ini jadi ijma sahabat. Ada perkataan dari Umar yang menyelisihi namun tidak
tegas. (Shifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, hal. 98).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, Intinya membaca Al Fatihah di belakang
imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita
mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh
dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih
kuat. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar
karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang
diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang
terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan
atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak
tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol
daripada diam. (Majmu Al Fatawa, 23: 268-269)
Setelah membaca Al Fatihah diperintahkan membaca aamiin secara jaher
(dikeraskan).
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,












Jika imam membaca ghoiril maghdhubi alaihim wa laaddhoolliin, maka ucapkanlah
aamiin karena malaikat akan mengucapkan pula aamiin tatkala imam
mengucapkan aamiin. Siapa saja yang ucapan aamiin-nya berbarengan dengan
ucapan aamiin malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. (HR. An

Nasai no. 928 dan Ibnu Majah no. 852. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Semoga bermanfaat.

Bagian 5
Mengeraskan Bacaan Dalam Sholat

Saat ini kita akan mengulang bacaan surat setelah Al Fatihah dan hukum
mengeraskan bacaan dalam shalat.
12- Membaca setelah Al Fatihah, surat lainnya di dua rakaat pertama dari shalat tiga
dan empat rakaat. Surat yang dituntunkan untuk dibaca:
a- Shalat Shubuh dengan surat thiwalil mufasshol.
b- Shalat Maghrib dengan surat qishoril mufasshol.
c- Shalat wajib lainnya dengan surat awsathil mufasshol.
Surat thiwalil mufasshol adalah mulai dari surat Qaaf hingga surat Al Mursalaat.
Surat qishoril mufasshol adalah mulai dari surat Adh Dhuha hingga akhir Al Quran.
Sedangkan surat awsathil mufasshol adalah mulai dari surat An Naba hingga surat
Al Lail.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin berkata, Surat yang dibaca setelah Al
Fatihah adalah bisa satu surat utuh atau sebagiannya saja dari awal, pertengahan
atau akhir, itu pun sah. (Ibhajul Muminin, 1: 143).
Ibnul Qayyim berkata, Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam selesai dari membaca
Al Fatihah, beliau membaca surat lainnya. Kadang beliau baca bacaan yang panjang.
Kadang beliau memperingannya karena maksud safar atau hajat lainnya. Kadang
pula beliau membaca bacaan yang pertengahan (tidak terlalu panjang, tidak terlalu
pendek). Yang terakhir inilah yang umumnya beliau lakukan. (Zaadul Maad, 1: 202)
Namun boleh menambah beberapa ayat pada rakaat setelah dua rakaat pertama.
Dari Abu Qotadah, ia berkata,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat Zhuhur pada dua
rakaat pertama yaitu surat Al Fatihah dan dua surat. Sedangkan dalam dua rakaat
terakhir, beliau membaca Al Fatihah dan beliau juga memperdengarkan pada kami
ayat lainnya. Beliau biasa memperlama rakaat pertama dibanding rakaat kedua.
Demikian pula dilakukan dalam shalat Ashar dan shalat Shubuh. (HR. Bukhari no.
776).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa menjaherkan bacaan dalam shalat Shubuh,
dua rakaat pertama dari shalat Maghrib dan Isya. Sedangkan shalat Zhuhur dan
Ashar, begitu pula pada rakaat ketiga shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir shalat
Isya disirrkan (dilirihkan). Ada klaim ijma (kesepakatan ulama) kata Syaikh Al Albani
mengenai hal ini. Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 93.
Adapun dalil membaca surat yang panjang dan pendek seperti yang disebutkan tadi,

-
.



















Dari Abu Hurairah, ia berkata, Aku pernah shalat di belakang seseorang yang
shalatnya mirip dengan shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam daripada yang
lainnya. Kami shalat di belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat pertama dari
shalat Zhuhur dan memperingan dua rakaat terakhirnya. Sedangkan shalat Ashar
lebih diperingan dari shalat Zhuhur. Adapun shalat Maghrib dibacakan surat qishorul
mufasshol. Pada shalat Isya dibacakan surat Asy Syams dan yang semisal
dengannya. Adapun shalat Shubuh dibacakan dua surat yang panjang. (HR. An
Nasai no. 983. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
13- Bacaan surat untuk shalat yang dikerjakan di malam hari dijaherkan
(dikeraskan).
14- Adapun shalat yang dikerjakan di siang hari disirrkan (dilirihkan) kecuali
dijaherkan (dikeraskan) untuk shalat Jumat dan shalat ied, begitu pula shalat
gerhana (shalat kusuf) dan shalat minta hujan (shalat istisqo).
Syaikh Abdullah Al Jibrin menjelaskan, Sebab di malam hari dijaherkan karena saat
itu banyak aktivitas telah selesai atau berbagai kesibukan telah usai. Saat itu ada
hajat untuk mendengar Al Quran. Sedangkan di siang hari, hati begitu sibuk dengan
berbagai pekerjaan, sehingga diperintahkan membaca untuk diri sendiri.
Adapun shalat Jumat, shalat ied, shalat gerhana dan shalat minta hujan yang
dilakukan di siang hari tetap dengan dijaherkan bacaan karena saat itu banyak kaum
muslimin yang berkumpul dan mereka butuh untuk mendengar lantunan bacaan

saat itu. Terkadang sebagian mereka hanya bisa mendengar lantunan Al Quran pada
waktu tersebut. (Ibhajul Muminin, hal. 144).
Semoga bermanfaat.

Bagian 6
Cara Ruku

Saat ini kita akan melihat kembali sifat shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yaitu
tentang cara ruku dan bacaannya.
16- Saat ruku, kedua tangan diletakkan di lutut.
Dalam hadits Uqbah bin Amr Al Anshori disebutkan,




Ketika ruku, ia meletakkan kedua tangannya pada lututnya. (HR. Abu Daud no. 863
dan An Nasai no. 1037. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
hasan).
Abu Humaid As Saidiy berkata mengenai cara shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, beliau berkata,







Jika ruku, beliau meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jarijemarinya. (HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits
ini shahih).
Dalam riwayat lainnya disebutkan,






Kemudian beliau ruku dan meletakkan kedua tangannya di lututnya seakan-akan
beliau menggenggam kedua lututnya tersebut. (HR. Abu Daud no. 734, Tirmidzi no.
260 dan Ibnu Majah no. 863. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
17- Saat ruku, kepala dijadikan sejajar dengan punggung.
Abu Humaid As Saidiy berbicara mengenai cara ruku Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam,









Ketika ruku Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak membuat kepalanya terlalu
menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung),
yang beliau lakukan adalah pertengahan. (HR. Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud
no. 730. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Wabishoh bin Mabad, ia berkata,









- -




Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat. Ketika ruku,
punggungnya rata sampai-sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu
akan tetap diam.(HR. Ibnu Majah no. 872. Juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni
dalam Al Kabir dan Ash Shoghir, begitu pula oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid
Al Musnad).
18- Kemudian saat ruku membaca subhana robbiyal azhim, dibaca berulang kali.
Ketika ruku Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca,



Subhanaa robbiyal azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung). (HR.
Muslim no. 772).
Sedangkan anjuran tiga kali disebutkan dalam hadits Ibnu Masud,

Jika salah seorang di antara kalian ruku, maka ia mengucapkan ketika rukunya
Subhanaa robbiyal azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung), dibaca
sebanyak tiga kali. (HR. Tirmidzi no. 261, Abu Daud no. 886 dan Ibnu Majah no. 890.
Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits dengan penyebutan membaca tiga kali
seperti ini diriwayatkan oleh tujuh orang sahabat. Namun boleh-boleh saja membaca
dzikir tersebut lebih dari tiga kali. (Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 115)
Begitu pula boleh membaca dengan subhana robbiyal azhimi wa bihamdih. Dalam
hadits Uqbah bin Amir disebutkan mengenai bacaan Rasululah shallallahu alaihi wa
sallam saat ruku,

Subhanaa robbiyal azhimi wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha
Agung dan pujian untuk-Nya). Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870. Al Hafizh
Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih, begitu pula Syaikh Al Albani dalam
Shifat Shalat Nabi, hal. 115. Kata Syaikh Al Albani hadits ini diriwayatkan pula oleh
Ad Daruquthni, Ahmad, Ath Thobroni, dan Al Baihaqi).
19- Saat ruku dan sujud bisa pula membaca bacaan lainnya, Subhanakallahumma
robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii.
Dari Aisyah, ia berkata,



Nabi shallallahu alaihi wa sallam memperbanyak membaca ketika ruku dan sujud
bacaan, Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya:
Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku). Beliau
menerangkan maksud dari ayat Al Quran dengan bacaan tersebut. (HR. Bukhari no.
817 dan Muslim no. 484).
Yang dimaksud dengan ayat Al Quran dalam hadits di atas diterangkan dalam hadits
Uqbah bin Amir,



(
-




)





-

)


.



(






Ketika turun ayat fasabbih bismirobbikal azhim, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam berkata, Jadikan bacaan tersebut pada ruku kalian. Lalu ketika turun ayat
sabbihisma robbikal alaa, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam katakan,
Jadikanlah pada sujud kalian. (HR. Abu Daud no. 869 dan Ibnu Majah no. 887. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Bacaan ruku dan sujud lainnya yang bisa dibaca,




Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus,
Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-). (HR. Muslim no. 487).
Semoga bermanfaat. Semoga Allah terus menganugerahkan ilmu yang bermanfaat.

Bagian 7
Bangkit Dari Ruku

Saat ini yang dibahas oleh Rumaysho.Com adalah bacaan yang ada saat bangkit dari
ruku (itidal).
20- Kemudian mengangkat kepala, bangkit dari ruku sembari mengangkat kedua
tangan.
21- Ketika bangkit sambil mengucapkan samiallahu liman hamidah. Ini berlaku
bagi imam dan orang yang shalat sendirian.
Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik disebutkan,





.











Jika imam bangkit dari ruku, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan samiallahu
liman hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) ,
ucapkanlah robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala
puji). (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411)
22- Setiap orang mengucapkan robbana wa lakal hamdu, hamdan katsiron
thoyyiban mubarokan fiih, mil-assamaa-i, wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syita min
syai-in badu.
Ucapan robbana wa lakal hamdu, bisa dipilih dari empat bacaan:
a- Allahumma robbanaa lakal hamdu. (HR. Muslim no. 404)
b- Allahumma robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 795)
c- Robbanaa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 722 dan Muslim no. 477)
d- Robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411).
Bacaan yang lebih lengkap ketika itidal (bangkit dari ruku),

Allahumma robbanaa lakal hamdu mil-assamawaati wa mil-al ardhi, wa mil-a maa


syita min syai-in badu, ahlats tsanaa-i wal majdi, laa maania limaa athoita, wa laa
muthiya lima manata, wa laa yanfau dzal jaddi minkal jaddu (artinya: Ya Allah,
Rabb kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, sepenuh apa
yang Engkau kehendaki setelah itu. Wahai Tuhan yang layak dipuji dan diagungkan.
Tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada pula
yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, tidak bermanfaat kekayaan bagi
orang yang memiliinya, hanyalah dari-Mu kekayaan itu) (HR. Muslim no. 471).
Keutamaan membaca robbana wa lakal hamdu disebutkan dalam hadits Abu
Hurairah,




.
























.


Jika imam mengucapkan samiallahu liman hamidah, maka hendaklah kalian
mengucapkan robbana wa lakal hamdu. Karena siapa saja yang ucapannya tadi
berbarengan dengan ucapan malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan dihapus.
(HR. Bukhari no. 796 dan Muslim no. 409).
Begitu pula bagi yang mengucapkan,










Robbana walakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih (artinya:
wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak,
yang baik dan penuh dengan berkah). Disebutkan dalam hadits Rifaah bin Rofi,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang mengucapkan
semacam itu,







Aku melihat ada 30-an malaikat, berlomba-lomba siapakah di antara mereka yang
lebih duluan mencatat amalannya. (HR. Bukhari no. 799)
Masih ada bahasan yang berkaitan dengan postingan kali ini yang mesti diangkat
yaitu di manakah posisi tangan saat itidal, apakah sedekap ataukah tangan
diluruskan. Lalu juga akan dibahas posisi turun sujud, apakah tangan duluan atau
lutut. Semoga Allah mudahkan.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Bagian 8
Posisi Tangan Setelah Ruku

Bagaimanakah posisi tangan setelah ruku (itidal), apakah sedekap atau posisi
tangan dilepas di samping? Inilah yang akan dikaji oleh Rumaysho.Com dalam
lanjutan sifat shalat nabi kali ini.
Yang lebih baik bagi imam dan makmum bersedekap dengan meletakkan tangan
kanan di atas tangan kiri sebagaimana sedekap yang dilakukan sebelum ruku yaitu
saat membaca surat. Hal ini berdasarkan hadits Wail bin Hujr,















Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam
shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. (HR. An Nasai
no. 888 dan Ahmad 4: 316. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih).
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyyah wal
Ifta) berkata, Ada istilah qobd fish sholah yaitu meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri (keadaan bersedekap). Ada juga istilah sadl fish sholah yaitu
menurunkan atau melepaskan tangan di samping (tanpa sedekap). Meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri dengan menggenggam ini ada petunjuk dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam saat berdiri membaca surat atau saat berdiri bangkit
dari ruku (itidal). Hadits yang mendukungnya adalah hadits dari Wail bin Hujar
radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim,













:








.








Wail bin Hujr pernah melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua
tangannya ketika ia masuk dalam shalat dan beliau bertakbir (mengucapkan Allahu
Akbar). Hammam mengatakan bahwa beliau mengangkat tangannya sejajar dengan
kedua telinganya. Kemudian beliau menutupi tangannya dengan pakaiannya,
kemudian beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya. Ketika ingin ruku,
kedua tangannya dikeluarkan dari pakaian, kemudian beliau mengangkat kedua
tangannya. Beliau bertakbir lalu ruku. Ketika mengucapkan samiallahu liman
hamidah, beliau mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, beliau sujud di antara
kedua tangannya.
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud disebutkan,










Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di
pergelangan tangan, atau di lengan tangan kirinya. (HR. Ahmad 4: 318 dan Abu
Daud no. 727. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sebagaimana pula diriwayatkan oleh Abu Hazim dari Sahl bin Saad As Saidiy, ia
berkata,













Orang-orang saat itu diperintahkan meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya saat shalat. Abu Hazim berkata, Hadits ini disandarkan pada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Hadits terakhir ini diriwayatkan oleh Ahmad dan
Bukhari.
Dan tidak ada satu pun hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
menunjukkan bahwa beliau melakukan sadl yaitu tangannya diletakan di samping
saat berdiri dalam shalat. (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 6: 365-366).
Juga bisa berdalil dengan hadits musii sholatuhu (orang yang jelek shalatnya), di
mana Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata padanya,



Kemudian ruku lalu kedua tangan di letakkan di lututnya sampai setiap anggota
tubuh mengambil posisinya. Kemudia bangkit dari ruku dan setiap anggota tubuh
mengambil posisinya. (HR. Ahmad 3: 407. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih).
Makna hadits sampai anggota tubuh mengambil posisinya diterangkan dalam
riwayat,














Jika engkau bangkit dengan mengangkat kepalamu, maka luruskanlah tulang
punggungmu hingga setiap tulang kembali pada posisinya. (HR. Ahmad 4: 340.
Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud
dengan hadits ini adalah posisi tangan ketika itu bersedekap seperti dilakukan
sebelum ruku yaitu pada saat berdiri saat membaca surat.
Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi berkata, Terdapat pula indikasi yang
menunjukkan tangan itu bersedekap setelah ruku. Yaitu Nabi shallallahu alaihi wa

sallam ketika mengangkat kepalanya dari ruku, beliau berdiri sampai-sampai orangorang mengira bahwa beliau lupa untuk sujud (karena saking lamanya berdiri kala
itu, -pen). Demikian dikatakan oleh Anas bin Malik sebagaimana disebutkan dalam
Shahih Bukhari. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bangkit
dari ruku, tangannya dalam keadaan sedekap karena keadaan beliau begitu lama
saat itu. Hal ini lebih disangka sedekap daripada beliau melepas tangannya ke
bawah. Sampai-sampai dikira pula beliau berada dalam rakaat yang baru. Kalau
tangan dalam keadaan sadl, yaitu dilepas ke bawah tentu tidak disangka demikian.
Juga Syaikh Ath Thorifi berkata, Orang yang shalat jika sedang duduk keadaan
tangannya adalah di atas pahanya. Posisi tangan di sini sama seperti ketika duduk
antara dua sujud. Itu berarti keadaan duduk dalam shalat adalah satu karena tidak
ada dalil yang membedakan. Maka demikian pula keadaan berdiri dalam shalat juga
satu yaitu tangan dalam keadaan bersedekap. (Lihat Sifat Shalat Nabi, hal. 86).
Intinya untuk masalah ini telah dikatakan oleh Imam Ahmad,



:









Jika seseorang bangkit dari ruku, maka jika ia mau, ia bisa melepaskan tanggannya
(tidak sedekap). Jika mau, ia pun bisa meletakkan tangan kanan di atas tangan
kirinya (sedekap). (Al Inshaf, 2: 412, Asy Syamilah).
Imam Ahmad mengatakan demikian karena tidak ada dalil tegas yang
membicarakan masalah sedekap setelah ruku. Sehingga Imam Ahmad pun
mengatakan,


Aku harap, jangan terlalu mempermasalahkan hal tersebut. (Lihat Sifat Shalat Nabi
karya Syaikh Ath Thorifi, hal. 86).
Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik.

Bagian 9
Tangan Dulu ataukan Lutut Saat Turun Sujud?

Manakah yang lebih didahululan, lutut ataukah tangan saat turun sujud?

Pertama, yang mesti dipahami adalah kedua cara tersebut dibolehkan berdasarkan
kesepakatan para ulama. Namun para ulama berselisih pendapat manakah yang
lebih afdhol di antara keduanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,




Adapun shalat dengan kedua cara tersebut maka diperbolehkan dengan
kesepakatan ulama, kalau dia mau maka meletakkan kedua lutut sebelum kedua
telapak tangan, dan kalau mau maka meletakkan kedua telapak tangan sebelum
kedua lutur, dan shalatnya sah pada kedua keadaan tersebut dengan kesepakatan
para ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang yang afdhal. (Majmu
Al Fatawa, 22: 449).
Kedua, yang paling afdhol adalah dilihat dari kondisi orang masing-masing, tidak
katakan yang paling afdhol adalah tangan dulu ataukah lutut dahulu. Karena hadits
yang membicarakannya hanyalah mengatakan,










Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta
ketika hendak menderum. (HR. Abu Daud no. 840 dan An Nasai no. 1092. Al Hafizh
Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits inihasan).
Namun ada tambahan,




Hendaknya dia letakkan tangannya sebelum lututnya.
Versi lain mengatakan,




Hendaknya dia letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya.
Para ulama berselisih pendapat manakah riwayat tambahan ini yang shahih.
Pendapat yang tepat, kedua versi tambahan tersebut adalah riwayat yang goncang,
tidak ada satu pun yang sahih. Keduanya idhtirob (goncang) [baca: lemah]. Sehingga
riwayat yang valid hanyalah bagian awal hadits yang berbunyi, Janganlah salah satu

kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak
menderum.
Sehingga zhahir hadits menunjukkan bahwa orang yang sedang mengerjakan shalat
dilarang turun sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika mau menderum.
Turunnya unta untuk menderum itu memiliki bentuk yang khas, bentuk khas ini bisa
terjadi baik kita turun dengan mendahulukan tangan dari pada lutut ataupun kita
mendahulukan lutut dari pada tangan. Sehingga makna sabda Nabi, janganlah
salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika
hendak menderum adalah ketika hendak sujud hendaknya kepala tidak dibuat
merunduk sampai ke lantai semisal unta ketika hendak turun sedangkan punggung
masih dalam posisi di atas. Inilah bentuk turunnya unta untuk menderum dan bentuk
semacam ini berdampak negatif bagi orang yang mengerjakan shalat
Ringkasnya, terdapat diskusi yang panjang tentang perselisihan ini di kalangan
ulama. Pendapat yang paling baik, manakah yang mesti didahulukan apakah tangan
ataukah lutut, ini menimbang pada kondisi masing-masing orang. Mana yang lebih
mudah baginya, itulah yang ia lakukan. Ada orang yang berat badannya, ada orang
yang ringan. Intinya, tidak ada hadits shahih yang marfu -sampai pada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam- yang membicarakan hal tadi. (Lihat Shifat Shalat
Nabi karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi, hal. 129).
Semoga bermanfaat, wa billahit taufiq.

Bagian 10
Cara Sujud

Kali ini Rumaysho.Com akan mengkaji tata cara sujud sesuai dengan petunjuk
Rasul shallallahu alaihi wa sallam.
23- Lalu turun sujud dan bertakbir tanpa mengangkat tangan. Sujud yang dilakukan
adalah bersujud pada tujuh anggota tubuh.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,








Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi
(termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak
tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan
kiri. (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa dahi dan hidung itu seperti satu anggota
tubuh. Untuk lima anggota tubuh lainnya wajib bersujud dengan anggota tubuh
tersebut.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, Jika dari anggota tubuh tersebut tidak
menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib bukan
berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak
tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafiiyah sebagaimana
dahi demikian. Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib terbuka untuk dahi dan kedua
telapak tangan. (Syarh Shahih Muslim, 4: 185)
24- Kemudian ketika sujud membaca subhana robbiyal alaa.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Hudzaifah, ia berkata bahwa

- -





<













.


Ia pernah shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lantas beliau
mengucapkan ketika ruku subhanaa robbiyal azhim (artinya: Maha Suci Rabbku
Yang Maha Agung) dan ketika sujud, beliau mengucapkan subhanaa robbiyal alaa
(artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi).(HR. Muslim no. 772 dan Abu Daud
no. 871).
Begitu pula boleh mengucapkan,



Subhana robbiyal alaa wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi
dan pujian untuk-Nya). Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870, shahih)
Begitu juga ketika sujud bisa memperbanyak membaca,




Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya: Maha
Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku). (HR. Bukhari no.
817 dan Muslim no. 484).
Bacaan sujud lainnya yang bisa dibaca,

Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus,
Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-). (HR. Muslim no. 487)
25- Setelah itu bertakbir bangkit dari sujud tanpa mengangkat tangan.
Sebagaimana dalam hadits Muthorrif bin Abdullah, ia berkata,






.







Aku dan Imron bin Hushain pernah shalat di belakang Ali bin Abi Tholib
radhiyallahu anhu. Jika turun sujud, beliau bertakbir. Ketika bangkit dari sujud,
beliau pun bertakbir. Jika bangkit setelah dua rakaat, beliau bertakbir. Ketika selesai
shalat, Imron bin Hushain memegang tanganku lantas berkata, Cara shalat Ali ini
mengingatkanku dengan tata cara shalat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Atau ia mengatakan, Sungguh Ali telah shalat bersama kita dengan shalat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 786 dan Muslim no. 393). Hadits ini
menunjukkan bahwa takbir intiqol (berpindah rukun) itu dikeraskan. Dan itu juga jadi
dalil adanya takbir setelah bangkit dari sujud.
Dalam hadits Abu Hurairah juga disebutkan,











Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud. Lalu beliau
bertakbir ketika bangkit dari sujud. (HR. Bukhari no. 789 dan Muslim no. 392).
Adapun tanpa mengangkat ketika turun sujud atau bangkit dari sujud adalah
berdasarkan hadits,







Jika beliau ingin ruku dan bangkit dari ruku (beliau mengangkat tangan). Namun
beliau tidak mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya saat duduk. (HR. Abu
Daud no. 761, Ibnu Majah no. 864 dan Tirmidzi no. 3423. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Semoga bermanfaat.

Bagian 11
Tentang Duduk Antara Dua Sujud

Setelah Rumaysho.Com membahas tentang perihal tata cara sujud, kali ini akan
diulas mengenai tata cara duduk antara dua sujud.
26- Setelah sujud pertama kemudian duduk antara dua sujud. Bentuk duduknya
adalah iftirosy, yaitu kaki kiri diduduki dan kaki kanan ditegakkan.
Dalam hadits Abu Humaid As Saidiy disebutkan,









Kemudian kaki kiri dibengkokkan dan diduduki. Kemudian kembali lurus hingga
setiap anggota tubuh kembali pada tempatnya. Lalu turun sujud.(HR. Tirmidzi no.
304 dan Abu Daud no. 963, 730. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih).
Duduk saat shalat adalah duduk iftirosy kecuali pada tasyahud akhir, duduknya
adalah duduk tawarruk, yaitu dengan duduk di lantai, lantas kaki kiri dikeluarkan dari
sisi kaki kanan.
Juga hal ini disebutkan dalam hadits Abu Humaid As Saidiy,














Ketika beliau shallallahu alaihi wa sallam duduk setelah melakukan dua rakaat,
kaki kiri saat itu diduduki dan kaki kanan ditegakkan. Adapun saat duduk di rakaat
terakhir (tasyahud akhir), kaki kiri dikeluarkan, kaki kanan ditegakkan, lalu duduk di
lantai. (HR. Bukhari no. 828).
Dalam kitab sunan disebutkan hadits Abu Humaid As Saidiy,








Jika telah pada dua rakaat yang merupakan rakaat terakhir (terdapat salam), Nabi
shallallahu alaihi wa sallam mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk di lantai

secara tawarruk, kemudian beliau salam. (HR. An Nasai no. 1262. Shahih menurut
Syaikh Al Albani).
27- Yang beliau baca saat duduk antara dua sujud adalah Robbighfirlii warhamnii,
wajburnii, warfanii, warzuqnii, wahdinii.
Dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan doa duduk antara dua sujud yang dibaca oleh
Nabi shallallahu alaihi wa sallam,







.
Robbighfirlii warahmnii, wajburnii, warfanii, warzuqnii, wahdinii (artinya: Ya Allah
ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, tinggikanlah derajatku, berilah
rezeki dan petunjuk untukku). (HR. Ahmad 1: 371. Syaikh Syuaib Al Arnauth
mengatakan bahwa haditsnya hasan).
Ada beberapa lafazh lainnya yang belum penulis sebutkan kali ini mengenai doa
ketika sujud yang bisa diamalkan.
Semoga bermanfaat yang singkat ini. Hanya Allah yang memberi taufik.

Bagian 12
Sunnah Duduk Istirahat

Salah satu yang disunnahkan ketika bangkit ke rakaat berikut adalah melakukan
duduk istirahat. Inilah kelanjutan pembahasan kita mengenai tata cara shalat yang
sesuai tuntunan.
28- Kemudian sujud kembali seperti sujud yang pertama.
Perintah untuk melakukan sujud kedua ini adalah berdasarkan berbagai hadits yang
shahih dan juga adanya ijma (kesepakatan para ulama). (Al Majmu, 3: 290)
29- Kemudian bangkit dari sujud kedua sambil bertakbir.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, Ketika bangkit ke rakaat kedua dilakukan
bertumpu pada tangan, begitu pula ketika bangkit dari tasyahud awwal. Hal ini
dilakukan oleh orang yang kondisinya kuat maupun lemah, begitu pula bagi laki-laki
maupun perempuan. Demikian pendapat dari Imam Syafii. Hal ini disepakati oleh
ulama Syafiiyah berdasarkan hadits dari Malik bin Al Huwairits dan tidak ada dalil
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menyelisihinya. Jika tangan jadi
tumpuan, maka bagian dalam telapak tangan dan jari jemarinya yang berada di
lantai. (Al Majmu, 3: 292).

30- Mengerjakan rakaat kedua sama dengan rakaat pertama.

Apakah disunnahkan duduk istirahat ketika bangkit ke rakaat


kedua?
Dalil tentang disyariatkannya duduk istirahat ketika bangkit ke rakaat kedua adalah
hadits dari Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al Jarmi Al Bashri, ia berkata, Malik bin Al
Huwairits pernah mendatangi kami di masjid kami. Ia pun berkata, Sesungguhnya
aku ingin mengerjakan shalat sebagai contoh untuk kalian meskipun aku tidak ingin
mengerjakan shalat. Aku akan mengerjakan shalat sebagaimana shalat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam yang pernah aku lihat. Ayub kemudian bertanya kepada
Abu Qilabah, Bagaimana Malik bin Al Huwairits mengerjakan shalat? Abu Qilabah
menjawab,

Seperti shalat syaikh kami ini. Beliau duduk ketika mengangkat kepalanya setelah
sujud sebelum beliau bangkit dari rakaat pertama. (HR. Bukhari no. 677).
Di sini para ulama memiliki silang pendapat apakah duduk istirahat disunnahkan
bagi setiap orang ataukah tidak. Bahkan dalam madzhab Syafii Syafii sendiri
terdapat beda pendapat karena pemahaman terhadap dalil yang berbeda.
Pendapat pertama, jika yang shalat dalam keadaan lemah karena sakit, sudah tua
atau sebab lainnya, maka disunnahkan untuk melakukan duduk istirahat. Jika tidak
demikian, maka tidak dituntunkan. Inilah pendapat dari Abu Ishaq Al Maruzi.
Pendapat kedua, disunnahkan bagi setiap orang untuk melakukan duduk istirahat.
Inilah pendapat dari Imam Al Haromain dan Imam Al Ghozali. Al Ghozali berkata
bahwa ulama madzhab Syafii sepakat pada pendapat ini.
Pendapat yang terkuat dalam hal ini, duduk istirahat tetap disyariatkan. Alasannya
karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukannya. Perbuatan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam menunjukkan bahwa hal itu disunnahkan.
Duduk istirahat adalah duduk yang ringan (bukan lama) ketika bangkit ke rakaat
berikut, bukan bangkit dari tasyahud. (Lihat Al Majmu, 3: 291).
Cara duduk istirahat adalah duduk iftirosy atau seperti duduk saat duduk antara dua
sujud. (Syarh Umdatul Ahkam karya guru kami, Syaikh Saad Asy Syatsri, 1: 209).
Imam Nawawi berkata, Duduk istirahat tidak ada pada sujud tilawah, tanpa ada
khilaf di antara para ulama. (Al Majmu, 3: 292).
Imam Nawawi juga berkata, Jika imam tidak melakukan duduk istirahat, sedangkan
makmum melakukannya, itu dibolehkan karena duduknya hanyalah sesaat dan
ketertinggalan yang ada cumalah sebentar. (Idem).
Imam Nawawi menasehatkan tentang masalah duduk istirahat ini, Sudah
sepantasnya duduk istirahat ini dilakukan oleh setiap orang karena hadits yang
membicarakan hal itu adalah hadits yang shahih dan tidak ada bertentangan dengan
hadits shahih yang lain. Tak usahlah peduli dengan orang yang mudah-mudahan
dalam meninggalkannya. Allah Taala berfirman,

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. (QS. Ali Imran: 31).

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr : 7).

Bagian 13
Cara Duduk Tasyahud Awal dan Akhir

Kali ini kita akan melanjutkan bahasan mengenai sifat shalat Nabi. Yang dibahas
adalah mengenai tasyahud awwal dan bagaimanakah bentuk duduknya. Juga
dibahas mengenai bentuk duduknya dibanding dengan tasyahud akhir.
31- Setelah itu melakukan rakaat kedua seperti rakaat pertama hingga sampai
pada tasyahud awwal.

Bagaimanakah duduk pada tasyahud awwal dan tasyahud akhir?


Imam Nawawi menjelaskan bahwa duduk pada tasyahud awwal yaitu dengan duduk
iftirosy. Sedangkan duduk pada tasyahud akhir adalah dengan duduk tawarruk.
Termasuk pula duduk pada shalat yang hanya dua rakaat (seperti pada shalat
Shubuh, -pen), duduk tasyahud akhirnya adalah dengan tawarruk. (Al Majmu, 3:
298)
Ulama Syafiiyah mengemukakan alasan kenapa duduknya seperti itu berdasarkan
hadits dari Abu Humaid ketika menjelaskan tata cara shalat kepada sepuluh sahabat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam,





Jika duduk di rakaat kedua, beliau duduk di kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya (baca: duduk iftirosy). Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau
mengeluarkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya, duduk di lantai saat itu
(baca: duduk tawarruk). (HR. Bukhari no. 828). Dalam hadits ini untuk duduk rakaat
terakhir, tidak dijelaskan apakah untuk shalat yang hanya dua, tiga atau empat
rakaat. Pokoknya, di rakaat terakhir, duduknya adalah tawarruk.
Hikmahnya seperti apa? Kenapa sampai tasyahud awwal dengan iftirosy sedangkan
tasyahud akhir dengan tawarruk?
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi bahwa ulama Syafiiyah berpendapat,
duduk iftirosy pada tasyahud awwal dan duduk tawarruk pada tasyahud akhir agar
tidak ada kerancuan mengenai jumlah rakaat. Yang termasuk sunnah adalah

memperingan tasyahud awwal dan duduknya adalah dengan iftirosy karena setelah
itu lebih mudah untuk berdiri ke rakaat berikutnya. Sedangkan untuk tasyahud
kedua (tasyahud akhir) yang disunnahkan adalah diperlama. Sehingga duduknya
ketika itu tawarruk. Duduk tawarruk lebih memungkinkan untuk duduk lama, juga
bisa memperbanyak doa kala itu. Makmum masbuk pun akan tahu jika melihat saat
itu berada di tasyahud awwal ataukah akhir. (Al Majmu, 3: 299).
Bagaimana jika ada makmum masbuk dan mendapatkan imam berada pada rakaat
terakhir, apakah ia duduk tawarruk ataukah iftirosy?
Sebagaimana tertera dalam Al Umm dari pendapat Imam Syafii, juga jadi pendapat
yang dianut Imam Al Ghozali dan mayoritas ulama Syafiiyah, makmum masbuk
yang telat tersebut melakukan duduk iftirosy karena ia bukan berada di akhir shalat.
Sedangkan ulama Syafiiyah lainnya berpendapat, ia mengikuti duduknya imam
yaitu tawarruk.
Begitu pula jika ada makmum masbuk dari shalat Maghrib yang melakukan tasyahud
hingga empat kali, maka di tiga tasyahud pertama, ia lakukan duduk iftirosy.
Sedangkan tasyahud akhir (yang keempatnya), ia melakukan duduk tawarruk.
Demikian pendapat dari ulama Syafiiyah. (Idem)
Bagaimana bisa lakukan tasyahud sampai empat kali?
Ini bisa terjadi jika makmum mendapati shalat imam setelah ruku pada rakaat
kedua. Maka ia tasyahud pertama kali ketika imam tasyahud awwal di rakaat kedua.
Lalu ia tasyahud kedua kalinya ketika imam tasyahud akhir. Kemudian ia melakukan
lagi tasyahud ketiga ketika berada pada rakaat kedua baginya. Lalu ia melakukan
tasyahud keempat ketika rakaat terakhir (rakaat ketiga) baginya.

Lihat dalil-dalil yang mendukung pembahasan ini dalam tulisan


Rumaysho.Com: Cara Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk?
Semoga bermanfaat.

Bagian 14
Cara Menggenggam Jari Tangan Ketika Tasyahud

Bagaimana cara menggenggam jari tangan ketika tasyahud?


Bahasan kami kali ini berusaha mendekatkan pada madzhab Syafii yang kami
banyak nukil dari Al Majmu Syarh Muhadzdzab.
Imam Asy Syairozi berkata, Disunnahkan membentangkan jari tangan kiri di paha
kiri. Sedangkan untuk tangan kanan ada tiga pendapat. Salah satunya, meletakkan
tangan kanan di paha kanan di mana seluruh jari digenggam kecuali jari telunjuk. Hal
ini yang masyhur sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwa

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, beliau meletakkan


tangan kirinya di lutut kiri. Beliau meletakkan tangan kanan di lutut kanan, lalu
beliau menggenggam tiga jari dan berisyarat dengan jari telunjuk, sedangkan jari
jempol berada di samping jari telunjuk. (Al Majmu, 3: 300)
Diterangkan oleh Imam Nawawi, yang dimaksud meletakkan jari di situ adalah
diletakkan di ujung lutut. Lihat Al Majmu, 3: 301.
Adapun maksud Imam Asy Syairozi adalah hadits Ibnu Umar berikut.

- -















Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika duduk
tasyahud, tangan kiri diletakkan di lutut kiri, sedangkan tangan kanan diletakkan di
lutut kanan. Lalu ia berisyarat dengan menggenggam simbol lima puluh tiga dan
berisyarat dengan jari telunjuk (maksudnya: jari kelingking, jari manis dan jari
tengah digenggam, lalu jari telunjuk memberi isyarat, sedangkan jari jempol berada
di samping jari telunjuk). (HR. Muslim no. 580).
Tiga pendapat mengenai cara isyarat jari tangan ketika tasyahud disampaikan oleh
Imam Nawawi:
1- Jari tengah, jari manis dan jari kelingking digenggam, sedangkan jari telunjuk dan
jempol tidak digenggam (dilepas begitu saja).
2- Jari jempol dan jari tengah membentuk lingkaran, yaitu kedua ujung jari tersebut
membentuk lingkaran atau ujung jari tengah membentuk lingkaran dengan bagian
ruas jari dari jari jempol.

Cara Tasyahud: Ujung jari jempol dan tengah membentuk lingkaran


3- Jari jempol dan jari tengah kedua-duanya digenggam. (Al Majmu, 3: 301)
Imam Nawawi menerangkan cara isyarat jari tangan ketika tasyahud:
Pertama, isyarat tersebut dituju pada arah kiblat. Al Baihaqi berargumen dengan
hadits dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Kedua, diniatkan untuk isyarat yaitu ketika menandakan ikhlas dan tauhid. Al Muzani
menyebutkan hal itu dalam mukhtashornya dan juga disebutkan oleh ulama
Syafiiyah lainnya. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari seseorang yang majhul dari
seorang sahabat radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
berisyarat ketika menyebut kalimat tauhid. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma,
yaitu saat berisyarat ikhlas.

Ketiga, dimakruhkan berisyarat dengan dua jari telunjuk dari dua tangan karena
yang dianjurkan, tangan kiri tetap dalam keadaan terbuka.
Keempat, seandainya tangan kanan terpotong, maka sunnah berisyarat dengan jari
jadi gugur dan tidak perlu berisyarat dengan jari lainnya.
Kelima, pandangan tidak melebihi isyarat jari. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari
Abdullah bin Zubair bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangan
kanannya dan berisyarat dengan jarinya dan pandangannya tidak melebihi isyarat
tersebut. Dalam hadits disebutkan,

Janganlah pandangannya melebihi isyarat jarinya. (HR. Abu Daud no. 990. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan) (Al Majmu, 3: 302).
Semoga bermanfaat.

Bagian 15
Kapan Mulai Berisyarat dengan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud?

Kapan mulai berisyarat dengan jari telunjuk ketika tasyahud, baik tasyahud awal
maupun akhir?
Yang membicarakan isyarat jari telunjuk ketika tasyahud di antaranya adalah hadits
dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma di mana ia berkata,




Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat (duduk tasyahud),
beliau meletakkan telapak tangannya yang kanan di pahanya yang kanan. Beliau
menggenggam seluruh jarinya dan berisyarat dengan jari telunjuk yang berada di
samping jari jempol. Beliau meletakkan telapak tangan kiri di paha kirinya. (HR.
Muslim no. 580).
Imam Syafii menegaskan bahwa berisyarat dengan jari telunjuk dihukumi sunnah
sebagaimana didukung dari berbagai hadits. (Al Majmu, 3: 301).
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5: 73-74), Berisyarat dengan jari
telunjuk dimulai dari ucapan illallah dari ucapan syahadat. Berisyarat dengan jari

tangan kanan, bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau sakit, maka tidak
digunakan jari lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan kanan atau pun jari
tangan kiri. Disunnahkan pandangan tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada
hadits shahih disebutkan dalam sunan Abi Daud yang menerangkan hal ini. Isyarat
tersebut dengan mengarah kiblat. Isyarat tersebut sebagai pertanda tauhid dan
ikhlas.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa isyarat jari itu ada ketika penafian dalam
kalimat tasyahud, yaitu pada kata laa. Ketika sampai pada kalimat penetapan
(itsbat) yaitu Allah, maka jari tersebut diletakkan kembali.
Ulama Malikiyah berisyarat kanan dan kiri dari awal hingga akhir shalat.
Ulama Hambali berisyarat ketika menyebut nama jalalah Allah. (Lihat Shifat Shalat
Nabi karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi, hal. 141).
Semoga bermanfaat.

Bagian 16
Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud

Bagaimana hukum menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud? Apakah


disunnahkan? Berikut tinjauan kami berdasarkan pendapat dalam madzhab Syafii.
Imam Nawawi berkata, Apakah jari telunjuk digerak-gerakkan ketika berisyarat?
Dalam madzhab Syafii ada beberapa pendapat.
Inilah pendapat terkuat dalam madzhab Syafii dan tidak terjadi perselisihan kuat
dalam madzhab itu sendiri, pendapat ini pun menjadi pendapat mayoritas ulama,
isyarat jari tersebut tidak digerak-gerakkan. Seandainya digerakkan, hukumnya
makruh, namun tidak membatalkan shalat karena gerakannya sedikit.
Pendapat kedua dalam madzhab Syafii lainnya, menggerakkan jari itu diharamkan.
Jika digerakkan shalatnya tidak batal karena gerakannya sedikit.
Sedangkan ada pendapat lainnya yang menyatakan bahwa haram digerak-gerakkan,
akibatnya membuat shalat batal. Namun pendapat terakhir ini adalah pendapat
yang syadz (nyleneh) dan lemah.
Pendapat ketiga dalam madzhab Syafii yang dikemukakan oleh Abu Hamid dan Al
Bandanijiy, juga Al Qodhi Abu Thoyyib, menggerakkan jari itu dihukumi sunnah.
Mereka berdalil dengan hadits Wail bin Hujr di mana ia menceritakan mengenai tata

cara (sifat) shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau meletakkan kedua
tangannya ketika tasyahud, lalu Wail berkata,


Beliau mengangkat jarinya. Aku lihat beliau menggerak-gerakkan jarinya dan
berdoa dengannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dengan sanad
shahih.
Imam Al Baihaqi berkata,



Boleh jadi yang dimaksud dengan yuharrikuha (menggerak-gerakkan jari) adalah
hanya berisyarat dengannya, bukan yang dimaksud adalah menggerak-gerakkan jari
berulang kali. Sehingga jika dimaknai seperti ini maka jadi sinkronlah dengan riwayat
Ibnu Az Zubair.
Disebutkan pula dengan sanad yang shahih dari Ibnuz Zubair radhiyallahu anhuma
bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa salam berisyarat dengan jarinya ketika
berdoa namun beliau tidak menggerakkan jarinya. Riwayat tersebut disebutkan
dalam sunan Abi Daud dengan sanad shahih.
Adapun hadits dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
menyatakan bahwa menggerak-gerakkan jari dapat mengusir setan, hadits tersebut
tidaklah shahih. Al Baihaqi menyatakan bahwa Al Waqidi bersendirian dan ia adalah
perawi yang dhaif (lemah). (Al Majmu, 3: 301-302).
Masalah menggerakkan jari tersebut ada beda pendapat. Baca selengkapnya dengan
disertai penjelasan dalil Hukum Menggerakkan Jari Telunjuk Saat Tasyahud.
Semoga manfaat.

Bagian 17
Apakah Tasyahud Awal Membaca Shalawat?

Apakah saat tasyahud awal diperintahkan membaca shalawat pada Nabi?


Ada dua pendapat dalam madzhab Syafii dalam hal ini:
Pendapat pertama, pendapat Imam Syafii al qodim (pendapat Imam Syafii di Irak),
tidak membaca shalawat pada tasyahud awal karena seandainya disyariatkan, tentu

akan disyariatkan pula membaca shalawat pada keluarga Muhammad seperti pada
tasyahud akhir.
Pendapat kedua, sebagaimana disebutkan dalam Al Umm bahwa shalawat tetap
dibaca pada tasyahud awal karena ketika itu ada duduk untuk membaca tasyahud,
maka tetap membaca shalawat ketika itu sebagaimana pada tasyahud akhir.
Dua pendapat di atas disebutkan oleh Asy Syairozi, lihat Al Majmu, 3: 306.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa membaca shalawat menurut
pendapat al qodim tidak disyariatkan. Ini juga yang menjadi pendapat Abu Hanifah,
Imam Ahmad dan Ishaq. Begitu pula pendapat ini diceritakan dari Atho, Asy
Syabiy, dan Ats Tsauri.
Sedangkan menurut pendapat al jadid (pendapat Imam Syafii di Mesir), membaca
shalawat ketika tasyahud awal tetap disyariatkan. Inilah pendapat di kalangan ulama
Syafiiyah yang lebih kuat, namun perselisihannya tidaklah kuat. (Idem)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, Shalawat atas Nabi shallallahu alaihi wa
sallam adalah fardhu pada tasyahud akhir. Sedangkan di tasyahud awal termasuk
sunnah shalat, demikian pendapat terkuat dalam madzhab Syafii dan perselisihan
untuk masalah ini amat kuat. Menurut pendapat terkuat pula (perselisihannya tidak
terlalu kuat dalam madzhab), tidak disunnahkan shalawat pada keluarga nabi pada
tasyahud awal. (Minhajut Tholibin, hal. 179-180).
Syaikh Musthofa Al Bugho memasukkan shaawat pada Nabi shallallahu alaihi wa
sallam setelah tasyahud awal pada sunnah abadh, artinya bila ditinggalkan mesti
ada sujud sahwi. Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 146.
Akan berlanjut pada bacaan Tasyahud Awal secara lengkap insya Allah.
Semoga bermanfaat.

Bagian 18
Imam Tasyahud Akhir , Makmum Duduk Iftirosy atau Tawarruk?

Bagaimanakah yang dilakukan oleh makmum masbuk (makmum yang telat) jika
imam sedang tasyahud akhir, makmum melakukan duduk iftirosy ataukah tawarruk?
Bagaimanakah bentuk duduk iftirosy dan duduk tawarruk. Kita dapat melihat dalam
hadits Abu Humaid berikut.





Jika duduk di rakaat kedua, beliau duduk di kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya (baca: duduk iftirosy). Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau
mengeluarkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya, duduk di lantai saat itu
(baca: duduk tawarruk). (HR. Bukhari no. 828).
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, Jika makmum masbuk duduk di akhir
shalatnya imam (imam berada pada tasyahud akhir). Ada tiga pendapat ulama
Syafiiyah dalam hal ini. Pendapat yang lebih tepat -dalam hal ini perselisihannya
tidak terlalu kuat-, mayoritas ulama Syafiiyah berpendapat bahwa duduknya
makmum adalah duduk iftirosy.
Pendapat kedua -merupakan pendapat lainnya-, duduknya adalah tawarruk.
Pendapat ketiga dari ulama Syafiiyah, ketika makmum masbuk berada pada rakaat
yang ada tasyahud (rakaat kedua), maka makmum melakukan duduk iftirosy. Jika ia
berada dalam duduk yang lain, ia melakukan duduk tawarruk karena mengikuti
imam. (Roudhotuth Tholibin, 1: 185).

Bagian 19
Bacaan Tasyahud, Perlukah diganti dengan Assalamualan Nabi?

Bacaan tasyahud di dalamnya disebutkan assalamu alaika ayyuhan nabi, artinya


salam untukmu wahai Nabi. Ini menggunakan lafazh orang kedua, seperti orang
yang diajak bicara. Sedangkan dalam beberapa riwayat disebutkan lafazh tersebut
hendaknya diganti dengan kata ganti orang ketiga menjadi assalamu alan nabi,
artinya salam bagi nabi. Apakah perlu mengganti dengan lafazh orang ketiga
ataukah tetap seperti yang Nabishallallahu alaihi wa sallam ajarkan?
Perlu dipahami bahwa hadits-hadits yang membicarakan bacaan tasyahud, yang
lebih sempurna adalah bacaan dari Ibnu Abbas. Demikian pandangan dari ulama
Syafiiyah.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, Bacaan tasyahud yang paling sempurna
menurut kami adalah bacaan tasyahud dari Ibnu Abbas, lalu bacaan dari Ibnu
Masud, lalu bacaan dari Ibnu Umar. (Al Majmu, 3: 304). Hal yang sama juga
dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Roudhotuth Tholibin, 1: 186.
Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata,




.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam mengajariku tasyahud -dan telapak
tanganku berada di dalam genggaman kedua telapak tangan beliau sebagaimana
beliau mengajariku surat dalam Al Quran: At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu
wath thayyibaat, assalaamualaika ayyuhan-nabiyyu warahmatullaahi wa
barakaatuh, as-salaamu alainaa wa alaa ibaadillaahish-shaalihiin. Asyhadu al-laa
ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuuluh (artinya: Segala
ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan
kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakahNya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada
seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hambaNya dan utusan-Nya). Bacaan itu kami ucapkan ketika beliau masih ada di antara
kami. Adapun setelah beliau meninggal, kami mengucapkan as salaamu alan Nabiy
(shallallaahu alaihi wa sallam) (HR. Bukhari no. 6265).
Guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi hafizhahullah menuturkan bahwa amalan
tersebut hanyalah amalan sahabat Nabi. Namun tidak mengapa mengamalkan
semuanya. Para sahabat ketika bersafar saja masih mengucapkan assalamualaika
ayyuhan nabi dalam tasyahud, tidak beralih mengganti menjadi assalamu alan nabi.
Jadi, lafazh tasyahud tetap sebagaimana yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam
ajarkan. Oleh karenanya Ibnu Masud mengatakan, Demikianlah yang diajarkan
kepada kami dan demikian yang kami ajarkan. Maksudnya adalah kami
mengajarkan kepada yang lainnya seperti yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam
ajarkan tanpa ada penambahan ataukah pengurangan. Siapa yang mengamalkan
seperti yang Ibnu Masud amalkan, maka tidaklah masalah, itulah asalnya. Siapa
yang mengamalkan seperti yang diamalkan oleh Ibnu Abbas dan juga yang
diceritakan oleh Atho dari beberapa sahabat, tidaklah masalah. (Lihat Sifat Shalat
Nabi karya Syaikh Ath Thorifi, hal. 143).
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya, Dalam
tasyahud apakah seseorang membaca bacaan assalamu alaika ayyuhan nabi atau
bacaan assalamu alan nabi? Abdullah bin Masud pernah mengatakan bahwa
para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat, mereka
mengucapkan assalamu alaika ayyuhan nabi. Namun setelah beliau wafat, para
sahabat pun mengucapkan assalamu alan nabi.

Jawab para ulama yang berada di komisi fatwa tersebut, Yang lebih tepat,
seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan assalamu alaika ayyuhan
nabi wa rohmatullahi wa barokatuh. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal
dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Masud mengenai bacaan tasyahud yang
mesti diganti setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat jika memang itu benar
riwayat yang shahih-, itu hanyalah hasil ijtihad dari Ibnu Masud dan tidak
bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada perbedaan
hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam wafat dan setelah
beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri yang akan
menjelaskannya pada para sahabat.
(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no. 8571, pertanyaan pertama. Yang menandatangani
fatwa ini adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh Abdur Rozaq Afifi
selaku wakil ketua, Syaikh Abdullah bin Quud dan Abdullah bin Ghodyan selaku
anggota)
Semoga bermanfaat.

Bagian 20
Bacaan Tasyahud Awal

Ada dua bacaan tasyahud awal dari beberapa bacaan tasyahud yang kami utarakan
kali ini.

Bacaan Tasyahud Awal


Pertama, bacaan tasyahud Ibnu Abbas.













At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat lillah. Assalaamu alaika
ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu alainaa wa alaa
ibaadillahish sholihiin. Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan
abduhu wa rosuuluh (artinya: Segala ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan
kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu
wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan
dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya) (HR.
Muslim no. 403).

Kedua, bacaan tasyahud Ibnu Masud.











At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat. Assalaamualaika ayyuhan
nabiyyu warahmatullaahi wa barokaatuh. As salaamu alainaa wa alaa
ibaadillaahish shoolihiin. Asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna
Muhammadan abduhu wa rosuuluh (artinya: Segala ucapan selamat, shalawat, dan
kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu
wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan
dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). (HR.
Bukhari no. 6265).

Ditambah Bacaan Shalawat pada Tasyahud Awal


Bacaan shalawat yang bisa dibaca setelah membaca salah satu dari tasyahud awal
di atas,











Allahumma sholli ala Muhammad wa ala aali Muhammad kamaa shollaita ala
Ibroohim wa ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ala
Muhammad wa ala aali Muhammad kamaa baarokta ala Ibrohim wa ala aali
Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim
dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah,
semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana
tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi
Maha Mulia). (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Kaab bin Ujroh).
Minimal bacaan shalawat adalah,









Allahumma sholli ala Muhammad (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah pada
Muhammad). (Roudhotuth Tholibin, 1: 187).

Semoga bermanfaat.

Bagian 21
Cara Bangkit ke Rakaat Ketiga Setelah Tasyahud Awal

Bagaimanakah cara bangkit ke rakaat ketiga setelah tasyahud awal?


32- Bangkit ke rakaat ketiga dengan bertumpu pada tangan sambil bertakbir Allahu
Akbar.
Menurut madzhab Syafii, berdiri ke rakaat ketiga adalah dengan bertumpu pada
tangan di tanah. (Al Majmu, 3: 307). Sebagaimana hal ini diterangkan sebelumnya
pada point 29 ketika membahas cara bangkit ke rakaat kedua.
33- Bangkit ke rakaat ketiga setelah tasyahud awal dengan mengangkat tangan.
Menurut ulama Syafiiyah, disunnahkan mengangkat tangan ketika bangkit ke rakaat
ketiga. (Idem).
Dalam hadits Abu Humaid As Saidi mengenai mengangkat tangan saat bangkit dari
tasyahud awwal, ia berkata,















Kemudian Rasul shallallahu alaihi wa sallam bangkit, kemudian ia melakukan
rakaat kedua seperti rakaat pertama. Sampai beliau selesai melakukan dua rakaat,
beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan
pundaknya sebagaimana yang beliau lakukan saat takbiratul ihram (ketika memulai
shalat). (HR. Tirmidzi no. 304 dan Abu Daud no. 963. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
34- Membaca surat Al Fatihah dengan lirih di rakaat ketiga dan keempat.
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa ulama Syafiiyah berpendapat, rakaat
ketiga dilakukan sama dengan rakaat kedua, yang berbeda hanyalah bacaan yang
tidak dijaherkan (tidak dikeraskan).
Abu Bakr Al Hishniy berkata, Tidak dianjurkan untuk membaca surat lain selain Al
Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat menurut pendapat yang lebih kuat. Kecuali
jika sebagai makmum masbuk, maka surat selain Al Fatihah masih dibaca pada

rakaat ketiga atau keempat. Demikian pendapat dari Imam Syafii. (Kifayatul
Akhyar, hal. 160).
Namun sebenarnya sesekali membaca surat lain setelah Al Fatihah pada rakaat
ketiga dan keempat itu dibolehkan. Berdasarkan hadits berikut,


- -







Dari Abu Said Al Khudri, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa
membaca surat di shalat Zhuhur pada rakaat pertama dan kedua pada setiap rakaat
sekitar membaca 30 ayat. Pada rakaat ketiga dan keempat membaca 15 ayat.
Sedangkan waktu Ashar membaca separuh dari waktu Zhuhur, yaitu rakaat pertama
dan kedua membaca 15 ayat di masing-masing rakaat. Kemudian di rakaat ketiga
dan keempat membaca separuh dari itu. (HR. Muslim no. 452).
Padahal surat Al Fatihah berjumlah 7 ayat. Berarti di rakaat ketiga dan keempat bisa
dibaca lebih dari surat Al Fatihah.
Semoga bermanfaat.

Bagian 22
Keadaan Tangan Ketika sujud

Bagaimanakah keadaan tangan ketika sujud?


Ini satu bahasan yang terlewatkan ketika Rumaysho.Com membahas cara sujud.
Bagaimanakah posisi tangan saat itu. Kita akan melihat dalam hadits-hadits berikut
ini.
Dari Ibnu Buhainah, ia berkata,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika shalat, beliau merenggangkan lengan


tangannya (ketika sujud) hingga nampak putih ketiak beliau. (HR. Bukhari no. 390
dan Muslim no. 495).
Dari Al Bara bin Azib, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika engkau sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua
sikumu. (HR. Muslim no. 494).

Dari Wail bin Hujr, ia berkata,

Ketika sujud, Nabi shallallahu alaihi wa sallam merapatkan jari jemarinya. (HR.
Hakim dalam Mustadroknya 1: 350. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih
sesuai syarat Muslim dan disetujui pula oleh Imam Adz Dzahabi)
Ada empat tuntunan yang diajarkan dalam hadits-hadits di atas:
1- Meletakkan kedua telapak tangan di lantai, bahkan telapak tangan tersebut
merupakan anggota sujud yang mesti diletakkan sebagaimana telah diterangkan
dalam Sifat Shalat Nabi (10): Cara Sujud.
2- Saat sujud, jari-jemari tangan dirapatkan.
3- Disunnahkan menjauhkan dua lengan dari samping tubuh ketika sujud.
Namun perihal di atas dikecualikan jika berada dalam shalat jamaah. Perlu dipahami
bahwa membentangkan lengan seperti itu dihukumi sunnah. Ketika cara sujud
seperti itu dilakukan saat shalat jamaah berarti mengganggu yang berada di kanan
dan kiri. Syaikh Muhammad bin Shalih bin Shalih Al Utsaimin membawakan suatu
kaedah dalam masalah ini,

Meninggalkan perkara yang hukumnya sunnah untuk menghindarkan diri dari


mengganggu orang lain lebih utama dari mengerjakan hal yang sunnah namun
mengganggu orang lain. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 264).
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dua adab awal ketika sujud ini dengan
mengatakan, Hendaknya yang sujud meletakkan kedua telapak tangannya ke lantai
dan mengangkat sikunya dari lantai. Hendaklah lengannya dijauhkan dari sisi
tubuhnya sehingga nampak bagian dalam ketiaknya ketika ia tidak berpakaian
tertutup (seperti memakai kain selendang saja ketika berihram saat haji atau umrah,
-pen). Inilah cara sujud yang disepakati oleh para ulama. Jika ada yang tidak
melakukannya, maka dapat dihukumi shalatnya itu jelek, namun shalatnya itu sah.
Wallahu alam. (Syarh Shahih Muslim, 4: 187).
4- Lengan mesti diangkat, tidak menempel pada lantai. Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam memerintahkan untuk mengangkatnya dan tidak menempelkan lengan
atau siku ke lantai saat sujud. Dalam hadits disebutkan pula,

Bersikaplah pertengahan ketiak sujud. Janganlah salah seorang di antara kalian


menempelkan lengannya di lantai seperti anjing yang membentangkan lengannya
saat duduk. (HR. Bukhari no. 822 dan Muslim no. 493).

Cara Sujud yang Keliru dengan Menempelkan Lengan di Lantai

Apa hikmah mengangkat siku atau lengan tangan ketika sujud? Imam Nawawi
rahimahullah berkata, Hikmah melakukan cara seperti itu adalah untuk
mendekatkan pada sifat tawadhu. Cara seperti itu pula akan membuat anggota
sujud yang mesti menempel benar-benar menempel ke lantai yaitu dahi dan hidung.
Cara sujud seperti itu pula akan menjauhkan dari sifat malas. Perlu diketahui bahwa
cara sujud dengan lengan menempel ke tanah menyerupai anjing yang
membentangkan lengannya. Keadaan lengan seperti itu pula pertanda orang
tersebut meremehkan shalat dan kurang perhatian terhadap shalatnya. Wallahu
alam. (Syarh Shahih Muslim, 4: 187)

Cara sujud yang diajarkan di sini berlaku untuk laki-laki dan


perempuan, tidak dibedakan karena kalau membedakan mesti
dengan dalil khusus. Wallahu alam.
Semoga sajian singkat Rumaysho.Com di sore ini bermanfaat. Hanya Allah yang
memberi taufik.

Bagian 23
Bacaan Tasyahud Akhir

Bagaimanakah cara melakukan tasyahud akhir? Bagaimana bacaan di dalamnya?


35- Setelah itu melakukan gerakan shalat sama seperti rakaat sebelumnya hingga
duduk tasyahud akhir. Cara duduk tasyahud adalah dengan duduk tawarruk, baik
shalat tersebut terdapat dua kali tasyahud, atau shalat tersebut dua rakaat atau
lebih. Hal ini sudah diterangkan sebelumnya pada Sifat Shalat Nabi (13): Cara
Tasyahud Awal dan Akhir.
Bacaan ketika tasyahud akhir sama dengan tasyahud awwal [Lihat: Sifat Shalat Nabi
(20): Bacaan Tasyahud Awal].













At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat lillah. Assalaamu alaika
ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu alainaa wa alaa
ibaadillahish sholihiin. Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan
abduhu wa rosuuluh.








Allahumma sholli ala Muhammad wa ala aali Muhammad kamaa shollaita ala
Ibroohim wa ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ala
Muhammad wa ala aali Muhammad kamaa baarokta ala Ibrohim wa ala aali
Ibrohimm innaka hamidun majiid.
Lalu ditambah dengan doa meminta perlindungan dari empat perkara.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,






Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam), mintalah
perlindungan pada Allah dari empat hal: (1) siksa neraka jahannam, (2) siksa kubur,
(3) penyimpangan ketika hidup dan mati, (4) kejelekan Al Masih Ad Dajjal. (HR.
Muslim no. 588).
Doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam disebutkan dalam riwayat
lain,









Allahumma inni audzu bika min adzabil qobri, wa adzabin naar, wa fitnatil mahyaa
wal mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta perlindungan
kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika hidup dan mati, dan
kejelekan Al Masih Ad Dajjal]. (HR. Muslim no. 588)
Setelah itu berdoa dengan doa apa saja yang diinginkan. Dalam hadits dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud, maka mintalah perlindungan pada
Allah dari empat perkara yaitu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah
hidup dan mati dan dari kejelekan Al Masih Ad Dajjal, kemudian hendaklah ia berdoa
untuk dirinya sendiri dengan doa apa saja yang ia inginkan. (HR. An Nasai no. 1310.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dengan catatan, hendaklah dengan bahasa Arab atau yang lebih baik adalah dengan
doa yang berasal dari Al Quran dan hadits. Doa yang berasal dari Al Quran dan
hadits begitu banyak yang bisa diamalkan.
Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah seorang ulama
Syafiiyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah,











.



Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa matsur. Adapun doa yang tidak
matsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh doa atau
dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat.
Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofii dari Imam Syafii
sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas
untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan selain bahasa Arab
mengakibatkan shalatnya batal. (Mughnil Muhtaj, 1: 273).
Semoga bermanfaat. Insya Allah masih berlanjut pada permasalahan Sifat Shalat
Nabi selanjutnya. Moga Allah mudahkan.

Bagian 24
Di Tasyahud Akhir, Nabi Meminta Perlindungan dari Banyak Hutang

Setelah tasyahud akhir, lalu meminta perlindungan dari 4 hal, kemudian


diperkanankan meminta doa semau kita. Di antara doa yang diajarkan setelah
tasyahud akhir atau dalam shalat adalah meminta perlindungan dari perbuatan dosa
dan sulitnya berutang.
Dari Aisyah -istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam-, Aisyah mengabarkan bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa berdoa di dalam shalatnya,








Allahumma inni audzu bika min adzabil qobri, wa audzu bika min fitnatil masiihid
dajjal, wa audzu bika min fitnatil mahyaa wa fitnatil mamaat. Allahumma inni audzu
bika minal matsami wal maghrom (artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan
pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al Masih
Ad Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari musibah ketika hidup dan mati.
Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya
berutang). (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589).

Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab Doa


Sebelum Salam. Namun yang lebih tepat, doa di atas bukan
dibaca khusus ketika tasyahud akhir, namun bisa ketika sujud
pula, yang penting di dalam shalat. Demikian penegasan dari
Ibnu Hajar dalam Al Fath, 2: 318.
Dari Urwah, dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,










Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa berdoa di dalam shalat: Allahumma inni
audzu bika minal matsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari
berbuat dosa dan banyak hutang). Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu
alaihi wa sallam, Kenapa engkau sering meminta perlindungan dari hutang?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas bersabda, Jika orang yang berhutang
berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari. (HR.
Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589).
Maksud doa di atas adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam meminta perlindung
pada Allah dari dosa dan utang. Demikian kata Imam Nawawi dalam Syarh Shahih
Muslim, 5: 79.
Doa tersebut berisi kandungan bahwa kita meminta perlindungan dari utang yang
sebenarnya tidak ada sebab untuk kita berutang dan yang ada sebabnya, lalu kita
tidak mampu melunasi utang tersebut. Namun yang dimaksud bisa jadi lebih umum
dari itu. Bisa juga yang dimaksud adalah meminta perlindungan dari terlilitnya
utang. Demikian kata Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 2: 319. Beliau
katakan juga bahwa hadits tersebut menunjukkan bahayanya berutang dan nasib
jeleknya di akhirat kelak.

Ibnu Hajar Al Asqolani menerangkan pula, Yang dimaksud dengan meminta


perlindungan dari utang yaitu jangan sampai hidup sulit gara-gara terlilit utang. Atau
maksudnya pula, meminta perlindungan pada Allah dari keadaan tidak mampu
melunasi utang.
Kata Ibnu Hajar pula, dalam Hasyiyah Ibnul Munir disebutkan bahwa hadits meminta
perlindungan dari utang tidaklah bertolak belakang dengan hadits yang
membicarakan tentang bolehnya berutang. Sedangkan yang dimaksud dengan
meminta perlindungan adalah dari kesusahan saat berutang. Namun jika yang
berutang itu mudah melunasinya, maka ia berarti telah dilindungi oleh Allah dari
kesulitan dan ia pun melakukan sesuatu yang sifatnya boleh (mubah). Lihat Fathul
Bari, 5: 61.
Al Muhallab mengatakan, Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya
memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan
hal ini adalah doa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang
dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta. (Syarh Al Bukhari, Ibnu
Baththol, 12: 37).
Jadi, jangan lupa dalam tasyahud akhir kita atau dalam shalat kita untuk
menambahkan doa ini,




Allahumma inni audzu bika minal matsami wal maghrom (artinya: Ya Allah, aku
meminta pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang).
Hanya Allah yang memberi taufik

Bagian 25
Di Tasyahud Akhir, Nabi Berdoa Memohon Ampunan

Salah satu doa lagi yang diajarkan setelah tasyahud akhir adalah doa memohon
ampunan. Doa ini yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya.

Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu anhu, ia berkata pada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, Ajarkanlah padaku suatu doa yang aku baca dalam shalatku.
Beliau menjawab, ucapkanlah, Allahumma inni zholamtu nafsii zhulman katsiroo wa
laa yaghfirudz dzunuuba illa anta. Faghfir lii maghfiratan min indik, warhamnii
innaka antal ghofurur rohiim (artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi
diriku sendiri dengan kezhaliman yang besar. Tiada yang dapat mengampuni dosa
kecuali Engkau. Ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu. Kasihanilah aku.
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). (HR. Bukhari no.
834 dan Muslim no. 2705)
Maksud dari maghfiratan min indik, yaitu ampunan dari sisi-Mu adalah permintaan
ampunan yang besar dari Allah. Ibnu Hajar mengatakan seperti ini dalam Fathul Bari,
2: 320.
Sedangkan sifat yang disebutkan di akhir doa al ghofur ar rohim yaitu dua sifat
yang senantiasa bergandengan. Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, al
ghofur berarti Allah mengampuni maksiat yang telah dilakukan dan disesalkan.
Sedangkan ar rohim berarti Allah mengasihi hamba ketika ia lalai dari melakukan
kewajiban dan ketaatan. Ini yang disebutkan oleh beliau dalam Fathu Dzil Jalali wal
Ikram, 3: 277.
Adapun ampunan Allah (maghfirah) ada dua makna, yaitu Allah menutup dosa dan
tidak memberikan hukuman. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 271.
Doa di atas juga dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Bab Doa Sebelum Salam.
Kalau dikatakan sebelumnya, doa semacam itu bukan khusus berada di akhir shalat
sebelum salam setelah tasyahud akhir, namun boleh juga di tempat lainnya di dalam
shalat.
Imam Nawawi rahimahullah menegaskan bahwa maksud Abu Bakr yang meminta
pada Rasul mengenai doa yang ia baca dalam shalatnya, maka maksudnya adalah
pada berbagai tempat dalam shalat. Namun bisa jadi yang dimaksud adalah pada
tasyahud akhir.
Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan bahwa Abu Bakr itu bertanya mengenai
tasyahud, lalu beliau diajarkan tentang hal itu dan dikatakan oleh Nabi shallallahu
alaihi wa sallam setelahnya, Kemudian pilihlah doa yang disukai. Dari sini, dapat
kita tahu alasan kenapa Imam Bukhari mengatakan bahwa doa di atas terletak
sebelum salam, maksudnya setelah tasyahud akhir. (Fathul Bari, 2: 320).
Semoga bermanfaat.

Bagian 26
Di Tasyahud Akhir Nabi Berdoa agar Semangat Dalam Ibadah

Di tasyahud akhir, di antara doa yang dipanjatkan Nabi adalah doa agar terus
semangat dalam ibadah, maksudnya dijauhkan dari sifat juben.
Saad bin Abi Waqqash biasa mengajarkan anaknya beberapa kalimat doa berikut. Ia
mengajarkan doa tersebut sebagaimana para pengajar mengajarkan menulis. Ia
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca doa ini di
dubur shalat (akhir tasyahud sebelum salam),













Allahumma inni audzu bika minal jubni, wa audzu bika an arudda ilaa ardzalil
umur, wa audzu bika min fitnatid dunyaa, wa audzu bika min adzabil qodbri
(artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari lemah melakukan ibadah
yang mulia, aku meminta perlindungan pada-Mu dari keadaan tua yang jelek, aku
meminta perlindungan pada-Mu dari tergoda syahwat dunia (sehingga lalai dari
kewajiban), aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur). (HR. Bukhari no.
2822).
Perhatian kita pada meminta perlindungan dari juben. Apa yang dimaksud dengan
sifat juben tersebut? Kenapa sampai Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri di
akhir tasyahud memanjatkan doa itu?
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6: 35) dan As Suyuthi dalam Hasyiyah Sunan An
Nasai (7: 143) berkata bahwa juben adalah antonim dari kata syajaah yang berarti
berani. Berarti juben adalah pengecut atau tidak berani.
Al Muhallab sebagaimana dinukil dalam Syarh Bukhari karya Ibnu Batthol
menyatakan bahwa juben adalah sifat pengecut dengan lari dari medan
pertempuran. (Syarh Bukhari, 9: 45)
Dalam Aunul Mabud (4: 316, penjelasan hadits no. 1539) disebutkan bahwa
Nabi shallallahu alaihi wa sallammeminta perlindungan dari sifat juben karena sifat
tersebut dapat membuat seseorang tidak bisa memenuhi panggilan jihad yang
wajib, tidak berani mengemukakan kebenaran, tidak bisa mengingkari kemungkaran,
juga akan luput dari kewajiban lainnya.
Syaikh Abdullah Al Fauzan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lemahnya hati
sehingga menghalangi dari melakukan amalan-amalan yang mulia seperti jihad,
berkata yang benar, sulit melakukan amar maruf nahi mungkar, juga dalam hal
lainnya yang merupakan hal-hal mulia dalam Islam. (Minhatul Allam, hal. 186).

Intinya, sifat juben ini menghalangi dari melakukan kewajiban dan amalan yang
mulia. Dalam tasyahud akhir sebelum akhir, hendaklah kita bisa mengamalkan doa
ini sehingga kita bisa terus dimudahkan oleh Allah dalam ibadah.
Semoga doa ini bisa dihafalkan dan dipraktekkan oleh para pembaca
Rumaysho.Com. Moga bermanfaat. Ingatlah, hanya dengan taufik dan pertolongan
Allah-lah kita bisa mudah dan semangat dalam ibadah. Jangan bosan untuk berdoa
agar terus semangat dalam ketaatan.

Bagian 27
Di Tasyahud Akhir, Nabi Berdoa agar Rajin Berdzikir dan Bersyukur

Di tasyahud akhir, ada doa yang dituntunkan yang bisa kita baca dan semestinya
dihafalkan, yaitu doa meminta pada Allah untuk rajin berdzikir, bersyukur dan bagus
dalam ibadah.
Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam pernah memegang tangannya lalu berkata,

Wahai Muadz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku


mencintaimu.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selanjutnya bersabda,

Aku memberikanmu nasehat, wahai muadz. Janganlah engkau tinggalkan saat di


penghujung shalat (di akhir shalat setelah sama) bacaan doa: Allahumma ainni ala
dzikrika wa syukrika wa husni ibadatik (Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir,
bersyukur dan beribadah yang baik pada-Mu).
Disebutkan di akhir hadits,

Muadz mewasiatkan seperti itu pada Ash Sunabihi. Lalu Ash Shunabihi
mewasiatkannya lagi pada Abu Abdirrahman. (HR. Abu Daud no. 1522 dan An
Nasai no. 1304. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Ada tiga permintaan yang diminta dalam doa ini.
Pertama, meminta pada Allah agar dimudahkan berdzikir. Di sini bisa berupa
membaca Al Quran, memuji Allah, menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat,
dan semacam itu. Lantas kenapa dzikir didahulukan dari syukur? Karena jika
seseorang tidak berdzikir berarti ia tidak bersyukur pada Allah. Allah Taala
berfirman,

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al
Baqarah: 152).
Kedua, meminta pada Allah untuk rajin bersyukur. Syukur adalah menampakkan
bekas nikmat Allah pada lisan hamba-Nya sebagai bentuk pujian, juga ada bentuk
pengakuan dalam hati dan diwujudkan dengan ketundukkan pada anggota badan.
Disebut syukur tentu saja dengan memanfaatkan nikmat tersebut untuk ketaatan
yang dicintai dan diridhai oleh Allah, serta menjauhkan diri dari maksiat pada-Nya.
Ketiga, meminta pada Allah supaya bisa beribadah dengan baik. Yang dimaksud
ibadah yang baik adalah ibadah yang ikhlas dan ibadah yang sesuai tuntunan.
Dalam hadits disebutkan bahwa doa tersebut dibaca di dubur shalat. Dubur shalat
itu bisa berarti sebelum salam, bisa pula sesudah salam. Namun yang lebih tepat di
sini adalah sebelum salam karena dua alasan:

Dubur shalat itu adalah ujungnya sesuatu dan masih merupakan bagian dari
sesuatu tersebut, sehingga lebih tepat dimaknakan dubur shalat di sini adalah di
akhir shalat sebelum salam.

Sebelum salam itu adalah tempatnya doa. Namun kalau lupa dilakukan
sebelum salam, maka bisa memilih sesudah salam karena sama-sama disebut
dubur shalat.
Semoga bermanfaat, moga doanya bisa dihafalkan dan dipraktekkan. Moga Allah
memberikan kita kemudahan dalam berdzikir, bersyukur dan beribadah.

Bagian 28
Kapan Menurunkan Jari Telunjuk Saat Tasyahud?

Kapan menurunkan jari telunjuk yang digunakan untuk berisyarat saat tasyahud?
Dalam kitab sunan disebutkan riwayat dari Ibnu Umar, ia berkata,

- -

Ketika duduk dalam shalat, Nabi shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangan
kanannya di paha kanannya, lalu beliau mengangkat jari di samping jari jempol
(yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa dengannya. Sedangkan tangan
kiri dibentangkan di paha kirinya. (HR. Tirmidzi no. 294).
Imam Syafii menegaskan bahwa berisyarat dengan jari telunjuk dihukumi sunnah
sebagaimana didukung dari berbagai hadits. (Lihat Al Majmu, 3: 301).
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5: 73-74), Berisyarat dengan jari
telunjuk dimulai dari ucapan illallah dari ucapan syahadat. Berisyarat dilakukan
dengan jari tangan kanan, bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau
sakit, maka tidak digunakan jari lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan
kanan yang lain, tidak pula dengan jari tangan kiri. Disunnahkan agar pandangan
tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih yang disebutkan dalam
Sunan Abi Daud yang menerangkan hal tersebut. Isyarat tersebut dengan mengarah
kiblat. Isyarat tersebut untuk menunjukkan tauhid dan ikhlas.

Dalam Al Majmu (3: 301), Imam Nawawi rahimahullah berkata, Dari semua ucapan
dan sisi pandang tersebut dapat disimpulkan bahwa disunnahkan mengisyaratkan
jari telunjuk tangan kanan, lalu mengangkatnya ketika sampai huruf hamzah dari
ucapannya (laa ilaaha illalllahu)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa isyarat jari itu ada ketika penafian dalam
kalimat tasyahud, yaitu pada kata laa. Ketika sampai pada kalimat penetapan
(itsbat) yaitu Allah, maka jari tersebut diletakkan kembali.
Ulama Malikiyah berisyarat dari awal hingga akhir tasyahud.
Ulama Hambali berisyarat ketika menyebut nama jalalah Allah. (Lihat Shifat Shalat
Nabi karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi, hal. 141).
Pada hadits Ibnu Umar di atas pada lafazh hadits lalu beliau mengangkat jari di
samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa
dengannya, berdasarkan hal itu mengangkat telunjuk dimulai ketika berdoa dalam
tasyahud. Adapun lafazh doa dimulai dari dua kalimat syahadat. Karena di dalamnya
terdapat pengakuan dan penetapan kemahaesaan Allah. Hal itu penyebab suatu doa
lebih berpeluang dikabulkan. Selanjutnya mengucapkan inti doanya allahumma
shalli ala Muhammad hingga akhir tasyahuddan sampai akhir salam. Adapun
awal tasyahud attahiyyatulillah sampai ucapan wa ala ibadillahish shalihin
bukanlah termasuk doa, namun itu adalah bentuk memuji Allah dan doa
keselamatan bagi hamba-Nya.
Adapun masalah kapan selesainya berisyarat dengan telunjuk, para sahabat yang
meriwayatkan mengangkat jari telunjuk, tidaklah menyebutkan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam menurunkannya di bagian tertentu sebelum selesainya salam,
sehingga disimpulkan bahwa mengangkat jari telunjuk itu terus sampai selesai
salam, terlebih lagi akhir tasyahud semuanya adalah doa .
Imam Ar Ramli Asy Syafii rahimahullah berkata, Jari telunjuk diangkat saat ucapan
illallah, yaitu mulai mengangkatnya ketika pengucapan hamzah untuk mengikuti
riwayat Imam Muslim dalam masalah tersebut. Hal itu nampak jelas menunjukkan
bahwa jari telunjuk tetap diangkat sampai sesaat sebelum berdiri ke rakaat ketiga,
pada tasyahud awal atau sampai salam pada tasyahud akhir. Adapun yang dibahas
sekolompok orang zaman sekarang tentang mengembalikannya, maka ini
menyelisihi riwayat yang ada. (Lihat Nihayatul Muhtaj, 1: 522).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengangkat jari saat tasyahud dimulai sejak
syahadatain (pada kalimat illallah) lalu diturunkan ketika akan bagkit ke rakaat
ketiga untuk tasyahud awal atau sampai salam untuk tasyahud akhir.
Semoga bermanfaat dan moga bisa diamalkan.

Bagian 29
Mengakhiri Shalat dengan Salam

Bagaimanakah cara salam untuk mengakhiri shalat?


Salam adalah penutup shalat. Dari Abu Said Al Khudri, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,

Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat
adalah ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam. (HR.
Tirmidzi no. 238 dan Ibnu Majah no. 276. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini
hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Cara salam adalah dengan memalingkan wajah ke kanan sampai orang di belakang
melihat pipi, begitu pula salam ke kiri sampai orang di belakang melihat pipi.
Disebutkan dalam hadits,

Dari Amir bin Saad dari bapaknya, ia berkata, Aku pernah melihat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallammengucapkan salam ke kanan dan ke kiri
hingga aku melihat pipinya yang putih. (HR. Muslim no. 582).
Dari Abdullah bin Masud, ia berkata,

- -

Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri
sampai terlihat pipinya yang putih, lalu beliau mengucapkan, Assalamu alaikum wa
rahmatullah, assalamu alaikum wa rahmatullah (HR. Abu Daud no. 996 dan
Tirmidzi no. 295. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Salam yang termasuk bagian dari rukun adalah salam pertama, sedangkan salam
kedua tidaklah wajib.
Adapun ucapan salam adalah tanpa kalimat wa baraakatuh. Tambahan tersebut tak
ada dasarnya. Riwayat yang menyebutkan tambahan tersebut adalah riwayat
yang syadz, yaitu menyelisihi riwayat yang lebih kuat. Jadi yang lebih tepat ucapan
salam adalah assalamu alaikum wa rahmatullah.
Adapun jika hanya mengucapkan assalamu alaikum saja tanpa menyebut wa
rahmatullah, seperti itu sudah dianggap sah. Namun yang lebih sempurna adalah
assalamu alaikum wa rahmatullah.
Semoga bermanfaat.

Bagian 30
Rukun Shalat

Rukun shalat adalah bagian penting dari shalat. Jika rukun shalat tidak ada, shalat
tidaklah sah dan tak bisa tergantikan dengan sujud sahwi.

Setelah kita mempelajari sifat shalat nabi sampai serial ke-29, saat ini dan serial
berikutnya akan diulas mengenai shalat dari tinjauan fikih. Kita akan pelajari rukun
shalat terlebih dahulu.
Yang termasuk dalam rukun shalat:
1- Niat di dalam hati. Tidak dipersyaratkan niat tersebut dilafazhkan. Dalam hadits
disebutkan,

Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya. (HR. Bukhari no. 1 dan
Muslim no. 1907, dari Umar bin Al Khottob)
2- Berdiri bagi yang mampu (untuk shalat wajib). Sedangkan shalat sunnah boleh
dikerjakan dalam keadaan duduk meskipun mampu.
Untuk shalat sunnah disunnahkan untuk berdiri, tidak wajib. Namun keadaan berdiri
lebih utama daripada duduk saat itu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Siapa yang mengerjakan shalat sambil berdiri, maka itu lebih afdhal. Siapa yang
shalat sambil duduk akan mendapatkan pahala separuh dari shalat sambil berdiri.
Siapa yang shalat sambil berbaring akan mendapat pahala separuh dari shalat
sambil duduk. (HR. Bukhari no. 1065)
3- Takbiratul ihram (ucapan Allahu Akbar di awal shalat).
4- Membaca Al Fatihah (bagi imam dan orang yang shalat sendirian).
5- Ruku dan thumaninah (tidak tergesa-gesa).
Dalil yang menunjukkan perintah untuk thumaninah dapat dilihat pada hadits musii
sholatuhu (orang yang jelek shalatnya).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka
masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan
memberi salam pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab
salamnya. Beliau berkata, Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau
tidaklah shalat. Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada
Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti
sebelumnya, Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.

Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, Demi
yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik
dari itu. Makanya ajarilah aku! Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas
mengajarinya dan bersabda, Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah.
Kemudian bacalah ayat Al Quran yang mudah bagimu. Lalu rukulah dan
sertai thumaninah ketika ruku. Lalu bangkitlah dan beritidallah sambil berdiri.
Kemudian sujudlah sertai thumaninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk
antara dua sujud sambil thumaninah. Kemudian sujud kembali sambil
disertai thumaninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu. (HR.
Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).
6- Itidal dan thumaninah.
7- Sujud dua kali dalam satu rakaat, disertai thumaninah.
8- Duduk di antara dua sujud, disertai thumaninah.
9- Duduk tahiyat akhir.
10- Membaca bacaan tasyahud di tahiyat akhir.
11- Membaca bacaan shalawat setelah bacaan tasyahud akhir.
12- Salam pertama, minimalnya Assalamu alaikum, lengkapnya Assalamu
alaikum wa rahmatullah.
13- Berurutan dalam mengerjakan rukun yang tadi disebutkan.
Diharuskan berurutan dalam mengerjakan rukun karena dalam hadits musii
sholatuhu terdapat kata tsumma ketika menjelaskan urutan rukun. Tsumma sendiri
berarti kemudian yang menunjukkan makna berurutan. Perhatikan haditsnya,

Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Quran
yang mudah bagimu. Lalu rukulah dan sertai thumaninah ketika ruku. Lalu
bangkitlah dan beritidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah
sertai thumaninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud
sambil thumaninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thumaninah ketika
sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu. (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim
no. 397).
Semoga bermanfaat.

Bagian 31
Sunnah Abadh

Dalam madzhab Syafii, ada dua macam perkara sunnah dalam shalat yaitu sunnah
abadh dan sunnah hayah.

Sekarang yang kita kaji lebih dahulu adalah sunnah abadh. Sunnah abadh adalah
perkara yang dianggap sunnah dalam shalat.

Jika sunnah abadh ditinggalkan, maka bisa diganti dengan sujud


sahwi.
Apa saja yang masuk sunnah abadh?
Ada tiga sunnah abadh yang bisa kami sebutkan setelah penjabaran sifat shalat
Nabi secara lengkap.
1- Duduk tasyahud awal.
2- Membaca tasyahud awal.
Dalil bahwa tasyahud awal termasuk sunnah adalah hadits dari Abdullah bin
Buhainah, ia berkata,








Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Zhuhur. Lalu ketika rakaat kedua, beliau
berdiri dan tidak duduk tasyahud awal. Para jamaah pun turut mengikuti beliau.
Ketika di akhir shalat, saat jamaah menunggu beliau salam, ternyata beliau
bertakbir dalam keadaan duduk dan melakukan dua kali sujud sahwi. Sujud sahwi
tersebut dilakukan sebelum salam. Kemudian beliau salam. (HR. Bukhari no. 829
dan Muslim no. 570).
3- Shalawat pada Nabi setelah tasyahud awal.
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Syafii berpendapat
dalam Al Umm bahwa shalawat pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap ada
dalam tasyahud awal. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab SyafiI dan
pendapat terbaru dari Imam Syafii. Namun hukumnya adalah sunnah, bukanlah
wajib. Dalam pendapat terdahulu, Imam Syafii berkata, Setelah tasyahud tidak
wajib menambahkan shalawat. Inilah yang diriwayatkan oleh Al Muzani, juga
menjadi pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Malik.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan alasan kenapa pembacaan shalawat
pada Nabi tetap ada pada tasyahud awal, di mana beliau berkata, Allah Taala telah
memerintahkan pada orang beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam
kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa ketika ada
salam untuk beliau, maka di situ juga terdapat shalawat padanya. Oleh karena itu

ketika para sahabat bertanya mengenai cara bershalawat pada beliau, mereka
berkata, Kami sudah mengetahui bagaimanakah cara mengucapkan salam
kepadamu wahai Rasulullah-, lantas bagaimanakah kami menyampaikan shalawat
kepadamu? Ini menunjukkan bahwa shalawat pada Nabi shallallahu alaihi wa
sallamselalu bergandengan dengan salam pada beliau. Oleh karena itu setiap yang
mau bershalawat pada Nabi maka ia juga menyampaikan salam pada beliau. (Jalaul
Afham, hal. 321).
Alasan lainnya disampaikan oleh Ibnul Qayyim bahwa shalawat digandengkan
dengan salam ketika menyebut nama Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam menunjukkan sesuatu yang lebih sempurna. (Jalaul Afham, hal. 322).
Semoga bermanfaat.

Bagian 32
Sunnah Hayah

Sunnah yang lain selain sunnah abadh adalah sunnah hayah. Sunnah hayah adalah
perkara yang dianggap sunnah dalam shalat, jika ditinggalkan, tak perlu kembali
melakukannya dan tidak ada sujud sahwi.
Apa saja yang masuk sunnah hayah?
Berikut kami sebutkan berdasarkan penjelasan dari ulama Syafiiyah.
1- Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ketika turun ruku, ketika
bangkit dari ruku, juga ketika bangkit dari tasyahud awal.
2- Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri ketika berdiri dalam
shalat.
3- Melihat ke tempat sujud.
4- Membaca doa istiftah setelah takbiratul ihram.
5- Membaca taawudz setelah doa istiftah.
6- Menjahrkan (mengeraskan bacaan) pada shalat jahriyyah (Magrib, Shubuh, Isya)
dan mensirrkan bacaan (memelankan) pada shalat sirriyyah (Zhuhur dan Ashar).
7- Mengucapkan aamiin di akhir membaca Al Fatihah.
8- Membaca salah satu surat dalam Al Quran setelah Al Fatihah.
9- Takbir intiqol, yaitu setiap kali berpindah gerakan diperintahkan mengucapkan
takbir Allahu Akbar selain ketika bangkit dari ruku yaitu yang dibaca adalah
samiallahu liman hamidah rabbanaa lakal hamdu.
10- Bertasbih ketika ruku dan sujud. Saat ruku membaca subhana robbiyal
azhim (3 kali), sedangkan ketika sujud membaca subhana robbiyal alaa (3 kali).
11- Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk saat tasyahud awal dan tasyahud
akhir. Tangan kiri dibentangkan, sedangkan tangan kanan dalam keadaan seluruh jari
digenggam kecuali jari telunjuk memberikan isyarat.
12- Duduk dengan cara duduk tawarruk pada duduk tasyahud akhir dan duduk
selainnya dengan duduk iftirosy.

13- Membaca shalawat Ibrahimiyyah, lalu berdoa ketika tasyahud akhir.


14- Salam kedua, sedangkan salam pertama masuk rukun shalat.
15- Khusyu dalam seluruh gerakan shalat. Yang dimaksud khusyu adalah hati
merenung apa yang diucapkan oleh lisan, baik bacaan surat, dzikir atau doa yang
dibaca. Semuanya direnungkan dengan memahami artinya dan ketika itu merasa
sedang bermunajat dengan Allah Taala.
Harus ada khusyu dalam bagian shalat. Jika tidak ada khusyu sama sekali sejak
awal hingga akhir, maka shalatnya batal.
Penjelasan masing-masing point di atas telah diterangkan dahulu saat penjelasan
sifat shalat nabi dan gerakan-gerakannya.
Semoga bermanfaat.

Bagian 33
Sunnah Sesudah Shalat

Ada lagi perkara sunnah yang dilakukan sesudah shalat yang bisa diamalkan.
1- Membaca istighfar dan dzikir lainnya sesudah shalat.
Baca artikel: Dzikir Setelah Shalat.
2- Berpindah tempat ketika melaksanakan shalat sunnah atau melaksanakan shalat
sunnah di rumah. Di antara tujuannya adalah untuk memperbanyak tempat yang
jadi saksi yang mendukung pada hari kiamat kelak.
Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Shalatlah kalian wahai manusia di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat kalian
adalah shalat di rumahnya kecuali shalat wajib. (HR. Bukhari no. 731).
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika salah seorang di antara kalian menunaikan shalat di masjid, jadikanlah


shalatnya (shalat sunnah) pula sebagiannya di rumah. Karena Allah akan
menjadikan shalat tersebut kebaikan bagi rumah tersebut. (HR. Muslim no. 778)
Disunnahkan berpindah tempat tersebut berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid
bahwa Muawiyyah radhiyallahu anhu pernah berkata kepadanya, Apabila engkau
telah shalat Jumat, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau
berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullahshallallahu
alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,

Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita
berbicara atau pindah dari tempat shalat. (HR. Muslim no. 883).

Baca artikel: Memisah Shalat Rawatib dan Shalat Wajib, juga Isilah Rumah Kita
dengan Shalat Sunnah.
3- Jika shalat dilakukan di masjid dan di belakang terdapat jamaah wanita,
disunnahkan jamaah pria untuk tetap diam di tempatnya sampai jamaah wanita
keluar lebih dahulu. Karena ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dapat
menimbulkan kerusakan.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu anha, ia berkata,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika salam dari shalat, para jamaah wanita
kala itu berdiri. Beliau tetap duduk di tempat beliau barang sebentar sebelum
beranjak. Kami melihat wallahu alam- hal itu dilakukan supaya wanita bubar lebih
dahulu sebelum berpapasan dengan para pria. (HR. Bukhari no. 870)
Semoga bermanfaat.

Bagian 34
Aturan Berisyarat dengan Jari ketika Tasyahud

Ada beberapa aturan berisyarat dengan jari ketika tasyahud (tahiyat) yang diajarkan
oleh Imam Nawawirahimahullah berarti aturan ini berdasarkan madzhab Syafii
dengan dukungan dalil. Penjelasannya sebagai berikut.
1- Isyarat jari tersebut diarahkan ke arah kiblat. Hal ini berdasarkan hadits riwayat
Al-Baihaqi dari Ibnu Umarradhiyallahu anhuma.
2- Diniatkan dengan isyarat tersebut untuk menunjukkan ikhlas dan tauhid. Hal ini
disebutkan oleh Al-Muzani dalam Mukhtashar Al-Muzani, juga pendapat ulama
Syafiiyah lainnya. Al-Baihaqi beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang majhul dari kalangan sahabat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallamberisyarat dengan jari untuk menunjukkan tauhid (ikhlas). Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu anhuma, ia menyatakan bahwa hal itu untuk menunjukkan
keikhlasan.
3- Dimakruhkan beisyarat dengan dua jari telunjuk dari dua tangan. Karena yang
disunnahkan tangan kiri dibentangkan (tidak berisyarat).
4- Seandainya tangan kanan terpotong, sunnah berisyarat dengan jari menjadi
gugur. Sunnah tersebut tidak bisa tergantikan dengan tangan lain karena nantinya
hal sunnah pada lainnya akan ditinggalkan. Sama halnya dengan thawaf, tiga
putaran pertama disunnahkan untuk melakukan raml (berjalan dengan langkah
cepat, pen.). Jika putaran ketiga tidak bisa melakukan raml, maka tidak perlu hal tadi
dilakukan di putaran keempat karena sunnah meninggalkan raml di putaran keempat
jadi tidak dilakukan.
5- Pandangan orang yang bertasyahud adalah memandang pada isyarat jarinya. Hal
ini berdasarkan riwayat Al-Baihaqi dan selainnya dari hadits Abdullah bin Az-Zubair

bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangan kanan dan berisyarat
dengan jarinya, lantas pandangannya pada isyarat jari tersebut. Diriwayatkan oleh
Abu Daud dengan sanad yang shahih. Wallahu alam.
Demikian keterangan Imam Nawawi dalam Al-Majmu, 3: 302. Semoga
bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq.

Bagian 35
Menempelkan Hidung saat Sujud, Wajibkah?

Apakah wajib menempelkan hidung bersama dahi saat sujud?


Apa yang mesti ditempelkan ketika sujud dijelaskan dalam hadits dari Ibnu
Abbas radhiyallahu anhuma, Nabishallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi
(termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak
tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri.
(HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa termasuk tuntunan melakukan
sujud adalah dengan menempelkan hidung bersama dengan dahi (jidat). AlBandanijiy dan lainnya mengatakan bahwa disunnahkan meletakkan dahi dan hidung
berbarengan, tidak mendahulukan yang satu dari lainnya. Jika hidung saja yang
menempel sedangkan bagian dahi tidak ada yang menempel, maka tidaklah cukup
(tidak sah). Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama Syafiiyah. Namun jika
dahi saja yang menempel, dianggap cukup. Imam Syafii dalam AlUmm mengatakan, Aku tidak menyukai hal itu, namun menganggap cukup. Inilah
pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafii dan menjadi pendapat jumhur
(mayoritas ulama).
Sedangkan penulis Al-Bayan, dari Syaikh Abu Zaid Al-Maruzi menyatakan ada satu
pendapat dari Imam Syafii yang menyebutkan bahwa wajib sujud dengan dahi dan
hidung berbarengan. Ini pendapat yang asing di kalangan madzhab Syafii, namun
terasa kuat dari sisi dalil. (Al-Majmu, 3: 277)
Imam Nawawi juga menyatakan bahwa ulama Syafiiyah berdalil akan wajibnya
menempelkan dahi pada tanah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan Abu
Humaid serta hadits yang lainnya, juga dari hadits Khabab yang dimaksudkan dalam
kitab ini. Karena maksud sujud adalah tadzallul dan khudu, yaitu tunduk dan
menghinakan diri. Tentu hidung tidak bisa menggantikan dahi untuk mencapai
tujuan tersebut. Tidak ada juga hadits tegas dilihat dari perbuatan dan perkataan
(Nabi shallallahu alaihi wa sallam) yang mencukupkan hidung saja tanpa dahi.
Ulama Syafiiyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. Mereka
berdalil dengan tidak disebutkannya hidung, yang ada adalah penyebutan dahi
secara mutlak. Namun argumen seperti ini lemah. Karena riwayat yang
menyebutkan hidung adalah ziyadah tsiqah atau tambahan dari perawi yang shahih.
Adapun ulama Syafiiyah menanggapi hal itu dengan menyatakan bahwa hadits yang

menambahkan hidung dibawakan ke makna sunnah (bukan wajib). (Al-Majmu, 3:


277-278)
Amannya memang menempelkan dahi bersama dengan hidung. Sudah disinggung
oleh Imam Nawawi bahwa pendapat tersebut lebih kuat dari sisi dalil. Adapun
dikatakan penyebutan hidung adalah tambahan, tetap bisa diterima karena
termasuk dalam ziyadah tsiqah, yaitu tambahan dari perawi yang kredibel.
Semoga bermanfaat bagi yang membaca, hanya Allah yang memberi taufik.

Bagian 36
Apakah Makmum ikut Mengucapkan Samiallahu Liman Hamidah?

Apakah makmum ikut mengucapkan samiallahu liman hamidah ketika bangkit dari
ruku dalam shalat? Ataukah cukup makmum mengucapkan rabbana lakal hamdu?
Hadits yang membicarakan masalah ini adalah dari Abu Hurairah dan Anas bin Malik,
disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika imam bangkit dari ruku, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan samiallahu
liman hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) ,
ucapkanlah robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala
puji). (HR. Bukhari no. 689, 734 dan Muslim no. 411)
Berikut adalah perkataan Imam Nawawi dalam masalah ini.
Menurut madzhab Syafii, ketika bangkit dari ruku hendaklah mengucapkan
samiallahu liman hamidah. Jika berdirinya sudah lurus sempurna, hendaklah
mengucapkan rabbana lakal hamdu hingga selesai. [Kedua bacaan tadi berlaku bagi
imam, makmum dan munfarid, orang yang shalat sendirian].
Menurut Atha, Abu Burdah, Muhammad bin Sirin, Ishaq dan Daud,
bacaan samiallahu liman hamidah dan rabbana lakal hamdu berlaku untuk imam,
makmum dan munfarid (orang yang shalat sendirian).
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan samiallahu liman hamidah berlaku
untuk imam dan orang yang shalat sendirian, sedangkan bagi makmum cukup
membaca rabbana lakal hamdu. Demikian pula pendapat Ibnul Mundzir dari Ibnu
Masud dan Abu Hurairah, Asy-Syabi, Malik dan Ahmad. Imam Ahmad menyatakan
bahwa demikian aku berpendapat.
Ats-Tsauri, Al-Auzai, Abu Yusuf, Muhammad dan Ahmad menyatakan, Imam
menggabungkan bacaansamiallahu liman hamidah dan rabbana lakal hamdu.
Sedangkan makmum cuma mencukupkan dengan rabbana lakal hamdu.
Disebutkan oleh Imam Nawawi, ulama Syafiiyah memaknakan hadits di atas,
ucapkanlah rabbana lakal hamdu di mana kalian sudah tahu bahwa tetap
mengucapkan samiallahu liman hamidah. Yang disebut dalam hadits hanyalah
rabbana lakal hamdu (bagi makmum) karena bacaan samiallahu liman hamidah
dijaherkan (dikeraskan) sehingga makmum mendengar. Sedangkan bacaan
rabbanaa lakal hamdu tidak dikeraskan atau dibaca sirr (lirih). Mereka pun sudah
tahu akan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, shalatlah sebagaimana kalian

melihatku shalat. Kaedah asalnya, perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallamboleh


diikuti.
Intinya, para makmum diperintah tetap mengucapkan samiallahu liman hamidah,
tak perlu ada perintah khusus akan hal itu (karena sudah maklum atau dipahami).
Sedangkan bacaan rabbana lakal hamdu (karena dilirihkan, pen.), diperintahkan oleh
Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk membacanya. Wallahu alam. (Lihat AlMajmu, 3: 273)
Kesimpulannya, bacaaan samiallahu liman hamidah dibaca oleh imam, makmum
dan orang yang shalat sendirian.
Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga bermanfaat.
Baca tulisan Rumaysho.Com, tentang bangkit dari ruku.

Anda mungkin juga menyukai