Skripsi
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
RIDWAN ARIPIN
NIM. 1112034000188
Waqaf dan ibtida’ merupakan salah satu ilmu terpenting dalam pengkajian
al-Qur’an. Penguasaan ilmu ini menjadi suatu keharusan bagi setiap orang yang
ingin memahami dan menghayati kesucian al-Qur’an. Waqaf dan ibtida’ juga
termasuk hal yang perlu dipelajari dalam ilmu tajwid. Keduanya adalah
pembahasan yang harus ditekuni dan dituntaskan oleh setiap pembaca hingga
bacaan dan tilawah al-Qur’annya menjadi sempurna dan tempat. Waqaf dan
ibtida’ merupakan cabang dari kandungan makna ayat al-Qur’an yang sedang
dibaca oleh seorang pembaca. Dengan cara mengambil dan mempelajari aturan
dan kaidah mengenai Waqaf dan ibtida’ membuat setiap pembaca akan terhindar
dari kesalahan membaca al-Qur’an. Oleh sebab itu, para pembaca al-Qur’an harus
benar-benar memahami apa arti waqaf dan ibitda’ serta pengaruhnya terhadap
penafsiran al-Qur’an dengan melalui metode penelitian.
v
KATA PENGANTAR
Pujadan puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
selesainya penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan pada Program Studi Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tema skripsi ini penulis pilih atas pertimbangan pentingnya pemahaman waqaf
dan ibtida’ dalam sebuah bacaan al-Qur’an. Hasil kajian ini diharapkan dapat
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu sangatlah wajar bila penulis
1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
2. Dr. Lilik Ummi Kalsum, Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd, Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis beserta seluruh staf yang
program ini.
3. Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA, sebagai Pembimbing yang telah banyak
vi
4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
Hidayatullah Jakarta.
6. Ayah dan Ibunda serta adik dan kakakku yang senantiasa berusaha dan
berdo’a serta mendidik penulis dengan penuh tanggung jawab dan selalu
memberikan bantuan baik moril maupun materil. Semoga ilmu yang penulis
peroleh dapat menjadi bekal untuk membalas budi dan pengorbanan yang
Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakartadan semua pihak yang telah memberikan
banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga skripsi ini
Semoga semua yang telah mereka berikan baik berupa bimbingan dan
imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin yarabbal ‘alamin.
vii
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan
dan kelemahan. Oleh karenanya sumbangsih dan pemikiran, kritik dan saran yang
konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada
kajian-kajian dengan tema yang sama pada masa yang akan datang.
06 Agustus 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... v
BAB I : PENDAHULUAN
A. Waqaf ..................................................................................... 15
B. Ibtida’ ..................................................................................... 24
ix
1. Pengertian Ibtida’ ............................................................. 24
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 65
B. Saran ....................................................................................... 65
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam “Buku Pedoman
a. Padanan Aksara
ب B be
ت T te
ث Ts te dan es
ج J je
خ kh ka dan ha
د D de
ر R er
ز Z zet
س S es
ش Sy es dan ye
غ gh ge dan ha
ف F ef
ق Q ki
ك K ka
ل L el
م M em
xi
xii
ن N en
و W we
ه H ha
ء apostrof
ي Y ye
b. Vokal
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau
berikut:
َ a fathah
َ i kasrah
َ u dammah
sebagai berikut:
َي ai a dan i
َو au a dan u
Vokal Panjang
Kata Sandang
dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti
Syaddah (Tasydîd)
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
Ta Marbûtah
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
xiv
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
Contoh:
1 طريقة tarîqah
Huruf Kapital
dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan
huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting
diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya.
Demikian seterusnya.
xv
PENDAHULUAN
Allah SWT,1 tidak ada keraguan di dalamnya,2 karena tidak ada pertentangan ayat
dan pencampuradukkan antara yang hak dan batil. Bahkan Allah SWT sendiri
menyatakan kalaulah sekiranya al-Qur‟an itu bukan dari Allah SWT pasti
diturunkannya al-Qur‟an adalah untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi anggota
masyarakat tempat kitab ini diturunkan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat
1
Lihat QS. al-Hijr : 9
2
Lihat QS. al-Baqarah : 2
3
Lihat QS. al-Nisa‟ : 82
4
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, terdapat 10 tujuan al-Qur‟an yaitu (1) untuk
menerangkan hakekat agama yagn meliputi iman kepada Allah SWT, iman kepada hari
kebangkitan dan amal shaleh, (2) menjelaskan masalah kenabian dan kerasulan serta tugas dan
fungsi mereka, (3) menjelaskan tentang Islam sebagai agama fitrah yang sesuai dengan akal fikiran
dan cocok dengan intuisi serta kata hati, (4) membina dan memperbaiki umat manusia dalam satu
kesatuan umat (kemanusiaan) agama, undang-undang, persaudaraan seagama, bangsa, hukum dan
bahasa, (5) menjalankan keistimewaan-keistimewaan Islam dalam pembenaran kewajiban-
kewajiban kepada manusia seperti cakupannya yang luas meliputi jasmani dan rohani, material dan
spiritual, membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, mudah dikerjakan, tidak memberatkan,
gampang dipahami, dan lain sebagainya, (6) menjelaskan prinsip-prinsip berpolitik dan bernegara,
(7) menata kehidupan material, (8) memberi pedoman umum mengenai perang dan cara-cara
mempertahankan diri dari agresi serta intervensi musuh, (9) mengatur dan memberikan kepada
wanita hak-hak mereka dalam bidang agama, sosial dan kemanusiaan pada umumnya dan (10)
memberikan petunjuk-petunjuk dalam hal pembalasan dan kemerdekaan budak. Lihat Muhammad
Rasyid Ridha, al-Wahyu al-Muhammadi, (Qahirah: Maktabah al-Qahirah, 1960), h. 126 – 128.
Lihat juga Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
Cet. ke-1, h. 3 - 4
5
Lihat QS. al-Baqarah : 185
1
2
seluruh aspek kehidupan manusia seAperti pola hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam
suatu masalah terkesan unik, tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku-
buku ilmiah karangan manusia dan juga sangat jarang menyajikan suatu masalah
secara rinci dan detail. Bahkan secara umum pembicaraannya tentang suatu
masalah bersifat global, parsial dan pokok-pokoknya saja. Namun demikian, hal
itu sama sekali tidak akan mengurangi nilai al-Qur‟an. Sebaliknya, justru di
seperti itu, al-Qur‟an menjadi obyek kajian yang tidak pernah kering oleh ide dan
3
gagasan para cendekiawan muslim atau non muslim, sehingga tetap aktual sejak
pertama diturunkannya pada 15 abad yang lalu. Oleh sebab itu, Rasyid Ridha
mengatakan bahwa sekiranya al-Qur‟an disusun menurut bab dan pasal secara
sistematis seperti yang terdapat dalam buku-buku ilmu pengetahuan, maka al-
Qur‟an sudah lama menjadi usang dan ketinggalan zaman. Justru dalam
Untuk mewujudkan ide atau cita al-Qur‟an yang bersifat global tersebut,
dengan baik dan benar. Sebab nilai-nilai universal al-Qur‟an pasti akan senantiasa
al-Qur‟an, karena al-Qur‟an al-Karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan
Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana
yang gelap menuju yang terang serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.8
6
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an, h. 6
7
Menurut Fazlur Rahman, untuk menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek tertentu dalam
al-Qur‟an, para pakar al-Qur‟an (muslim) dihadapkan kepada dua problem yaitu (1) mereka
kurang menghayati relevansi al-Qur‟an untuk masa sekarang dan oleh karenanya mereka tidak
dapat menyajikan al-Qur‟an untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat manusia masa kini dan
yang lebih penting (2) mereka khawatir jika penyajian al-Qur‟an yang seperti di atas dalam
berbagai hal akan menyimpang dari pendapat-pendapat yang ditemui secara tradisional, padahal
itu tidak dapat dihindari. Menurut Fazlur Rahman, resiko itu harus diterima dengan ketulusan hati
dan persepsi. Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok-Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyudin,
(Bandung: Pustaka, 1995), Cet. ke-5, h. x
8
Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir AS., (Jakarta:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), Cet. ke-16, h. 1
4
Selain itu, al-Qur‟an juga merupakan pedoman hidup bagi umat manusia
yang tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. Untuk itu al-Qur‟an bukan
hanya sekedar dibaca dan dihapal, tetapi dipahami isi kandungannya untuk
berpegang teguh kepada al-Qurán dan al-Sunnah, maka ia tidak akan tersesat
seorang muslim diwajibkan untuk bisa membaca dan memahami isi al-Qur‟an.
melalui perantara malaikat Jibril yang jika dibaca akan bernilai ibadah. Dalam al-
Qur‟an terdapat petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia. Sebagai pedoman
hidup, al-Qur‟an seharusnya dipelajari dan dipahami isi kandungannya oleh setiap
muslim. Dengan mempelajari dan memahaminya, setiap muslim akan turut serta
Membaca al-Qur‟an harus dilakukan dengan baik dan benar, karena hal ini
makna al-Qur‟an dan membuka tabir mukjizat yang ada di dalamnya baik dalam
ketaatan maupun kerendahan hatinya. Para ulama salaf dan kontemporer sangat
pengucapan kata-kata dalam al-Qur‟an menjadi baik dan benar. Cara membaca
seperti ini di kalangan mereka dikenal dengan istilah Tajwîd al-Qur’an. Menurut
mereka, tajwid adalah memberikan kepada huruf akan hak-hak dan tertibnya,
9
Mamsudi AR., Dîn al-Islam, (Jakarta: LPPTKA BKPRMI DKI Jakarta, 2001), h. 16
5
mengetahui bagaimana cara memberi hak huruf dan mustahiknya baik yang
berkaitan dengan sifat, mad dan lain sebagainya seperti tarqiq dan tafhim serta
selain keduanya.11 Ilmu tajwid menurut Munir ialah ilmu yang dipergunakan
berdasarkan sifat huruf, tempat keluarnya huruf, panjang pendek serta bacaan-
bacaannya, sehingga tidak ada perubahan makna pada saat membacanya sehingga
dengan baik dan benar serta banyak hal pula yang perlu diperhatikan seperti
hukum bacaan dan tanda-tanda khusus yang terdapat dalam al-Qur‟an seperti
tanda waqaf dan ibtida’. Dalam al-Qur‟an, waqaf merupakan salah satu tanda
untuk berhenti dalam bacaan al-Qur‟an. Jika tidak berhenti, maka dikhawatirkan
10
Manna‟al-Qatan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.
229
11
Ahmad Annawi, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2010), h. 17
12
M. Misbahul Munir, Pedoman Lagu-Lagu Tilawatil Qur’an; Dilengkapi Dengan Tajwid
dan Qasidah, (Surabaya: Apollo, 1997), h. 152
6
waqaf dan ibtida‟ merupakan salah satu aspek dalam disiplin ilmu tajwid yang
Waqaf dan ibtida’ termasuk hal yang perlu dipelajari dalam ilmu tajwid.
Keduanya adalah pembahasan yang harus ditekuni dan dituntaskan oleh setiap
qari’ hingga bacaan dan tilawah al-Qur‟annya menjadi sempurna dan tepat. Waqaf
dan ibtida’ merupakan cabang dari kandungan makna ayat al-Qur‟an yang sedang
dibaca oleh seorang qâri’. Dengan cara mengambil dan mempelajari aturan dan
kaidah mengenai waqaf dan ibtida‟ membuat setiap qari’ terhindar dari kesalahan
membaca al-Qur‟an.13 Oleh sebab itu, para pembaca al-Qur‟an harus benar-benar
memahami apa arti waqaf dan ibtida’ serta pengaruhnya terhadap penafsiran al-
Qur‟an.
Salah satu disiplin ilmu yang penting untuk dikuasai agar seseorang bisa
memahami dan menafsirkan al-Qur‟an dengan baik dan benar adalah ilmu tentang
waqaf dan ibtida‟. Para pakar al-Qur‟an merumuskan dan menyusun teori-teori
tentang waqaf dan ibitda‟ yang kemudian dicantumkan dalam mushaf al-Qur‟an
Di antara berbagai ilmu yang urgen dalam kontelasi Ulum al-Qur‟an adalah
ilmu tentang waqaf dan ibtida‟ merupakan salah satu yang patut dijaikan kajian.
13
Ibnu al-Nazhim, Syarh al-Thayyibah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 39
14
Ahmad Bahruddin, “Waqaf dan Ibtida‟ Dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah; Pengaruhnya Terhadap Penafsiran”, Jurnal Kajian al-Qur’an (Suhuf), Vol. 6, No. 2,
2013, h. 169
7
Menurut para ulama, ilmu ini sangat penting karena sangat berguna untuk
dan dapat mendatangkan tujuan serta makna al-Qur‟an secara tepat dan benar. Di
samping itu, karena terkadang seseorang tidak mampu membaca satu ayat, surat
ataupun satu kisah dalam satu nafas sekaligus, maka pengetahuan tentang waqaf
dan ibtida’ menjadi mutlak diperlukan agar seseorang dapat mengetahui di mana
harus berhenti (waqaf) dan memulai (ibtida’) tanpa mengubah makna al-Qur‟an.15
Menguasai ilmu waqaf dan ibtida’ merupakan salah satu syarat dalam
pembacaan al-Qur‟an secara tartil. Imam Ali ra, ketika memberikan definisi
mengenai kata tartil dalam QS. al-Muzammil : 4 menyatakan bahwa tartil adalah
Al-Qur‟an adalah kitab yang paling banyak dibaca dan dikaji umat Islam
diseluruh dunia dari masake masa dan dari generasi ke generasi. Hal ini
disebabkan al-Qur‟an adalah kitab suci yang menjadi panduan dan pedoman hidup
umat Islam. Ia adalah satu dari dua warisan yang amat berharga dari Nabi
15
Husni Syeikh Usman, Haqq al-Tilawah, (al-Zaqqa: Maktabah al-Manar, 1988), h. 44
16
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Daar al-Turas,
2007), Jilid I, h. 353
17
Dalam hadits riwayat Imam Malik,Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan untuk
kalian dua pusaka yang kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang teguh
kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”. Lihat Imam Malik, al-Muwatta’, (Mesir:
Daar al-Ihya‟ al-Turas al-„Arabi, tth), Juz II, h. 899, hadits No. 1594
8
tampilkan bersama teks al-Qur‟an agar semakin menarik dan memikat minat umat
swasta dan kondisi seperti ini mulai berubah. Kini Mushaf Madinah20 (MM)
terbitan Mujamma’ Malik Fahd Arab Saudi dengan mudah dijumpai di negeri ini
yang asal muasalnya beragam, sebagian merupakan hadiah yang dibawa pulang
oleh para jama‟ah haji Indonesia, sebagian lagi disebarluaskan oleh lembaga-
lembaga sosial Timur Tengah di Indonesia atau diimpor oleh para pengusaha
untuk memenuhi pasaran lokal. Hal ini didukung pula oleh pesatnya
Qur‟an digital produk Timur Tengah. Di sini ditemukan fakta bahwa dalam
18
Beredasarkan data BPS tahun 2003 misalnya, jumlah umat Islam Indonesia mencapai
177.528.722 jiwa (88%) dari total penduduk 201.241.999 jiwa. Kalau diasumsikan satu keluarga
terdiri dari 5 orang (bapak, ibu dan tiga anak) berarti dapat diasumsikan ada 35.505.754 kepala
keluarga muslim. Jika setiap keluarga harus memiliki satu mushaf al-Qur‟an, berarti yang
dibutuhkan adalah 35.505.754 mushaf. Lihat Puslitbang Lektur Keagamaan, Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an Departemen Agama RI, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2005), h. 11 - 12
19
Mushaf Standar Indonesia adalah mushaf yang dibakukan cara penulisan, tanda baca dan
tanda waqafnya sesuai kesepakatan yang dicapai pada Muker Ulama al-Qur‟an Indonesia yang
berlangsung 9 kali antara tahun 1974 sampai dengan 1983 dan dijadikan pedoman bagi al-Qur‟an
yang diterbitkan di Indonesia. Lihat Zainal Arifin, “Mengenal Mushaf Standar Usmani Indonesia”,
Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 1, 2011, h. 3
20
Mushaf Madinah adalah mushaf al-Qur‟an yang ditulis oleh kaligrafer Usman Taha dan
diterbitkan oleh Mujamma‟ Malik Fahd di Madinah. Mushaf ini mulai diterbitkan, diedarkan dan
diperkenalkan secara luas mulai 1980-an. Lihat “al-Ta‟rif bi haza al-Mushaf”, dalam al-Qur’an al-
Karim, (Madinah: Mujamma‟ Malik Fahd litiba‟ah al-Mushaf, 1988/1409, h. 5
9
Standar Indonesia yang telah beredar dan dikenal luas oleh masyarakat muslim
Indonesia.
mengingat waqaf dan ibtida‟ merupakan salahsatu aspek dalam disiplin ilmu
tajwid yang harus dikuasai dan diaplikasikan dalam membaca al-Qur‟an. Ia seperti
titik koma dalam aksara Latin yang menentukan suatu ungkapan benar atau salah,
mengundang multitafsir.
menuangkan sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian
TAFSIR”. Topik ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat luas
Salah satu kewajiban umat Islam adalah membaca al-Qur‟an dengan tartil.
Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT yang dituangkan dalam QS. al-
ketika membaca. Adapun ciri bacaan tartil adalah membaca huruf-huruf hijaiyah
yang jelas sesuai dengan makhraj dan sifatnya serta memahami waqaf (berhenti
sementara) dan tanda ibtida‟ (memulai membaca lagi atau mulai melanjutkan
bacaan lagi dengan mengulang kalimat sebelum waqaf tersebut) yang tepat dan
benar).
10
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas dengan tujuan agar
kajian tentang pengaruh waqaf dan ibtida‟ mengarah pada fokus pembahasan
tersebut sesua dengan tujuan penelitian. Adapun pembatasan pada kajian ini
adalahtentang pengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap terjemah dan tafsir dengan
masalah, maka penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waqaf
berikut :
masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan waqaf dan ibtida‟ serta
D. Kajian Pustaka
Qur‟an telah dilakukan oleh banyak peneliti sebelumnya. Adapun para peneliti
1. Penelitian yang dilakukan oleh Samsul Bahri dalam tesisnya pada bidangIlmu
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara I‟rab dan makna.
I‟rab merupakan salah satu faktor terpenting dan dominan dalam menentukan
gramatikal sebuah kalimat serta perubahan posisi I‟rab pada kata dalam suatu
2. Penelitian yang dilakukan oleh A.Asdari dalam tesisnya pada bidang bahasa
dan Sastra Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004.
bahwa kosa kata suatu bahasa sebenarnya bukanlah berupa sejumlah kata yang
21
Samsul Bahri, “Makna dan Kasus Gramatika; Studi Implikasi I‟rab Terhadap Penafsiran
Ayat al-Qur‟an”, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. v
12
berhubungan serta mengidentifikasikan kata yang satu dengan kata yang lain
penulis ini jelas berbeda. Penelitian ini lebih fokus pada masalah pengaruh waqaf
dan ibtida‟ dalam penafsiran al-Qur‟an. Dengan demikian, tema ini murni belum
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
data dokumentasi. Sumber data yang digunakan bagi penulisan ini berupa
22
A.Sadri, “Tanawub Huruf al-Jarr dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Makna Dalam al-
Qur‟an”, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 108
23
John Supyanto, “Memahami Makna Unjila al-Qur‟an „Ala Sab‟ati Ahruf; Tinjauan Sosio-
Historis Keragaman Qira‟at”, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. vi
24
Penelitian kualitatif di sini dimaksudkan sebagai penelitian yang pengumpulan datanya
bersifat kualitatif. Lihat Imam Arifin, Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan,
(Malang: Kalimasahada Press, 1996), h. 4
13
Berdasarkan karakter dan tema pokok permasalahan yang akan diteliti oleh
berbagai tulisan dan buku-buku yang erat kaitannya dengan masalah yang
akan dikaji. Oleh sebab itu, diperlukan data primer dan data sekunder.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis merujuk kepada dua sumber data yakni
data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari kitab suci al-
3. Teknik Penulisan
2013.
25
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), h. 4
14
F. Sistematika Penyusunan
pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang bertujuan
untuk memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, pembatasan dan
memberikan penjelasan secara garis besar tentang kajian yang akan diuraikan
waqaf dan ibtida‟. Ruang lingkup waqaf terdiri atas pengertian waqaf, urgensi
waqaf dan klasifikasi waqaf. Adapun ruang lingkup dari ibtida‟ terdiri atas
Bab III adalah waqaf dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an yang pembahasannya
meliputi tanda waqaf dan dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an, kosa kata waqaf dan ibtida‟
dalam al-Qur‟an, pendapat ulama tentang waqaf dan ibtida‟ serta perbedaan
yaitu dampak waqaf dan ibtida‟ terhadap terjemah dan tafsir yang pembahasannya
beberapa kesimpulan dan saran-saran yang merupakan kristalisasi dari uraian bab-
A. Waqaf
1. Pengertian Waqaf
adalah وقف باملكان وقفا ووقوفا فهو واقف. Bentuk jamak dari واقف adalah
6
.الوقف هو قطع الصوت عند آخر الكلمة مقدار زمن التنفس اما اقصر منه فالسكت
Artinya : “Memutus suara di akhir kalimat (ketika membaca al-Qur’an)
selama masa bernapas, tetapi jika lebih pendek dari masa
bernafas itu, maka disebut saktah”.
1
Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth), Juz VI, h. 4898
2
Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwis Plus, (Surabaya: Halim Jaya, 2008), Cet. ke-2, h. 192
3
Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz I, h. 359
4
Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, (Surabaya: Karya Aditama, 1995), Cet. ke-1,
h. 154
5
Ibnu al-Jaziri, al-Nasyr fî al-Qira’ati al-‘Asyr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), Juz
I, h. 240
6
Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 154
15
16
bahwa waqaf adalah menghentikan suara dari akhir suatu kata dalam
waktu tertentu yang umumnya dipakai untuk mengambil nafas dengan niat
2. Urgensi Waqaf
memperbolehkan waqaf serta mempelajari mana cara yang benar dan yang
al-Qur‟an.
sendiri. Hal ini mengingatkan kepada setiap qari‟ bahwa sangat penting
mewaqafkan ayat, maka akan keliru pula tentang arti dan maksudnya.12
Bagi yang mengerti akan isi setiap ayat atau rangkaian kata al-Qur‟an,
pula pendengar dapat lebih paham akan kandungan al-Qur‟an yang dibaca
sangatlah penting.
11
Muhammad Ihsan Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala
Tingkatan, (Jakarta: Turos, 2015), Cet. ke-1, h. 131
12
Ahmad Muhammad Abdul Ghaffar, Pelajaran Ilmu Tajwid, (Kuala Lumpur: Syarikat
Nurulhas, 1996), Cet. ke-1, h. 95
13
Ahmad Muhammad Abudl Ghaffar, Pelajaran Ilmu Tajwid, h. 95
18
(waqaf).15 Para ulama telah bekerja keras guna mendalami masalah ini
benar tanpa mengetahui kaidah-kaidah waqaf. Oleh sebab itu, perlu adanya
masalah waqaf.
3. Klasifikasi Waqaf
a. Waqaf Idhthirory
14
Muhammad bin Qasim bin Muhammad bin Basyar Abu Bakar al-Anbari adalah seorang
ulama ahli al-Qur‟an yang wafat pada tahun 328 H. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah,
(Kairo: Daar al-Turas al-„Arabi, 1988), Juz II, h. 220
15
Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Asymuni, Manâr al-Huda fî Bayan al-Waqâf
wa al-Ibtida’, (Kairo: Daar al-Hadits, 2008), Juz I, h. 13
16
Salah satu ulama penyusun tanda-tanda waqaf dalam al-Qur‟an yang terkenal adalah Abu
Abdillah Muhammad bin Taifur al-Sajawandi. Beliau adalah seorang ahli qira‟at dan tata bahasa
Arab yang wafat pada tahun 560 H. Lihat al-Suyuthi, Tabaqah al-Mufassirin, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1396 H), h. 87
19
ialah waqaf yang dilakukan oleh qari‟ karena kehabisan nafas, batuk,
lupa, dan lain sebagainya.17 Waqaf ini boleh diberlakukan pada kata
b. Waqaf Intizhory
17
Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, (Surabaya: Anggota IKAPI,
1997), Cet. Ke-1, h. 176
18
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2010), Cet. ke-1, h. 167
19
Ahmad Muhammad Abdul Ghaffar, Pelajaran Ilmu Tajwid, (Kuala Lumpur: Syarikat
Nurulhas, 1996), h. 95
20
Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 176
20
Misalnya waqaf pada kata احلجارةdalam ayat فاتقوا النار الىت أعدت...
.للكافرين
Menurut ulama Qira‟at, mewaqafkan bacaan pada kata احلجارة
itu ada dua pendapat. Ada yang mengatakan boleh waqaf atau terus
saja dan ada pula yang mengatakan terus itu lebih baik. Hal ini
kedua mengatakan bahwa tidak perlu berhenti bahkan terus itu lebih
baik. Hal ini disebabkan adanya tanda ()صلى, maka untuk menghargai
pada kata احلجارة kemudian diulang kembali pembacaan dari kata ()الىت
umpamanya.22
c. Waqaf Ikhtibary
perintah karena sedang diuji dan dites supaya ia yakin pada kualitas
bacaan dan pengetahuannya tentang tata cara waqaf pada tempat yang
21
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 166
22
Ismail Tekan, Tajwid al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Zikra, 1997), Cet. ke-10, h. 130
23
Muhammad Isham Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala
Tingkatan, (Jakarta: Turos, 2015), Cet. ke-1, h. 137
21
tidak.24 Misalnya waqaf pada kata( )ابىنdalam ayat واتل عليهم نبأبىن آدم
.باحلق
Pada dasarnya, kata ( )ابىنseharusnya diwaqafkan dengan
tempat seperti itu jika terpaksa karena sesak nafas atau nafasnya
d. Waqaf Ikhtiyary
Secara garis besar, ada dua macam waqaf ikhtiyary yaitu waqaf
ikhtiyari jaiz dan ghairu jaiz. Waqaf ikhtiyary jaiz adalah ketika
24
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 166
25
Ismail Tekan, Tajwid al-Qur’an al-Karim, h. 131
26
Muhammad Ihsam Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala
Tingkatan, h. 137
22
dituju, bukan karena sebab-sebab yang telah lewat pada nomor satu,
dua dan tiga.27 Waqaf ini dipilih secara sengaja oleh seorang qari‟
yaitu waqaf tamm, kafi, hasan dan waqaf qabih. Berikut ini akan
a. Waqaf tamm
27
Sairuddin A. Shomad Rabith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 176 - 177
28
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 167
23
waqaf pada :
b. Waqaf kafi
dengan rumus ()صلى. Waqaf ini sering terjadi antara sifat dan yang
disifatinya. Contoh احلمد هلل kemudian mulai dari رب العاملني dan
d. Waqaf qabih
29
Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 178
30
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 169
24
lafadz بسم dari lafadz بسم اهلل. Kedua lafadz ini tidak bisa
lainnya adalah waqaf pada lafadz احلمدdari lafadz احلمد هلل. Lafadz
pertama berkedudukan sebagai mubtada’ atau pokok kalimat.
keterangan.32
B. Ibtida’
1. Pengertian Ibtida’
31
Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 180
32
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 170
33
Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 153
34
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz I, h. 223
35
Tekan Ismail, Tajwid al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Zikra, 1997), Cet. ke-10, h. 127
36
Abdul Karim ibrahim, al-Waqaf wa al-Ibtida’ wa Silâtuhuma bi Ma’na, (Kairo: Daar al-
Salam, 2008), h. 19
25
atau waqaf. Dengan demikian, ibtida‟ merupakan kajian ilmu tajwid yang
sangat penting. Oleh sebab itu, bagi orang yang belajar qira‟ah harus
tentang ibitda‟.
2. Urgensi Ibtida’
bagi setiap orang untuk mempelajari dan memahami semua kaidah dan
metode ilmu tajwid terutama dalam bidang ibtida‟. Hal ini sesuai dengan
37
Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 153
26
Jibril.38
bagi setiap orang yang ingin membaca buku-buku yang berbahasa Arab,
dapat menepati bacaan yang diajarkan Jibril kepada Rasulullah SAW serta
firman Allah SWT agar membaca al-Qur‟an dengan tartil, yaitu membaca
dengan suara yang indah sehingga dapat menyejukkan para pendengar al-
Qur‟an.
karena ilmu ini sangat berkaitan erat dengan pemahaman makna atau tafsir
38
rmc.kuis.edu.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2014
39
Saharuddin Pangilun, Kemahiran Waqaf dan Ibtida’; Kajian Terhadap Guru-Guru al-
Qur’an di Daerah Kuala Langat Selangor Daar al-Ihsan, Kajang: College University Islam
Selangor, 2005), h. 75
27
bahwa ibtida‟ merupakan ilmu yang sangat penting dan memiliki peran
3. Klasifikasi Ibtida’
a. Ibtida‟ Tamm
yang tidak ada hubungannya dengan kalimat sebelumnya baik dari segi
b. Ibtida‟ Kafi
Ibtida‟ kafi ialah memulai bacaan dari satu kalimat yang mempunyai
40
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 171
28
Ibtida‟ hasan adalah memulai bacaan dengan kalimat yang masih ada
d. Ibtida‟ Qabih
sebagai berikut :
Menurut Wahyudi, ibtida‟ itu adakalanya mulai membaca pertama kali dan
adakalanya, memulai membacanya sesudah waqaf. Ibtida‟ itu harus dari awal
kalimat dan tidak boleh diambil dari potongan kalimat, sebab dapat merusak
kalimat al-Qur‟an seperti membaca احلمد هللdiulang dari دهللatau dari محد
هللdengan meninggalkan al-nya.
41
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 172
42
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 172
29
Mengetahui ibtida‟ itu harus lebih hati-hati dari pada waqaf, karena
waqaf itu masih bisa berhenti di mana saja apabila dalam keadaan
darurat. Lain halnya dengan ibtida‟ yang tidak boleh seenaknya saja
Secara garis besar, ibtida‟ dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Ibtida‟ jaiz
Ibtida‟ jaiz yaitu ibtida‟ dari kalimat yang jelas maknanya atau
Ibtida‟ ghairu jaiz yaitu ibtida‟ dari kalimat yang dapat merusak
atau merubah makna kalimat. Ibtida‟ ini dibagi menjadi dua bagian
yaitu :
bahwa ibtida‟ itu tidak boleh kecuali dengan awalnya huruf suatu lafadz.
43
Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwid Plus, h. 243
30
Ibtida‟ juga tidak boleh kecuali dengan huruf yang hidup. Oleh sebab itu,
tanda untuk menunjukkan tempat berhenti (waqaf) yang digunakan dalam al-
Qur‟an. Para ulama melihat kebutuhan para pembaca al-Qur‟an terhadap tanda-
hasil dari ijtihad para ulama guna memudahkan para pembaca al-Qur‟an agar
yang tepat, maka hal itu akan mengubah makna al-Qur‟an. Salah satu contohnya
ialah ketika membaca QS. al-Ma‟un : 4. Jika berhenti pada ayat tersebut, maka
ayat tersebut akan berarti : “maka celakahlah orang-orang yang shalat”. Hal ini
merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena tidak mungkin orang yang
disambung dengan ayat berikutnya yang berarti : “yaitu orang-orang yang lalai
dari shalatnya”. Untuk itu, muncul beragam tanda waqaf dalam al-Qur‟an
1
Penjelasan yang cukup rinci mengenai hal ini dapat dilihat pada Muhaimin, “Perbedaan
Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur‟an dan Implikasinya Terhadap Makna al-Qur‟an”, Skripsi
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007. Dalam salah satu sub babnya, ia
menjelaskan secara cukup mendetail tentang perkembangan tanda waqaf mulai dari awal
kemunculannya di Timur Tengah hingga perkembangannya di Indonesia.
31
32
bentuk resepsi sosial budaya terhadap al-Qur‟an. Disebut demikian, karena awal
mula digunakannya tanda waqaf memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan
konteks sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Apabila para ulama ahli al-
itu, tanda merupakan salah satu unsur budaya dan tanda waqaf yang terdapat
dalam al-Qur‟an pun dapat disebut sebagai budaya. Penggunaan tanda waqaf ini
hendaknya diletakkan pada pangkal suku kata. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa ibtida‟ tidak diletakkan pada pertengahan suku kata sebagaimana tidak
bolehnya waqaf diletakkan pada pangkal suku kata. Namun waqaf sebaiknya
diletakkan pada akhirnya ayat yang sempurna jika nafas mencukupi. Demikian
pula halnya dengan ibtida‟ ialah pada pangkal ayat yang baru dan sempurna pula.
suara dari bacaan selama waktu yang cukup bagi si pembaca untuk menarik nafas
baru sepreti biasanya dengan niat akan memulai bacaan dan bukan berpaling dari
33
bacaan. Waqaf tidak boleh dilakukan pada pertengahan kalimat dan juga tidak
Baqarah, setelah tamat ia meneruskan shalat dan pada akhir bacaan surah al-
2. Waqaf yang bertujuan untuk mengambil nafas, karena nafas tidak kuat maka
3. Waqaf yang bertujuan untuk berhenti sebentar saja sehingga tidak sempat
bernafas meskipun hanya sejenak. Waqaf yang terkhir inilah yang kemudian
membaca suatu ayat. Ketika hendak memulai membaca suatu ayat, maka
hendaknya dimulai dengan ayat yang dapat dimengerti artinya, jangan memulai
dengan ayat yang boleh mengubah maknanya seperti – إن اهلل فقري – يد اهلل مغلولة
إن اهلل ثالث ثالثة dan seandainya terpaksa berhenti pada salah satu contoh ayat
seperti di atas disebabkan tidak kuat menahan nafas, maka hendaknya memulai
pada ayat sebelumnya agar tidak salah tentang pengertian ayat tersebut.4 Oleh
2
Muhammad al-Shadiq Ibnu Qamhari, al-Burhân fî Tajwîd al-Qur’an, alih bahasa Abu
Bakar Bahrun, (Bandung: Triganda Karya, 1995), Cet. ke-1, h. 92
3
Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, (Surabaya: Karya Aditama, 1995), Cet. ke-1,
h. 154 - 155
4
A. Ghani, Hukum Waqaf dan Ibtida’, (Kuala Lumpur: Daar al-Nu‟man, 1995), Cet. ke-1,
h. 58
34
sebab itu, perlu pemahaman lebih lanjut tentang kosa kata ibtida‟ dalam al-
Qur‟an.
Ibtida‟ adalah memulai membaca al-Qur‟an baik memulai dari awal maupun
meneruskan bacaan yang semua dihentikan. Melihat konsep seperti ini, dapat
diketahui bahwa ibtida‟ mempunyai dua versi. Pertama, memulai membaca al-
Qur‟an untuk pertama kali misalnya, setelah shalat seseorang membaca surah al-
Baqarah, ketika membaca lafadz آملitulah yang dinamakan ibtida‟ yaitu memulai
pertamakali membaca al-Qur‟an. Kedua, memulai membaca al-Qur‟an setelah
membaca surah al-Fatihah ayat pertama dan kedua yaitu احلمد،بسم اهلل الرمحن الرحيم
هلل رب العاملنيlalu berhenti, kemudian diteruskan dengan ayat yang ketiga, maka
pada saat memulai membaca ayat ketiga itulah yang disebut dengan ibtida‟.5
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kosa
kata waqaf dan ibtida‟ merupakan metode bacaan yang dilafadzkan oleh si
pembaca ketika membaca ayat-ayat suci al-Qur‟an dengan tujuan agar memahami
Dalam penjelasan secara singkat tentang asal usul waqaf dan ibtida‟ yang
terdapat dalam al-Qur‟an disebutkan bahwa metode dalam menetapkan waqaf dan
tepat dan mengacu pada pendapat para mufassir dan ulama ahli waqaf dan ibtida‟.
5
Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 153
35
1. Pendapat ulama ahli waqaf dan ibtida‟. Misalnya waqaf pada firman Allah
Artinya : “Shibghah Allah dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari
pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah” (QS.
Al-Baqarah : 138).
hukumnya hasan.6 Contoh lainnya adalah firman Allah SWT dalam QS. Ali
Artinya : “Katakanlah: Benarlah (apa yang difirmankan) Allah, maka ikutilah
agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah Dia Termasuk orang-
orang yang musyrik” (QS. Al-Imran : 95).
2. Pendapat ulama tafsir, seperti waqaf pada QS. Ali Imran/3 : 181 adalah
sebagai berikut :
6
Al-Asymuni, Manar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtid’, (Kairo: Daar al-Hdits, 2008),
Juz I, h. 6
7
Abû Amr al-Dani Sâid Usmân, al-Muktafa fî al-Waqaf al-Ibtida’, (Kairo: Dâr al-Sahabah,
2006), h. 63
36
kalimat setelahnya maka akan terkesan kalimat setelahnya yaitu Kami akan
3. Pakar tajwid sepakat bahwa waqaf pada kata yang berstatus hasan ini
dibolehkan, tetapi mereka tidak sepakat tentang ibtida‟ dari kata berikutnya.
Syekh al-Mar‟syi berpendapat bahwa ibtida‟ dari kata berikutnya tidak baik,
dari tempat waqaf atau dari kata sebelumnya sehingga menjadi susunan
kalimat yang baik. Syekh Ibnu Qosim berpendapat bahwa ibtida‟ dari kata
berikutnya adalah boleh, karena kalimat yang telah dibaca ada pengertiannya
sehingga tidak perlu diulang. Imam Suyuthi berpendapat bahwa ibtida‟ dari
kata berikutnya tidak baik, kecuali bila bertepatangan dengan ro‟su ayat.
Ibtida‟ dari ro‟su ayat selamanya baik walaupun waqaf sebelumnya berstatus
hasan, karena adanya hadits tentang berwaqaf pada ro‟su ayat. Pendapat imam
Suyuthi ini tampaknya lebih menekankan pada segi ta‟abudi bahkan dikatakan
sunnah hukumnya.8
8
Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwid Plus, (Surabaya: Halim Jaya, 2008), Cet. ke-2, h. 205
37
dimengerti dan ibtida‟ dari kata berikutnya tidak merusak pengertian atau makna
Dalam hal seperti ini, ibtida‟ dari kata berikutnya tentu lebih utama. Sementara
itu, ada pula susunan kalimat yang sagat erat hubungannya yang dalam hal ini
adalah ibtida‟ dengan cara mengulang tentu lebih baik.9 Hal ini sesuai dengan
waqaf apa pun pada tiap akhir ayat. Mereka mengikuti pendapat yang
membolehkan waqaf pada akhir ayat secara mutlak meski masih mempunyai
keterkaitan makna yang erat dengan ayat setelahnya atau bisa merusak makna bila
tidak ada waqaf pada ayat tersebut.10 Misalnya saja waqaf pada akhir QS. al-
Baqarah/2: 219 dan QS. al-Ma‟un/107: 4. Pada kedua ayat ini para ulama tidak
mencantumkan tanda waqaf ( )الdengan dalil beberapa riwayat hadits Nabi yang
bacaannya ayat per ayat. Beliau membaca basmallah lalu berhenti; membaca al-
Hal ini disebabkan makna memutus bacaan di sini adalah waqaf pada tiap
ayat, maka berhenti pada akhir tiap ayat adalah sunnah yang telah dicontohkan
oleh Rasulullah SAW. Atas dasar ini, para ulama tidak merasa perlu
9
Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwid Plus, h. 205
10
Abdul Karim Ibrahim Awal Salih, al-Waqf wa al-Ibtida’ Sillâtuhuma bî al-Ma’na fî al-
Qur’an al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Salam, 2008), h. 36
11
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dâr al-Ihya al-Turats al-„Arabi, tth), Juz V, h.
185. Bab Sawab al-Qur’an, Sub bab : Bagaimana Rasul Membaca al-Qur‟an, hadits No. 2927.
38
waqaf di akhir tiap ayat.12 Meskipun waqaf pada akhir ayat tersebut memiliki
kesan berbeda-beda sesuai dengan keterkaitan yang kuat dengan ayat setelahnya
baik dari segi lafadz maupun dari segi makna atau dari keduanya. Bila melihat
kenyataan ini memang banyak sekali ayat yang masih punya keterkaitan yang kuat
dengan ayat berikutnya sehingga tanda waqaf pada akhir ayat tersebut banyak
khususnya.13
waqaf itu dibolehkan pada akhir ayat secara mutlak meski masih mempunyai
keterkaitan makna yang erat dengan ayat setelahnya. Hal ini disebabkan makna
memutus bacaan di sini adalah waqaf pada tiap ayat, maka berhenti pada akhir
tiap ayat adalah sunnah seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Paling tidak ada dua hal yang bersifat prinsipil terkait dengan masalah
mushaf standar Indonesia dan mushaf Madinah. Kedua hal tersebut adalah :
12
Ada dua mazhab utama dalam masalah waqaf di akhir ayat. Pendapat pertama
mengharuskan waqad di akhir ayat berdasarka riwayat hadits di atas. Pendapat kedua
membolehkan washl dengan ayat berikutnya terutama bila maknanya saling berkaitan. Lihat Abdul
Karim Ibrahim Awad Salih, al-Waqf wa al-Ibtida’ Sillâtuhuma bi al-Ma’na fi al-Qur’an al-Karim,
h. 35
13
Ahmad Badruddin, “Waqf dan Ibtida‟ Dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah serta Pengaruhnya Terhadap Penafsiran”, Suhuf, Vol. 6, No. 2, 2013, h. 180
39
dilakukan ulama al-Qur‟an dalam menetapkan waqaf dan ibtida‟ pada Mushaf
Standar Indonesia adalah (a) berpedoman pada mushaf yang telah beredar
kitab-kitab tafsir untuk melihat korelasi dan ketepatan makna; (c) selama tidak
sebaliknya, bila dianggap lemah atau bermasalah maka ia akan dirubah atau
disesuaikan.14
1979/1980 antara lain adalah Jami’ al-Bayan karya al-Thabari, Ruh al-Ma’ani
karya al-Alusi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi dan Manaar al-
waqaf hasil ijtihad para ulama yang terekam dalam al-Qur‟an cetakan
dari referensi tersebut yakni Jami’ al-Bayan sebenarnya adalah Tafsir Gara’ib
Husain al-Naisaburi yang kebetulan disertakan sebagai bagian dari tafsir itu.
14
Puslitbang Lektur Keagamaan, Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama al-Qur’an V,
(Jakarta: Departemen Agama, 1979), h. 33-38
15
Puslitbang Lektur Keagamaan, Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama al-Qur’an V, h.
27
40
20.
agar tidak disangka bahwa kalimat setelahnya merupakan sifat dari kata ini.16
malaikat atau menjadi khabar jumlah dari kata al-laziina yang menjadi
16
Nizamuddin al-Hasan bin Muhammad Husain al-Naisaburi, Gara’ib al-Qur’an wa
Raga’ib al-Furqan, (Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1972), Cet. ke-2, Juz VII, h. 112
17
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, (Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1972), Juz VII, h. 505
41
berikut :
Kata kalla pada ayat ini termasuk yang diharuskan waqaf oleh al-
didasarkan pada pendapat ini mencantumkan tanda waqaf (qolaa) setelah kata
ini.
Dalam penjelasan singkat tentang asal usul waqaf dan ibtida’ Mushaf
Madinah disebutkan bahwa tim panitia dalam menetapkan waqaf dan tanda-
Berdasarkan uraian di atas, maka ada tiga sumber waqaf dan ibtida‟
18
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1972), Juz I, h. 448
19
Mushaf Madinah, (Madinah: Mujamma‟ al-Malik Fahd Littiba‟i al-Mushaf, 1985), h. 6
42
a. Pendapat para ulama ahli waqaf dan ibtida‟. Misalnya waqaf pada firman
Allah SWT dalam QS. al-Baqarah : 138 dan QS. Ali Imran : 95 seperti
b. Pendapat ulama tafsir seperti waqaf pada QS. Ali Imran : 181. Hal ini juga
c. Ijtihad tim penyusun. Pada dua ayat ini, tim penyusun tidak
Qur‟an. Misalnya riwayat dari Ummu Salamah, bahwa ketika membaca al-
Qur‟an, Rasulullah SAW selalu memutus bacaannya ayat per ayat. Beliau
banyak mencantumkan tanda waqaf di akhir ayat. Salah satu alasan kuat
20
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Daar al-Ihya al-Turas al-„Arabi. t.th), Juz V, h.
185, bab Sawab al-Qur’an, sub bab “Bagaimana Rasululllah SAW membaca al-Qur‟an”, hadis no.
2927
21
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, h. 505
BAB IV
SAW. Adanya ragam bacaan tersebut ditulis pertama kali dalam mushaf secara
resmi oleh Usman bin Affan pada masa pemerintahannya (23-35) H.1 Mushaf-
mushaf inilah yang kemudian disebar ke berbagai kota di jazirah Arab dengan
disertai seorang qari‟ untuk setiap mushaf yang dikirim.2 Sedangkan satu mushaf
tetap disimpan di Madinah yang menjadi standar dan rujukkan akhir apabila
tulisan.
Bentuk tulisan dalam mushaf Usmani pada awalnya ditulis tanpa ada titik,
harakat dan tanda waqaf. Keadaan seperti ini berjalan selama hampir 40 tahun
1
Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa ciri dan karakteristik mushaf yang
ditulis pada masa khalifah Usman ini di antaranya adalah mencakup apa yang termuat dalam
bentuknya yang tujuh huruf yang mana al-Qurán itu diturunkan dengannya. Lihat Abu Amr al-
Dhani, al-Ahruf al-Sabáh li al-Qurán, (Jeddah: Dâr al-Manarah lî al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1997),
Cet. ke-1, h. 60. Lihat juga Abdurrahman bin Ibrahim al-Matrudi, al-Ahruf al-Qur’aniyah al-
Sab’ah, (Riyadh: Dâr al-Alam al-Kutub, 1991), Cet. ke-1, h. 86
2
Mushaf-mushaf dengan masing-masing pola penulisannya ini dikirim ke berbagai kota
sesuai dengan bacaan yang berkembang dan dianut oleh kebanyakan penduduk di daerah tersebut.
Lihat Abd Hadi al-Fadli, al-Qira’at al-Qur’aniyyah; Tarikh wa Ta’rif, (Beirut: Daar al-Majma‟ al-
Ilmi, 1979), h. 132. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa khalifah Usman bin Affan
memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai imam qira‟at di Madinah, Abdullah bin al-Saib di Mekkah,
al-Mughirah bin Syihab di Syam, Abu Abdurrahman al-Sulami di Kufah dan Amir bin Abd. al-
Qais di Basrah. Mereka mendapat rekomendasi dari Khalifah ini selanjutnya diinstruksikan untuk
mengajarkan kepada sahabat dan tabi‟in yang lainnya berdasarkan mushaf yang dikirim ke daerah
masing-masing. Lihat Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, Manâhil al-Irfan fî Ulûm al-Qur’an,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), Juz I, Cet. ke-1, h. 278 - 279
3
Badruddin Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 2001), Juz I, h. 240. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqân fî Ulûm al-Qur’an,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), Juz I, h. 104
43
44
rentan sekali terjadi kesalahan dalam membaca al-Qur‟an bagi non Arab yang
tidak bisa berbahasa Arab.5 Untuk itu, upaya perbaikan bentuk tulisan mulai
dirasa penting untuk segera dilakukan. Adalah Yahya bin Ya‟mar dan Nasir bin
Asim pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (75 – 86) H yang dikenal
sebagai pemberi tanda titik pada huruf, sedangkan Abu Aswad al-Duwali (w. 69)
Sementara itu, perbaikan yang berkaitan dengan waqaf dan ibtida‟ sudah
muncul pada abad pertama hijriyah, namun pada awalnya masih merupakan
bacaannya6 dan tidak tertulis secara simbolis dalam mushaf al-Qur‟an. Adapun
sumbernya masih terbatas dari Nabi atau imam qira‟at yang menisbatkan
bacaannya kepada Rasulullah SAW. Hingga awal abad kedua hijriyah, sudah
sekaligus meletakkan simbol-simbol tertentu baik pada tengah ayat maupun ujung
Menurut para ulama, ilmu waqaf dan ibtida‟ sangat berguna untuk
dan dapat mendatangkan tujuan makna al-Qurán secara tepat dan benar. Selain itu,
4
Abdul Sabur Syahin, Tarikh al-Qur’an, (Kairo: Nahdah Misr li al-Taba‟ah wa al-Tauzi wa
al-Nasyr, 2007), Cet. ke-3, h. 111
5
Abd. al-Hayy Husin al-Farmawi, Rasm al-Mushaf wa Naqtuh, (Jeddah: Daar al-Nur al-
Maktabah, 2004), h. 287
6
M. al-Azmi, Sejarah Teks al-Qur’an; Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Solihin,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 123 - 128
7
Al-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, Juz I, h. 415. Lihat juga Abdul Qayyum al-
Sindi, Safahat fî Ulûm al-Qur’an, (Mekkah: Maktabah al-Imdadiyyah, 2001), h. 173
8
Ibn al-Jazari, al-Nasyr fî Qira’at al-Asyr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tth), h. 242.
Lihat juga al-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, Juz I, h. 342
45
urgensi menguasai ilmu ini adalah untuk memahami makna al-Qur‟an dan
yang dibaca dan yang ditulis, maka cara menyampaikan bahasanya yang baik
adalah yang mampu mengungkapkan sebuah gagasan atau konsep yang jelas,
teratur dan indah sehingga enak didengar dan tidak mudah menimbulkan salah
paham.10 Di sinilah letak arti penting kajian mengenai waqaf dan ibtida‟.
makna dan berimplikasi terhadap hukum waqaf dan ibtida‟ ini dapat ditemukan
dalam beberapa ayat al-Qur‟an di antaranya QS. al-Baqarah : 125 adalah sebagai
berikut :
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman dan jadikanlah
sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat dan telah Kami perintahkan
kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-
orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS. al-
Baqarah : 125).
9
Manna‟ Khalil al-Qathan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),
Cet. ke-11, h. 176. Lihat juga Husni Syeikh Usman, Haqq al-Tilâwah, (Jeddah: Dâr al-Manarah,
1988), Cet. ke-12, h. 73 – 74. Dalam sebuah pernyataan yang dikutif dari Abu Bakar al-Anbari (w.
328 H), ia mengatakan: min tamam (i) ma’rifat (i) al-Qur’an ma’rifat (u) al-waqaf wa al-ibtida’
fihi, bahwa salah satu kesempurnaan dalam memahami makna atau isi kandungan al-Qur‟an adalah
pengetahuan yang cukup tentang hukum al-waqaf dan al-ibtida’. Lihat Abu Bakar Muhammad ibn
Qasim ibn Basyar al-Anbari, Kitâb Idah al-Waqaf wa al-Ibtida’fi Kitabillah Azza wa Jalla,
(Damaskus: Majma‟al-Lughah al-Arabiyyah, 1971), Juz I, h. 108
10
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 5
46
Pada ayat di atas, qira‟at Nafi membaca huruf „ta‟ pada kata tersebut
dengan harakat fathah (tanda bunyi „a‟), dalam bentuk kata kerja lampau yaitu
kata ittakhaju.11Jika dilihat dari segi analisis tata gramatika menurut versi bacaan
ini, kata tersebut harus ma’tuf (dihubungkan) dengan kata ganti orang kedua yang
terdapat dalam kata wa ij pada ayat sebelumnya. Sedangkan jika dilihat dari aspek
pemaknaan, versi bacaan ini sebenarnya ingin memaknai ayat tersebut sebagai
pemberitaan tentang kisah orang-orang beriman pada masa nabi Ibrahim bahwa
ََت
َ ََالبََي
َ ي َ ََج ََعلَنََا
ََ َوَاذ ُكَ َر َ ََح
ََ ...َ ات َِ يَ ََاِبَتََلَى َإَِبَََر
ٍَ اىيَ َُم َبَِ َك َالِ ََم ِ
َ ََمَمَ َد! َح
َُ ََوَاذ ُكَ َر َيََا
ََم َق ِام َإِب َر ِاىي َم َال ِذى َ ُُِس َي ِ َواذ ُكر َاَيضا َحي َاَّتَ َذ َالن،اس َوأَمنَا
َ اس َمن ُ ََ ً َ
ِ
َ َِ َََمثََ َابََة َلَلن
ِ ِ ِ ِِ ِ ِِ ِ ِ
ََع ِهدنَا َإِ ََل
َ ي َ ََواذ ُكر َح،صلُّو َن َإِلَي َهاَ ُبِوَِ ِإلىت َمامو ََوإِس َكان َذُِّريَتو َعن َدهُ َقب لَةٌ َي
َ 13....َإِب َر ِاىي َم
Semua pernyataan tersebut diungkapkan dengan bentuk pemberitaan yang
menurut Makki al-Qisi berfungsi sebagai tanbih atau tazkir (peringatan) bagi Nabi
SAW.14 Oleh sebab itu, derajat atau hukum berhenti membaca pada kata wa
11
Abu Amar al-Dhani, Jâmi’ al-Bayân fî Qira’ati al-Sab’, (Mekkah: Jami‟ah Ummul Qurra,
1995), h. 112. Lihat juga Muhammad Ibrahim, Farîdah al-Dahr fî Ta’sîl wa Jam’ al-Qira’at al-
Asyar, (Kairo: Daar al-Bayan al-Arabiy, tth), Juz II, h. 174. Bandingkan dengan Abdul Fattah
Abdul Ghani al-Qadi, al-Budûr al-Zahirah fî al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah, (Beirut: Daar
al-Kitab al-Arabiy, tth), h. 40
12
Maqam secara harfiah berarti tempat berdiri. Sedangkan yang dimaksud dengan maqam
Ibrahim di sini adalah sebuah batu tempat beliau berdiri dahulu ketika membangun ka‟bah. Lihat
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), Vol. I, h. 329
13
Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
Juz I, Cet. ke-1, h. 552
14
Abi Muhammad Makki ibn Abi Thalib al-Qisiy, al-Kasyf ‘an Wujuh al-Qira’at al-Sab’
wa Illahiha wa Hijajiha, (Beirut: Muasassah al-Risalah, 1984), Juz I, Cet. ke-3, h. 263
47
amanna termasuk waqaf hasan,15 karena masih ada keterkaitan baik dari segi
lafadz maupun makna dengan kalimat selanjutnya. Dengan kata lain, semua anak
kalimat yang terdapat dalam ayat ini masih merupakan kesatuan wacana yang
Adapun bacaan lain termasuk Ashim, membaca kata tersebut dalam benuk
kata kerja imperative. Dari versi bacaan seperti ini, bias diartikan bahwa perintah
yang dituju dalam konteks ayat ini adalah Nabi Ibrahim dan keturunannya atau
bisa juga dimaksudkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kalimat ini
bahasa Arab dalam konteks ayat ini, maka berhenti membaca pada kata wa amna
termasuk jenis waqaf tamm,17 karena sudah tidak ada lagi keterkatian lafadz dan
ditulis dalam mushaf yang berbeda dan terkadang juga dengan bentuk yang
berbeda pula. Dalam hal ini, mushaf yang dikirim untuk penduduk Kufah
dipegang oleh Imam Asim, sementara Imam Nafi‟ lebih banyak mengambil dari
15
Waqaf hasan adalah waqaf yang diperbolehkan berhenti di tempat tersebut, namun secara
lafadz dan makna masih berkaitan dengan kalimat setelahnya. Ada juga yang mengartikan bahwa
dibolehkan waqaf di tempat tersebut, namun tidak boleh ibtida‟pada kalimat selanjutnya, karena
makna dan lafadz kalimat sesudahnya itu memerlukan pada kalimat sebelumnya, tidak bisa dipisah
sendiri-sendiri. Lihat Abi Hasan Alam al-Dhin Ali bin Muhammad al-Sakhawi, Jamal al-Qurra
wa Kamal al-Aqra’, (Beirut: Dâr al-Ma‟mun li al-Turas, 1997), Cet. ke-1, h. 684. Bandingkan,
Husni Syekh Usman, Haqq al-Tilawah, h. 93.
16
Fakhruddin al-Razy, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), Juz VI, Cet. ke-1, h. 53
17
Waqaf tamm adalah berhenti membaca di tempat yang kalimatnya sudah sempurna, dan
tidak ada keterkaitan dengan kalimat sesudahnya baik secara lafadz maupun makna. Lihat Ibn al-
Tahhan, Nizam al-Ada fi al-Waqaf wa al-Ibtida’, (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, tth), h. 30
48
dinisbatkan kepada imam atau rawi dari bacaan yang bersangkutan. Misalnya al-
Mushaf al-Karim bi riwayah Hafs ‘an Ashim (mushaf al-Qur‟an dengan riwayat
Hafs dari Ashim), al-Mushaf al-Karim bi riwayah Qalun al-Nafi’ (Mushaf al-
Adapun deskripsi kedua mushaf qira‟at ini di antaranya dari segi perbedaan
mushaf Kufah dengan mushaf Madinah. Demikian pula dengan jumlah ayatnya,
mushaf qira‟at Ashim mengikuti pendapat ulama Kufah yaitu sebanyak 6236 ayat.
Sedangkan jumlah ayat dalam mushaf qira‟at Nafi‟ adalah mengikuti pendapat al-
bacaan terhadap hukum waqaf dan ibtida‟, maka langkah selanjutnya adalah
aplikasi tanda waqaf dalam sebuah mushaf. Pada sebagian mushaf qira‟at lainnya
hanya meletakkan simbol tertentu untuk semua tanda waqaf dalam mushaf
tersebut, padahal jika diteliti lebih jauh masing-masing bacaan tentunya memiliki
Berdasarkan contoh kasus di atas, maka dapat dipahami bahwa waqaf dan
ibtida‟ dipengaruhi oleh linguistik Arab. Paling tidak, ada dua aspek yang dapat
semantik dan sintaksis. Aspek semantik yang digunakan oleh seseorang dalam
Contoh dari pemahaman makna tanpa terikat dengan simbol waqaf adalah
َ ََديَا ِرِىم ِ ُُثَاَن تُمَىؤالَِءَتَقتُلُو َنَأَن ُفس ُكمَوََّت ِرجو َنَفَ ِري ًق
ِ اَمن ُكم َِمن
ُ َ َ َُ
2. Pemahaman makna yang terikat dengan simbol waqaf
Contoh pemahaman makna yang terikat dengan simbol waqaf adalah firman
Contoh pemahaman makna pada kata-kata yang mudah adalah firman Allah
dalam al-Qur‟an adalah aspek sintaksis. Dalam aspek sintaksis, dua kategori yang
diaplikasikan oleh seorang qari‟ dalam membaca al-Qur‟an adalah huruf wau dan
struktur ayat. Dalam membicarakan huruf wau, terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi para qari‟ dalam melakukan waqaf yang didasarkan pada huruf
wau yaitu :
1. Kesempurnaan ayat
dalam ilmu sintaksis yaitu ayat yang mengandung paham yang telah sempurna
2. Pemberian maklumat
huruf wau.
50
3. Pengaruh makna
Seorang qari‟ tiba-tiba berhenti membaca karena tidak kuat menahan nafas,
maka hal itu dikategorikan sebagai makna yang tidak sampai. Kata kunci
meskipun para qari‟ tidak memahami makna ayat yang dibaca secara keseluruhan.
penelitian terhadap baris atau struktur ayat diberi penekanan terhadap pemahaman
kebanggaan orang yang berilmu dan dengan waqaf dapat diketahui makna yang
berbeda, ketetapan yang berlainan serta antara dua hukum yang berlainan.18
Demikan pula halnya dengan ibtida‟. Penjelasan secara singkat tentang asal usul
waqaf dan ibtida‟disebutkan bahwa tim penyusun dalam menetapkan waqaf dan
mempertimbangkan makna yang tepat dan mengacu pada pendapat para mufassir
18
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin al-Qur’án dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2016), Cet. ke-1, h. 166
19
Abu Amr al-Dani Usman Said Usman, al-Mukhtafa fî al-Waqaf wa al-Ibtida’, (Kairo:
Daar al-Sahabah, 2006), h. 63
51
ayat.20 Bila melihat kenyataan ini memang banyak sekali ayat yang masih punya
keterkaitan yang kuat dengan ayat berikutnya sehingga tanda waqaf pada akhir
ayat ini banyak membantu memberi pemahaman yang utuh dalam bacaan sebuah
ayat al-Qur‟an.
berkaitan dengan waqaf dan ibtida‟. Waqaf di saat melakukan bacaan al-Qur‟an
memerlukan pengetahuan yang khusus agar bacaan al-Qur‟an terdengar bagus dan
indah. Dengan adanya waqaf, maka dapat dibedakan antara dua makna yang
berbeda dan dua makna yang berlawanan serta dua hukum yang berbeda.21
Oleh sebab itu, bagi pembaca al-Qur‟an yang sudah memahami al-Qur‟an
dengan baik, maka akan mampu menentukan waqaf dengan tepat walaupun tanpa
karena salah satu dari manfaat waqaf adalah untuk memahami makna ayat suci al-
Qur‟an.
20
Al-Zarkasy, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Mishriyyah, tth), Juz I, h. 505
21
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin al-Qur’án dan Ilmu Tajwid, h. 165
22
Muhammad Isham Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala
Tingkatan, (Jakarta: Turos, 2015), Cet. ke-1, h. 151
52
Tanda waqaf ini diletakkan ketika maksud ayat sudah sempurna. Kandungan
tandanya tidak dapat terlihat jelas kecuali dengan waqaf. Jika pembaca
pendengar.
Waqaf ini lebih diutamakan dari pada waqaf washal meskipun diperbolehkan
washal.
juga.
Hukum waqaf jaiz (boleh) tanpa mengutamakan antara waqaf dan washal.
salah satu dari dua tempat yang terdapat tanda titik tiga di atasnya. Jika sudah
waqaf pada tempat pertama, tidak boleh lagi waqaf pada tempat kedua. Begitu
juga, bila hendak waqaf pada tempat kedua, maka tidak boleh waqaf pada
tempat tersebut.
Tidak diperbolehkan waqaf pada lafal yang terdapat tanda itu di atasnya lalu
mengawali bacaan dengan lafal berikutnya. Tanda waqaf ini hanya berlaku
53
jika terdapat pada pertengahan ayat saja. Tidak berlaku apabila terdapat pada
ujung ayat karena sudah berlaku kesunahan waqaf pada setiap akhir ayat.
bahwa waqaf lazim akan berpengaruh pada makna al-Qur‟an jika pembaca
meneruskan lafal selanjutnya. Oleh sebab itu, para pembaca al-Qur‟an harus hati-
hati dalam membaca al-Qur‟an apabila berhadapan dengan waqaf lazim. Jika tidak
diperhatikan oleh pembaca dalam membaca al-Qur‟an, maka tanda waqaf ini akan
dan tempat waqaf serta ibtida‟dalam al-Qur‟an. Kedua, adanya perbedaan ini
disebabkan oleh adanya tata gramatika bahasa Arab dan pemaknaan ayat. Hal ini
yang dikehendaki oleh suatu ayat sehingga kekeliruan dalam tata cara berhenti
dan memulai dapat berakibat terhadap pemaknaan yang tidak sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh bacaan tersebut. Ketiga, dengan landasan adanya perintah
untuk membaca al-Qur‟an secara tartil dan teori kajian pengaruh bacaan terhadap
waqaf dan ibtida‟ yang sangat memperhatikan kesemurnaan kalimat dan makna
ketika berhenti dan memulai bacaan, maka tanda-tanda waqaf dalam sebuah
mushaf yang beredar selama ini kiranya perlu untuk dikritisi dan dikaji ulang.
Membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar perlu disandarkan pada empat
ciri utama yaitu kelancaran, panjang dan pendek, dengung serta tebal dan tipis.
54
Salah satu tanda baca dalam al-Qur‟an adalah waqaf dan ia merupakan salah satu
ciri kelancaran yang perlu dikuasai dalam bacaan al-Qur‟an. Abdul Hamid
kemampuan menggunakan waqaf ini wajib diketahui oleh setiap pembaca al-
Qur‟an.23 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut :
Artinya : “Atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah al-Quran itu dengan
perlahan-lahan” (QS. Al-Mujammil : 4).
waqaf merupakan salah satu ciri kelancaran dan tartil yang kedua-keduanya
merupakan aspek yang paling penting yang perlu diperhatikan dalam bacaan al-
memutuskan suara dengan perkataan yang berada sesudahnya.24 Waqaf juga dapat
dipahami sebagai pemutusan sebentar suara dari perkataan ketika membaca al-
Qur‟an. Namun kebanyakan di antara para pakar Arab menjelaskan bahwa jika
seorang qari‟ itu memutuskan sebentar suara dari membaca al-Qur‟an tanpa
mengambil nafas yang baru, maka hal ini dinamakan saktah berbanding dengan
23
Su‟ad Abdul Hamid, Taysîr al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an, (Kahirah: Dâr al-Taqwa li
al-Nasyr wa al-Tawzi, 2001), h. 17
24
Al-Ashmuni, Manaar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2002), h. 67
55
waqaf dimana seorang qari‟ itu memutuskan sebentar suara dengan mengambil
kembali bacaan dan tidak berniat untuk berhenti. Hal ini perlu dilakukan pada
akhir atau pertengahan ayat dan bukan pada pertengahan atau perkataan yang
memutuskan suara bacaan di akhir perkataan hanya untuk sekedar bernafas guna
bacaan. Dengan demikian, ilmu waqaf merupakan satu subyek untuk mengetahui
Berangkat dari pemikiran di atas, maka tidak ada pendapat yang disepakati
ulama dalam hal menentukan tempat yang sesuai dalam melakukan waqaf. Hal ini
disebabkan oleh tidak adanya tanda-tanda yang tepat dalam menentukan tempat
guna melakukan waqaf atau hukum secara jelas tentang waqaf apakah ia wajib,
Waqaf dan ibtida‟ merupakan salah satu ilmu terpenting dalam kajian ilmu
al-Qur‟an. Penguasaan ilmu ini menjadi sebuah keharusan bagi setiap orang yang
ilmu waqaf dan ibtida‟ini sangat dianjurkan, karena kelemahan dalam memahami
ilmu ini, menyebabkan para pembaca akan berhenti pada kalimat sesuai dengan
Oleh sebab itu, menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang untuk mempelajari dan
56
memahami semua kaidah dan metode ilmu tajwid terutama dalam bidang ilmu
dengan bacaan al-Qur‟an, maka symbol yang diletakkan sebagai pedoman umum
yang merupakan ijtihad para ulama terdahulu membantu para pembaca al-Qur‟an
melakukan waqaf dengan mudah. Namun menurut penelitian, tidak ada perbedaan
simbol yang jelas bagi setiap kategori waqaf tersebut karena simbol ini diperoleh
Selain itu, waqaf juga bukanlah suatu perkara putus yaitu wajib berhenti
pada tempat tertentu dan meninggalkannya pada tempat yang lain. 25 Untuk
mendapatkan kepastian dibalik perbedaan pendapat ini, maka setiap ayat perlu
untuk tujuan penafsiran hokum berkaitan dengan aqidah, syari‟ah, social, dan lain
sebagainya. Selain itu, penyelarasan yang berkaitan dengan simbol waqaf dalam
dibaca dengan sempurna tanpa merusak makna atau maksud dari suatu ayat dalam
kesempurnaan manka tidak mungkin berlaku tanpa dikaitkan dengan ilmu waqaf.
Dalam kajian sintaksis, perhatian diberikan pada analisis penggunaan dan susunan
25
Muhammad Rohim Jusoh, Tajwid al-Huruf dan Mengenal Waqaf, (Selangor: Pustaka al-
Khodim al-Mushaf, 2012), h. 75
57
kata dalam ayat. Dalam hal ini, juga dibahas tentang kaidah yang berkaitan
dengan hokum pada akhir kalimat Arab. Kajian cara pembentukan hukum melalui
sempurna dengan melihat pada sudut waqaf yang diharapkan sesuai dengan
kesempurnaan makna.
Dalam kajian semantik yang merupakan disiplin ilmu bahasa Arab yang
orang alim dan dapat membedakan dua makna yang berlainan dan hokum yang
disumbangkan oleh waqaf adalah untuk membedakan dua makna yang berlainan.
Hal ini bertujuan untuk memisahkan dua makna yang berbeda, maka kiranya
Dalam kajian retorik, pembahasan al-fasl dan al-wasl menjurus pada kaidah
ilmu waqaf dan al-fasl dan al-wasl berlaku pada konsep berhenti dan bersambung
dalam ayat yang member implikasi terhadap makna. Kaidah penyambungan dan
pemberhentian yang tepat amat penting untuk mengukur tahap pemahaman dalam
keseluruhan surat ataupun kisah yang terkandung dalam al-Qur‟an dengan hanya
satu nafas. Ketika mencuri nafas antara dua perkataan dalam keadaan
58
bersambung, maka hal itu bukanlah suatu bacaan yang baik dan tertib. Kondisi
melakukan waqaf dalam bacaan al-Qur‟an. Ada yang melakukan waqaf pada akhir
nafas dan ada juga yang menyangka bahwa waqaf perlu dilakukan pada akhir
ayat. Namun yang paling tepat adalah dengan berpedoman pada aspek makna.
Waqaf merupakan faktor utama dalam menentukan tempat waqaf yang diikuti
dengan aspek pernafasan. Oleh sebab itu, berhentilah pada akhir ayat yang telah
tepat dalam bacaan al-Qur‟an. Walaupun bidang linguistik Arab ini sangat luas,
namun cabang yang paling dominan dalam memahami waqaf adalah aspek
sintaksis atau i’rab dan terjemahan atau pemahaman maksud secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa aplikasi ilmu waqaf
merupakan hubungan antara dua aspek yang saling melengkapi antara satu dengan
yang lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan bahasa Arab
dapat mempengaruhi proses waqaf yang didasarkan pada beberapa cirri umum
yaitu qari‟ tidak terlalu terikat dengan pedoman tanda waqaf dalam al-Qur‟an,
mampu melakukan waqaf dengan melihat pada aspek bahasa dan makna serta
mampu mengatasi masalah kekurangan nafas dengan memilih tempat yang sesuai
terhadap tafsir. Tafsir adalah kajian yang berusaha menguraikan dan membahas
maksud Allah SWT dalam al-Qur‟an sesuai dengan kemampuan manusia. Oleh
sebab itu, kajian ini sangat tergantung pada pemahaman yang utuh dan penjelasan
yang komprehensif. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT sebagai berikut :
Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari
secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah : 274).
Ayat ini berisi pujian bagi orang-orang yang gemar berinfak siang atau
Allah SWT menjanjikan pahala yang besar dan mereka tidak akan diliputi rasa
takut dan sedih hati. Kemudian pada ayat berikutnya, Allah SWT berfirman
Ayat ini berisi celaan Allah SWT kepada para perlaku riba. Kandungan ayat
ini sangat bertolak belakang dengan ayat sebelumnya. Jelas pula bahwa sifat-sifat
yang disebut pada ayat ini bukanlah sifat orang yang disebutkan pada ayat
sebelumnya. Oleh sebab itu, diwajibkan waqaf pada akhir ayat pertama dan ibtida‟
pada awal ayat kedua agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman. Ini adalah
berbeda dari biasanya, karena pada umumnya ism mausul merupakan penjelas dari
sebuah ayat al-Qur‟an sangat dibutuhkan apa yang dikenal dengan istilah waqaf.
Pengetahuan tentang waqaf memili kaitan yang erat dengan kajian aqidah.
Pengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap penafsiran dalam kajian aqidah dapat dilihat
26
Tujuh tempat itu sebagaimana dijelaskan oleh al-Zarkasy adalah QS. Al-Baqarah: 121,
146 dan 275. al-An‟am: 20, al-Taubah: 19. al-Furqan: 34 dan al-Mu‟min: 7. Lihat al-Zarkasy, al-
Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, h. 358
61
Artinya: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya,
sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (QS. al-Qashash: 68).
Waqaf pada ( )ويختارyang diberi tanda ( )قلىadalah waqaf tamm.27 Ini adalah
pendapat mayoritas ulama ahli waqaf dan ulam ahli tafsir. Bahkan al-Syaukani
makhluk atas apa yang telah Allah pilih. Pilihan hanya milik Allah SWT dalam
tersembunyi. Tidak ada seorang pun yang menentukan pilihan bagi-Nya. ( )هاpada
ayat ini berfungsi sebagai nafy, ia menafikan pilihan pada makhluk dan
menetapkannya hanya untuk Allah SWT. Dengan penafsiran seperti ini, ayat di
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka …” (QS. al-Ahzab 36)
( )هاكان لهن الخيزةadalah nafy yang universal. Ia mencakup segala aspek yang terkait
27
Ahmad bin Abdul Karim al-Asymuni, Manar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’,
(Beirut:: Daar al-Syuruq, tth), h. 293
28
Muhammad Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut: Maktabah Asyriyah, 1997), Juz V, h. 418
29
Ahmad bin Abdul Karim al-Asymuni, Manar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’, h.
293
62
dengan manusia. Jadi, mereka mendapat hasil apapun dari hasil usahanya kecuali
Berbeda dari itu, beberapa ulama menetapkan waqaf pada kata ( )هايشاءdan
mausulah (sesuatu), sehingga penggalan ayat ini berarti “dan Allah memilihkan
sesuau yang mereka sendiri (manusia) punya pilihan”. Pendapat ini diyakini oleh
Pengetahuan tentang waqaf juga memiliki kaitan yang erat dengan ilmu
fiqh, karena perbedaan waqaf mengakibatkan perbedaan dalam suatu hukum fiqh.
Misalnya hukum tidak mengucap basmalah pada saat menyembelih hewan. Hal
َ ُ َِ َوالََتَأَ َُكلََُو
ٌَ َاَمَاَ َلََيَُذ َك َِرَاسَ َمَاللََِ ََعلَيَ َِوَ َوإَِنَ َوَُلََِفس
َق
َ
Artinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan”.
bahwa membaca basmalah atau menyebut nama Allah SWT ketika menyembelih
30
Abu Abdillah Muhammad Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, al-Jami’ li al-Ahkam al-
Qur’an, (Beirut: Daar al-Fikr, 1993), Juz VII, h. 280
31
Abu al-Fadl Syihabuddin Sayyid Muhammad al-Alusi, Ruh al-al-Ma’ani, (Kairo: Daar al-
Hadits, 2005), Juz X, h. 408. Lihat juga Muhammad Fakhruddin al-Razi bin Diya‟uddin Umar,
Tafsir al-Kabir, (Beirut: Daar al-Fikr, 1995), Juz XIII, h. 11
63
lupa, maka hal itu tidak menjadi masalah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-
dimakan. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Hanifah serta satu riwayat dari
Malik dan Ahmad.32 Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan waqaf pada
Kelompok pertama menyebutkan bahwa tidak ada waqaf pada ()اسن عليه, dan
hal (menjelaskan kondisi). Dengan demikian, arti ayat ini adalah “janganlah
kalian memakan sembelihan orang yang tidak menyebut nama Allah sementara
keadaan orang tersebut adalah fasiq”. Jadi, kefasikan itu melekat pada diri orang
yang menyembelih ketika ia tidak menyebut nama Allah SWT. Kelompok ini
menguatkan pendapatnya dengan sebab turunnya ayat ini. Ayat ini turun berkaitan
diharamkan ?33
Kelompok kedua menyatakan bahwa waqaf dibolehkan pada kata ()اسن عليه.
menyebut nama Allah. Ibtida‟ dengan kata ( )وإنه لفسقmenurut mereka, berfungsi
umum, bukan saja berlaku bagi sembelihan orang musyrik seperti dibantah oleh
32
Muhammad Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I, h. 224. Lihat juga Ibnu al-Arabi, al-
Ahkam al-Qur’an, Juz II, h. 272 dan lihat juga al-Jasas, Ahkam al-Qur’an, Juz III, h. 10
33
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, (Beirut: Mu‟asassah al-
Halabi, tth), h. 150
64
kelompok pertama, tetapi juga bagi semua sembelihan yang tidak disertai
sembelihan orang yang lupa menyebut nama Allah, karena ia tidak termasuk
34
Ibnu al-„Arabi, Ahkâm al-Qur’an, Juz II, h. 274
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian, penjelasan dan analisa sebagai hasil kajian yang berkenaan
dengan pengaruh waqaf dan ibtida’ terhadap terjemah dan tafsir, maka sebagai
bacaannya pada kata yang tepat sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
pemahaman dan penafsiran, karena waqaf dan ibtida’ mempunyai pengaruh yang
B. Saran
Dari hasil studi dan pembahasan tentang pengaruh waqaf dan ibtida’
terhadap terjemah dan tafsir yang tertuang dalam skripsi ini, kiranya tidak
1. Pada saat membaca al-Qur’an, banyak di antara para qari’ yang tidak
dan mempelajari mana cara yang benar dan yang salah dalam masalah waqaf.
65
66
2. Pada saat membaca al-Qur’an, biasanya banyak di antara para qari’ yang
3. Mempelajari aturan dan kaidah mengenai waqaf dan ibtida’ membuat setiap
qari’ akan terhindar dari kesalahan membaca al-Qur’an. Untuk itu, setiap qari’
huruf dengan berpedoman kepada ilmu tajwid dan mengetahui posisi serta
4. Kesalahan fatal yang dialami oleh mayoritas kaum muslimin yang tergolong
mendapatkan guru ngaji yang mempunyai ilmu yang mumpuni ketika mereka
belajar dahulu dan ketika mereka beranjak dewasa, bacaannya tetap lestari
dengan berbagai kesalahan yang tidak disadari. Oleh sebab itu, para guru ngaji
cenderung termarjinalkan dan luput dari perhatian. Oleh sebab itu, para pakar
sehingga ajaran Islam tidak lagi ada di permukaan, tetapi sudah menjadi
Abdillah Muhammad Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, Abu, al-Jami’ li al-
Ahkam al-Qur’an, Beirut: Daar al-Fikr, 1993, Juz VII
Al-Asymuni, Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim, Manar al-Huda fi Bayan
al-Waqaf wa al-Ibtida’, Kairo: Daar al-Hadits, 2008, Juz I
Amr al-Dani Said Usman, Abu, al-Muktafa fi al-Waqaf al-Ibtida’, Kairo: Daar al-
Sahabah, 2006
Annuri, Ahmad, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2010, Cet. ke-1
AR., Mamsudi, Dienul Islam, Jakarta: LPPTKA BKPRMI DKI Jakarta, 2001
Arifin, Imam, Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan, Malang:
Kalimasahada Press, 1996
Arifin, Zainal, “Mengenal Mushaf Standar Usmani Indonesia”, Jurnal Suhuf, Vol.
4, No. 1, 2011
Bahruddin, Ahmad, “Waqaf dan Ibtida‟ Dalam Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah; Pengaruhnya Terhadap Penafsiran”, Jurnal Kajian al-
Qur’an (Suhuf), Vol. 6, No. 2, 2013
Ghani, A., Hukum Waqaf dan Ibtida’, Kuala Lumpur: Daar al-Nu‟man, 1995, Cet.
ke-1
Ismail, Tekan, Tajwid al-Qur’an al-Karim, Jakarta: Zikra, 1997, Cet. ke-10
67
68
Katsir, Ibnu, al-Bidayah wa al-Nihayah, Kairo: Daar al-Turas al-„Arabi, 1988, Juz
II
Khalil al-Qattan, Manna‟, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir AS.,
Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013, Cet. ke-16
Malik, Imam, al-Muwatta’, Mesir: Daar al-Ihya‟ al-Turas al-„Arabi, tth, Juz II
Mujib Ismail, Abdul, Pedoman Ilmu Tajwid, Surabaya: Karya Aditama, 1995,
Cet. ke-1
Al-Naisaburi, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, Beirut: Mu‟asassah
al-Halabi, tth
Tekan, Ismail, Tajwid al-Qur’an al-Karim, Jakarta: Zikra, 1997, Cet. ke-10
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Daar al-Ihya al-Turas al-„Arabi, tth, Juz V
Wahyudi, Moh., Ilmu Tajwis Plus, Surabaya: Halim Jaya, 2008, Cet. ke-2