Siti Sakina
Tulisan ini membahas tentang biografi Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Metode
dan corak penafsirannya, Sumber-sumber rujukan dan penafsiran Al-‘Utsaimin, serta
penafsiran Al-‘Utsaimin mengenai masalah bid’ah dan ta’wil. Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin merupakan salah satu ulama tafsir kontemporer yang bermanhaj salaf dalam
penafsirannya. Penafsiran Al-‘Utsaimin menarik untuk dibahas karena beliau menaruh
perhatian pada prakik-praktik bid’ah dan ta’wil yang menurutnya adalah hal yang
menyimpang dari syari’at Islam. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan
makalah ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) dan Penulisan makalah
ini menggunakan pendekatan deskriptif yaitu dengan menjadikan literature kitab-kitab ulama
hadis dan jurnal penelitian ilmiah mengenai ilmu matan hadis sebagai sumber utama.
1. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama Islam sebagai kitab suci dan petunjuk
yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw bagi seluruh umat muslim.
Peran Al-Qur’an tidak hanya sebagai kitab ajaran umat Islam melainkan juga sebagai
sumber ilmu pengetahuan keislaman maupun ilmu pengetahuan secara umum. Al-
Qur’an memiliki khazanah keilmuan yang luas dan tak pernah kering untuk dikaji dan
pada berbagai macam cabang ilmu seperti ‘Ulumul Qur’an, bahasa Arab, Nahwu Sharaf,
Fiqih, dan cabang keilmuan lainnya dengan tujuan untuk menjelaskan makna yang
kemampuan bahasa arab yang tinggi, namun diperlukan ilmu lainnya karena ketika
menafsirkan tidak hanya berpatokan terhadap arti kata, melainkan terhadap makna
suatu kata. Pemaknaan suatu kata setiap penafsir tidak lah sama persis, pasti terjadi
Qur’an tidaklah dapat dilakukan secara sembarangan, tidak berdasar, dan hanya
berdasarkan pada pemikiran nalar seseorang, atau menafsirkan sesuatu berdasarkan
berkembang dari penafsiran sejak era Rasulullah SAW hingga penafsiran pada di era
modern seperti sekarang. Masing-masing ulama tafsir memilki kekhasan dan cara
penafsiran yang berbeda-beda tegantung dari keilmuan yang dimilikinya. Salah satu
mendalami banyak keilmuan dan menguasai Al-Qur’an dan As-Sunnah, selain itu beliau
juga mengusai kaidah pengambilan hukum, kaidah-kaidah sastra dan bahasa Arab.
Beliau merupakan mufassir kontemporer yang hidup pada masa kebangkitan Islam yaitu
Abad ke-14 Hijriyah yang mengikuti manhaj Salaf. Sosok Syaikh Al-‘Utsaimin sangat
menarik untuk dibahas karena Syaikh Al-‘Utsaimin merupakan ulama tafsir yang sangat
teguh pada pendiriannya dan pendapatnya dalam menafsirkan Al-Qur’an secara tekstual
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode
penelitian kepustakaan (library research) dengan melakukan pengumpulan data basil bacaan
dan telaah buku dan jurnal yang berkaitan dengan tema penulisan. Penelitian jenis
kepustakaan banyak menyangkut hal-hal yang bersifat teoritis, konseptual, gagasan, dan ide
yang termuat dalam naskah buku, jurnal, foto, dan sebagainya. Penulisan makalah ini
menggunakan pendekatan deskriptif yaitu dengan menjadikan literatur karya Syaikh Al-
Syekh Al-‘Utsaimin bernama lengkap Muhamad bin Shalih bin Muhammad bin
Sulaiman bin ‘Abdirrahman Al-‘Utsaimin. Beliau berasal dari al-Wahbah dari Bani Tamim
(At-tamimi). Beliau lahir pada 29 Maret 1929 yang bertepatan pada 27 Ramadahan 1347 H di
‘Unayzah, salah satu kota di provinsi al-Qashim Kerajaan Saudi Arabia. Ia berasal dari
keluarga ilmuwan, sang Kakek (dari ibunya) merupakan seorang guru yaitu ‘Abdurrahman
bin Sulaiman ad-Damigh yang juga merupakan guru dari Al-‘Utsaimin dalam belajar dan
menghafal Al-Qur’an. Ia kemudian mempelajari ilmu khath (menulis), ilmu hisab (hitung),
‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Hal ini bukan karena Syaikh as-Sa’di merupakan guru
pertama kali ia menimba ilmu, namun Al-‘Utsaimin paling banyak mengambil ilmu
pengetahuan dan metode dari Syaikh as-Sa’di lebih banyak dibandingkan dari syaikh
lainnya. Syaikh as-Sa’di juga yang paling mempengaruhi manhaj dan konsep pengajaran
yang diambil oleh Al-‘Utsaimin. Beliau juga mengemban ilmu dari para ulama di Ma’had
Al-‘Ilmi yaitu pada 1372 H hingga 1373 H, di antara ulama-ulama tersebut adalah
Faqih ‘Abdul ‘Aziz bin Nashir bin Rasyid dan asy-Syaikh al-Muhaddits ‘Abdurrazzaq al-
Ifriqi.2
dengan asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz. Beliau merupakan
guru kedua Al-‘Utsaimin dalam mendalami keilmuan karena memberikan pengaruh yang
cukup besar bagi Al-‘Utsaimin. Beliau mengkaji kitab-kitab seperti kitab Shahih Bukhari
dan makalah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau juga menyadur pengetahuan
dalam bidang ilmu hadits dan mengkaji serta membandingkan pendapat-pendapat para
fuqaha dari masing-masing madzhab. Pada tahun 1374 H Syaikh Al-‘Utsaimin kembali ke
kampung halamannya, ‘Unayzah lalu belajar sekali lagi kepada As-Syaikh as-Sa’di dan
melanjutkan studinya di fakultas Syari’ah Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud
hingga meraih gelar sarjana.3 Setelah itu beliau mengajar hingga ia wafat di Ma’had Al-‘Ilmi
Muhammad bin Su’ud. Syaikh al-‘Utsaimin memiliki metode pengajaran yang unik yaitu
semangat yang tinggi dan diiringi dengan ketenangan jiwa, penuh percaya diri, dan ceria
1
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Politik Islam, diterjemahkan oleh Ajmal Arif dari judul Ta’liq
Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyah, Jakarta: Griya Ilmu, 2019, cet. 5, hal. 1.
2
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Politik Islam,…, hal. 2.
3
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Politik Islam,…, hal. 3.
Syaikh Al-‘Utsaimin dipandang sebagai seorang mulia yang ilmunya mendalam
dengan keaslian sumber dan penguasan luas dalam memahami dan mengikuti dalil serta
menyimpulkan hukum dan pengetahuan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau mengkaji
kaidah-kaidah bahasa Arab, secara harfiah (leksikal), morfologis (‘Irab) maupun semantis
(Balaghah). Karena kemuliaan akhlaknya yangterpuji dan menggabungkan antara ilmu dan
amal, beliau sangat dicintai oleh Masyarakat Arab Saudi. Mereka menerima keputusan-
keputusan beliau dalam masalah-masalah fiqih serta mengambil pengetahuan dari nasihat-
“Hadiah Raja Faishal” pada tahun 1414 H atas pengabdian dan jasanya bagi umat Islam.
Al-‘Utsaimin yaitu4
Pertama, akhlak beliau yang mulia, di antara yang paling menonjol adalah sifat wara’
(ketakwaan), lapang dada, menyampaikan yang haqq, bekerja untuk kepentingan kaum
muslimin dan memberi nasihat kepada kalangan tertentu dan juga kepada masyarakat
umum.
Kedua, manfaat dari karya tulis, pengajaran, dan fatwa-fatwa yang ia kemukakan
di wilayah kerajaan
Kelima, penggunaan gaya khasnya dalam berdakwah ilallah dengan hikmah dan
nasihat yang baik, serta memberi contoh hidup manhaj salafus Shalih, pemikiran maupun
tingkah laku.
Syaikh Al-‘Utsaimin menghasilkan beberapa kitab tafsir yang diterbitkan resmi oleh
Yayasan beliau yaitu Yayasan Al-Khairiyah. Sebanyak 98 kitab dan risalah ringkas yang
bersumber dari tulisan beliau atau hasil transkrip dari pelajaran telah dicetaka oleh Yayasan
Al-Khairiyah. Yayasan Al-Khairiyah tersebut masih aktif dalam menggali warisan ilmu
Syaikh Al-‘Utsaimin yang masih berebntuk kaset, rekaman, manuskrip yang belum sempat
dicetak. Kitab Tafsir karya Syaikh Al-‘Utsaimin hanya membahas beberapa surah Al-Qur’an
saja yang sesuai dengan bidang keilmuan beliau yang dicetak dalam beberapa jilid. Surah-
surah yang beliau tafsirkan yaitu, Surah Al-Fatihah dan Al-Baqarah, Surah ‘Ali-Imran,
4
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Politik Islam,…, hal. 7.
Surah An-Nisa’, Surah Al-Ma’idah, Surah Al-Kahfi, Surah Yasin, Surah Ash-Shaffat, Surah
secara umum maupun oleh murid-muridnya. Beliau menggunakan kata yang jelas dan
tidak bertele-tele dan selalu diiringi dengam nasihat-nasihat dari ayat Al-Qur’an. Beliau
tidak banyak membahas cabang-cabang tafsir dalam penafsirannya yang sering dibahas
dalam kitab tafsir ulama-ulama lain seperti masalah balaghah dan I’rab, beliau juga tidak
banyak membahas masalah Israilliyat dan biasanya menggunakan perkataan ‘boleh jadi
1. Beliau merupakan ahli fiqih sekaligus mujtahid sehingga tidak ada suatu
masalah kontemporer
penjelasan makna dengan nasihat yang jarang ditemukan pada kitab-kitab tafsir lainnya.
Terkadang nasihat-nasihat ditujukan untuk manusia secara umum atau untuk penuntut
Syaikh Al-‘Utsaimin banyak merujuk pada Ibnu Taimiyyah , Ibn Al-Qayyim, Tafsir
Ibn Jarir (Jami’ul Bayân ‘an Ta’wil Âyy Al-Qur’ân) dan Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir Al-Qur’ân
antara Tafsir bil ma’tsur dan Tafsir bil ra’yi, walaupun beliau lebih cenderung kepada Tafsir
bil ma’tsur. Tafsir Syaikh Al-‘Utsaimin merupakan tafsir yang bercorak fiqih dengan beliau
5
Hanisah, “Penafisran Syekh Al-‘Utsaimin Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah dalam Al-Qur’an”, dalam At-
Tibyan: Journal of Qur’an dan Hadis Studies, Vol. 3 No. 1 Tahun 2020, hal. 73.
3.3. Sumber rujukan dalam Penafsiran Al-‘Utsaimin
Dalam karyanya Ushul fit Tafsir6, Menurut Al-Utsaimin terdapat empat sumber
1. Al-Qur’an
ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang berbeda. Sumber rujukan ini adalah yang
paling utama karena Al-Qur’an diturunakan Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW dan hanya Allah SWT yang paling mengetahui maksud dari
ayat-ayat Al-Qur’an.
Contohnya:
Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
Kata ath-thariq ditafsirkan dengan firman Allah SWT pada ayat setelahnya:
ُالثاق ِۙب
َّ ال َّنجْ ُم
(yaitu) bintang yang bersinar tajam,
2. Sunnah Rasul
(penyampai risalah) dari Allah SWT, maka beliau adalah manusia yang paling
Contohnya:
Nabi Muhammad Saw menafsirkan kata ٌ( ِز َيا َدةtambahan) dengan “Melihat wajah
Allah Ta’ala) sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi
Hatim secara jelas dari hadis Abu Musa dan Ubay bin Ka’ab, dan juga diriwayatkan
6
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dasar Ilmu Tafsir, dierjemahkan oleh Nor Kandir dari judul Al-
Ushûl fit Tafsîr, Surabaya: Pustaka Syabab, 2018, hal. 61 – 69.
oleh Ibnu Jarir dari hadis Ka’ab bin Ujrah dalam Shahih Muslim dari Shuhaib bin Sinan
يهم م َِن ال َّن َظ ِر ِإلَى َرب ِِّهم َع َّز َو َج َّل ٌ ْ َف َما ٌأع,اب
ِ َطوا شيئا ً َأ َحبَّ ِإل 3ٌ َِفك َي ْكش
َ ف الح َِج
“maka disingkapkanlah hijab, maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih
mereka cintai daripada melihat Rabb mereka ‘Azza wa Jalla,” kemudian beliau
Saw, terutama sahabat-sahabat yang menguasai ilmu tafsir. Hal ini karena Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa bahasa mereka (bahasa Arab) pada zaman mereka hidup.
Sahabat Nabi ialah generasi setelah Nabi wafat yang paling jujur dalam mencari
kebenaran, paling selamat dari hawa nafsu, dan paling bersih dari penyimpangan yang
Contohnya adalah penafsiran Sahabat Ibnu Abbas r.a mengenai ayat berikut:
Dalam riwayat yang shahih dari Ibnu ‘Abbas r.a beliau menafsirkan mulamasah
4. Tabi Tabi’in
mereka atas ayat-ayat Al-Qur’an dan yang selalu merujuk kepada para sahabat Nabi
karena para Tabi Tabi’in adalah sebaik-baik manusia setelah para sahabat karena
generasi yang paling selamat dari hawa nafsu daripada generasi sesudahnya, juga
bahasa Arab pada zaman Tabi Tabi’in belum banyak mengalami perubahan, maka
mereka adalah orang-orang yang lebih dekat dengan kebenaran dalam memahami Al-
“Apabila mereka (Para Tabi’in) bersepakat atas sesuatu, maka tidak diragukan akan
keberadaannya sebagai hujjah namun jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian
mereka tidak menjadi hujjah atas sebagian yang lain dan tidak pula menjadi hujjah atas
orang-orang setelah mereka. Hal tersebut kemudian dikembalikan kepada bahasa Al-
Qur’an atau As-Sunnah atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat tentang
itu. Beliau juga menyampaikan bahwa “siapa yang menyimpang dari mazhab dan tafsir
para sahabat dan para tabi’in, maka ia tela melakukan kesalahan. Bahkan, ia bisa
menjadi (ahli bid’ah). Jika dia adalah orang yang berijtihad makan diampuni
pendapat mereka dan menafsirkan Al-Qur’an berbeda dari tafsir mereka, maka dia
5. Pemaknaan kalimat dari tinjauan syar’i atau lughawi sesuai dengan kesesuaian
ِا َّنا َج َع ْل ٰن ُه قُرْ ٰا ًنا َع َر ِب ًّيا لَّ َعلَّ ُك ْم َتعْ قِلُ ْو ۚ َن
Dan juga merujuk pada firman Allah SWT pada Q.S Ibrahim/14: 4
3ْ ان َق ْومِهٖ لِ ُي َبي َِّن لَ ُه ْم ۗ َفيُضِ ُّل هّٰللا ُ َمنْ َّي َش ۤا ُء َو َي ْهد
ِي َمنْ َّي َش ۤا ُء َۗوه َُو ْال َع ِز ْي ُز ِ َو َمٓا اَرْ َس ْل َنا مِنْ رَّ س ُْو ٍل ِااَّل ِبل َِس
ْال َح ِك ْي ُم
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia
dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia
kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Mahaperkasa,
Mahabijaksana.
Namun, beliau menyampaikan bahwa jika makna syar’i dan makna lughawi
berbeda, maka makna yang diambil adalah makna syar’I, karena menurut beliau Al-
kecuali jika terdapat dalil yang lebih menguatkan makna lughawi maka makna lughawi
tersebut yang diambil. Berikut merupakan contoh ayat Al-Qur’an yang memiliki
perbedaan antara makna syar’i dan lughawi yang kemudian makna syar’inya yang
Q.S At-Taubah/ 9: 84
َو ُه ْم ٰفسِ قُ ْو َن3َّات اَ َب ًدا َّواَل َتقُ ْم َع ٰلى َقب ِْر ٖۗه ِا َّن ُه ْم َك َفر ُْوا ِباهّٰلل ِ َو َرس ُْولِهٖ َو َما ُت ْوا
َ ص ِّل َع ٰ ٓلى اَ َح ٍد ِّم ْن ُه ْم م
َ َواَل ُت
Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di
(mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan
Makna ‘sholat’ secara bahasa adalah doa dan secara syar’i makna dari sholat adalah
berdiri di hadapan jenazah untuk mendoakannya dengan syarat dan rukun yang telah
ditentukan (Sholat Jenazah). Maka, dalam hal ini yang didahulukan adalah makna
syar’i nya. Adapun larangan mendoakan mereka secara mutlaq berasal dari dalil yang
lainnya.
Berikut merupakan contoh ayat Al-Qur’an yang memiliki perbedaan antara makna
syar’i dan lughawi yang kemudian makna lughawinya yang didahulukan karena ada
هّٰللا
َ ص ٰلو َت
ُ ك َس َكنٌ لَّ ُه ۗ ْم َو َ م ِب َها َو3ْ ص َد َق ًة ُت َط ِّه ُر ُه ْم َو ُت َز ِّكي ِْه
َ َّص ِّل َعلَي ِْه ۗ ْم اِن َ َُخ ْذ مِنْ ا
َ مْوال ِِه ْم
َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم
Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi
berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Abi ‘Aufa, ia
berkata, “Apabila Nabi Saw dikirimi sedekah dari suatu kaum, beliau mendoakan
berdoa:
Al-Qur’anul Karim. Sebagai contoh adalah sedikit mengenai penafsirannya terhadap Q.S Al-
Fatihah.
mengenai makna dari nama surah itu sendiri dan secara ringkas menjelaskan mengapa Q.S
Al-Fatihah disebut sebagai ummul Qur’an. Hal itu menurutnya karena surah ini mencakup
keseluruhan makna Al-Qur’an dalam tauhid, hukum, pahala, dan lain sebagainya.
dalam sholat dan juga sebagai obat untuk jika dibacakan kepada orang yang sakit, maka
insyaAllah ia akan sembuh. Beliau menuliskan sumber-sumber kitab hadis yang beliau
jadikan rujukan.
Sumber: Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’anul Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah, hal. 3.
Berbeda dari kitab-kitab tafsir lainnya, di dalam Tafsir Al-Qur’anul Karim, terdapat
bagian mengenai ‘pertanyaan’ yang berhubungan dengan ayat yang dibahas. Seperti contoh
antara para Ulama tafsir yang berpendapat bahwa Basmallah termasuk dari ayat dalam Q.S
Al-Fatihah dan dibaca secara keras dalam sholat dan merupakan syarat sah sholat. Beberapa
ulama tafsir lain berpendapat bahwa ‘basmallah’ bukan bagian dari Q.S Al-Fatihah dengan
mengacu pada dalil hadis Nabi Muhammad Saw. Beliau berada pada pendapat bahwa kata
‘basmallah’ bukanlah bagian dari Q.S Al-Fatihah dengan kembali pada perkataan Sahabat
Anas bin Malik. Beliau juga menjelaskan juga bagaimana Q.S Al-Fatihah menjadi 7 ayat dan
3 tanda Tuhan yang tiga pertama adalah Tuhan Yang Maha Esa, tiga ayat terakhir adalah
bentuk kehambaan, dan satu ayat ditengah adalah hubungan hamba dan Tuhannya. Q.S Al-
bagian dari Q.S Al-Fatihah melainkan seperti ‘basmallah’ di awal surah-surah lainnya.
Sumber: Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’anul Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah, hal. 7 - 8.
Selain hal di atas, Syaikh Al-‘Utsaimin memiliki keunikan dalam penafsirannya yaitu
beliau membahas mengenai faedah yang terkandung dalam beberapa ayat yang ia tafsirkan.
Sebagai contoh pada ayat ( ُ ) ِااَّي كَ ن َ ْع ُب دُ َو ِااَّي كَ ن َ ْس َت ِعنْي beliau menyebutakan dua faedah
mengenai ayat ini dan penjelasan mengenai bagaimana tolong menolong (isti’anah) yang
boleh dilakukan atas sesame makhluk. Menurutnya tolong menolong yang boleh dilakukan
atas sesame makhluk diperbolehkan jika orang yang dimintai tolong mampu untuk
melakukannya, jika ia tidak mampu melakukannya, maka tidak boleh baginya untuk
dimintai bantuan. Seperti meminta bantuan kepada ahli kubur, maka hal ini dilarang dan
terhadap masalah bid’ah. Bid’ah sendiri memiliki pengertian yaitu sesuatu yang baru
dalam agama setelah agama itu dinyatakan sempurna dan setelah wafatnya Nabi. Bahkan
7
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’anul Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah,
Riyadh: Darabin Al-Jawzi, t.th hal. 15.
perlakuan-perlakuan bid’ah yang dilakukan dalam penafsirannya yaitu pada penafsirannya
dalam Q.S Al-Fatihah, sebelum menjelaskan mengenai tentang basmallah, beliau membahas
membaca surah Al-Fatihah di akhir do’a maupun di awal khutbah yang dianggap oleh
adalah suatu bid’ah.8 menjelaskan Dalam karyanya yang berjudul al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i
praktik bid’ah.
ُ )ال َي ْو َم َأ ْك َم ْل
(ت لَ ُك ْم دِي َن ُك ْم
“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu..”dengan merujuk pada ayat di atas,
akan menganggap bahwa ajaran Islam itu belum sempurna sebab amalan-amalan yang
digunakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT belum terdapat di dalamnya. 9
Dalam ayat ini kata ‘telah kusempurnakan untukmu agamamu’ berarti telah Allah jadikan
agama Islam itu lengkap namun bukan berarti lengkap syari’atnya , karena setelah ayat ini
SWT telah memberikan dan meridhai agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW sebagai agama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan janganlah kalian menyakini
agama selain Islam.10 Selain itu menurutnya agama Islam memenuhi dan menghendaki
Faidah dari ayat ini menurut al-‘Utsaimin adalah segala sesuatu yang yang
Menurut Al-‘Utsaimin, pendapat para pelaku bid’ah yang mengakui bahwa diri
mereka sendiri mengagungkan Allah SWT dan Rasul-Nya telah berlaku lancang terhadap
Allah dan Rasul-Nya dengan menyandarkan ketidaksetujuannya ini pada Q.S Al-Hujurat/ :
1
8
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah,...,
hal. 4.
9
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar. Riyadh: Kantor
kerjasama Da’wah, Bimbingan, dan Penyuluhan bagi Pendatang, Al-sulay, hal. 13.
10
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Maidah, Riyadh: Darabin
Al-Jawzi, 1432 H, hal. 144.
ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا اَل ُت َق ِّدم ُْوا َبي َْن َيدَيِ هّٰللا ِ َو َرس ُْولِهٖ َوا َّتقُوا هّٰللا َ ۗاِنَّ هّٰللا َ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Q.S Al-Hujurat/
49: 1).
pelaku praktik bid’ah tersebut merupakan orang-orang yang lebih berhak dalam
menyatakan bahwa “Kami beriman kepada syariat Allah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap
perintah dan larangan, kami menolak apa yang tidak ada dalam syari’at, tak patut kami
berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya, atau mengatakan dalam agama Allah apa
yang tidak termasuk darinya.”? Menurutnya orang-orang ini lah yang lebih berhak untuk
disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul=Nya, yaitu
orang-orang yang mengimani dan mempercayai apa yang diberitahukan kepadanya, patuh
dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan, yang menolak apa yang tidak diperintahkan,
dan tak patut mengada-adakan dalam syari’at Allah atau melakukan bid’ah dalam agama
itu kesesatan”
dan cenderung melarang penggunaan Ta’wil. Menurutnya, ta’wil termasuk dari perbuatan
tahrif dan mengikuti tradisi orang-orang Yahudi. Namun, pada beberapa penafsirannya,
Syaikh Al-Utsaimin melakukan ta’wil, seperti pada penafsirannya terhadap Q.S An-Nur/ 24:
35
Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang
yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung
kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya
(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-
lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Syaikh Al-‘Utsaimin menafsirkan lafadz (ٍ ) َم َث ُل ُن ْو ِرهٖ َك ِم ْش ٰكوةsebagai cahaya yang Allah
SWT hembuskan dalam hati orang mukmin. Dalam hal ini Syaikh Al-‘Utsaimin menafsirkan
ayat tersebut dengan ta’wil karena berdasarkan dari dalil bahwa ‘Allah SWT tidaklah sama
dengan makhluknya.’ Jika lafaz tersebut ditafsirkan tidak menggunakan ta’wil melainkan
secara dzahir, maka akan terjadi penyamaan Allah SWT dengan makhluknya. Cahaya Allah
SWT jika dipikirkan secara rasional seperti sebuah Misykat yang berarti lubang yang
4. Penutup
kontemporer yang memiliki penafsiran yang cenderung bercorak fiqih dan memberi
yang dianggap bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Walaupun tidak melakukan ta’wil pada
penafsirannya, ada kalanya Syaikh Al-Utsaimin melakukan ta’wil jika terdapat dalil
al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Maidah. Riyadh:
Darabin Al-Jawzi, 1432 H.
-------. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Fatihah – Al-Baqarah. Riyadh: Darabin Al-Jawzi, t.th.
-------. al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar. Riyadh: Kantor kerjasama Da’wah, Bimbingan,
dan Penyuluhan bagi Pendatang, Al-sulay, t.th.
-------. Dasar Ilmu Tafsir, dierjemahkan oleh Nor Kandir dari judul Al-Ushûl fit Tafsîr.
Surabaya: Pustaka Syabab, 2018.
-------. Politik Islam. Diterjemahkan oleh Ajmal Arif dari judul Ta’liq Siyasah Syar’iyah Ibnu
Taimiyah, Jakarta: Griya Ilmu, 2019, cet. 5.
Audah, Cecep Fuad. “Esoterisme dalam Tafsir Al-‘Utsaimin”. Tesis, Jakarta: Pasca Sarjana
Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.