Anda di halaman 1dari 16

Penafsiran Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Siti Sakina

(Institut PTIQ Jakarta)


ABSTRAK

Tulisan ini membahas tentang biografi Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Metode
dan corak penafsirannya, Sumber-sumber rujukan dan penafsiran Al-‘Utsaimin, serta
penafsiran Al-‘Utsaimin mengenai masalah bid’ah dan ta’wil. Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin merupakan salah satu ulama tafsir kontemporer yang bermanhaj salaf dalam
penafsirannya. Penafsiran Al-‘Utsaimin menarik untuk dibahas karena beliau menaruh
perhatian pada prakik-praktik bid’ah dan ta’wil yang menurutnya adalah hal yang
menyimpang dari syari’at Islam. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan
makalah ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) dan Penulisan makalah
ini menggunakan pendekatan deskriptif yaitu dengan menjadikan literature kitab-kitab ulama
hadis dan jurnal penelitian ilmiah mengenai ilmu matan hadis sebagai sumber utama.

Kata Kunci: bid’ah. tafsir, ta’wil, Al-‘Utsaimin

1. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama Islam sebagai kitab suci dan petunjuk

yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw bagi seluruh umat muslim.

Peran Al-Qur’an tidak hanya sebagai kitab ajaran umat Islam melainkan juga sebagai

sumber ilmu pengetahuan keislaman maupun ilmu pengetahuan secara umum. Al-

Qur’an memiliki khazanah keilmuan yang luas dan tak pernah kering untuk dikaji dan

untuk menjawab permasalahan kehidupan. Dalam menyingkap pesan-pesan yang

terkandung dalam ayat Al-Qur’an, dilakukan penafsiran Al-Qur’an dengan merujuk

pada berbagai macam cabang ilmu seperti ‘Ulumul Qur’an, bahasa Arab, Nahwu Sharaf,

Fiqih, dan cabang keilmuan lainnya dengan tujuan untuk menjelaskan makna yang

terkandung dalam ayat Al-Qur’an. Untuk menafsirkan Al-Qur’an tidaklah mudah,

karena dibutuhkan ilmu-ilmu yang harus dikuasai. Menafsirkan Al-Qur’an berbeda

dengan menerjemahkan Al-Qur’an. Menafsirkan tidak hanya harus memiliki

kemampuan bahasa arab yang tinggi, namun diperlukan ilmu lainnya karena ketika

menafsirkan tidak hanya berpatokan terhadap arti kata, melainkan terhadap makna

suatu kata. Pemaknaan suatu kata setiap penafsir tidak lah sama persis, pasti terjadi

perbedaan dalam menafsirkan Al-Qur’an, walaupun begitu dalam menafsirkan Al-

Qur’an tidaklah dapat dilakukan secara sembarangan, tidak berdasar, dan hanya
berdasarkan pada pemikiran nalar seseorang, atau menafsirkan sesuatu berdasarkan

kepentingan atau kecondongan seseorang.

Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, penafsiran juga

berkembang dari penafsiran sejak era Rasulullah SAW hingga penafsiran pada di era

modern seperti sekarang. Masing-masing ulama tafsir memilki kekhasan dan cara

penafsiran yang berbeda-beda tegantung dari keilmuan yang dimilikinya. Salah satu

ulama tafsir kontemporer yang memiliki kekhasannya tersendiri adalah Syaikh

Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin. Syaikh Al-‘Utsaimin merupakan ulama tafsir yang

mendalami banyak keilmuan dan menguasai Al-Qur’an dan As-Sunnah, selain itu beliau

juga mengusai kaidah pengambilan hukum, kaidah-kaidah sastra dan bahasa Arab.

Beliau merupakan mufassir kontemporer yang hidup pada masa kebangkitan Islam yaitu

Abad ke-14 Hijriyah yang mengikuti manhaj Salaf. Sosok Syaikh Al-‘Utsaimin sangat

menarik untuk dibahas karena Syaikh Al-‘Utsaimin merupakan ulama tafsir yang sangat

teguh pada pendiriannya dan pendapatnya dalam menafsirkan Al-Qur’an secara tekstual

walaupun beliau hidup pada Abad ke-20.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode

penelitian kepustakaan (library research) dengan melakukan pengumpulan data basil bacaan

dan telaah buku dan jurnal yang berkaitan dengan tema penulisan. Penelitian jenis

kepustakaan banyak menyangkut hal-hal yang bersifat teoritis, konseptual, gagasan, dan ide

yang termuat dalam naskah buku, jurnal, foto, dan sebagainya. Penulisan makalah ini

menggunakan pendekatan deskriptif yaitu dengan menjadikan literatur karya Syaikh Al-

Utsaimin serta jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan dengan tema makalah.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Biografi Al-‘Utsaimin

Syekh Al-‘Utsaimin bernama lengkap Muhamad bin Shalih bin Muhammad bin

Sulaiman bin ‘Abdirrahman Al-‘Utsaimin. Beliau berasal dari al-Wahbah dari Bani Tamim

(At-tamimi). Beliau lahir pada 29 Maret 1929 yang bertepatan pada 27 Ramadahan 1347 H di

‘Unayzah, salah satu kota di provinsi al-Qashim Kerajaan Saudi Arabia. Ia berasal dari

keluarga ilmuwan, sang Kakek (dari ibunya) merupakan seorang guru yaitu ‘Abdurrahman
bin Sulaiman ad-Damigh yang juga merupakan guru dari Al-‘Utsaimin dalam belajar dan

menghafal Al-Qur’an. Ia kemudian mempelajari ilmu khath (menulis), ilmu hisab (hitung),

dan kesusastraan di madrasah al-Ustadz ‘Abdul ‘Aziz bin Shalih ad-Damigh.1

Disebutkan bahwa guru pertama Syekh Al-‘Utsaimin adalah Asy-Syaikh al-‘Allamah

‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Hal ini bukan karena Syaikh as-Sa’di merupakan guru

pertama kali ia menimba ilmu, namun Al-‘Utsaimin paling banyak mengambil ilmu

pengetahuan dan metode dari Syaikh as-Sa’di lebih banyak dibandingkan dari syaikh

lainnya. Syaikh as-Sa’di juga yang paling mempengaruhi manhaj dan konsep pengajaran

yang diambil oleh Al-‘Utsaimin. Beliau juga mengemban ilmu dari para ulama di Ma’had

Al-‘Ilmi yaitu pada 1372 H hingga 1373 H, di antara ulama-ulama tersebut adalah

al-‘Allamah al-Mufassir asy--Syaikh Muhammad bin al-Amin asy-Syinqithi, asy-Syaikh al-

Faqih ‘Abdul ‘Aziz bin Nashir bin Rasyid dan asy-Syaikh al-Muhaddits ‘Abdurrazzaq al-

Ifriqi.2

Sembari mengemban ilmu di Ma’had Al-‘Ilmi, Al-‘Utsaimin membangun relasi

dengan asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz. Beliau merupakan

guru kedua Al-‘Utsaimin dalam mendalami keilmuan karena memberikan pengaruh yang

cukup besar bagi Al-‘Utsaimin. Beliau mengkaji kitab-kitab seperti kitab Shahih Bukhari

dan makalah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau juga menyadur pengetahuan

dalam bidang ilmu hadits dan mengkaji serta membandingkan pendapat-pendapat para

fuqaha dari masing-masing madzhab. Pada tahun 1374 H Syaikh Al-‘Utsaimin kembali ke

kampung halamannya, ‘Unayzah lalu belajar sekali lagi kepada As-Syaikh as-Sa’di dan

melanjutkan studinya di fakultas Syari’ah Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud

hingga meraih gelar sarjana.3 Setelah itu beliau mengajar hingga ia wafat di Ma’had Al-‘Ilmi

dan di Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin di al-Qashim cabang Universitas al-Imam

Muhammad bin Su’ud. Syaikh al-‘Utsaimin memiliki metode pengajaran yang unik yaitu

dengan berdiskusi dengan murid-muridnya. Beliau menyampaikan ceramah dengan

semangat yang tinggi dan diiringi dengan ketenangan jiwa, penuh percaya diri, dan ceria

dalam menyebarkan dan mendekatkan ilmu kepada manusia.

1
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Politik Islam, diterjemahkan oleh Ajmal Arif dari judul Ta’liq
Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyah, Jakarta: Griya Ilmu, 2019, cet. 5, hal. 1.
2
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Politik Islam,…, hal. 2.
3
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Politik Islam,…, hal. 3.
Syaikh Al-‘Utsaimin dipandang sebagai seorang mulia yang ilmunya mendalam

dengan keaslian sumber dan penguasan luas dalam memahami dan mengikuti dalil serta

menyimpulkan hukum dan pengetahuan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau mengkaji

kaidah-kaidah bahasa Arab, secara harfiah (leksikal), morfologis (‘Irab) maupun semantis

(Balaghah). Karena kemuliaan akhlaknya yangterpuji dan menggabungkan antara ilmu dan

amal, beliau sangat dicintai oleh Masyarakat Arab Saudi. Mereka menerima keputusan-

keputusan beliau dalam masalah-masalah fiqih serta mengambil pengetahuan dari nasihat-

nasihat dan wejangan beliau. Sehingga, beliau menerima penghargaan internasional

“Hadiah Raja Faishal” pada tahun 1414 H atas pengabdian dan jasanya bagi umat Islam.

Adapun pertimbangan bagi panitia seleksi dalam memberi penghargaan kepada

Al-‘Utsaimin yaitu4

Pertama, akhlak beliau yang mulia, di antara yang paling menonjol adalah sifat wara’

(ketakwaan), lapang dada, menyampaikan yang haqq, bekerja untuk kepentingan kaum

muslimin dan memberi nasihat kepada kalangan tertentu dan juga kepada masyarakat

umum.

Kedua, manfaat dari karya tulis, pengajaran, dan fatwa-fatwa yang ia kemukakan

Ketiga, penyampaian ceramah-ceramah umum yang bermanfaat di berbagai daerah

di wilayah kerajaan

Keempat, produktif dan berpartisipasi aktif dalam konferensi-konferensi Islam.

Kelima, penggunaan gaya khasnya dalam berdakwah ilallah dengan hikmah dan

nasihat yang baik, serta memberi contoh hidup manhaj salafus Shalih, pemikiran maupun

tingkah laku.

Syaikh Al-‘Utsaimin menghasilkan beberapa kitab tafsir yang diterbitkan resmi oleh

Yayasan beliau yaitu Yayasan Al-Khairiyah. Sebanyak 98 kitab dan risalah ringkas yang

bersumber dari tulisan beliau atau hasil transkrip dari pelajaran telah dicetaka oleh Yayasan

Al-Khairiyah. Yayasan Al-Khairiyah tersebut masih aktif dalam menggali warisan ilmu

Syaikh Al-‘Utsaimin yang masih berebntuk kaset, rekaman, manuskrip yang belum sempat

dicetak. Kitab Tafsir karya Syaikh Al-‘Utsaimin hanya membahas beberapa surah Al-Qur’an

saja yang sesuai dengan bidang keilmuan beliau yang dicetak dalam beberapa jilid. Surah-

surah yang beliau tafsirkan yaitu, Surah Al-Fatihah dan Al-Baqarah, Surah ‘Ali-Imran,

4
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Politik Islam,…, hal. 7.
Surah An-Nisa’, Surah Al-Ma’idah, Surah Al-Kahfi, Surah Yasin, Surah Ash-Shaffat, Surah

Shaad, Surah Al-Hujurat sampai Al-Hadid, serta Juz ‘Amma.5

3.2. Corak Penafsiran dan Metode Penafsiran Al-‘Utsaimin

3.2.1 Metode Penafsiran Al-‘Utsaimin

Syaikh Al-‘Utsaimin menggunakan metode yang mudah dipahami oleh pembaca

secara umum maupun oleh murid-muridnya. Beliau menggunakan kata yang jelas dan

tidak bertele-tele dan selalu diiringi dengam nasihat-nasihat dari ayat Al-Qur’an. Beliau

tidak banyak membahas cabang-cabang tafsir dalam penafsirannya yang sering dibahas

dalam kitab tafsir ulama-ulama lain seperti masalah balaghah dan I’rab, beliau juga tidak

banyak membahas masalah Israilliyat dan biasanya menggunakan perkataan ‘boleh jadi

hal ini masuk ke dalam Israilliyat’ saat menyebutkan masalah Israilliyat.

Berikut adalah metode dari penafsiran Syaikh Al-‘Utsaimin:

1. Beliau merupakan ahli fiqih sekaligus mujtahid sehingga tidak ada suatu

masalah hukum yang tidak beliau perinci penjelasannya

2. Menyebutkan masalah-masalah fiqih kontemporer yang berkenaan dengan ayat

dan menjelaskan hukumnya dan banyak mengaitkan ayat dengan masalah-

masalah kontemporer

3. Memperhatikan sisi tarbiyah yang diisyaratkan dalam ayat

Keistimewaan dari tafsir al-‘Utsaimin adalah beliau banyak menggabungkan antara

penjelasan makna dengan nasihat yang jarang ditemukan pada kitab-kitab tafsir lainnya.

Terkadang nasihat-nasihat ditujukan untuk manusia secara umum atau untuk penuntut

ilmu secara khusus.

Syaikh Al-‘Utsaimin banyak merujuk pada Ibnu Taimiyyah , Ibn Al-Qayyim, Tafsir

Ibn Jarir (Jami’ul Bayân ‘an Ta’wil Âyy Al-Qur’ân) dan Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir Al-Qur’ân

al’Âdzim) sebagai sumber kutipan dalam penafsiran. Syaikh Al-‘Utsaimin menggabungkan

antara Tafsir bil ma’tsur dan Tafsir bil ra’yi, walaupun beliau lebih cenderung kepada Tafsir

bil ma’tsur. Tafsir Syaikh Al-‘Utsaimin merupakan tafsir yang bercorak fiqih dengan beliau

berpegang pada mazhab Hanbali.

5
Hanisah, “Penafisran Syekh Al-‘Utsaimin Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah dalam Al-Qur’an”, dalam At-
Tibyan: Journal of Qur’an dan Hadis Studies, Vol. 3 No. 1 Tahun 2020, hal. 73.
3.3. Sumber rujukan dalam Penafsiran Al-‘Utsaimin

Dalam karyanya Ushul fit Tafsir6, Menurut Al-Utsaimin terdapat empat sumber

rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:

1. Al-Qur’an

Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an menurutnya adalah dengan menafsirkan

ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang berbeda. Sumber rujukan ini adalah yang

paling utama karena Al-Qur’an diturunakan Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada

Nabi Muhammad SAW dan hanya Allah SWT yang paling mengetahui maksud dari

ayat-ayat Al-Qur’an.

Contohnya:

Pada Q.S Ath-Thariq:2 – 3

‫ار ۙ ُق‬ َّ َ ‫َو َمٓا اَ ْد ٰر‬


ِ ‫ىك َما الط‬

Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?

Kata ath-thariq ditafsirkan dengan firman Allah SWT pada ayat setelahnya:

ُ‫الثاق ِۙب‬
َّ ‫ال َّنجْ ُم‬
(yaitu) bintang yang bersinar tajam,

2. Sunnah Rasul

Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah, karena Rasullah Saw adalah mubaligh

(penyampai risalah) dari Allah SWT, maka beliau adalah manusia yang paling

mengetahui maksud-maksud yang terkandung dalam firman Allah SWT.

Contohnya:

۞ ٌ‫لِلَّ ِذي َْن اَحْ َس ُنوا ْالحُسْ ٰنى َو ِز َيا َدة‬


Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya

Nabi Muhammad Saw menafsirkan kata ٌ‫( ِز َيا َدة‬tambahan) dengan “Melihat wajah

Allah Ta’ala) sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi

Hatim secara jelas dari hadis Abu Musa dan Ubay bin Ka’ab, dan juga diriwayatkan

6
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dasar Ilmu Tafsir, dierjemahkan oleh Nor Kandir dari judul Al-
Ushûl fit Tafsîr, Surabaya: Pustaka Syabab, 2018, hal. 61 – 69.
oleh Ibnu Jarir dari hadis Ka’ab bin Ujrah dalam Shahih Muslim dari Shuhaib bin Sinan

dari Nabi berkata:

‫يهم م َِن ال َّن َظ ِر ِإلَى َرب ِِّهم َع َّز َو َج َّل‬ ٌ ْ‫ َف َما ٌأع‬,‫اب‬
ِ َ‫طوا شيئا ً َأ َحبَّ ِإل‬ 3ٌ ِ‫َفك َي ْكش‬
َ ‫ف الح َِج‬
“maka disingkapkanlah hijab, maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih

mereka cintai daripada melihat Rabb mereka ‘Azza wa Jalla,” kemudian beliau

membaca ayat ini

۞ ٌ‫لِلَّ ِذي َْن اَحْ َس ُنوا ْالحُسْ ٰنى َو ِز َيا َدة‬


Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya

(Q.S Yunus/11: 26)

3. Ucapan Sahabat Rasulullah

Menafsirkan Al-Qur’an bersumber dari perkataan para sahabat Nabi Muhammad

Saw, terutama sahabat-sahabat yang menguasai ilmu tafsir. Hal ini karena Al-Qur’an

diturunkan dengan bahasa bahasa mereka (bahasa Arab) pada zaman mereka hidup.

Sahabat Nabi ialah generasi setelah Nabi wafat yang paling jujur dalam mencari

kebenaran, paling selamat dari hawa nafsu, dan paling bersih dari penyimpangan yang

dapat menghalangi sesorang untuk mendapatkan taufiq dari Allah SWT.

Contohnya adalah penafsiran Sahabat Ibnu Abbas r.a mengenai ayat berikut:

‫ضى اَ ْو َع ٰلى َس َف ٍر اَ ْو َج ۤا َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم م َِّن ْال َغ ۤا ِٕىطِ اَ ْو ٰل َمسْ ُت ُم ال ِّن َس ۤا َء‬


ٓ ٰ ْ‫َواِنْ ُك ْن ُت ْم مَّر‬
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau embali dari tempat buang air (kakus) atau

menyentuh perempuan (Q.S Al-Maidah/ 5: 6)

Dalam riwayat yang shahih dari Ibnu ‘Abbas r.a beliau menafsirkan mulamasah

(menyentuh wanita) dengan jima’ (bersetubuh).

4. Tabi Tabi’in

Menafsirkan Al-Qur’an dengan ucapan Tab’in yang konsisten dalam penafsiran

mereka atas ayat-ayat Al-Qur’an dan yang selalu merujuk kepada para sahabat Nabi

karena para Tabi Tabi’in adalah sebaik-baik manusia setelah para sahabat karena

generasi yang paling selamat dari hawa nafsu daripada generasi sesudahnya, juga
bahasa Arab pada zaman Tabi Tabi’in belum banyak mengalami perubahan, maka

mereka adalah orang-orang yang lebih dekat dengan kebenaran dalam memahami Al-

Qur’an daripada generasi sesudahnya.

Syaikh Al-‘Utsaimin mengutip Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawaa,

“Apabila mereka (Para Tabi’in) bersepakat atas sesuatu, maka tidak diragukan akan

keberadaannya sebagai hujjah namun jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian

mereka tidak menjadi hujjah atas sebagian yang lain dan tidak pula menjadi hujjah atas

orang-orang setelah mereka. Hal tersebut kemudian dikembalikan kepada bahasa Al-

Qur’an atau As-Sunnah atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat tentang

itu. Beliau juga menyampaikan bahwa “siapa yang menyimpang dari mazhab dan tafsir

para sahabat dan para tabi’in, maka ia tela melakukan kesalahan. Bahkan, ia bisa

menjadi (ahli bid’ah). Jika dia adalah orang yang berijtihad makan diampuni

kesalahannya.” Kemudian beliau berkata “Maka barangsiapa yang menyelisihi

pendapat mereka dan menafsirkan Al-Qur’an berbeda dari tafsir mereka, maka dia

telah berbuat kesalahan dalam hal dalil dan madlul (makna),”

5. Pemaknaan kalimat dari tinjauan syar’i atau lughawi sesuai dengan kesesuaian

makna dalam kalimat

Syaikh Al-‘Utsaimin merujuk pada Q.S Az-Zukhruf/ 43: 3

‫ِا َّنا َج َع ْل ٰن ُه قُرْ ٰا ًنا َع َر ِب ًّيا لَّ َعلَّ ُك ْم َتعْ قِلُ ْو ۚ َن‬

Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti.

Dan juga merujuk pada firman Allah SWT pada Q.S Ibrahim/14: 4

3ْ ‫ان َق ْومِهٖ لِ ُي َبي َِّن لَ ُه ْم ۗ َفيُضِ ُّل هّٰللا ُ َمنْ َّي َش ۤا ُء َو َي ْهد‬
‫ِي َمنْ َّي َش ۤا ُء َۗوه َُو ْال َع ِز ْي ُز‬ ِ ‫َو َمٓا اَرْ َس ْل َنا مِنْ رَّ س ُْو ٍل ِااَّل ِبل َِس‬
‫ْال َح ِك ْي ُم‬

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia

dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia

kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Mahaperkasa,

Mahabijaksana.
Namun, beliau menyampaikan bahwa jika makna syar’i dan makna lughawi

berbeda, maka makna yang diambil adalah makna syar’I, karena menurut beliau Al-

Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syari’at bukan untuk menjelaskan bahasa,

kecuali jika terdapat dalil yang lebih menguatkan makna lughawi maka makna lughawi

tersebut yang diambil. Berikut merupakan contoh ayat Al-Qur’an yang memiliki

perbedaan antara makna syar’i dan lughawi yang kemudian makna syar’inya yang

didahulukan tentang orang munafik:

Q.S At-Taubah/ 9: 84

‫ َو ُه ْم ٰفسِ قُ ْو َن‬3‫َّات اَ َب ًدا َّواَل َتقُ ْم َع ٰلى َقب ِْر ٖۗه ِا َّن ُه ْم َك َفر ُْوا ِباهّٰلل ِ َو َرس ُْولِهٖ َو َما ُت ْوا‬
َ ‫ص ِّل َع ٰ ٓلى اَ َح ٍد ِّم ْن ُه ْم م‬
َ ‫َواَل ُت‬

Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di

antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri

(mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan

mereka mati dalam keadaan fasik.

Makna ‘sholat’ secara bahasa adalah doa dan secara syar’i makna dari sholat adalah

berdiri di hadapan jenazah untuk mendoakannya dengan syarat dan rukun yang telah

ditentukan (Sholat Jenazah). Maka, dalam hal ini yang didahulukan adalah makna

syar’i nya. Adapun larangan mendoakan mereka secara mutlaq berasal dari dalil yang

lainnya.

Berikut merupakan contoh ayat Al-Qur’an yang memiliki perbedaan antara makna

syar’i dan lughawi yang kemudian makna lughawinya yang didahulukan karena ada

dalil yang menguatkannya pada Q.S At-Taubah/ 9: 103 :

‫هّٰللا‬
َ ‫ص ٰلو َت‬
ُ ‫ك َس َكنٌ لَّ ُه ۗ ْم َو‬ َ ‫م ِب َها َو‬3ْ ‫ص َد َق ًة ُت َط ِّه ُر ُه ْم َو ُت َز ِّكي ِْه‬
َ َّ‫ص ِّل َعلَي ِْه ۗ ْم اِن‬ َ َ‫ُخ ْذ مِنْ ا‬
َ ‫مْوال ِِه ْم‬
‫َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬

Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan

berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi

mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.


Berbeda dari contoh sebelumnya, sholat dalam ayat ini bermakna ‘doa’. Hal ini

berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Abi ‘Aufa, ia

berkata, “Apabila Nabi Saw dikirimi sedekah dari suatu kaum, beliau mendoakan

mereka. Bapakku mendatangi beliau dengan membawa ssedekah, kemudian beliau

berdoa:

‫آل َأ ِبى َأ ْو َفي‬ َ ‫”"اللّ ُه َّم‬


ِ ‫ص ِّل َعلَى‬

“Ya Allah berikanlah Sholat (keselamatan) atas keluarga Abu ‘Aufa”

3.4. Penafsiran Al-‘Utsaimin

3.4.1. Penafsiran awal surah Al-Fatihah menurut Al-‘Utsaimin


Berikut merupakan gaya dari Penafsiran Syaikh Al-‘Utsaimin dalam karyanya Tafsir

Al-Qur’anul Karim. Sebagai contoh adalah sedikit mengenai penafsirannya terhadap Q.S Al-

Fatihah.

Penafsirannya di awali dengan penjelasan singkat mengenai Q.S Al-Fatihah,

mengenai makna dari nama surah itu sendiri dan secara ringkas menjelaskan mengapa Q.S

Al-Fatihah disebut sebagai ummul Qur’an. Hal itu menurutnya karena surah ini mencakup

keseluruhan makna Al-Qur’an dalam tauhid, hukum, pahala, dan lain sebagainya.

Kemudian beliau menjelaskan keistimewaan Q.S Al-Fatihah karena merupakan rukun

dalam sholat dan juga sebagai obat untuk jika dibacakan kepada orang yang sakit, maka

insyaAllah ia akan sembuh. Beliau menuliskan sumber-sumber kitab hadis yang beliau

jadikan rujukan.
Sumber: Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’anul Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah, hal. 3.

Berbeda dari kitab-kitab tafsir lainnya, di dalam Tafsir Al-Qur’anul Karim, terdapat

bagian mengenai ‘pertanyaan’ yang berhubungan dengan ayat yang dibahas. Seperti contoh

berikut, beliau membahas pertanyaan mengenai “Apakah ‘Basmallah’ termasuk ayat

pertama dari Al-Fatihah?” Kemudian beliau menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat di

antara para Ulama tafsir yang berpendapat bahwa Basmallah termasuk dari ayat dalam Q.S

Al-Fatihah dan dibaca secara keras dalam sholat dan merupakan syarat sah sholat. Beberapa

ulama tafsir lain berpendapat bahwa ‘basmallah’ bukan bagian dari Q.S Al-Fatihah dengan

mengacu pada dalil hadis Nabi Muhammad Saw. Beliau berada pada pendapat bahwa kata

‘basmallah’ bukanlah bagian dari Q.S Al-Fatihah dengan kembali pada perkataan Sahabat

Anas bin Malik. Beliau juga menjelaskan juga bagaimana Q.S Al-Fatihah menjadi 7 ayat dan

3 tanda Tuhan yang tiga pertama adalah Tuhan Yang Maha Esa, tiga ayat terakhir adalah

bentuk kehambaan, dan satu ayat ditengah adalah hubungan hamba dan Tuhannya. Q.S Al-

Fatihah dan di akhir ia memberikan keputusan hukumnya bahwa ‘Basmallah’ bukanlah

bagian dari Q.S Al-Fatihah melainkan seperti ‘basmallah’ di awal surah-surah lainnya.
Sumber: Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’anul Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah, hal. 7 - 8.

Selain hal di atas, Syaikh Al-‘Utsaimin memiliki keunikan dalam penafsirannya yaitu

beliau membahas mengenai faedah yang terkandung dalam beberapa ayat yang ia tafsirkan.

Sebagai contoh pada ayat ( ُ ‫) ِااَّي كَ ن َ ْع ُب دُ َو ِااَّي كَ ن َ ْس َت ِعنْي‬ beliau menyebutakan dua faedah

mengenai ayat ini dan penjelasan mengenai bagaimana tolong menolong (isti’anah) yang

boleh dilakukan atas sesame makhluk. Menurutnya tolong menolong yang boleh dilakukan

atas sesame makhluk diperbolehkan jika orang yang dimintai tolong mampu untuk

melakukannya, jika ia tidak mampu melakukannya, maka tidak boleh baginya untuk

dimintai bantuan. Seperti meminta bantuan kepada ahli kubur, maka hal ini dilarang dan

merupakan bentuk syirik. 7

3.4.2. Penafsiran Al-‘Utsaimin tentang Bid’ah

Al-‘Utsaimin merupakan ulama kontemporer yang memberikan perhatiannya

terhadap masalah bid’ah. Bid’ah sendiri memiliki pengertian yaitu sesuatu yang baru

dalam agama setelah agama itu dinyatakan sempurna dan setelah wafatnya Nabi. Bahkan

karena perhatiannya sangat besar terhadap praktik-praktik bid’ah, beliau menuliskan

7
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’anul Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah,
Riyadh: Darabin Al-Jawzi, t.th hal. 15.
perlakuan-perlakuan bid’ah yang dilakukan dalam penafsirannya yaitu pada penafsirannya

dalam Q.S Al-Fatihah, sebelum menjelaskan mengenai tentang basmallah, beliau membahas

mengenai praktik-praktik bid’ah yang dilakukan terhadap surah Al-Fatihah seperti

membaca surah Al-Fatihah di akhir do’a maupun di awal khutbah yang dianggap oleh

adalah suatu bid’ah.8 menjelaskan Dalam karyanya yang berjudul al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i

wa Khathar al-Ibtida’, ia memberikan penafsiran atas ayat-ayat yang menentang praktik-

praktik bid’ah.

Seperti pada Q.S Al-Maidah/5: 3

ُ ‫)ال َي ْو َم َأ ْك َم ْل‬
(‫ت لَ ُك ْم دِي َن ُك ْم‬
“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu..”dengan merujuk pada ayat di atas,

menurut Syaikh Al-‘Utsaimin berpendapat bahwa pelaku praktik-praktik bid’ah seakan-

akan menganggap bahwa ajaran Islam itu belum sempurna sebab amalan-amalan yang

digunakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT belum terdapat di dalamnya. 9

Dalam ayat ini kata ‘telah kusempurnakan untukmu agamamu’ berarti telah Allah jadikan

agama Islam itu lengkap namun bukan berarti lengkap syari’atnya , karena setelah ayat ini

turun muncul syari’at lainnya.

(‫ِد ْي ًن ۗا‬ ‫ْت لَ ُك ُم ااْل ِسْ اَل َم‬


3ُ ‫) َو َرضِ ي‬
“dan telah ku Ridhai Islam sebagai agamamu” Lafaz ini menurut Al-‘Utsaimin berarti Allah

SWT telah memberikan dan meridhai agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad

SAW sebagai agama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan janganlah kalian menyakini

agama selain Islam.10 Selain itu menurutnya agama Islam memenuhi dan menghendaki

segala ilmu aqidah dan ilmu syari’at.

Faidah dari ayat ini menurut al-‘Utsaimin adalah segala sesuatu yang yang

menyalahi syari’at maka sesuatu itu tidaklah diridhai Allah SWT.

Menurut Al-‘Utsaimin, pendapat para pelaku bid’ah yang mengakui bahwa diri

mereka sendiri mengagungkan Allah SWT dan Rasul-Nya telah berlaku lancang terhadap

Allah dan Rasul-Nya dengan menyandarkan ketidaksetujuannya ini pada Q.S Al-Hujurat/ :

1
8
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah,...,
hal. 4.
9
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar. Riyadh: Kantor
kerjasama Da’wah, Bimbingan, dan Penyuluhan bagi Pendatang, Al-sulay, hal. 13.
10
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Maidah, Riyadh: Darabin
Al-Jawzi, 1432 H, hal. 144.
‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا اَل ُت َق ِّدم ُْوا َبي َْن َيدَيِ هّٰللا ِ َو َرس ُْولِهٖ َوا َّتقُوا هّٰللا َ ۗاِنَّ هّٰللا َ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan

bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Q.S Al-Hujurat/

49: 1).

Al-‘Utsaimin yang sangat bertentangan dengan Bid’ah mempertanyakan apakah

pelaku praktik bid’ah tersebut merupakan orang-orang yang lebih berhak dalam

mengagungkan Allah SWT dan Rasul-Nya dibandingkan dengan orang-orang yang

menyatakan bahwa “Kami beriman kepada syariat Allah yang dibawa oleh Nabi

Muhammad, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap

perintah dan larangan, kami menolak apa yang tidak ada dalam syari’at, tak patut kami

berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya, atau mengatakan dalam agama Allah apa

yang tidak termasuk darinya.”? Menurutnya orang-orang ini lah yang lebih berhak untuk

disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul=Nya, yaitu

orang-orang yang mengimani dan mempercayai apa yang diberitahukan kepadanya, patuh

dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan, yang menolak apa yang tidak diperintahkan,

dan tak patut mengada-adakan dalam syari’at Allah atau melakukan bid’ah dalam agama

Allah.” Menurut Al-‘Utsaimin dibandingkan orang-orang yang melakukan praktik bid’ah

tersebut, merekalah yang sesungguhnya menunjukkan kebenaran cinta mereka kepada

Allah dan Rasul-Nya.

Bukanlah orang-orang yang mengerti akan sabda Rasulullah mengenai pelaku

bid’ah yang berbunyi

َ ‫ت اُألم ُْو ِر َفِإنَّ ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬


‫ضالَلَ ٌة‬ ِ ‫َوِإيَّا ُك ْم َومُحْ َد َثا‬
“Jauhilah perkara-perkara bagimu karena setiap perkara itu bid’ah dan setiap bid’ah

itu kesesatan”

3.4.3. Penafsiran Al-‘Utsaimin mengenai Ta’wil dalam Al-Qur’an

Syaikh Al-‘Utsaimin merupakan ulama kontemporer yang tafsirnya bersifat tektualis

dan cenderung melarang penggunaan Ta’wil. Menurutnya, ta’wil termasuk dari perbuatan

tahrif dan mengikuti tradisi orang-orang Yahudi. Namun, pada beberapa penafsirannya,
Syaikh Al-Utsaimin melakukan ta’wil, seperti pada penafsirannya terhadap Q.S An-Nur/ 24:

35

۞ ‫اج ُة َكا َ َّن َها‬


َ ‫لز َج‬ َ ‫ض َم َث ُل ُن ْو ِرهٖ َك ِم ْش ٰكو ٍة ِف ْي َها مِصْ َبا ۗ ٌح اَ ْلمِصْ َبا ُح فِيْ ُز َج‬
ُّ َ‫اج ۗ ٍة ا‬ ِ ‫هّٰللَا ُ ُن ْو ُر الس َّٰم ٰو‬
ۗ ِ ْ‫ت َوااْل َر‬
‫مْسسْ ُه َنا ۗ ٌر‬
َ ‫د مِنْ َش َج َر ٍة م ُّٰب َر َك ٍة َز ْي ُت ْو َن ٍة اَّل َشرْ قِ َّي ٍة َّواَل غَرْ ِب َّي ٍۙة َّي َكا ُد َز ْي ُت َها يُضِ ۤيْ ُء َولَ ْو لَ ْم َت‬3ُ ‫َك ْو َكبٌ ُدرِّ يٌّ ي ُّْو َق‬
‫اس َوهّٰللا ُ ِب ُك ِّل َشيْ ٍء َعلِ ْي ٌم‬
ِ ۗ ‫ب ُ ااْل َ ْم َثا َل لِل َّن‬
‫ هّٰللا‬3ُ ‫ۙ ُن ْو ٌر ع ٰلى ُن ْو ۗر ي ْهدِى هّٰللا لِ ُن ْورهٖ منْ َّي َش ۤا ۗ ُء ويضْ ر‬
ِ َ َ َ ِ ُ َ ٍ َ

Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang

yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung

kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang

diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya

(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-

lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah

membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(Q.S An-Nur/ 24: 35).

Syaikh Al-‘Utsaimin menafsirkan lafadz (ٍ‫ ) َم َث ُل ُن ْو ِرهٖ َك ِم ْش ٰكوة‬sebagai cahaya yang Allah

SWT hembuskan dalam hati orang mukmin. Dalam hal ini Syaikh Al-‘Utsaimin menafsirkan

ayat tersebut dengan ta’wil karena berdasarkan dari dalil bahwa ‘Allah SWT tidaklah sama

dengan makhluknya.’ Jika lafaz tersebut ditafsirkan tidak menggunakan ta’wil melainkan

secara dzahir, maka akan terjadi penyamaan Allah SWT dengan makhluknya. Cahaya Allah

SWT jika dipikirkan secara rasional seperti sebuah Misykat yang berarti lubang yang

tembus. tidak akan hanyak sebesar lubang yang kecil.11

4. Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas, Syaikh Al-Utsaimin merupakan seorang ulama tafsir

kontemporer yang memiliki penafsiran yang cenderung bercorak fiqih dan memberi

perhatian yang besar terhdapa perkara-perkara bid’ah. Ia melarang dilakukannya bid’ah

yang dianggap bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Walaupun tidak melakukan ta’wil pada

penafsirannya, ada kalanya Syaikh Al-Utsaimin melakukan ta’wil jika terdapat dalil

mengenai hal tersebut.


11
Cecep Fuad Audah, “Esoterisme dalam Tafsir Al-‘Utsaimin” Tesis, Jakarta: Pasca Sarjana Institut Ilmu Al-
Qur’an (IIQ) Jakarta, hal.12.
Daftar Pustaka

al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Maidah. Riyadh:
Darabin Al-Jawzi, 1432 H.

-------. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah. Riyadh: Darabin Al-Jawzi, t.th.

-------. al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar. Riyadh: Kantor kerjasama Da’wah, Bimbingan,
dan Penyuluhan bagi Pendatang, Al-sulay, t.th.

-------. Dasar Ilmu Tafsir, dierjemahkan oleh Nor Kandir dari judul Al-Ushûl fit Tafsîr.
Surabaya: Pustaka Syabab, 2018.

-------. Politik Islam. Diterjemahkan oleh Ajmal Arif dari judul Ta’liq Siyasah Syar’iyah Ibnu
Taimiyah, Jakarta: Griya Ilmu, 2019, cet. 5.

Audah, Cecep Fuad. “Esoterisme dalam Tafsir Al-‘Utsaimin”. Tesis, Jakarta: Pasca Sarjana
Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.

Hanisah. “Penafisran Syekh Al-‘Utsaimin Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah dalam Al-Qur’an.”


Dalam At-Tibyan: Journal of Qur’an dan Hadis Studies, Vol. 3 No. 1 Tahun 2020.

Anda mungkin juga menyukai